66
Abstrak RUDI RAWENDRA. Efektivitas Pemberian Peroral Imunoglobulin Y (lgY) Kering Beku Anti Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) In vivo. Dibimbing Oleh : I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan RAHMAT PAMBUDY. Pemberian imunoterapi pasif peroral imunoglobulin Y (Igy) Kering Beku anti enteropathogenic E. coli (EPEe) dilakukan secara in vivo pada anak kelinci berumur 10 han yang diinfeksi EPEe sebanyak 1 ml (IXl0' seUml). IgY dapa! menghambat perlekafan EPEe pada mikropili dan menghambat kejadian lesi attaching and effacing (AlE) sel epitel membrana mukosa intestinal, namun tidak memberikan perbedaan nyata pad~ gejala klinis diantara kelompok perlakuan. Perlakuan infeksi EPEe tanpa pemberian IgY Kering Beku, diinfeksi EPEe diikuti pemberian IgY dosis ting9i dengan frekuensi pengulangan pemberian rendah (100 mg sekali pemberian dalam 7 han). diinfeksi EPEe diikuti pembenan IgY dosis rendah dengan frekuensi pengulangan pemberian tin99i (10 mg, 3 kali sehari dan diulang setiap hari selama 7 hari) dan tidak diinfeksi EPEe maupun diberi IgY menunjukkan persentase perlekatan EPEe pada mikropili berturut· turut sebesar: 100; 66,7; 16,7 dan 0,0 %, sedangkan persentase kejadian lesi AlE berturut-turut : 83.4; 33.3; 0,0 dan 0.0 %. Pembenan IgY dosis rendah dengan frekuensi penggulangan pemberian tinggi lebih efektif dalam menekan periekatan EPEe pada mikropili maupun lesi AlE dibandingkan pemberian satu kali IgY dosis tinggi.
Kata Kunci. IgY, perlekatan • Enteropathogenic E. coli (EPEe). lesi attaching and effacing, mikropili.
67
Abstract
RUDI RAWENDRA. The Effectivity of oral administration of Freeze dried IgY anti Enteropathogenic Escherichia coil (EPEC). Advisory committee: I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU and RAHMAT PAMBUDY. The oral passive immune administration of freeze dried IgY anti Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) were tested in vivo on 10 days old rabbit which were infected with 1 ml (1x10' cell/ml). The administration of IgY could suppress EPEe adherence on microvilli and suppress the occurrence of mucous membrane epithel cell attaching and effacing lesion, but did not shows genuine difference on symptoms between EPEe infected and non infected groups. The infection of EPEe without freeze dried IgY application, the infection of EPEe followed by application of high dose IgY with low repetition frequencies (100 mg once a day for 7 days). the infection of EPEC fOllowed by application of low dose IgY With high repetition frequencies (10 mg, 3 times a day and repeated everyday for 7 days) and no EPEC infection nor IgY application shows EPEe adherence percentage on microphilli as much as 100; 66.7; 16.7 and 0.0 %,
where the occurrence of attaching anO effacing lesion shoes as much as 83.4; 33.3; 0.0 and 0.0 %. The application of low dose IgY with high repet~ion frequency is more effective in suppressing EPEe adherence on microvilli and the occurrence of NE lesions compare to application of high dose IgY with low repetition frequencies. Keywords: IgY. adherence. Enteropathogenic ESCherichia coli (EPEC). attaching and effacing lesion, microphilli.
68
Pendahuluan Kajia." interaksi molekuler antara enterophatogenic Escherichia coli (EPEe)
pada sel kultur HEp-2 maupun Hela secara in vftro telah banyak dilakukan, namun sedikit sekali kajian yang mempelajari interaksi tersebut sesuai dengan kondisi komplek inang (in vivo).
Sedikitnya kajian in vivo EPEe dikarenakan
patogen ini bersifat spesies-spesifik menyerang anak dan bayi (Tobe & Sasakawa 2002). sehingga atas pertimbangan etika, kajian in vivo membutuhkan
hewan model (Nataro & Kaper 1998).
