UJI VARIASI SUPLAI UDARA DALAM MENGOLAH LUMPUR TINJA DENGAN DIGESTER AEROBIK Ipung Fitri Purwanti, Gogh Yoedihanto, Ali Masduqi Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP - ITS
ABSTRAK Pengolahan lumpur tinja merupakan pengolahan lumpur dari tangki septik yang kandungan bahan-bahan organiknya masih tinggi. Pengolahan lumpur dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas lumpur yang tidak mencemari jika diaplikasikan ke tanah. Penelitian ini menggunakan reaktor digester aerobik dengan sistem batch dan dilakukan variabel sistem suplai oksigen. Parameter yang diteliti adalah kandungan solid, kadar air, C/N, serta bakteri coli. Sistem suplai udara konstan dalam 12 hari dengan debit 5,5 liter/menit lebih baik daripada suplai udara fluktuasi karena meghasilkan kandungan C/N sebesar 21:1 yang sesuai dengan standar kompos matang.
Kata kunci : Lumpur tinja, digester aerobik, waktu aerasi, suplai oksigen, pengering lumpur
ABSTRACT Septace treatment is a treatment of liquid and solid material pumped from septic tank that contains very high organic material. This septace treatment is purposed to remove organic material from sludge that do not pollute when applied to the land. This research used aerobic digestion reactor with batch system. The variable used is oxygen supply system. Some parameter to be investigated here included solid material level, moisture, C/N, and coli bacteria. Constant oxygen supply system in 12 days with debit 5,5 liter/minute worked better than fluctuating oxygen supply since it provided C/N level of 21:1 in line with the standard mature composts.
Key words: septages, aerobic digestion, and oxygen supply PENDAHULUAN Latar Belakang Lumpur tinja (septage) adalah material berupa padatan dan cairan yang merupakan hasil pemompaan dari tangki septik. Material tersebut merupakan lumpur yang telah mengendap dalam dasar tangki septik selama periode waktu tertentu (3 – 5 tahun). Material yang terkandung dalam lumpur tinja berupa padatan zat-zat organik, lemak/minyak, pasir (grit) dan berpotensi sebagai tempat tumbuh berbagai virus penyebab berbagai penyakit, bakteri dan parasit. Kandungan zat organik dalam lumpur tinja yang masih tinggi menyebabkan perlunya pengolahan (treatment) terhadap lumpur tinja. Lumpur tinja, kandungan bahan organiknya (VSS) dapat mencapai lebih dari 50.000 mg/l dan kandungan bakteri coli mencapai 1 x 109 MPN/100ml (EPA 1994). Bila lumpur ini langsung diaplikasikan ke tanah, akan berbahaya baik bagi tanah, tumbuhan, hewan maupun manusia sendiri. Pembuangan lumpur tinja secara langsung (tanpa pengolahan) ke lingkungan (tanah) dapat menimbulkan permasalahan, diantaranya timbulnya organisme penyebab penyakit (pathogen), timbulnya bau, dan menurunnya kualitas air tanah akibat terkontaminasi oleh lumpur tinja. Perumusan Masalah Rumusan masalah yang timbul yakni pengaruh sistem suplai oksigen (konstan atau fluktuasi) dalam mengolah lumpur tinja agar dapat mengurangi bahan organik dan polutan (bakteri coli) yang masih terkandung didalamnya sehingga dapat diterapkan dalam aplikasi ke tanah Ruang Lingkup Pembahasan kinerja digester aerobik dan bak pengering lumpur dibatasi oleh beberapa hal berikut : Lumpur yang digunakan diambil langsung dari mobil tangki pengangkut tinja. Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dengan digester aerobik sistem batch. Temperatur selama proses diges diasumsikan berada pada suhu kamar. Variasi yang dilakukan pada digester aerobik adalah sistem suplai kebutuhan oksigen.
