PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA DITINJAU DALAM FIQH SIYASAH DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)
DisusunOleh : MUHAMMAD ARIFIN SALEH NIM. 1110045200012
PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
i
i
iii
ABSTRAK Muhammad Arifin Saleh NIM 1110045200012. Penanganan Terorisme Di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah Dan Hak Asasi Manusia (HAM). Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1436 H / 2015 M, vi + 70 halaman. Penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 sering kali menuai protes dari berbagai kalangan. Tindakan represif Densus 88 dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan asas Islam, sehingga membuat kredibilitas Densus 88 dipertanyakan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan menjelaskan penanganan terorisme di Indonesia yang dilakukan Densus 88 ditinjau dalam fiqh siyasah dan hak asasi manusia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan di mana penulis melakukan pengidentifikasian secara sistematis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Hasil penelitian ini adalah pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan dalam penanganan terorisme baik di dalam maupun diluar negeri, dalam objek fiqih siyasah keberadaan Densus 88 masih diperlukan untuk menjaga keamanan masyarakat, penangan terorisme yang dilakukan Densus 88 bertentangan dengan asas Islam dan HAM karena masih menggunakan kekerasan dalam penangkapan. Kata kunci : Densus 88, Terorisme, , Undang-undang, Fiqih Siyasah, Hak Asasi Manusia (HAM). Pembimbing Daftar pustaka
:Dr. Khamami Zada, MA :Tahun1985 s/d tahun 2014
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, penguasa alam semesta yang berkat segala limpahan rahmat, taufik, inayah dan hidayah-Nya, alhamdulillah penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan umatnya, penutup para nabi dan Rasul yang tidak ada Nabi dan Rasul lagi sesudanya. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat dan bantuan dari berbagai pihak yang sangat penulis hargai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga
serta
penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hj. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah) Fakultas Syari’ah dan Hukum. 3. Sri Hidayati, MA, Sekretaris
Program Studi Hukum Tatanegara
(Siyasah) Fakultas Syari’ah dan Hukum. 4. Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa mengingatkan penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Dr. Khamami Zada, MA, Pembimbing skripsi yang telah memberikan penulis bimbingan pengarahan, dan saran-saran yang amat berharga kepada penulis selama menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
ii
6. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang amat bermakna selama penulis mengikuti perkuliahan di FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7.
Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Moh. Soleh dan ibunda Samiah yang selalu mendukung, memotivasi, dan mendo’akan yang tak kenal henti kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
8. Kepada adik ku tercinta Amelia Lestari Saleha dan Rima Maulida serta adik ipar Ferry Yolanda yang selalu memberikan dorongan, dukungan , dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 9. Kepada keponakan kembar ku Alfy dan Arfy yang lucu, gemesin dan suka becanda bareng, canda tawa mu yang membuat semangat penulis untuk mengerjakan skripsi. 10. Keluarga besar SS ( siyasah syar’iyah ) angkatan 2010, yaitu Fany, Imas, Vicky, Ade, Lulu, Ilal, Eli, Ika, Sholiyah, Ihda, Dawud, Hafiz , Juki, Pa’i, Riski, Rois, Taslim, Syaifudin, Ikul, Ela, dan Anita, yang selalu memberikan masukan dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas kebaikan kalian semoga persahabatan ini terjaga selamanya. 11. Kawan-kawan “KKN Sahabat 2013” yang telah menemani penulis dalam kegiatan kampus dan berdiskusi dalam membangun masyarakat Desa Mauk Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. 12. Kawan-kawan “El-Madinah” M. Murtadlo, Arief Fantary, Rahmat Hidayat, Hafidzul Umam, A. Febry Kurniawan, Ramadhan Faray, Ekki
iii
Sofyadi, Irwan Gunawan, Ricky Rochyana, Rian Susanto, Henda H, Yogya FN, Isnaini Rokhwati, Ade NB, Rifqoh Azizah, Suartinih, Fauziah KH, Desi Hilma, Indah Sari, Fikah Awaliyah, Risma. yang selalu mengingatkan dan memberikan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 13. Untuk staf PF dan PU, terimakasih atas fasilitas dan referensi yang diberikan kepada penulis sehingga mempermudah dalam menyelesaikaan skripsi ini. 14. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala bantuan dan sumbangsihnya, baik moril ataupun materil dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Semoga bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak tersebut mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 1 Oktober 2015
MUHAMMAD ARIFIN SALEH
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
6
D. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu .................................
7
E. Metode Penelitian ...................................................................
8
F. Sistematika Pembahasan ........................................................
9
TINJAUAN UMUM TERORISME DI INDONESIA A. Pengertian Terorisme……………………………………….
11
B. Sejarah Terorisme di Indonesia ..............................................
13
C. Faktor-faktor Timbulnya Terorisme ......................................
19
D. Akibat Terorisme ...................................................................
23
BAB III DATASEMEN KHUSUS 88 (DENSUS 88) A. Sejarah Pembentukan Densus 88 ...........................................
26
B. Tugas dan Wewenang Densus 88 ..........................................
29
C. Kasus Penanganan Terorisme Oleh Densus 88......................
37
v
BAB IV KEBIJAKAN PENANGANAN TERORISME OLEH DENSUS 88 DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH DAN HAM A. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Terorisme di Indonesia…………….............................................................
41
B. Kebijakan Penangan Terorisme oleh Densus 88 dalam Perspektif Fiqh Siyasah ............................................................................
50
C. Kebijakan Penangan Terorisme oleh Densus 88 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia………………………………………… .. BAB V
60
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
68
B. Saran .......................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
72
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Maraknya aksi teror dewasa ini menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat, selain juga menurunkan wibawa pemerintah sebagai badan yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki ancaman besar, terutama dengan maraknya aksi teror bom di sejumlah tempat. Untuk menyebut beberapa di antaranya, yang terbesar dari segi jumlah korban dan pemberitaan internasional adalah Bom Bali I dan II, bom di lobi Hotel Marriot 1, Kedutaan Filipina, Kedutaaan Australia, Pasar Tentena, Poso, Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.1 Ibarat tanaman, terorisme di Indonesia telah menjelma sebagai tanaman yang tumbuh subur. Patah tumbuh, hilang berganti. Setelah Dr.Azhari tertembak mati, masih ada Noordin M. Top. Setelah Noordin M. Top tewas dalam baku tembak di Solo, masih ada “pengantin-pengantin (calon pelaku pengeboman bunuh diri) lain yang masih menghirup udara bebas. Tidak ada jaminan langkah mereka akan terhenti. Sebab itu, semua
1
Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2010), hal.1
1
pihak menghimbau agar pemerintah dan masyarakat tidak lengah dengan tumbuh-suburnya terorisme. Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada keyakinan teologis. Artinya, pelakunya bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya tidak mudah untuk ditaklukkan. Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri.2 Salah satu bentuk tegas pemerintah dalam memerangi terorisme adalah dengan mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi UndangUndang 15 Tahun 2003, kemudian melalui Inpres Nomor 4 tahun 2002, Presiden menginstruksikan agar dibentuknya tim pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal ini adalah cikal bakal terbentuknya Datasemen Khusus 88 (Densus 88), yang bergerak dalam bidang pemberantasan jaringan terorisme di wilayah Indonesia. Densus 88 AT Polri didirikan sebagai bagian dari respon makin berkembangnya ancaman teror dari organisasi yang merupakan bagian dari jaringan Al-Qaeda, yakni; Jama’ah Islamiyah (JI).3 Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit 2
A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas, 2009), hal.vii 3 Muradi, Penantian Panjang Reformasi Polri (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hal.192
2
pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masingmasing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah dan melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan sebagai anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara RI.4 Kebijakan-kebijakan lain pun digulirkan oleh pemerintah seperti pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada tahun 2010, serta jalinan kerjasama dengan Negara-negara seperti; Australia, Amerika Jerman, dan Pakistan, serta kerjasamanya antara departemen dengan lembaga pemerintah non departemen. Departemen dan lembaga-lembaga Negara tersebut antara lain: Departemen Dalam Negeri RI, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Keuangan RI, Departemen Komunikasi dan Informasi RI, Departemen Perdagangan dan Perindustriaan RI, Badan Intelejen Negara, Polri, dan TNI. Namun dengan seiring berjalannya waktu setelah ditetapkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dan banyaknya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, serta terbentuknya Densus 88 masih banyak saja persoalan terorisme di Indonesia yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat bahkan bisa saja ledakan bom terjadi di belahan wilayah 4
http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_%28Anti_Teror%29 di akses tanggal 4 Januari 2015
3
Indonesia dimana saja. Tidak hanya di situ saja permasalahan muncul, tindakan tim Densus 88 juga menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan masyarakat dalam menangani terorisme di tanah air yang justru cenderung melanggar hak-hak asasi manusia. Mulai dari salah tangkapnya Densus 88 dalam menangkap tersangka teroris, adanya penyiksaan terhadap tersangka teroris, sampai hilangnya nyawa seseorang. Dalam pasal 9 Undang-undang No 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Dan dalam pasal 18 Undang-undang No 39 Tahun 1999 yang berbunyi “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka ,elakuakan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Penanganan terorisme di Indonesia yang banyak jadi bahan pembicaraan orang
menyebabkan
kredibilitas
Densus
88
sebagai
tim
khusus
pemberantasan terorisme menjadi menurun serta menjadi masalah baru yang harus segera diperbaiki agar masyarakat kembali mempercayai Densus 88 dalam memberantas terorisme di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut
menjadi
sebuah
skripsi
dengan
judul
“PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA DITINJAU DALAM FIQH SIYASAH DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)” 4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Melihat topik ini tentang “Penanganan Terorisme di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah Dan HAM”, yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kebijakan, yaitu kebijakan atau tindakan pemerintah Indonesia dalam menangani terorisme di Indonesia. Dengan permasalahan yang ada, maka penulis membatasi masalah kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 ditinjau dalam fiqh siyasah dan hak asasi manusia. Dari pembatasan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan Fiqh Siyasah terhadap kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri? 2. Bagaimanakah pandangan HAM terhadap kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: a) Mengetahui kebijakan penanganan terorisme di Indonesia. b) Mengetahui pandangan Fiqh Siyasah terhadap penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri. c) Mengetahui pandangan hak asasi manusia terhadap penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 Anti Teror Polri.
5
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penenlitian ini adalah: a. Bagi penulis, untuk mengetahui tentang kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam menangani terorisme serta pandangan fiqh siyasah dan hak asasi manusia terhadap kebijakan pemerintah. b. Bagi pemerintah atau Lembaga Densus 88, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan-kebijakan dalam menangani permasalahan terorisme di Indonesia. D. Riview Terdahulu Kajian tentang penangan terorisme sudah banyak dilakukan oleh sejumlah sarjana atau peniliti diantaranya sebagai berikut: Pertama, Tahsis Alam Robitho, meneliti penanganan terorisme yang berjudul, Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Bahaya Terorisme (Studi di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan) (2013). Tahsis menemukan bahwa peranan guru pendidikan agama Islam di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan dalam menangkal bahaya terorisme sudah baik. Artinya pengalaman siswa tidak terpengaruh oleh doktrin-doktrin bahaya yang dilakukan terorisme yang selama ini mengincar para remaja Kedua, Rida Farida Mustopa, menulis skripsi yang berjudul, Respon Mahasiswa Terhadap Pemberitaan Aksi Terorisme di Media Massa (2010). Skripsi ini menyimpulkan bahwa respon mahasiswa terhadap pemberitaan
6
aksi terorisme di media massa dapat dibagi dalam tiga kategori. Pertama, Respon Kognitif. Pada respon ini mahasiswa berpendapat bahwa media yang ada di Indonesia masih belum bisa memegang teguh pada prinsip kode etik jurnalistik sehingga berpengaruh pada berita-beritanya. Kedua, Respon Afektif. Ada rasa benci pada diri mahasiswa atas tindakan terorisme yang menurut mereka melanggar HAM dan tidak berperikemanusiaan serta melukai banyak korban, dan menelan banyak korban. Ketiga, Respon Psikomotorik. Agar selalu dalam koridor yang benar dan tidak menyimpang pada paham yang melenceng dan yang tidak diajarkan oleh agama mereka, para mahasiswa membentengi diri dengan Ilmu Agama. Adapun penelitian skripsi yang penulis lakukan fokus penelitiannya terletak pada penanganan terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Polri. Kajian ini belum dilakukan para peneliti sebelumnya. Skripsi ini mengkaji kebijakan negara, khusus Densus 88 Anti Teror Polri dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penahan, dan penyitaan, dalam perspektif Fiqh Siyasah dan HAM.
7
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hukum normatif.5 Penelitian ini menggambarkan kebijakan penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 ditinjau dari aspek fiqh siyasah dan hak asasi manusia. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 3. Sumber Data a) Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2000, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Peraturan Perundang-undangan tang berkaitan dengan permasalahan ini, serta KUHP. b) Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, seperti karya tulis ilmiah tentang kejahatan yang berkaitan
5
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 2003) Cet Ke 14,
Hal. 75
8
dengan tindak pidana terorisme, majalah-majalah, artikel, Koran, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas. 4. Teknik Analisa Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat di pakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data
tersebut
dianalisis
dengan
analisis
komperatif,
yaitu
membandingkan penanganan terorisme di Indonesia yang dilakukan Densus 88 dalam tinjauan fiqh siyasah dan hak asasi manusia. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2012”. F. Sistematika Penulisan Dalam pembahasan skripsi ini penulis membagi pada lima bab, dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Terdiri dari latarbelakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II
Tinjauan Umum Terorisme Di Indonesia
9
Membahas tentang pengertian terorisme, sejarah terorisme di Indonesia, faktor-faktor timbulnya terorisme, dan akibat dari terorisme. Bab III
Datasemen Khusus 88 Membahas tentang sejarah pembentukan Densus 88, tugas dan wewenang Densus 88, dan kasus penanganan terorisme oleh Densus 88.
Bab IV
Kebijakan Penanganan Terorisme oleh Densus 88 Di Indonesia dalam Perspektif Fiqh Siyasah dan Hak Asasi Manusia Membahas tentang penanganan terorisme di Indonesia oleh Densus 88 yang ditinjau dalam fiqh siyasah, hukum dan ham serta langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam menangani terorisme di Indonesia.
Bab V
Penutup Meliputi kesimpulan dari pembahasan serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukan pada pihak-pihak terkait.
10
BAB II TINJAUAN UMUM TERORISME DI INDONESIA
A. Pengertian Terorisme Dari segi bahasa, istilah terorisme sesungguhnya berkaitan erat dengan kata teror dan juga teroris. Secara sistematik leksikal terror berarti kekacauan, tindak kesewenang-wenangan untuk
menimbulkan kekacauan dalam
masyarakat, tindakan kejam dan mengancam.6 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata terorisme sendiri memiliki makna yakni, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror;.7 Sedangkan menurut Federal Buraeu Of Investigation (FBI) atau Biro investigasi Amerika Serikat, terorisme adalah tindakan kekerasan melawan hukum atau kejahatan melawan orang-orang atau perbuatan dengan mengintimidasi atau memaksa satu pemerintah, warga sipil dan unsur masyarakat lainnya, dengan tujuan mencapai target sosial politik tertentu.8 Menurut Perpu No 1 Tahun 2002 jo (UU Nomor 15 Tahun 2003), tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pengganti Undang-undang, yang mana dimaksud
6
Abdurrahman Pribadi & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, (Jakarta:Abdika Press.2009), hal.9 7 Tim Bentang Pustaka, Kamus Saku Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Bentang Pustaka, 2010), hal.187 8 A.M. Fatwa, Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2006), hal. 60
11
yakni setiap orang yang dengan sengaja menggunakan, kekerasan, bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional.9 Dengan demikian terorisme adalah kekerasan yang terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya yaitu: 1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik. 2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu. 3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga. 4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.10
9
Pasal 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: Pt. Rafika Aditama, 2004), hal. 31-32 10
12
B. Sejarah Terorisme di Indonesia Rekam jejak sejarah terorisme di Indonesia telah ada sejak lama. Bahkan, bisa dikatakan riwayatnya seusia dengan lahirnya negeri ini. Faktanya, sejak awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemberontakan dan gerakan perlawanan terorisme di Indonesia terbagi menjadi tiga bentuk. Pertama, aksi pemisahan diri yang disebabkan hubungan dekat dengan bekas penjajah, Belanda. Contohnya, peristiwa pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), yang hingga kini sisa-sisa perlawanannya masih membekas. Kedua, aksi terorisme yang ingin mendirikan negara atau memisahkan diri dengan ideologi politik tertentu, seperti kisruh PKI/FDR tahun 1948 meski banyak perdebatan mengenai hal ini dan DI/TII yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo. Ketiga, gerakan pemberontakan yang disebabkan oleh semangat keetnisan, dimana ledakannya dipicu kebijakan yang tidak berimbang antara pusat dan daerah. Contohnya, peristiwa PPRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Ketiga bentukan gerakan terorisme tersebut, secara garis besar, dapat menggambarkan raut wajah terorisme di Indonesia, setidaknya hingga masa Orde Baru. Selanjutnya, pola itu mengalami perubahan. Khususnya, ketika terjadi serangan 11 September 2001, dimana serangan itu mengakibatkan robohnya menara kembar World Trade Center (WTC), Amerika. Gerakan terorisme di Indonesia pada masa akhir Orde Baru yang kemudian memasuki era reformasi lambat laun mulai mengalami pergeseran perspektif ideologi serta motivasi dalam melakukan gerakan terorisme pada masa reformasi, 13
dimana motivasi dari gerakan teroris tersebut yakni mendirikan negara global berbasis agama yang sangat anti-barat. Respon tersebut dapat dilihat dengan semakin memanasnya konflik komunal berbasis keagamaan yang terjadi di beberapa wilayah, seperti, Poso, Maluku, dan Kupang. Konflik-konflik tersebut yang mulai memanas tahun 1999 masa transisi Orde Baru ke Orde Reformasi diwarnai dengan peledakan beberapa gereja di malam Natal dan tempat Ibadah lainnya di berbagai kota besar di Indonesia. Kemudian, ruang-ruang konflik inilah yang melahirkan benih-benih baru gerakan terorisme yang lebih besar.11 Pada Tanggal 3 Agustus 2000, bom meledak di depan kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat dan kantor agen perjalanan Filipina di Manado. Di sini, bom tersebut tidak mengambil korban, tampaknya lebih banyak berfungsi sebagai “bunga rampai” oleh siapapun yang memasang bom tersebut, untuk menyatakan kehadiran Al-Qaidah di Indonesia.12 Keberadaan keompok teroris di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan jaringan Internasional. Ramakhrisna dan See Seng Tan menggambarkan keterkaitan Al-Qaeda dengan organisasi atau kelompok lainnya termasuk Jamaah Islamiyah yang berada di Kawasan Asia tenggara. Menurut keduanya, bagi kelompok teroris lain Al-Qaeda adalah; pemimpin atau rujukan dasar aktifitas spiritual; sebagai penyedia tempat pelatihan di Afganisthan, Pakistan, dan
11
Galih Priatmodjo, Densus 88 The Under Cover Squad:Mengungkap Kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hal.12-14 12 ZA Maulani dkk, Terorisme Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hal.23
14
lain sebagainya; sebagai penyedia pelatih; sebagai penyedia dana bagi aktifitas regional; sebagai penyedia logistik dan bahan peledak; dan sebagai yann menentukan atau meminta sasaran operasi di tingkat regional.13 Selanjutnya, terjadi aksi pengeboman di Bali, pada tanggal 12 September 2002. Jumlah korban yang tewas merupakan terbesar dalam sejarah peledakan bom di Indonesia. Ledakan terjadi di tiga lokasi hampir bersamaan, yaitu Renon (dekat konsulat AS), Peddy’s Café dan Sari Club merenggut nyawa banyak warga negara asing, sebagian besar warga Negara Australia. Aparat kepolisian Indonesia, bekerja sama dengan aparat keamanan luar negeri, berhasil mengidentifikasi dan menangkap sejumlah pelaku. Mereka antara lain Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, Ali Imron. Hasil pemeriksaan tersangka disimpulkan para pelaku Bom Bali I merupakan anggota sebuah jaringan organisasi berbasis luas, yaitu Jamaah Islamiyah (JI).14 Rangkaian ledakan bom Indonesia semenjak tahun 2000 selalu dikaitkan dengan aktifitas Noordin M Top yang pernah menjadi anggota JI. Studi yang dilakukan oleh Direktur Program Asia Tenggara di Internasional Crisis Group Sidney Jones mengungkapkan bahwa JI merupakan jaringan radikal yang memiliki anggota di berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Australia. Jaringan Noordin M Top merupakan
13
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313777-T31325-Disengagement%20strategi.pdf di akses 30 September 2014 14 A.C. Manullang, Terorisme & Perang Intelejen Dugaan Tanpa Bukti, (Jakarta: Manna Zaitun, 2006), hal. 107-108
15
mantan angota JI yang berpahaman radikal dan menggunakan pemboman sebagai pola serangan teror.15 Dalam kurun waktu 2000-2010 saja, Polri mencatat sebanyak 298 orang tewas akibat serangan teroris, 838 orang luka-luka, belum termasuk 19 orang polisi yang tewas dan 29 orang yang luka-luka (“298 Orang Tewas Akibat Serangan Teroris”, antarnews.com), selain menimbulkan korban jiwa, serangan teroris juga menimbulkan kerugian materi, ekonomi dan sosial (terutama terhadap hubungan antar umat beragama).16 Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan ancaman terorisme di Indonesia dapat dilihat di table berikut. NO TAHUN 1 4 Oktober 1984
2
Desember 1984
3 4
20 Januari 1984 16 Maret 1985
5 6
13 September1991 18 Januari 1998
7
11 Des. 1998
8
Januari 1999
9 10
April 1999 19 April 1999
TEMPAT BCA Pacenongan, Glodok dan Gajah Mada. Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, Jawa Timur. Candi Borobudur Bus Pemudi Ekspres di Banyuwangi Jawa Timur Mranggen, Demak, Jawa Tengah Rumah Susun, tanah tinggi Jakarta Atrium Plaza Senen, Jakarta Pusat Ramayana, Jl. Sabang, Jakarta Plaza Hayam Wuruk Masjid Istiqlal
15
KORBAN 2 orang tewas
-
-
2 orang Luka
http://eprints.undip.ac.id/38355/3/BAB_2.pdf di akses 30 September 2014 http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313777-T31325-Disengagement%20strategi.pdf diakses 5 Oktober 2014 16
16
11
12
13 14 15 16 17 18 19
20
21
22 23 24
25 26 27 28
29
20 Oktober 1999
