daerah sudah menunjukkan adanya resistensi terhadap beberapa kelompok insektisida. Pelaksanaan program P2 DBD perlu ditingkatkan dengan mengutamakan keterpaduan dan integrasi program pada pengendalian penyakit berbasis vektor dan lingkungan serta meningkatkan keterlibatan lintas sektor dan lintas program. SARAN Untuk mengantisipasi resistensi serangga vektor terhadap insektisida diperlukan suatu strategi dengan cara melakukan rotasi atau pergiliran penggunaan insektisida, serta melaksanakan mapping vektor DBD. Peran lintas sektor dan lintas program perlu ditingkatkan dalam mendukung program P2 DBD sehingga pelaksanaannya dapat lebih optimal. Peningkatan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) mengingat telah adanya resistensi pada beberapa jenis insektisida. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada seluruh Kepala Dinkes Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dan seluruh pengelola program P2 DBD di Sumatera Utara. DAFTAR PUSTAKA 1. Endy TP, Chunsuttiwat S, Nisalak A, Libraty DH, Green S, Rothman AL, et al. Epidemiology of inapparent and symptomatic acute dengue virus infection: a prospective study of primary school children in Kamphaeng Phet, Thailand. American Journal of Epidemiology. 2002: 156 (1): 40-51. 2. Freitas MGR, Tsouris P, Sibajev A, Weimann ETS, Marques AU, Ferreira RL, et al. Explatory temporal and spatial distribution analysis of dengue notifications in Boa Vista, Roraima, Brazilian Amazon, 1999-2001. Dengue Buletin. 2003: 27: 63-80. 3. Chinnock P. (2008) Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue virus infection. [diakses tanggal 22 Augustus 2 0 1 0 ] . A v a i l a b l e f r o m : http://www.tropika.net/svc/review/Chinnock20 080710ReviewDHF. 4. Lloyd LS. Best practices for dengue prevention and control in the Americas. Environmental health project. Office of Health, Infectious
6 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 1-6
Diseases and Nutrition Bureau for Global Health. US Agency for International Development, Washington DC; 2003. 5. Supartha IW. Pengendalian terpadu vektor virus demam berdarah dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Makalah dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah 3-6 September 2008, Denpasar. 6. Dinkes Prov. Sumut. Laporan Tahunan 2011 pengendalian & pemberantasan demam berdarah dengue (P2DBD), P2 malaria, P2 rabies, P2 filariasis, dan P2 kecacingan, Medan. 7. Dinkes Prov. Sumut. Laporan Tahunan 2012 pengendalian & pemberantasan demam berdarah dengue (P2DBD), P2 malaria, P2 rabies, P2 filariasis, dan P2 kecacingan. Medan. 8. Depkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2003. 9. Depkes. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005. 10. Gubler DJ. The global threat of emergent/reemergent vector-borne diseases. In: Atkinson, P.W. ed. Vector Biology, Ecology and Control. 2010. New York : Springer, pp. 39-62. 11. B2P2VRP. Laporan akhir penelitian 2011. Peta resistensi vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti terhadap insektisida kelompok organofosfat, karbamat, dan pyrethroid secara konvensional dan molekuler di Indonesia, Salatiga. 12. Hemingway J, Field L, Vontas J. An overview of insecticide resistance. Science. 2002; 298:96-97 13. Teutsch SM, Churchill RE. Principles and practice of public health surveillance. New York: Oxford University Press; 2000. 14. WHO. Management of dengue epidemic, information, education and communication (IEC) activities. [Diakses tanggal 1 April 2013]. A v a i l a b l e f r o m : http://209.61.208.233/en/Section10/Section332 /Section377_2325.htm
ARTIKEL ARTIKEL
TOXOPLASMOSIS DALAM KEHAMILAN Sri Wahyuni* Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Kebidanan JL. Letjend Sutoyo, Mojosongo, Surakarta Email:
[email protected] Accepted: 18 Februari 2013, Reviewed: 25 April 2013, Published: 31 Mei 2013
ABSTRAK. Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia yang disebabkan sporozoa dengan nama Toxoplasma gondii, yang dapat menginfeksi hewan peliharaan dan manusia. Infeksi pada manusia terutama pada wanita hamil sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas. Sementara akibat yang bisa ditimbulkan bisa fatal bila mengenai ibu hamil terutama pada trimester ketiga kehamilan diantaranya adalah hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Toksoplasmosis adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, yang dapat diperoleh dari makanan yang tidak dimasak, daging yang terinfeksi atau tanah faces kucing yang dapat menginfeksi ibu hamil. Proses menginfeksi pada manusia dapat terkena infeksi parasit ini dengan melalui dua cara yaitu didapat (Aquiredtoxoplasmosis) maupun diperoleh semenjak dalam kandungan (Congenital toxoplasmosis). Dampak toxoplasmosis kongenital sangat beragm diantaranya adalah Chorioretinitis, Hydrocephalus, Intracranial calcificatio. Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan karena gejala klinik bagi yang terinfeksi tidaklah spesifik. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma.pencegahan perlu dilakukan baik pencegahan primer maupun sekunder. Pengobatan dengan menggunakan Spiramycine cukup efektif untuk penderita toxoplasmosis. Infeksi toxoplasmosis bisa dicegah dengan menghindari semua faktor yang bisa menularkan sporozoa Toxoplasma gondii seperti menghindari makan makanan yang tidak dimasak terutama daging yang belum sempurna matangnya, menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi Toxoplasma gondii. Penanganan pada kehamilan dengan toxoplasmosis perlu dilakuan termasuk mengakhiri kehamilan dan pemberian antibiotik terhadap janin yang dikandung berdasarkan diskusi tenaga medis dengan pasien dan suaminya. Kata kunci: Toksoplasmosis, kehamilan ABSTRACT. Toxoplasmosis is one zoonosis caused by toxoplasmosis gondii that can infected pets and human. Infection in woman pregnant, frequently asymptomatic. While impact at this disease woman pregnant for her pregnancy, specially at third trimester pregnant were hidrocephalus, chorioretinitis, deaf or epilepsi. Toxoplasmosis is a disease caused by toxoplasma gondii, transmitted to human by eating food under cooked, infected meat or handling soil or cat feces that contain the parasite. The route of infection in to human by aquired or congenital variation impact of congenital toxoplasmosis were chorioretinitis, hydrocephalus, intracranial calcificatio. Laboratorys tests are very important of clinical sign is asymtomatic. Test that commonly usedmore anti toxoplasma Ig G, Ig M, Ig A and Aviditas Anti Toxoplasma. Primmary and secondary prevention is important. Treatment to toxoplasmosis with spiramycine is effective. Toxoplasmosis infection prevention could be done by avoid risk factor of toxoplasmosis ie not eating raw specially undercooked meat, not contact with animal's infected. Toxoplasmosis treatment in pregnancy is needed include abortion and antibiotic support to infant could be done according to discussion from doctor, patients and her husband. Key words: Toxoplasmosis, pregnancy
PENDAHULUAN Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak menginfeksi manusia dan hewan peliharaan. Toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi penyakit ini juga dapat menyerang
hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing dan anjing.1,2,3 Sebagai contoh adalah survei yang telah diadakan di Amerika Serikat. Data positif didasarkan kepada penemuan serodiagnostik dari beberapa hewan peliharaan dapat dilihat pada Tabel I.
27
Tabel 1. Data positif didasarkan penemuan serodiagnostik1 No
Hewan yang terinfeksi
Persentase (%)
1
Anjing
59
2
Kucing
34
3
Babi
30
4
Sapi
47
5
Kambing
48
Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang memelihara kucing atau anjing, karena pada manusia toxoplasmosis ini sering melalui saluran pencernaan, biasanya melalui perantara makanan atau minuman yang terkontaminasi agen penyebab penyakit toxoplasmosis ini, misalnya karena minum susu sapi segar atau makan daging yang belum sempurna matangnya dari hewan yang terinfeksi dengan penyakit toxoplasmosis. Penyakit ini juga sering terjadi pada sejenis ras kucing yang berbulu lebat dan warnanya indah yang bisanya disebut dengan mink, pada kucing ras mink penyakit toxoplasmosis sering terjadi karena makanan yang diberikan biasanya dari daging segar (mentah) dan sisa-sisa daging dari rumah potong hewan.1,4,5,6 Infeksi Toxoplasma sangat berbahaya bila terjadi pada manusia terutama pada ibu hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun). Infeksi parasit toxoplasmosis ini pada ibu hamil seakan-akan tanpa menimbulkan gejala yang nyata atau tidak berpengaruh terhadap ibu sendiri, tetapi mempunyai dampak yang serius terhadap janin yang dikandungnya, dapat terjadi keguguran atau seandainya berhasil lahir kemungkinan anak menjadi cacat fisik maupun mental di kemudian hari, dan biasanya akan tetap disandang untuk selamanya. Cacat kongenital ini dapat melanda semua jaringan organ tubuh termasuk organ sistem syaraf pusat dan perifer yang mengendalikan fungsi-fungsi gerak, penglihatan, pendengaran, sistem kardiovaskuler serta metabolisme tubuh 7,8,9,10,11. Dewasa ini setelah siklus hidup Toxoplasma ditemukan maka usaha pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan. Saat ini diagnosis toxoplasmosis lebih mudah karena adanya antibodi IgM atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan penegakan diagnosis maka pengobatan
28 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 27-32
penyakit ini menjadi lebih mudah, sehingga penderita toxoplasmosis dapat sembuh sempurna. Insidensi keguguran, cacat kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin. Kecacatan pada anak dapat dihindari dan menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas 1,12,13,14,15. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu diupayakan pencegahan dan penanganan pada penderita toxoplasmosis terutama pada wanita hamil. METODE Bahan penulisan artikel ini adalah literatur dan cara yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi literatur dari berbagai sumber yang berhubungan dengan toxoplasmosis dalam kehamilan baik berupa textbook maupun artikel atau jurnal ilmiah. PEMBAHASAN Sejarah Toksoplasma mulai dikenal sejak tahun 1908 ketika Charles Nocholledan Louis Manceaux menemukan parasit ini dalam sel mononukleus limpa dan hati binatang mengerat Ctenodactilus gondii yang hidup di Afrika Utara. Astellani dari A N O Ceylon melaporkan adanya toksoplasmosis pada manusia. Janku adalah seorang ahli mata yang pertama kali melaporkan adanya toksoplasmosis disertai hidrochephalus kongenital dan mikrosephalus dengan koloboma di makula. Penemuan pemeriksaan serologi pertama kali 16 diselidiki oleh Sabin dan Feldman. Pengertian Toxoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang binatang dan manusia yang d i s e b a b k a n o l e h p a r a s i t To x o p l a s m a gondii.17,18,19,20,21,22 Tersebar luas di berbagai kabupaten di Pulau Jawa, dan bersifat zoonosis. Kucing sebagai inang definitif, sedangkan inang perantaranya 20,21,23 adalah kambing, domba dan manusia. Pengertian lain bahwa toksoplasmosis adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, yang dapat diperoleh dari makanan yang tidak dimasak, daging yang terinfeksi atau tanah feses kucing yang mengandung parasit tersebut. 2,3,4 Epidemiologi Infeksi Toxoplasma ada dimana-mana, pada binatng dan merupakan salah satu infeksi laten
P
H
E
KLB dilakukan untuk melakukan penanggulangan dan pengendalian agar KLB tidak meluas dan mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang.12,13,14 Perlu diwaspadai penyebaran DBD pada wilayah baru yang sebelumnya tidak ada laporan DBD, wilayah sporadic meningkat menjadi wilayah endemis DBD (gambar 2). Spektrum kelompok umur yang terserang semakin meluas yakni di seluruh kelompok umur hingga upaya pengendalian DBD semakin sulit dan membutuhkan biaya yang semakin mahal. Kelompok umur kasus DBD yang paling tinggi adalah 15-44 tahun yang mana pada kelompok ini merupakan kelompok usia anak sekolah dan usia produktif serta memiliki mobilitas yang tinggi sehingga perlu keterlibatan lintas sektor untuk menanggulanginya. Beberapa laporan kasus DBD diketahui bahwa kasus terinfeksi di lingkungan sekolah, lingkungan tempat kerja dan juga tempat-tempat umum lainnya. Sekolah pada beberapa kabupaten/kota telah mengadakan program juru pemantau jentik (jumantik) anak sekolah yang bertujuan untuk melakukan pemantauan jentik nyamuk Aedes aegypti di lingkungan sekolah yang bertujuan untuk mengurangi transmisi virus Dengue di sekolah dengan cara mengurangi kepadatan nyamuk dewasa, memberantas habitat perkembangbiakan nyamuk, tempat/wadah yang terdapat jentik nyamuk untuk