0
ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto Puluhulawa, SH, M.Hum dan Suwitno Y. Imran SH.,MH, Skripsi, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan visum et repertum dalam pembuktian untuk mengungkap kasus penganiayaan dan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik dalam penerapan visum et repertum. Penelitian dilaksanakan di Kota Gorontalo, yakni di Polres Gorontalo Kota dengan metode penelitian menggunakan jenis penelitian Normati Empiris yakni dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil dari penelitian ini untuk dapat mengetahui bagaimana kedudukan dari visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan serta hambatan-hambatan apa saja yang dialami oleh penyidik, hal ini dapat dilihat melalui jumlah kasus pada hasil visum et repertum terdapat bukti tanda-tanda kekerasan dan yang tidak terdapat bukti tanda kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan sangat penting guna mencari kebenaran materiil terhadap tindak pidana yang terjadi. Dalam hal penerapan visum et repertum, penyidik mengalami beberapa kendala yang berpengaruh pada proses penyidikan. Kata Kunci: Visum et Repertum, Penganiayaan.
1
A.
LATAR BELAKANG Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara
pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Oleh karena itu, bantuan seorang ahli sangat dibutukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya sesuai dengan tujuan hukum acara pidana. Agar tujuan hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut. Hal ini jelas disebutkan pada Pasal 133 ayat (1) yang berbunyi: Dalam hal peyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.1 Tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Suatu bukti yang diperlukan dalam mengungkap suatu tindak pidana melalui keterangan medis yakni dengan melalui Visum et Repertum salah satunya mengenai tindak pidana penganiayaan . Dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana penganiayaan dari hasil 1
Pasal 133KUHAP
2
pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus penganiayaan. Mengungkap kasus penganiayaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat menemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam tindak pidana yang dilakukan tersebut. Berdasarkan data awal yang diperoleh calon peneliti menunjukkan tingkat penganiayaan di Polres Gorontalo Kota sangat tinggi. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yakni pada tahun 2012, 2013 dan 2014, tindak pidana penganiayaan yang mempunyai hasil visum di Polres Gorontalo Kota
berjumlah
288 kasus.2
Berdasarkan kenyataan mengenai tingkat penganiayaan sangat tinggi maka keberadaan penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan pada tahap penyidikan sangat di perlukan. Berdasarkan uraian di atas, dapat rirumuskan masalh sebagai berikut : (1) Bagaimana kedudukan Visum Et Repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan? (2) Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh penyidik dalam penerapan Visum et Repertum pada tindak pidana penganiayaan ? B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan oleh calon peneliti adalah jenis penelitian
Normatif Empiris. Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Wawancara. Wawancara dilakukan secara langsung dengan narasumber. Dalam hal 2
Hasil Wawancara Pada Tanggal 17 Februari 2015
3
ini penyidik dan ahli hukum. (2) Quisioner. Quisioner adalah daftar pertanyaan yang akan dibagikan kepada responden. Penentuan responden dilakukan dengan metode Non Probabilitas Sampling yakni tidak semua subjek atau individu dari populasi, mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan anggota sample. Data penelitian ini dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif. Dalam penelitian ini, analisis data tidak keluar dari lingkup sample. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Pengambilan sampel sebagai salah satu langkah dalam penelitian penting artinya, karena kesimpulan penelitian pada dasarnya adalah generalisasi dari menuju populasi.3 Dalam hal ini calon peneliti menggunakan Sampel sebanyak 7 sampel. Bersifat deduktif, berdasarkan teori, atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.4 C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kedudukan Visum et Repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiyaan Seperti kita ketahui bersama bahwa menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan corpus delicti (tanda bukti). Oleh karena itu corpus delicti (tanda bukti) yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et Repertum. Sehingga dalam mengetahui kebenaran materiil terhadap korban apakah si korban benar-benar memiliki tanda-tanda kekerasan, maka salah satu caranya dengan melakukan Visum et Repertum. Berdasarkan wawancara dengan Bripka F. A. Talani Agar Visum et Repertum dapat memenuhi ketentuan sebagai alat bukti maka yang harus dibuat adalah dengan permintaan analisa kesehatan dalam bentuk kekerasan fisik yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Walaupun visum et repertum itu merupakan alat bukti yang 3 4
Ibid Ibid, Hal. 37
4
dikeluarkan oleh ahli yakni dokter, namun visum itu sendiri dikategorikan sebagai alat bukti surat.5 Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum dalam KUHAP yakni pada pasal 186 dan 187 : 1.