Parameter-parameter yang akan diteliti adalah Kandungan VSS, kadar air, C/N dan bakteri coli Dalam rangka pengaplikasian ke tanah, maka karakteristik akhir lumpur setelah melalui proses diges maupun pengeringan mengacu pada standar kompos matang.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisa pengaruh pemberian suplai oksigen yang berbeda (konstan dan fluktuasi) dalam mengolah lumpur tinja agar dapat mengurangi kandungan bahan organik dan polutan (bakteri coli) yang masih terkandung di dalamnya sehingga dapat diaplikasikan ke tanah. TINJAUAN PUSTAKA Tangki Septik Tangki septik digunakan untuk mengolah dan menyimpan buangan yang berasal dari limbah domestik. Buangan yang terdiri dari padatan yang bisa mengendap dipisahkan dari bagian cairannya. Untuk selanjutnya bagian cairan dibuang pada sumur resapan, sedangkan bagian padatan mengalami dekomposisi secara anaerobik pada dasar tangki. Kurang lebih setiap tiga hingga lima tahun tangki septik harus dikuras. Pengurasan tergantung pada ukuran dan penggunaan. Pemisahan dan proses diges yang baik pada tangki septik diharapkan dapat menurunkan kandungan Total Suspended Solid (TSS) sebesar 80 sampai 90%. Kandungan TSS pada influen yang masuk tangki septik tersebut meliputi kandungan organic (volatile) solid sekitar 40 – 70% TSS, sedangkan kandungan inorganic fixed solid sebesar 30 – 60%. Selain itu proses yang terjadi pada tangki septik mampu menurunkan kandungan BOD sebesar 60 hingga 70% (Bounds, 1997). Lumpur Tinja Definisi lumpur tinja menurut EPA (1994) adalah buangan organik yang terdiri dari campuran lumpur, bahan-bahan yang mengandung lemak, dan air buangan yang merupakan endapan hasil pemompaan suatu tangki septik. Keberadaaan lumpur tinja ditandai dengan bau. Karakteristik ini membuat lumpur tinja sulit untuk diolah dan ditangani. Beberapa parameter diantaranya BOD5, TSS, lemak dan minyak, pasir (grit), bau, dan nutrisi menunjukkan karakteristik lumpur tinja melebihi air buangan domestik. Lumpur tinja mempunyai konsentrasi BOD sekitar 30 – 50 kali lebih tinggi daripada air buangan domestik, sedangkan konsentrasi suspended solid lebih tinggi 10 – 50 kali air buangan domestik. Begitu juga dengan konsentrasi nutrisi, dalam hal ini nitrogen dan fosfor. Konsentrasi beberapa parameter yang menunjukkan karakteristik lumpur tinja dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Lumpur Tinja
Parameter Total solid Total volatile solid Total suspended solid Volatile suspended solid BOD COD TKN Nitrogen – ammonia Total fosfor Alkalinity Lemak pH Total coliform Fecal coliform
Minimum 1.132 353 310 95 440 1.500 66 3 20 522 208 1,5 107/100 ml 106/100 ml
Konsentrasi (mg/l) Maksimum 130.475 71.402 93.378 51.500 78.600 703.000 1.060 116 760 4.190 23.368 12,6 109/100 ml 108/100 ml
Rata-rata 34.106 23.100 12.862 9.027 6.480 31.900 588 97 210 970 5.600 -
Sumber : EPA,1994 Sistem Aerobik Berbagai tipe mikroorganisme yang digunakan untuk menguraikan bahan-bahan organik dan menghasilkan lumpur organik yang stabil dapat diklasifikasikan sebagai bakteri aerobik, fakultatif dan anaerobik. Organisme aerobik memerlukan oksigen untuk proses metabolismenya. Sebaliknya organisme anaerobik tidak memerlukan oksigen dan mendapatkan energi dari senyawa-senyawa organik. Organisme fakultatif dapat berlaku seperti organisme aerobik dalam kehadiran oksigen maupun berlaku seperti organisme anaerobik dalam ketidakhadiran oksigen. Eckenfelder (1980) menyebutkan bahwa reaksi yang terjadi dalam sistem pengolahan aerobik adalah seperti pada persamaan 2-1 dan 2-2. Bahan organik
