KONTEKSTUALISASI PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI PAPUA:
Perspektif Struktur Dan Kewenangan Pemerintahan MohammadA. Musa'adl
Abstnct Using qualitative method and different theories of organization, bureaucracy and management, and interuiewing informants in the Papua Province and municipalities, the objective of this research is to analyze the structure and authority of the local governments in implementing special autonomy. lts main finding indicates that
the change of the structure and authority tends fo symbolic-, normative- and paftially introduced. The research discloses that the special authority of the local governments'there, in reality, still cannot be comprehensively applied. Factors and r.ssues such as of the existence of regional provisions, financial and political mafters, Jakarta's dominant control, apparatus' performance and the Papuan People's Assembly (Majelis Rakyat Papua
-MRP)
influence their ability in exercising their new structure and authority in the so-called the new era of special autonomy.
Keywords: special autonomy, Papua, bureaucracy, management, local govemment.
Abstrak Dengan menggunakan metode kualitatif dan teori yang beragam tentang organisasi, birokrasi dan manajemen, dan menginterview narasumberdi provinsi dan kabupaten-kabupaten di Papua, penelitian ini bertujuan menganalisis struktur dan kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi khusus. Temuan utamanya mengindikasikan bahwa perubahan struktur dan kewenangan di sana cenderung dilakukan secara simbolik, normatif dan parsial. Penelitian
ini mengungkapkan bahwa otonomi khusus di sana dalam kenyataannya belum sepenu hnya d iterapkan. Faktor-faktor seperti
keberadaan Perda, keuangan dan politik, kontrol yang dominan Jakarta dan kehadiran MRP mempengaruhi kemampuan pemerintahI Dosen/Lektor Kepala pada Fakultas llmu Sosial dan llmu PolitiUKepata Pusat Kajian Demokrasi (Democratic CenfeflUniversitasCenderawasih Jayapura; Emair:
[email protected].
357
pemerintah daerah dalam menjalankan struktur dan kewenangan baru dalam sebuah era baru otonomi khusus. Kata Kunci: otonomikhusus, Papua, birokrasi, manajemen, pemerintah daerah.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Evaluasi kritis terhadap pelaksanaan politik desentralisasi di Indonesia pada era sebelum reformasi, mengindikasikan adanya keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan politik desentralisasidalam tataran aktualempiris melalui pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten dan konsekuen. Kecenderungan memberikan penguatian terhadap posisi pemerintah pusat melalui
dominasipelaksanaan dekonsentrasi, terjadipenyelewengan terhadap prinsip dasardesentralisasidan sebagainya merupakan pembenaran terhadap penilaian tersebut. Dalam posisi seperti ini daerah seakan hanya sekedar alat untuk mempertahankan sfafus guo pemerintah. Kemiskinan dan keterbelakangan merebak di berbagai daerah, bahkan ironisnya terjadi di daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam. Kekayaan sumberdaya alam di daerah dieksploitasiuntuk kepentingan pemerintah pusatdengan pembagian yang tidak berkeadilan. Kesenjangan antara kawasan Baratdan Timur lndonesia, maupun antara Jawa dan sekitarnya dengan luar Jawa tak terelakan. Akibatnya beberapa daerah berkembang menjadi kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang padat yang tidak dapat diimbangi dengan sarana dan prasarana kota serta lapangan kerja yang memadai. Di sisi lain terdapat daerahdaerah yang lamban perkembangannya dan aktivitas pemerintahannya terhambat akibat keterbatasan
yang dimiliki. Kondisi ini telah menimbulkan kecemasan daerah yang diapresiasikan dalam berbagai bentuk, yang dalam beberapa kasus mengarah pada ancaman disintegrasi. Merespon kondisi ini dan didorong tuntutan reformasi di berbagai bidang,
maka pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi terhadap ketidakkonsistenan dan konsekuenan pemerintahan sebelumnya dalam mengaktualisasikan otonomi daerah. Meskipun komitmen pemerintahan era reformasi lebih berorientasi pada penguatan otonomi daerah, akan tetapi bersamaan dengan itu muncul persoalan baru yang mengarah pada terhambatnya pelaksanaan pelayanan (service), pembangun an (development) dan pemberdayaan (empowerment). Penguatan otonomi daerah telah pula menumbuhkembangkan eforia di kalangan pemerintah daerah. Kewenangan yang dimilikioleh pemerintah daerah, dibeberapa daerah telah dimanfaatkan secara berlebihan tanpa memperhatikan prinsip kemampuan masyarakat, keadilan, dan
358
Kajian, Vol.16, No.2, Juni 2011
berkelanjutan (susfainabte). Penguatan otonomi daerah iuga telah menumbuhkembangkan sikap egoisme dan primordialisme yang berlebihan, bahkan mengarah menjadi fenomena ancaman disintegrasi bangsa. Terlepas dariadanya dampak positif maupun negatif yang timbul sebagai penguatan otonomidaerah, akan tetapidi beberapa daerah, sepertiAceh akibat
dan Papua tidak bergeming dengan komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan politik desentralisasi secara murni dan konsekuen. Masyarakat di kedua daerah ini meragukan kredibilitas pemerintah. Keraguan inidipicu oleh ketidak- konsistenan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di
kedua daerah tersebut selama ini. Sikap ketidakpercayaan tersebut diapresiasikan dalam berbagai bentuk termasuk tuntutan untuk memisahkan diridari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks Provinsi Papua reaksiyang cenderung antipatitersebut merupakan akumulasi dari kompleksitas persoalan yang mewarnai kehidupan masyarakat Papua. Kompleksitas persoalan tersebut melingkupi berbagaiaspek yang mengakibatkan sejumlah besar masyarakat di Papua berada dalam kehidupan yang memprihatinkan. Kondisiinitelah mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemauan dan kesungguhan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membangun masyarakat di Provinsi
Papua secara beradab. Situasi keraguan seperti initelah dimanfaatkan oleh pihak tertentu memprovokasi terciptanya rasa ketidak-percayaan masyarakat terhadap pemerintah. Komitmen pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan reformasitelah melahirkan kesadaran dan pemikiran baru dalam menangani berbagai permasalahan yarig mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Provinsi Papua. Pemikiran dan kesadaran baru tersebut ditandai dengan adanya perubahan paradigma dalam penanganan berbagai masalah bangsa dariyang
beraraskan pendekatan keamanan/stabilitas menjadi pendekatan sosial/ kesejahteraan, den gan mem perhatikan kesetiaraan dan keberagaman keh
id u pan
sosial budaya masyarakat lokal. Keinginan politik (polrtical will) pemerintah Republik lndonesia untuk menanganipermasalahan di Provinsi Papua secara sungguh-sungguh dimulai pada tahun 1999, yang ditandai dengan penetapan Provinsi lrian Jaya/Papua sebagaidaerah otonomikhusus (Otsus). Halinisecara eksplisittertuang dalam Ketetapan MPR Rl Nomor |V/MPR/1999 tentang Garis-
Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab lV huruf G, butir 2' Menindaklanjuti amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Rl tersebut' Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan menetapkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua' Hasil ketetapan DPR ini kemudian disahkan pada tanggal 21 November 2001,
Kontekstualisasi Pelaksanaan
....-
359
sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiPapua, LNRlTahun 2001 Nomor 135.
Refleksi kritis terhadap pemberlakuan kebijakan tersebut, mengindikasikan kebijakan ini belum mampu diimplementasikan se€ra efektif. Pemberlakuan kebijakan ini belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan. Beberapa indikator dapat dijadikan sebagai pembenaran atas penilaian ini, antara lain: (1) data BPS tahun 2008
menunjukkan bahwa lndeks Pembangunan Manusia (lPM) Provinsi papua adalah 62,50/0. Tiga tahun kemudian (2007) IPM Papua hanya meningkat0,92% menjadi 64,00o/o. Capaian IPM ini bahkan lebih kecil dari beberapa provinsi hasilpemekaran, dan masih berada jauh dibawah IPM Nasionalyang mencapai 71,17o/o; (2)data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua adalah 34,88%. Jumlah initelah menempatkan Papua pada
ranking kedua setelah Papua Barat sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak diseluruh lndonesia; (3) masih ditemukan adanya kasus busung lapardibeberapa kabupaten, yang berakibatkematian; (4) Dewan
Adat Papua (DAP) sejak 2004 telah mengeluarkan sfafernenf untuk mengembalikan Otsus Papua. Kondisi ini ironis jika dikaitkan dengan kondisi Provinsi Papua yang dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, serta transfer dana dari pemerintah akibat Otsus Papua sejak tahun 2002 terus
mengalami peningkatan, yang besarannya mencapai triliyunan rupiah. Meskipun kebijakan Otsus Papua belum memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat Papua, tetapiwacana pengembalian Otsus juga bukan pilihan yang terbaik. Otsus Papua bukanlah suatu hadiah dari Pemerintah Pusat, Otsus Papua bukan sepertiyang diibaratkan "gulagula politik' yang diberikan oleh pemerintah agar orang Papua diam dan tidak lagi menyuarakan "kehendak untuk memisahkan diridari Negara kesatuan Republik lndonesia. Tetapisebaliknya Otsus Papua adalah suatu "perjuangan"2 Kondisi ini tentunya menarik untuk dikaji, karena secara normatif konseptual Undang-
2
Disebutkan Otsus Papua sebagai perjuangan, karena pemberlakuannya melalui proses yang panjang, antara lain: (1) Perjuangan di MPR, yakni berjuang memasukkan Otsus Papua sebagai rumusan dalam Tap MPR No. lV/MPFy2004, yang sebelumnya tidak ada dalam Rantap MPR; (2) Perjuangan "melawan arus", yakni berjuang meyakinkan segenap komponen masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, yang ketika itu menyuarakan "M" (baca:memisahkan diri dari NKRI), bahwasanya Otsus merupakan solusi untuk akselerasi pembangunan dan perlindungan hak-hak masyarakat; (3) Perjuangan di DPR, yakni perjuangan menjadikan rancangan RUU yang diusulkan Daerah menjadi usul inisiatif dan acuan utama dalam pembahasan, padahal Pemerintah telah lebih dulu menyerahkan/mengusulkan RUU Otsus Papua kepada DPR (menurut Tatib DPR rarrcangan yang lebih dulu diusulkan itulah yang ,menjadi acuan utama);(4) Perjuangan merasionalisasikan materi muatan RUU Otsus Papua usul inisiatif, yang menurut inventarisir Pemerintah ada 471 masalah.
360
Kajian, Vol.16, No.2, Juni 2011
Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 memiliki sejumlah keistimewaan3, baik muatannya maupun proses penyusunannya. Keistimewaan yan dimiliki oleh UU No. 21 Tahun 2001 ternyata tidak serta-merta memberijaminan terhadap penerimaan masyarakat. Sejumlah keistimewaan tersebut perlu diikuti dengan efektivitas pelaksanaannya, sehingga d'rjamin mampu mengantarkan masyarakat Papua untuk menapak kehidupan yang lebih layak dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan utama yang dianalisis dalam penelitian iniadalah: "Bagaimana perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua dalam pelaksanaan otonomi khusuS". Permasalahan utama tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa pertanyaan operasional sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua pasca pemberlakuan Otonomi Khusus? 2. Faktor-Faktor apakah yang mempengaruhi fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan di Papua pasca pemberlakuan
otonomikhusus? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
l. (1)
(2\
Tujuan
Untuk mengetahui dan mengungkapkan struktur dan kewenangan pemerintahan diProvinsi Papua pas€ pemberlakuan otonomi khusus Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua pasca pemberlakuan otonomi khusus
Keistimewaan UU Otsus papua antara lain: (1) kebijakan otonomi khusus merupakan suatu hal yang baru di dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia; (2) materi muatan yang tertuang dalam UU No.21 Tahun 2001 sangat komprehensif, karena memuat banyak aspek (politik, hukum & HAM, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan); (3) proses penyusunan RUU ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat Provinsi Papua, yang kemudian diusulkan dan setelah melalui proses pembahasan diadopsi sebagai RUU usul inisiatif oleh DPR Rl. Proses ini berbeda dengan kebiasaan proses penyusunan RUU lainnya yang cenderung tidak melibatkan pihak Daerah. 3
Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
361
2. Kegunaan Penelitian (1) Memperkaya konsep pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya dalam
bentuk desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi khusus dalam perspektif strukturdan kewenangan serta implikasiteoritisnya; (2) Hasil penelitian ini yang berupa konsep tentang desentralisasi asimetris (asymmetic decentnlization) atau otonomi khusus dalam perspektif struktur dan kewenangan yang diharapkan dapatdijadikan sebagai masukan (input) dalam pembangunan pemeintahan Provinsi Papua, maupun provinsi-provinsi
lain di Indonesia. II. KERANGKAPEMIKIRAN
Pemerintahan dibentuk untuk menciptakan suatu tatanan guna menjamin keteraturan dan ketertiban. Jaminan keteraturan dan ketertiban merupakan prasyarat bagi keberlangsungan proses hidup dan kehidupan masyarakat, ini berarti bahwa substansi pemerintahan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiriatiau dilayani, tetapi untuk melayani masyarakat sertia menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Dalam konteks ini, Osborne & Gaebled, menyatakan bahwa: "pemerintiah perlu semakin didekatkan dengan masyarakat sehingga dapat memberikan respon secara cepat terhadap kebutuhan masyarakat yang dinamis. Asumsi yang mendasari konsepsi ini adalah bahwa pemerintahan yang berada dalam jangkauan masyarakat, maka
pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, responsif, okomodatif, inovatif, produktif, dan ekonomis". Salah satu cara untuk dapat memenuhiformat pemerintahan seperti tersebut maka Indonesia sejak merdeka5 telah memilih anutan desentralisasi sebagai strategi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai konsekuensi logis dari pilihan terhadap pola anutan desentralisasi tersebut, maka terbentuklah daerah yang berstatus otonomi, yakniyang memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom tersebut
berkewajiban memperhatikan aspirasi masyarakat dan secara kreatif mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
a
Osborne & Gaebler, Mewircusahakan Bircknsi, 1996, hal. 283. sEksplisit tertuang dalam Pasal 18, yang kemudian berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 dikembangkan menjadi Pasal 18, 18A dan 188.
362
Kajian, Vol. 16, No.2, Juni 2011
Dalam kurun waktu 65 tahun merdeka (1945
-
2010), silih berganti
telah diberlakukan tujuh undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kondisi inimenunjukan bahwa belum ditemukan suatu modelyang cocok dengan tuntutan dinamika sosialpolitik kemasyarakatan maupun tuntutan kewilayahan. Hal ini terbukti dengan jelas ketika dikaji materi muatan yang ada dalam setiap undangundang tersebut. Materi muatan yang ada dalam setiap undang-undang tersebut
cenderung bersifat ad hoc, artinya selalu berubah mengikutiselera elit negara. Prinsip otonomidaerah juga tidak paten, Dalam konteks Papua pengaturan mengenai pemerintahannya juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan kondisi lndonesia sebagai suatu negara. Iniadalah suatu kenyatiaan, yang mungkin saja akan menimbulkan berbagai macam diskursus, tetapiyang jelas sejak tanggal 21 Novermber 2001 Indonesia memasukisuatu babakan baru, yakni"Otonomi Khusus", yang ditandai dengan diberlakukannya UU No.21 Tahun 2001. