BAB I 1.1 LATAR BELAKANG Negara yang berdaulat adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia dalam konstitusinya. Suatu negara tanpa supremasi hukum dan hak asasi manusia adalah negara yang berdasarkan atas kekuasaan dan kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terdapat di dalam landasan dasar negara Indonesia (staatfundamentalnorm) yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) tepatnya pada Pasal 27 (1) dimana setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Adapun unsur-unsur rechsstaat menurut Scheltema antara lain: 1) kepastian hukum; 2) persamaan; 3) demokrasi; dan 4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum.1 Adanya instrumen perundang-undangan yang menjunjung tinggi HAM serta adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law) maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk kewajiban untuk
1
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 47.
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik utama yang melekat pada konsep negara hukum.2 Hukum di ciptakan untuk suatu tujuan yang mulia, yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat agar tercipta suatu keselarasan, keadilan, ketertiban, dan keamanan yang berujung pada kesejahteraan. Namun, pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Terhadap penyimpangan hukum tersebut tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan hukum acara yang berlaku dan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam penerapannya. Hukum pada hakekatnya adalah perlindungan kepentingan manusia, yang merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak.3 Hal tersebut merupakan ungkapan yang pas hendaknya diberikan bagi keberlakuan hukum di belahan dunia manapun di bumi ini, disatu sisi mengatur mengenai larangan seseorang untuk melakukan sesuatu yang menurut masyarakat tersebut terlarang, di satu sisi membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu bahkan menjaminnya dengan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Pergolakan dua sisi yang saling bertentangan ini seolah tidak pernah ada habisnya, sepanjang manusia masih dapat
hidup
dan
berpikir
untuk
memenuhi
kesejahteraannya,
menjamin
2
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1. 3
Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 107.
keselamatannya juga mempertahankan populasinya. Hukum menghendaki stabilitas dan keadilan dan dalam suatu tata hukum masyarakat yang bebas, yang di dalamnya orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara yang mandiri.4 Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada dasarnya berlaku dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketenteraman dan ketertiban. Menurut Mohchtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip Samidjo dan A. Sahal, menyatakan: „Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asasnya yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat‟.5 Menurut John Locke manusia itu sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan dan hak-hak asasi. Hak asasi itu ialah: hak kehidupan, kemerdekaan, kesehatan dan harta milik, hal ini dijumpai pada manusia dalam keadaan alami dan hak asasi manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, terkecuali oleh pemiliknya. Adapun pendapat John Locke (terjemahan bebasnya) yakni: „Negara secara alamiah diatur oleh hukum alam yang harus dipatuhi setiap orang sebagai hukum, memberi arahan dalam kehidupan manusia dimana setiap orang mempunyai kebebasan dan
4
B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 68. 5
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakarya, Jakarta, h. 32.
persamaan, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan, kemerdekaan atau memenjarakan yang lain‟.6 Berdasarkan hal tersebut, menurut John Locke, tujuan negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia. Eratnya hubungan manusia dalam hal ini masyarakat dengan hukum melahirkan prinsip ubi societas ibi ius.7 Negara
dalam
proses
untuk
mencapai
tujuannya
yakni
menjamin
terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia sering kali mendapati masalahmasalah yang umumnya dihadapi oleh negara-negara manapun di belahan dunia ini, diantaranya kesenjangan sosial, kemiskinan, pencemaran lingkungan, kejahatan konvensional maupun internasional, korupsi serta gejala-gejala sosial lain yang berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rakyat yang hidup dalam negara tersebut. Permasalahan yang paling mendasar dan substansial yang terjadi di Indonesia sekarang adalah masalah korupsi yang merupakan penyakit sosial yang sangat akut dan sangat menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan terutama pada suatu negara yang sedang berkembang, dimana penegakan hukumnya masih lemah. Korupsi adalah kejahatan pokok yang sangat berbahaya dan susah untuk diberantas karena sering kali melibatkan oknum pejabat-pejabat penting di dalamnya serta melintasi berbagai sektor profesi, terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan dan menggunakan 6
Bernard arief sidharta, Op.Cit., h. 65.
7
Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, h. 3.
alat-alat yang canggih guna menutupi jejak kejahatan korupsinya. Faktor tersedianya sumber daya alam yang memadai, faktor lingkungan, faktor budaya yang menyimpang dan faktor-faktor negatif lainnya seakan memperburuk dan membuat korupsi semakin merajalela di suatu negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia yang tingkat korupsinya belum berubah secara signifikan pasca era reformasi. Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya korupsi sebenarnya dapat dijelaskan oleh Teori GONE8 yang terdiri dari G yakni Greed yang berarti keserakahan dari pelaku korupsi yang ingin melanggengkan kekuasaan, disamping itu O yakni Opportunity berarti Kesempatan dimana sistem yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi ataupun adanya momentum dimana penegakan hukum lemah, alat-alat pendukung pengungkapan kejahatan kurang dan integritas penegak hukum yang lemah sehingga terciptalah kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya N yakni Neccessity yang berarti kebutuhan yang tak kunjung ada batasnya, Neccesity lebih ke arah mencari kepuasan. Adapun E yakni Exposure yang berarti pengungkapan dimana pengungkapan kasus korupsi terutama di Indonesia sangat kecil, selain dikarenakan ketiga hal diatas juga karena wilayah Indonesia yang luas dan terpisahpisah karena kontur pegunungan dan lautan disamping itu juga moral dari aparat penegak hukum.
8
I Ketut Mertha, 2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, Udayana University Press, Denpasar, h. 98.
Adapun menurut indeks korupsi dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-107 dari 175 negara terkorup di dunia. Posisi Indonesia jauh berada di bawah Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85). Untuk urusan korupsi, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos (145), serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik ketimbang Rusia (136), Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan sejumlah negara di Afrika.9 Oleh karenanya diperlukan suatu gebrakan atau terobosan baru dari aparat penegak hukum baik pada tingkat penuntutan dan persidangan dalam melakukan tindakan represif yang di dalamnya juga terdapat unsur preventif dan preemtif terhadap tindak pidana korupsi agar negara ini terhindar dari penghancuran secara sistematis serta masif terhadap aspek-aspek pembangunan yang potensial, untuk menanggulangi
kerugian
negara
itu
sendiri
akibat
perilaku
korup,
juga
menyelamatkan bangsa khususnya generasi muda dari dampak negatif yang dapat dicontoh oleh mereka. Indonesia sebagai peringkat ke-107 negara terkorup di dunia perlu berbenah diri dari segi hukuman konvensional seperti pidana penjara, denda, hingga pengembalian aset negara yang belum berdampak signifikan terhadap kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut juga belum mengakomodir rasa keadilan rakyat Indonesia yang telah di lukai oleh perilaku-perilaku korup oknum pejabat baik di pusat maupun di daerah, oleh karenanya diperlukan sanksi tambahan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi agar perilaku-perilaku korup 9
Ervan Hardoko, 2014, Indeks Korupsi Dunia: Denmark Terbersih, Indonesia Ke-107, terdapat pada http://internasional.kompas.com/read/2014/12/03/12444781/Indeks.Korupsi.Dunia.Denmark.Ter bersih.Indonesia.Ke-107, diakses pada tanggal 26 April 2015 pukul 2.16 Wita.
tersebut dapat ditekan seminimal mungkin dan nantinya hukuman tambahan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sejalan dengan proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia serta pengakuan dan penegakan hak asasi manusia, maka diperlukan langkah progresif dari aparat penegak hukum sebagai langkah preventif maupun represif agar para koruptor tidak melakukan tindak pidana korupsi lain yang baru dan menjadi jera melakukan korupsi. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi yang belakangan ini marak di jatuhkan oleh Majelis Hakim pada tingkat Banding dan Kasasi. Sebut saja terpidana kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah Lebak Banten di Mahkamah Konstitusi yakni Ratu Atut Chosiyah yang mana menyeret juga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, keduanya dicabut hak memilih dan dipilihnya. Pada kasus lain yakni, pengadaan kuota impor daging sapi oleh Luthfi Hasan Ishaaq oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dicabut hak memilih dan dipilihnya, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo pada tingkat banding yang dicabut hak memilih dan dipilihnya sehubungan dengan pengadaan alat simulator SIM (Surat Izin Mengemudi). Terhadap putusan-putusan tersebut seharusnya menjadi acuan bagi aparat penegak hukum pada tingkat Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan tingkat Banding pada setiap provinsi dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa tindak
pidana korupsi sebagai konsistensi dari solidnya aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi pada semua lini kehidupan. Pencabutan hak-hak tertentu memang di atur dalam beberapa pasal pada undang-undang yang berbeda, diantaranya yakni: Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas: a. Pidana Pokok: 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana Tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Selanjutnya Pasal 35 KUHP menegaskan: 1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. Hak memasuki angkatan bersenjata; 3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampun atau pengampun pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. Hak menjalankan mata pencarían tertentu.
Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) yakni: Pasal 18 ayat (1) Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah: a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyak dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana korupsi memang sedang hangat-hangatnya mendapat sorotan masyarakat, terlebih dari para pakar hukum yang menilai bahwa pencabutan hak memilih dan dipilih adalah merupakan suatu bentuk keadilan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan dicabutnya hak memilih dan dipilih terpidana kasus korupsi selain memberikan efek jera juga mengakomodir aspirasi rakyat selama ini yang sudah gerah akan keberadaan perilaku korup di negara ini. Faktanya, pencabutan hak memilih dan dipilih ini masih terganjal dengan pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia di satu sisi kejahatan korupsi merupakan suatu kejahatan yang digolongkan dengan extraordinary crime oleh karena korupsi telah merampas hak-hak asasi manusia orang banyak sehingga
dibutuhkan
extraordinary
measure
atau
tindakan
luar
biasa
dalam
penanggulangannya khususnya pada saat keadaan indonesia seperti sekarang ini yang segera membutuhkan tindakan yang tegas, cepat dan progresif. Tetapi di sisi lain hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang dapat dikurangi tetapi terdapat prosedur yang mesti dipatuhi oleh suatu negara yang mana diatur dalam UUD 1945 jo., Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang International Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya disebut UU ICCPR) jo., Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Extraordinary crime adalah istilah yang masih banyak penafsiran dan belum ada standarisasi yang baku, dalam artian, kejahatan seperti apa yang patut untuk dimasukkan dalam kategori extraordinary crime. Dengan tidak diberikannya ruang bagi extraordinary crime berupa kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka hal tersebut akan menumbuhkan kepercayaan kepada rakyat bahwa pemerintah memang konsekwen dan tegas terhadap perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dapat berujung pada stabilitas Ipoleksosbud (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya) serta Hankam (Pertahanan dan Keamanan) sehingga berdampak pada meningkatnya taraf hidup rakyat indonesia layaknya negara-negara maju di dunia. Pakar hukum pidana, Muladi mencoba mengemukakan beberapa dasar pemikiran pengelompokan sebuah kejahatan termasuk kategori extraordinary crime. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat kriminogen dan victimogen dan secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi
kepentingan, dari keamanan ketertiban, sistematis atau terorganisasi, mengancam stabilitas politik, masa depan pembangunan dan lain-lain. Beliau memberikan contoh korupsi yang termasuk dalam kategori extraordinary crime, karena potensial mengakibatkan kerugian dalam berbagai dimensi.10 Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Muladi, antara lain sebagai berikut: a. Ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat; b. Merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, bersifat diskriminatif dan etika dalam kompetisi bisnis yang jujur; c. Mencederai pembangunan berkelanjutan dan “the rule of law”. d. Kemungkinan keterkaitan antara korupsi dengan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk “Money Laundering” (tindak pidana korupsi merupakan “predícate crime” atau disebut juga kejahatan asal), terorisme, perdagangan manusia dan lain-lain; e. Tindak pidana korupsi yang besar (high level corruption) berpotensi merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah besar sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik; f. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat “transnational” dengan memberdayakan sarana-sarana canggih; g. Menimbulkan bahaya terhadap “human security”, termasuk dunia pendidikan, pelayanan pendidikan, fungsi-fungsi pelayanan sosial, dan lainlain; h. Merusak mental pejabat dan mereka yang bekerja dalam wilayah kepentingan umum.11 Perilaku korup dari para pejabat negara yang telah dipercaya dan dipilih oleh masyarakat untuk mengemban aspirasi rakyat jelas sangat mencederai dan melukai perasaan, kehidupan serta Hak Asasi Manusia dari seluruh rakyat Indonesia, dimana rakyat diambil haknya berupa dana dari negara yang serharusnya dialokasikan kepada rakyat guna menunjang agar tiap-tiap individu dalam Negara Kesatuan Republik 10
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out Court System, Gramata Publishing, Depok, h. 20. 11 Ibid., h. 21.
Indonesia dapat hidup sejahtera tetapi oleh koruptor kemudian diambil untuk kepentingannya sendiri. Bayangkan saja apabila hak memilih dan dipilih terpidana korupsi tersebut tidak di cabut, otomatis koruptor tersebut atau orang lain yang dipilihnya dapat terpilih kembali atau terpilih dan melakukan perbuatan korup yang sama atau bahkan lebih parah dikarenakan pelaku berpikiran sudah terlanjur akan terstigmatisasi. Hal ini tentunya akan mencederai demokrasi di negara kita dan berimbas pada runtuhnya falsafah hidup kita yakni Pancasila di sisi lain juga berdampak fatal, yakni menjadi contoh bagi generasi-generasi muda dikemudian hari. Sebenarnya di indonesia sudah ada lembaga super body atau lembaga yang maha kuat yang bertugas untuk menyadap, menyelidiki, menyidik, menuntut bahkan mengambil
alih
suatu
kasus
korupsi
apabila
menurut
penilaian
mereka
penanganannya berlarut-larut dan cenderung akan menimbulkan kasus korupsi baru. Lembaga tersebut adalah KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan KPK dapat berkoordinasi dengan Interpol atau penegak hukum internasional dalam rangka memberantas korupsi12, KPK juga dapat bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM atau lembaga pemerintah lain guna pencegahan tersangka keluar negeri13
12
13
Aziz Syamsuddin, 2011,Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 209.
Wahyu Satya Kuncahyo, 2015, Tiga Pejabat BBJ dicegah ke Luar Negeri, terdapat di: http://hukum.rmol.co/read/2015/03/11/194968/1/Tiga-Pejabat-BBJ-Dicegah-ke-Luar-Negeri, diakses tanggal 4 April 2015, pukul 3.18.
maupun seharusnya dalam rangka membekukan atau menuntut agar hak memilih dan dipilih seseorang tersangka atau terdakwa dicabut apalagi bagi terpidana guna melindungi rasa keadilan rakyat Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melakukan pendataan tentang praktik korupsi di Indonesia. Hasilnya, 50 persen kasus korupsi di Indonesia berbentuk penyuapan. Itu sebabnya mengapa KPK mengategorikan korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime). Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan ada tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional. "Koruptor Indonesia banyak mengirim uangnya ke negara lain," ujarnya kepada Republika di kantor PLN pusat, Kamis (23/2). Hasil pendataan KPK, kata Abdullah, 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Itu berarti orang terkaya di Singapura bukanlah orang Singapura, melainkan orang Indonesia. Oleh sebab itu juga Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.14 Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura, kata Abdullah, menjadi tempat nyaman untuk pelarian koruptor di Indonesia. Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya membutuhkan usaha ekstra keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi.15 Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. „sehingga Masalahnya apakah kita dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul hutang-hutan baru dari korupsi baru‟, kata Abdullah.16
14
Edwin Dwi Putranto, 2012, Inilah 3 Alasan Mengapa Korupsi di sebut Kejahatan Luar Biasa, terdapat pada: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3-alasanmengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa, diakses tanggal 27 Agustus 2015, pukul 22.10. 15 Ibid. 16
Ibid.
Pencabutan hak memilih dan dipilih pada perkara korupsi sangat gencar di lakukan pada saat penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini oleh karena disatu sisi pidana penjara dan denda seakan tidak berdampak signifikan terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin banyak terjadi di negara ini. Terobosan baru dalam hal pencabutan hak memilih dan dipilih tersebut diharapkan sedikit dapat mengurangi gencarnya perilaku korup elit politik dan diharapkan dapat memberikan rasa keadilan masyarakat, mengingat terdapat banyak kasus korupsi yang hak memilih dan dipilihnya tidak dicabut sehingga terpidana korupsi tetap dapat memperoleh suara bahkan terpilih sebagai calon legislatif, ada pula bahkan sedang menunggu untuk dilantik. Sungguh ironi di negara yang kaya seperti Indonesia rakyatnya masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan akibat dampak sistemik dari korupsi. Contoh kasus yakni Susno Duaji yang diusung oleh Partai Bulan Bintang untuk DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat I di nomor urut pertama.17 Sedangkan contoh lain yang sampai dilantik adalah kasus Bupati Boven Digoel-Papua dan Bupati Tomohon dimana pelaku sudah diputus bersalah namun masih menang dalam pemilihan kepala daerah.18
17
Hazliansyah, 2013, Putri Susno Duadji Gantikan Ayahnya Jadi Caleg, terdapat di: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/17/mmw8nf-putri-susno-duadji-gantikanayahnya-jadi-caleg, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37. 18
Sie/Aik/Why, 2011, Terdakwa Korupsi Dana APBD Tomohon Dilantik Jadi Wali Kota, terdapat di: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=8334&l=terdakwa-korupsi-dana-apbd-tomohondilantik-jadi-wali-kota, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37.
Terkait hal tersebut diatas, Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menunjukkan data di KPK hingga April 2014, sudah 74 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlibat kasus korupsi. Hal ini disampaikan untuk menunjukkan adanya kerawanan konflik kepentingan jika pimpinan KPK harus dipilih DPR. „Cukup banyak terdakwa yang berasal dari partai politik kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman,‟ kata Bambang di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 15 April 2015, lansir tempo.co. Bambang mengatakan jumlah politikus yang tersandung kasus korupsi ini diduga akan lebih besar lagi jika ditambah dari data penanganan kasus serupa oleh kepolisian dan kejaksaan. Kejahatan korupsi sendiri dinilai semakin masif, sistematis, dan terstruktur yang mengharuskan adanya lembaga antikorupsi independen. KPK juga mencatat total kepala lembaga atau kementerian yang terlibat korupsi ada 12 orang, duta besar 4 orang, komisioner 7 orang, gubernur 10 orang, wali kota atau bupati 35 orang, pejabat eselon 114 orang, hakim 10 orang, swasta 94 orang, dan lainnya 41 orang. Total seluruh terdakwa yang ditangani KPK yaitu 401 orang.19 Data mengenai jumlah politikus yang terlibat kasus korupsi juga terdapat data jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi yang tidak kalah fantastis, hal ini dikarenakan kelemahan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi indonesia yang hanya mengenakan maksimum pidana denda sebesar 1 (satu) milyar rupiah, sementara dampak sistemiknya masih luput dari jangkauan penghitungan hasil kerugian negara yang belum tercantum dalam undang-undang tersebut, hal ini terdapat pada: Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, merilis hasil analisis terhadap 1365 kasus korupsi yang sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. „Ada 1842 terdakwa koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman finansial Rp15,09 triliun,‟ kata Rimawan kepada media seusai diskusi diseminasi hasil
19
A.Z. Muttaqin, 2014, Hingga April 2014, Sudah 74 Anggota DPR Terlibat Korupsi, terdapat pada: http://www.arrahmah.com/news/2014/04/15/hingga-april-2014-sudah-74-anggota-dprkorupsi.html, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 6.45.
riset mengenai "Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA 2001-2012" di Yogyakarta, Senin, 4 Maret 2013. Namun, Rimawan juga menyodorkan data pembanding nilai denda finansial tadi dengan besaran jumlah nilai uang yang dikorupsi atau ia sebut biaya eksplisit korupsi, yakni Rp 168,19 triliun. Data itu jauh sekali dibandingkan dengan nilai denda finansial untuk koruptor yang hanya sebesar 8,9 persennya saja atau berarti negara kehilangan uang sebanyak Rp 153,1 triliun. Dia juga memperkirakan kerugian negara jauh lebih besar jika dimasukkan pula biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi, biaya implisit atau efek beban finansial negara akibat korupsi. Kerugian negara di luar uang yang dikorup itu, dia kategorikan sebagai biaya sosial korupsi yang rumusan penghitunganya belum ada di Indonesia. "Semestinya ada, karena di negara maju biaya sosial kejahatan itu ada rumusan hitungannya," ujar dia. Kata Rimawan, besaran biaya sosial bisa membengkak jika ada praktek pencucian uang yang terjadi dan mengalir hingga ke luar negeri. Biaya pengejaran aset yang dicuci itu tentu sangat besar. Sementara efeknya bisa membuat dinamika ekonomi nasional terkena imbasnya sebab ada dana yang lari ke kawasan asing. "Kalau ada pencucian uang, kerugian makin besar.20
Data terakhir yang diambil melalui Editorial Media Indonesia yakni „pada tahun 2014 sebesar Rp. 1792 triliun yang mana nyaris setara dengan APBN kita pada tahun yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ada perbaikan indeks korupsi satu poin saja, laju investasi meningkat 4% dan laju pertumbuhan ekonomi naik menjadi lebih dari 0.5 %‟.21 Berdasarkan data-data tersebut dapat dikemukakan bahwa dampak dari tindak pidana korupsi belum sebanding dengan pengembalian aset yang menjadi kerugian 20
Addi Mawahibun Idhom, 2013, Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp168,19 triliun, terdapat pada: http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/akibat-korupsi-uangnegara-menguap-rp168-19-triliun, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 7:44. 21
Media Indonesia, 2015, Korupsi Membonsai Ekonomi, terdapat pada: http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/520/Korupsi-Membonsai-Ekonomi/2015/09/04, diakses tanggal 4 September 2015, pukul 15.00.
negara, dalam hal ini terjadi ketimpangan yang cenderung mengarah kepada keadaan ketidakadilan yang tentunya sangat di rasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, hal mana berimbas pada ketidakmerataan pembangunan, kesenjangan sosial yang tinggi serta menimbulkan efek domino pada seluruh sendi kehidupan rakyat Indonesia serta menjurus ke kebangkrutan negara akibat korupsi. Oleh karenanya tidak salah kemudian KPK menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai extra-ordinary crime/kejahatan luar biasa. Berbicara mengenai keadilan, hakikat keadilan itu sendiri adalah penilaian seseorang kepada orang lain, umumnya dilihat dari pihak yang menderita akibat putusan hakim. Pemberian keadilan dalam putusan hakim yang ideal bisa dikaitkan dengan pendapat Gustav Radbruch, bahwa suatu putusan pengadilan idealnya harus mengandung idee des recht, yaitu aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) dan aspek kemanfaatan (gerechtigheid).22 Disatu sisi, adanya jaminan terhadap kebebasan hakim dalam mengadili yang sangat memadai dalam konsitusi dan peraturan perundang-undangan, sudah seharusnya dipergunakan secara proporsional, jangan menonjolkan sikap arrogance of power, memperalat kebebasan untuk menghalalkan cara, maka digunakan dengan acuan:
22
Bambang Sutijoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 87.
1. Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, sesuai dengan asas dan status law must prevail (ketentuan Undang-undang harus diunggulkan); 2. Menafsirkan hukum yang tepat dengan cara-cara pendekatan yang dibenarkan (penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa (gramatika), analogis dan a contrario) atau mengutamakan keadilan daripada peraturan perundangundangan, apabila ketentuan undang-undangan tidak potensial melindungi kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan dengan doktrin equity must prevail (keadilan harus diunggulkan). 3. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechtvinding), dasar-dasar dan asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama kepatutan dan kelaziman.23 Putusan hakim merupakan puncak dari pemeriksaan perkara pidana dalam keseluruhan proses peradilan pidana. Dalam putusan hakim diharapkan akan ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum dan fakta secara mapan, mumpuni dan faktual. Putusan hakim mencerminkan visualisasi etika, mentalitas, moralitas hati nurani hakim serta dapat dipertanggungjawabkan kepada justiabelen, ilmu hukum/doktrin-doktrin hukum, masyarakat dan „Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‟.24 Para
hakim
dalam
memutus
perkara
sebenarnya
sudah
mendapat
kebebasan/independensi di negara kita guna mengakomodir rasa keadilan yang berada di dalam masyarakat, dimana hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 24
23
Yahya Harahap, 2005, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 60. 24 Lilik Mulyadi, 2010, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung h. 135.