mengantisipasi berjangkitnya DBD di lingkungan sekolah.14 5. Kemitraan/Jejaring Kerja Multi Disiplin dan Sektoral Pelaksanaan P2 DBD di Sumatera Utara telah melakukan kemitraan/jejaring kerja secara multi disiplin dan sektoral diantaranya dengan mengadakan pertemuan lintas program dan sektor dalam pengendalian DBD pada beberapa kabupaten/kota yang menunjukkan peningkatan jumlah kasus DBD, daerah baru yang sebelumnya tidak terdapat kasus DBD dan daerah-daerah yang potensial terjadinya kasus DBD. Melalui pertemuan tersebut diharapkan lintas program (multi disiplin) dan lintas sektor yang tugas pokoknya memiliki keterkaitan dengan pencegahan DBD dapat berperan serta untuk menggerakkan masyarakat melalui tugas rutin mereka dalam upaya pencegahan DBD. Dalam mengoptimalkan program P2 DBD,
Provinsi Sumatera Utara telah memiliki kelompok kerja operasional (Pokjanal) pemberantasan penyakit DBD. Pokjanal DBD bertujuan untuk membina pelaksanaan berbagai upaya/kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian dan pemberantasan DBD yang secara operasional dilaksanakan oleh kelompok kerja yang berada di tingkat rukun tetangga /rukun warga (RT/RW)/dusun/lingkungan, desa/kelurahan dan Pokjanal DBD setiap tingkatan administrasi pemerintahan secara berjenjang dan berkesinambungan. Berdasarkan hasil evaluasi diketahui bahwa peran serta lintas sektor dan lintas program belum berjalan dengan maksimal dan membutuhkan peningkatan biaya untuk meningkatkan kegiatan penggalangan kemitraan melalui pertemuan lintas sektor/program di kabupaten/kota sehingga upaya pencegahan DBD dapat lebih terdistribusi dan efektif untuk membatasi penyebaran penyakit. 6. Monitoring dan Evaluasi Program Monitoring program pengendalian DBD dilakukan terhadap upaya pengendalian DBD di seluruh wilayah kabupaten/kota melalui kegiatan asistensi teknis terhadap manajemen Program P2 DBD pada Dinkes Kabupaten/Kota dan jajarannya, serta melakukan asistensi teknis manajemen kasus DBD di rumah sakit pada wilayah angka kasus dan kematian yang tinggi dan sebagian diantaranya diadakan pertemuan untuk memberikan feedback hasil asistensi pada petugas rumah sakit dan dinkes serta membahas permasalahan penanganan DBD di sarana pelayanan kesehatan. KESIMPULAN Pelaksanaan Program P2 DBD di Sumatera Utara ditinjau dari manajemen program pengendalian penyakit dinilai berhasil dalam menurunkan IR DBD hingga menjadi di bawah indikator Renstra Provinsi Sumatera Utara namun CFR DBD masih fluktuatif. Vektor utama DBD di Provinsi Sumatera Utara yaitu nyamuk Aedes aegypti keberadaannya diketahui mulai meluas yakni ke wilayah pedesaan terutama wilayah perkebunan, hingga potensi berjangkitnya DBD yang selama ini hanya fokus di daerah perkotaan ke depannya dapat semakin luas hingga meningkatkan terjadinya masalah kesehatan masyarakat. Beberapa Evaluasi Program..................(Sitepu, et.al)
5
Kabupaten/Kota. d. Distribusi data Data jumlah kasus DBD berdasarkan orang, tempat, dan waktu di kabupaten/kota telah didistribusikan ke Dinkes Prov. Sumut dengan rutin dalam bentuk laporan bulanan, dan bila terjadi KLB DBD di suatu daerah akan segera dilaporkan dengan menggunakan formulir W1 ke Dinkes Prov. Sumut. Penyebarluasan informasi telah dilaksanakan dengan membuat laporan/tulisan dalam bentuk warta DBD yang diterbitkan secara berkala 4 (empat) kali setahun.8,9 2. Penemuan dan Tata Laksana Kasus Upaya penemuan dan tata laksana kasus DBD dilakukan oleh masyarkarat dan sarana pelayanan kesehatan dengan dilakukan pemeriksaan sesuai standar WHO dan atau ditambah pemeriksaan antigen/antibody Dengue.8 Penemuan infeksi Dengue ditunjang dengan rapid diagnostic test (RDT) DBD yang didistribusikan ke kabupaten/kota yang memiliki kasus. Untuk meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan kasus DBD, Dinkes Prov. Sumut melaksanakan pelatihan terhadap petugas rumah sakit pemerintah dan Dinkes Kabupaten/Kota. 3. Penyuluhan dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat Penyuluhan dilakukan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam hal pencegahan DBD di lingkungan tempat tinggal masyarakat tersebut. Penyuluhan berguna untuk mengubah perilaku masyarakat dengan melaksanakan pendekatan berupa: (i) analisis situasi di lingkungan masyarakat tersebut, (ii) identifikasi perilaku masyarakat, (iii) mobilisasi dan komunikasi sosial, (iv) pemberdayaan masyarakat, dan (v) kemitraan. Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan DBD dengan melaksanakan kegiatan 3 M+ menghindari gigitan nyamuk di lingkungan tempat tinggal/rumah tangga maupun pada institusi pemerintah dan swasta misalnya perkantoran, sekolah, pesantren, dan tempat-tempat umum.9,10 Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin dan terprogram baik secara tersendiri atau
4 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 1-6