+ O2 + N + P sell + CO2 H2O + bahan terlarut non degradabel
sell + O2 CO2 + H2O + N + P + bahan terlarut non degradabel
+
(2-1) (2-2)
Adapun pertumbuhan mikroorganisme dapat dibagi dalam empat fase (Metcalf and Eddy, 1991) yaitu: 1. Fase Lag 2. Fase Pertumbuhan 3. Fase Stasioner (Seimbang) 4. Fase Penurunan Pertumbuhan mikroorganisme pada fase pertumbuhan dalam reaktor batch dapat dituliskan dengan persamaan 2-3 (Metcalf and Eddy, 1991). dX X dt
(2-3) dimana X = konsentrasi mikroorganisme, mass/unit volume = laju pertumbuhan spesifik, waktu-1 Metabolisme Endogenous Metabolisme endogenous terjadi dalam semua sel dimana energi digunakan untuk memelihara sel. Eckenfelder (1980) mendefinisikan metabolisme endogenous dalam suatu koefisien, b yang besarnya berbanding terbalik dengan waktu. Karena itulah terjadi pengurangan massa sel per hari. Yang patut dicatat adalah bahwa besaran b diterapkan untuk padatan sel yang dapat diuraikan dan mempunyai nilai bervariasi antara 0,1 hingga 0,2 pada suhu 20oC. Pemakaian Oksigen dalam Sistem Aerobik Pada sistem aerobik, sebagian substrat yang tidak digunakan untuk sintesis sel akan menggunakan oksigen sebagai energi. Besarnya oksigen yang digunakan untuk keperluan pemeliharaan sel (respirasi endogenous) dapat dirumuskan seperti pada persamaan 2-1 dan 2-2. Dalam persamaan tersebut terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi besarnya oksigen yang diperlukan adalah konsentrasi zat organik (volatile suspended solid) dan terjadinya proses nitrifikasi. Bila diasumsikan komposisi zat organik adalah C 5H7NO2, maka besarnya oksigen yang diperlukan dapat dihitung dengan pendekatan persamaan 2-4 dan 2-5. C5H7 NO2 5O2 5CO2 2H 2O NH3 5CO 2 160 1,42 C5 H 7 NO 2 113
(2-4) (2-5)
Digester Aerobik Proses diges aerobik merupakan proses stabilisasi lumpur yang memanfaatkan mikroorganisme aerobik untuk mengonsumsi zat organik yang dapat terurai yang terkandung dalam lumpur. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk menghasilkan produk yang stabil secara biologis yakni dengan mengurangi volume dan massa lumpur. Hasil akhir yang diharapkan adalah lumpur dengan karakteristik pengendapan yang bagus sehingga relatif lebih mudah untuk diolah lebih lanjut (pengeringan). Dalam proses diges aerobik, ketersediaan ‘makanan’ (substrat) sangat terbatas sehingga menyebabkan mikroorganisme akan mengonsumsi protoplasmanya sendiri untuk mendapatkan energi bagi kelangsungan hidupnya (respirasi endogenous). Hal ini
menyebabkan konsentrasi biomassa akan berkurang secara kontinyu hingga tinggal beberapa bagian yang stabil secara biologis dan dapat dibuang ke lingkungan. Oksidasi bahan organik pada kondisi batch atau plug flow mengikuti laju reaksi orde satu seperti pada persamaan 2-6. (Xd)e e kd.t (Xd)o
(2-6)
dimana (Xd)e = konsentrasi VSS degradable setelah waktu t, mg/l (Xd)o = konsentrasi VSS degradable awal, mg/l kd = koefisien laju reaksi, / hari t = waktu aerasi, hari Menurut Eckenfelder (2000) waktu aerasi yang diperlukan untuk menurunkan kandungan VSS bila digunakan reaktor batch adalah selama 16 – 18 hari. Randal (1980) mengatakan bahwa temperatur mempengaruhi proses digester aerobik dengan mengubah laju respirasi endogenous. Bila koefisien laju respirasi endogenous dinyatakan dengan Kd, maka besarnya nilai Kd pada temperatur yang berbeda dapat dinyatakan dalam persamaan 2-7.
