ABSTRAKSI
Perkembangan teknologi yang begitu pesat, khususnya di lingkup teknologi informasi berbasis web, sangat berpengaruh terhadap para generasi muda yang cenderung mendewakan teknologi dalam proses pencarian ilmu pengetahuan atau kerap disebut sebgai net generation. Pendewaan teknologi tersebut telah mengaburkan batas nisbi antara budaya lokal dan budaya global yang sering kali tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Makalah ini berusaha membahas kajian konseptual mengenai paradigma baru bernama contextualism 2.0. Sebuah paradigma yang didasarkan pada proses pencarian ilmu pengetahuan yang tidak meninggalkan teknologi yang telah berkembang pesat namun diterapkan secara kontekstual dengan melibatkan sumber pencerdasan yang berasal dari keluarga, sekolah dan masyarakat sehingga dapat tetap mempertahankan budaya lokal yang ada di lingkungan sekitar. Diharapkan dengan adanya paradigma baru yang dapat menjadi landasan berpikir dalam membina generasi muda yang saat ini sering salah arah, maka para pengajar atau pendidik tidak harus membenci atau menafikan teknologi namun di sisi lain dapat mengarahkan teknologi menjadi sebuah alat bantu dalam proses pencarian ilmu pengetahuan secara baik dan benar.
Kata kunci : Contextualism 2.0, Sumber Pencerdasan, Teknologi Informasi
i
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
I. Pendahuluan Manusia sebagai mahluk yang dihayatkan kesatuannya dalam sebuah dinamika pada akhirnya diharapkan dapat menyatukan antara manusia dengan sesama dan dunianya (Drijarkara, 1989:52). Hal tersebut berarti bahwa manusia tidak hanya memandang dirinya sebagai sebuah mahluk yang berdiri sendiri, namun juga membutuhkan sebuah pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Layaknya seekor ikan yang berenang di samudra, bahwa manusia terikat dengan elemen superior yang ada disekitarnya namun tidak akan bisa untuk melakukan penetrasi secara murni ke elemen tersebut (James, 1959:90). Ini juga berarti bahwa hakikat manusia sebagai mahluk individu juga membutuhkan pengetahuan dan juga etika di dalam kehidupan sehari-hari. Ketiadaan pengetahuan dan etika di dalam eksistensi manusia akan menjadikan manusia tersebut sebagai mahluk animal tanpa adanya unsur animal educandum. Sebuah pembeda besar yang dapat menjerumuskan martabat manusia ke dalam sebuah derajat yang sangat rendah dan tidak layak untuk ditempati. Dalam kaitannya dengan era abad 21 yang telah membutakan sebagian besar manusia dengan kedok modernitas teknologi yang pada akhirnya menjadikan golongan net generation menjadi buta dan kecanduan akan teknologi (Beyers, 2009). Tentu saja fenomena ini bagi sebagian besar golongan net generation mulai memiliki paradigma-paradigma baru yang didalamnya menjadikan teknologi sebagai “dewa” baru di dalam kehidupan sehari-hari. Lebih khusus lagi jika pendewaan dan keterikatan teknologi di kalangan net generation
yang menjadikan sebuah paradigma baru di dalam proses pencarian ilmu
pengetahuan. Proses pencarian ilmu pengetahuan atau proses skeptisism yang menyebabkan seseorang melakukan pencarian terhadap sesuatu demi “mengetahui” sesuatu telah banyak bergeser prosesnya dengan keberadaan teknologi yang semakin maju saat ini. Teknologi Web 2.0 yang didalamnya melibatkan banyak hal “baru” di dalam perkembangan teknologi informasi berbasis web seperti social networking, blogging, wiki dan model kolaboratif lainnya, telah mengubah paradigma pencarian ilmu pengetahuan
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 1
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
menjadi lebih kontekstual bagi tiap manusia yang berusaha memecahkan masalah berdasarkan sikap natural skeptis yang dimilikinya. Sebagai contoh, jika seseorang yang masih merasa skeptis terhadap pengetahuan mengenai teori belajar yang baik, maka dengan adanya teknologi Web 2.0, dia akan berusaha mencari melalui internet mengenai jawaban tersebut hingga menemukan apa yang ia cari. Namun secara kontekstual, manusia lain yang memiliki pertanyaan sama, belum tentu juga akan menemukan jawaban yang sama pada saat proses pencarian tersebut. Makalah ini berusaha membahas fenomena pencarian ilmu pengetahuan yang sedang berkembang di dekade awal abad 21 yang melibatkan secara intens teknologi Web 2.0 secara kontekstual. Di dalam epistemologi, proses pencarian secara kontekstual yang lazim disebut sebagai contextualisme merupakan sebuah klaim pengetahuan yang disebutkan dapat bervariasi berdasarkan konteks demi konteks yang terjadi dengan adanya analogi berdasarkan lingkungan yang ditempati seorang manusia (Fumerton, 2006:18). Karenanya, fenomena yang diyakini saat ini menjadi sebuah paradigma baru di dalam ranah epistemologi, dapat diarahkan menjadi menjadi sebuah istilah baru dengan nama Contexualism 2.0, sebuah paradigma baru yang berusaha dibahas melalui kajian pustaka yang mendalam di dalam makalah ini.