ayat (1) yakni “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” jo., Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan juga: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Mantan Hakim Agung, J. Johansyah, menggarisbawahi bahwa independensi dalam rumusan pasal-pasal tersebut pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu sengketa hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam Pasal konstitusi tersebut adalah „berdasarkan hukum dan keadilan‟.25 Independensi
hakim
dapat
bersifat
normatif,
dapat
juga
bersifat
kenyataan/realita. Kedua independensi itu tidak dapat dipisahkan. Ada pula ahli hukum yang memilah antara independensi sempit dan Independensi luas. Pada dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tidak hanya semata independensi kelembagaan, tetapi juga independensi perseorangan hakim. Independensi hakim karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan
25
J. Johansyah, 2010, Independensi Hakim di Tengah Benturan Politik dan Kekuasaan dalam Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Komisi Yudisial, Jakarta, h. 74.
lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di pengadilan dan berdasarkan hukum.26 Suatu hal yang merupakan kewajiban dalam menjatuhkan putusan, hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, khusus di Indonesia, hakim bukan merupakan corong undang-undang. Hakim merupakan cerminan kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, hakim wajib memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sudah semestinya menerapkannya. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hal mana ditujukan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lagipula, penting di ingat bahwa sumber hukum tidak saja berupa undang-undang, adat istiadat atau kebiasaan yang masih hidup yang tidak bertentangan dengan hukum juga merupakan sumber hukum. Oleh karenanya, hakim dapat memakai adat istiadat atau kebiasaan sebagai referensi. Meskipun Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim mengakomodir nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi ada suatu waktu hakim tidak tunduk pada kewajiban itu. Bahkan, kadangkala hakim „menyimpang‟ dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan.
26
Muchsin. 2004, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, STIH IBLAM, Jakarta, h. 10.
Misalnya, Putusan MA No. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan lagi. Landasan rasionalitas argumentasi hukum dalam pertimbangan hukum putusan hakim memberikan gambaran tentang paradigma pemikiran hakim, apakah masih terkurung dalam formalitas legisme atau pembebasan dan pencarían kebenaran dan keadilan yang lebih progresif keluar dari tawanan undang-undang. Putusan hakim bersifat profesional jika dibangun struktur konseptual yang dapat dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum dan kemanfaatan sosial. Secara doktrinal, putusan hakim sudah seharusnya mendasarkan pada sumber hukum yang lengkap yaitu: fakta hukum, peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, asasasas hukum, doktrin hukum pidana dan yurisprudensi. Proses peradilan pidana yang menekankan pada tujuan mengadili dan tujuan hukum menimbulkan pandangan para hakim bahwa hukum bukanlah merupakan satu-satunya dasar memutus perkara. Cara pandang hakim bahwa putusan hanya semata-mata demi hukum atau pernyataan “hukum untuk hukum” (justice for the sake of law). Hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai alat, cara dan keluaran (hasil) putusan pengadilan harus mampu mewujudkan keadilan, ketertiban, ketentraman.
Keterikatan hakim dengan tujuan hukum dan tujuan mengadili seperti yang dikemukakan oleh Wiarda-Koopmans tentang „3 typen van vinding yaitu terdapat tiga fungsi hakim dalam memutuskan perkara antara lain menerapkan hukum (rechtoepassing); penemuan hukum (rechtvinding/legal finding) dan menciptakan hukum (rechtchepping)‟.27 Sejalan dengan fungsi hakim dalam menerapkan hukum (rechtoepassing), penjatuhan pidana berupa pencabutan atau pembekuan hak memilih dan dipilih tidak serta merta menghilangkan hak untuk berpolitisi dari terdakwa maupun terpidana pada kasus korupsi, hal tersebut juga berkaitan erat dengan penemuan hukum (rechtvinding/legal finding) yang menjadi fungsi dari hakim itu sendiri serta tidak terlepas dari konsepsi putusan hakim yang profesional sebagaimana disebutkan sebelumnya. Penemuan hukum itu sendiri berkaitan erat dengan pendekatan hermeneutika hukum, produk suatu putusan hukum selalu mengimplikasikan hubungan antara kaidah dengan fakta, yaitu relasi momen-momen normatif dalam Undang-undang dengan fakta yaitu situasi konkret secara sirkular. Hubungan antara kaidah hukum dengan fakta situasional bersifat saling mempengaruhi dalam hubungan yang bersifat sirkular (lingkaran tidak berujung pangkal), yaitu fakta-fakta dikualifikasi dari sudut kaidah hukum, sedangkan kaidah hukum diseleksi (reduksi) berdasarkan kejadian fakta-fakta.28
27
Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum, Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat InonesiaMMIX, Jakarta, h. 135. 28 Ibid., h. 136.
Putusan pengadilan pidana terlepas dianggap adil atau tidak sangat tergantung dari penilaian terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik yang menjadi tujuan hukum pidana adalah usaha mempertahankan ketertiban dan keamanan masyarakat sehingga keadilan yang diargumentasikan dalam putusan pengadilan berkaitan dengan realitas terlindunginya kepentingan sosial (social interest) masyarakat. Aspek keadilan dalam perkara pidana sebagaimana dinyatakan Aristoteles yakni: Sebagai keadilan vindikatif atau korektif atau pembalasan merupakan keadilan yang berorientasi pada kepentingan hukum masyarakat, yaitu terjaminnya ketertiban dan keamanan. Prinsip keadilan korektif menggunakan instrument pidana atau hukuman, sehingga nilai keadilan sangat tergantung dari penjatuhan pidana atau hukuman yang tepat, dikenal pula istilah penjatuhan hukuman yang setimpal dengan perbuatan.29
Dengan dicabutnya hak untuk memilih maupun dipilih terhadap terdakwa atau terpidana kasus korupsi diharapkan dapat memenuhi aspek keadilan sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles diatas, pada sisi lain hal ini juga menandakan keseriusan penegak hukum dalam memberantas korupsi serta menandakan era baru dalam penegakan hukum terutama penjatuhan sanksi bagi koruptor di Indonesia telah dimulai. Penjatuhan sanksi tersebut terlebih dahulu haruslah mendapat telaah yang lebih dalam dari sisi ilmu hukum itu sendiri, oleh karena Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi produk-produk hukum dari International Covenant on Civil and
29
J. Pajar Widodo, 2013, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publishing, Bandar Lampung, h. 43.
Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan sebelumnya telah diatur juga Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: 1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkahlangkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16, 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini. 3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada berakhirnya pengurangan tersebut.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: 1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. 2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya.
