MEKANISME ALTERNATIF MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA (Perspektif Akademis)* Vinsensio Dugis & Baiq Wardhani**
* Masalah utama yang kerap menjadi hambatan pertama yang dihadapi kalangan akademisi ketika melakukan pembahasan mengenai hal-ikhwal terorisme ialah persoalan pengertian atau defenisi. Dapatlah dikatakan bahwasanya di kalangan akademisi tidak ada suatu pengertian tunggal mengenai terorisme yang dapat diterima secara universal. Sebuah studi komparasi yang dilakukan Alex Schmid terhadap definisi yang ada mengenai terorisme mendapatkan temuan berikut. Pertama, sekitar 80% lebih sepakat bahwa kekerasan merupakan elemen pertama pengertian terorisme. Berikutnya adalah elemen ‘politik’, tetapi persentasinya hanya sekitar 65%. Sementara, unsur ketakutan (fear) atau teror merupakan elemen selanjutnya yang hanya dapat ditemukan pada sekitar 51% dari definsi yang dibandingkan.1 Minimnya kesepakatan mengenai defenisi terorisme menunjukkan betapa ‘terorisme’ sebagai suatu terminologi merupakan sesuatu yang debatable dalam berbagai analisis kalangan akademisi. Dalam derajat yang lebih rendah, kondisi yang sama bahkan juga terjadi di kalangan pemerintahan dan hokum ketika menerapkan berbagai upaya untuk mencegah dan menerapkan upaya-upaya menghentikan gerakan-gerakan terorisme.2 Pada tingkat yang lebih praktis pun, pengertian terorisme kerap tergantung dari siapa yang menggunakannya dan kepada pihak mana istilah terorisme itu ditujukan. Perbedaan ini bisa dilihat dari ungkapan yang sering terdengar, ‘one man’s terrorist is another man’s freedom fighter’. Dengan nuansa kritik terhadap pemerintah Amerika Serikat (AS), Noam Chomsky, misalnya, pernah menulis, “we have to qualify the definition of ‘terrorism’ given in official sources: the term applies only to terrorism against us, not the terrorism we
Makalah ini ditulis untuk dipresentasikan dalam kegiatan Focus Group Discussion Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan Dan Penanganan Terorisme di Indonesia, yang diselenggarakan bersama oleh Indonesia Crime Prevention Foundation (ICPF) dan Kemitraan Partnership, di Ruang Arjuna Weliarang, Hotel Santika, Jln. Pandegiling 45, Surabaya, Senin 27 Agustus 2007. ** Kedua penulis adalah Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. 1 Alex P. Schmid & Albert J. Jongman, et al, Political Terrorism; A New Guide to Actors, Authors, Concepts, Data Bases, Theories and Literature (New Brunswick, NJ: Transaction, 1988), hal. 56. 2 Lihat misalnya, John F. Murphy, State Support of International Terrorism: Legal, Political and Economic Dimensions (Boulder, CO: Westview, 1989). *
1
carry out against them”.3 Dengan demikian, istilah terorisme adalah sebuah konsep yang kerap bersifat pejorative. Makalah ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengantar kita masuk ke dalam diskusi yang rumit mengenai defenisi terorisme ala kalangan akademisi. Tetapi catatan di atas sekedar mengingatkan kembali atau membuat kita awas (aware) bahwa ada soal itu yang kerap menjadi kendala ketika sebuah diskusi dilangsungkan untuk mencari berbagai alternatif pencegahan dan pemecahan terhadap fenomena terorisme. Walau demikian, makalah ini mengambil pemahaman yang cenderung bersifat umum, yang melihat terorisme sebagai suatu strategi yang cenderung menggunakan kekerasan bersenjata yang sifatnya non-diskriminatif (indiscriminative violence) dan bertujuan untuk mengakibatkan rasa takut yang sifatnya luas terhadap kalangan masyarakat (publik). Dalam prosesnya, srategi demikian kerap digunakan sebagai senjata oleh kelompokkelompok yang merasa lemah di dalam berbagai upayanya melawan pihak-pihak yang dipersepsikan jauh lebih kuat.
