BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus (HIV). Akibat menurunnya kekebalan tubuh timbul berbagai penyakit oportunistik seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak, dan kanker (Ganong WF : 2006). HIV adalah Human Immuno-deficiency Virus, yaitu virus yang menurunkan kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan AIDS, dan termasuk golongan retrovirus yang terutama ditemukan dalam cairan tubuh, seperti darah, cairan mani, cairan vagina, dan air susu ibu.Terjadinya proses penularan HIV dari ibu ke anak juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus HIV. Dengan perencanaan yang lebih baik dan cermat dalam merencanakan keturunan bagi pasangan usia subur dan suami-istri dengan HIV positif masih memungkinkan untuk mendapatkan keturunan yang terhindar dari infeksi HIV (Depkes RI, 2006). Pemahaman tentang penyakit HIV di kalangan masyarakat dirasakan masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari orang yang sudah terinfeksi HIV selalu datang terlambat ke tempat pelayanan kesehatan, dan sebagian besar dari mereka yang datang ke rumah sakit setelah muncul beberapa infeksi oportunistik yang harus mendapatkan perawatan lebih lanjut pada fasilitas pelayanan rawat inap.
Hal ini sesungguhnya masih dapat dicegah bila masyarakat dapat lebih awal datang ke tempat pelayanan kesehatan. Dengan pemeriksaan lebih dini terutama pada kelompok masyarakat yang beresiko dalam penularan HIV, maka kejadian infeksi oportunistik pada pasien HIV dapat dicegah angka kejadiannya. Seperti telah diuraikan diatas bahwa pasien yang datang ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien terinfeksi HIV yang disertai dengan beberapa infeksi oportunistik, yang diantar oleh satu atau beberapa anggota keluarga yang lain. Setelah dilakukan pengkajian maka didapatkan data riwayat perjalanan penyakit pasien bahwa hampir semua pasien sudah sering berobat ke tempat pelayanan kesehatan lain seperti dokter praktek swasta, perawat atau rumah sakit lainnya yang tidak menyediakan pelayanan VCT, dan sering juga pasien yang datang di klinik VCT adalah pasien pasca pelayanan dengan metode pengobatan herbal maupun pengobatan alternatif lainnya, atau sering pula didapatkan pasien pasca pengobatan di dukun tradisional. Hal ini tentu akan menambah lebih sulit penanganan penyakit pasien. Persepsi masyarakat tentang sakit yang merupakan konsep sehat-sakit masyarakat, dapat berbeda pada tiap kelompok masyarakat. Mechanics (dalam Notoatmodjo : 2007) melakukan pendekatan sosial untuk mempelajari perilaku sakit pada masyarakat, yang menekankan pada 2 faktor yang mempengaruhi perilaku sakit yaitu : persepsi oleh individu pada situasi sakit, dan kemampuan individu melawan keadaan sakit. Persepsi yang dimaksud adalah penilaian individu tentang tingkat keseriusan, tingkat ancaman terhadap kelangsungan hidup individu yang diakibatkan oleh infeksi HIV apabila tidak dilakukan penanganan
yang sungguh-sungguh. Demikian pula kemungkinan situasi yang terjadi pada Orang Dengan Infeksi HIV/AIDS (ODHA), dimana masing-masing individu/ ODHA akan memiliki persepsi yang kemungkinan berbeda-beda, tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. TB merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada (ODHA). TB dan HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresifitas infeksi Mycobacterium TB menjadi TB aktif dan adanya infeksi TB menimbulkan progresifitas infeksi HIV. Penanganan ko-infeksi TB-HIV selalu mendahulukan terapi TB dengan pertimbangan menghindari interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat, kepatuhan