terintegrasi dengan program penyuluhan kesehatan masyarakat lainnya di puskesmas, Dinkes Kabupaten/Kota maupun pada kegiatan respons kasus dan KLB. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarkat, Dinkes Prov. Sumut bersama beberapa Dinkes Kabupaten membentuk dan mengembangkan Desa Percontohan Pengendalian DBD. Tujuan pembentukan desa percontohan adalah memberdayakan masyarakat dalam P2 DBD dah keberhasilannya dapat dijadikan contoh di desa-desa lainnya. Pengendalian Vektor Pengendalian vektor DBD dilaksanakan dalam 2 (dua) kegiatan yaitu pemberantasan nyamuk dewasa (fogging focus dan fogging sebelum musim penularan (SMP)) dan pemberantasan jentik nyamuk melalui kegiatan 3M+ serta kegaitan pemantauan jentik berkala (PJB). Hasil pelaksanaan pengendalian vektor belum diperoleh data yang akurat, masih banyak kegiatan penyuluhan, fogging focus, SMP, dan 3M+ yang belum dilaporkan seluruhnya oleh Dinkes Kabupaten/Kota ke Dinkes Prov. Sumut. Sehingga upaya pengumpulan data kegiatan pengendalian vektor perlu untuk dilengkapi dan divalidasi dengan Dinkes Kabupaten/Kota untuk mendapatkan gambaran intensitas pengendalian vektor DBD. Hasil uji resistensi vektor DBD terhadap i n s e k t i s i d a b e r d a s a r k a n Ta b e l 1 p e r l u dipertimbangkan adanya suatu strategi untuk mengantisipasi resistensi serangga vektor terhadap insektisida dengan melakukan rotasi atau pergiliran penggunaan insektisida berdasarkan mode of action 11 dan target site yang berbeda. Pada beberapa daerah telah dijumpainya Aedes aegypti pada wilayah pedesaan dan telah menyebabkan timbulnya KLB di tahun 2011, mapping vektor DBD belum terlaksana secara sistematik pada wilayah berpotensi KLB dan daerah baru hingga berpotensi menjadikan penyebaran DBD semakin luas dan sulit diduga serta menyulitkan untuk pengendalian penyakit. 4. S i s t e m K e w a s p a d a a n D i n i d a n Penanggulangan KLB Sistem kewaspadaan dini DBD dilaksanakan secara terintegrasi dengan pengamatan penyakit potensial KLB terhadap daerah-daerah yang potensial terjadinya KLB DBD dengan melakukan PWS. Penanggulangan
manusia yang paling lazim di seluruh dunia. Insidennya sangat bervariasi pada orang-orang dan binatang pada berbagai daerah geografis. Prevalensi yang lebih tinggi biasanya terjadi pada daerah beriklim panas dan basah. Penularan pada janin biasanya terjadi bila infeksi diperoleh pada ibu yang secara imunologis normal selama masa kehamilannya. Penularan kongenital dari ibu yang secara imunologis normal, yang terinfeksi sebelum kehamilan adalah sangat jarang. Wanita dengan gangguan imun dengan infeksi kronis menularkan infeksi pada janinnya. Insiden infeksi kongenital di Amerika Serikat berkisar dari 1/1.000 sampai 1/8.000 kelahiran hidup. Insiden infeksi yang di dapat yang baru pada populasi wanita hamil tergantung pada resiko menjadi terinfeksi dalam daerah geografik khusus tersebut dan proporsi 22 populasi yang belum pernah terinfeksi. Proses infeksi dan gejala Parasit Toxoplasma biasanya hidup di dalam usus hewan peliharaan rumah seperti anjing, kucing, tikus, burung merpati atau ayam dan binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, sehingga penularan dari hewan kepada manusia mudah sekali baik melalui dikonsumsi ataupun melalui feses yang mengandung parasit tersebut. Penularan parasit semakin besar karena bentuk kehidupan Toxoplasma yang di usus sebagai mikrofilaria dapat berubah menjadi kista-kista yang masuk dalam peredaran darah dan dideposit di sela-sela jaringan otot atau daging mentah. Bila penyakit ini menjangkiti wanita hamil maka janin dalam kandungan juga akan beresiko terinfeksi dan menimbulkan berbagai kecacatan fiik pada anak setelah dilahirkan Toxoplasmosis tidak ditularkan dari orang ke orang Transmisi atau cara penularan pada manusia biasanya melalui rute oral,melalui daging mentah/kurang matang (kista). Buah/sayur mentah yang tidak dicuci bersih (ookista), kontak dengan benda yang tercemar (ookista), terinfeksi
dari ibu ke janin melalui transplasental.7,22 Secara garis besar manusia dapat terkena infeksi parasit ini dengan dua cara yaitu didapat (Aquired toxoplasmosis) maupun diperoleh semenjak dalam kandungan (Congenital toxoplasmosis).22,24 Penyakit toxoplasmosis kongenital biasanya ditandai dengan gejala kinis korioretinitis, kalsifikasi serebri, mikrosefalus atau hidrosefalus. Gejala lain yang mungkin menyertai gejala klinis utama tersebut adalah anemia, kejang, pembengkakan kelenjar air liur, muntah, bisul-bisul di kulit, radang paru-paru, diare, demam, kulit kuning dan pengapuran dalam tengkorak. Gejalagejala tersebut umumnya tampak setelah bayi berusia satu tahun atau lebih kemudian bila tidak ditangani akan diteruskan dengan kejang-kejang serta keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental pada usia selanjutnya, sehingga saat ini telah terlambat untuk menyembuhkan penyakit secara tuntas.7 Sedangkan hubungan insidens dan derajat keparahan Toxoplasmosis Kongenital dengan waktu terjadinya infeksi pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 2. Cara diagnosa Diagnosis Toxoplasmosis secara klinis sukar ditentukan karena gejala-gejalanya tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub klinik). Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma.25,26 Selain hal tersebut diagnosa pada prenatal dapat dilakukan dengan deteksi adanya parasit di dalam darah fetus atau cairan amnion, adanya dokumentasi/riwayat Toxoplasma IgM dan IgA dalam darah fetal/bayi.27 South australian practice guidelines mengatakan pemeriksaan ultrasonografi pada ibu hamil, amniocentesis untuk PCR (Polymerase Chain Reaction) dan atau kultur pada kehamilan 18-20
