BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Pengertian HIV/AIDS AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency syndrome, merupakan sekumpulan gejala-gejala yang menyertai infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Phair and Chadwick. 1997). Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV (Yunihastuti, 2005). HIV, termasuk familia retrovirus. Sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang terinfeksi HIV adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun (De Cock et al, 2000).
2.1.2 Situasi Epidemi HIV/AIDS a. Status Epidemi Global AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. Sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 25 juta telah meninggal akibat AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV sekitar 35 juta. Setiap hari terdapat 7.400 orang baru terkena HIV atau 5 orang per
Universitas Sumatera Utara
menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat AIDS (UNAIDS, 2008). Di Asia terdapat 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 300 ribu orang di tahun 2007. Cara penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang mendorong epidemi adalah tiga perilaku yang berisiko tinggi: Seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat suntik di kalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi (UNAIDS, 2008).
b. Status Epidemi di Indonesia Di Indonesia, kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada turis
asal
Belanda di Rumah Sakit Sanglah Bali pada tahun 1987. Jumlah orang yang terjangkit HIV/HIV/AIDS yang sebenarnya di Indonesia sangat sulit diukur dan masih belum diketahui keadaan sesungguhnya secara tepat. Perkiraan jumlah infeksi HIV dan kecenderungannya dapat diamati melalui sistem surveilans HIV/HIV/AIDS yang diselenggarakan secara nasional. Jumlah infeksi HIV dan kasus HIV/AIDS yang dilaporkan oleh propinsi jauh lebih kecil dari keadaan sesungguhnya. Estimasi yang dibuat pada tahun 2010 diperkirakan akan terdapat sekitar 90.000 – 130.000 penderita HIV/AIDS atau sekitar 0,036 – 0,052% dari jumlah penduduk Indonesia (KPAN, 2010). Perkembangan epidemi yang meningkat di awal tahun 2000-an telah ditanggapi dengan keluarnya Peraturan Presiden nomer 75 tahun 2006 yang mengamanatkan perlunya intensi penanggulangan AIDS di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008). Kementerian Kesehatan memperkirakan, Indonesia pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dibandingkan pada tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720 orang). Ini dapat terjadi bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu tersebut. Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan komprehensif di Indonesia memerlukan pendekatan yang strategik, yang menangani faktor-faktor struktural melibatkan peran aktif semua sektor. Tantangan yang dihadapi sungguh besar dilihat secara geografi dan sosial ekonomi, Indonesia berpenduduk terbesar ke empat di dunia dan terdiri lebih dari 17.000 pulau, dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi mencakup lebih dari 400 kabupaten dan kota dan 33 provinsi. Kasus HIV telah dilaporkan oleh lebih dari 200 kabupaten dan kota di seluruh 33 provinsi (KPAN, 2009). Penyebaran infeksi HIV di Indonesia bervariasi antar wilayah. Kecuali di Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi HIV pada sebagian besar provinsi di Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci, dengan prevalensi >5%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi sudah memasuki masyarakat dengan prevalensi berkisar 1,36%-2,41% (Depkes RI, 2006). Mengingat epidemi HIV merupakan suatu tantangan global dan salah satu masalah yang paling rumit dewasa ini, maka keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, tidak saja memberikan manfaat bagi Indonesia tetapi juga
Universitas Sumatera Utara
penanggulangan AIDS secara global. Acuan pengembangan strategi dan rencana di sektor, pemerintah daerah, swasta, para mitra kerja dan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Isi strategi dan rencana aksi ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); yang selanjutnya akan menjadi acuan sektorsektor pemerintah yang terkait untuk mengembangkan strateginya masing-masing. Rencana aksi nasional ini bagi daerah juga menjadi acuan untuk penyusunan rencana aksi masing-masing daerah sebagai dasar untuk penyusunan RAPBD. Selain itu di tingkat nasional dokumen ini menjadi instrumen untuk mobilisasi dana ke tingkat nasional maupun internasional (Nafsiah, 2009).
c. Kecenderungan Epidemi HIV/AIDS ke Depan di Indonesia Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan perubahannya ke depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data demografi, perilaku dan epidemiologi pada populasi kunci. Dari hasil proyeksi diperkirakan akan terjadi halhal berikut: (a) peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0,21% pada tahun 2008 menjadi 0,4% di tahun 2014, (b) peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan, sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak, (c) peningkatan infeksi baru yang signifi kan pada seluruh kelompok risiko, (d) perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru pada pasangan seksual (intimate partner) dari masing-masing populasi kunci,
Universitas Sumatera Utara
(e) peningkatan jumlah ODHA dari sekitar 404.600 pada tahun 2010 menjadi 813.720 pada tahun 2014, (f) peningkatan kebutuhan ART dari 50.400 pada tahun 2010 menjadi 86.800 pada tahun 2014 (KPAN, 2010).
2.2 Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan Menekan angka kematian akibat HIV/AIDS, salah satunya adalah dengan melakukan upaya pencegahan penularan penyakit yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta memberikan pengobatan kepada yang sudah sakit. Meskipun HIV/AIDS belum menjadi penyebab kematian utama di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi antisipasi terhadap hal tersebut perlu dilakukan. Terlebih lagi karena kasus narkoba, memiliki kemungkinan sudah terinfeksi HIV sangat tinggi (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). Hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) tahun 2005 pada Lapas Wanita dan Rutan di Tanjung Gusta Medan, menunjukkan 90% dari WBP yang pernah menjadi pengguna narkoba suntik, mengaku melakukan penyunt ikan ber sama teman. Hal yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkoba suntik wanita sebesar 29% menggunakan jarum suntik secara bersama dengan pacarnya, sedangkan yang berbagi jarum dengan teman juga cukup tinggi sekitar 55-60% (KPAND SU tahun 2005). Sero survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2005 terhadap 534 WBP dari 4 UPT sebagai sampel, menunjukkan 28 WBP terinfeksi HIV. Sedangkan tahun 2006, dari 2 UPT yang berbeda dari tahun sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan terhadap 323 sampel, 14 orang terinfeksi HIV dan 1 orang IMS (KPAND SU tahun 2005). Mengingat masalah ketergantungan NAPZA serta penggunaan NAPZA tidak lagi terbatas pada masyarakat namun sudah masuk ke dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, serta peningkatan perilaku yang berisiko di dalam Lembaga Pemasyarakatan termasuk dampak buruknya, maka Kanwil Departemen Hukum dan HAM
Sumatera
Utara
memandang
perlu
untuk
melaksanakan
program
penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai acuannya adalah Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia Tahun 2005–2009 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (KPAND SU tahun 2005). Guna pelaksanaan Strategi Nasional tersebut sangatlah diperlukan panduan operasional pelaksanaan program di Lembaga Pemasyarakatan yang dapat dijadikan acuan bagi para petugas di wilayah Sumatera Utara. Panduan operasional pelaksanaan program ini menjadi pelengkap dari panduan yang berasal dari Dirjen Pemasyarakatan, baik panduan tata laksana untuk penanganan narapidana (Napi) secara umum maupun yang berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS Dirjen Pemasyarakatan, 2009. 2.2.1 Tujuan Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan Secara umum tujuan penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan adalah mencegah terjadinya penularan HIV dan meningkatkan kesehatan warga di
Universitas Sumatera Utara
Lembaga
Pemasyarakatan
termasuk
tahanan
dan
para
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan. Secara khusus adalah; (a) sebagai pedoman penatalaksanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan, khususnya bagi petugas maupun ins tans i yang terkai t dengan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan (b) menjaga mutu layanan program sehingga upaya pencegahan penularan dan peningkatan kesehatan dapat tercapai secara optimal (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).
2.2.2 Pelaksana Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan Untuk mendukung pelaksanaan penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan perlu dibentuk: Tim Pokja AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan Tim Pokja Lapas. Tim HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan mempunyai peran dan fungsi untuk melaksanakan kegiatan pencegahan melalui pendidikan, konseling dan testing (Voluntary Conseling and Testing) serta perawatan, dukungan dan pengobatan (Care, Support and Treatment). Untuk melaksanakan peran dan fungsi tersebut Tim HIV dan AIDS perlu melakukan kerjasama dengan lembaga lain terutama untuk kegiatan pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan kepada tahanan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). Susunan Tim HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ini sebaiknya diketuai kepala Lembaga Pemasyarakatan karena akan memudahkan dalam mengkoordinasikan tugas dari anggota tim serta staf lain dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sesuai dengan fungsi pokok Tim HIV dan AIDS Lapas maka dalam
Universitas Sumatera Utara
struktur organisasi perlu ada petugas yang bertanggung jawab pada pemberian informasi dan edukasi, pelayanan medis, melakukan konseling, melayani VCT (Voluntary Conseling and Testing), dan kegiatan pendampingan pada tahanan yang terinfeksi (manajemen kasus). Oleh karenanya dalam keanggotaan tim ini perlu disesuaikan dengan kelembagaan yang sudah ada, sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih kegiatan dan mekanisme kerja antara masing-masing bidang. Pembentukan tim ini akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengkoodinir dan meng-integrasikan semua kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan oleh berbagai sektor. Dengan belum berjalannya program yang tertata dalam sistem maka KPA perlu membentuk Kelompok Kerja (Pokja) untuk membantu sektor terkait dalam pelaksanaannya. Pokja bersifat adhoc (sementara), apabila program tersebut sudah berjalan dengan optimal dan sistem sudah terbentuk dan berfungsi maka kemungkinan Pokja tidak diperlukan lagi. Ada beberapa Pokja berkaitan dengan berbagai program, misalnya Pokja untuk penanggulangan dampak buruk NAPZA suntik (Harm Reduction) dan Pokja penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). Berkaitan dengan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan juga perlu dibentuk Tim Pokja Lapas untuk mendukung pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Tim AIDS di Lembaga Pemasyarakatan. Peran dan fungsi Tim Pokja Lapas lebih diarahkan untuk advokasi, mediasi, penyusunan
Universitas Sumatera Utara
panduan dan regulasi, serta koordinasi. Sebagai contoh, koordinasi dalam hal pelayanan dan pengobatan, kerjasama dengan lembaga lain dalam mendukung pelayanan bagi warga binaan, advokasi pada penentu kebijakan sektoral untuk mendukung pelaksanaan program di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh Karenanya Tim Pokja Lapas diharapkan melibatkan lintas sektor baik instansi pemerintah maupun LSM. Tim Pokja Lapas akan sangat berperan dalam membantu kinerja dari Tim AIDS di Lapas. Sebagai ketua tim Pokja Lapas sebaiknya dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Keanggotaan Tim Pokja Lapas melibatkan Dinas Kesehatan, rumah sakit, pihak kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lembaga terkait yang dirasa perlu. Dalam pembentukannya diharapkan berkoordinasi dengan Komisi Penanggulangan AIDS kabupaten/kota setempat. Sebagai contoh, ditingkat provinsi telah dibentuk Pokja Lapas (SK Gubernur tentang pembentukan pokja LAPAS).
2.2.3 Kebijakan Pelaksanaan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan Sebagai acuan pelaksanaan program adalah Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan tahun 2005–2009, dengan menitikberatkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bahwa Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai instansi yang melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan, juga harus mampu memberikan layanan kesehatan yang optimal bagi mereka yang membutuhkannya, termasuk narapidana dan tahanan yang terinfeksi HIV dan pengidap AIDS.
Universitas Sumatera Utara
2. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal bagi semua warga binaan pemasyarakatan harus sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai kebijakan hak asasi manusia internasional dan nasional yang terkait dengan perlakuan terhadap narapidana dan tahanan. 3. Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi pembinaan harus menyediakan dan memperluas akses program edukasi pencegahan HIV dan AIDS bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan. 4. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal, para petugas Lembaga
Pemasyarakatan,
baik
medis
dan
non
medis,
harus
mampu
memperkenalkan manfaat dan pentahapan konseling dan pengujian HIV secara rinci dengan menggarisbawahi bahwa pengujian HIV dilakukan atas dasar sukarela kepada warga binaan pemasyarakatan dan dijamin kerahasiaannya. 5. Bahwa pihak yang berwenang untuk memberikan rekomendasi atau inisiasi konseling dan pengujian HIV adalah dokter Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan indikasi medis dari warga binaan pemasyarakatan. 6. Bahwa berdasarkan unsur sukarela sebagaimana tersebut pada butir 3, warga binaan pemasyarakatan memiliki hak untuk menolak pelaksaaan pengujian HIV terhadapnya. 7. Bahwa untuk mendukung dilaksanakannya layanan klinis yang optimal pada unit kesehatan
Lembaga
Pemasyarakatan
dengan
menggarisbawahi
ketetapan
sebagaimana tersebut pada butir 3, maka konseling dan pengujian HIV akan
Universitas Sumatera Utara
ditawarkan secara rutin kepada setiap warga binaan pemasyarakatan satu bulan menjelang selesainya masa tahanan. 8. Bahwa sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, maka tidak akan ada diskriminasi terhadap warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis mengidap HIV, baik dalam upaya pembinaan maupun penempatannya. 9. Bahwa bagi warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis mengidap HIV akan didampingi oleh petugas manajemen klinis dalam pendampingan psikososial dan akan memperoleh akses pelayanan pengobatan dan perawatan seoptimal mungkin yang terdiri dari: − Perawatan
dan
pengobatan
akut,
meliputi
pengobatan
(Infeksi
Opportunistik) IO dan infeksi serta penyakit terkait HIV lainnya. − Perawatan dan pengobatan kronis, termasuk ARV. − Perawatan dan pengobatan paliatif, termasuk perawatan menjelang ajal. 10. Warga binaan pemasyarakatan yang telah mengidap AIDS stadium 3 atau 4 dapat menjalani perawatan yang lebih intensif. 11. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan, Tim Medis Lembaga Pemasyarakatan bekerja sama dengan dokter ahli dari Rumah Sakit Umum Daerah terdekat. 12. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut, bagi kasus-kasus
Universitas Sumatera Utara
medis yang rumit dan kompleks Tim Medis Lembaga Pemasyarakatan dapat merujuk RSUD terdekat.
2.2.4
Tatalaksana Penanganan Tahanan Berisiko Tinggi Tertular HIV di Lembaga Pemasyarakatan Pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga
Pemasyarakatan adalah Strategi Nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2005-2009 yang menekankan pada pilar utama pendekatan yaitu: (i) Penegakan hukum dan bimbingan hukum; (ii) Rehabilitasi dan pelayanan sosial; dan (iii) Pencegahan dan Perawatan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). Penegakan hukum dan bimbingan hukum dilakukan agar jumlah pengguna narkoba baru di Lembaga Pemasyarakatan tidak bermunculan. Kegiatan rehabilitasi dan pelayanan sosial bagi narapidana/tahanan dimaksudkan untuk membantu pemulihan bagi pengguna narkoba, pengguna NAPZA suntik (penasun) atau yang terinfeksi HIV. Selain kedua pilar tersebut, pilar ketiga yaitu pencegahan dan perawatan bagi narapidana/tahanan pengidap HIV-AIDS dilakukanlah pencegahan dan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST). Ketiga pilar tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya dan harus dilaksanakan secara bersamaan agar tujuan dari strategi penanggulangan HIV dan AIDS dan penyalahgunaan narkoba di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dapat tercapai secara efektif dan efisien (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). Penjabaran operasional dari ketiga pendekatan khususnya upaya untuk pencegahan dan perawatan hendaknya dilakukan sejak awal pada saat tahanan masuk
Universitas Sumatera Utara
ke Lembaga Pemasyarakatan sampai mereka dibebaskan. Pola disain pelaksanaan program dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pola Disain Pelaksanaan Program Penanganan HIV di Lembaga Pemasyarakatan Sumber : Dirjen Pemasyarakatan (2009)
Kegiatan yang perlu dilakukan pada saat tahanan baru masuk di Lembaga Pemasyarakatan adalah : (a). Registrasi atau Pencatatan Sesuai dengan prosedur yang ada, tahanan yang baru masuk ke Lembaga Pemasyarakatan akan dilakukan registrasi. Di samping mencatat informasi yang sudah ditetapkan, perlu ditambahkan pendataan untuk mengetahui gambaran atau
Universitas Sumatera Utara
latar belakang tahanan seperti apakah mereka berisiko tertular HIV, apakah tahanan tersebut sudah pernah tes HIV, apakah tahanan sedang menjalani masa perawatan seperti penggunaan antiretroviral (ARV), atau metadon. Informasi ini dibutuhkan untuk merencanakan pemberian edukasi, menghindari tes HIV ulang, melanjutkan pengobatan yang sudah berjalan. Oleh karenanya pada saat registrasi kepada setiap tahanan yang masuk perlu ditanyakan dan dicatat informasi mengenai: apakah mereka pengguna narkoba, apakah mereka pernah memakai narkoba melalui jarum suntik, apakah mereka sering melakukan hubungan seks yang tidak aman (berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom), apakah pernah VCT, apakah mereka sedang mengikuti pengobatan (Metadon, ARV) (Dirjen Pemasyarakatan, 2009) Penggalian informasi ini dapat dilakukan oleh Tim AIDS Lembaga Pemasyarakatan atau petugas registrasi yang dilatih. Hasil catatan ini selanjutnya diserahkan ke Tim AIDS yang akan digunakan sebagai data untuk kegiatan tindak lanjut seperti edukasi, VCT dan kelanjutan pengobatan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009). (b) Pemberian Informasi HIV dan AIDS Ada dua kegiatan pemberian informasi HIV dan AIDS yaitu pemberian informasi tahap awal dan tahap lanjutan. Pemberian informasi tahap awal tentang HIV dan AIDS segera dilakukan pada semua tahanan, dan kegiatan ini dapat dilakukan pada waktu Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling). Pada proses ini Tim AIDS menjelaskan informasi dasar HIV dan AIDS dan menjelaskan peran Tim
Universitas Sumatera Utara
AIDS serta program yang akan dilakukan. Melalui masa pengenalan ini diharapkan semua tahanan baru sudah mengetahui informasi dasar HIV dan AIDS, dan sudah terjadi interaksi dan kedekatan komunikasi anatara tahanan dengan Tim AIDS, yang akan memudahkan dalam kegiatan selanjutnya selama tahanan berada di Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian informasi pada waktu Mapenaling sangat penting dan strategis untuk menumbuhkan rasa kepedulian akan kesehatan diri dan lingkungan, rasa kebutuhan informasi, dan bagaimana akses kepada Tim AIDS. Akan sangat membantu bila pada masa Mapenaling ini bisa diidentifikasi tahanan yang sangat berisiko seperti pengguna narkoba suntik, karena mereka sangat berpeluang terinfeksi HIV. Pemberian edukasi pada kelompok ini perlu dilakukan secara intesif sampai pada kemauan untuk testing (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).