Pasal 187 menyebutkan: “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
2.
Pasal 187 (c) : “Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya mengnai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi”.6
Sesuai
wawancara dengan Brigadir Nenang S. Mustafa selaku anggota
penyidik di Polres Gorontalo Kota bahwa dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan bukti keterangan surat yang berupa visum et repertum sangat diperlukan, karena Visum et Repertum merupakan pengganti keterangan ahli yang khususnya dibidang kesehatan dalam pembuktian suatu tindak pidana kekerasan fisik. Akan tetapi seorang ahli yakni
dokter masih dapat dimintai keterangan dalam
persidangan apabila masih ada keterangan yang diperlukan oleh seorang hakim dalam mengungkap kebenaran tindak pidana tersebut. 7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota, Bripka Mohamad Tadda menerangkan bahwa untuk mengantisipasi apabila tidak dilakukan pemeriksaan terhadap diri korban yang kemudian dicantumkan dalam visum et repertum yang pada akhirnya ternyata pada diri korban terdapat tanda-tanda kekerasan, maka pihak penyidik yang akan disalahkan apabila hal tersebut terjadi. Karena keadaan korban tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan pada saat setelah tindak pidana dilakukan dilakukan.8 Walaupun bukti Visum et repertum itu sendiri sangat penting, namun visum sebagai alat bukti yang diajukan tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus 5
Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani pada tanggal 10 April 2015 Pasal 186 dan 187KUHAP 7 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Brigadir Neneng S. Mustafa pada tanggal 10 April 2015 8 Wawancara dengan Anggota Min Reskrim, Brigadir Muh. Tadda, Pada 15 April 2015 6
5
dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, karena dalam sistem pembuktian pidana yang berlaku di Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatif wettelijk), yang digambarkan dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya:”9 Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatif wettelijk) yakni dimana hakim ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan oleh undang-undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/mempergunakan alat bukti tersebut pun diatur oleh undang-undang. Akan tetapi, inipun masih kurang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran” . Meskipun alat-alat bukti sangat banyak, jika hakim tidak berkeyakinan atas “kebenaran” alat-alat bukti atau atas kejadian/keadaan, hakim akan membebaskan terdakwa. Sistem ini dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)/UU No. 8 Tahun 1981.10 Berdasarkan wawancara dengan Anggota Min Reskrim, Bripka Muh. Tadda keterangan ahli yang dimaksud yakni keterangan dari dokter yang dapat membantu aparat penyidik dalam hal memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan oleh dokter mengenai keadaan korban, terutama berkaitan dengan bukti adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu kekerasan dalam kejahatan penganiayaan.11 Dalam pemenuhan bukti visum et repertum pihak kepolisian dalam hal ini penyidik memerlukan bantuan ataupun keterangan seorang ahli. Hal ini jelas disebutkan pada Pasal 133 ayat (1) yang berbunyi: 9
Pasal 183KUHAP Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Jakarta, Sinar Grafika, 2011, Hal. 27 11 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka Muh. Tadda Pada Tanggal 15 April 2015 10
6
Dalam hal peyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.12 Kepolisian, kejaksaan sering meminta visum et repertum kepada seorang dokter dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, supaya visum dibuat dengan teliti dan mudah dipahami berdasarkan apa yang dilihat. Selain itu visum et repertum harus obyektif, tanpa pengaruh dari mereka yang berkepentingan dalam perkara itu. 13 Keterangan medis tersebut berisi tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Berdasarkan hasi wawancara dengan Brigadir Syairulan Radjak bahwa untuk permintaan hasil visum et repertum, seorang korban tidak dapat meminta secara langsung ke dokter tanpa melalui koordinasi dengan pihak penyidik, karena seorang ahli dalam hal ini adalah dokter tidak dapat mengeluarkan visum et repertum tanpa adanya surat permintaan secara resmi dari pihak kepolisian. Alasannya karena Visum et repertum ini bersifat rahasia, dan hanya pihak-pihak tertentu yang dapat melihat isi dari visum et repertum tersebut. Pihak-pihak yang lebih berkompeten untuk memenuhi Visum et Repertum dalam penyidikan tindak pidana adalah pihak dari kepolisian yakni penyidik, jaksa penuntut umum, dan pemutus yakni hakim.14 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka F.A Talani dalam
tahap
penyidikan keterangan yang tercantum dalam Visum et Repertum berpengaruh pada Pasal yang akan disangkakan penyidik terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana penganiayaan dan juga bukti visum et repertum tersebut dapat meringankan atau memberatkan hukuman terhadap tersangka. Hal tersebut tergantung pada hasil analisa pada tubuh korban, apakah luka yang diakibatkan oleh tindak pidana 12