Depan Balai Sidang Senayan dan Bundaran HI 28 Mei 2000 Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik, Medan 4 Juli 2000 Gedung Bundaran Kejagung 4 Juli 2000 Kejaksaaan Agung, Jakarta Selatan 3 Agustus 2000 Kediaman Dubes Filipina, Jakarta Pusat 27 Agustus 2000 Depan Dubes Malaysia 13September Gedung Bursa Efek 2000 Jakarta 24 Desember Gereja-gereja Jakarta 2000 18 April 2001 Tiga Boks Telpon Umum di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat 10 Mei 2001 Asrama Mahasiswa Aceh, Manggarai, Jakarta Pusat 19 Juni 2001 Rumah Kontrakan, Pancoran, Jakarta Selatan 4 Juli 2001 Kejaksaan Agung 11 Juli 2001 Jembatan Fly Over Slipi, Jakarta Barat 22 Juli 2001 Gereja Santa Anna, Duren Sawit, Gereja HKBP, Cipinang, melayu, Jakarta 1 Agutus 2001 Plaza Atrium Senen, Jakarta Pusat 12 Oktober 2001 KFC Makassar 6 November 2001 Sekolah Australia (AIS) Jakarta 1 Januari 2002 Rumah Makan Ayam Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta 4 April 2002 Hotel Amborina dan Pembakaran Kantor
17
1 Orang Tewas, 15 Lukaluka 23 Orang Luka-luka
2 Orang Tewas, 21 Orang Luka-luka
10 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka 17 Orang Tewas, 100 Orang Luka-luka
5 Orang Luka-luka
1 Orang Tewas, 13 Orang Luka-luka 5 Orang Tewas, 72 Orang Luka-luka
6 Orang Luka-luka
4 Orang Tewas, 47 Orang Luka-luka
30
9 Juni 2002
31
1 Juli 2002
32
12 Oktober 2002
33
5 Desember 2002
Gubernur Maluku Tempat Parkir Hotel 4 Orang Luka-luka Jakarta, Diskotik Eksotiskota Mal Graha Cijantung, 7 Orang Luka-luka Jakarta Bom Bali I 202 Orang Tewas, Ratusan Lainnya Lukaluka Mcdonald, Makassar 3 Orang Tewas
34
3 Februari 2003
Wisma Bhayangkara
35
27 April 2003
36 37
38 39 40 41 42 43 44
Terminal Bandara Soekarno-Hatta 5 Agutus 2003 Hotel JW Marriot, Jakarta 10 Januari 2004 Lokasi Karaoke, Kafe Sampodo, Palopo, Sulawesi 9 September 2004 Kedutaan Australia, Jakarta 13November2004 Kantor Polisi Kendari, Sulawesi 12 Desember2004 Gereja Immanuel Palu 21 Maret 2005 Ambon 28 Mei 2005 Pasar Tentena, Sulawesi 8 Juni 2005 Pamulang, Tangerang 1 Oktober 2005 Bom Bali II
2 Orang Luka-luka 12 Orang Tewas, 150 Orang Luka-luka 4 Orang Tewas
10 Orang Tewas, 100 Orang Luka-luka 5 Orang Tewas, 4 Orang Luak-luka
22 Orang Tewas, Orang Luka-luka
90
20 Orang Tewas, 129 Orang Luka-luka 45 31Desember 2005 Pasar Palu, Sulawesi 8 Orang Tewas, 48 Orang Luka-luka 46 17 Juli 2009 Hotel JW Marriot, Ritz 9 Orang Tewas, 41 Orang Carlton, Jakarta Luka-luka Sumber : http://eprints.undip.ac.id/38355/3/BAB_2.pdf di akses 28 September 2014 & Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.130
Melihat daftar tabel terorisme yang berkembang di Indonesia, dapat dilihat bahwa ancaman terorisme terus berkembang dari tahun ke tahun, baik secara kualitas (jumlah serangan), maupun kuantitas (jumlah korban dan
18
kerusakan yang ditimbulkannya). Maka dari itu dalam rangka mengantisipasi dan melawan terorisme tidak dapat dianggap hal yang sepele, perlu langkahlangkah dan kebijakan pemerintah yang tegas. Tidak hanya mampu menangkap bahkan membunuh pelaku teror akan tetapi pemerintah harus sanggup memberantas sumber aksi terorisme tersebut. C. Faktor-faktor Timbulnya Terorisme Pada umumnya, ada enam faktor yang menjadi sebab/motivasi timbulnya terorisme, yaitu faktor ekonomi, sosial budaya, identitas, pendidikan, politik, dan faktor psikologi: Pertama, faktor ekonomi. Terorisme dapat terjadi dimana saja, namun kebanyakan studi menunjukkan bahwa terorisme lebih banyak terjadi di dalam masyarakat yang berkembang (depeloving societies) dari pada di negara-negara miskin (poor countries) atau negara-negara kaya (rich countries). Problematika ekonomi telah mempengaruhi setiap orang tidak hanya secara material, tetapi juga secara kejiwaan. Itulah sebabnya pembagian pendapatan yang tidak seimbang di dalam masyarakat merupakan salah satu elemen penting yang menjadi sebab dilakukannya terorisme.17 A.C. Manullang menyatakan salah satu pemicu dilakukannya terorisme adalah kemiskinan dan kelaparan. Rasa takut akan kelaparan dan kemiskinan yang ekstrim akan mudah menyulut terjadinya aksi-aksi
17
Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2012), hal. 115
19
kekerasan dan konflik, yang juga merupakan lahar subur bagi gerakan terorisme. Terorisme dan gerakan-gerakan radikal juga terjadi di negaranegara maju
dan kaya. Ketidakpuasan atau sikap yang berbeda akabiat
kecemburuaan sosisal yang terus hadi dan berkembang antara kelompok yang dominan dan kelompok minoritas dan terpinggirkan (di negara maju), serta mengalami marginalisasi secara kontinyu dalam jangka panjang akibat kebijakan pemerintah pusat, terlebih lagi karena kebijkan multilateral yang membuat kelompok margianal tersebut tidak dapat lagi mentoleransi keadaan tersebut melalui jalur-jalur formal dan legal, memotivasi mereka secara lebih kuat lagi untuk mengambil jalur alternatif melalui aksi kekerasan.18 Kedua, faktor sosial-budaya. Perubahan budaya dapat menyebabkan perubahan dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat merupakan bagian dari pada perubahan kebudayaan. Bila perubahan di dalam struktur sosisal terlalu cepat dan hanya terjadi pada bagian tertentu dari masyarakat akan dapat membuat yang lainnya tidak berkembang dan jauh ketinggalan. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial. 19 Ketiga, faktor identitas. Sementara itu adanya faktor identitas yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang pluralitas dengan berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa dan sebagainya. Kemudian dengan adanya rasa tidak puas dan ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya 18
Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: Pt. Rafika Aditama, 2004), hal.69 19 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2012), hal. 117
20
ekonomi, politik, dan sosial, terjadinya kesenjangan dalam pembangunan di bidang politik, idiologi, sosial ekonomi, dan budaya. Semuanya itu saling berkolerasi memicu keinginan masyarakat untuk menuntut pengakuan atas identitas mereka.20 Keempat,
faktor
pendidikan.
Sistem
pendidikan
yang
tidak
berkembang, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat. Adanya ketidakpuasan di dalam masyarakat ini telah membuat masyarakat melakukan tindakan dengan penggunaan kekerasan untuk memenuhi kebutuhannya. Orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup pada umumnya lebih mudah termakan oleh propaganda dari pihak-pihak yang hendak mengacaukan negara. Masyarakat seperti ini mudah menjadi bagian dari organisasi dan gerakan teroris.21 Kelima, faktor politik. Menurut Wawan H. Purwanto, ancaman terorisme di Indonesia tidak lepas dari tatanan politik global yang kini dikendalikan AS dan sekutunya. Selain itu sistem politik dalam negeri pun ikut memicu aksi terorisme di Indonesia dengan dua konteks itu.
20
Peter Harris dan Ben Rielly (ed), Demokrasi dan Konflik yang mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, (Depok,: Amerro,2002), hal.11 21 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2012), hal. 118
21
Menurutnya, ancaman terorisme di Indonesia
akan terus mengganggu
keamanan nasional.22 Keenam, faktor psikologi. Mereka yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup biasanya tidak menyukai aturan-aturan, tempat-tempat, dan posisi-posisi dimana mereka berada. Mereka berasumsi bahwa mereka tidak mendapatkan penghormatan, perhatian, dan cinta dari masyarakat. Atas dasar itu mereka melakukan kejahatan dan bertingkah laku secara agresif dan melakukan perbuatan lain untuk mendapatkan perhatian dan penghormatan dari yang lainnya sebagai ekspresi diri mereka.23 Melihat fakta-fakta mengenai kondisi ketidak stabilan Indonesia secara keseluruhan
ditambah
dengan
kenyataan
bahwa
Indonesia
tengah
menghadapi konflik-konflik internal di beberapa tempat, maka sangat beralasan kiranya kekhawatiran masyarakat internasional bahwa kondisi demikian akan dimanfaat kan oleh jaringan terorisme internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis gerakannya.24 Melihat dari berbagai faktor yang menimbulkan terorisme hal ini jelas bukan lah perkara mudah bagi pemerintah dalam memerangi terorisme akan tetapi. Pemerintah wajib membenahi persoalan dasar yang menyebabkan timbulnya terorisme yakni, masalah ekonomi, sosial budaya, pendidikan, 22
Mardenis, Pemberantasan Korupsi Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.126 23 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2012), hal.118 24 Bob Sugeng Hadiwinata, Hakikat dan Dinamika Konflik Domestik di Negara Berkembang dalam Global, Jurnal Politik Internasional, Volume II No.8 Juni 2001, hal.27
22
kesejahteraan, politik, identitas, bahkan psikologi masyarakat yang sangat mudah dihasut oleh sekelompok orang yang ingin mengacaukan Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan terror dengan mengatasnamakan berjihad dalam agama. D. Dampak Terorisme di Masyarakat Perkembangan teroris di negara ini memang bisa dikatakan sangat memprihatinkan, karena hampir setiap tahun pasti ada saja aksi-aksi teror yang selalu memakan korban baik korban luka-luka maupun korban tewas. Kegiatan para teroris yang meresahkan masyarakat memaksa masyarakat untuk lebih waspada dengan segala sesuatau yang berbau terorisme. Keresahan dan kewaspadaan tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut
menimbulkan banyak akibat bagi kehidupan bangsa, dari hal tersebut rasa nasionalisme dari para generasi mudapun mulai dipertanyakan karena seringkali para teroris selalu merekrut anak-anak muda yang masih labil untuk dijadikan sebagai kurir maupun pelaku aksi teror yang meresahkan masyarakat.25 Paska peristiwa pemboman gedung WTC pada 11 September 2001, yang dijadikan referensi dilandanya dunia dengan ancaman teroris, ternyata diikuti oleh peristiwa-peristiwa pemboman di wilayah lain, termasuk di wilayah Indonesia. Peristiwa pemboman di Indonesia terjadi bekali-kali,
25
http://kriyolaksonopangga.blogspot.com/2011/05/pengaruh-terorisme.html di akses 13 Oktober 2014
23
diawali dengan pemboman di Bali yang menewaskan banyak korban dan menghancurkan laju perkembangan ekonomi, khususnya industri pariwisata di Indonesia.26 Direktur perdagangan dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Hermawan, menyatakan bahwa pemerintah kehilangan devisa sedikitnya 850 juta USD sepanjang tahun 2002 dari sector pariwisata akibat peristiwa Bom Bali I. Angka ini belum termasuk kerugian yang diderita masyarakat sebagai efek berantai dari peristiwa Bom Bali I tersebut. Dari uraian diatas, terorisme secara factual dapat menimbulkan bahaya bagi nyawa dan perekonomian.27 Secara lebih luas, Abdullah Sumarahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang kompleks, antara lain: 1) Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman dan selalu dihantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas kondisi ini dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat. 2) Merusak sendi-sendi politik, karena politik dijadiakan sebagai alat atau sarana untuk melakukan kejahatan oleh pihak tertentu serta kesewenang-wenangan oleh penguasa. 3) Kehidupan ekonomi menjadi carut-marut karena sentimen pasar cenderung mengikuti perilaku dan kejadian politik nasional maupun 26
Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.126 27 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam penanggulanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal.76
24
Internasional. Terjadinya terorisme disuatu wilayah menunjukkan bahwa keamanan suatu wilayah tersebut tidak aman sehingga kepercayaan pasar menjadi rendah. 4) Terorisme mengakibatkan pengembangan atau pembumian nilai budaya menjadi menipis karena seolah budaya masyrakat larut dalam suasana anarkis. 5) Kehidupan agama menjadi berada dalam bayang-bayang kekuasaan dan ketertindasan. Agama yang idealnya menjadi jalan pembebasan dari penindasan justru keberadaan terorisme yang bermotif agama menjadikan sebaliknya.28 Mahalnya akibat dari tindakan terorisme jelas harus dibayar dan ditanggung masyarakat dan pemerintah Indonesia. Terorisme tidak hanya menghilangkan materi akan tetapi dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dan yang lebih parah lagi aksi terorisme dapat mengganggu psikis korban bom terorisme yang selamat dari tindakan bom terorisme yang terjadi di tanah air. Keadaan yang tidak aman pun
membuat gelisah dan
memberikan rasa takut terhadap masyarakat luas. Untuk itu diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat guna menanggulangi tindakan terorisme di Indonesia agar terciptanya suasana aman bagi seluruh masyarakat Indonesia sehingga masyarakat tidak merasa khawatir dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
28
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam penanggulanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal.76-77
25
BAB III DATASEMEN KHUHUS 88 (DENSUS 88)
A. Sejarah Pembentukan Densus 88 Banyaknya aksi teror pemboman yang terjadi di Indonesia era tahun 2000-2005, mulai dari bom kedubes Filipina dan Malaysia, BEJ, Plaza atrium, bali I dan II, bom Kuningan, bom JW marriot dan lainnya sering dapat travel warning dari negara lain di dunia. Sebelum satuan khusus ini terbentuk sudah ada detasemen yang mirip. Namanya Sat-1 Gegana brimob.29 Nama Gegana Brimob sempat dikenal seiring maraknya kasus teror dan ancaman bom di tanah air. Pasukan inilah yang datang memeriksa jika ada laporan terkait teror bom dan bahan peledak di suatu tempat. Pasukan Korps Brimob ini juga sering ditugaskan membantu aparat keamanan organik ke berbagai “wilayah panas” seperti Aceh, Ambon, Poso, untuk mengatasi gangguan keamanan dan kerusuhan sosial. Dapat dikatakan keamampuan pasukan ranger milik Polri ini secara umum bisa disejajarkan dengan satuan tempur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tetapi, tugas dan peran satuan Gegana Brimob Polri dipandang masih memiliki kelemahan. Hal ini terutama karena tugas mereka masih terfokus pada upaya refresif, belum mengembangkan upaya preventif. Sehingga Gegana dinilai kurang memenuhi kriteria sebagai unit anti-teror karena hanya berfungsi sebagai satuan 29
http://jagatinfo.blogspot.com/2013/06/kupas-tuntas-tentang-apa-dan-siapa-densus88.html di akses 14 April 2015
26
penindak (striking force). Apalagi dengan meningkatnya aktifitas terorisme pasca-peristiwa 11 September, praktis tugas detasemen Gegana menjadi semakin berat dan kurang memadai.30 Sejak itulah wacana pembentukan Densus 88 Polri yang kualifikasinya penanggulangan anti-teror makin menguat. Cikal bakal Densus 88 lahir dari Inpres No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Instruksi ini dipicu oleh maraknya teror bom sejak 2001. Aturan ini kemudian dipertegas dengan diterbitkannya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Perpu No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan merespons perintah itu dengan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme pada tahun 2002. Desk ini langsung berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Desk ini berisi Kesatuan Antiteror Polri yang lebih dikenal dengan Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri, dan tiga organisasi antiteror TNI dan intelijen. 31 Dalam perjalanannya, institusi-institusi antiteror tersebut melebur menjadi SatuanTugas (Satgas) Antiteror di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Namun, inisiatif Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan saat itu, berantakan. Masing-masing kesatuan antiteror lebih nyaman berinduk 30
Galih Priatmodjo, Densus 88 The Under Cover Squad, (Yogyakarta: Narasi, 2010),
hal.39 31
Harris.Y.P. Sibuea, Keberadaan Datasemen Khusus (DENSUS) 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Info Singkat Hukum, Vol.V,No.10/II/P3DI/Mei/2013, hal.2
27
kepada organisasi yang membawahinya. Satgas Antiterorpun tidak berjalan efektif, masing-masing kesatuan antiteror berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, eskalasi teror tetap meningkat. Polri terpaksa membentuk Satgas Bom Polri. Tugas pertama Satgas Bom adalah mengusut kasus Bom Natal pada 2001 dan dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya.32 Satgas Bom Polri menjadi begitu dikenal publik saat menangani beberapa kasus peledakan bom yang melibatkan korban warga negara asing, seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia. Satgas ini berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu. Namun, di samping ada satuan antiteror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri, kepolisian memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Antiteror di bawah Bareskrim Mabes Polri. Keberadaan Direktorat VI Antiteror ini tumpangtindih dan memiliki fungsi dan tugas yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri. Mabes Polri akhirnya mereorganisasi Direktorat VI Antiteror dengan menerbitkan SK Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 untuk melaksanakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai ketentuan Pasal 26 dan Pasal 28 bahwa kewenangan Densus 88 melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen
32
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/08/063465820/Begini-Detasemen-Khusus-88Antiteror-Dibentuk di akses 14 April 2015
28
manapun selama 7 x 24 jam. Sejak itulah Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang disingkat Densus 88 Antiteror Polri terbentuk.33 B. Tugas dan Wewenang Densus 88 Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana. Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota
33
Harris.Y.P. Sibuea, Keberadaan Datasemen Khusus (DENSUS) 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Info Singkat Hukum, Vol.V,No.10/II/P3DI/Mei/2013, hal.2
29
jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara R.I.34 Dalam rangka pemberantasan terorisme di Indonesia Densus 88 memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya hal ini karena densus 88 merupakan satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih dibawah nauangan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya saja Densus 88 satuan unit khusus yang bergerak dibidang pemberantasan tindak pidana terorisme, adapun tugas dan wewenangnya sebagai berikut: 1. Tugas dan Wewenang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Dalam menjalani tugasnya Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas pokok sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 Undangundang Nomor 2 tahun 2002 yakni: 35 a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat Wewenang secara umum pasal 15 ayat 1 undang-undang No. 2 tahun 2002 menyebutkan:
34
http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_%28Anti_Teror%29 di akses tanggal 4 Januari 2015 35
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
30
(1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang36: a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. Melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian; h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyrakat;
36
Pasal 15 ayat 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
31
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lainnya, serta kegiatan masyarakat; m. Meneriama dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Kewenangan di bidang proses pidana (pasal 16 ayat 1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi:37 (1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 37
Pasal 16 ayat 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
32
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada pasal 16 Ayat 1 diatas kewenangan melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan ataupun melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan seperti dalam pasal 16 ayat 1 huruf b. Selain itu, ada hal lain yang tercantum dalam pasal 16 ayat 1 huruf l yang berisikan tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki wewenang untuk melakukan tindakan khusus atau lain menurut hukum yang bertanggung jawab, artinya ketentuan dalam pasal ini memberikan peluang
33
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak atau melakukan sesuatu yang tidak tertulis di dalam hukum namun harus memperhatikan unsur bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain pasal ini memberikan wewenang kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan tindakan lain yang dianggap perlu namun dapat dipertanggung jawabkan. Akan tetapi, tindakan lain sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf l memiliki pengertian dan persyaratan yang harus dimiliki Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dalam pasal 16 ayat 2 yang
berbunyi yakni: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan suatu hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia. Selain itu, ada pasal 18 ayat 1 yang memberikan wewenang khusus kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang yakni dalam melaksanakan tugas dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaiman dalam pasal 18 ayat 1 34
yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainnya sendiri.” Dalam pasal ini dapat dibandingankan substansi pengaturan dalam pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 dalam pasal 18 ayat 1 sangat jelas terlihat bahwa pasal ini memberikan kekuasaan atau wewenang yang lebih luas dibandingkan pasal 16 ayat (1) huruf l karena kepolisian dapat bertugas berdasarkan penilaiainnya sendiri. Akan tetapi, pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat 1 tersebut harus memperhatikan pasal 18 ayat 2 yang mana pelaksanaan tersebut dapat dilaksanakan dengan pengecualaian sebagaimana dalam pasal 18 ayat 2 yang berbunyi: “pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undanngan, serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia”. Artinya seorang polisi dapat menjalankan tugas dan berdasarkan penilaiannya sendiri dapat dilakukan sebagaimana pasal 18 ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebelum kepolisian tersebut melaksankan tugasnya berdasarkan penilaiannya sendiri.
