BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Sejarah AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat. Penyebab AIDS adalah virus yang menurunkan kekebalan tubuh secara perlahan-lahan. Virus tersebut bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV).17 Virus HIV ditemukan oleh Barre-Sinoussi, Montaigner, dan kawan-kawan pada Institut Pasteur pada tahun 1983. Karena menyebabkan limfadenopati, maka virus ini dinamai LAV (Lymphadenopathy Associated Virus). Tahun 1984, Popovic, Gallo dan kerabat kerjanya menggambarkan adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung produktif setelah diinfeksi oleh virus yang kemudian disebut HTLV-III. Virus ini merupakan virus yang sama dengan LAV. Pada tahun 1986, Komisi Taksonomi Internasional memberi nama baru Human Immunodeficiency Virus (HIV).1 Seseorang yang terinfeksi virus HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Penderita HIV dinyatakan sebagai AIDS ketika menunjukkan gejala imunosupresi berat yang berhubungan dengan infeksi HIV, seperti pneumocystis carinii, ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS, serta hitungan CD4 < 200/ml.14 Penderita AIDS tetap merasa sehat dalam waktu yang cukup lama. Rata-rata masa inkubasi infeksi HIV sampai menimbulkan AIDS adalah 8-9 tahun dan bahkan lebih lama. Case fatality rate (CFR) AIDS adalah 100% dalam lima tahun. Artinya
Universitas Sumatera Utara
dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan maka semua penderita akan meninggal.18
2.2 Struktur HIV Virion HIV mempunyai dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope, env) dan bagian inti (core). Inti tersusun atas dua untaian RNA, enzim reverse transcriptase, serta beberapa jenis protein antara lain protein p24 dan p17. Protein p24 berbentuk silindris dan diselubungi oleh lemak serta merupakan antigen virus yang cepat terdeteksi sehingga menjadi target antibodi dalam tes screening HIV. Sementara itu, protein p17 berbentuk bulat dan berada di dekat selubung.19 Selubung tersusun atas lipid dan glikoprotein, antara lain gp41 dan gp120 yang berperan dalam proses infeksi HIV. Gp120 berhubungan dengan reseptor limfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas dan bahan kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih serta sinar matahari. Selain itu, virus HIV mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium, hipoklorit dan sebagainya.20 Terdapat tiga kode genetik utama di dalam genome HIV, yaitu kode genetik gag (group associated antigen) yang mengatur pembentukan protein inti, pol (polymerase) yang mengatur pembentukan enzim reverse transcriptase, dan env (envelope). Selain itu, terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi
Universitas Sumatera Utara
transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain.21,22
2.3 Patogenesis HIV/AIDS Virus HIV menyerang limfosit T yang mempunyai marker permukaan sel CD4. Limfosit merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologis, seperti membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag.21 HIV mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4 karena molekul CD4 yang terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan afinitas yang tinggi untuk virus ini. HIV menyerang CD4 secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, virus akan menghambat fungsi dan kinerja sel T, sementara itu secara tidak langsung melalui perantara gp120 dan anti p24 yang akan menghambat aktivasi sel yang menghasilkan antigen HIV.20 Setelah virus mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya untuk kemudian dengan enzim reverse transcriptase merubah bentuk RNA-nya menjadi DNA. Selanjutnya sel yang berkembang akan mengandung bahan genetik virus.20
Universitas Sumatera Utara
Dalam tubuh penderita AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA host sehingga satu kali terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala). Masa ini berlangsung selama 8-9 tahun. Virus HIV yang berhasil masuk ke dalam tubuh seseorang juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel microglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe, sel-sel epital pada usus, dan sel Langerhans di kulit.23 Tahapan klinis sampai berkembang menjadi AIDS meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis, dan kematian.19 Infeksi primer terjadi selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan. Setelah itu, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu sejak infeksi primer. Virus menyebar luas ke seluruh tubuh termasuk organ limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel T secara signifikan. Respon imun terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi primer, viremia plasma menurun jumlahnya, dan level CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menghilangkan infeksi secara sempurna. Pada masa ini tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat, tes HIV juga belum mampu mendeteksi keberadaan virus HIV. Tahap ini disebut periode jendela (window periode.)19
Universitas Sumatera Utara
Masa latensi klinis dapat berlangsung 8-9 tahun atau lebih, dimana selama masa ini banyak terjadi replikasi virus baru. Siklus hidup virus mulai saat infeksi sel sampai replikasi berkisar rata-rata 2,6 hari. Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang nyata, seperti infeksi opurtunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut.19 HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik daripada strain virus yang ditemukan pada awal infeksi.20