(c) Edukasi Lanjutan Sebagai tindak lanjut dari pemberian informasi waktu Mapenaling, perlu ditindak lanjuti dengan edukasi yang intensif. Pemberian informasi di kelompok Rutan perlu dirancang dengan baik karena masa tahanan yang singkat. Oleh karenanya perlu dipikirkan jenis informasi apa saja yang perlu diberikan bila masa tahanan kurang dari 3 bulan dan yang lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berbeda dengan di Lapas karena tahanan sudah ada ketetapan hukum untuk berapa lama mereka akan tinggal di Lapas. Karena itu edukasi di Lapas sudah dapat dirancang sampai
Universitas Sumatera Utara
konseling, testing serta dukungan untuk pengobatan, dan perawatan (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).
2.2.5 Pemberian Perawatan Berkesinambungan (continue of care) di Lembaga Pemasyarakatan Perawatan berkesinambungan adalah pendekatan penanggulangan HIV dan AIDS berkesinambungan, terdiri dari pencegahan penularan HIV termasuk pencegahan penularan dari ibu ke anak, konseling dan testing, perawatan, dukungan, dan pengobatan. Pendekatan ini bertujuan untuk merespon secara komprehensif kebutuhan layanan populasi maupun individu di tiap fase perjalanan penyakit dan juga untuk menyediakan layanan, serta mencegah penyebaran IMS dan HIV (Depkes RI, 2010b). Selain upaya pencegahan, komponen perawatan yang berkesinambungan yang lain adalah Konseling dan Tes HIV, Manajemen Kasus HIV dan AIDS, Perawatan dan Pengobatan, PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) serta Diagnosis dan Terapi IMS (infeksi menular seksual). Di dalam Lembaga Pemasyarakatan tiap komponen dalam perawatan berkesinambungan ini dapat disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sendiri, atau melalui rujukan ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di luar Lembaga Pemasyarakatan (Depkes RI, 2010b).
2.2.6 Konseling dan Tes HIV Tes HIV bermanfaat untuk mengetahui status HIV seseorang sedini mungkin. Dengan demikian, ia dapat mengadopsi perilaku yang lebih aman serta mengakses
Universitas Sumatera Utara
layanan kesehatan sedini mungkin untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan. Pelayanan konseling diberikan oleh konselor di Lembaga Pemasyarakatan yaitu petugas pembinaan yang sudah dilatih dan mempunyai sertifikat dari Departemen Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia. Pola pendekatan dalam pelaksanaan konseling dan testing HIV meliputi: (Depkes RI, 2010b) a. VCT/KTS (Voluntary Counseling and Testing/Konseling dan Testing Sukarela) dilakukan secara sukarela oleh tahanan (klien). Melalui edukasi intensif diharapkan klien secara sukarela meminta konseling dan testing karena ingin tahu status HIVnya. Sebelum tahanan meminta untuk testing, konselor perlu menjelaskan tentang manfaat dan tujuan VCT serta tindak lanjut dari tes seandainya hasilnya nanti positip atau terinfeksi HIV. Konselor perlu melakukan pre dan post konseling (konseling sebelum dan sesudah tes) b. Konseling dan Testing HIV yang ditawarkan secara rutin (routine offer/penawaran rutin). Routine offer diberikan kepada narapidana/tahanan sebulan menjelang masa pidananya berakhir, agar ia setelah mengetahui status HIV-nya dapat membuat perencanaan yang lebih lengkap untuk perilaku dan akses layanan kesehatan setelah bebas. Dalam pendekatan ini, petugas medis menawarkan konseling dan testing HIV secara rutin sebagai bagian dari paket layanan kesehatan yang disediakan bagi klien. Namun demikian klien tetap perlu menyatakan diri secara sukarela ikut serta, tidak boleh ada unsur pemaksaan, klien harus memberikan informed consent (persetujuan) dan mempunyai hak untuk menolak tes HIV.
Universitas Sumatera Utara
c. Diagnostic HIV testing/PICT Testing), rekomendasi World Health Organization (WHO) tahun 2006, adalah konseling dan testing yang direkomendasikan oleh petugas medis atas dasar indikasi medis, namun tidak boleh ada unsur pemaksaan, klien harus memberikan consent dan mempunyai hak untuk menolak tes HIV. Prinsip dasar yang harus dilakukan yang berkaitan dengan pelaksanaan testing: (a) setiap testing HIV harus didahului dengan konseling pre test dan ditindaklanjuti dengan konseling pasca tes, (b) konselor tes HIV, dokter, dan petugas laboratorium yang terlibat dalam proses harus menjamin kerahasiaan hasil tes HIV dan perilaku narapidana/tahanan yang menjadi klien, (c) proses konseling dan testing HIV harus menjamin privasi klien, (d) klien harus memberikan persetujuan (informed consent) sebelum tes HIV, (e) hanya klien sendiri yang berhak membuka status HIV-nya, baik negatif maupun positif, kepada pihak lain selain konselor dan dokter. Apabila di Lembaga Pemasyarakatan tidak menyediakan sarana untuk testing maka perlu dilakukan kerjasama dengan lembaga seperti rumah sakit dan puskesmas terdekat yang sudah melaksanakan tes HIV. Disarankan pelayanan testing dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan. Petugas kesehatan mengambil spesimen darah di dalam ruang klinik dan selanjutnya darah diperiksa di laboratorium puskesmas atau rumah sakit. Hasil tes akan diberikan ke konselor yang ada di Lapas atau Rutan dan selanjutnya konselor akan memanggil tahanan yang telah diperiksa untuk membuka amplop tersebut. Pembukaan amplop hasil tes dilakukan di ruang konseling di Lembaga Pemasyarakatan di hadapan konselor (Depkes RI, 2010b).