35
2. Tugas dan Wewenang Densus 88 dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Kewenangan Densus 88 dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia diatur pula dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam pasal 25, pasal 26, pasal 28, pasal 29, dan padal 31 yang berisikan tentang penyidikan sampai pada kewenangan melakukan penyadapan. Dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003, densus 88 memiliki tugas dan wewenang seperti dalam pasal 28 yaitu dapat menangkap seseorang yang terduga kuat sebagai teroris berdasarkan hasil dari pembuktian awal yang dianggap cukup sebagaimana dalam pasal 26 ayat 2 Undang-undang nomor 15 tahun 2003. Densus 88 juga memiliki waktu selama 7 x 24 jam dalam melakukan penangkapan. Hal ini sesuai berdasarkan Undang-undang nomor 8 tahun 1981 KUHAP pasal 19 ayat 1 yang memberikan jangka waktu penangkapan 1 x 24 jam dan dapat diperpanjang 7 x 24 jam demi kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Selanjutnya, dalam hal penahanan diatur dalam pasal 25 ayat 2 undang-undang nomor 15 tahun 2003, dalam hal ini penyidik atau Densus 88 memeliki wewenang menahan seseorang terduga teroris paling lama 6 (enam) bulan atau 180 hari dalam rangka proses penyidikan. Hal ini sedikit berbeda dalam KUHAP yang mana dalam masa penahan hanya di berikan jangka
36
waktu selama 110, sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat 1 dan serta pasal 25 ayat 1 dan 2. Dalam hal laporan intelejen yang diatur dalam pasal 26 ayat 1 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003, Densus 88 mendapatkan wewenang khusus menggunakan setiap laporan intelejen untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, artinya Densus 88 dapat memiliki laporan yang berkaitan dengan keamanan nasional atau dapat membahayakan situasi negara, yang diperoleh dari Badan Intelejen Negara, maupun instansi-instasi pemerintah yang berkaitan dengan masalah keamanan negara yang dapat memberikan laporan cukup untuk bukti permulaan bagi densus 88 untuk menangkap seseorang terduga teroris. C. Kasus Penanganan Teroris Oleh Densus 88 Tulisan dibawah ini pernah dimuat di media yaitu, Kompas pada bulan Januari 2014 dan Tribun News pada bulan Mei 2014, oleh karena itu perlu penulis sertakan untuk kelengkapan pembahasan pada penyelesaian tugas akhir ini. Upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 tak jarang terjadi baku tembak yag menyebabkan terbunuhnya para terduga teroris di Indonesia, bahkan tidak jarang pula penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 mengandung unsur kekerasan untuk melumpuhkan para terduga teroris. Ada pula kejadian yang tidak seharusnya terjadi yakni, Densus 88 melakukan salah tangkap terhadap seseorang terduga teroris. Berikut merupakan beberapa kronologi penangkapan yang dilakuakan Densus 88. 37
Pada bulan agustus 2009 Densus 88 berhasil menembak Ibrahim di Temanggung, Ibrahim diduga sebagai aktor terkait pengeboman di hotel, JW Marriott dan Ritz Carlton yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2009. Semula polisi menduga yang terdapat di dalam rumah tersebut adalah Noordin M. Top namun, setelah polisi berhasil menyergap rumah tersebut dan membombardir hingga belasan jam serta menurunkan enam kompi prajurit, akhirnya polisi hanya menemukan satu orang terduga terkait bom JW Marriott dan Ritz Carlton di dalam rumah tersebut yang bernama Ibrahim. Densus 88 baru berhasil melumpuhkan Noordin M. Top pada bulan oktober 2009 di Solo. Selasa 31 Desember 2014 Densus 88 kembali berhasil melumpuhkan beberapa orang terduga teroris di Kampung Sawah, Ciputat. Densus 88 menyergap sebuah rumah kontrakan yang diduga para pelaku terduaga teroris jaringan Abu Roban. Menjelang pergantian tahun baru pada pukul 17:30 polisi berpakaian preman mengevakuasi masyarakat untuk tidak mendekati daerah yang akan dilakukan penyergapan. Baru lah pada pukul 18:00 WIB dua orang ditembak ketika hendak melarikan diri. Namun satu orang yang diduga tersebut bukanlah jaringan teroris dan yang satu lagi ditembak mati oleh polisi yaitu bernama Dayat. Setelah itu Densus 88 bergegas menyergap sebuah rumah kontrakan yang diduga sebagai sarang teroris. Suara tembakan pertama kali terdengar pada pukul 19:00 WIB, Densus 88 dan terduga teroris saling baku tembak di malam pergantian tahun baru itu yang berlangsung hingga pukul 06:00 WIB. Baru lah Densus 88 masuk kedalam rumah tersebut
38
dan menemukan lima orang yang tewas tertembak dalam penyergapannya Densus 88 menemukan 6 senjata api, 6 bom rakitan, uang sejumlah 200 juta, 6 kendaraan bermotor, dan sejumlah dokumen. Para terduga diduga kuat terlibat dalam penembakan anggota polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan dan pengeboman di Vihara Ekayana, Jakarta.38 Tidak hanya keberhasilan Densus 88 menembak mati seorang terduga teroris, beberapa kali pun Densus 88 pernah melakukan salah tangkap terhadap terduga teroris seperti yang pernah dialami Iwan, kejadian terjadi pada 1 Agustus 2013, bermula dari pencarian Densus 88 terhadap pelaku penembakan dua anggota polisi di Pondok Aren Tangsel. Densus 88 mencari pemilik motor dengan nomor polisi D 6632 WD yang katanya digunakan oleh penembak untuk melakukan aksinya kemudian, penulusuran polisi mengarah kepada anggota FPI DPC Kawalu Tasikmalaya Jabar bernama Iwan Priyadi yang selanjutnya, Iwan ditangkap. Padahal faktanya Iwan memiliki motor yang bernopol D 6630 WD dan sepeda motor itupun sudah dijual oleh Iwan kepada orang lain.39 Kesalahan Densus 88 dalam menangkap serta menggunakan kekerasan terhadap terduga teroris pun pernah dialami oleh Kadir warga Kampung Banyuharjo Kelurahan Gandekan Kecamatan Jebres Solo, ia mengaku ditangkap oleh tim Densus 88 yang kemudian disekap, pahanya dicubit pakai
38
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/01/1445421/Ini.Kronologi.Penyergapan.Terd uga.Teroris.di.Ciputat di akses 2 Desember 2014 39 http://www.arrahmah.com/news/2013/08/19/densus-88-salah-tangkap-kali-menimpa-iwantasikmalaya.html diakses 14 april 2015
39
tang, dan dicambuk punggungnya hingga memar. Kejadian itu bermula ketika Kadir hendak melaksanakan shalat Jumat di Masjid At Taqwa tak jauh dari rumahnya. Namun sebelum sampai masjid, tepat di Gedung Pancasila Jalan RE Martadinata ia ditangkap secara paksa oleh dua orang yang menggunakan pakaian serba hitam layaknya Densus 88 dan dibawa ke dalam mobil serta wajahnya ditutup rapat. Dia dipaksa untuk mengaku terlibat dalam pengeboman di Poso. Namun, Kadir tetap tidak mengetahui hal tersebut. Setelah ditangkap dan di siksa dengan kondisi wajahnya ditutup dan Kadir tetap tidak mengakuinnya karena memang tidak tahu menahu, barulah Densus 88 melepasnya pada pukul 16:00 di Jalan Juanda.40
40
http://www.tribunnews.com/regional/2014/05/16/diduga-korban-salah-tangkap-densus88-warga-jebres-solo-sekap-dan-disiksa di akses April 2014
40
BAB IV KEBIJAKAN PENANGANAN TERORISME OLEH DENSUS 88 DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH DAN HAM
A. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Terorisme Di Indonesia
Kejahatan terorisme yang bersifat Internasional merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan, dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kejahatan terorisme merupakan ujian berat bagi masyarakat Indonesia. Jika Indonesia lulus menghadapi ujian maka kepercayaan masyarakat internasional akan pulih. Tetapi jika Indonesia masih menjadi “rumah yang sakit” atau sarang bagi terjadinya kejahatan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan kategori pemberatan, maka Indonesia yang akan rugi, misalnya gampang dilecehkan dan dikucilkan masyarakat Internasional. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum, melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan suatu bangsa. Kebijakan, langkah pencegahan pemberantasannya pun harus bertujuan untuk memilihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan Negara, hak asasi korban dan saksi serta hak asasi tersangka atau terdakwa.
41
Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia, cinta perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdaulat ditengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia.41 Kebijakan nasional di Indonesia dalam penanggulangan terorisme saat ini dalam proses penyidikannya dimotori oleh aparat Densus 88 Anti Teror POLRI. Disebabkan detasemen khusus dan elit milik POLRI ini baik pembentukan begitu juga pengembangannya (Peralatan, pelatihan, doktrin dan finansial lainnya) hampir kesemuanya berasal dari AS dan Australia, maka tidaklah mengherankan jika sepak terjang Densus 88 ini di lapangan juga mengikuti kecenderungan sebagaimana kecenderungan pandangan AS dalam memberantas terorisme.42 Indonesia pasca peledakan Bom Bali I dan beberapa tempat lain di tanah air telah mengambil beberapa langkah, sebagai berikut: 1. Aksi teror bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, mendorong pemerintahan Indonesia menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil
langkah-langkah
pemberantasan
serius
dengan
dikeluarkannya Perpu Nomor 1/2002, Perpu Nomor 2/2002 dan Inpres Nomor 4/2002 41
Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: Pt. Rafika Aditama, 2004), Hal. 14 42
Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011), Hal.82
42
2. Disusul dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Politik
dan
Keamanan
Nomor
Kep-
26/Menkopolkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. 3. Perpu Nomor 1/2002 dan Perpu Nomor 2/2002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003 dan Undang-Undang Nomor 16/200343 4. Dibentuknya satuan tugas Bom Polri (Satgas Bom Polri) melalui surat keputusan Polri No: 2/X/2002 Tentang pembentukan Satuan Tugas Penanganan Kasus Bom Bali 5. Pembentukan Densus 88 melalui Surat Keputusan No. Pol: Kep/30/VI/2003 yang dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), saat itu dijabat oleh Da’i Bachtiar. Densus 88 secara structural berada di bawah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).
Tugas
Densus
88
adalah
membina
dan
menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme dalam rangka penegakan hukum. Pemberantasan terorisme pun menjadi fokus dalam kerangka kerja Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penanggulangan terorisme dimasukkan dalam program kerja 100 hari Kabinet. Untuk melaksanakan program-program yang telah dicanangkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yang 43
A.C. Manullang, Terorisme & Perang Intelejen Dugaan Tanpa Bukti, (Jakarta:Manna Zaitun.2006), Hal. 132
43
pada waktu tu dijabat oleh Widodo A. S., dalam kerjanya Menko polhukam didukung oleh sejumlah departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Departemen dan lembaga-lembaga tersebut antara lain, Departemen Dalam Negeri RI, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Keuangan RI, Departemen Komunikasi dan Informasi RI, Departemen Perdagangan dan Perindustriaan RI, Badan Intelejen Negara, Polri, dan TNI. Bahkan penanggulangan terorisme masuk dalm program 100 hari kabinet Indonesia Bersatu yang di motori oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meliputi: a. Peningkatan daya tangkal terhadap terorisme Pengetatan izin kepemilikan senjata dianggap sebagai langkah pertama dalam peningkatan daya tangkal terhadap terorisme. Langkah ini diupayakan dengan npengetatan izin kepemilikan senjata, untuk itu dilaksanakan razia kepemilikan senjata api.pemerintah juga berkampe kepada masyarakat agar menyadari bahaya terorisme. Operasi tersebut dilaksanakan oleh sejumlah instansi pelaksanaan dikoordinasikan oleh Menko Polhukam. b. Pemberantasan Terorisme Upaya pemberantasan terorisme difokuskan untuk mengungkap pelaku terorisme, terutama Noordin M. Top dan Dr. Azhari. Selain itu, langkah ini didukung dengan tindakan pengawasan lalu lintas dan pemblokiran aset kelompok teroris, dan pengawasan secara intensif terhadap penggunaan bahan peledak. Program ini didukung dengan
44
pelaksanaan
operasi
yustisi
untuk
meningkatkan
pengawasan
keimigrasian. c. Penguatan Kelembagaan Penguatan kelembagaan dilakukan dengan mengubah institusi Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme menjadi Badan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemudian, dilakukan pengukuhan terhadap struktur laboratorium forensic DNA lembaga Eijkman. Pengukuhan ini diharapkan
dapat
lebih
memberi
dukungan
dalam
upaya
pemberantasan terorisme dengan cara mengidentifikasi jenazah melalui identifikasi DNA.44 Selanjutnya pemerintahan pun terus meningkatkan upaya pemberantasan terorisme di Indonesia dengan membuat berbagai macam kebijakan antara lain: 1) Mengutamakan isu terorisme dan meningkatkan kerjasama dengan Australia terkait kontra-terorisme untuk menjaga keamanan nasional Indonesia. Beberapa bentuk kerjasama Indonesia-Australia, diantaranya : a) Pembentukan rencana untuk membantu dalam mengembangkan badan intelijen dan memberikan pengawasan dalam hal keamanan di wilayah pelabuhan Indonesia pada Februari 2005. b) Mengadakan perjanjian mengenai Aviation Security Capacity Building Project guna mencegah dan mengantisipasi teroris yang masuk lewat
44
Petrus Reinhard Golose, Derasdikalisasi Terorisme Humanis, Soul Aproach dan Menyentuh Akar Rumput, (Jakarta:YPKIK, 2009), Hal.34
45
jalur laut atau jalur darat yang melewati perbatasan wilayah Indonesia pada bulan Maret 2005. c) Mengadakan pertemuan bilateral antara Indonesia-Australia pada 3-6 April 2005, dimana didalam pertemuan tersebut juga terdapat 11 penandatanganan Joint Declaration of Comprehensive Partnership Between Indonesia and Australia tentang pembentukan struktur keamanan yang baru guna meningkatkan kerjasama keamanan dan memperkuat dukungan tentang kebijakan Indonesia di berbagai wilayah. Penandatangan kerjasama tersebut dikenal sebagai perjanjian Lombok yang dilakukan pada 13 November 2006.45 2) Melakukan kerja sama regional dengan ASEAN dalam memberantas terorisme dengan menandatangani ASEAN Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme) pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-12, di Cebu, Filipina tanggal 13 Januari 2007. Upaya ini dilakukan karena terorisme dianggap sebagai suatu ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional terutama di kawasan Asia Tenggara dan juga merupakan suatu rintangan atau hambatan terhadap upaya perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan ASEAN, serta perwujudan Visi ASEAN 2020. 3) Meningkatkan kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas terorisme, dengan cara multilateral atau melalui PBB, bilateral, regional, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, menegakkan hukum,
45
file:///C:/Users/HP/Downloads/9846-18043-1-SM%20(1).pdf di akses 10 Januari 2014
46
memperbaiki legislasi/kerangka hukum, bertukar informasi dan saling berbagi pengalaman, mengirimkan ahli dan memberikan saran ahli, dan kerjasama teknis lainnya. Selain itu, pemerintah juga mencegah dan memberantas terorisme dengan cara “soft power” atau diplomasi, yang didalamnya termasuk usaha-usaha untuk bekerjasama dalam memberantas underlying causes of terrorisme. Hal tersebut dibantu oleh Kementerian Luar Negeri dengan cara melakukan upaya-upaya guna meningkatkan dorongan terhadap interfaith dialogue untuk membangun rasa saling peduli dan percaya serta meningkatkan hubungan yang baik antar umat beragama dari Negara-negara di dunia.46 4) Melakukan kerjasama pemberantasan terorisme dengan Pakistan pada tahun 2010. Kerjasama antar kedua Negara ini berupa pertukaran data intelijen dengan maksud memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi kedua Negara terkait persoalan terorisme dan keamanan Negara.47 5) Menetapkan UU No. 17 Tahun 2011 tentang intelijen Negara yang berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk mendeteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional. Dalam upaya pemberantasan terorisme maksud dari dibentuknya intelijen
46
http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=25&l=id di akses 12 Januari
2015 47
http://preview.detik.com/detiknews/read/2010/07/21/230715/1404209/10/ri%20pakistan-jalin-kerjasama-pemberantasan-terorisme di akses 10 Januari 2015
47
Negara ialah untuk mencegah dan menanggulangi ancaman daripada terorisme itu sendiri yang dapat mengancam keamanan negara.48 6) Menyampaikan empat pemikiran untuk pemberantasan terorisme di PBB lewat Menteri Luar Negeri Marti Natalegawa pada September 2011, guna menata kembali citra Indonesia di mata dunia internasional. Adapun keempat pemikiran tersebut, diantaranya yaitu : 49 a) Pertama, meningkatkan dukungan di tingkat nasional dan regional terlebih dahulu guna menjalankan usaha-usaha di tingkat global. b) Kedua, mengatasi akar permasalahan munculnya terorisme dengan cara mencegah faktor-faktor yang mendorong aksi terorisme serta saling bekerjasama satu sama lain guna memberantas terorisme. c) Ketiga, menggunakan soft power atau strategi diplomasi sebagai suatu strategi jangka panjang untuk mengatasi terorisme. Adapun cara yang ditempuh yakni dengan membebaskan pikiran, pluralisme dan toleransi. d) Keempat, menjunjung tinggi hukum dan HAM dan tetap dalam jalur demokrasi dalam meningkatkan upaya-upaya di tingkat global, regional dan nasional serta dengan tetap menjaga perdamaian, keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. 7) Mengadakan kerjasama dengan pemerintah Jerman yang dilakukan oleh PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) lewat seminar internasional yang bertujuan untuk memberantas terorisme. Dalam seminar ini juga 48
Undang-undang No.17 Tahun 2011 http://erabaru.net/detailpost_ars/133-nasional/27850-menlu-sampaikan-empat%20pemikiran-pemberantasan-terorisme-di-pbb diakses 12 Januari 2015 49
48
diharapkan agar masukan yang ada terkait pemberantasan terorisme dapat diterapkan di Indonesia serta Jerman maupun di Negara-negara lainnya.50 8) Membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2010. BNPT ialah suatu lembaga nonkementerian yang bertugas menyusun kebijakan atau program nasional, membantu mengkoordinasikan lembaga pemerintah dalam pelaksanaan, serta membentuk satuan tugas atau satgas terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing terkait kebijakan di bidang terorisme. Posisi BNPT berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. BNPT dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.51 9)
Menindak dengan tegas pemberantasan terorisme melalui pendekatan preventif atau pencegahan dengan cara deradikalisasi bersama-sama dengan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk menegakkan hukum.