2.4 Sel CD4 Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah bagian dari sel darah putih atau limfosit yang berperan penting di dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Sel ini juga disebut sel T4 atau sel pembantu. Ketika manusia terinfeksi HIV, sel yang paling utama diserang adalah sel CD4. Ketika sel ini menggandakan diri untuk melawan infeksi apapun, sel tersebut juga membuat banyak duplikasi HIV. Menurunnya jumlah CD4 menandakan menurunnya imunitas tubuh sehingga semakin memudahkan terjadinya infeksi. Jumlah sel CD4 yang normal adalah 410-1.590 sel/mL darah. Bila jumlah di bawah 350 sel/mL atau di bawah 14%, kondisi tersebut dianggap sebagai AIDS.24 Jumlah CD4 yang sering berubah-ubah menyebabkan perhitungan persentase sel ini menggunakan perbandingan dengan limfosit total (total lymphosit count, TLC), bukan menghitungnya secara langsung. Jika hasil tes CD4 adalah 34% berarti 34% dari total limfosit adalah CD4. Angka normal berkisar 30-60%. Angka di bawah 14%
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan kerusakan yang parah pada sistem kekebalan tubuh. Hal ini adalah tanda AIDS pada penderita HIV.18 Pada pasien HIV yang tidak diobati, penurunan jumlah CD4 sekitar 4% per tahun. Keberhasilan pemberian ARV menyebabkan jumlah CD4 meningkat lebih dari 50% per tahun. Pada stadium akut infeksi HIV, penurunan jumlah CD4 terjadi sangat drastis hingga kurang dari 1.000 sel/mL darah, kemudian bertambah lagi pada masa serokonversi, dan menurun selama fase kronis dengan laju penurunan 70 sel/mL darah per tahun.18 Centers for diseases control (CDC) pada tahun 2003 menetapkan klasifikasi klinis HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD4 sebagai berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi Klinis HIV/AIDS Berdasarkan Jumlah CD4 Jumlah CD4 Kategori Klinis Total % A B (sel/mL darah) (Asimtomatik, (Simtomatik) infeksi akut) ≥ 500 > 29 A1 B1 200-499 14-28 A2 B2 < 200 < 14 A3 B3 25 Sumber: CDC, 2003
C (AIDS) C1 C2 C3
CDC (2003) juga menetapkan jenis infeksi opurtunistik yang mungkin diderita oleh penderita HIV berdasarkan jumlah CD4, yaitu:25 a. Jumlah CD4 kurang dari 500 sel/mL darah Secara umum, penderita HIV dengan jumlah CD4 > 500 sel/mL tidak berisiko terhadap infeksi opurtunistik. Namun, jika jumlahnya sekitar 500 sel/mL, penderita digolongkan sebagai kelompok yang rentan terhadap infeksi kandidiasis vaginal atau infeksi jamur lainnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Jumlah CD4 antara 200-499 sel/mL darah Infeksi opurtunistik yang sering terjadi dengan jumlah CD4 sekitar 200-499 sel/mL darah adalah kandidiasis dan sarkoma kaposi. c. Jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mL darah Pada kondisi jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mL darah maka penderita HIV memiliki
risiko
tinggi
untuk
terinfeksi
pneumocystis
carinii
pneumonia,
histoplasmosis, progressive multifocal leukoencephalopathy (PML), toksoplasmosis, criptosprorodiosis, criptococcosis, sitomegalovirus, dan mycobacterium avium complex (MAC).
2.5 Transmisi HIV/AIDS Virus HIV dapat diisolasi dari darah, saliva, semen, sekresi serviks, limfosit, air seni, air susu, cairan serebrospinal, dan air mata. Namun tidak semua cairan ini dapat menjadi media penularan virus. Virus HIV paling banyak dijumpai pada semen, darah, dan sekresi serviks.19 Transmisi virus HIV dapat dikelompokkan menjadi: a. Transmisi melalui hubungan seksual Kontak seksual merupakan cara utama transmisi HIV. Baik hubungan genitogenital maupun ano-genital sama-sama berisiko menjadi media penularan virus ini. Transmisi melalui hubungan seksual lewat anus lebih berisiko karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek sehingga virus dengan mudah masuk melalui lesi pada anus. Risiko penularan dari laki-laki penderita HIV/AIDS ke perempuan adalah 4-6% sedangkan risiko dari perempuan penderita HIV/AIDS ke
Universitas Sumatera Utara
laki-laki adalah 2-3%. Proporsi penularan HIV melalui hubungan seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) di Indonesia mencapai 60% dari seluruh transmisi.26 b. Transmisi melalui darah dan produk darah Diperkirakan 90-100% orang yang mendapat transfusi darah yang telah tercemar HIV akan mengalami infeksi. Sebuah penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 835.000 kasus.3 Proporsi penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik di Indonesia mencapai 30% dari seluruh jenis transmisi.26 c. Transmisi secara vertikal Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, persalinan, dan setelah melahirkan atau melalui pemberian ASI. Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20%.3 d. Transmisi melalui cairan tubuh lain Walaupun di dalam air liur penderita HIV/AIDS dapat ditemukan virus HIV, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menjadi sumber penularan, baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain. Demikian juga dengan cairan tubuh lainnya seperti air mata, keringat, dan urin.3 e. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium Para pekerja di bidang pelayanan kesehatan seperti dokter, dokter gigi, serta paramedik termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS. Risiko
Universitas Sumatera Utara
penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah 0,3%. Sedangkan risiko penularan HIV ke membran mukosa yang mengalami erosi adalah 0,09%.3 Penyebaran penyakit AIDS dibagi ke dalam 3 pola, yaitu: a. Pola I terdapat di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand dan beberapa negara Amerika Latin. Penyebaran pada pola I ini terutama terjadi melalui hubungan homoseksual dan biseksual serta pemakaian obat bius secara intravena. Transmisi perinatal jarang terjadi karena masih relatif sedikit pengidap HIV. Perbandingan laki-laki dan perempuan yang terkena HIV adalah 10:1. b. Pola II terdapat di daerah Sub-Sahara Afrika, Amerika Latin, dan Karibia. Penyebaran terutama terjadi melalui hubungan heteroseksual. Transmisi perinatal merupakan masalah besar karena 5-15% atau lebih perempuan hamil telah tertular HIV. Perbandingan laki-laki dan perempuan yang terkena HIV adalah 1:1. c. Pola III terdapat di Afrika Utara, Eropa Timur, Timur Tengah, serta Asia Pasifik. Belum diketahui cara penyebaran yang paling menonjol. Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang datang dari daerah endemik. Beberapa kasus dilaporkan karena menerima produk darah yang diimpor dari luar negeri.22
Universitas Sumatera Utara
2.6 Gejala Klinis HIV/AIDS Gejala dari infeksi akut HIV menyerupai mononucleosis infeksiosa, meliputi demam, ruam di kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, rasa tidak enak badan yang berlangsung 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun pembengkakan kelenjar getah bening masih terjadi. Seiring dengan penurunan imunitas tubuh, penderita akan memperlihatkan gejala-gejala kronis seperti diare lebih dari satu bulan, berat badan menurun hingga 10% dalam satu bulan, demam berkepanjangan selama satu bulan, nafas pendek, serta bercak putih pada lidah (kandidiasis oral). Ketika sistem imun sudah semakin buruk, maka muncul penyakit oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum, terutama sarkoma kaposi. Penderita pada tahap ini sudah dikategorikan ke dalam AIDS.17 World Health Organization (WHO) menetapkan empat stadium klinis pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS yakni sebagai berikut: Tabel 2.2 Empat Stadium Klinis Pada Pasien HIV/AIDS Stadium 1 Tidak terjadi penurunan berat badan Asimtomatik Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten Penurunan berat badan 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Stadium 2 Luka di sekitar bibir (kelitis angularis) Sakit Ringan Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (pruritic popular eruption)) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku Penurunan berat badan > 10% Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Stadium 3 Oral hairy leukoplakia Sakit Sedang TB paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati
Universitas Sumatera Utara
Gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb < 8 g%), netropenia (< 5.000/ml), trombositopeni kronis (< 50.000/ml) Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)
Sindrom wasting HIV Pneumonia pneumosistis, pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes simpleks ulseratif lebih dari 1 bulan Kandidosis esophageal TB ekstraparu Sarkoma Kaposi Retinitis CMV (Cytomegalovirus) Abses otak toksoplasmosis Encefalopati HIV Meningitis kriptokokus Infeksi mikobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati multifocal progresif (PML) Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin Kanker serviks invasif Leismaniasis atipik meluas Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV Sumber: WHO, 200827
2.7 Infeksi Opurtunistik Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan atau menyerang infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis kuman. Infeksi HIV dapat merusak sistem kekebalan tubuh. Infeksi yang mengambil kesempatan dari kerusakan sistem pertahanan tubuh ini dikenal dengan infeksi opurtunistik. Infeksi ini dapat muncul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh maupun yang sudah ada di dalam tubuh.28
Universitas Sumatera Utara
Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit CD4 sebagai pertanda munculnya IO pada penderita AIDS. Penurunan CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh HIV. Infeksi-infeksi opurtunistik umumnya terjadi bila jumlah CD4 < 200 sel/mL atau dengan kadar lebih rendah.11 Infeksi opurtunistik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium lanjut infeksi HIV. Infeksi ini biasanya tidak terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel T CD4 turun menjadi 200 sel/mL darah. Ketika pengobatan terhadap beberapa patogen opurtunistik dilaksanakan dan penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih lama, spektrum IO mengalami perubahan.20 Terdapat enam prinsip dasar dalam mendiagnosis dan mengobati penyakit infeksi pada penderita AIDS, yaitu:17 a. Penyakit infeksi parasit, jamur, dan virus pada penderita AIDS biasanya tidak dapat disembuhkan. Terkadang penyakit infeksi tersebut dapat diatasi pada tahap akut, namun biasanya dibutuhkan pengobatan jangka panjang untuk mencegah kekambuhan. b. Sebagian besar penyakit infeksi pada penderita AIDS adalah akibat reaktivasi kuman yang sudah ada pada penderita, jadi bukan infeksi baru. Biasanya tidak menular, kecuali tuberkulosis paru, herpes zoster, dan salmonellosis. c. Frekuensi infeksi parasit atau jamur tergantung dari prevalensi infeksi asimtomatik parasit/jamur tersebut pada penduduk setempat. Di Amerika, lebih dari 50% infeksi adalah pneumonia. Infeksi tunggal jarang terjadi. Seringkali terjadi infeksi beberapa kuman secara bersamaan atau infeksi susulan.