II. Kajian Pustaka II.1. Proses Pembelajaran Manusia Proses pembelajaran seorang manusia terjadi pada saat manusia tersebut dianggap mampu tumbuh dan mampu melakukan pilihan di dalam kehidupannya (Mallarangeng, 2008:3). Di saat seorang manusia telah berusaha melakukan klaim terhadap sebuah pengetahuan dengan dilengkapi oleh bukti dan argumen yang tepat, maka dianggap pengetahuan yang telah didapat menjadi valid (Arp & Watson, 2011:36). Sehingga pada saat seorang manusia melakukan proses pembelajaran dalam proses pendewasaan yang terjadi di dalam dirinya, maka dia diharus melengkapi pengetahuan tersebut dengan bukti dan argumen di dalam proses pencarian ilmu pengetahuan tersebut.
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 2
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
Untuk memulai proses pembelajaran, seseorang diwajibkan memiliki sifat skeptis yang kerap disebut sebagai skeptisism. Skeptisisme merupakan pandangan terhadap ilmu pengetahuan seseorang mengenai realitas yang ada di dunia adalah terbatas dalam lingkup tertentu (Arp & Watson, 2011:54). Sehingga dengan adanya sikap skeptis di dalam diri seseorang diharapkan dapat memicu gairah belajar dan pencarian mengenai sebuah masalah tertentu yang dihadapi di dalam kenyataan yang ada Sedangkan semua pengetahuan yang didapat dari proses pencarian tersebut sesungguhnya berasal dari kecenderungan dasar dalam kodrat manusia yang menampakkan diri dalam aksi dan reaksi yang paling elementer (Cassier, 1990). Sehingga secara kodrati, manusia memang memiliki rasa ingin tahu berdasarkan reaksi dan sebagai aksi dari apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Tujuan akhir dari proses pembelajaran tersebut nantinya diharapkan dapat mengungkap
kebenaran
yang
secara
hakikat
adalah
sebuah
pengungkapan
“ketaktersembunyian” dari sesuatu yang sebelumnya diragukan oleh seorang manusia (Verhak & Imam, 1989:126). Sehingga pada akhirnya sikap skeptis yang melandasi proses pencarian ilmu pengetahuan akan lenyap seiring dengan munculnya kebenaran yang menghasilkan pengetahuan bagi manusia.
II.2. Pencarian Pengetahuan di Era Pendewaan TI Manusia sebagai sebuah mahluk yang totaliteit atau harus dipandang utuh dari segala kelebihan dan kekurangannya, harus betul-betul berdaulat atas apa yang ia lakukan di dalam tindakannya (Drijarkara, 1968:15). Sehingga di dalam proses pencarian pengetahuan, bahkan di era teknologi informasi yang berkembang sangat pesat dan cenderung menjadi dewa, apapun yang diperbuat oleh manusia tetap menjadi tanggung jawab dari diri mereka sendiri. Salah satu ciri utama di dalam pencarian pengetahuan pada masa kini adalah adanya kebebasan pencarian ataupun kebebasan penempatan bukti dan fakta yang nantinya menjadi sebuah argumen atas sebuah kebenaran yang dicari oleh manusia lain (Beyers, 2009). Kebebasan yang jika dipandang dari sudut pandang filsafat dibagi menjadi dua yakni
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 3
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
kebebasan internal dan kebebasan eksternal, menyatakan bahwa pada dasarnya manusia bebas melakukan sesuatu sesuai kehendaknya dan apa yang ia percayai, namun di sisi lain manusia juga seharusnya bebas melakukan sesuatu tanpa adanya hambatan dari orang lain (Arp & Watson, 2011:143). Akibatnya pada saat ini, ilmu pengetahuan yang beredar di internet menjadi tumbuh liar tanpa adanya filter yang memadai bagi tiap manusia yang berusaha melakukan proses pembelajaran di dalam usahanya menjawab sikap skeptis yang berkembang di dalam dirinya. Teknologi yang dianggap sebagai kepandaian khusus untuk menyusun dunia yang kita tidak mengalaminya, seakan-akan menjadikan teknologi sebagai sebuah tuhan atau seorang dewa dalam jenis yang berbeda (Postman,2001). Pendewaan yang tidak pada tempatnya tersebut pada akhirnya menimbulkan sebuah ketergantungan, dan pada tingkat yang lebih akut akan menyebabkan net generation menjadi golongan yang memiliki tingkat kepatuhan sangat tinggi terhadap apa yang dihasilkan oleh teknologi di dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Proses pencarian pengetahuan saat ini, khususnya bagi golongan net generation, seakan telah mendewakan mesin pencari atau search engine seperti Google, Bing dan Yahoo sebagai alat utama dalam menjawab keraguan yang meliputi seseorang atas realita yang sedang berkembang. Namun demikian, pencarian atas ilmu pengetahuan layaknya sebuah proses bidding atau tawar menawar di dalam bursa pelelangan yang menyatakan bahwa semakin banyak pengguna yang memilih sebuah kebenaran, maka secara otomatis kebenaran tersebut akan menempati ranking tertinggi di dalam mesin pencari. Akibatnya kebebasan yang terjadi bisa menjadi sebuah bumerang manakala sebuah kebenaran yang belum tentu “benar” menjadi sebuah kebenaran akibat proses persetujuan banyak orang yang sesungguhnya kerap tidak mengetahui apa yang ia “setujui”. Proses pencarian pengetahuan tersebut seakan-akan mengamini apa yang diklaim oleh para Hobbesian mengenai azas kebebasan negatif di dalam proses pencarian ilmu. Bahwa kebebasan yang terjadi di dalam proses pencarian ilmu dengan ketiadaan halangan serta dapat menyebabkan adanya fasisme terhadap keilmuan (Abqary, 2009:94). Ini berarti
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 4
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
bahwa kebebasan yang tersedia saat ini dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, terlebih dengan adanya pendewaan teknologi informasi, selain dapat memberikan efek positif, juga sangat mungkin memberikan efek negatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
III. Pembahasan III.1. Pergeseran Akibat Pendewaan Teknologi Contextualism yang berakar kepada paradigma bahwa ilmu pengetahuan dapat berbeda pandangan sesuai dengan konteks baik dari segi masalah ataupun lingkungan, sesungguhnya menyarankan bahwa proses pencarian ilmu pengetahuan harus benar-benar memperhatikan budaya lokal dalam pemecahan suatu masalah. Namun demikian azas pemerhatian budaya lokal dalam konteks ini seringkali diabaikan oleh para net generation yang cenderung mengasumsikan pemecahan masalah secara global dari apa yang mereka dapat melalui internet. Akibatnya, filosofi moral saat ini telah telah bergeser dari apa yang telah ada dari sebuah budaya lokal secara turun temurun. Perubahan nilai yang mungkin dialami seseorang di dalam kehidupan akibat hidup di “dua dunia” yang berbeda, timur dan barat, meski diakui dapat menjadi penyebab dari kekacauan budaya, namun sesungguhnya dapat dihindari jika ada kemampuan untuk beradaptasi (Mallarangeng, 2008). Ini berarti bahwa filosofi moral yang dapat menggeser peran budaya lokal, memang diakui dapat menggeser apa yang sedang terjadi secara kontekstual, tetapi dapat dipertahankan jika kemampuan adaptasi dapat diterapkan. Di sisi lain, manusia memang tidak mungkin begitu saja dilepaskan dari sisi kebudayaan yang dimiliki secara natural. Manusia yang secara budaya dikenali dari hasil karyanya, bukan hanya dari eksistensi secara fisik maupun rohaniah (Cassirer, 1990:105). Sehingga kemampuan adaptasi manusia di dalam lingkup kebudayaan yang berbeda-beda seharusnya dapat menjadi bekal bagi seorang manusia tersebut untuk melakukan aktifitas survival atau bertahan hidup dengan ilmu pengetahuan yang ia miliki.
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 5
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
Solusi dari masalah tersebut, khususnya dalam menekankan kemampuan adaptasi antara budaya barat dan timur, adalah dengan berusaha menempatkan berbagai sumber ilmu pengetahuan yang sarat dengan muatan lokal di dalam lingkup internet. Khususnya menempatkan agar sumber ilmu pengetahuan tersebut nantinya akan menempati ranking tinggi pada saat mesin pencari dikenai keywords atau kata kunci tertentu. Sehingga pada akhirnya para pencari ilmu pengetahuan akan mendapatkan sumber ilmu pengetahuan sesuai dengan konteks budaya lokal yang dia tempati. Usaha untuk melakukan solusi tersebut saat ini memang telah banyak diupayakan oleh komunitas-komunitas tertentu. Khususnya di Indonesia, berbagai komunitas independen saat ini berusaha membuat aggregat atau kumpulan situs yang didalamnya berusaha menempatkan muatan lokal sebagai titik tolak pencarian ilmu pengetahuan bagi para pencari ilmu pengetahuan yang berasal dari Indonesia. Di sisi lain, beberapa situs global seperti Google, Wikipedia ataupun Bing juga telah berusaha menyediakan layanan multi language atau multi bahasa yang didalamnya juga terdapat layanan dalam bahasa Indonesia. Layanan ini tidak hanya melakukan penerjemahan, tetapi juga berusaha mengarahkan secara cerdas pencarian secara kontekstual berdasarkan asal negara sang pencari. Dengan adanya usaha tersebut, diharapkan dapat terjadi sebuah seleksi alam yang nantinya akan mengeliminasi beberapa ilmu pengetahuan yang dianggap sebagai bias negatif. Konsep seleksi alam, seperti yang telah dicetuskan oleh Darwin, pada akhirnya akan menekan efek negatif yang beredar di semesta (Craig, 2002:92). Namun demikian bukan berarti bahwa seluruh efek negatif tersebut dapat lenyap total dalam sekejap, sebab tak bisa dipungkiri bahwa dunia memang selalu terdiri atas dua komponen yang selalu ada yaitu positif dan negatif.
III.2. Contextualism 2.0 Dengan melihat fakta yang ada pada saat era pendewaan teknologi informasi, khususnya di saat teknologi Web 2.0 yang melibatkan banyak sisi lain yang dianggap sebagai “barang baru”, khususnya di Indonesia, akan dapat menghasilkan efek majemuk secara
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 6
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
umum. Efek negatif yang dapat terjadi adalah kebebasan negatif di dalam pencarian ilmu pengetahuan baik dari segi kebebasan internal maupun kebebasan eksternal. Efek negatif lain adalah adanya pergeseran filosofi moral yang tidak lagi berakar kepada budaya lokal secara utuh. Namun demikian, efek negatif yang telah disebutkan tersebut dapat diatasi apabila efek positif yang diharapkan dapat terjadi. Efek positif seperti semakin menguatnya muatan budaya lokal, kebebasan positif pencarian ilmu yang menjadikan sumber belajar secara individu dapat berkembang dengan menggunakan azas kontekstual serta penyebaran ilmu pengetahuan yang semakin luas dan hampir tak terbatas. Efek-efek tersebut dapat dihasilkan jika dari paradigma kontekstual yang ada dimodifikasi dan dialihkan menjadi sebuah paradigma baru yang lebih menghargai budaya lokal serta melibatkan unsur keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar sehingga dapat meminimalkan efek negatif yang terjadi. Paradigma baru yang dalam makalah ini disebut sebagai Contextualism 2.0 memang terlihat cukup sulit dilakukan mengingat bahwa unsur yang harus dilibatkan seringkali tidak sinergis di dalam realita yang ada, khususnya di Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa sumber pencerdasan manusia yang terbagi menjadi tiga yakni keluarga sebagai sumber pencerdasan spiritual, sekolah sebagai sumber pencerdasan intelektual dan masyarakat sebagai sumber pencerdasan emosional (Suhartono, 2007). Jika ketiga sumber tersebut dilibatkan secara intensif di dalam sebuah proses pencarian ilmu pengetahuan, maka dipastikan bahwa pergeseran budaya ataupun efek negatif lainnya tidak akan terjadi. Keluarga sebagai sumber pencerdasan pertama harus menanamkan terlebih dulu nilai spiritual yang kuat sehingga net generation yang didefinisikan sebagai generasi yang lahir di era -1980 ke atas (Beyers, 2009) dan pada saat ini diperkirakan berusia antara 18-25 tahun dapat melakukan filter terhadap apa yang mereka temukan di internet dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Meski pada akhirnya mereka nantinya akan menemukan halhal yang mungkin bertentangan dengan ajaran agama, tetapi diharapkan dapat memiliki filter secara filosofis sebelum mentah-mentah menelan fakta dan argumen yang ada.