Masalah
yang dihadapi dalam
menggunakan hewan model adalah patogen EPEe manusia tidak menyerang hewan model ataupun menyerang hewan lainnya (i Isnya menyerang anak dan
bayi) sehingga pemilihan hewan model merupakan perihal penting yang harus diperlimbangkan (Vallance & Finlay 2000). Penelitian Nataro & Kaper (1998) menggunakan sukarelawan orang dewasa, namun membutuhkan dosis EPEC yang sangat tinggi (108 sampai 10'°) untuk menimbu!kan gangguan klinis, sehingga cara ini dianggap kurang mewakili dengan situasi sebenamya karena dosis inleksius EPEC pada bayi sebesar 10' (FDA 2002). Meskipun adanya lesi attaching and effacing (NE) sampai menyebabkan diare belum diketahui, lesi NE merupakan tipikal penting infeksi EPEC (Abe et
aI, 1998).
Keberadaan lesi NE ini sebenamya telah lama diketahui, namun
dipastikan merupakan suatu kekhasan EPEC seteiah dinyatakan oleh Moon at al. (1983). Tipikal lesi AlE ini digunakan sebagai dasar pemilihan hewan coba, dimana dipilih hewan coba yang juga menunjukkan gangguan lesi AlE akibat infeksi famili enten'c E coli untuk kemudian diinfeksi dengan EPEC (Vallance & Finlay 2000).
Menurut Goosney et al. (2000) dan Kenny (2001) lesi AlE juga
ditemukan akibat ;nleksi EHEC 0157:H7 enteropathogenic E. call) dan
pada manusia, REPEC (RabM
RDEC-1 (RabM diarmeagenie E. coli-I) pada
kelinei, PEPEC pada babi, DEPEC pada anjing, dan Carobaeter nodentium pada mencit. Meskipun hewan-hewan tersebut menunjukkan gejala lesi NE, namun demikian Zhu et 81. (1996) mer'1elaskan bahwa terdapat perbedaan serotipe sehingga penyebab penyakit ini tidak dapat saling menularkan enteric E. coli, RDEC-1
Famili patogen
memiliki kemampuan lesi AlE saluran epitel intestinal
anak kelinci dan menyebabkan gangguan klinis yang hampir sama dengan EPEC pada manusia berupa diare dan kehilangan berat badan sehingga anak kelinci merupakan pilihan paling ideal untuk mempelajari EPEC (Abe et al. 1998).
69
Edelman & Levine (1983) dan Abe et af. (1998) merekomendasikan kelinci sebagai pilihan terbaik hewan coba untuk penelitian in vivo EPEe, meskipun infeksi EPEe t)ada kelinci tidak mutlak menunjukkan diare atau bahkan tidak menimbulkan diare. Menurut Scaletsky, Pedroso & Fagundes-Neto (1996) gen plasmid EPEe adherence factor (EAF) menunjukan 50 % homolog dengan gen plasmid EAF REDEC. Higgins et af. (1999) menjelaskan bahwa C. rodenlium juga memungkinkan digunakan pada hewan coba karena balderi ini juga menghasilkan lesi AlE pada mencil, namun gejala klinis yang timbulkan mendekati Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) manusia.
Melekatnya EPEe pada mukosa usus merupakan tahapan penting patogenitas. Interaksi antara EPEe dengan sel-sel mukosa usus inang diawali te~adinya pe~ekatan
tidak kuat (non-intimate binding) yang diperantarai oleh pili
(Giron et. a/. 1993). Pemanfataan imunoglobulin Y (lgY) sebagai imunoterapi peroral akan menghambat perlekatan bakteri pada sel inang sehingga bakteri tidak mampu melakukan proliferasi dan infeksi (Coleman 2000). Jika pathogenesi pe~ekatan
tidak intim tersebut beMnjut, maka akan menjadi
pe~ekatan
yang
kuat (intimate binding) yang disertai kerusakan mikropili pada sel-sel mukosa usus dan memberikan gambaran histopatologi berupa lesi AlE.
Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari efikasi IgY kering baku anti EPEC peroral dalam menghambat lesi AlE pada saluran intestinal anak kelinci yang telah diinfeksi dengan EPEC melalui pemberian peroral. Bahan dan Metode Hewan Coba
Hewan coba adalah anak kelinci sehat berumur 7 hari dan diadaptasi 3 han untuk dilakukan seleksi berdasarkan performance kesehatan dan keseragaman pertumbuhan. Sistem tanggap kebal kelinci terhadap RDEC-1
te~adi
10-20 hari
setelah infeksi (Edelman & levine 1983) sehingga penelitian ini hanya dilakukan selama 7 han pada anak-anak kelinci yang berumur 10 han dengan pertimbangan agar tidak membaurkan hasil perlindungan akibat pemberian IgY Kenng Beku atau oleh sistem imun tubuh. Preparasi IgY dan Patogen EPEe
IgY Kering Beku konsentrasi tinggi dibuat dengan melarutkan 0,1 gr per 1 ml PBS, sedangkan IgY konsentrasi rendah dibuat dengan melarutkan 0,01 gr per 1 ml PBS.
Larutan tersebut kemudian disentrifugasi pada 1500 g, 4
'c
70
selama 20 menit. Supematan disterilisasi dengan menggunakan 0,22-mm-pore-
size membran nner(Millipore, Bradford, Mass., U.S.A.)
Isolat EPEe diperoleh dan Laboratorium Bioteknologi Hewan, Pusat Penelitian Bioteknologi, Institut Pertanian Bogar sebagai hasil isolat lapangan kasus diare pada bayi yang dilakukan oleh Dr. dr. Sri Budiarti pada tahun 1997. Edelman & Levine (1983) menyebutkan bahwa percobaan menggunakan EPEC
pada kelinci dengan dosis infeksi antara 102 sampai 1010 tidak memberikan "perbedaan yang nyata sehingga penelitian ini menggunakan dosis infeksius 9
sebesar 10
•
·Preparasi balderi EPEe dilakukan dengan mengambil 1 koloni =:PEC hijau kilap logam daTi media eosin methylene blue (Difcoe , Detroit, Mich., U.S.A.) dan ditumbuhkan pada 100 ml media brain heart infusion (Oifco*, Detroit, Mich., U.S.A), diinkubasi 37°C selama 24 jam. Sediaan kemudian disentrifugasi 5000 rpm selama 15 menit, endapan dicuci dua kali menggunakan PBS, kemudian dilarutkan dalam 5 ml dan kekeruhan suspensi bakteri disetarakan dengan standar Me Farlan 2 untuk menentukan konsentrasi 1 X 109 seVml.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan dilakukan terhadap 12 ekor anak kelinci (masingmasing pertakuan 3 ekor) dan dilakukan pengulangan (2 kali pengulangan) dengan menginfeksi EPEC, sekaligus memeberikan IgY Kering Beku dengan perlakuan dosis tinggi dan dosis rendah (TabeI13). Tabel13 Rancangan percobaan efektivitas pemberian IgY anti EPEC Pertakuan
Pemberian EPEC IgY
A
:.JEPEC
B C
"EPEC" IgY nNGGI
Ket erangan
Konlrol Positlf Dosis Tinggi,sekali selama pdrcobaan (7 hari) "EPEC" lOy RENOAH Dosis Rendah, 3 kali sehari, diulang setiap hari Kontrol Negatif Keterangan. ~EPEC: diinfeksi EPEe sebanyak 1 ml ~X 109 sellml). ~ IijY IIAool: diberikan IgY sebanyak 0,1 gr/1ml PBS. "IgY REN : diberikan IgY sebanyak 0,01 gr/1 ml PBS. - : tidak diberi IgY maupun EPEe.
o
Pengamatan K1inis dan Pata/agis Pengamatan klinis diarahkan pada gejala diare, perubahan suhu badan, nafsu makan, pemafasan, konsistensi kotoran, berat badan dan pengamatan patologis jika terjadi kematian selama percobaan atau setelah percobaan berakhir.
71
Pengamatan Histopatologis
Jaringan intestinal dipisahkan
dan organ lainnya, difiksasi dalam larutan
buffer neutral formalin 10 % selama 3 kali 24 jam, dilakukan trfming selebal 3 mm, dimasukkan kaset, diproses untuk pembuatan preparat histopatologi
sebagaimana dijelaskan oleh Humason (1972) dan dilakukan pewamaan Giems8. Lesi AlE mudah hilang pada pewamaan hem8toxyline and eosin dan
mudah leramali pada pewamaan Giemsa (Guy et a/. 2000). Pengamatan lesi AlE melalui mikroskop cahaya menunjukkan ciri-ciri: (a) hilangnya mikroplli, (b)
pe~ekatan
yang kual antara EPEC dan sel inang dan (e)
keberadaan balden EPEe yang tetap diluar sel epitel membrana usus halus
dalam bentuk mikrokoloni (Nalaro & Kaper 199B, Goosney et al. 2000).
Hasil dan Pembahasan Perubahan K1ln/s dan Pato/ogls Selama percobaan bertangsung tidak terjadi kematian dan kelompok
perlakuan tidak memberikan perbedaan nyata pada gejats diare, perubahan suhu badan, nafsu makan, frekuensi pemafasan, mukosa dan perubahan konsistensi kotoran. T erdapat perlledaan pertambahan berat badan diantara kelompok pe~akuan,
namun lidak menunjukkan perlledaan nyala (p ~ 0,05) ( Lampiran 4).
Tabel14 Persentase pertambahan berat badan anak kelinci Pertambahan Selisih
Kelompok Percobaan:
A B C o
Pe~akuan
Berat Badan
Terhadap Kelompok ............ % ........... . 4,7 B,7 B,B 4,6 10,B 2,6 13,4 0,0
: Diinfeksi dan Tidakdiberi IgY : Diinfeksi dan diberi IgY dosis tinggi : Diinfeksi dan diberi IgY dosis rendah : Tidak diinfeksi dan Tidak diberi IgY
Keterangan: Infeksi melalui peroral bakteri Enteropa,hogenic E. coli 1 ml (1 X 109 saUml), (lgY dosis tinggi), dosis tinggi : 100 mg IgY WSF kering beku (dilarutan dalam 1 ml PBS) 1 kali pemberian selama percobaan bersamaan dengan pemberian EPEe, (lgY dosis rendah), dosis rendah : diberi 10 mg IgY WSF kuning telur kering beku (dilarutkan dalam 1 ml PBS) 3 kali pemtlenan per han dan diulang setiap hari selama percobaan.
Perubahan Hlstopatologis Dftemukan 2 perubahan histopatologi penting, yaftu
pe~ekalan
EPEC pada
permukaan mikropili tanpa menimbulkan gejala lesi dan lesi AJE. Peningkatan
jumlah sel-sel goblet juga dftemukan pada beberapa sampel, hal lersebut diduga sebagai akibat terjadinya kontak inang dengan EPEe didalam usus, sehingga sel
goblet berupaya memproduksi musin.
Lapisan
musin berperan sebagai
72
penghalang fisik dan pelumas sehingga melindungi membrana mukosa dad kerusakan akibat pangan dan partikel lain, seta in mengandung senyawasenyawa yang bersifat bakteriostatik maupun bakteriosidal seperti IisQzim, laktoferin , laktoperoksidase dan sel-sel (agosit (Salyer & Whitt 1994).
a. Per/ekatan Bakter; pada Permukaan SellntestinaJ Perlekatan EPEe pada permukaan mikropili membrana epithet intestinal merupakan tahap awat dari patogenesis EPEe yang disebut sebagai perlekatan
tidak erat (non-intimate binding) (Nataro & Kaper 1998).