Pasal 133KUHAP Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta, Erlangga, 1991, Hal. 216 14 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Brigadir Syairulan Radjak pada tanggal 10 April 2015 13
7
penganiayaan tersebut mengakibatkan rasa sakit, menghalangi aktivitas pekerjaan sehari-hari ataupun yang tidak menyebabkan sakit atau hambatan dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari.15 Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik, Brigadir M. Redah Mardjun menyatakan bahwa dalam pembuktian tindak pidana penganiayaan apabila tidak mencantumkan bukti berupa visum et repertum, maka kasus tersebut tidak dapat ditingkatkan pada tahap penuntutan. Karena dalam proses penyidikan Visum et Repertum merupakan alat bukti yang berkenaan dengan kekerasan fisik.16 Dalam setiap tindak pidana penganiayaan baik penganiayaan ringan maupun berat, Visum et Repertum merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelapor dalam hal pelengkapan alat bukti. Alasannya untuk mengantisipasi agar tanda-tanda kekerasan pada diri korban tidak hilang, karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-rubah yakni mungkin sembuh. Namun pada kenyataannya berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dari tahun 2012-2014 tingkat penganiayaan yang dilaporkan ke Polres Gorontalo Kota ternyata masih banyak kasus di mana pada diri korban setelah dianalisa kesehatan oleh dokter ahli tidak ditemukan bukti berupa tanda-tanda kekerasan fisik. Sehingga dengan tidak adanya bukti tersebut menyulitkan penyidik untuk meningkatkan proses penyidikan kasusnya ke tahap penuntutan. Hambatan yang dihadapi oleh Penyidik dalam penerapan Visum Et Repertum pada tindak pidana Penganiyaan Kota Gorontalo merupakan salah satu daerah yang ada di Provinsi Gorontalo ternyata tidak lepas dari kasus penganiayaan. Hal tersebut terlihat dari data yang diperoleh dari Polres Gorontalo Kota, di mana dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir tingkat kasus penganiayaan yang mempunyai hasil visum yang ditangani 15
Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada tanggal 10 April 2015 16 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Brigadir M. Redah Mardjun pada tanggal 10 April 2015
8
Polres Gorontalo Kota ini sangat tinggi. Pada tahun 2012 terdapat 97 kasus, dan menurun pada tahun 2013 diamana tercatat ada 88 kasus, kemudian meningkat tajam pada tahun 2014 dengan 103 kasus. Dalam melakukan proses penanganan tidak pidana penganiyaan di Polres Gorontalo Kota, penyidik mengalami beberapa hambatan yaitu : 1.
Tidak adanya bukti kekerasan fisik Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka F.A Talani menyebutkan bahwa bukti kekerasan fisik tergantung pada luka bekas tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap korban. Bukti kekerasan fisik ini dituangkan dalam alat bukti yang berupa keterangan tertulis yakni visum et repertum. Dalam proses penyelesaian tindak pidana penganiayaan, adanya bukti kekerasan fisik sangat diperlukan untuk mengungkap apakah pada diri korban memang benar-benar telah terjadi tindak pidana penganiayaan.17
2.
Saksi yang melihat dan mendengar Keterangan saksi yang melihat dan mendengar saat tindak pidana terjadi. Pada umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti sah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana dicantumkan Pasal 184 ayat (1) . Keterangan dari
saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu
dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. 3.
Barang bukti yang digunakan dalam tindak pidana penganiyaan Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana memang tidak secara jelas menyebutkan tentang
17
Wawancara dengan penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada Tanggal 10 April 2015
9
barang bukti. Namun dalam dalam Pasal 39 Ayat (1) KUHAP menyebutkan apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: a.
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b.
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.
Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d.
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.18 Untuk kasus mengenai tindak pidana penganiayaan, maka barang bukti
yang dimaksud adalah benda yang digunakan pada saat melakukan tindak pidana penganiayaan. Misalnya saja Si A melakukan penganiayaan terhadap Si B dengan menggunakan sebuah pisau. Maka yang menjadi barang bukti dalam kasus tersebut adalah sebuah pisau.19 Pada kasus yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban dapat menjadi corpus delicti (barang bukti) yang dicantumkan dalam hasil visum et repertum. Selain itu, berdasarkan data yang di peroleh penulis bahwa dalam penerapan Visum et Repertum juga mengalami beberapa hambatan yang di hadapi oleh penyidik dalam proses tindak pidana penganiyaan di Polres Gorontalo Kota terbagi atas : 1.