** Walaupun terorisme muncul bak sebuah ‘paradigma’ baru menyusul peristiwa 11 September 2001 (9/11), teror bukanlah hal baru karena di dalam sejarah telah dikenal sebagai fenomena yang cukup tua. Berbagai upaya menimbulkan rasa takut yang dasyat melalui pemberian kejutan dengan kekerasan atau bahkan aksi-aksi pembunuhan yang ditujukan untuk menyebarkan rasa takut yang mencekam adalah rangkaian taktik atau strategi yang telah melekat kuat di dalam berbagai perjuangan mencapai kekuasaan jauh sebelum hal-hal tersebut kini lebih dikenal dengan tindakan teror atau terorisme.4 Kata ‘teror’, barulah pada periode ketika Revolusi Perancis masuk ke dalam kosakata politis. Sementara di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 serta masa-masa menjelang Perang Dunia II, ‘terorisme’ menjadi taktik perjuangan revolusi.5 Terorisme yang mengemuka setelah peristiwa 9/11 adalah fenomena terorisme yang mencapai suatu titik dimensi baru. Persitiwa 9/11 tak pelak telah memunculkan suatu fenomena terorisme berdimensi baru yang di dalamnya kuat berelemenkan ‘agama’ dan melibatkan aktor bukan negara, yang secara substansial mengubah isu, struktur dan tatanan internasional. Bentuk terorisme baru merupkan mutasi dari bentuk lama yang kurang lebih bersifat statis, relatif terduga, homogen, hirarkikal, rigid dan tidak mudah berubah, ke dalam bentuknya saat ini yang bersifat dinamis, sulit diduga, memiliki Noam Chomsky, “Who are the Global Terrorists?” dalam Ken Booth & Tim Dunne (eds.,) Worlds in Collision: Terror and the Future of Global Order (Basingstoke: Palgrave MacMillan, 2002), 128137, hal. 131. 4 F. Budi Hardiman, “Terorisme: Paradigma dan Defenisi”, dalam Rusdi Marpaung & Al Araf, (eds.,) Terorisme, Defenisi, Aksi, dan Regulasi (Jakarta: Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil, 2003), hal. 3. 5 Ibid. 3
2
jaringan luas, kemampuan mengorganisasi diri, secara konstan berubah menyesuaikan diri. Organisasi teroris baru seperti Al Qaedah, misalnya, berbeda dengan organisasi ”tradisional” seperti PKK (Kurdi) atau IRA (Irlandia). Terorisme merupakan cara ”kelompok lemah” untuk mengobarkan perang, sehingga yang kini nampak terlihat adalah fenomena terorisme berkerangka asymetric conflict ala David-Goliath.6 Terorisme model baru ini merupakan serangkaian masalah yang berkaitan dengan berakhirnya Perang Dingin dan percepatan globalisasi. Beberapa faktor yang berkaitan dengan hal ini antara lain adalah; pertama, proliferasi negara-negara gagal dan negaranegara lemah; kedua, kekerasan komunal pasca Perang Dingin; ketiga, kegagalan untuk mengontrol produksi senjata-senjata militer ringan; keempat, kegagalan mengintegrasikan personel militer yang tak termobilisasi dan para veteran perang gerilya; kelima, meningkatnya barang-barang selundupan dan pengungsi lintas batas negara; dan keenam, meluasnya aktifitas ekonomi bawah tanah dan pasar gelap. Hal-hal ini memang bukan merupakan penyebab utama munculnya terorisme, tetapi secara signifikan mempengaruhi karakter, lingkup, pengaruh, dan merupakan sumber serta kemerdekaan bertindak bagi teroris. Mengatasi masalah-mesalah tersebut secara substansial diperlukan berbagai upaya membatasi perkembangan dan potensi kekuatan terorisme model baru. Semakin kentalnya dimensi ’agama’ dalam fenomena terorisme paska peristiwa 9/11 setidaknya memunculkan dua argumen umum yang berkaitan dengan akar persoalan (root causes) munculnya gerakan terorisme. Argumen pertama dan nampaknya cukup dominan ialah argumen yang berangkat dari penjelasan bahwa kemiskinan (poverty), ketidakadilan (injustice), dan kesenjangan sosial (social inequality) adalah persoalan dasar yang menimbulkan ketidakberdayaan dan mendorong kelompok-kelompok yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, dan dalam proses perlawanan ini isu elemen ’agama’ kerap digunakan sebagai senjata pengobar gerakan perlawanan. Argumen kedua, meski nampaknya tidak begitu populer, sebaliknya berargumen bahwa justru interpretasi terhadap ajaran-ajaran elemen agama itulah yang mendorong segelintir kelompok melakukan gerakan-gerakan teror. Hal lain yang juga terlihat jelas paska peristiwa 9/11 ialah sifat terorisme baru yang bersifat lintas batas (transnasional), global, ofensif dengan mengembangkan privatisasi kekerasan. Targetnya adalah infrastruktur psikologis seluruh masyarakat dengan cara memaksa masyarakat mengubah perilaku mereka secara radikal. Pemberantasan terorisme lintas batas memberi dimensi baru yang lebih rumit bagi proses penyelesaian konflik. Untuk mengatasi konflik lintas batas diperlukan kerjasama berbagai negara. Pertama, melalui upaya memperkuat keamanan internal. Para pengambil keputusan harus yakin dan mampu meyakinkan masyarakat bahwa perang melawan terorisme bukan perang melawan agama. Pemerintah nasional harus mampu menemukan penyebab dasar (root
6
Andi Widjajanto, “Menangkal Terorisme Global”, dalam Ibid, hal. 11.