Pad a Gambar 18
ditunjukkan model perlekatan EPEe pada intestinal hewan coba.
/
Gambar 18 Inteslinal normal (A) dan lerlekati EPE e (8). Pad a Gambar tertihat penekatan EPE e pada permukaan inte stinal anak kelinci (tanda panah) tanpa adan ya lesi ME. Pewarnaan Giem sa.
Gambar 19 menunjukkan pemberian
IgY peroral mampu mengurangi
perlekatan EPEe pada mikropili (perlakuan kelompok B dibandingkan dengan Kelompok A) dan perlakuan B relatif lebih efektif dalam mengurangi perlekatan EPEe pada mikropi li dibandingkan perlakuan B.
Pemberian IgY WSF kuning
telur kering beku anti EPEe whole ceJ/s peroral mampu menghambat perlekatan EPEe pada mikropili sel epithel membrana mukosa. Kemampuan IgY menghambat perlekatan EPEC melekat pada permukaan mikropili dikarenakan IgY yang dihasilkan adalah poliklonal sehingga mampu mengikat berbagai jenis adhesin yang mung kin ada dan akhirnya menghambat perlekatan awal yang tidak erat (non itimate binding) infeksi (Coleman 2000). Men urut Baldini et a/. (1983) perlekatan awal disebabkan oleh aktivitas gen plasmid EAF (Knutton et al. 1987) yang merupakan fimbria tipe IV dan cenderung membentuk bundle (Giron et al. 1991) dian tara EPEC (Donnenberg et al. 1992) ,
73
sedangkan menurul Clarke et a/. (2003)
lerdapal adhesi lain yang berperan
dalam perlekatan awal tersebut.
Per1ekatan EPEe Pada Sel
100
68.7
16,7
o
iltestinal
Gambar 19: (A): Diinfeksi. peroral Enteropathogenic E. coli 1 ml (1 X 109 seVml) tanpa diber! IgY WSF kuning telur kering beku, (8) : Diinfeksi peroral Enteropathogenic E. coli 1 ml (1 X 109 sel/ml) dan diberi 100 mg 19Y WSF kering beku (dilarutan dalam 1 ml PBS) 1 kali pemberian selama percobaan (7 han). (C) : Diinfeksi peroral Enteropathogenic E. coli 1 ml (1 X 109 sel/ml) dan diberf 10 mg IgY WSF kuning telur kering beku (dilarutkan dalam 1 ml PBS) 3 kali pemberian per har! dan diulang setiap har! selama percobaan (7 han), (0) : Tidak diinfeksi EPEe dan tidak diberi IgY
b. LesiAiE $etelah terjadi periekatan EPEe pada mikropili, maka akan berlanjut perlekatan erat (Intimate binding) antara EPEe pada sel epithel intestinal yang disertai dengan lesi attacing dan effacing (NE) pada tempat dimana EPEe melakukan periekatan (Gam bar 20). lesi AlE ini telah lama diketahui dimana sering ditemukan pada pengamatan biopsi sampel penderita ataupun melalui pengujian in vllro pada sel HEp-2 (Nataro & Kaper 1998), namun lesi ini menjadi lipikal EPEC selelah diajukan oleh Moon at a/. (1983). $etelah terjadi perlekatan EPEe pada mikropili, maka peran bundle forming pilus (BFP). filamen pendek (Filamen EPEC secreted proteins AlEspA).
kelompok
type three secretion system (lTSS) alau sislem sekrasi Tipe III.
translocated intim;" reseptor (Tir) dan intimin sangat menentukan dalam
mengakibatkan lesi AlE. Ekspresi ini sangat tergantung pada gen-gen yang ada pada kromosom
mau~un
plasmid EPEC (Clarke et al. 2003).
74
•
Gambar 20 Lesi attaching and effacing (AlE). Lesi AlE akibal infeksi EPEe (tanda pa nah), menunjukkan ada nya lesi mikropili dan mikrokoloni EPEe. Pewamaan Gie msa.