Hal ini juga perkuat dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 73 dan 74 yang menegaskan: Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang. Juga terdapat pada pasal 28 D ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dari pembahasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, jelaslah terdapat beberapa Undang-undang atau aturan yang tidak harmonis atau terdapat disharmonisasi norma satu dengan yang lainnya sehingga menarik untuk diangkat dalam
suatu
penulisan
tesis
berjudul
“TINJAUAN
YURIDIS
PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut diatas, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut: 1. Apakah penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan terhadap hak memilih dan dipilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sudah sesuai dengan pengaturan HAM di Indonesia? 2. Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih pada tindak pidana korupsi?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut:
1. Permasalahan pertama dibahas mengenai penjatuhan putusan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi ditinjau dari hukum positif yang mengatur tentang HAM di Indonesia. 2. Permasalahan kedua dibahas mengenai dasar yuridis dan hal-hal substansial dari Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi.
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1
Tujuan Umum Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan
penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu pengetahuan sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah berhenti/final dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana ilmu hukum mengkaji mengenai fakta hukum maraknya penjatuhan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih oleh Majelis Hakim khususnya pada tingkat kasasi terhadap terpidana kasus korupsi dan relevansinya terhadap pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia melalui UU ICCPR dan UU HAM. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya yang memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam tindak pidana korupsi yang dihubungkan dengan teori-teori hukum maupun pendapat-pendapat para sarjana hukum serta falsafah negara Indonesia sehingga menjadi acuan bagi aparat penegak hukum ke depannya dalam menerapkan hukum yang berbasis pada rasa keadilan masyarakat luas.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana pada kasus korupsi di Indonesia mengenai hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana yang dihubungkan dengan teori dan asas yang dipakai dalam penulisan karya ilmiah ini.
2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada lembaga yudikatif, khususnya aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus serupa agar visi pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan maksimal serta rasa keadilan masyarakat terpenuhi.
1.6 Orisinalitas Penelitian Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset (penelitian) yang pada pokoknya membahas mengenai korupsi dan penjatuhan pemidanaan terhadap pelakunya namun kajiannya masih belum progresif dan belum kritis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam Hukum Pidana (KUHP) dan/atau aturan-aturan lain di luar KUHP yang bersifat khusus, adapun karya ilmiah tersebut sebagai berikut: 1. Nama
: Ifransko Pasaribu;
NIM
: 057005009/HK;
Universitas
: Universitas Sumatera Utara;
Judul Tesis
:“Kebijakan
Hukum
Pemberantasan
Pidana
Tindak
(Penal
Pidana
Policy)
Korupsi
dalam
(Tinjauan
Analisis Terhadap Sistem Pembebanan dan Sanksi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Lingkup rumusan masalah:
-
Bagaimanakah perumusan pembebanan pembuktian dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
-
Bagaimanakah perumusan sanksi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Nama
: Erfan Efendi Yudi Arianto;
NIM
: 11010110400046;
Universitas
: Universitas Diponegoro;
Judul Tesis
:“Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan Dalam Upaya Penanganan Masalah Barang Rampasan Hasil Tindak Pidana Korupsi”.
Lingkup rumusan masalah: -
Bagaimana formulasi sistem pemidanaan dalam upaya penanganan masalah
barang
rampasan
hasil
tindak
pidana
korupsi
untuk
pengembalian kerugian keuangan negara saat ini? -
Bagaimana kebijakan formulasi sistem pemidanaan dalam upaya penanganan masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk pengembalian kerugian keuangan negara pada masa yang akan datang?
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir A. Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan-aturan hukum, norma hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.30 Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.31 Sedangkan kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian. Kriteria teori yang ideal adalah: 1. Suatu teori secara logis harus konsisten, tidak ada hal-hal yang saling bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan. 2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu, pernyataan yang mempunyai interrelasi yang serasi. 3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori, harus dapat mencakup semua unsur gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat tuntas. 4. Tidak ada pengulangan ataupun duplikasi di dalam pernyataan tersebut.
30
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 4. 31
Sudikno Mertokusumo (Sudikno Mertokusumo I), Op. Cit., h. 5.
5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian, mengenai hal ini ada asumsi tertentu yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian tersebut senantiasa harus bersifat empiris. 32
Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan, maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah Teori Keadilan. Untuk mendukung teori utama (Grand Theory) maka digunakan Teori Hukum Progresif sebagai Middle Range Theory, sedangkan untuk Applied Theory33 menggunakan Teori Relatif Dalam Hukum Pidana, Model Pendekatan Keadilan atau Model Just Desert dan Asas Proporsionalitas. Berikut penjelasan dari teori dan asas tersebut: 1. Teori Keadilan Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Gustav Radbruch: menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermanfaat. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas sebagai hukum.34
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji I), h. 123. 33
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi), Alumni, Bandung, h. 24. 34
Bernard L. Tanya, Dkk., 2010, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 129.