Universitas Sumatera Utara
d. Jenis infeksi parasit atau jamur pada penderita AIDS di suatu daerah tergantung dari prevalensi parasit/jamur tersebut pada penduduk setempat. e. Infeksi pada penderita AIDS biasanya berat dan seringkali dalam bentuk disseminata. f. Beberapa jenis penyakit infeksi sekarang sduah dikenal berkaitan erat dengan AIDS. Data dari Dirjen PP&PL Kementerian Kesehatan (2010) menyebutkan bahwa IO yang paling banyak dilaporkan pada penderita AIDS di Indonesia adalah tuberkulosis (11.513 kasus). Diikuti kandidiasis orofaringeal (6.605 kasus), diare kronis (6.567 kasus), dermatitis generalisata (1.676 kasus), dan limfadenopati generalisata persisten (778 kasus).29 Hasil penelitian Jannah (2010) di RSUD Dr. Soetomo menyebutkan bahwa IO yang paling sering dijumpai adalah kandidiasis oral (23,0%), selanjutnya diare (12,0%), tuberkulosis (12%), pneumocystis carinii (7%), pneumonia (6%), sepsis (6%), pruritic popular eruption (6%), cytomegalovirus (4%), toksoplasmosis (4%), dan TB ekstraparu (3%).30 Hasil penelitian Fathanah (2011) di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar menunjukkan bahwa proporsi IO pada penderita AIDS tertinggi adalah gastroenteritis akut (37,5%), diikuti oleh dermatitis generalisata (25,0%). Proporsi TB paru, kandidiasis oral, dan ensefalopati masing-masing 12,5%.31
Universitas Sumatera Utara
2.8 Epidemiologi Infeksi Opurtunistik pada Penderita AIDS 2.8.1 Distribusi dan Frekuensi Infeksi Opurtunistik pada Penderita AIDS a. Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan penyebab kematian utama pada orang dewasa di negara berkembang. Tuberkulosis erat kaitannya dengan kerusakan imunitas seluler, sedangkan orang yang terinfeksi HIV imunitas selulernya rusak. Infeksi tuberkulosis seringkali mendahului diagnosis AIDS. Tuberkulosis pada penderita AIDS dapat menyerang susunan saraf pusat dan menyebabkan kematian. Pengobatan yang dilakukan pada dasarnya serupa dengan pengobatan TB paru pada umumnya, namun dengan sedikit perubahan. Sistem kekebalan tubuh pada orang yang sehat dapat mengendalikan basil tb agar tidak menyebabkan penyakit. Namun, kuman ini dapat menimbulkan infeksi opurtunistik pada penderita AIDS. Angka TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) 40 kali lebih tinggi dibanding angka orang bukan penderita AIDS. Angka TB paru meningkat di seluruh dunia karena infeksi HIV. Penting bagi ODHA untuk mencegah dan mengobati TB sesegera mungkin.28 HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif, baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5-10% per tahun. Sekitar 60% ODHA berkembang menjadi TB aktif semasa hidupnya. Sekitar sepertiga dari 34 juta penderita AIDS terinfeksi basil TB. Pada ODHA, risiko menderita TB 21-34 kali lebih besar dibandingkan pada bukan ODHA. Pada tahun 2011, sekitar 430.000 orang yang menderita AIDS meninggal akibat
Universitas Sumatera Utara
tuberkulosis. Di Afrika, proporsi perempuan penderita AIDS yang juga menderita TB lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki penderita AIDS yang menderita TB. Namun tingkat kematian lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan.32 Pada tahun 2000, kejadian HIV/TB secara global menunjukkan bahwa 9% dari 8,3 juta kasus TB pada kelompok umur 15-49 tahun diakibatkan oleh infeksi HIV. Sekitar 1,8 juta kematian akibat TB, 12% diakibatkan oleh HIV/AIDS. TB paru merupakan penyebab kematian dari 11% pasien AIDS. Hampir 6 juta orang dewasa dengan HIV di Asia Tenggara, 40-50% terinfeksi TB.32 Penelitian yang dilakukan oleh Sidebang (2010) di Puskesmas Tanjung Morawa menunjukkan proporsi terjadinya IO tuberkulosis pada kelompok umur 1539 tahun adalah 94,1% dan kelompok umur > 39 tahun sebanyak 5,9%. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki ODHA lebih banyak menderita tuberkulosis dengan proporsi 88,2%. Sementara itu perempuan hanya 11,8%.33 Penelitian Dikromo (2008) menunjukkan bahwa di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, kasus infeksi opurtunistik TB paru pada ODHA terjadi pada usia 20-29 tahun (61,4%) dan laki-laki (83,1%). Kadar CD4 berada di bawah 200 sel/mL darah (78,3%).34 b. Kandidiasis orofaringeal Kandidiasis orofaringeal adalah infeksi opurtunistik mukosa orofaringeal yang pada banyak kasus disebabkan oleh jamur Candida albicans, tetapi dapat juga disebabkan oleh spesies lain seperti Candida glabrata, Candida tropicalis, dan Candida krusei. Infeksi yang sering kambuh pada mukosa mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur kandida sering menimbulkan masalah yang cukup berat
Universitas Sumatera Utara
pada ODHA. Kandidiasis mulut sering mendahului IO lainnya atau sarkoma kaposi dalam waktu satu tahun atau lebih.17 Kandidiasis oral merupakan manifestasi yang paling umum dan dini, sebagai tanda permulaan dari infeksi HIV. Limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mL merupakan faktor risiko terjadinya kandidiasis oral, sedangkan jika kurang dari 100 sel/mL akan timbul juga kandidiasis kuku.11 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Angita (2011) diketahui bahwa di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, penderita AIDS dengan kandidiasis orofaringeal terbanyak adalah laki-laki (69%), dengan rentang usia 30-39 tahun, pekerjaan buruh dan pegawai swasta (21,43%), sudah menikah (88,09%), jumlah CD4 < 50 sel/mL darah (78,57%).35 Hasil penelitian Sasmita (2010) di RSUD DR. Soetomo menunjukkan bahwa 41,94% penderita kandidiasis oral memiliki jumlah CD4 < 50 sel/mL darah, 87,1% memiliki riwayat tidak menggunakan ARV dan 64,52% terjadi pada kelompok heteroseksual.36 c. Diare Kronis Diare kronis diartikan sebagai buang air besar dalam konsistensi cair atau tidak, dengan frekuensi lebih dari atau sama dengan 3 kali sehari, atau dengan perkiraan berat tinja lebih dari 200 gram per hari dengan durasi lebih dari 4 minggu.40 Bagi penderita infeksi HIV, diare kronis merupakan komplikasi yang biasa terjadi, yaitu 60-90% di negara berkembang. Studi di India menyatakan bahwa diare merupakan manifestasi klinis ketiga paling banyak pada pasien AIDS.37
Universitas Sumatera Utara
Penelitian menunjukkan bahwa infeksi bersamaan antara diare kronis dan HIV/AIDS pada anak-anak lebih berbahaya dibandingkan pada anak-anak yang hanya mengidap HIV/AIDS. Suatu studi di Republik Kongo menjumpai risiko kematian disebabkan diare kronis pada anak yang mengidap HIV 11 kali lebih besar dari anak yang tidak mengidap HIV.38 Di negara dengan obat antiretroviral (ARV) yang sudah tersedia dengan cukup, insidens diare kronis pada penderita AIDS menurun dari 53% menjadi 13%. Sedangkan di negara dengan obat ARV yang kurang tersedia, insidens diare kronis pada penderita AIDS masih tetap tinggi. Namun, penelitian di Boston dimana obat antiretroviral cukup tersedia, sebanyak 40% orang dewasa yang terinfeksi HIV mengalami paling sedikit satu kali diare selama satu bulan pengobatan ARV.12 Penelitian Farozanah (2010) di RSUP H. Adam Malik menunjukkan bahwa proporsi ODHA dengan diare kronis pada laki-laki sebesar 77% dan perempuan sebesar 23%. Dimana 88% dari penderita adalah dewasa, 8% anak-anak, dan 4% lansia. Jumlah CD4 < 200 sel/mL darah 54% dan CD4 ≥ 200 sel/mL darah 46%.
39
Penelitian Sidebang (2010) membuktikan bahwa frekuensi kejadian diare kronis pada ODHA tertinggi pada kelompok umur 15-39 tahun (50,0%), diikuti kelompok umur < 15 tahun dan > 39 tahun yang masing-masing 25,0%. Laki-laki ODHA memiliki proporsi 100,0% menderita diare kronis.33 d. Sarkoma Kaposi Sarkoma kaposi adalah penyakit yang multisentrik angioproliferatif dan merupakan tumor yang sering didapatkan pada infeksi HIV. Kelainan ini muncul pada ODHA dengan jumlah CD4 < 800 sel/mL darah. Lesi berupa makula, papula,
Universitas Sumatera Utara
pustul, nodul, atau plak berwarna merah atau ungu. Kelainan ini merupakan salah satu tanda khas infeksi HIV. Beberapa penelitian di Asia tidak mendapatkan penderita HIV/AIDS yang mempunyai kelainan kulit sarkoma kaposi.40 Sarkoma kaposi memengaruhi kurang lebih 20% ODHA di Amerika Serikat yang tidak memakai terapi ARV. Angka di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi tampaknya lebih rendah. Sarkoma kaposi terutama terjadi pada laki-laki. Di Amerika Serikat, laki-laki penderita AIDS berisiko delapan kali lebih besar untuk mendapat sarkoma kaposi dibandingkan perempuan.28 Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan pada tahun 2010 ditemukan bahwa proporsi sarkoma kaposi pada penderita AIDS sebesar 0,8%.41 e. Pneumocystis Carinii Pneumonia Pneumocystis carinii
pnemumonia merupakan IO dengan gejala utama
demam, batuk kering yang tidak produktif, lemah, nafas pendek yang terjadi secara bertahap dan tidak ada rasa sakit. Diagnosis ditegakkan dengan adanya kista-kista yang khas pada sekret pernafasan. Di Amerika Serikat, IO ini merupakan penyebab kematian ke-2 pada penderita AIDS.42 Penelitian terhadap 55 pasien AIDS dengan kelainan paru yang dirawat di beberapa rumah sakit di Jakarta menemukan delapan pasien menderita PCP, yang terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan. Kadar CD4 pada pasien PCP tersebut < 50 sel/mL.43
Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Determinan Infeksi Opurtunistik pada Penderita AIDS a. Determinan Tuberkulosis Pada Penderita AIDS Tuberkulosis disebabkan oleh kuman berbentuk batang, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Berbeda dengan IO pada umumnya, agen penyebab tuberkulosis merupakan agen tunggal. Pada dasarnya, masyarakat sudah memiliki agen infeksius ini di dalam tubuhnya. Namun karena sistem imun masih bisa menahan infeksinya, sebagian besar tidak menunjukkan gejala tuberkulosis sampai meninggal. Pada penderita AIDS dengan sistem imun yang buruk, mengakibatkan basil ini aktif untuk menginfeksi paru-paru. Mycobacterium tuberculosis memiliki ukuran panjang 1-4 µ dengan lebar 0,30,6 µ. Basil ini tumbuh optimal pada suhu 37°C dengan tingkat keasaman 6,4-7,0. Struktur dinding sel yang kompleks menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yakni apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol.44 b. Determinan Kandidiasis Orofaringeal pada Penderita AIDS Kandidiasis orofaringeal merupakan salah satu penyakit jaringan mukosa mulut yang banyak ditemukan pada pengguna antibiotik spektrum luas, xerostomia, dan penderita gangguan sistem kekebalan tubuh. Infeksi ini sering disebabkan oleh infeksi jamur Candida albican. Selain itu juga bisa disebabkan oleh infeksi Candida glabrata, Candida parapsilosis, Candida tropikalis, dan Candida crusei. Fakta bahwa kandidiasis orofaringeal merupakan infeksi jamur yang banyak ditemukan
Universitas Sumatera Utara
tidaklah mengherankan, sebab 50% rongga mulut manusia yang sehat membawa jamur ini sebagai komponen normal mikroflora mulut.45 Kandidiasis orofaringeal secara tidak langsung menyebabkan kematian, namun rasa nyeri menyebabkan kesulitan asupan makanan yang berakibat menurunnya kualitas hidup dan berpengaruh buruk terhadap sistem kekebalan tubuh yang memang telah terganggu pada penderita AIDS.46 c. Determinan Diare Kronis pada Penderita AIDS Diare kronis yang terjadi pada penderita AIDS dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab (multifaktorial), antara lain bakteri, parasit, jamur, dan virus. Gejala yang sering ditimbulkannya adalah rasa keram pada lambung, nausea, lemah, berat badan menurun, hilang selera makan, muntah, dan dehidrasi. Hal ini berlangsung terus-menerus selama 4 minggu atau berulang-ulang selama 8 minggu. Selain itu juga bisa disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium avium kompleks dengan gejala demam berkelanjutan, keringat pada malam hari, berat badan menurun, anemia, nyeri badan, pusing, diare, dan kelemahan. Infeksi biasanya terjadi apabila jumlah CD4 < 50 sel/mL darah.47 Diare disebabkan oleh berbagai jenis infeksi protozoa, yaitu Microsporodium, Cryptosporodium, Isospora belli, Giardia lambia, Entamoeba histolytica, Leishmania donovani, Blastocystis hominis, serta Cydospora sp. Beberapa jenis bakteri yang juga sering menyebabkan diare adalah Salmonella, Campylobacter, Mycobacterium avium complex, Mycobacterium tuberculosis, Shigella, Clostridium difficile, Small bowel bacterial overgrowth, dan Vibrio sp. Infeksi akibat jamur pun dapat menyebabkan diare, yaitu Histoplasmosis, Coccidiomycosis, dan Candida albicans. Beberapa jenis
Universitas Sumatera Utara
virus yang sering menyebabkan diare adalah Cytomegalovirus, Herpes simplex, Adenovirus, Rotavirus, dan Norwal.48 Di Amerika Serikat, penyebab diare kronis pada penderita AIDS yang paling sering adalah Clostridium difficile sebanyak 51,3% dan protozoa yang lain sebanyak 18%.49 Di Uganda sebanyak 47% penderita AIDS dirawat dengan keluhan diare kronis dan dari pemeriksaan kultur tinja, penyebab yang paling banyak adalah Criptosporodium, Isospora belli, Mycrosporodia, Giardiasis, Shigellosis, Amebiasis, Salmonellosis, Strongyloides, Candidiasis, Campylobacter, Cytomegalovirus, dan Mycobacterium avium complex.50 Di India, protozoa penyebab diare yang paling banyak dijumpai pada pasien penderita AIDS adalah Cryptosporodium (46,4%) dan Microsporodium (26,8%).49 Sedangkan di Kenya, penyebab diare kronis yang paling sering pada penderita AIDS adalah Cryptosporodium sp. (17%) dan Salmonella typhimurim (13%).51 d. Determinan Sarkoma Kaposi Pada Penderita AIDS Kelainan kulit muncul hampir secara umum pada perjalanan penyakit HIV, sebagai akibat dari penurunan sistem imun atau berhubungan dengan pengobatan ARV. Penurunan fungsi sel langerhans yang terinfeksi HIV menjadi penyebab kelainan pada kulit. Semakin berkurang kadar CD4 pada tubuh, maka keparahan kelainan kulit akan semakin meningkat, bertambah jumlahnya, dan sulit ditangani. Penyebab kelainan ini bisa karena infeksi, non-infeksi maupun proses keganasan.10
Universitas Sumatera Utara
e. Determinan Pneumocystis Carinii Pneumonia Pada Penderita AIDS Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci yang memiliki struktur berbeda dengan khamir dan kapang pada umumnya. Sampai tahun 1988 jamur tersebut digolongkan sebagai protozoa sebab kesamaan morfologi dan respons hospes dengan protozoa, perbedaan fenotipe dengan jamur pada umumnya, obat antifungal tidak efektif terhadap P. jiriveci, serta obat antiprotozoa efektif terhadap jamur tersebut. Presentasi klinis PCP biasanya terjadi pada penderita AIDS dengan jumlah CD4 < 200 sel/mL darah (pada 90% kasus) dengan gejala berupa demam, batuk nonproduktif, rasa berat di dada, serta sesak yang progresif dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.43
2.9 Pencegahan HIV/AIDS 2.9.1 Pencegahan Primer Pencegahan primer dilakukan agar orang yang sehat tetap sehat atau tidak menjadi sakit. Pencegahan tingkat pertama pada HIV/AIDS dapat dilakukan dengan : a.
b.
c.
Melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC” yaitu Abstinence artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah, Be Faithful artinya setia pada satu pasangan yang sah, dan jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan maka plihan berikutnya adalah dengan menggunakan kondom secara konsisten (Use Condom). Pada pengguna napza suntikan, selalu berusaha untuk menggunakan jarum suntik yang steril dan tidak menggunakannya secara bersama-sama. Alangkah baiknya berhenti menggunakannya. Menerapkan prinsip kewaspadaan universal (universal precautions) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Hal ini terutama dilakukan pada petugas pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
d.
e.
Melakukan skrining yang konsisten terhadap produk darah maupun organ yang didonorkan serta menghindari jahitan, transfusi, atau tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu positif HIV ke anaknya, maka pencegahan dapat dilakukan dengan cara mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan. Bila sudah hamil, diusahakan untuk tidak sampai menularkan ke bayinya. Dan jika bayi sudah terinfeksi, diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.26
2.9.2 Pencegahan Sekunder Pencegahan tahap kedua ini dilakukan untuk mencegah agar infeksi opurtunistik tidak terjadi, kalaupun terjadi tidak menyebabkan kondisi yang sangat berisiko. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah: a. Melakukan diagnosis dini terinfeksi HIV/AIDS dengan menggunakan uji laboratorium terhadap spesimen darah di klinik VCT. Diagnosis pasti terinfeksi HIV ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dimulai dengan uji ELISA (Enzym linked Immunosorbent Assay) dilanjutkan dengan uji Western blot karena uji ini mampu mendeteksi komponen yang terkandung di dalam HIV.3 Sementara itu, Departemen Kesehatan RI (2005) menetapkan diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans, yaitu:
1. Dewasa (> 12 tahun) apabila: a. Tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 1 tanda minor, b. Ditemukan sarkoma kaposi atau PCP. 2. Anak-anak (≤ 12 tahun) apabila: a. Jika umur ≥ 18 bulan, tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 2 tanda minor,
Universitas Sumatera Utara
b. Jika umur < 18 bulan, tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 2 tanda minor dengan ibu yang HIV +. Tabel 2.3 Diagnosis AIDS Berdasarkan Tanda Mayor dan Minor Tanda Mayor Tanda Minor a) Penurunan berat badan lebih dari 10% a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan dalam 1 bulan b) Dermatitis generalisata c) Herpes zoster rekuren b) Diare kronis lebih dari 1 bulan c) Demam menetap lebih dari 1 bulan secara d) Infeksi herpes simpleks virus kronis progresif konstan atau intermiten d) Penurunan kesadaran dan gangguan e) Kandidiasis orofaringeal neurologis f) Infeksi jamur berulang pada alat e) Ensefalopati HIV kelamin g) Retinitis oleh virus cytomegalovirus (CMV) 52 Sumber: Depkes RI, 2005 Saat ini, pemerintah telah menyelenggarakan klinik Voluntary, Councelling, and Testing (VCT) untuk mengetahui status HIV/AIDS secara dini. Klinik VCT mencakup proses konseling pra-testing, konseling pos-testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu seseorang untuk mengetahui status HIV. Konseling pra-testing memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas hasil tes HIV yang akan dihadapi. Konseling pos-testing membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status (HIV +) dan merujuk pada layanan dukungan yang tersedia.53 b. Pengobatan suportif untuk
meningkatkan keadaan
umum penderita.
Pengobatan ini termasuk profilaksis kotrimoksasol, terapi antiretroviral (ART), serta nutrisi yang baik bagi ODHA. b.1 Kotrimoksasol
Universitas Sumatera Utara
Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan ini, yaitu profilaksis primer untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita dan profilaksis sekunder untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Berikut adalah tabel mengenai anjuran pemberian profilaksis kotrimoksasol pada ODHA: Tabel 2.4 Pemberian Kotrimoksasol Sebagai Profilaksis Indikasi Saat Penghentian Dosis Bila tidak tersedia Dua tahun setelah pemeriksaan jumlah CD4, penggunaan kotrimoksasol semua pasien diberikan jika mendapatkan ARV kotrimkosasol segera setelah 960 mg/hari dinyatakan HIV + dengan dosis Bila tersedia pemeriksaan Bila sel CD4 naik > 200 tunggal jumlah sel CD4 dan sel/mL pada pemeriksaan dua terjangkau, kotrimoksasol kali interval 6 bulan berturutdiberikan pada pasien turut jika mendapatkan ARV dengan CD < 200 sel/mL Semua bayi lahir dari ibu Dihentikan pada usia Trimetropim hamil HIV + berusia 6 kehamilan 18 bulan dengan 8-10 mg/kg minggu hasil tes HIV -. Jika hasil tes BB dengan HIV +, dihentikan pada usia dosis tunggal 18 bulan jika mendapatkan terapi ARV Sumber: Kemenkes RI, 20116
Pemantauan Efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, kemerahan, sindrom StevenJhonson, anemia, trombositopeni, leukopeni, pansitopeni.
b.2 Terapi Antiretroviral (ART) Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1996, ARV terbukti menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat HIV/AIDS. Pemeriksaan klinis dijadikan dasar untuk memulai terapi ARV pada ODHA. Semua pasien dengan stadium klinis 3 dan 4 harus memulai terapi ARV. 6
Universitas Sumatera Utara
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau muncunya IO yang pertama. Artinya, pada saat penderita dinyatakan HIV +, dianjurkan untuk segera memulai terapi ARV. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 < 200 sel/mL darah dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4, maka terapi dimulai sebelum CD4 kurang dari 200 sel/mL darah. Berikut adalah tabel yang menunjukkan waktu untuk memulai terapi ARV: Tabel 2.5 Saat Untuk Memulai Terapi ARV Pada ODHA Stadium Bila tersedia pemeriksaan CD4 Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 Klinis 1 Terapi ARV dimulai jika CD < 200 Terapi ARV belum diberikan sel/mL darah 2 Bila jumlah total limfosit < 1200 sel/mL darah 3 Jika CD4 diantara 200-350 sel/mL Terapi ARV dimulai tanpa memandang darah, pertimbangkan untuk jumlah limfosit total diberikan ARV sebelum CD turun menjadi di bawah 200 sel/mL darah 4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4 Sumber: Kemenkes RI, 20116 Pada pasien dengan IO yang masih aktif, tidak diperbolehkan memulai terapi ARV. Pada dasarnya IO harus diobati atau diredakan terlebih dulu kecuali untuk jenis IO Mikrosporidiosis, CMV, Kriptosporidiosis, dan PML. Hal ini berkaitan dengan efek samping obat ARV yang dapat saling menghilangkan pengaruh ketika dikonsumsi bersamaan dengan obat IO.6 Sampai dengan saat ini, terdapat tiga jenis ARV yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nama Obat Abacavir (ABC) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI). Bekerja dengan cara menghambat Didanosin (ddI) enzim reverse transcriptase sehingga Lamivudine (3TC) pertumbuhan rantai DNA hasil replikasi virus Stavudine (d4T) terhenti. Zidovudin (ZDZ atau AZT) Tenofir disoproxil fumarat (TDF) Emtricitabine (FTC) Nevirapin (NVP) Non-nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI). Bekerja dengan cara menghambat Efavirenz (EFZ) transkripsi RNA HIV menjadi DNA. Protease Inhibitor (PI). Bekerja dengan cara Indinavir (IDV) menghambat enzim protease HIV sehinggan Ritonavir (RTV, r) pematangan virus tidak terjadi. Lopinavir (LPV) Nelvinafir (NFV) Saquinafir (SQV) Sumber: WHO, 200827 Saat ini, regimen terapi ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari tiga jenis obat ARV. Pemerintah Indonesia menganjurkan untuk menggabungkan 2 jenis obat ARV golongan NRTI ditambah 1 jenis dari golongan NNRTI pada lini pertama terapi ARV, yaitu: Tabel 2.7 Kombinasi Obat untuk Terapi ARV Lini Pertama Obat A Obat B Lamivudine + Zidovudin Lamivudine + Didanosin Efavirenz Lamivudine + Stavudine Lamivudine + Zidovudin Lamivudine + Stavudine Nevirapin Lamivudine + Didanosin Lamivudine + Zidovudin Lamivudin + Stavudine Nevirapin Lamivudin + Didanosin Sumber: Kemenkes RI, 20116 Kegagalan pengobatan yang ditandai dengan menurunnya CD4 di bawahh 100 sel/mL dan meningkatnya viral load melebihi 10.000 sel/mL setelah 6 bulan
Universitas Sumatera Utara
terapi ARV mengharuskan ODHA menggunakan terapi ARV lini kedua, yang terdiri dari: Tabel 2.8 Kombinasi Obat untuk Terapi ARV Lini Kedua Obat A Obat B Didanosisn + Abacavir Abacavir + Tenofir disoproxil fumarat Ritonavir Lamivudine + Tenofir disoproxil fumarat Efavirenz + Nevirapin Sumber: Kemenkes RI, 20116 b.3 Nutrisi Pada ODHA Gangguan sistem kekebalan tubuh pada ODHA dapat menurunkan status gizi akibat kurangnya asupan makanan karena berbagai jenis infeksi. Status nutrisi seseorang dapat ditentukan dengan menilai indeks massa tubuh (IMT). Laporan di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan menemukan dari 752 responden ODHA , sebanyak 1% berada pada stadium 4 dengan status gizi buruk (IMT 16,92 ) dan sekitar 80% ODHA mempunyai masalah gizi antara lain kehilangan BB (wasting), diare, mual dan muntah, tidak nafsu makan (appetite) dan oral kandidiasis.26 CDC (2003) mengklasifikasikan IMT menjadi lima kategori, yaitu:25 1. IMT < 18,5 kg/m2 sebagai berat badan kurang, 2. IMT 18,5-22,9 kg/m2 sebagai berat badan normal, 3. IMT 23-24,9 kg/m2 sebagai praobes 4. IMT 25-29,9 kg/m2 sebagai obes tingkat I 5. IMT ≥ 30 kg/m2 sebagai obes tingkat II Hasil penelitian Koethe (2011) di Amerika Serikat melaporkan bahwa sebanyak 58% ODHA dengan IMT di bawah 18,5 kg/m2 memiliki jumlah CD4 diantara 20-216 sel/mL darah, 23% dengan IMT 18,5-22,9 kg/m2 memiliki CD4 220-
Universitas Sumatera Utara
255 sel/mL darah, dan hanya 19% dengan IMT 23-24,9 kg/m2 yang memiliki CD4 sekitar 260 sel/mL darah. Selain itu, didapatkan hasil bahwa risiko ODHA mengalami kematian paling tinggi ditemukan pada IMT di bawah 18,5 kg/m2 sebesar 80%.53 Hasil penelitian Susilowati (2009) di Semarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa ODHA yang memiliki IMT di bawah 18,5 kg/m2 sebanyak 63% dan dengan IMT 18,5-22,9 kg/m2 sebanyak 37%.54 c. Pengobatan infeksi opurtunistik untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Penanganan terhadap infeksi ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan sesuai anjuran petugas kesehatan. d. Pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menghambat kinerja enzim reverse transcriptase atau enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang terjadi dan lebih mudah diatasi, meskipun ARV belum bisa menyembuhkan pasien HIV/AIDS. 2.9.3 Pencegahan Tersier Pencegahan tersier ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita HIV/AIDS, baik fisik,ekonomi, maupun sosial. Beberapa hal yang dilakukan pada pencegahan tingkat ketiga ini adalah: a. Tidak menjauhi atau mengucilkan ODHA. b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalunya yang indah. c. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain.
Universitas Sumatera Utara
d. Perlu diberikan perawatan paliatif bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal, yang mencakup pemberian kenyamanan, persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan pemakaman.26
2.10 Kerangka Konsep Berdasarkan latar belakang dan penelusuran pustaka di atas, maka kerangka konsep dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
KARAKTERISTIK PENDERITA AIDS DENGAN INFEKSI OPURTUNISTIK 1. Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Pendidikan Pekerjaan Status pernikahan Tempat tinggal 2. Jenis infeksi opurtunistik 3. Transmisi penularan 4. Jumlah CD4 5. Indeks massa tubuh (IMT)
Universitas Sumatera Utara