SFP merupakan fimbria tipe IV yang menurut Giron et 81.
(1991)
merupakan penanda khas, namun menufut Scotland et al. (1983) SFP hanya dihasilkan pad a kondisi tertentu saja sehingga tidak dapat digunakan sebagai
alat deteksi. Reseptor untuk SFP belum diidentifikasikan namun demikian dapat ditentukan bahwa SFP mengikat pada lipid phosphatidyethanolamine yang diperkirakan berperan dalam interaksi antara 8FP dengan sel inang maupun sel
bakteri lainnya (Clarke et al. 2003). SFP diduga berperan dalam adhesi spesiesspesifik dan cenderung mengawali perlekatan pada sel kultur meskipun peran BFP sebagai penentu dalam tahap awal adhesi bakterj belum dapat dipastikan (Tobe & Sasakawa 2002).
5etelah terjadi perlekatan EPEC pada sel epitel
inang melalui BFP, maka akan dilanjutkan dengan perlekatan fila men EspA hasil ekspresi gen EspA yang merupakan salah satu sekresi protein EPEC (Clarke et al. 2003) . Perlekatan EPEC yang diperantarai BFP dan filamen pendek EspA, menyebabkan EPEC mensekresikan EPEe secreted protein (Esp) lainnya, yaitu EspB dan EspO yang kemudian membentuk suatu moleculer syringe TT55 yang
akan digunakan untuk memasukkan sejumlah molekul efektor yang belum diketahui jenis dan jumlahnya kedalam sel inang , Tir dan adhesin EPEC yang disebut sebagai intimin (Nataro & Kaper 199B).
Molekul efektor yang
disekresikan EPEe pada sel inang akan mengaktivasi jalur sinyal sel yang menyebabkan perubahan sel sitoskeleton dan berdampak pada depolimerisasi aktin dan hilangnya mikropili (Vallance & Finlay 2000).
75
Tir akan dimasukan
kedalam membran sel inang yang kemudian akan
digunakan sebagai reseptor untuk per1ekatan intimin, sehingg8 terjadi perlekatan
yang kuat antara EPEe dan sel inang (Kenny
.t
al. 1997).
Sebelum te~adi
perlekatan kuat antara intimin dan Tir, filamen EspA hilang sehingga adhesi intimin dapat melekat langsung pada Tir (Clarke et a/. 2003). Ikatao yang kuat tersebut akan mendorong sekresi molekul efektor EPEe kedalam sel inang yang
menyebabkan akumulasi aktin dan elemen-elemen sitoskeleton lain dimana
bakteri melekat. Akul')1ulasi sitoskeleton pada tempat balden melekat tersebut mengakibatkan pembentukan striuktur khas infeksi EPEe pada sel inang yang menyebakan sel berubah bentuk menjadi sepert pelana I
Pengamatan sampel yang menunjukkan lesi NE positif memberikan gambaran berupa hilang atau rusaknya mikropili, adanya perlekatan EPEe pada dan sel inang, adanya degenerasi sel inang dan kadang-kadang ditemui adanya mikrokoloni. Hasil ini sebagaimana ditunjukkan oleh Nataro & Kaper (1998) dan
Goosney et al. (2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok per\akuan A, yaitu anak kelinci hewan coba yang diinfeksi EPEC tanpa diberi IgY menunjukkan lesi AlE positif pada hampir semua anak kelinci pada perlakuan tersebut. Berdasarkan penjelasan pathogenesis lesi AlE diatas, maka lesi AlE terjadi akibat peran SFP, filamen pendek EspA, TISS, Tir, intimin dan milekul efektor EPEC.
Hasil
sebaWknya (perlakuan 0) menunjukkan lesi AlE negatif pada semua hewan coba pada kelompok tersebut. Efikasi IgY WSF Kering Beku dosis 100 mg dengan sekali pemberian selama percobaan (7 han) dan dosis 10 mg dengan pemberian 3 kali sehari dan diulang setiap hari dalam menekan kejadian lesi AlE pada usus halus anak kelinci, masing-masing adalah 43.5 % dan 63.4 %.