Tabel 2. Hubungan Insidens dan Derajat Keparahan Toxoplasmosis Kongenital Dengan Waktu Terjadinya Infeksi pada Ibu Hamil7 Saat infeksi
Bayi
Toxoplasmosis
terinfeksi
Berat
Ringan/Asimtomatik
Trimester I
25
60
40
Trimester II
54
30
70
Trimester III
65
0
100
Toxoplasmosis dalam..................(Wahyuni)
29
minggu atau jika lebih dari 4 minggu setelah ibu 28 terinfeksi sangat diperlukan. Hal tersebut juga dikuatkan oleh OTIS (Organization of Teratology Information Specialists) yang mengatakan bahwa Tes serologi dan PCR (Polymerase Chain Reaction) diperlukan untuk menegakkan diagnosis toxoplasmosis pada wanita hamil.18 Beberapa literatur mengatakan bahwa pilihan pertama diagnostik laboratorum pada infeksi toxoplasmosis adalah demonstrasi titer anti bodi IgM/IgG terhadap Toxoplasmosis gondii dengan pengamatan gejala hidrocephalus, chorioretinitis, kalsifikasi cerebral yang tersebar. Pilihan kedua adalah dengan demonstrasi titer Ab. IgM/IgG anti Toxoplasmosis gondii tanpa pengamatan gejala, pengamatan IgM – IgG aviditas.7 Berikut dibawah ini adalah toxoplasma IgG Avidity dan interpretasinya. a. Nilai standar Toxo-aviditas Hasil : 2 < 15 : rendah Hasil : 15 30 % : sedang Hasil : 30 > 30 % : tinggi b. Dapat membedakan infeksi baru dan infeksi lampau 1) Low avidity : infeksi baru terjadi ( < 4 bulan) 2) High avidity : infeksi lampau ( > 4 bulan ) Dampak toxoplasmosis Infeksi primer pada toxoplasmosis selama kehamilan jarang terjadi di Australia. Risiko dari penularan antara janin dan ibu serta abnormalitas yang berhubungan dengan infeksi toxoplasmosis kongenital relatif tergantung usia kehamilan. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : ≤ 13 minggu kehamilan : risiko penularan ibu ke janin sebesar 5-15 %, sebesar 60-80 % berisiko terjanin kecacatan bila terinfeksi, trimester ke dua kehamilan : risiko penularan ibu ke janin sebesar 25-40 %, sebesar 15-25 % berisiko terjanin kecacatan bila terinfeksi, trimester ke tiga kehamilan : risiko penularan ibu ke janin sebesar 30-75 %.3,6,8,9, 28 Transmisi melalui penyaluran transplasental setelah parasitemia pada ibu yang mengidap infeksi setelah ingesti oosit infektif dari daging yang terkontaminasi atau mentah.6,29 Wanita hamil yang terinfeksi toxoplasma gondii maka efek yang terjadi sangat bervariasi seperti abortus spontan (4%), lahir mati (3%), toxoplasmosis bawaan (20%). Kejadian toxoplasmosis bawaan seperti tersebut diatas bisa berupa keterbelakangan mental, kerusakan mata/telinga, kejang-kejang, ensefalitis. Kerusakan
30 BALABA Vol. 9, No. 03, Juni 2013 : 27-32
organ berat pada bayi terutama bila infeksi 7,20 toxoplasmosis terjadi pada saat kehamilan muda. Pencegahan Kucing adalah salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya toxoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat dijaga terjadinya infeksi pada kucing yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung.24 Pencegahan juga bisa dilakukan dengan: 1) Pencegahan primer dengan memasak daging yang benar setidaknya sampai 670C (1530F), memasak daging benar-benar matang jangan warnanya masih merah muda (pink), termasuk daging yang diasap atau daging yang sudah dikemas kemungkinan masih terinfeksi parasit, menghindari kontak dengan lendir atau cairan dari daging tanpa pelindung tangan, mencuci tangan dengan hati-hati setelah kontak tanpa pelindung dengan daging, membersihkan atau mencuci semua peralatan masak dengan menggunakan pelindung setelah kontak dengan daging mentah, menghindari untuk memotong hewan, menghindari kontak dengan semua yang berhubungan dengan feces kucing, khususnya yang memelihara kucing ataupun ketika berkebun, mencuci buah-buahan dan sayuran sebelum di makan, menghindari minum air yang beresiko terkontaminasi dengan oocysts; 2) Pencegahan sekunder (serological screening) penting mengidentifikasi wanita selama hamil dari terinfeksi Toxoplasma gondii dan jika fetal terinfeksi dengan pemeriksaan selama prenatal, kemungkinan therapi, termasuk mengakhiri kehamilan dan pemberian antibiotik terhadap janin yang dikandung perlu didiskusikan dengan pasien. Ibu dan suami perlu tahu adanya risiko termasuk adanya risiko terhadap janin yang dikandung.2,9 12,25, 30 Selain hal tersebut pencegahan yang harus dilakukan adalah dengan : 1. Melakukan pemeriksaan sebelum kehamilan. Ada baiknya memeriksakan tubuh sebelum merencanakan kehamilan, apakah dalam tubuh terdapat virus atau bakteri yang dapat menyebabkan infeksi TORCH. 2. Melakukan vaksinasi Vaksinasi bertujuan untuk mencegah masuknya parasit penyebab TORCH. Seperti vaksin rubela
organofosfat (malation 0,8%), karbamat (bendiokarb 0,10%), dan pyrethroid (deltametrin 0,05%, permetrin 0,75%, lambdasihalotrin 0,05%, dan cypermetrin 0,05%).11 Hasil dari uji resistensi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Resistensi Vektor DBD terhadap Insektisda Organofosfat, Karbamat, dan Pyrethroid di Kota Medan Tahun 2011 Kelompok Insektisida Organofosfat Karbamat Pyrethroid
Insektisida
Hasil
Malation 0,8% Bendiokarb 0,10%
Resisten Toleran
Deltametrin 0,05% Permetrin 0,75% Lambdasihalotrin 0,05% Cypermetrin 0,05%
Resisten Resisten Resisten Toleran