minum obat dan juga menghindari Immune Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS). Pada tahun 2009 tercatat 380.000 kematian pada pasien ko-infeksi TBHIV yang merupakan 25% dari seluruh kematian pasien dengan infeksi HIV. Diperkirakan terdapat 1,1 juta orang terinfeksi HIV positif TB pada tahun 2009 yang 80% pasien ada di sub-Sahara Afrika (WHO, 2011). Laporan Kasus HIV dan AIDS di Indonesia dari 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2013 berdasarkan surat Direktur Jenderal P2PL, sebanyak 10.210 kasus HIV dan 780 kasus AIDS. Jumlah komulatif kasus HIV dan AIDS sampai tanggal 30 Juni 2013 adalah sebanyak 108.600 kasus HIV dan 43.667 kasus AIDS, dan terdapat jumlah kematian sebanyak 8.340 orang. Provinsi Bali menduduki urutan ke 5 tertinggi dalam kasus HIV dan AIDS setelah Papua, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat. Dengan 7.073 kasus HIV dan
3.344 kasus AIDS, provinsi Bali memiliki prevalensi kasus AIDS sebesar 85,95 per 100.000 penduduk, menduduki urutan ke 2 setelah provinsi Papua. Persentase kasus AIDS tertinggi di Indonesia dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 15.305 kasus (35,05%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 12.332 kasus (28,24%) dan kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 4.383 kasus (10,04%). Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1, sedangkan rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (59,90%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada Penasun (17,94%), dan transmisi perinatal (2,73%) (Kemenkes RI, 2013). Di Indonesia jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan Maret 2013 sebanyak 33.114 orang, 96% (31.682 orang) dewasa, dan 4% (1.432 orang ) anak. Sedangkan pemakaian rejimennya adalah 95,4% (31.589 orang) menggunakan lini 1 dan 4,6% (1.525 orang) menggunakan lini 2. Di Bali sampai saat ini terus terjadi peningkatan jumlah orang yang terinfeksi virus HIV. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang dalam tubuhnya sudah terinfeksi oleh virus HIV/AIDS. Demikian pula di Kabupaten Gianyar yang sampai saat ini (data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Gianyar per 31 Juli 2013) telah terdeteksi jumlah ODHA sebanyak 558 orang, menempati urutan keempat terbesar di Bali, dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat, karena sebagian besar dari ODHA adalah orang dengan aktifitas seksual masih aktif dapat menularkan penyakit HIV/AIDS.
Jumlah kunjungan pasien di klinik Voluntary Counseling and Test (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar sejak Januari 2010 sampai bulan Desember 2012 sebanyak 1001 jumlah kunjungan terdiri 592 laki-laki dan 409 perempuan dengan hasil test HIV positif sebanyak 263 orang ODHA. Jumlah ODHA per golongan umur yaitu: umur < 15 tahun = 13 orang (4,94%), umur 1524 tahun = 19 orang (7,22%), umur 25-49 tahun = 213 orang (80,99%), umur >50 tahun = 18 orang (6,84%). Pasien ODHA yang sudah memulai terapi obat anti retro viral (ARV) di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar sampai bulan Desember 2012 sebanyak 68 pasien. Faktor resiko pada ODHA yang sedang menjalani pengobatan ARV adalah hubungan seks tidak aman pada
Heteroseksual dan Pengguna Napza