IgY Kering Beku yang
dihasilkan adalah antibocli poliklonal berasal dari dari antigen whole killed cells, sehingga IgY mengikat beberapa faktor virulen seperti BFP, filamen pendek EspA, nss, Tir, Intimin dan malekul efektar EPEe.
Efikasi pemberian dosis 10 mg, 3 kali sehari dan diulang setiap hari selama
7 hari
(pe~akuan
kelampek e) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan pemberian dosis 100 mg sekal i pem berian selama percobaan (7 hari) (perlakuan keJompok B). Aktivitas netralisasi IgY yang terdenaturasi oleh asam, pepsin dan tripsin akan menurun sejalan dengan makin lamanya waktu inkubasi,
76
dan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa efikasi imunoterapi dengan pemberian IgY peroral 3 kali sehan dengan dosis rendah memberikan hasillebih baik dibandingkan dengl'ln sekali pemberian meskipun dengan dasis tinggi.
Menurut Coleman (2000). pemberian IgY secara peroral menggantikan peran secretory IgA (slgA) terhadap adhesi patogen enterik dengan cara menetralisir patogen spesifik yang ada disaluran pencernaan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian IgY WSF kuning telur kering beku mampu melakukan
penghal'flbatan
perlekatan
EPEe
pada
mikropili
ataupun
pembentukan lesi AlE yang dimungkinkan peran tersebut menyerupai slgA
Simpulan Infeksi peroral EPEC 1 ml (1X10' sel/ml) bdak membenl
dan warna mukosa antara yang diinfeksi dan yang tidak diinfeksi, namun menunjukkan adanya penampilan perlekatan dan lesi AlE pada illtestinal anak kelinci. Pemberian peroral IgY WSF kuning telur kering beku pada anak kelinci yang telah diinfeksi dengan EPEC 1 ml (1 X10' sellml) dapat menghambat perlekatan EPEe pada mikropili dan kejadian lesi AlE pada permukaan sel epitel usus halus, dimana pemberian dosis tinggi 10 mg, 3 kali sehari dan diulang setiap han selama 7 hari lebih efektif dibandingkan dengan pemberian dosis 100 mg 1 kali selama percobaan berlangsung (7 haM). Pustaka [FAD] Food and Drug Administration. 2002. Bacterial Analitical Manual Online. Chapter 4A. Diarrheagenic Escherichia coli. Center fir Food Safety and Applied Nutrition. Http://www.fao.diarrheeagenicEscherchiacoli.htm [27 Juni 2003]. Abe A, Heczko U, RG Hegele, Finlay BB. 1998. Two enteropathogenic Escherichia coli type III secreted proteins Esp A and B are virulence factors. Exp Med. 188:1907-1916.
Akita EM, Li-Chan EC, Nakai S. 1998. Neutralization of enterotoxogenic Escherichia coli heat-labile toxin by chicken egg yolk immunoglobulin Y and its antigen-binding fragments. Food and Agric Immunol. 10:161-172. Baldini, MM, Kaper JB, Levine MM, Candy DC, Moon HW. 1983. Plasmidmediated adhesion in enteropathogenic Eschen'chia coli. J Pediatr Gastro Nutr. 2:534-538
Carlender D. 2002. Avian IgY Antibody. In vitro and in vivo. Comprehensive summaries of Uppsala Dissertations from Faculty of Medicine 119. ACTA Universitatis Uppsala. Center. Texas A & M University Kingsville.