3
causes) terorisme, termasuk menangani berbagai konflik internal yang belum terselesaikan dan kekecewaaan-kekecewaan politik yang sudah berlangsng lama. Sejalan dengan itu, untuk mengatasi masalah terorisme lintas batas memerlukan upaya sistematis. Upaya ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai negara, namun belum cukup memadai. Yang diperlukan adalah membangun strategi kontra terorisme yang koheren dengan cara menyusun strategi yang terartikulasi secara baik, yang meliputi konsep dan rencana yang menyatukan dan mempertemukan berbagai usaha dengan berbagai tujuan nasional yang hendak dicapai. Kedua, perlunya pendekatan keamanan yang dilakukan bersama-sama (cooperative security), yaitu pendekatan yang berdasarkan pada konsensus internasional dan diatur melalui rejim dan institusi multilateral yang terintegrasi secara global, namun berakar pada kondisi setempat. Tidak kalah penting adalah melibatkan kerjasama kawasan sekitar zona instabilitas. Upaya bersama dari berbagai negara penting untuk menemukan dan memberantas jaringan-jaringan teroris sehingga mereka tidak memiliki pengaruh pada masyarakat lokal. Selain berakar dari faktor internal dan lokal, terorisme bentuk baru juga dipicu oleh sikap anti-Barat, anti-kapitalis, anti-modernitas dan anti-globalisasi, yang ingin mengembalikan ajaran mesianik dalam abad modern ini. Terorisme ini menggunakan agama sebagai dasar pembenar tindakan revolusioner dan sifat kekerasannya. Sikap ini merupakan dampak globalisasi dan interaksi dan interdependensi yang semakin luas. Anti modernitas dapat dilihat dari aspek budaya yang ditengarai sudah tergerus oleh globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan dan kesempatan lebih besar yang diperoleh kaum perempuan serta nilai-nilai tradisional lain yang mengganggu kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang sudah mapan. Dimensi penting lain dari jaringan teroris baru ialah sifatnya yang memerlukan tempat berpijak untuk tujuan operasionalnya. Jaringan ini mencari tempat beroperasi di negaranegara lemah dan negara-negara gagal atas alasan-alasan berikut. Pertama, masalah yang berkaitan dengan teritorialitas dan kemudahan mengontrol. Daripada memiliki beberapa ”rumah” di beberapa wilayah, jaringan teroris lebih memilih satu rumah di wilayah tertentu. Negara-negara lemah dan gagal menyediakan kesempatan lebih besar untuk dijadikan basis beroperasi. Pada umumnya jaringan teroris hanya memerlukan sebuah tempat tertentu yang secara de facto dapat dikontrolnya, namun tidak bermaksud menguasai seluruh wilayah negara tersebut. Jaringan teroris yang telah memiliki wilayah operasional tertentu akan lebih mudah baginya untuk lepas dari pengawasan pemerintah dan menjauhkan diri dari rakyat sehingga mudah bagi mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilegal. Kegiatan jaringan teroris juga seringkali melakukan pendekatan pada penguasa setempat agar bisa terlibat dalam konflik-konflik lokal, seperti yang terjadi di beberapa wilayah seperti Bosnia, Kosovo, Chechnya, Sudan, Afghanistan, Columbia, Albania, Sierra Leone. Keterlibatan mereka
4
dapat berupa penambaan personel tempur, pemasok senjata gelap dan pembiayaan yang seringkali merupakan hasil dari kegiatan ilegal seperti penjualan narkoba. Kedua, negara gagal memiliki kapabilitas lemah dalam penegakan hukum, yang memungkinkan mereka untuk melakukan kegiatan ilegal, seperti penyelundupan obat terlarang dan pencucian uang demi membiayai operasi. Kondisi ekonom, politik dan sosial yang buruk masyarakat di negara-negara gagal merupakan sarana yang memudahkan jaringan teroris melancarkan kegiatannya. Ketiga, negara-negara lemah dan gagal, yang memiliki tingkat penganguran tingi merupakan ladang subur bagi rekruitmen dan pendukung kegiatan jaringan teroris. Rekuitmen penduduk lokal dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan power di negara tersebut