Kd T
Kd 20o C T 20
(2-7)
dimana : = koefisien temperatur, dengan rentang nilai 1,02 – 1,11 (nilai 1,023 sering digunakan) Besarnya waktu detensi sama dengan volume digester dibagi dengan debit lumpur yang masuk ke dalam digester aerobik. Waktu detensi dipengaruhi oleh kondisi lumpur dan temperatur operasional. Menurut Randal (1980), jika hanya buangan dari activated sludge saja yang akan distabilisasi dengan digester aerobik, maka direkomendasikan kebutuhan oksigen adalah sebesar 15 hingga 20 scfm / 1000 ft3 dari kapasitas tangki. Sebaliknya bila lumpur terdiri dari buangan dari pengolahan primary juga, maka kebutuhan oksigen akan meningkat menjadi 25 hingga 30 scfm / 1000 ft3 dari kapasitas tangki. Tipikal laju penggunaan oksigen dalam pengolahan lumpur disampaikan pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Tipikal laju penggunaan oksigen untuk lumpur No. 1 2 3 4 5 6
Tipe Lumpur Primary Lumpur dari activated sludge konvensional Lumpur dari extended aeration activated sludge Lumpur dari contact stabilization activated sludge Single-stage aerobik digester Two-stage aerobik digester
Laju penggunaan oksigen (mg O2 / jam.g VSS) 20 – 40 10 – 15 5–8 10 2–4 0,5 – 2,4
Sumber : Randall (1980) METODE PENELITIAN Tahap Pendahuluan Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik awal lumpur yang akan digunakan pada penelitian ini. Sebagai penelitian awal, parameter yang
diukur adalah kadar air, kandungan solid, rasio C/N dan bakteri coli. Pengukuran dilakukan setiap hari dalam satu minggu untuk mendapatkan kandungan rata-rata lumpur tinja. Konsentrasi VSS rata-rata digunakan untuk menentukan besarnya kebutuhan oksigen yang akan digunakan pada tahap selanjutnya. Tahap Kedua Pada tahap ini penelitian dilakukan pada jangka waktu aerasi optimum (12 hari) dan diperlakukan dua variasi suplai oksigen, yakni suplai oksigen yang sama per harinya dan berfluktuasi per harinya selama waktu aerasi optimum. Parameter yang diukur adalah kadar air, kandungan solid, rasio C/N dan bakteri coli. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Awal Lumpur Tinja Pada tahap pendahuluan, analisa dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik awal lumpur tinja. Analisa dilakukan setiap hari dalam satu minggu dengan sampel yang diambil langsung dari mobil tangki. Karakter fisik yang langsung bisa diketahui adalah adanya bau yang disebabkan oleh pengolahan sebelumnya, yakni pengolahan anaerobik (tangki septik). Parameter-parameter yang dianalisa adalah kandungan Total Suspended Solid (TSS) dan Volatile Suspended Solid (VSS), perbandingan kandungan C dan N, kadar air, dan kandungan bakteri coli. Tabel 4.1 menunjukkan karakteristik awal lumpur tinja. Tabel 4.1 Karakteristik Awal Lumpur Tinja No. 1. 2. 3.
4. 5.