77
Clarke SC, Haigh RD, Freestone PPE, Williams PH. 2003. Virulence of Enteropathogenic Escherichia coli, a Global Pathogen. Clin MicrobioJ Rev. 16: 365-378 Coleman MA. 2000. Using Egg Antibodies to Treat Diseases. In: Egg Nutrition and Biotechnology. Sim JS, S Nakai & W Guenter (Eds). CABI Publishing, Walling1ord, UK. Donnenberg MS, Kaper JB. 1992. Mini review: Enteropathogenic Escherichia coli. Infect Immun. 60: 3953-3961. Edelman R, levine MM. 1983. From the national Institute of Allergy and Infectious Disease: Summary of a workshop on Entherophatogenic Escherichia coli. J ofinfec Dis. 147:1108-1118. Gir6n JA, Ho AS, Schoolnik GK. 1993. Characterization of fimbriae produced by enteropathogenic Escherichia coU. J Bacterial. 175:7391-7403. Giron JA. Jones T. Millan Velasco F, Castro Munoz E, Zarate L, Fry J, Frankel G, Moseley SL, Baudry B, Kaper JB. 1991. Diffuse-adhering Escherichia coU (DAEC) as a putative cause of diarrhea in Mayan children in Mexico. J Infect Dis. 163:507-513. Goosney DL, Gruenheid S, Findlay BB. 2000. Gut Feeling: Enteropathogenic E. coli (EPEC) Interaction with the host. Annu. Rev. Cell Dev. Bioi. 16 : 173189. Guy JS, Sm~h LG, Breslin JJ, Vaillancourt JP, Bames HJ. 2000. High mortalily and growth depression experimentally produced in young turkey by dual infection with Enteropathogenic Eschenchia coli and turkey Coronavirus. AvianDis. 44: 105-113. Higgins LM, Frankel G, Douce G, Dougan G, MacDonald n. 1999. Cdrobacter rodentium infection in mice elicits a mucosal Th1 cytokine response and lesions similar to those in murine inflammatory bowel disease. Infect Immun. 67: 3031-3139. Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. WH Freeman and Company. San Fransisco. Kenny B. 2001. The enterohaemorrhagic Escherichia coli (serotype 0157:H7) Tir molecule is not functionally interchangeable for its enteropathogenic E. coli (serolype 0127:H6) homologue. Cell MIcrobial. 3:499-510. Kenny B, Abe A, Stein M, Finlay BB. 1997. Enteropathogenic E. coli (EPEC) protein secretion is induced in response to factors similar to those of the gastrointestinal tract. Infect Immun. 65:2606-2612. Knutton S, Lloyd DR, McNeish AS. 1987. Identification of a new fimbrial structure in enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) serotype 0148:H28 which adheres to human intestinal mucosa: a potentially new human ETEC colonization factor. Infect Immun. 55:8-92 Moon HW, Whipp SC, Argenzio RA, Levine MM, Giannella RA. 1983. Attaching and effacing activities of rabbit and human enteropathogenic Eschenchia coli in pig and rabbit intestines. Infect Immun. 41:1340-1351. Nataro JP, Kaper JB. 1998. Diarrheagenic EschenChia coli. Clinic Microbiol Review. 1:142-201. Scaletsky IC, Pedroso MZ, Fagundes-Neto U. 1996. Attaching and effacing enteropathogeniC Eschenchia coli 018ab invades epithelial cells and causes persistent diarrhea. Infect Immun. 64:4876-4881. Scotland SM, Richmond JE, Rowe B. 1983. Adhesiol1 of enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) to HEp-2 cells is nol dependent on the presence of fimbriae. FEMS Microbial. Lett. 20:191-195.
78
Tobe T, Sasakawa C. 2002. Species-specific cell adhesion of enteropathogenic Escherichia coli is mediated by type IV bundle-forming pili. Cell Microbiol. 4:29-42. Vallance BA, Findlay BB. 2000. Exploit.'ion of host cells by enteropathogenic Escherichia coff. Collocium. Proc Nat/ Acad Sci. 97:8799-8806 Zhu C, Menard S, Dubreuil JD, Fairbrother JM. 1996. Detection and localization of the EaeA protein of attaching and effacing Escherichia coli 045 from pigs using a monoclonal antibody. Microb Pathog. 21:205-213.