Menurut Gustav Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee, yakni keadilan. Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak dapat mengatakan lain kecuali: „yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama‟. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, kita harus menengok pada segi finalitasnya. Jadi bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada „kesamaan hak di depan hukum‟. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian merupakan kerangka operasional hukum.35 Sebelum perang dunia kedua, Gustav Radbruch telah berkali-kali mengemukakan bahwa berkenaan dengan keberlakuan hukum positif harus diberikan arti yang paling utama pada kepastian hukum. Namun, dibawah pengaruh pengalaman-pengalaman dengan rezim Nazi, Radbruch telah mengubah pandangannya. Wawasannya sekarang adalah bahwa pada asasnya hukum positif tetap mempertahankan keberlakuannya juga jika isinya tidak adil, „es sei denn, dass der Widerspruch des positiven Gesetzes zur Gerechtigkeit ein so unertragliches mass erreich, dass das Gesetz als’unrichtiges Recht’der Gerechtigkeit zu weichen hat‟ (seandainya kontradiksi dari hukum positif terhadap keadilan mencapai ukuran yang begitu tidak sesuai, sehingga hukum tersebut sebagai “hukum yang tidak benar‟ harus menyingkir demi keadilan).36
2. Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo mengidentifikasi karakteristik hukum progresif sebagai prinsip-prinsip dasar ideal, yaitu (1) Paradigm „hukum adalah untuk manusia‟, manusia (penegak hukum) sebagai sentral dalam berhukum, (2) menolak status quo dari hukum yang legal-positivistik, (3) tidak menyerahkan sepenuhnya berhukum dalam teks 35
Ibid.
36
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit., h. 90.
formal undang-undang, tetapi membebaskan dari isolasi tersebut, (4) memberikan perhatian pada perilaku manusia (penegak hukum), tidak menyerah pada teks undang-undang saja, (5) membangun diri meningkatkan kualitas manusia untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat.37 Hukum Progresif mempunyai relevansi dengan kebebasan hakim dalam proses mengadili perkara pidana, karena prinsip-prinsip hukum progresif memberikan spirit kreativitas dan inovasi konseptual kepada hakim dalam mengadili. Artidjo Alkostar menggambarkan hakim progresif, tidak lepas dari kompetensi keilmuan, kecakapan dan kualitas kepribadian sebagai penegak hukum. Predikat sebagai hakim progresif membawa konsekuensi etis dalam membuat putusan yang memuat kecerdasan moral, intelektual dan emosional.38
3. Teori Relatif Dalam Hukum Pidana Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeaneaes berpendapat teori ini dapat disebut teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).39 Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut 37
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 61-69. 38
J. Pajar Widodo, Op.cit., h. 134.
39
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 61.
teori ini adalah mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena yang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).40 Menurut Karl O. Christiansen, ada perbedaan pokok atau perbedaan karakteristik antara teori retributif dan teori utilitarian, yaitu 1) Teori Retribution: a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. 2) Teori Utilitarian: a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat; c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan 41 masyarakat.
40 41
Ibid. Ibid., h. 62.
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu: 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde); 2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstanemaatschappelijke nadeel); 3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader); 4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).42 Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).43 Tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah 42
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12. 43
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, h. 16.
untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.44
4. Teori Just Desert Teori Just Desert atau Model Pendekatan Keadilan atau Model Just Desert (ganjaran setimpal): Di dasarkan atas dua teori (tujuan) pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap bahwa sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal itu melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.45 Sehubungan dengan model keadilan yang didasarkan pada tujuan pencegahan dan retribusi itu, Gerry A. Ferguson mengatakan bahwa: „Pencegahan bertujuan mencegah pengulangan pelanggaran dikemudian hari. Sedangkan retribusi memusatkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan kriminal pelanggar dan dimasudkan untuk memastikan si pelanggar membayar tindak pidana yang dilakukannya‟. Ganjaran yang setimpal (Just Desert) menjelaskan konsepsi bahwa alasan retribusi yang mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya adalah beratnya sanksi seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan si pelanggar. Dengan demikian, sanksi „ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan si pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar.46 5. Asas Preferensi Hukum
44
Ibid. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 62 45
46
Ibid., h. 63.
Penyelesaian konflik hukum di selesaikan melalui asas preferensi, yaitu: 1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah; 2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan; 3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.47
6. Asas Proporsionalitas Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain dilarang, kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggarannya. Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang dilanggar. Sehubungan dengan pembelaan terpaksa, ini berarti bahwa delik yang dilakukan untuk pembelaan tidak boleh demikian beratnya sehingga tidak seimbang dengan beratnya sekarang. Contoh dari literatur, seorang petani penderita rematik yang sulit berdiri dari kursinya tidak boleh menembaki anak-anak yang sedang mencuri buah apel di kebunnya, sekalipun dalam hal ini diperlukan pembelaan, tetapi caranya tidak “diperintahkan (patut)”.48
Adapun Roeslan Saleh menjelaskan mengenai asas proporsionalitas dalam hukum pidana yakni “jika sebagai dasar dari kejahatan itu yang dilihat adalah kerugian yang ditimbulkan pada masyarakat atau orang tertentu, maka proporsionalitas berarti: jumlah yang sebanding antara kerugian yang ditimbulkan dan pidana yang dijatuhkan.49
47
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, h. 37. 48 D. Schaffmeister, 1995, Hukum Pidana, Liberty (Edisi pertama), Yogyakarta, h. 60. 49
h. 41.
Roeslan Saleh, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta,
Lebih lanjut dilihat dari optik tujuan yang lebih tinggi, maka menurut teori hukum pidana abad ke-18 proporsionalitas tidak hanya batas bagian atas dari ukuran pidana, tetapi juga batas bagian bawah. Menurut penulis-penulis pada waktu itu kedua batas itu tidak boleh dilewati. Barulah pidana akan berfungsi sebagai sesuatu yang berguna. Memidana haruslah dilakukan dengan tepat secara matematis.50
B. Kerangka Berpikir Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih maupun dipilih terhadap terdakwa atau terpidana kasus korupsi adalah selaras dengan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sekarang sedang gencar-gencarnya dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi di sisi lain Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan mengenai Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICCPR, sehingga terdapat kontradiksi baik antara aturan hukum yang berlaku di Indonesia maupun penerapannya yang kiranya perlu dikaji secara mendalam dan serius guna menjamin kepastian, keadilan serta kemanfaatan dari hukum itu sendiri juga bagi masyarakat. Adapun skemanya dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut:
50
Ibid.
Bagan: Kerangka Berpikir Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Pidana Tambahan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Latar Belakang Masalah: 1. Konflik Norma antara UU No. 12 Tahun 2005 Tentang ICCPR jo., UU Hak Asasi Manusia dengan KUHP jo., UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK); 2. Putusan Ratu Atut Choisyah, Putusan M. Akil Mochtar tentang Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih.