akibat gagalnya pemerintah dalam melakukan kegiatan bernegara dan lemahnya civil society. Jaringan teroris mudah mengambil keuntungan dari negara gagal untuk dijadikan tempat latihan gerilyawan teroris, mengambil alih pemerintahan atau mendirikan tempat-tempat kegiatan baru dengan memanfaatkan meluasnya ketidakpuasan masyarakat, tingkat korupsi yang tinggi, kemandegan ekonomi dan represi politik. Kondisi ekonomi yang buruk di negara-negara gagal juga mendorong aparat dengan mudah menerima suap dari teroris untuk memudahkan beberapa tujuannya. Kondisi seperti ini dapat ditemukan di beberapa negara Asia Tengah seperti Tajikistan, Uzbekhistan, Kazakhstan, Kyrgystan, juga ditemukan di China dan Rusia. Keempat, negara-negara gagal berupaya mempertahankan kedaulatannya dengan menolak campur tangan asing dalam masalah internalnya. Hal ini menyulitkan upaya lintas batas pemberantasan jaringan teroris karena jaringan teroris secara sengaja berusaha menjauhkan negara gagal ini dari pergaulan internasional. Namun negara gagal mengalami kesulitan dalam mengontrol perbatasan mereka sendiri, yang memudahkan volume lalu lintas obat terlarang, senjata dan manusia meningkat. Mudahnya memiliki identitas ganda dan penjualan senjata oleh anggota militer kepada teroris hanyalah sedikit contoh yang terjadi di Sudan, Bosnia dan Albania. Dalam kaitannya dengan keempat faktor di atas, maka upaya-upaya memberantas jaringan teroris di negara gagal melibatkan beberapa hal, seperti (a) rehabilitasi negara gagal dengan membantu rekonstruksi infrasturktur dasar masyarakat, seperti perbaikan sistem kesehatan dan kepolisian yang diikuti dengan investasi jangka panjang. Rekonstruksi negara gagal tidak berarti tanpa membatasi ruang gerak para ”jihadist”; (b) menciptakan militer yang efektif dan bantuan keamanan. Militer dan keamanan yang lemah mempermudah jaringan teroris untuk membiayai, melatih dan mempersenjatai para teroris yang beroperasi di wilayah tersebut; (c) terorisme akan sulit beroperasi tanpa dukungan penduduk setempat. Memperkuat negara, mencegah perluasan jaringan dengan melokalisasi sel jaringan merupakan langkah yang harus dilakukan untuk memutus jaringan tersebut dengan teroris global. Operasi militer khusus merupakan
5
langkah awal untuk memberantas teroris, namun diperlukan juga investasi ekonomi dan politik yang dirancang untuk rekonstruks rejim di negara gagal.
*** Peristiwa 9/11 dan perkembangan-perkembangan yang terjadi menyusul pernyataan perang melawan terorisme internasional yang dinyatakan pemerintah AS, tak pelak telah membawa implikasi global. Sejumlah negara, langsung maupun tidak, ikut terimplikasi oleh aksi perang melawan terorisme internasional yang dipelopori AS. Perkembangan yang bisa diikuti semenjak setidaknya segera setelah peristiwa 9/11 menunjukkan Indonesia pun, juga ikut terkena implikasi dari fenomena perang melawan terorisme internasional. Walaupun secara tegas Pemerintah Indonesia secara tegas mengutuk peristiwa 9/11, berbagai langkah yang semenjak itu diambil pihak AS dalam perang melawan terorisme tak pelak mendapat berbagai reaksi protes dari kalangan publik di Indonesia. Bersamaan dengan itu, dugaan dan tudingan luar bahwa Indonesia merupakan salah satu wilayah beroperasinya jaringan terorisme internasional juga semakin meningkat. Keadaan demikian mengakibatkan gamangnya sikap pemerintah di dalam merespons perang AS melawan terorisme internasional.7 Peristiwa Bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002, yang diikuti suksesnya pengungkapan para pelaku oleh aparat berwajib Indonesia, telah memberikan bukti bahwa apa yang ditudingkan itu benar adanya. Insiden-insiden pemboman di Indonesia yang terjadi menyusul Bom Bali Oktober 2002, semakin memberikan bukti bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dimana jaringan terorisme internasional beroperasi. Lemahnya pemerintahan nasional yang ketika itu masih dalam proses transisi, menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah potensial yang dijadikan sebagai salah satu tempat kegiatan operasional jaringan teroris. Walau demikian, seiring dengan transisi politik yang terus berkembang, sejumlah langkah sistematis telah dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam kerangka memberantas kejahatan terorisme.8 Keberhasilan pemerintah dalam penanganan atau upaya pemberantasan terorisme bisa dilihat dari beberapa indikator. Indikator pertama adalah produk hukum yang dipakai sebagai acuan utama dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Dalam konteks ini, pemerintah telah melakukan itu ketika pada tanggal 18 Oktober 2002, hanya seminggu Vinsensio Dugis, “Indonesian Foreign Policy After Soeharto: Domestic Politics and Public Influence on Indonesian Foreign Policy Making, 1998-2004”, Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Flinders Asia Centre, School of Political and International Studies, Flinders University, Adelaide-Australia, 2006, hal. 146-241. 8 Sebagian dari upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia terutama di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dapat dilihat dalam ibid. Lihat juga William M. Wise, Indonesia’s War on Terror (Washington, DC: United States-Indonesia Society, 2005). 7
6
setelah Bom Bali, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (PERPU) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang selanjutnya kemudian dinyatakan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003. Karena penerapannya dirasa belum cukup, maka pemerintah menyusulnya dengan mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom Bali Tanggal 12 Oktober 2002, yang selanjutnya kemudian dinyatakan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003. Namun demikian, seperti diketahui kedua produk hukum tersebut di atas ternyata masih menyisakan masalah yuridis berkaitan dengan pelanggaran atas asas Non-Retroaktif menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi setelah melakukan kajian terhadap kedua undang-uandang tersebut terhadap konstitusi. Atas dasar itu, dengan demikian, masih terdapat kelemahan yang tentunya diperlukan kajian lebih lanjut berkaitan dengan produk hukum yang mendasari upoaya pemberantasan terorisme di Indonesia. Indikator kedua ialah jumlah keberhasilan pengungkapan kasus tindakan teror yang sejauh ini telah dilakukan oleh aparat berwajib. Dengan indikator ini, mengutip pernyataan salah satu peneliti yang telah melakukan banyak kajian mengenai jariangan teroris di Indonesia, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu negara yang cukup berhasil baik dalam mengungkap kasus-kasus terorisme. Jumlah orang yang telah berhasil ditangkap dan diselidiki karena keterlibatannya dalam jaringan terorisme mencapai angka ratusan. Indikator ketiga ialah jumlah insiden tindakan teror. Paska Bom Bali 2002, jelas masih terdapat sejumlah insiden peledakan lain, baik yang sifatnya cukup besar maupun peledakan-peledakan kecil lainnya. Yang pasti bahwa, masih terdapat sejumlah insiden dan ke depannya pun masih memerlukan upaya-upaya pencegahan. Di dalam laporan Country Reports on Terorism 2006 ditulis, ”Although Indonesia has made significant progress in weakening the JI terrorist organization, JI continues to operate in Indonesia, a geographically widespread archipelago country with porous borders and CT resource constraints. Key JI operational planner Noordin Mat Top remains on the run, although aggressively pursued by Indonesian CT authorities”. Dengan kata lain, pada indikator ini, masih banyak hal yang perlu dilakukan pemerintah.
**** Mempertimbangkan semua hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka di dalam merumuskan mekanisme alternatif manajemen pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia, perlu mempertimbangakn hal-hal berikut.