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 7
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
Sedangkan sekolah yang harus diredefinisikan nilai-nilai pendidikan yang ada didalamnya juga harus menjadi sebuah sumber utama dalam proses pencarian ilmu pengetahuan yang tidak hanya fakta, tetapi juga harus dihiasi dengan muatan lokal yang kental sehingga para net generation tidak mudah terjerumus ke sebuah pergeseran budaya global yang seringkali tidak sesuai dengan apa yang dihadapi di lingkungan sekitar. Selain dari sekolah dan keluarga sebagai sumber pencerdasan primer, faktor masyarakat sebagai sumber pencerdasan emosional menjadi faktor penting dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ideologi seseorang dalam berperilaku sangat bergantung kepada lingkungan dan masyarakat seorang manusia tersebut berada. Jika ternyata lingkungan dan masyarakat dapat menanamkan nilai-nilai kepada seseorang, maka dipastikan filter dari efek negatif tersebut dapat tercipta secara otomatis. Ciri lain dari contextualism 2.0 yang sangat nyata dibandingkan dengan contextualism “biasa” adalah adanya pengaruh teknologi yang sangat mendarah daging, khususnya di lingkup net generation. Suatu hal yang tak mungkin dicegah dan diblokir secara riil, namun demikian dapat dimanfaatkan dengan adanya sumber-sumber pencerdasan yang valid dan diselimuti oleh muatan budaya lokal, sehingga pada saatnya nanti dapat menjadi sebuah paradigma baru yang mampu mengarahkan para generasi muda menjadi lebih valid dalam proses pencarian ilmu pengetahuan yang dijalani oleh mereka. Dari penjabaran yang telah ada tersebut, maka dapat ditarik sebuah benang merah mengenai pengaruh teknologi informasi, khususnya di lingkup web, yang telah mampu menjungkirbalikkan berbagai paradigma lama menjadi sebuah “sampah” bagi generasi muda yang ada di dalam lingkup net generation. Tetapi jika para budayawan lokal dan sumbersumber pencerdasan yang ada yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat dapat bersatu padu dan bersinergi, maka paradigma “sampah” tersebut dapat dijungkirbalikkan ulang menjadi sebuah paradigma baru bernama contextualism 2.0 yang dapat menjaring efek-efek negatif semaksimal mungkin.
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 8
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
IV. Kesimpulan Dari uraian yang telah dihasilkan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain: 1. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis web, yang begitu pesat memang tak mungkin dihindari. Efek yang terjadi adalah adanya pendewaan teknologi oleh sebagian golongan, khususnya dalam konteks pencarian ilmu pengetahuan dewasa ini. 2. Sumber pencerdasan utama yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat yang diharapkan dapat bersinergi dengan budaya lokal akan mampu melahirkan sebuah paradigma baru dengan nama contextualism 2.0 yang didalamnya diharapkan dapat meminimalkan efek negatif yang terjadi akibat adanya kecenderungan pendewaan teknologi di lingkup net generation. 3. Tugas terbesar bagi para pendidik, pengajar dan pembelajar adalah melakukan sinergi sumber pencerdasan serta bekerja sama dalam upaya membendung efek negatif yang terus merangsek masuk ke ranah budaya lokal, sehingga nantinya tercipta sebuah seleksi alam yang dapat tetap mempertahankan budaya lokal sebagai dasar dari paradigma baru tersebut.
V. Daftar Pustaka Abqary, Qusthan. 2009. Melawan Fasisme Ilmu. Penerbit Kelindan:Jakarta Arp, Robert & Jamie Carlin Watson. 2011. Philosophy Demystified. McGraw Hill:New York Beyers, R. N. . 2009. A Five Dimensional Model for Educating the Net Generation. Educational Technology & Society, 12 (4), hal. 218–227 Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia (Terjemahan oleh Alois A. Nugroho). PT. Gramedia:Jakarta Craig, Edward. 2002. Philosophy : a Very Short Introduction. Oxford University Press: Oxford Drijarkara, Prof. Dr. N. 1969. Kumpulan Karangan. Majalah Basis: Jogakarta Drijarkara, Prof. Dr. N . 1989. Filsafat Manusia. Pustaka Filsafat – Penerbit Kanisius:Jogjakarta Fumerton, Richard. 2006. Epistemology. Blackwell Publishing:Carlton James, William. 1959. Pragmatism, and four essays from the Meaning of Truth. Meridian Books, Inc
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 9
Contextualism 2.0, Paradigma Pencarian Ilmu Pengetahuan di Era Pendewaan TI
Mallarangeng, Rizal. 2008. Dari Langit : Kumpulan Essai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan. Kepustakaan Kelompok Gramedia:Jakarta Postman, Neil. 2001. Matinya Pendidikan : Redefinisi Nilai-nilai Sekolah (terjemahan oleh Siti Farida). Penerbit Jendela Yogyakarta Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta Verhak, Dr. C & Drs. R. Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta
Soetam Rizky – 110121609138 – S3 TEP PPS UM
Hal. 10