Universitas Sumatera Utara
Setelah tahanan mengetahui hasil tes, konselor langsung memberikan konseling kembali (post counseling), untuk mendiskusikan bersama tindakan apa yang perlu dilakukan oleh tahanan yang terinfeksi pada hari-hari berikutnya. Untuk membantu kelancaran pelayanan tes, bahan habis pakai untuk pengambilan darah sebaiknya juga disediakan di klinik Lembaga Pemasyarakatan, dengan pertimbangan bahwa puskesmas atau rumah sakit terkait mempunyai keterbatasan sarana tersebut. Hal ini perlu dibahas bersama antara pihak Lembaga Pemasyarakatan dengan pihak yang akan melayani tes (Depkes RI, 2010b). Apabila hasil tes adalah negatif atau menunjukkan belum terinfeksi HIV yang perlu dilakukan adalah tetap memberikan konseling pasca tes dan yang bersangkutan tetap mendapatkan program edukasi. Apabila hasil tes menunjukan HIV positif, yang perlu dilakukan adalah: (a) memberikan konseling pasca tes, (b) tidak didiskriminasi berdasarkan status HIV-nya, melainkan akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan narapidana/tahanan lain termasuk hak mengakses layanan kesehatan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, (c) tidak akan diisolasi kecuali ada indikasi medis yang mengharuskan diisolasi, (d) akan didampingi oleh petugas manajemen kasus kecuali ia menolak (Depkes RI, 2010b). 2.2.7 Pendampingan pada Tahanan yang Terinfeksi HIV Setelah tahanan mengikuti testing segara akan diketahui hasilnya. Untuk tahanan yang terinfeksi HIV perlu dilakukan pendampingan, dan hal ini akan dilakukan oleh manajer kasus dari Tim AIDS Lembaga Pemasyarakatan. Pendampingan perlu dilakukan karena seseorang yang HIV positif tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan perawatan dan pengobatan secara medis melainkan juga membutuhkan dukungan psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual. Petugas manajemen kasus berfungsi mendampingi dan memfasilitasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) mengakses layanan dan dukungan yang ia butuhkan. Di samping itu, petugas manajemen kasus juga memberikan dukungan psikologis dan sosial (Depkes RI, 2010b). Karena itu ia harus mempunyai daftar dan berjejaring dengan berbagai penyedia layanan yang mungkin dibutuhkan oleh ODHA. Karenanya ia perlu berkoordinasi dengan dokter, perawat, petugas konseling, rohaniawan, dan staf pengamanan Lembaga Pemasyarakatan agar kliennya dapat mengakses layanan dan dukungan yang ia butuhkan, termasuk akses ARV dan dukungan adherence ARV (Depkes RI, 2010b). Manager kasus akan membantu klien untuk mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhannya dan membantu mengkoordinasikan pada pihak terkait. Misalnya apakah klien akan menggunakan ARV dan ke mana kebutuhan bisa dipenuhi. Misalnya, bagaimana mendapatkan ARV, apakah perlu diambil ke rumah sakit, siapa yang akan mengambil, apakah kliennya atau cukup diambil di klinik di lapas (Depkes RI, 2010b).
2.2.8 Perawatan dan Pengobatan Tahanan yang Terinfeksi HIV Untuk tahanan yang terinfeksi HIV dapat dilakukan perawatan dan pengobatan. Dengan ditemukannya ARV, maka kasus HIV dan AIDS bukanlah
Universitas Sumatera Utara
penyakit mematikan melainkan penyakit kronis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV dalam rangka pengobatan. Apabila status kekebalan tubuh mulai menurun, sebelum memakai ARV atau karena kegagalan ARV, timbul episode akut berupa infeksi oportunistik. Dalam fase kronis maupun fase akut, dapat timbul gejala-gejala dan keluhan fisik yang mengganggu (Depkes RI, 2010b). Keterlambatan memakai ARV, atau kegagalan ARV (karena tidak adherence atau karena resisten) dapat mengakibatkan kematian ODHA. Memperhatikan perjalanan penyakit HIV dan AIDS tersebut di atas, jenis perawatan dan pengobatan yang perlu disediakan untuk ODHA, yang disepakati secara internasional WHO, terdiri dari Perawatan Kronis, Perawatan Akut, dan Perawatan Paliatif (Depkes RI, 2010b). Perawatan kronis meliputi antara lain: pengobatan dengan ARV (anti retro viral), dukungan untuk adherence ARV, profilaksis (pencegahan) beberapa penyakit infeksi, manajemen klinis masalah kronis (diare, vegetasi jamur, dan demam yang kumat-kumatan, serta penurunan berat badan), serta pencegahan penularan HIV (Depkes RI, 2010b). Perawatan akut meliputi diagnosis, pengobatan serta pencegahan berbagai macam infeksi oportunistik dan berbagai penyakit terkait HIV, misalnya radang paru, TB, infeksi saluran pencernaan, infeksi otak, kemunduran fungsi otak, IMS (infeksi menular seksual), dan lain lain (Depkes RI, 2010b).
Universitas Sumatera Utara
Perawatan paliatif merupakan perawatan dan pengobatan gejala dan keluhan yang timbul pada fase akut, kronis, dan menjelang ajal, terdiri dari antara lain mengatasi nyeri, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, gangguan buang air, gangguan psikologis, gangguan tidur, masalah kulit, luka akibat terlalu lama berbaring, demam, batuk, perawatan dan dukungan menjelang ajal, dan lain-lain (Depkes RI, 2010b). Ketiga jenis perawatan tersebut dapat disediakan di layanan kesehatan dasar yang dapat dilakukan di klinik Rutan dan Lapas, namun bila belum mampu perlu dilakukan rujukan dengan jejaring kerja sama dan rujukan dengan rumah sakit setempat atau terdekat untuk layanan rujukan tingkat dua dan tiga sesuai kebutuhan. Untuk stratum layanan kesehatan dasar, WHO merekomendasikan pendekatan IMAI (Integrated Management of Adult and Adolescence Illnesses) yang mencakup ketiga jenis perawatan tersebut disesuaikan dengan kapasitas yang ada (Depkes RI, 2010b). PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) adalah pencegahan penularan HIV dari Ibu ke bayinya, yang terdiri dari 4 prong/pilar pendekatan, yaitu: (a) Prong I : Mencegah penularan HIV kepada wanita usia reproduksi, (b) Prong II : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV positif, (c) Prong III : Mencegah terjadinya penularan dari wanita hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, (d) Prong IV : Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi perlu dilakukan melalui edukasi pada tahanan pria maupun tahanan wanita (Depkes RI, 2010b).