PEMBAHASAN 1. Surveilans Epidemiologi DBD Pelaksanaan surveilans epidemiologi DBD di Sumatera Utara secara rutin dan terpadu dengan melibatkan unit-unit surveilans yang ada di seluruh kabupaten/kota. a. Pengumpulan dan pengolahan data Kasus suspek atau confirmed DBD yang dirawat di sarana pelayanan kesehatan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota) dengan tembusan kepada Puskesmas tempat tinggal penderita dalam waktu 24 jam setelah diagnosa ditegakkan menggunakan format laporan kewaspadaan dini rumah sakit (KD/RS). Berdasarkan laporan tersebut selanjutnya dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan kegiatan respons pencegahan penyakit apabila ada kasus yang tidak terlaporkan atau tidak mencari pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan, maupun untuk menyelidiki ada tidaknya kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) DBD.8 Berdasarkan laporan KD/RS, hasil PE dan kegiatan respons pencegahan penyakit tersebut kemudian direkap dan dilaporkan secara bulanan oleh puskesmas kepada Dinkes Kabupaten/Kota menggunakan formulir rekapitulasi penderita DBD per bulan (DP-DBD), Dinkes Kabupaten/Kota mengkompilasi, mengolah dan menganalisa data laporan DP-DBD yang diterima dari puskesmas menggunakan format laporan bulanan (K-DBD) untuk selanjutnya
dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (Dinkes Prov. Sumut) paling lambat tanggal 10 setiap bulannya termasuk laporan nihil yakni bila tidak ada kasus pada bulan tersebut. S e l a n j u t n y a D i n k e s P r o v. S u m u t mengirimkan laporan ke Subdit Arbovirosis Kementerian Kesehatan RI paling lambat tanggal 15 setiap bulannya. Kelengkapan dan ketepatan laporan divalidasi setiap bulan, serta dilakukan feedback oleh Dinkes Prov. Sumut setiap 3 bulan sekali. Berdasarkan hasil analisis selama ini, ketepatan dan kelengkapan laporan DBD dari Dinkes Kabupaten/Kota sebesar >90%. Untuk memudahkan pengiriman laporan bulanan dari Dinkes Kabupaten/Kota ke Dinkes Prov. Sumut dapat dilakukan melalui e-mail, faximile ataupun pos. b. Analisis serta rekomendasi tindak lanjut Dinkes Prov. Sumut telah melakukan analisis perkembangan DBD berdasarkan orang, tempat dan waktu dan memberikan rekomendasi tindak lanjut ke Dinkes Kabupaten/Kota. Hal yang sama juga dilakukan oleh Dinkes Kabupaten/Kota ke Puskesmas sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah setempat (PWS) atau sistem kewaspadaan dini DBD di daerahnya. c. Umpan balik Yang terjadi selama ini kurangnya koordinasi dan sharing data antara setiap program yang ada, termasuk koordinasi antara rumah sakit dan Dinkes Kabupaten/Kota sehingga kasus DBD yang dirawat di rumah sakit ada yang tidak dilaporkan kepada Dinkes Kabupaten/Kota. Kurangnya umpan balik ini mengakibatkan program P2 DBD di beberapa kabupaten/kota masih berjalan kurang baik. Untuk mengatasi hal ini beberapa petugas surveilans Dinkes Kabupaten/Kota melakukan surveilans aktif dengan melakukan kunjungan langsung ke rumah sakit dan unit pelayanan kesehatan yang lain. Pertemuan peningkatan tata laksana DBD yang diadakan oleh Dinkes Prov. Sumut dengan mengundang pihak rumah sakit dan Dinkes Kabupaten/Kota cukup memberikan dampak yang positif terhadap sharing data antara rumah sakit dan Dinkes
Evaluasi Program..................(Sitepu, et.al)
3
adalah untuk menurunkan Incidence Rate (IR) DBD sesuai Renstra Provinsi Sumatera Utara (IR DBD <50 per 100.000 penduduk) dan CFR DBD <1%. Berdasarkan laporan yang masuk, IR DBD tahun 2010-2012 masih berada di bawah indikator Renstra Provinsi Sumatera Utara, sedangkan CFR DBD masih fluktuatif, namun pada tahun 2012 sudah berada di bawah indikator (CFR <1%). Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pencapaian program, hambatan, tantangan, dan rumusan saran dan tindak lanjut upaya perbaikan program P2 DBD di Sumatera Utara.
Gambar 1 menunjukkan bahwa IR DBD di Sumatera Utara pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010, namun mengalami peningkatan kembali pada tahun 2012. (CFR) Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa penyebaran DBD semakin meluas dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara sebanyak 24 kabupaten/kota yang melaporkan adanya kasus DBD, tahun 2011 meningkat menjadi sebanyak 27 kabupaten/kota yang melaporkan kasus DBD, dan pada tahun 2012 hanya ada 2 kabupaten yang tidak ada laporan kasus DBD.
dapat dilakukan sebelum kehamilan. Setelah vaksin ini tidak boleh hamil dahulu sampai 2 bulan kemudian. 3. Mengkonsumsi makanan yang matang Menghindari memakan makanan tidak matang atau setengah matang. Virus atau parasit penyebab TORCH bisa terdapat pada makanan dan tidak akan mati apabila makanan tidak dimasak sampai matang. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, selalu mengkonsumsi makanan matang dalam keseharian Anda. 4. Memeriksakan kandungan secara teratur Selama masa kehamilan, pastikan juga agar memeriksakan kandungan secara rutin dan teratur. Maksudnya adalah agar dapat dilakukan tindakan secepatnya apabila di dalam tubuh Anda ternyata terinfeksi TORCH. Penanganan yang cepat dapat membantu agar kondisi bayi tidak menjadi buruk. 5. Menjaga kebersihan tubuh Menjaga higiene tubuh, prosedur higiene dasar, seperti mencuci tangan, sangatlah penting.