Tidak adanya tanda-tanda kekerasan fisik setelah dianalisa kesehatan oleh ahli Dalam mengungkap suatu perkara pidana maka penyidik diharuskan memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan. Untuk perkara yang berkenaan
18
Pasal 39 Ayat (1)KUHAP Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada Tanggan 10 April 2015 19
10
dengan perusakan tubuh dan kesehatan, maka si tubuh korban yang akan menjadi corpus delicti (tanda bukti). Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka F. A. Talani dimana penyidik polres Gorontalo Kota terkadang mengalami kendala pada saat pemeriksaan dimana korban setelah dianalisa kesehatan oleh ahli ternyata pada hasilnya tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Hal tersebut biasanya terjadi misalnya saja dikarenakan lambatnya laporan dari pihak korban kepada penyidik setelah saat tindak pidana penganiayaan itu terjadi. Sebab lainnya pun misalnya tindak pidana tersebut hanya berupa tamparan atau menjambak rambut, sehingga kasusnya pun hanya dikenai dengan Pasal yang mengatur tentang tindak pidana ringan.20 Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa: Data Penganiyaan yang Ditangani Polres Gorontalo Kota Pada Tahun 2012-2014 Jenis perkara
Tahun
Ada bukti
Tidak ada bukti
kekerasan
kekerasan
2012
97
43
2013
88
31
2014
103
57
Penganiayaan biasa
Sumber: Polres Gorontalo Kota
20
Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada Tanggal 10 April 2015
11
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa tingkat penganiayaan yang dilaporkan ke Polres Gorontalo Kota sangat tinggi. Jumlah tindak pidana penganiayaan yang ditangani oleh Polres Gorontalo Kota terjadi secara fluktuatif yakni tidak tetap atau naik turun. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di atas berdasarkan jumlah kasus penganiayaan yang setelah dianalisa kesehatan oleh dokter baik hasilnya yang mempunyai bukti kekerasan fisik ataupun tidak. Pada tahun 2012, setelah dilakukan analisa kesehatan oleh dokter tercatat ada 97 kasus penganiayaan yang ada bukti kekerasan fisik, pada tahun 2013 jumlah kasus turun menjadi 88 kasus, dan pada tahun 2014 kasus tersebut sangat naik yakni tercatat ada 103 kasus penganiayaan yang ada bukti kekerasan fisik. Kemudian jumlah penganiayaan yang tidak ada bukti kekerasan fisik, pada tahun 2012 tercatat ada 43 kasus, tahun 2013 jumlah kasus turun menjadi 33 kasus dan pada tahun 2014 naik menjadi 57 kasus. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka Mohamad Tadda menyebutkan bahwa untuk penganiayaan yang tidak terdapat bukti kekerasan, maka tersangka dalam kasus tersebut dikenai Pasal 352 tentang tindak pidana ringan. Apabila bukti visum terhadap kasus tersebut belum cukup membuktikan tentang tindak pidana yang terjadi, maka keterangan saksi yang melihat dan mendengar sangat diperlukan guna mendapatkan kebenaran materiil terhadap tindak pidana yang terjadi. Beliau juga menyebutkan bahwa apabila bukti analisa kesehatan yang tertuang dalam visum et repertum belum jelas, maka penyidik belum akan melimpahkan kasusnya ke kejaksaan. Sehingga tidak ada kasus dikembalikan oleh pihak kejaksaan dengan alasan bukti visum yang kurang jelas.21 2.