Universitas Sumatera Utara
Program bagi tahanan pria yang dapat dilaksanakan edukasi dan konseling bagi narapidana/tahanan pria yang HIV positif, terutama saat akan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Edukasi ini menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan penularan HIV kepada pasangannya setelah tahanan bebas. Di samping edukasi cara mencegah, Tim HIV dan AIDS Lembaga Pemasyarakatan juga perlu membantu tahanan untuk dapat mengakses lembaga-lembaga yang menyediakan layanan lanjutan. Program bagi tahanan wanita yang dapat dilaksanakan meliputi: (a) edukasi bagi semua tahanan wanita dalam upaya pencegahan penularan HIV, (b) konseling bagi narapidana/tahanan wanita yang HIV positif agar dapat menjaga kesehatannya dan tidak menularkan pada pasangannya, (c) perawatan bagi tahanan yang HIV positif dan dalam keadaan hamil bekerja sama dengan RS terdekat untuk pengobatan ARV profilaksis dan persalinan yang aman. Dukungan oleh petugas/manajer kasus dan tim klinik Lembaga Pemasyarakatan sangat dibutuhkan (Depkes RI, 2010b).
2.2.9 Proses Pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas Proses pengalihan tahanan yang sudah diketahui terinfeksi dari Rutan ke Lapas perlu ditata kembali dengan maksud untuk menghindari tumpang tindih kegiatan seperti konseling dan testing serta menindak lanjuti pengobatan yang sudah berjalan. Rumah Tahanan dimaksud adalah Rutan di kepolisian (Polsek, Polres, Polda), Rutan Kejaksaan maupun Rutan Pemasyarakatan (PAS).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Proses Pengalihan Tahanan HIV+ dari Rutan ke Lapas Sumber : Dirjen Pemasyarakatan (2009)
Perlu ada kerjasama antar Tim AIDS yang ada di Rutan-Rutan tersebut. Mekanisme pengalihan (transfer) tahanan dilakukan sesuai prosedur yang sudah ada, hanya untuk tahanan yang terinfeksi ditambahi dengan pencantuman kode World Health Organization (B24) dan ditandatangani oleh dokter. Bagi Rutan yang tidak punya dokter dapat bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat. Perlu penyerahan medical record atau Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kesehatan dari dokter Rutan ke dokter Lapas yang memberitahukan riwayat penyakit, pengobatan yang sudah dilakukan dan jenis ARV yang sudah diberikan, dan dosis metadon bagi yang sedang melakukan terapi (Dirjen Pemasyarakatan, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.10 Pelepasan Narapidana Terinfeksi HIV+ Ada beberapa jenis pelepasan narapidana dari Lapas dan Rutan yaitu: bebas habis masa pidana; Pembebasan Bersyarat (PB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB); asimilasi; tahanan yang bebas karena penangguhan; dan pengeluaran demi hukum dan pengalihan jenis penahanan. Prosedur umum pelepasan narapidana ke komunitas tetap dilaksanakan seperti yang telah ditetapkan, hanya untuk yang sudah diketahui terinfeksi HIV perlu dilakukan beberapa prosedur sebagai berikut : (a) perlu dilengkapi dengan Surat Keterangan Dokter Lapas atau dokter yang bertanggung jawab (bagian dari catatan medis) untuk rujukan ke rumah sakit, (b) perlu diberikan informasi tentang ke pelayanan kesehatan mana mereka harus pergi untuk melanjutkan pengobatan-nya, dan nama-nama lembaga yang dapat mendukungnya kesehatan. Pembekalan diberikan langsung pada tahanan yang mau bebas, dan apabila memungkinkan dapat diberikan kepada keluarganya, (c) diperkenalkan dengan staf dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang nantinya akan dapat menjadi pendamping bagi tahanan tersebut setelah bebas, (d) menjalin kerjasama dengan pelayanan yang akan dirujuk dan menginformasikan kapan pasien akan dirujuk ke lembaga pelayanan tersebut. Apabila di Lembaga Pemasyarakatan sudah mempunyai tenaga manajer kasus yang sudah dilatih semua pembekalan ini menjadi tanggung jawabnya dengan berkoordinasi dengan dokter Lapas atau Rutan. Namun jika tidak ada manajer kasus, kegiatan pembekalan dilakukan oleh Bagian Pembinaan dan Pelayanan Tahanan dan dokter yang ada. Agar persiapan pembekalan dapat dilakukan secara efektif perlu
Universitas Sumatera Utara
direncanakan dengan baik, dan oleh karenanya perlu diketahui kapan masa bebas atau pelepasan tahanan itu akan dilaksanakan. Pembekalan kembali tentang pencegahan penularan dan perawatan
2.3 Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) Layanan kesehatan yang pertama dalam pencegahan adalah layanan VCT. Diharapkan seluruh populasi kunci mendapatkan pemeriksaan HIV melalui layanan ini. Salah satu tujuan dari promosi pencegahan adalah mendorong populasi kunci ke layanan VCT. Hingga tahun 2008, jumlah layanan VCT terdapat sebanyak 547 unit, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah (383) maupun swasta dan masyarakat (164). Di daerah yang terjangkau kegiatan pencegahan layanan VCT mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 2004-2007 terjadi peningkatan layanan VCT terhadap populasi kunci: Pada Wanita Pekerja Seks (WPS) dari 27% menjadi 41%; pelanggan WPS dari 6% menjadi 10%; Waria dari 47% menjadi 64%; Laki-laki Suka Laki-laki (LSL) dari 19% menjadi 37% dan penasun dari 18% menjadi 41% (Depkes RI, 2010a). 2.3.1 Pengertian VCT Merupakan layanan konseling dan test HIV secara sukarela dan konfidensial kepada individu sehubungan dengan permasalahan HIV/AIDS dengan menempatkan individu/klien sebagai pusat pelayanan berdasarkan kebutuhannya. Mampu mengambil keputusan-keputusan pribadi yang berkaitan dengan HIV/AIDS (Depkes RI, 2010a).