Rumusan Masalah I:
Rumusan Masalah II:
Apakah Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih sudah sesuai dengan perlindungan HAM yang berlaku di Indonesia?
Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih?
Landasan Teoritis: 1. Teori Keadilan; 2. Teori Relatif dalam Hukum Pidana; 3. Teori Hukum Progresif; 4. Asas Preferensi Hukum.
Landasan Teoritis: 1. Teori Relatif dalam Hukum Pidana; 2. Model Pendekatan Keadilan/Just Desert; 3. Teori Hukum Progresif; 4. Teori GONE; 5. Asas Proporsionalitas.
Metode Penelitian 1. 2. 3.
Jenis Penelitian: Hukum Normatif; Sifat Penelitian: Deskriptif; Sumber data Primer dan data sekunder. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum: Menggunakan sistem pencatatan dan sistem kartu Teknik Analisis Bahan Hukum: Deskripsi, Konstruksi, Evaluasi, argumentasi, interpretasi, Metode Penelitian sistematisasi.
4. 5.
1.8 1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian
Sasaran yang Ingin di Capai: 1. Pencegahan sekaligus pemberantasan tindak pidana korupsi; 2. Penjeraan terhadap pelaku korupsi; 3. Hukuman yang proporsional bagi koruptor dan mengakomodir rasa keadilan masyarakat;
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode yuridis Normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hukum, baik
dalam arti law as it is written in the book, maupun dalam arti law as it is decided by judge through judicial process.51 Penelitian hukum normatif ini disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.52 Sejalan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji pun menjelaskan bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum kepustakaan.53 Penelitian tersebut mencakup: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematik hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; d. Perbandingan hukum, dan e. Sejarah hukum.54 Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian
untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan dan mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
51
Ronald Dworking, 1973, Legal Research, Daendalus, h. 250, dalam Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 40. 52
Bambang Waluyo, 1991, Penelitan Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji II), h. 14. 54
Ibid.
hukum yang dihadapi.55Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson mengemukakan bahwa “Legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”.56 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa dalam ilmu hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.57 Penelitian tesis ini adalah mengenai Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Pidana Tambahan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini terdapat disharmoni peraturan perundang-undangan antara yang membolehkan dicabutnya hak memilih dan dipilih melalui putusan pemidanaan dalam rangka penanggulangan korupsi yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo., Undangundang Nomor 31 Tahun 1999. Sedangkan yang melarang dicabutnya Hak memilih dan dipilih yakni International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berdasarkan ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 jo., Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
1.8.2
55
56
Jenis Pendekatan
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, h. 35.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press, Jakarta, h. 51.
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif, sehingga dilakukan studi kepustakaan
dengan
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach). Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sentral penelitian. 58 Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)59. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti konsepsi, pengaturan, landasan hukum bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap terdakwa pada kasus korupsi dihubungkan dengan upaya-upaya preventif yang bersifat progresif terkait penggunaan hak memilih dan dipilih dengan tetap berpegangan teguh pada nilai-nilai Pancasila dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
58
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, h. 302. 59
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h. 93.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan melalui konsep-konsep dan asas-asas yang berkaitan dengan konsepsi, pengaturan dan kinerja bagi para hakim, mahasiswa, praktisi ataupun akademisi hukum dalam bertindak secara aktif pada proses peradilan pidana dengan memberikan masukan atas sistem pemidanaan ataupun berkaitan dengan penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih yang juga harus selaras dengan asas-asas hukum pidana, doktrin, yurisprudensi beserta segala batasan serta pengakuan HAM yang diakui oleh konstitusi Republik Indonesia.
c. Pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan melakukan telaah latar belakang pengaturan hukum, latar belakang timbulnya putusan tentang pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih, serta sanksi hukum yang telah pernah diberikan terhadap para terpidana kasus korupsi yang telah dijatuhi hukuman pencabutan hak memilih dan dipilih.
d. Pendekatan kasus (case approach) Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiel.
Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya
asalkan
tidak
terbukti
sebaliknya.
Adapun
dalam
pendekatan kasus ini penulis mendapati adanya Majelis Hakim yang menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terdakwa kasus korupsi misalnya saja putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah yang mencabut hak memilih dan dipilih mereka, juga terhadap putusan-putusan dalam bidang hukum lain yang relevan diambil sebagai pembanding dalam rangka pembandingan dan pendekatan kasus.
e. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach) Pendekatan perbandingan
perbandingan hukum.
dilakukan
Menurut
dengan
Gutteridge,
mengadakan perbandingan
studi hukum
merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum. Gutteridge membedakan antara perbandingan hukum yang bersifat deskriptif yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu, misalnya keinginan untuk menciptakan keseragaman hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di samping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan
pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundangundangan.60
1.8.3
Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer dan sekunder,
mencakup: a. Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari UUD 1945, KUHP, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICCPR dan undang-undang terkait lainnya. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah yang berupa buku teks (text book), jurnal hukum, karya tulis dan makalah hukum baik yang ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di para sarjana di luar negeri, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing yang dimuat di media cetak, media massa maupun media elektronik yang menyangkut dan berhubungan dengan materi “aturan hukum 60
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 172-173.
mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap pejabat publik, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur atau Pejabat Pemerintah lainnya yang melakukan tindak pidana korupsi”. Selain itu rancangan undang-undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian. c. Bahan hukum tertier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni terkait istilah-istilah yang berkorelasi dengan “hukuman tambahan, pencabutan hak memilih dan dipilih dan penanggulangan tindak pidana korupsi”, dan lain-lain.61
1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang dilakukan
atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan sistem kartu. Dalam sistem kartu ini dilakukan 61
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji II, Op.Cit., h. 13.
suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
1.8.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis sebagai berikut: -
Deskripsi Konstruksi Evaluasi Argumentasi Interpretasi Sistimatisasi
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti penggambaran/uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario). Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teleologis, konteksktual, dan lainlain. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, syah atau tidak syah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.62
62
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister (S 2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 34-36.