METODE Evaluasi dilakukan dengan kajian deskriptif terhadap pelaksanaan sistem surveilans DBD di Sumatera Utara dari tahun 2010 – 2012, yaitu surveilans epidemiologi DBD; penemuan dan tata laksana kasus; penyuluhan dan peningkatan peran serta masyarakat; pengendalian vektor; sistem kewaspadaan dini dan penanggulangan DBD; kemitraan/jejaring kerja multi disiplin dan sektoral; dan monitoring evaluasi program P2 DBD. HASIL Gambar 3. Kasus DBD di Sumatera Utara Menurut A N O Kelompok Umur
Gambar 1. Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR) DBD di Sumatera Utara dari Tahun 2010-2012
Pada tahun 2011 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga melakukan uji resistensi vektor DBD terhadap insektisida secara konvensional dengan metode standar WHO susceptibility test di beberapa kelurahan di Kota Medan yaitu di Kelurahan Heveltia Tengah Kecamatan Helvetia, Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan, dan Kelurahan Tanjungreo Kecamatan Sunggal. Insektisida yang diuji resistensi adalah kelompok
Gambar 2. Penyebaran DBD dari Tahun 2010-2012 dan Pembagian Kabupaten/Kota Berdasarkan IR
2 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 1-6
P
H
Penanganan Dari obat-obatan toxoplasmosis yang Eoptimal hasilnya ialah memakai : Spiramycine 3 MIU-3X sehari 1 tablet. Lebih efektif lagi apabila selama pengobatan dengan Spiramycine selalu dibina pula kehidupan flora usus agar Pseudo Kista dalam limfonodus-mesenterik dan vili-vili usus turut tercerna (biasanya diberikan pula vitamin B Complex atau obat pemacu suburnya flora usus yang lain. Kista yang dindingnya sukar ditembus setelah terpapar AB, maka perlu ditunggu 2 minggu tanpa obat agar kista pecah lagi, sehingga pemberia obat perlu menurut jadwal : 3 minggu dengan obat (paket 1) tenggang 2 minggu tidak boleh minum obatobatan antibiotik apapun, kemudian dilanjutkan dengan paket 2 spiramycine 3 MIU lagi selama 3 minggu, libur 2 minggu, dan seterusnya (paket 3). Diperiksa kadar IgG-Anti toxoplasma setiap 3 paket pengobatan. Batas dihentikan obat toxoplasmosis setelah IgG-Anti toxoplasmosisnya kurang dari 6 IU/m.1 Kemungkinan therapi, termasuk mengakhiri kehamilan dan pemberian antibiotik terhadap janin yang dikandung perlu didiskusikan dengan pasien. Ibu dan suami perlu tahu adanya risiko termasuk adanya risiko terhadap janin yang dikandung. Upayakan persalinan pervaginam dan apabila terjadi disporposi kepala panggul yang disebabkan oleh hidrosephalus, lakukan kajian ultrasonografi
ketebalan korteks untuk pilihan penyelesaian persalinan.30,15 KESIMPULAN Penyakit toxoplasmosis adalah penyakit dengan gejala klinis relatif ringan sehingga sering kali luput dari pengamatan tenaga kesehatan. Padahal akibat yang ditimbulkannya memberikan beban berat bagi masyarakat terutama ibu hamil seperti abortus, lahir mati maupun cacat kongenital. Infeksi toxoplasmosis bisa dicegah dengan menghindari semua faktor yang bisa menularkan sporozoa Toxoplasma gondii seperti menghindari makan makanan yang tidak dimasak terutama daging yang belum sempurna matangnya, menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi Toxoplasma gondii. DAFTAR PUSTAKA 1. Hiswani. Toxoplasmosis penyakit zoonosis yang perlu diwaspadai oleh ibu hamil. Universitas Sumetera Utara; 2003. 2. Kravetz JD, Federman DG. Prevention of toxoplasmosis in pregnancy: knowledge of risk factors, infectious diseases in obstetrics and gynecology; 2005. 3. Lopes FMR, Goncalves DD, Mitsuka-Bregano R, Freire RL, Navarro IT. Toxoplasmosis gondii infection in pregnancy. The Brazillian Journal of Infectious Diseases. 2007; 11(5): 496-506. 4. Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2005. 5. Dentico P, Volpe A, Putoto G, Ramadani N, Bertinato L, Berisha M, et al. Toxoplasmosis in Kosovo preganant women. New Microbiologica. 2011; 34: 203-7. 6. Kapperud G, Jenum PA, Stray-Pedersen B, Melby KK, Eskild A. Risk factor for toxoplasma gondii infection in pregnancy. American Journal of Epidemiology. 1996; 144 (4). 7. Haksohusodo S. Infeksi TORCH patogenesis, infeksi maternal-kongenital dan pengobatannya. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Yayasan Inovasi Biomolekuler Kedokteran Haksohusodo; 2002. 8. Paquet C, Rivieres T, Yudin MH. Toxoplasmosis in pregnancy: prevention,
Toxoplasmosis dalam..................(Wahyuni)
31
Intermezo 9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16. 17. 18.
screening, and treatment. J Obstetricians and Gynaecologists of Canada. 2013; 35(1): 78-9. Stricker R, Sitavanc R, Liassine N, Marval F. Toxoplasmosis during Pregnancy and Infancy. Swiss Med Wkly. 2009; 139(43-44): 643-644. South Australian Perinatal Practice Gudelines workgroup. Toxoplasmosis in pregnancy. 2 0 1 0 . A v a i l a b l e f r o m :
[email protected] Kravetz JD, Federman DG. Toxoplasmosis in pregnancy. The American Journal of Medicine. 2005; 118: 212-216. Sagel U, Kramer A, Mikolajczyk RT. Blind periods in screening for toxoplasmosis in pregnancy in austria-a debate. BMC Infectious Disease. 2012; 12: 118. Sagel U, Kramer A, Mikolajczyk RT. Toxoplasmosis. 2010. Available from: http://www.health.qld.gov.au. Sever JL, Ellenberg JH, Ley AC, Madden DL, Fuccilo DA, Tzan NR, et al. toxoplasmosis: maternal and pediatric in 23,000 pregnancies. 1988. Official Journal of The American Academy of Pediatrics. Available from: http://pediatrics.aappublications.org/content/8 2/2/181. JNPKKR-POGI, YBPSP. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Tridasa Printer; 2002. Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC; 2008. H a m i l t o n P e r s i s M a r y. D a s a r- d a s a r keperawatan maternitas. Edisi 6. Jakarta: EGC. Organization of Teratology Information Specialists. Toxoplasmosis and pregnancy. 2 0 1 0 . A v a i l a b l e f r o m : www.OTISpregnancy.org.