Parameter Total Susp Solid Volatile Susp Solid C:N - kandungan C - kandungan N -C:N Kadar Air Bakteri Coli
Satuan mg/l mg/l mg/l mg/l % MPN/ 100 ml
1 27.900 24.020
2 104.380 87.580
13.344,4 1.209 11 : 1 96,44% 2,0E+08
48.656 485,6 100 : 1 95,94% 5,0E+07
Pengambilan Sample ke 3 4 5 35.240 38.380 53.280 22.040 15.660 42.980 12.244,4 485,6 25 : 1 95,46% 2,4E+08
8.700 291,2 30 : 1 92,32% 3,0E+08
23.877,8 485,6 49 : 1 93,83% 7,0E+07
6 44.860 36.560
Rata-rata 50.673,33 38.140,00
20.311 644,2 32 : 1 94,63% 5,0E+07
21.188,94 600,20 35 : 1 94,77% 1,5E+08
Sumber : Hasil pengamatan Sistem Suplai Oksigen Pada tahap ini penelitian ditujukan untuk melihat lebih jauh bagaimana pengaruh variasi sistem suplai udara, yakni konstan dan fluktuasi. Debit udara pada variasi konstan yang diberikan besarnya 5,5 liter/menit. Sedangkan penentuan variasi suplai udara fluktuasi didasarkan pada perilaku yang ditunjukkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam lumpur tinja di tahap pertama. Seperti terlihat pada gambar 4.1 bahwa mikroorganisme dalam lumpur tinja ternyata mengalami pertumbuhan hingga 8 (delapan) hari, baru kemudian mengalami penurunan. Sehingga suplai udara yang akan diberikan pada tahap kedua mengikuti pola tersebut.
Tabel 4.2 Fluktuasi Debit Udara Waktu aerasi (hari) 0 2 4 6 8 10 12
Debit Udara (liter/menit) konstan fluktuasi 5,5 5,5 5,5 12 5,5 15 5,5 18 5,5 23 5,5 19 5,5 12
Sumber : hasil perhitungan Suplai Udara Konstan Kandungan Total Suspended Solid (TSS) lumpur tinja yang diaerasi selama 12 hari mengalami penurunan dibandingkan konsentrasi awalnya. Besarnya penurunan adalah 73,78%. Terjadinya penurunan kandungan TSS ini menunjukkan terbatasnya kandungan bahan oganik sebagai substrat dalam lumpur tinja sehingga mikroorganisme mengonsumsi protoplasmanya sendiri untuk mendapatkan energi bagi kelangsungan hidupnya. Begitu pula dengan kandungan VSS-nya. Besarnya penurunan kandungan VSS adalah sebesar 82,67%. Besarnya debit udara yang disuplai secara konstan adalah 5,5 liter/menit. Sehingga selama waktu aerasi optimum udara yang dibutuhkan adalah 79.200 liter hingga 95.040 liter. Sedangkan massa VSS yang dapat diuraikan selama waktu aerasi optimum tersebut adalah 0,0131 hingga 0,015 kg. Sehingga kebutuhan udara berdasarkan massa VSS yang dapat diuraikan selama waktu aerasi adalah 5.287 hingga 6.045 m3 udara/kg VSS yang terurai. Nilai perbandingan antara VSS dan TSS akhir setelah diaerasi selama 12 hari mengalami penurunan sebesar 33,90%. Kandungan karbon setelah 12 hari diaerasi mengalami penurunan sebesar 82,67%. Kandungan karbon dalam zat organik terurai menjadi karbondioksida yang dikeluarkan ke lingkungan, inilah yang menyebabkan kandungan karbon di akhir aerasi menurun dibandingkan kandungan awalnya. Sistem suplai udara konstan memberikan penurunan kandungan nitrogen sebesar 36,42%. Dengan demikian sistem suplai udara konstan memberikan perubahan nilai rasio C/N menurun juga. Dalam rangka aplikasi ke tanah, maka yang perlu mendapatkan perhatian adalah hasil akhir rasio C/N apakah telah sesuai dengan standar kompos matang. Suatu kompos matang mensyaratkan rasio C/N sebesar 15 : 1 hingga 30 : 1 (CPIS, 1992). Adapun lumpur tinja yang telah mengalami proses diges selama 12 hari dengan suplai udara konstan menghasilkan rasio C/N sebesar 21 : 1. Dengan demikian lumpur tinja tersebut dapat diaplikasikan ke tanah. Kandungan air dalam lumpur tinja yang telah diaerasi dengan suplai udara konstan mengalami kenaikan sebesar 0,46% setelah 12 hari aerasi. Parameter bakteri coli merupakan parameter yang perlu mendapatkan perhatian apabila kita hendak mengaplikasikan lumpur ke tanah. Kandungan bakteri coli yang masih terdapat dalam lumpur akan menyebabkan timbulnya permasalahan baru. Standar yang diacu adalah standar yang dikeluarkan oleh EPA (1994) yakni bahwa lumpur yang dapat diaplikasikan ke tanah dapat dikategorikan dalam dua kelas. Kelas A mempunyai kandungan bakteri coli 1.000 MPN / gr berat kering, dan kelas B mempunyai kandungan bakteri coli 2.106 MPN / gr berat kering. Hasil proses diges dengan suplai udara konstan belum memenuhi standar tersebut. Hasil proses diges tersebut mempunyai kandungan bakteri coli antara 2.10 8 MPN/ 100 ml hingga 1.109 MPN/100 ml untuk proses diges dengan suplai udara konstan.