Suntik/Injection Drug User(IDU). Semua pasien yang sedang menjalani terapi ARV akan dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini. Riwayat ODHA yang sedang minum ARV saat ini adalah dominan pasien yang datang pada stadium 3-4 dengan 2 sampai 3 infeksi oportunistik (IO) seperti oral candidiasis, pneumonia, TBC, Toxoplasmosis dan riwayat GE berulang. Disamping itu ada 3 orang responden yang memulai ARV tanpa adanya IO karena pasangannya (suami/istri) sudah lebih dulu minum ARV. Semua ODHA yang sedang minum ARV saat ini pernah terinfeksi jamur/Oral candidiasis. Dari kegiatan rutin konseling kepatuhan minum obat ARV pada pasien ODHA yang sedang menjalani terapi ARV, didapatkan bahwa semua pasien pernah lalai dalam aturan minum obat, baik dari interval waktu antar tablet, lupa minum obat atau kehilangan beberapa dosis minum obat dalam satu bulan, dan
bahkan banyak yang tidak mengambil obat antara 1 sampai 8 bulan selama masa pengobatannya. Untuk mencapai efektifitas pengobatan yang maksimal pada setiap pasien ODHA diperlukan tingkat ketepatan dan kepatuhan minum obat ARV minimal 95% dari dosis pengobatan yang telah ditentukan. Wilayah tempat tinggal pasien ODHA yang sedang menjalani terapi ARV tersebar di semua kecamatan di Kabupaten Gianyar yang terdiri dari: Kecamatan Blahbatuh 10 orang, Kecamatan Ubud 12 orang, Kecamatan Sukawati 14 orang, Kecamatan Payangan 9 orang, Kecamatan Tegalalang 8 orang, dan Kecamatan Gianyar 8 orang. Terapi ARV merupakan satu-satunya pilihan obat yang ada sampai saat ini. Kepatuhan minum obat merupakan kunci keberhasilan dalam proses pengobatan pada pasien ODHA yang dapat memberikan harapan untuk hidup lebih lama dan lebih baik. Ketika pasien berkeputusan untuk mulai minum ARV maka dia harus siap fisik dan mental untuk minum obat seumur hidupnya. Merupakan tantangan yang cukup berat ketika pasien berkeputusan untuk melaksanakan pengobatan ARV. Dosis ARV terdiri dari tiga atau lebih kombinasi obat. Selain minum oba ARV, pasien juga harus minum pengobatan pencegahan atau perawatan terhadap infeksi oportunistik. Semua obat ini dapat berjumlah 16 sampai 20 jenis tablet yang harus diminum setiap hari. Jumlah tablet yang harus diminum juga merupakan tantangan yang besar bagi ODHA. Untuk mendukung keberhasilan pengobatan juga terdapat aturan makan yang kadang-kadang diit yang harus ditaati oleh pasien ODHA, serta jumlah minum air paling sedikit satu setengah liter air yang harus diminum untuk mencegah terjadinya batu ginjal.
Jumlah obat dan aturan diit yang demikian, sering menyebabkan timbul rasa jenuh dan memuakkan, mual, muntah, diare, lelah, dan lain-lain, atau efek samping yang lebih panjang seperti: neuropati, lipoarthropi/lipodystrophy, kelainan fungsi tubuh berkenaan dengan gangguan metabolism. (Ministry of Health, Kenya, 2004). Dalam mencapai kesuksesan terapi HIV,diperlukan kepatuhan minum obat minimal 95% dari dosis terapi. Kegagalan mencapai tingkatan kepatuhan yang kurang dari 95% akan menurunkan penekanan terhadap replikasi virus HIV. Kriteria ketidakpatuhan diartikan sebagai kehilangan satu atau lebih dari dosis pengobatan yang telah ditentukan, tidak mematuhi interval waktu antar tablet yang diminum, tidak mentaati instruksi atau aturan yang berkenaan dengan aturan minum obat. Secara umum ketidakpatuhan digambarkan sebagai kehilangan/ tidak minum obat lebih dari 10% dosis obat harian atau lupa minum obat (Ministry of Health, Kenya,2004). Penelitian kepatuhan dalam pengobatan ARV telah dilakukan pada pasien ODHA di Kabupaten Mimika Papua tahun 2012. Dari total responden sebanyak 74 ODHA, terdapat 41 orang (55,41%) yang tidak patuh. Juga penelitian tentang kepatuhan di RSU. Dr Pirngadi Medan tahun 2012, dengan jumlah sampel 59 responden, didapatkan tingkat kepatuhan sebesar 57,6%. Penggunaan rejimen lini 2 diindikasikan kepada pasien ODHA yang sudah terjadi resistensi obat ARV dengan rejimen lini 1. Hal ini bisa terjadi karena virus HIV sudah kebal terhadap obat ARV lini 1 yang disebabkan oleh penggunaan obat ARV oleh pasien tidak sesuai dengan aturan minum obat, atau tingkat kepatuhan pasien ODHA dalam minum obat ARV kurang dari 95 % dari aturan
yang semestinya, serta adanya pasien ODHA yang terinfeksi dari jenis virus HIV yang sudah resisten terhadap obat ARV lini 1. Untuk mencegah semakin meningkatnya kejadian resistensi obat dikalangan ODHA yang sedang menjalani terapi ARV, diperlukan kegiatan monitoring kepatuhan berobat pada pasien ODHA melalui “Monitoring Indikator Kewaspadaan Dini”/ Early Warning Indicators-EWIs, yang sangat berguna bagi para ODHA agar dapat lebih patuh dalam menjalankan terapinya, serta keberhasilan program (Kemenkes RI, 2012) . Pelaksanaannya melalui kegiatan konseling dan pencatatan kepatuhan minum obat yang dilakukan setiap bulan pada saat pasien mengambil obat ARV di klinik VCT. Sebelum memulai pengobatan ARV pada ODHA, sebaiknya dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya infeksi oportunistik yang menyertai. Bebagai infeksi oportunistik dapat muncul dan yang paling sering adalah adanya infeksi oleh kuman TBC. Pemeriksaan ini sangat diperlukan sebagai salah satu usaha dalam meminimalkan ketidakpatuhan pasien ODHA dalam berobat. Pengobatan terhadap penyakit TBC diusahakan lebih duluan yang diikuti dengan pengobatan ARV. Hal ini dimaksudkan agar pasien ODHA dapat beradaptasi dengan obat TBC yang diminum, yang kemudian dilanjutkan dengan pengobatan ARV. Pemantauan yang dilakukan setiap bulan terhadap pengobatan diperlukan untuk melihat kepatuhan pasien minum obat (adherens). Disamping itu juga untuk melihat tingkat keberhasilan dari pengobatan yang sedang berjalan, dengan melihat gejala baru yang timbul akibat efek obat maupun dari perjalanan penyakit
pasien sendiri. Pemantauan sebaiknya dilakukan satu bulan sesudah pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap tiga bulan sekali (Dep.Kes.RI, 2006). Penyedia layanan tidak mudah menilai apakah pasien adalah orang yang patuh atau tidak patuh dalam menjalankan terapi ARV. Penyedia layanan memantau kepatuhan minum obat melalui laporan dari klien itu sendiri, melalui daya ingat klien tentang hari keberapa obat tidak diminum/ lupa meminum obat. Melibatkan orang-orang dengan HIV positif dalam penanggulangan epidemi, perlu untuk memberikan pandangan yang lebih manusiawi terhadap HIV/AIDS di masyarakat umum, selain juga sebagai advokasi efektif dalam mengatasi stigma dan diskriminasi. Memberikan perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV positif, mengurangi diskriminasi dan stigma, meningkatkan keterlibatan orang dengan HIV/AIDS dalam penanggulangan epidemi sangat diperlukan serta kelompok-kelompok pendukung orang HIV positif. Dari data pengambilan obat ARV di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar terdapat sebanyak 27 orang (39,71%) dari 68 orang pasien ODHA yang tidak secara rutin mengambil obat ARV-nya setiap bulan. Jika hal ini dibiarkan terus maka kemungkinan akan banyak terjadi resistensi terhadap obat pada pasien ODHA yang sedang menjalani pengobatan ARV. Peneliti mencoba menelusuri faktor yang menyebabkan tidak rutinnya para ODHA untuk mengambil obat ARV-nya. Dalam wawancara pendahuluan yang telah dilakukan terhadap pasien yang sedang menjalani terapi ARV di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar, didapatkan pernyataan dari pasien tersebut sebagai berikut :
1. Terhadap ketersediaan fasilitas pelayanan untuk pasien ODHA didapatkan pernyataan dari pasien bahwa fasilitas yang tersedia sudah sangat memadai. 2. Untuk sementara pasien ODHA yang memanfaatkan pelayanan di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar tidak dikenakan biaya apapun, sesuai himbauan Bupati Gianyar. 3. Transportasi untuk mencapai akses layanan dapat dijangkau dengan sangat mudah oleh semua masyarakat, termasuk pasien ODHA. Untuk hal tersebut peneliti akan menelusuri faktor lainnya yang menyebabkan ketidak patuhan minum ARV pada pasien ODHA yang sedang menjalani pengobatan ARV di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepatuhan pasien ODHA minum ARV di klinik VCT di RSUD Sanjiwani Gianyar masih rendah yang dilihat dari rutinitas pengambilan obat ARV oleh pasien sebagai sebuah perilaku kepatuhan, dan perlu ditelusuri komponen lainnya seperti : faktor pengetahuan tentang HIV/AIDS, pengetahuan tentang obat ARV, faktor dukungan keluarga/pendamping minum obat, persepsi pasien terhadap HIV/AIDS, karakteristik pasien sepeti : umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Untuk mengetahui lebih jauh tentang “kepatuhan pasien ODHA” di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar maka akan ditelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan tersebut dan dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan minum obat ARV pada pasien ODHA di klinik VCT RSUD Sanjiwani Kabupaten Gianyar”?
1.2.1 Bagaimana pengaruh pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS terhadap kepatuhan minum obat ARV ? 1.2.2 Bagaimana pengaruh pengetahuan tentang obat ARV dan efek samping terhadap kepatuhan minum obat ARV? 1.2.3 Bagaimana pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat ARV ? 1.2.4 Bagaimana pengaruh persepsi ODHA tentang penyakit HIV/AIDS terhadap kepatuhan minum obat ARV ? 1.2.5 Bagaimana pengaruh umur, jenis kelamin, dan pendidikan terhadap kepatuhan minum obat ? 1.2.6 Faktor yang mana paling berperan terhadap kepatuhan minum ARV pada ODHA di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien ODHA minum obat ARV di Klinik VCT RSUD Sanjiwani, Kabupaten Gianyar. 1.3.2 Tujuan khusus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1.3.2.1 Pengaruh pengetahuan pasien ODHA tentang HIV/AIDS dengan kepatuhan minum ARV di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar. 1.3.2.2 Pengaruh pengetahuan pasien ODHA tentang terapi ARV dengan kepatuhan minum ARV di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar.
1.3.2.3 Pengaruh dukungan keluarga terdekat/ pendamping minum obat dengan kepatuhan minum obat ARV. 1.3.2.4 Pengaruh persepsi pasien ODHA tentang penyakit HIV/AIDS dengan kepatuhan minum obat ARV. 1.3.2.5 Pengaruh karakteristik pasien ODHA dengan kepatuhan minum obat ARV. 1.3.2.6 Faktor yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan minum ARV di kalangan ODHA di klinik VCT RSUD Sanjiwani Gianyar. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat praktis bagi Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Gianyar adalah sebagai masukan dalam upaya penanggulangan infeksi HIV, guna mencegah terus meningkatnya kejadian resistensi obat pada ODHA yang dapat menambah beban biaya pengobatan pada pasien HIV/AIDS. 1.4.2 Manfaat akademis bagi ilmu pengetahuan adalah dapat memberikan gambaran tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian resistensi obat di kalangan ODHA, dan bagi peneliti yang tertarik pada masalah kepatuhan minum obat ARV pada pasien ODHA di masa yang akan datang. 1.4.3 Harapan penulis bagi masyarakat, dengan hasil penelitian ini masyarakat lebih meningkatkan upaya-upaya pencegahan terjadinya infeksi HIV dengan mempertimbangkan factor-faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi oleh HIV.