50
http://news.okezone.com/read/2012/03/16/337/594258/atasi-terorisme-pbnu%20gandeng-pemerintah-jerman di akses 12 Januari 2014 51 http://news.liputan6.com/read/288825/pemerintah-bentuk-badan-penanggulanganterorisme di akses 12 Januari 2014
49
B. Kebijakan Penanganan Terorisme Oleh Densus 88 dalam Perspektif Fiqh Siyasah Secara etimologis, tindakan teror disebut dengan irhab, orangnya disebut irhabiy (teroris), sedangkan pahamnya disebut irhabiyyah (terorisme). Salah satu makna “teroris” dapat diambil dalam Al-Qur’an, seperti tersebut dalam ayat berikut:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan (tarhib) musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Al-Anfal :60). Dalam ayat ini konteksnya sangat jelas, yaitu perintah kepada kaum muslimin agar mempersiapkan diri dengan segala bentuk kekuatan, seperti akidah, ibadah, muamalah, sampai militer untuk membuat rasa takut (teror) kepada para musuh Islam supaya mereka tidak berlaku zhalim atas umat Islam dimanapun mereka berada. Apabila terorisme dilihat dari konteks tindak pidana, sebagaimana dalam fatwa MUI, maka terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah dalam khazanah fikih Islam. Para fukaha mendefinisikan al-muharib (pelaku hirabah) dengan “orang-orang yang mengangkat senjata melawan
50
orang banyak dan menakut-nakuti mereka (menimbulkan rasa takut dikalangan masyarakat.
52
Di dalam syari’at Islam hal itu termasuk bagian
kecil dari kejahatan hudud hirabah, yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacuan di masyarakat sehingga mengganggu ketentraman umum. Di dalam pengertian ini akan mencakup tindak pidana membuat kerusuhan, menghasut orang lain agar melakukan tindakan kekerasan, provokator, aktor intelektual, koruptor kakap yang menggoncang perekonomian nasional, dan tentunya pelaku peledakan bom.53 Ahmad
Al-Mursi
Husain
Jauhar
dalam
bukunya
“Maqashid
Syari’ah”berpendapat bahwa tindakan teroris ini bisa dianalogikan kepada kelompok pelaku hirabah yaitu keluarnya sekelompok orang atau seseorang yang memiliki kekuatan menuju jalanan umum dengan tujuan untuk menghalangi perjalanan, merampas harta, menganiaya jiwa dan nyawa, atau menakut-nakuti orang-orang yang ada dalam perjalanan tersebut, dengan mengandalkan kekuatan.54 Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Dr. Asmawi, M.Ag dalam bukunya yang berjudul Teori Maslahat dan Relevansi Dengan PerundangUndangan Pidana Khusus di Indonesia yang berbunyi. Secara normativedoktriner. Tindak pidana hirabah kemungkinan wujudnya itu ada 4 (empat) Tipe 1. Wujudnya berupa melakukan tindakan dengan kekerasan atau 52
Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme ZA Maulani, Terorisme Konspirasi Anti-Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hal. 166-168 53
54
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Penj: Khikmawati ( Kuwais ), Judul
Asli:Maqashid al-Syari’ah Fi al-Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet, Ke-1, Hal. 199
51
ancaman kekerasan (mugalabahi) yang hanya menimbulkan suasana teror atau rasa takut pada korban (ikhfat al-marrahlal al-sabil) dan ini dipidana dengan pidana pengasingan atau pidana penjara. Tipe 2. Wujudnya berupa melakukan tindakan-tindakan dengan kekerasan atau ancaman kekarasan (mugalabah) yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut dan terampasnya harta benda korban (akhdz al-amwal) dan ini dipidana anputasi tangan dan kaki secara bersilang. Tipe 3. Wujudnya berupa melakukan tindakan dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut dan tewasnya korban dan ini dipidana dengan pidana mati. Tipe 4. Wujudnya berupa melakukan tindakan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut serta menimbulkan kerusakan atau kehancuran sarana dan lingkungan55 Di Indonesia sendiri, perbuatan tindakan teror sudah ada sejak zaman pemerintahan ini berdiri. Kata terorisme sendiri mulai populer di Indonesia sejak terjadi peristiwa Bom Bali I
pada tanggal 12 Oktober 2002 yang
menyebabkan banyaknya korban tewas baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian pemerintah dalam rangka memberikan rasa aman serta menjaga kedaulatan Republik Indonesia maka Pemerintah membuat PERPU No 1 Tahun 2002 Junto UU No. 1 Tahun 2002 Junto UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
55
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansi Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di IndonesiaI (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), Hal. 232-233
52
Untuk mengimplementasikan sebuah peraturan maka harus adanya sebuah lembaga untuk menjalankan Undang-undang tersebut maka dengan ini pemerintah mengambil suatu langkah kebijakan yaitu dengan membentuknya Data Semen Khusus 88 (Densus 88). Dalam kaidah fiqh yang berbunyi:
ُ صد ِ سائِ ُل ُح ْك ُن اْل َوقَا َ ِل ْل َى Kaidah fiqh ini menjelaskan bahwa segala bentuk perbuatan mukallaf yang memiliki maqasid atau tujuan maka diperlukannya suatu jalan atau wasail untuk tercapainya suatu tujuan tersebut. Untuk tercapainya maqasid atau tujuan pemerintah Indonesia dalam menjaga kemaslahatan umat dari adanya ancaman terorisme maka diperlukannya suatu jalan atau kebijakan untuk menangkal serangan terorisme tersebut dengan membentuk Densus 88. Melihat dari latar belakang dibentuknya Densus 88 dalam memerangi terorisme yang marak di Indonesia adalah wujud pemerintah dalam rangka memberikan rasa aman dan nyaman terhadap tindakan teror yang meresahkan warga. Dalam teori fiqh siyasah yang dikatakan Ibn al-Qayyim bahwa siyasah syar’iyyah adalah siyasah yang mengacu pada syara’. Dalam mekanisme pengendalian dan pengarahan kehidupan umat, terkait keharusan moral dan politis untuk senantiasa mewujudkan keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan kenikmatan.56
56
A. Djazuli, Fiqih Siyasah : Implementasi Kemaslahatan umat dalam Rambu-rambu syari’at, (Jakarta: Kencana Media Group, 2003), hal. 9
53
Selain itu, dalam objek fiqh siyasah menurut Abdurrahman Taj, adalah seluruh perbuatan mukallaf dan hal ihwal yang berkaitan dengan tata cara pengaturan masyarakat dan negara sesuai dengan jiwa dan tujuan syariat, kendatipun hal yang diatur itu tidak pernah disinggung baik dalam Al-Qur’an maupun As-sunah. Dengan kata lain, objek studi fiqh siyasah adalah berbagai aspek perbuatan mukallaf
sebagai subyek hukum yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diatur berdasarkan ketentuan yang tidak bertentangan dengan nash syariat yang bersifat universal. Senada dengan pendapat diatas, Abdul Wahab Khallaf menyatakan, objek studi fiqh siyasah adalah berbagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatur negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna merealisasikan kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi berbagai kebutuhan hidup.57 Oleh
karena
itu,
pemerintahan
Indonesia
demi
terwujudnya
kemaslahatan umat serta terjaminnya rasa aman bagi masyarakat mengambil langkah kebijakan untuk memberantas terorisme dengan membentuk Datasemen Satuan Khusus 88 POLRI yang bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, serta penahan terhadap seseorang yang diduga sebagai terorisme di Indonesia. Adapun pembentukan Densus 88 dalam kajian fiqih siyasah dapat dilihat dalam kaidah fiqh siyasah yakni
57
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 16
54
ِ علَى َج ْل َ دَر ُء اْل َوفَا ِس ِد ُهقَدَّم َ ب ال َو ِصا ِلح (Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan) Melihat tujuan Densus 88 yang dibentuk untuk menangkal gerakan terorisme di Indonesia yakni untuk menolak segala macam kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan terorisme. Maka, adanya Densus 88 dalam menangkal perbuatan kerusakan sangat diperlukan oleh masyarakat luas demi terhindarnya Indonesia dari kerusakan yang dibuat oleh terorisme. Namun, dewasa ini penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 sering kali tidak sesuai dengan prinsip serta kaidah Islam. Hal yang paling disoroti adalah penembakan yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang terduga teroris, serta adanya kekerasan yang dilakukan oleh anggota Densus 88 dalam melakukan penangkapan. Seperti yang terjadi di Poso pada 3 November 2012, seorang terduga teroris bernama Kholid ditembak mati usai melaksanakan shalat subuh. Hal ini membuat Komnas HAM mencurigai bahwa penembakan Kholid yang dilakukan Densus 88 terkesan telah direncanakan. Padahal Kholid sendiri tercatat sebagai pegawai negeri sipil yang bekerja di Kemenhut, setiap hari dia masih bekerja. Sehingga tidak ada alasan untuk menembak mati Kholid setelah usai shalat subuh dan pada saat ditangkap Kholid pun tidak melakukan perlawanan.58 Islam sebagai agama yang sangat menghargai hak hidup menentang keras tindakan pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya proses pengadilan yang adil. Tindakan 58
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/04/15/24009/komnas-ham-kholidditembak-tanpa-perlawanan-dan-terkesan-dipersiapkan/ di akses 15 Mei 2015
55
pembunuhan sangat dilarang oleh Allah SWT sebagaiman termaktub dalam ayat suci Al-Qur’an: 1. Qs.17 Al-Israa 33 (Qs. 17 Al-Israa 33)
“ Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu alasan yang benar”. 2. Qs. 06 Al-An’am 151 (Qs. 06 Al-An’am 151)
“ Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu alasan yang benar”. Islam sangat menjamin hak seseorang untuk hidup, tidak dibolehkan seorang anak Adam untuk membunuh satu sama lain kecuali, dengan suatu alasan yang dapat dibenarkan oleh sebuah perkara. Masalah balasan bagi suatu pembunuhan atau kejahatan lainnya harus diputuskan oleh suatu pengadilan hukum yang berkompoten serta memiliki wewenang yang mutlak tanpa adanya justifikasi terlebih dahulu. Kemudian, dalam menetapkan hukum seseorang baik dalam hal penangkapan seseorang yang disertai penahanan hendaklah memenuhi semua
56
bukti-bukti yang cukup serta dengan penuh rasa keadilan. Sebagaimana dalam ayat suci Al-Qur’an: (Qs. 4 An-nisaa 58)
“……dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya menetapkan dengan adil”. Islam telah menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dipenjarakan kecuali dia telah dinyatakan bersalah dalam suatu pengadilan hukum terbuka. Tak ada seorang pun yang dapat ditahan tanpa melalui proses hukum yang telah ditentukan. Hal ini dikisahkan sebagaimana Rasulullah melepaskan seseorang yang ditahan namun tanpa bisa dijelaskan maka orang tersebut dilepaskan, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasul “Wahai Rasulullah, atas kejahatan apakah tetanggaku ini telah ditahan?” Rasululllah hanya mendengar pertannyaan itu dan meneruskan ceramahnya. Orang itu berdiri kembali dan menanyakan hal yang sama. Rasulullah SAW tidak menjawab lagi dan meneruskan kembali pidatonya. Orang itu berdiri lagi dan mengulangi pertanyaan untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya Rasulullah memerintahkan untuk melepaskan tetangga orang itu. Alasan mengapa Rasulullah hanya tetap diam ketika pertanyaan itu diulang dua kali sebelumnya adalah karena pada waktu itu juga hadir petugas polisi di dalam masjid, dan seandainya terdapata alasan yang tepat atas penangkapan atas orang ini, maka polisi itu pasti berdiri menjelaskan posisinya. Dan karena dia tidak memberikan alasan apapun atas penangkapan itu pada pengadilan
57
terbuka, maka cukuplah bagi Rasulullah untuk membebaskan orang ditangkap itu.59 Ancaman pergerakan terorisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) kian terlihat bahkan dengan terang-terangan OPM menantang Densus 88, namun Densus 88 seperti tidak mengambil langkah kebijakan untuk menindak pergerakan OPM. Sebagaimana diketahui, kelompok OPM merupakan gerakan separatis yang menimbulkan ancaman bagi masyarakat Indonesia bahkan, kelompok ini menginginkan agar Papua merdeka. Aboebakar Alhabsy selaku anggota komisi III DPR menyatakan bahwa, sikap Densus 88 yang diam menanggapi ancaman terbuka gerakan teroris Organisasi Papua Merdeka dinilai menggunakan standar ganda dalam menangani terorisme di Indonesia. Hal ini seharusnya ditanggapi secara serius oleh Densus 88.60 Dalam kaidah fiqh yang berbunyi:
اجب ِ اجب ِإلَ ِب ِه فَ ُه َى َو ِ َها َل َي ِت ُن اْ َلى Penjelasan kaidah ini adalah segala perkara yang menjadikan suatu amal kewajiban tak dapat dikerjakan sama sekali atau bisa dikerjakan namun tidak sempurna kecuali dengan juga mengerjakan perkara tersebut, maka perkara tersebut yang asalnya tidak wajib, dihukumi wajib pula. Dalam rangka memenuhi segala kewajiban Densus 88 untuk menjaga keamanan serta kemaslahatan masyarakat Indonesia maka tidak ada alasan bagi Densus 88 untuk tidak menanggulangani tindakan teror yang dilakukan 59
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Hal.66 60 http://satunusanews.com/2015/05/hadapi-opm-densus-88-gunakan-standar-gandaterorisme/ diakses 17 Desember 2015
58
oleh kelompok OPM. Hal ini sebagai salah satu bentuk penyempurnaan tugas yang diemban oleh Densus 88 sebagai penanganan tindak teror yang ada di Indonesia. Dalam perumusannya, hukum Islam mempunyai tujuan utama yaitu untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok (maqāşhid asysyarīah) yaitu:perlindungan terhadap agama (hifz-ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz-an-nafs), perlindungan terhadap akal (hifz al-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifz-an-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifz-al-mal).61 Tindakan teror jelas merupakan perlawanan terhadap unsur pokok yang kedua dan kelima; hifz an-nafs dan hifz al-māl. Tindak terorisme ini bukan merupakan kejahatan biasa karena dampak yang ditimbulkannya sungguh sangat merusak yakni dapat meninmbulkan suasana teror, ketakutan amat sangat secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang, mengakibatkan kerusakan terhadap obyek-obyek vital dan strategis seperti lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas Internasional. Dalam objek kajian fiqh siyasah, sebagaimana suyuti pulungan rangkum dari beberapa pendapat ulama:62 1.
Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
2.
Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
61
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),Hal.60-63. 62 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Rajawali, 1994), Hal.28
59
3.
Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan Negara
Dalam menjaga kemaslahatan umat maka perlu adanya tindakan Densus 88 untuk menindak lanjuti tindakan teror yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka agar tidak menyebabkan rasa takut yang terjadi di masyarakat. C. Penanganan Terorisme Oleh Densus 88 dalam Perspektif HAM Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.63 Hak-hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia sudah melekat pada pengertian hak-hak manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus dipahami dan dimengerti secara universal.64 HAM mencakup pengertian yang luas, yaitu melingkupi hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial budaya. Selain itu, HAM juga melampaui batas-batas negara, agama, dan jenis kelamin (gender). HAM karenanya, merupakan sebuah konsep universal yang tidak terbatas kepada warga negara yang terikat dalam suautu negara tertentu. HAM merefleksikan sebuah konsep hak-hak fundamental yang dapat diklaim oleh semua manusia, dimanapun
63
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal.73 64
60
mereka berada.65 Prinsip fundamental keadilan adalah pengakuan bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, dengan hak-hak dan kewajban fundamental yang sama, tanpa dibeda-bedakan atas jenis jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, atau status sosialnya dan sebagainya.66 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara yang berdasarkan hukum mewajibkan semua tindakan negara dan pemerintah senantiasa didasarkan pada asas-asas dan aturan hukum tertentu baik yang tertulis mauupun tak tertulis. Oleh karena itu, makna inti dari prinsip ini adalah bahwa semua tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk seluruh tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik.67 Hadirnya Densus 88 di negeri ini tidak lah begitu saja tercipta, melalui peristiwa Bom Bali I yang menjadi tonggak awal lahirnya Densus 88 di Indonesia. Walaupun telah terbentuknya Densus 88 hal ini tidak mematikan pergerakan terorisme di Indonesia. Bahkan kasus rentetan terorisme di Indonesia cenderung meningkat. Dalam melaksanakan tugasnya maka tidak jarang terjadi baku tembak antara Densus 88 dan terduga terorisme yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari pihak terduga terorisme. Hal ini lah yang memicu pro dan kontra
65
Sukron Kamil dkk, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: CSRC, 2007), hal.2 66 A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal.73 67 Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), Hal.204
61
yang terjadi di kalangan masyarakat dalam rangka pemberantasan terorisme di Indonesia. Sebagian kalangan mengatakan apa yang dilakukan Densus 88 telah melanggar asas hukum dan melanggar HAM bahkan terdengar pula suara-suara sumbang yang meneriaki agar Densus 88 segera dibubarkan. Hal ini pernah diutarakan Din Syamsudin bahwa Densus 88 harus dievaluasi, bahkan bila perlu dibubarkan dan diganti dengan lembaga lain melalui pendekatan baru bersama-sama untuk memberantas terorisme 68 Akan tetapi tidak sedikit pula yang menolak dibubarkannya Densus 88 bahkan sebagian kalangan menilai dengan adanya Densus 88 membuat rasa aman. Hal ini pernah diucapkan oleh gubernur bali I Made Mangku Pastika yang merupakan pula sebagai mantan ketua tim investigasi pada saat bom Bali bahwa dia tidak setuju dibubarkanya
Densus 88 dia beranggapan bahwa
Indonesia masih membutuhkan Densus 88.69 Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang di kalangan masyarakat penulis mencoba mengkaji antara tugas dan wewenang Densus 88, rangkaian kejadian dan dari sudut pandang HAM. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam rangka memberantas terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 terkesan bahwa pemerintahan Indonesia lebih mendekatkan pada sisi tindakan represif, legal dan formal. Tindakan legal dan
68
http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/28/1/134643/DinSyamsuddin-Minta-Densus-88-Dibubarkan di akses 25 Februari 2015 69 http://regional.kompas.com/read/2013/03/16/13532870/Gubernur.Bali.Tak.Setuju.Dens us.88.Dibubarkan?utm_source=news&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related& di akses 25 Februari 2015
62
formal dibutuhkan akan tetapi tindakan represif yang dilakukan Densus 88 patut ditinjau ulang. Hal ini justru dengan adanya tindakan represif terorisme tumbuh subur di Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, Densus 88 patut mengutamakan asas hukum praduga tak bersalah kepada seluruh terduga terorisme karena hal ini berkaitan langsung dengan hak asasi seseorang, yang mana setiap warga negara Indonesia dijamin hak asasinya dalam UUD 1945 terutama hak hidupnya. Dalam pasal 28 A UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.70 Dalam pasal 6 Undang-undang Hak-Hak Sipil dan Politik Nomor 12 Tahun 2005 menyebutkan “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.71 Bahkan walau terduga terorisme itu bukan warga Negara Indonesia, hak hidup seseorang tersebut patut dijamin oleh Negara Indonesia sebagaimana dalam pasal 3 Deklarasi Universal HAM yang berbunyi: “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.72 Prosedur tembak di tempat yang menyebabkan hilangnya nyawa terduga terorisme wajiblah diperhitungkan secara detail sehingga menghindari tindakan yang sewenang-wenang dan berada di luar prosedur yang telah ditetapkan, baik dalam undang-undang maupun peraturan lainnya. Walaupun 70
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 72 Pasal 3 Deklarasi Universal HAM 71
63
terorisme
termasuk
dalam
extraordinary
crime,
namun
dalam
pemberantasannya Densus 88 patut mengedepankan asas praduga tak bersalah. Penangkapan terduga terorisme yang terjadi di daerah Ciputat seolah melihatkan drama penyergapan Densus 88 kepada terduga terorisme yang mana memperlihatkan bahwa Densus 88 tak mampu menangkap para terduga terorisme dengan cara hidup-hidup, padahal pengintaian tersebut sudah terjadi berhari-hari, bahkan seorang warga bernama Imansyah (49 tahun) mengatakan bahwa dari hari senin atau satu hari sebelum penyergapan sudah terlihat mobil polisi yang sering mondar-mandir di perkampungan. Pada saat penangkapan Densus 88 justru membombardir tempat para terduga terorisme tersebut dengan dalih adanya perlawanan dari para terduga terorisme yang menyebabkan hilangnya nyawa para terduga teroris. Sebagai satuan polisi yang terlatih Densus 88 sejatinya memiliki kemampuan untuk melumpuhkannya saja tanpa menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.73
73
Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
64
Dalam undang-undang ini sangat jelas artinya Densus 88 tidak boleh menjustifikasi terduga seorang terorisme terlebih sampai membunuhnya sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu persidangan dan adanya putusan dari pengadilan yang menyatakan orang tersebut bersalah. Oleh karena itu, prosedur tembak di tempat yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang terduga teroris sebagaimana kasus di atas, tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah yang berdampak pada hak hidup terduga teroris, terlepas dari adanya perlawanan dari para terduga ketika hendak ditangkap. Densus 88 dapat menangkapnya secara hidup-hidup dengan upaya apapun sehingga tidak menyebabkan meninggal. Selain itu, kekerasan yang kerap kali terjadi dalam proses penangkapan tidak diperbolehkan terjadi, karena kekerasan yang menyebabkan luka atau kesakitan melanggar peraturan yang telah ditetapkan undang-undang maupun peraturan lainnya. Hal ini pun ditegaskan dalam KUHAP bahwa seseorang yang ditangkap memiliki: Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selama penangkapan, penahan maupun selama menjadi pidana atas dirinya.74 Kemudian, hal ini diperkuat oleh Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Sebagaimana dalam pasal 1 yang dimaksud penyiksaan adalah “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan 74
Hak-hak tersebut tercakup dalam pasal 52-68 KUHP
65
sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.75 Maka dari itu, Densus 88 patut menghindari bentuk kekerasan apapun yang menyebabkan terlukanya atau sakit terhadap tersangka baik dalam penangkapan maupun selama proses penyidikan berlangsung. Kasus salah tangkap serta adanya penyiksaan yang dialami Kadir warga Solo berlawanan dengan hukum. Densus 88 merupakan Satuan Khusus yang dilatih sangat profesional, apabila Densus 88 melakukan kesalahan dalam melakukan
operasi
penumpasan
terorisme
maka
Densus
88
untuk
merehabilitasi nama terduga teroris tersebut. Berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan sebagaimana diatur di dalam KUHAP pasal 95 “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
75
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
66
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.76 Artinya seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili dikenakan tindakan lain, tanpa adanya alasan yang berdasarkan undangundang atau adanya kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan maka orang tersebut berhak mendapatkan ganti rugi serta rehabilitasi namanya. Dengan kata lain Densus 88 wajib melakukan ini sebagaimana dalam undang-undang tersebut.