Suplai Udara Fluktuasi Pada lumpur tinja dengan suplai udara berfluktuasi kandungan TSS mengalami penurunan sebesar 43,09% setelah diaerasi selama 12 hari. Adapun untuk parameter kandungan VSS, sistem suplai udara fluktuasi selama 12 hari memberikan prosentase penurunan sebesar 43%. Udara yang dibutuhkan secara fluktuasi selama waktu aerasi optimum adalah 207.360 liter hingga 273.600 liter. Sedangkan massa VSS yang dapat diuraikan selama waktu aerasi optimum adalah 0,0078 kg hingga 0,012 kg. Sehingga kebutuhan udara berdasarkan massa VSS yang dapat diuraikan selama waktu aerasi adalah 12.906 hingga 33.969 m3 udara/kg VSS yang terurai. Berdasarkan kandungan akhir TSS dan VSS yang didapatkan setelah mengalami proses diges selama 12 hari, maka besarnya penurunan rasio VSS dan TSS adalah sebesar 0,18%. Suplai udara fluktuasi selama 12 hari menghasilkan penurunan kandungan karbon sebesar 43,19%. Begitu pula dengan kandungan nitrogen, suplai udara fluktuasi memberikan penurunan kandungan nitrogen yang lebih besar daripada suplai udara konstan, yaitu sebesar 18,49%. Sebagian besar lumpur cair yang berasal dari pengolahan anaerobik, kandungan nitrogennya berada dalam bentuk inorganik terutama amonium (NH4). Begitu pula dengan lumpur tinja yang berasal dari pengolah anaerobik sebelumnya (tangki septik). Nitrogen inorganik (NH4) bersifat mudah larut dalam air sehingga pengolahan konsentrasinya relatif tidak besar berubahnya. Lumpur tinja yang mendapatkan perlakuan suplai udara fluktuasi mengalami peningkatan sebesar 1,43%. Oksidasi bahan organik menghasilkan salah satunya adalah air (H2O). Hal inilah yang mengakibatkan kenaikan kandungan air dalam lumpur tinja setelah proses diges. Kadar air juga merupakan parameter yang menentukan bisa atau tidaknya lumpur tinja yang telah diaerasi untuk diaplikasikan ke tanah. Dengan mendasarkan pada standar kompos matang yang mensyaratkan kandungan kadar air sekitar 30%, maka dari kesemua hasil yang didapatkan tidak memenuhi syarat tersebut. Hasil proses diges dengan suplai udara fluktuasi belum memenuhi standar EPA untuk parameter bakteri coli. Kandungan bakteri sebesar 1.109 MPN/ 100 ml. Perbandingan Sistem Suplai Oksigen Dengan memperhatikan uraian terdahulu pada masing-masing parameter yang membandingkan konsentrasi akhir dan prosentase perubahan yang dapat dicapai antara sistem suplai udara konstan dan fluktuasi, maka dapat dilihat bahwa variasi sistem suplai udara memberikan hasil yang bervariasi. Maksudnya, capaian prosentase perubahan yang lebih baik dengan suplai udara konstan pada satu parameter tidak diikuti oleh parameter yang lainnya. Begitu pula dengan suplai udara fluktuasi. Namun bila dimaksudkan untuk mengaplikasikan lumpur hasil proses diges ke tanah dan dengan mengacu pada standar kompos matang, dapat dikatakan bahwa sistem suplai udara konstan memberikan hasil yang lebih baik daripada sistem suplai udara fluktuasi. Walaupun hanya paramater C/N yang memenuhi standar kompos matang. Namun yang perlu dicatat adalah hasil yang didapatkan pada penelitian ini hanya berlaku pada suplai udara konstan dengan debit 5,5 liter/menit. Gambaran yang lebih lengkap tentang perbandingan antara hasil proses diges lumpur tinja ini dengan standar kompos matang sebagai acuan dalam aplikasi ke tanah dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Karakteristik Lumpur Tinja Setelah Aerasi dan Standar Kompos Matang Konsentrasi No.