Universitas Sumatera Utara
Huruf V (Voluntary) mendorong orang untuk hadir di layanan-layanan yang mungkin tadinya mereka tolak. Huruf C (Counselling) lebih efektif daripada sekedar menyediakan informasi kesehatan. Huruf T (Testing) - layanan yang berkualitas dan selesai satu hari lebih hemat dan meningkatkan orang melakukan tes dan permintaan untuk VCT. Dalam hal ini membuktikan bila seseorang dipaksa tes mereka akan menolak dan menjauh dibandingkan dengan memberikan pengertian dan informasi yang benar (Depkes RI, 2010a).
2.3.2 Tujuan VCT VCT bertujuan membuat klien agar mampu menghadapi isu-isu yg berkaitan dengan HIV/AIDS dan membuat rencana-rencana yg berkaitan dengan HIV/AIDS serta memfasilitasi perilaku-perilaku pencegahan. Secara spesifik tujuan VCT adalah : (a) mencegah penularan dari orang yang terinfeksi pada orang yang tidak terinfeksi (pasangannya), (b) mencegah penularan pada orang yang tidak terinfeksi oleh orang yang terinfeksi (pasangannya), (c) mencegah penularan dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya, (d) mempromosikan orang untuk secara dini memanfaatkan layanan-layanan (kalau tersedia): pelayanan medik, pelayanan kesehatan primer, terapi ARV, pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik dan Keluarga Berencana (Depkes RI, 2010a). Berdasarkan
tujuan
VCT
tersebut,
maka
peranan
VCT
adalah:
(a) merupakan jembatan yang sangat penting antara pencegahan HIV dengan perawatan
dan
dukungan,
(b)
mendorong
perubahan
perilaku
dan
Universitas Sumatera Utara
mempertahankannya dan menjembatanai intervensi seperti; pencegahan penularan ibu ke bayi, pencegahan penularan IMS, serta pencegahan dan penanganan TB maupun infeksi oportunistik lainnya, (c) memfasilitasi rujukan dini ke layanan klinik yang komprehensif dan layanan berbasis masyarakat, layanan perawatan dan dukungan, termasuk akses terapi antiretroviral (ARV), (d) memperbaiki kualitas hidup dan memainkan peran yang menentukan dalam penurunan stigma dan diskriminasi (Depkes RI, 2010a).
2.2.3 Standar Pelayanan Klinik VCT a. Sumber Daya Manusia Layanan VCT harus mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih dan
kompeten.(arti&maksud)
Sumber
daya
manusia
yang
terlibat
dalam
pengembangan pelayanan VCT disesuaikan dengan model dan adaptasi dari pelayanan VCT. Petugas konseling VCT professional diutamakan yang telah menamatkan pendidikan S1 dan berlatarbelakang psikologi, ilmu terapan psikologi dan konseling, ilmu sosial, dan pastoral. Untuk menyesuaikan situasi lapangan dan kelompok dampingan, petugas konseling VCT dapat dipilih dari mereka yang memiliki potensi dan kualitas yang sesuai sebagai calon konselor professional dan terlatih (Depkes RI, 2010a). Layanan VCT harus mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih dan kompeten. Sumber daya manusia yang terlibat dalam pengembangan pelayanan VCT disesuaikan dengan model dan adaptasi dari pelayanan VCT. Petugas
Universitas Sumatera Utara
manajemen kasus professional diutamakan yang telah menamatkan pendidikan S1 dan berlatarbelakang ilmu pekerja sosial, psikologi, ilmu terapan psikologi dan konseling, komunikasi, dan ilmu sosial. Untuk menyesuaikan situasi lapangan dan mereka yang memiliki potensi dan kualitas yang sesuai sebagai calon petugas manajemen kasus (Depkes RI, 2010a).
2.4 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Menurut Dever (1984), faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu: 1. Faktor Sosiokultural (a) Norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat. Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada pada masyarakat akan memengaruhi seseorang dalam bertindak, termasuk dalam menggunakan pelayanan kesehatan. (b) Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. Kemajuan di bidang teknologi dapat
mengurangi atau menurunkan angka kesakitan sehingga
secara tidak langsung dapat mengurangi penggunaan pelayanan kesehatan. 2. Faktor Organisasi. (a) Ketersediaan sumber daya. Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas, sangat memengaruhi penggunaan atau permintaan
terhadap pelayanan
kesehatan. Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa
Universitas Sumatera Utara
didapat tanpa mempertimbangkan sulit atau mudah penggunaannya. Suatu pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia. (b) Keterjangkauan lokasi Yaitu berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan. Peningkatan akses yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu, ataupun biaya tempuh mungkin mengakibatkan peningkatan pemakaian pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan penyakit ringan. (c) Keterjangkauan sosial terdiri dari dua dimensi yaitu dapat diterima dan terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial dan budaya, sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi. (d) Karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan kesehatan. Bentuk-bentuk praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek tunggal, praktek bersama atau yang lainnya membawa pola pemanfaatan yang berbeda-beda. 3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen. Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Kebutuhan terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa klinis (evaluated need). Perceived need ini dipengaruhi oleh:
Universitas Sumatera Utara
(a) Faktor sosiodemografi, yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi. (b) Faktor sosiopsikologis, yang terdiri dari persepsi sakit, gejala sakit dan keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter. (c) Faktor epidemiologis, yang terdiri dari mortalitas, morbiditas, dan faktor resiko. 4. Faktor yang Berhubungan dengan Petugas Kesehatan. (a) Faktor ekonomi. Konsumen tidak sepenuhnya memiliki prefensi yang cukup akan pelayanan yang akan diterima, sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ke tangan provider. (b) Karakteristik dari Petugas Kesehatan (Provider). Yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas, serta fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan tersebut. Menurut Sarwono (2007), sebelum seseorang menentukan untuk mencari upaya pengobatan, terlebih dahulu terjadi proses dalam diri individu yaitu: (a) dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala tersebut terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena gejala atau
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan dan asumsi budaya terhadap penyakit, (g) perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit, (i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial.