Biaya Menurut Pasal 136 KUHAP menyebutkan bahwa:
21
Wawancara dengan Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota, Bripka Muh. Tadda Pada 15 April 2015
12
“Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam bagian kedua Bab XIV ditanggung oleh negara”.22 Pasal 136 KUHAP sudah menegaskan bahwa semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan/penyidikan, termasuk visum ditanggung oleh negara. Hal ini berbeda dengan data yang diperoleh penulis di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bripka F.A. Talani yang menyebutkan bahwa adapun biaya yang digunakan untuk permintaan pemeriksaan hasil visum serta pengobatan korban pada saat perawatan terhadap luka yang diakibatkan oleh penganiayaan tersebut seluruhnya dibebankan pada korban. Dalam pemeriksaan korban ditemani oleh penyidik datang ke dokter yang di tunjuk langsung oleh pihak Rumah Sakit yang dituju.23 Berdasarkan wawancara dengan Bripka Muh. Tadaa dimana bukan hanya pemeriksaan dan pengobatan terhadap korban saja yang dikenakan biaya. Akan tetapi pada saat pengambilan hasil visum juga korban tetap harus mengeluarkan biaya. Kepolisian dalam hal ini adalah penyidik hanya mengantarkan saja korban pada saat pemeriksaan dan pada saat pengambilan hasil visum. Karena segala sesuatu biaya dalam hal pemeriksaan, pengobatan korban ataupun pengambilan hasil visum Polres Gorontalo Kota tidak mempunyai anggaran tersendiri. Akan tetapi pada saat pengambilan hasil visum juga korban tetap harus mengeluarkan biaya.Sehingga terkadang korban merasa terbebani dengan biaya tersebut. Biaya untuk Visum et repertum sendiri telah berdasarkan ketentuan yang ada.24 3.
Kurangnya koordinsi antara pihak penyidik dengan Korban Dalam perkara ini perlu adanya koordinasi antara pihak penyidik dan korban tindak pidana penganiayaan tersebut. Karena berdasarkan hasil
22
Pasal 136KUHAP Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada tanggal 10 April 2015 24 Wawancara dengan Anggota Min Reskrim, Bripka Muh. Tadaa, pada Tanggal 15 April 2015 23
13
wawancara penulis dengan Bripka Mohamad Tadda, diamana dalam pengambilan hasil visum, korban harus ikut bersama penyidik ke Rumah Sakit tempat
dilakukannya
pemeriksaan
korban
tersebut
guna
pembayaran
pengambilan hasil visum. Apabila korban tidak merespon pemberitahuan dari penyidik dalam hal pengambilan hasil visum, maka proses penyidikan pun masih akan terhambat sampai hasil visum itu diambil pada dokter yang memeriksa korban tersebut. Hal itu juga mengantisipasi hal-hal yang merugikan pihak penyidik, karena pernah terjadi kasus dimana ketika penyidik mengambil hasil visum tanpa didampingi langsung oleh korban yang bersangkutan ternyata korban tersebut sudah tidak keberatan lagi dengan tindak pidana yang terjadi terhadap dirinya. Sehingga menurut Bripka Mohamad Tadda, hal tersebut merugikan pihak penyidik dalam hal biaya yang sebelumnya dipinjamkan oleh penyidik pada saat pengambilan hasil visum.25 Dalam hal ini juga untuk pengungkapan suatu tindak pidana, penyidik diharuskan
untuk
mengumpulkan
bukti-bukti
yang
diperlukan
untuk
kepentingan pemeriksaan. Namun dalam pemenuhan bukti-bukti tersebut pihak penyidik dihadapkan dalam suatu masalah ataupun hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh karena keterbatasan kemampuan atau keahliannya. Sehingga itu dibutuhkan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya. Sehingga dalam pengungkapan tindak pidana tersebut, diharuskan adanya koordinasi yang baik antara pihak penyidik dan dokter. Dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap korban harus sudah mempunyai kredibilitas dan berdasarkan rekomendasi dari Rumah Sakit yang dituju. Namun pada kenyataannya sering ditemui kendala dimana keterlambatan permintaan visum et repertum maupun dalam pengambilan hasil visum et repertum. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Mohamad Tadda menyatakan bahwa jangka waktu pengambilan 25
Wawancara dengan Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota, Bripka Muh. Tadda Pada Tanggal 15 April 2015
14
hasil visum et repertum tergantung pada penyidik, apakah hasil tersebut akan diambil seminggu setelah pemeriksaan dokter terhadap korban ataupun setahun setelah pemeriksaan. Sehingga apabila hasil visum tersebut belum di ambil oleh penyidik, maka proses penyidikan pun akan semakin lama.
DAFTAR PUSTAKA Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta, Erlangga, 1991 KUHP dan KUHAP
WAWANCARA Bripka F. A Talani, Penyidik Polres Gorontalo Kota Brigadir Nenang S Mustafa, Penyidik Polres Gorontalo Kota Brigadir M. Redah Mardjun, Penyidik Polres Gorontalo Kota Brigadir Syairulan Radjak, Penyidik Polres Gorontalo Kota Bripka Muh. Tadda, Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota
15