Parameter
Sat.
A. 1. 2. 3.
Suplai Udara Konstan C:N Kadar Air % Bakteri Coli MPN/
B. 1. 2. 3.
100 ml Suplai Udara Fluktuasi C:N Kadar Air % Bakteri Coli MPN/ 100 ml
Awal
Setelah diaerasi 10 hr 11 hr 12 hr
Kompos matang
8,49 : 1 8,85 : 1 9,15 : 1 21 : 1 4:1 2 : 1 15 : 1 ---- 30 : 1 98,31% 97,26% 98,43% 95,27% 98,94% 98,88% ± 30% 3,0E+10 2,9E+10 2,5E+10 2,3E+08 2,2E+08 1,1E+09 1.000 (klas A) 2.106 (klas B) 8,20 : 1 8,58 : 1 9,81 : 1 4 : 1 8,55 : 1 7:1 98,73% 95,48% 97,83% 97,03% 98,52% 99,23% 3,1E+10 2,7E+10 2,7E+10 1,3E+08 2,2E+10 1,1E+09
Sumber : hasil perhitungan KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan Dalam rangka mengaplikasikan lumpur hasil proses diges ke tanah dan dengan mengacu pada standar kompos matang, maka sistem suplai udara konstan dengan debit 5,5 liter/menit memberikan hasil yang lebih baik daripada sistem suplai udara fluktuasi. Terutama pada kandungan C/N yaitu sebesar 21 : 1. Saran 1. Perlunya dikembangkan penelitian tentang diges aerobik dengan menggunakan jenis lumpur yang lain untuk mengetahui lebih lanjut kinerja diges aerobik. Atau menggunakan lumpur dengan kandungan VSS yang selalu sama besarnya (tidak berubah-ubah) pada setiap tahap penelitian. 2. Pada penelitian ini kandungan bakteri coli masih belum hilang meski telah diaerasi selama 12 hari dan telah dikeringkan selama 14 hari. Karena itulah penelitian lebih lanjut dengan mencoba alternatif proses diges yang diatur suhunya agar tujuan menghilangkan kandungan bakteri coli dapat dicapai. 3. Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini ingin menerapkan hasil akhir (konsentrasi akhir) lumpur tinja yang telah diaerasi dan dikeringkan untuk aplikasi ke tanah. Namun demikian pada penelitian ini hal itu belum dilakukan sehingga perlu dilanjutkan dengan mengaplikasikannya langsung ke tanah dan melihat efek yang terjadi pada tanah atau tanaman. DAFTAR PUSTAKA Bernard, S. and Gray, N.F., (2000) Aerobic Digestion of Pharmaceutical and Domestic Wastewater Sludge At Ambient Temperature, Water Research Vol. 34 No. 3, p. 725-734, Elsevier Science Ltd. Bounds, T.R., (1997) Design and Performance of Septic Tanks, American Society for Testing Material, Philadelphia. Center of Policy and Implementation Studies (CPIS), (1992) Buku Panduan Teknik Pembuatan Kompos 1dari Sampah. Dahab, M.F. and Surampalli, R.Y., (2002) Effect of Aerobic and Anaerobic Digestion System on Pathogen and Pathogen Indicator Reduction in Municipal Sludge, Water Science and Technology Vol. 46 No. 10, p.181 – 187, IWA Publishing. De Leen, C. and Jenkins. D., (2002) Removal of Fecal Coliforms by Thermophilic Anaerobic Digestion Process, Water Science and Technology Vol. 46 No. 10, p.147 – 152, IWA Publishing.