2.5 Mutu Pelayanan Mutu pelayanan kesehatan merupakan gabungan dari dua suku kata yaitu quality (mutu) dan health service (pelayanan kesehatan). Mutu pelayanan kesehatan sering dipertanyakan banyak orang, namun penjelasannya seringkali tidak memuaskan sehingga orang memiliki persepsi yang beragam mengenai mutu tersebut. Goesth dan Davis (dalam Tjiptono, 2004) menyatakan bahwa mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Definisi mutu jasa atau mutu pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Kotler (dalam Tjiptono, 2004), mutu pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra mutu yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan.
Universitas Sumatera Utara
Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga mereka lah yang seharusnya menentukan mutu jasa. Pelayanan bermutu adalah pelayanan simpatik, berdisiplin, bertanggung jawab dan penuh perhatian kepada setiap pelayanan yang diberikan sehingga memberi kepuasan atas pelayanan yang diberikan. Mutu adalah sebagai ukuran relatif suatu produk, produk bermutu adalah produk yang memenuhi harapan customers. Depkes RI (2000), memberi definisi mutu dari dua sisi, yaitu : 1. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar (Quality is compliance with standart). Pengertian ini menunjukkan orientasinya pada mutu produk/hasil. 2. Mutu adalah kepatuhan terhadap keinginan pelanggan (Quality is consumen satisfaction). Pengertian ini menunjukkan orientasi pada kepuasan pelanggan. Azwar (2006), memberi pengertian mutu pelayanan kesehatan sebagai sesuatu yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak menimbulkan kepuasan pada pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan dalam pelayanan kesehatan dalam menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan. Definisi lain yang disebutkan oleh Depkes RI (2000), menyebutkan “mutu” dapat diartikan sebagai kesempurnaan atau tingkat kesempurnaan penampilan
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan. Untuk mengukur derajat kesempurnaan, harus dibandingkan dengan sesuatu keadaan kesempurnaan yang diidamkan atau yang ditetapkan dan dinamakan standar. Maka dengan demikian untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan bisa dilakukan dengan membandingkan penampilan pelayanan kesehatan dengan standar pelayanan kesehatan yang ditetapkan. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah kepatuhan terhadap standar dan kepatuhan terhadap harapan pelanggan atau pengguna pelayanan kesehatan. Sedangkan dari segi pemberi pelayanan kesehatan, mutu adalah sebagai sesuatu yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kemampuan untuk mencapai sesuai dengan standar tersebut merupakan fungsi dari serangkaian faktor proses pelayanan. Mutu dalam pelayanan kesehatan bukan hanya ditinjau dari sudut pandang aspek teknis medis yang berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja tetapi juga sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan, termasuk manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya (Wijono, 2000). Menurut Parasuraman et al. (1998) ada 5 (lima) dimensi yang digunakan sebagai kerangka konsep dalam mengukur mutu pelayanan yaitu : 1)
Tangible
(berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas, peralatan,
karyawan dan alat-alat yang digunakan. 2)
Reliability (keandalan); yakni kemampuan untuk melaksanakan jasa yang telah dijanjikan secara konsisten dan dapat diandalkan (akurat).
Universitas Sumatera Utara
3)
Responsiveness (cepat tanggap); yaitu kemauan untuk membantu pelanggan (konsumen) dan menyediakan jasa/ pelayanan yang cepat dan tepat.
4)
Assurance (kepastian); mencakup pengetahuan dan keramah-tamahan para karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
5)
Empaty (empati); meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pelanggan. Mutu pelayanan kesehatan pada umumnya dipengaruhi oleh mutu sarana fisik,
jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya. Namun disamping itu yang lebih penting lagi adalah bagaimana proses pemberian pelayanan dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan. Dengan demikian, proses pemberian pelayanan dapat ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping harus menganut nilai-nilai moral untuk diterapkan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari (Depkes RI, 2000). Mutu adalah suatu konsep yang luas, sehingga dalam melakukan pengkajian mutu pelayanan kesehatan perlu diperhatikan berbagai dimensi dari mutu pelayanan kesehatan seperti kompetensi teknis dari pemberi pelayanan, akses atau jangkauan pelayanan, efektifitas dan efisiensi pelayanan yang diberikan, hubungan antar
Universitas Sumatera Utara
manusia dari si pelaku pemberi pelayanan, kesinambungan dari pelayanan, kenyamanan yang dirasakan oleh konsumen dan pemberian informasi yang memadai kepada konsumen (Depkes RI, 2000).
2.6 Landasan Teori Menueurt Dever (1984), faktor sosiodemografi atau karakteristik meliputi : umur, jenis kelamin, ras, bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi. Sikap petugas dan keahlian petugas merupakan faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti VCT Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Selanjutnya tentang mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan VCT mengacu kepada Parasuraman et al. (1998).
Provider Factors a. Sikap petugas b. Keahlian petugas, serta f. Fasilitas yang dimiliki
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Karakteristik Predisposisi a. Jenis kelamin b. Umur c. Pendidikan d. Suku/ras e. Manfaat-manfaat kesehatan
Gambar 2.3. Landasan Teori Sumber : Donabedian (1973) dalam Dever (1984) dan Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2005)
Universitas Sumatera Utara
2.7 Kerangka Konsep Karakteristik Individu (Host) a. Umur b. Pendidikan c. Status Perkawinan
Mutu Pelayanan Klinik VCT Rutan Kelas I Medan
Pemanfaatan Klinik VCT Rutan Kelas I Medan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan Risiko HIV/AIDS
a. Keandalan b. Daya tanggap c. Kepastian/Jaminan d. Empati e. Berwujud
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas, dapat dijelaskan bahwa variabel karakteristik individu dilihat pada kelompok yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu pengguna narkotika suntik (IDU) serta kelompok risiko lainya seperti yang mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Tatto sebagai penghuni Rutan yang menjadi sasaran pelayanan VCT. Mutu pelayanan klinik VCT berdasarkan dimensi yang disebutkan Parasuraman et al. (1998).
Universitas Sumatera Utara