76
Pasal 95 KUHAP
67
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari pembahasan skripsi ini dapat dirumuskan tiga kesimpulan sebagai berikut: 1. Penanganan terorisme di Indonesia mulai gencar dilakukan pasca terjadi ledakan Bom Bali I. Pada saat itu pemerintah langsung menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2001 dan disusul dibentuknya Densus 88. Selanjutnya pemerintah pun terus melakukan kebijakan-kebijakan lain dalam menangani terorisme antara lain: membentuk BNPT, bekerja sama dengan negara lain, serta ada nya jalinan kerjasama antar lembaga negara yang dikoordinasi oleh kementrian hukum dan HAM. Dalam praktiknya penanganan terorisme di Indonesia sendiri masih cenderung menggunakan tindakan represif. Hal ini dilihat dari tidak sedikit para terduga teroris yang terbunuh pada saat penangkapan. 2. Dalam tinjauan fiqh sisayah keberadaan Densus 88 sendiri sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan tujuan
fiqh siyasah bahwa suatu
negara wajib memberikan rasa aman dari gangguan dari upaya ancaman kerusakan serta kemaslahatan bagi umat. Penanganan terorisme oleh Densus 88 tidak menggunakan asas-asas yang belaku dalam Islam, karena tidak dibenarkan seseorang yang
68
menjadi terduga teroris
dijustifikasi
sendiri
tanpa
adanya
proses
pengadilan
sehingga
menyebabkan meninggal atau terlukanya seorang terduga teroris. Dalam menjaga kemaslahatann umat Densus 88 masih menggunakan standar ganda dalam menindak lanjuti tindakan teror yang ada di Indonesia. 3. Penanganan
terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 masih ada
pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 dalam rangka kebijakan penumpasan terorisme di Indonesia. Penggunaan tindakan yang masih menggunakan dengan cara represif dalam menangani beberapa kasus serta adanya tembak di tempat yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang terduga teroris, yang belum tentu korban tembak tersebut merupakan jaringan terorisme. HAM sangat menghargai nyawa seseorang sehingga tidak ada satupun orang yang bisa mengambil nyawa seseorang tanpa alasan yang cukup dan dapat dpertanggungjawabkan secara hukum.
69
B. Saran Untuk mengambil manfaat dari skripsi ini, maka penyusun memberikan beberapa saran khususnya bagi pemerintah dan umumnya bagi masyarakat dalam penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 sebagai berikut:
1. Dalam melakukan kebijakan operasi penumpasan teroris yang dilakukan Densus 88 harus menjunjung tinggi HAM, terlepas dari tujuan lain yang menyebabkan Densus 88 harus menembak mati para terduga teroris. Namun, Densus 88 seharusnya memiliki peran sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga dalam menjalankan tugasnya dalam rangka menumpas kejahatan terorisme, tetap menghargai hukum serta menjunjung asas praduga tak bersalah serta menghormati hak asasi manusia dan tidak adanya bentuk diskriminatif dalam menindak lanjuti tindakan teror yang ada di Indonesia. Sehingga, Densus 88 dapat menjadi contoh yang baik dalam menegakkan hukum serta akan lebih dihargai oleh masyarakat luas dalam menjalankan tugasnya. 2. Dalam penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 hendaknya dilakukan dengan cara lebih professional, bukan dengan cara kekerasan. Seharusnya Densus 88 tidak membalas aksi teror dengan cara-cara teror yang serupa. Dahulukan cara pendekatan terhadap tersangka terorisme. Serta libatkan ulama dalam menangkal ajaran atau paham radikalisme yang salah dikalangan masyarakat
70
terutama kelompok-kelompok yang mengatasnamakan bahwa aksi bom bunuh diri di tengah lingkungan masyarakat adalah bentuk jihad fi sabilillah. 3. Peran masyarakat dibutuhkan dalam menangani terorisme. Diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat agart turut serta membantu dan memberikan dukungan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka menjaga keamanan dan kenyamanan wilayah NKRI dari ancaman dan gangguan dari segala bentuk teror di Indonesia.
71
DAFTAR PUSTAKA Buku: Aibak, Kutbuddin, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Al-Qur’anul Karim, Kementrian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Tahun 2012 Al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad, Maqashid Syari’ah, Penj: Khikmawati ( Kuwais ), Judul Asli:Maqashid al-Syari’ah Fi al-Islam, Jakarta: Amzah, 2009 Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansi Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di IndonesiaI Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010 Djazuli, A, Fiqih Siyasah : Implementasi Kemaslahatan umat dalam Ramburambu syari’at, Jakarta: Kencana Media Group, 2003 Djelantik, Sukawarsini,
Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media,
Kemiskinan,dan Keamanan Nasional, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2010 Fatwa, A.M, Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, Jakarta: PT Mizan Publika, 2006 Golose, Petrus Reinhard, Derasdikalisasi Terorisme Humanis, Soul Aproach dan Menyentuh Akar Rumput, Jakarta: YPKIK, 2009 Hadiwinata, Bob Sugeng, Hakikat dan Dinamika Konflik Domestik di Negara Berkembang dalam Global, Jurnal Politik Internasional, Volume II No.8 Juni 2001
72
Harris, Peter dan Ben Rielly (ed), Demokrasi dan Konflik yang mengakar: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, Depok: Amerro,2002 Hendropriyono, A.M, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Kompas, 2009 Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Manullang, A.C, Terorisme & Perang Intelejen Dugaan Tanpa Bukti, Jakarta: Manna Zaitun, 2006 Mardenis, Pemberantasan Korupsi Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011) Kamil, Sukron dkk, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, Jakarta: CSRC, 2007 Nasution, Aulia Rosa, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012 Pribadi, Abdurrahman & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, Jakarta: Abdika Press, 2009 Priatmodjo, Galih, Densus 88 The Under Cover Squad:Mengungkap kesatuan Elite “Pasukan Hantu” Anti Teror, Yogyakarta: Narasi, 2010 Purwanto, Wawan H, Terorisme Under Cover Memberantas Terorisme Hingga Ke Akar-Akarnya, Mungkinkah?, (Jakarta:CMB Press,2007) Setiardja, A. Gunawan, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993
73
Sibuea, Harris.Y.P, Keberadaan Datasemen Khusus (DENSUS) 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Info Singkat Hukum, Vol.V,No.10/II/P3DI/Mei/2013 Sulistyo, Hermawan, dkk, Beyond Terrorism Dampak dan Strategi Pada Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2002 Suyuti Pulungan, J, Fiqh Siyasah, Jakarta: Rajawali, 1994 Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008 Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008 Wahid, Abdul, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Bandung: PT Refika Aditama, 2004 Wibowo, Ari, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam penanggulanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012 ZA.Maulani,dkk, Terorisme Konspirasi Anti-Islam, Jakarta: Pustaka AlKautsar,2000 Undang-Undang: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI
74
Deklarasi Universal HAM KUHP INTERNET:
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313777T31325Disengagement%20strategi.p df di akses 30 september 2014 http://eprints.undip.ac.id/38355/3/BAB_2.pdf di akses 30 september 2014 http://kriyolaksonopangga.blogspot.com/2011/05/pengaruhterorisme.html di akses 13 Oktober 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_%28Anti_Teror%29 di akses tanggal 4 Januari 2015 http://nasional.kompas.com/read/2014/01/01/1445421/Ini.Kronologi.Penyerga pan.Terduga.Teroris.di.Ciputat di akses 2 Desember 2014 http://www.arrahmah.com/news/2013/08/19/densus-88-salah-tangkap-kalimenimpa-iwan-tasikmalaya.html diakses 14 april 2015 http://www.tribunnews.com/regional/2014/05/16/diduga-korban-salahtangkap-densus-88-warga-jebres-solo-sekap-dan-disiksa di akses April 2014 http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/28/1/134643/DinSyamsuddin-Minta-Densus-88-Dibubarkan di akses 25 Februari 2015 http://regional.kompas.com/read/2013/03/16/13532870/Gubernur.Bali.Tak.Set uju.Densus.88.Dibubarkan?utm_source=news&utm_medium=bpkompas&utm_campaign=related& di akses 25 Februari 2015 file:///C:/Users/HP/Downloads/9846-18043-1-SM%20(1).pdf di akses 10 Januari 2014 http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=25&l=id di akses 12 Januari 2015 http://preview.detik.com/detiknews/read/2010/07/21/230715/1404209/10/ri%20pakistan-jalin-kerjasama-pemberantasan-terorisme di akses 10 Januari 2015 http://erabaru.net/detailpost_ars/133-nasional/27850-menlu-sampaikan-empat%20pemikiran-pemberantasan-terorisme-di-pbb diakses 12 Januari 2015
75
http://news.okezone.com/read/2012/03/16/337/594258/atasi-terorisme-pbnu%20gandeng-pemerintah-jerman di akses 12 Januari 2014 http://news.liputan6.com/read/288825/pemerintah-bentuk-badanpenanggulangan-terorisme di akses 12 Januari 201 http://www. \\voa-islam.com/read/indonesiana/2013/04/15/24009/komnas-hamkholid-ditembak-tanpa-perlawanan-dan-terkesan-dipersiapkan/ di akses 15 Mei 2015
76