Eckenfelder, W. W., (2000) Industrial Water Pollution Control, 3th edition, McGrawHill International Editions, Singapore. Edelman, W., Engeli, H., and Gradnecker, M., (2000) Co-Digestion of Organic Solid Waste and Sludge from Sewage Treatment, Water Science and Technology Vol. 41 No. 3, p.213 – 221, IWA Publishing. Hasegawa, S., Shiota, N., Katsura, K. and Akashi, A. (2000) Solubilization of Organic Sludge by Thermophilic Aerobic Bacteria as a Pretreatment for Anaerobic Digestion, Water Science and Technology Vol. 41 No. 3, p.163 – 169, IWA Publishing. Henry, C., et all, (1999) Managing Nitrogen From Biosolids, Washington State Department of Ecology and Nortwest Biosolids Management Association. Kim, B.J. and Smith, E.D., (1997) Evaluation of Sludge Dewatering Reed Beds : A Niche For Small Systems, Water Science Technology Vol. 35 No. 6, p.21 – 28, Elsevier Science Ltd. Lissens, G., Vandevivere, P., De Baere, L., Biey, E.M., and Verstraete, W., (2001) Solid Waste Digestors : Process Performance and Practice for Municipal Solid Waste Digestion, Water Science and Technology Vol. 44 No. 8, p.91 – 102, IWA Publishing. Ministry of Environment and Ministry of Agriculture, Food and Rural Affairs (1996) Guidelines For The Utilization Of Biosolids and Other Wastes On Agricultural Land. Muse, J.K., Mitchell, Jr., C.C., and Mullins, G.L., (1991) Land Application of Sludge, Environmental Education Series, Department Agronomy and Soils, Auburn University. Nacheva, P.M., Moller-Chavez, G., Camperos, E.R., and Vigueros, L.C., (2002) Characterization and Dewaterability of Raw and Stabilized Sludge Using Different Treatment Methods, Water Science and Technology Vol. 46 No. 10, p.123 – 130, IWA Publishing. Oropeza, M.R., Cabirol, N., Ortega, S., Castro Ortiz, L.P. and Noyola. A., (2001) Removal of Fecal Indicator Organisms and Parasites (Fecal Coliforms and Helminth Eggs) From Municipal Biologic Sludge by Anaerobic Mesophilic and Thermophilic Digestion, Water Science and Technology Vol. 44 No. 4, p.97 – 101, IWA Publishing. Pagilla, K.R., Kim, H., Cheunbarn, T., (2000) Aerobic Thermophilic and Anaerobic Mesophilic Treatment of Swine Waste, Water Resources Vol. 34 No. 10, p.2747 – 2753, Elsevier Science Ltd. Polprasert, Chongrak, (1989) Organic Waste Recycling, John Wiley & Sons Ltd., Great Britain. Solomon, Clement, et all, (1998) Septage Management, National Small Flows Clearinghouse, Environmental Technology Initiative. Spellman, F.R., (1997) Wastewater Biosolids to Compost, Technomic Publishing Company Inc., USA. Strauss, M., Larmie, S.A., Heinss, U., (1997) Treatment of Sludge From On-site Sanitation – Low Cost Option, Water Science Technology Vol. 35 No. 6, p. 129 – 136, Elsevier Science Ltd. U.S. Environmental Protection Agency, (1994) Guide to Septage Treatment and Disposal, EPA/625/R-94/002, September 1994, Cincinnati, Ohio.
Yuronich, Greg, Septage Waste Disposal and Treatment at Wastewater Treatment Plant in Northeast Ohio, Environmental Health major at Bowling Green State University.