7
1. Perbaikan terhadap produk hukum dasar, sebagai akibat dari adanya perkembangan sebagaimana disebut sebelumnya dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang No. 16 Tahun 2003, perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih lanjut. 2. Perlunya peningkatan lebih lanjut profesionalitas aparat penegak hukum yang secara khusus terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme. 3. Koordinasi antar badan-badan intelijen dan kepolisian merupakan suatu keharusan di dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan terorisme. 4. Karena sifat organisasi terorisme yang transnasional, maka kerjasama baik pada level bilateral maupun multilateral dalam rangka upaya memberantas terorisme adalah suatu langkah yang mutlak harus dilakukan. 5. Diperlukan identifikasi dan analisis yang mendalam berkaitan dengan akar persoalan utama (root causes) dari setiap insiden teror. Gambaran yang jelas mengenai hal ini merupakan prasyarat yang mutlak terhadap upaya-upaya preventif yang selanjutnya dapat diambil. 6. Di dalam kaitannya dengan poin pertama, sebagai pemerintahan yang demokratis maka pemerintah perlu menunjukkan ketegasan politik di dalam menjaga keberlangsungan hukum di dalam setiap upaya membeantas terorisme. Pemerintah harus bertindak tegas, sebab ketidaktegasan akan memunculkan persepsi ambivalen yang potensial memberikan ruang gerak terhadap aksi-aksi terorisme. 7. Di dalam menjalankan berbagai upaya pencegahan dan penanganan terorisme, pemerintah harus sedemikian rupa berupaya mendapat dukungan publik. Lemahnya dukungan publik niscaya akan memperlemah langkah-langkah pemberantasan terorisme. Untuk itu, kebijakan-kebijakan pemerintah haruslah bertumpu di atas mekanisme yang dicapai melalui langkah-langkah yang bersifat demokratis.
***** Daftar Bacaan Adamson, Fiona B., “Liberalism Versus Political Islam: Competing Ideological Frameworks in International Politics”, International Studies Review, No. 7, 2005, hal. 547-569. Banks, William C., “Alternative Views of the Terrorist Threat”, International Studies Review, No. 7, 2005, hal. 669-684. Chomsky, Noam, “Who are the Global Terrorists?” in Ken Booth & Tim Dunne (eds.,) Worlds in Collision: Terror and the Future of Global Order (Basingstoke: Plagrave MacMillan, 2002), hal. 128-137.
8
Connetta, Carl, Terrorism, World Order and Comparative Security (Washington: The Project on Defense Alternatives, 2002). Dempsey, Gary T., ”Old Folly in a New Disguise: Nation Building to Combat Terrorism”, Policy Analysis 21/3/2002. Dugis, Vinsensio, “Indonesian Foreign Policy After Soeharto: Domestic Politics and Public Influence on Indonesian Foreign Policy Making, 1998-2004”, Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Flinders Asia Centre, School of Political and International Studies, Flinders University, Adelaide-Australia, 2006. Evans, Gareth, ”Building International Defenses Against Terrorism”, Georgetown Journal of International Affair, Winter/Spring 2002. Hardiman, F. Budi, “Terorisme: Paradigma dan Defenisi”, dalam Rusdi Marpaung & Al Araf, (eds.,) Terorisme, Defenisi, Aksi, dan Regulasi (Jakarta: Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil, 2003). Hoffman, Bruce, “The Changing Face of Al Qaeda and the Global War on Terrorism”, Studies in Conflict & Terrorism, No. 27, 549-560, 2004. Mishal, Shaul & Rosenthal, Maoz, “Al Qaeda as a Dune Organization: Toward a Typology of Islamic Organizations”, Studies in Conflict & Terrorism, No. 28, 2005, hal. 275-293. Murphy, John F., State Support of International Terrorism: Legal, Political and Economic Dimensions (Boulder, CO: Westview, 1989). Palat, Ravi Arvind & Selden, Mark, “9/11, War without Respite, and the New Face of Empire”, Critical Asian Studies, Vol. 35 No. 2, 2003, hal. 163-174. Schmid, Alex P., & Albert J. Jongman, et al, Political Terrorism; A New Guide to Actors, Authors, Concepts, Data Bases, Theories and Literature (New Brunswick, NJ: Transaction, 1988). Smith, Anthony L., “The Politics of Negotiating the Terrorist Problem in Indonesia”, Studies in Conflict & Terrorism, No. 38, 2005, hal. 33-44. Stohl, Michael, “Networks of Terror, failed States and Failing Policies After September 11”, Paper prepared for the Workshop on Failed States, Santa Barbara, California, September 9-11, 2002, sponsored by the Strategic Outreach Program of Army War College. Takeyh, Ray dan Vosdeh, Nikolas, ”Do Terrorist Networks Need a Home?” The Washington Quarterly, Summer 2002, pp. 97-108. Widjajanto, Andi, “Menangkal Terorisme Global”, dalam Rusdi Marpaung & Al Araf, (eds.,) Terorisme, Defenisi, Aksi, dan Regulasi (Jakarta: Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil, 2003). Wilkinson, Paul, Terrorism and the Liberal State (London: Macmillan Press, 1977). Wise, William M., Indonesia’s War on Terror (Washington, DC: United States-Indonesia Society, 2005). <<<<<<>>>>>>
9