32 BALABA Vol. 9, No. 01, Juni 2013 : 27-32
19. Rukiyah Y, Yulianti L. Asuhan kebidanan IV (patologi kebidanan). Jakarta: Trans Info Media; 2010. 20. Desdidel, Hasan Z, Hevrialni R, Sratika Y. Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta: EGC; 2012. 21. Klaus & Fanaroff. Penatalaksanaan neonatus resiko tinggi. Edisi 4. Surjono Achmad, Editor. Jakarta: EGC; 1998. 22. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi 15 Vol 2. Wahab S, Editor. Jakarta: EGC; 2012. 23. Tolibin Iskandar. Penyakit toksoplasmosis pada kambing dan domba di Jawa. WARTAZOA. 2008; 18 (3). 24. Chahaya I. Epidemiologi Toxoplasma gondii. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2003. 25. Chahaya I. uk standards for microbiology investigations: investigation of toxoplasma infection in pregnancy. UK Protocols. 2012; 2 (2):1-15. 26. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.Dr. Sulianti S a r o s o . P e n g e r t i a n TO R C H b e r i k u t pencegahannya. 27. M a n i t o b a H e a l t h P u b l i k H e a l t h . Toxoplasmosis. Communicable Dsease Management Protocol; 2001. 28. South Australian Practice Guidelines. Toxoplasmosis in pregnancy, maternity care in SA, government of South Australia. 29. Paulette H. Asuhan neonatus rujukan cepat. Jakarta: EGC; 2008. 30. Jose G, Montoya and Jack S. Remington. Management of Toxoplasma gondii infection during pregnancy. 2008.
ARTIKEL ARTIKEL
EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI SUMATERA UTARA TAHUN 2010-2012 Frans Yosep Sitepu*, Teguh Supriyadi* *Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Jl. Prof. HM Yamin, SH No. 41 AA Medan 20234 Email:
[email protected] Accepted: 04 Februari 2013, Reviewed: 25 April 2013, Published: 31 Mei 2013
ABSTRAK. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Sumatera Utara yang merupakan daerah endemis. Program pengendalian DBD diharapkan dapat memberikan informasi tentang endemisitas dari suatu daerah, musim penularan dan perkembangan penyakit yang dapat digunakan untuk menjadikan sistem lebih efektif dan efisien. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif yang dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data DBD dari tahun 2010-2012. Evaluasi mengenai cara pencegahan dan program pengendalian DBD telah dilakukan. Cara pencegahan dan program pengendalian DBD di Sumatera Utara antara lain: pengamatan epidemiologi yang dilakukan pada semua kasus DBD; penemuan dan manajemen kasus di Rumah Sakit, dokter pribadi dan perawatan kesehatan primer; perluasan dan peningkatan partisipasi masyarakat, pengendalian vektor di daerah DBD, sistem peringatan dini dan pengendalian perjangkitan, kerjasama dari berbagi sektor, monitoring dan evaluasi. Program pengandalian DBD di Sumatera Utara perlu ditingkatkan dengan menambah kerjasama lintas sektor dan program untuk mengoptimalkan program tersebut, merotasi insektisida untuk menghindari resistensi vektor. Kata kunci: evaluasi, program pengendalian DBD, Sumatera Utara ABSTRACT. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is still a public health problem in North Sumatera which is an endemic area. DHF control program is expected to result information about endemicity of an area, season of transmission and disease progression that can be use to make the system more effective and efficient. It was a descriptive study by collecting and analyzing DHF data from 2010-2012. Evaluated had been done to the process of the DHF prevention and control program. The process of DHF prevention and control program in North Sumatera such as: epidemiological surveillance conducted to all the DHF cases; discovery and management of cases at hospitals, private physicians, and primary health care; extension and improvement of community participation, vector control in the area of DHF, early warning systems and controlling outbreaks, partnerships / networks of multiple disciplines and sectors, monitoring and evaluation. DHF control program in North Sumatera needs to be improved, increasing collaboration across sector and programs to optimize the program, rotate the insecticide to avoid resistance vectors. Key words: Evaluation, DHF Control Program, North Sumatera PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyebaran penyakit ini cenderung semakin meluas terutama di negara-negara berkembang.1,2 Serangan DBD dapat berakibat luas yang dapat menimbulkan kerugian material dan moral yang paling fatal dapat mengakibatkan kehilangan nyawa atau kematian.3,4 DBD sering terjadi di negara-negara tropis dan sub tropis termasuk di Indonesia.5 DBD di Indonesia merupakan salah satu emerging disease dengan insiden yang meningkat dari tahun ke tahun. DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan Case Fatality Rate (CFR) 41,3%
dan pada tahun 1997 DBD telah menyerang semua provinsi di Indonesia. Sumatera Utara merupakan daerah endemis DBD dimana kasus DBD terjadi setiap tahun dan wilayah penyebaran DBD semakin meluas. 6 Program Pencegahan dan Pengendalian DBD (P2 DBD) sejak lama telah dilaksanakan untuk menunjang upaya pengendalian DBD di Sumatera Utara namun berdasarkan laporan kasus DBD selama 3 (tiga) tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa beberapa kabupaten yang pada awalnya tidak ada laporan kasus DBD (daerah bebas DBD) menjadi daerah sporadis, dan daerah sporadis 7 menjadi daerah endemis. Tujuan program P2 DBD Sumatera Utara
1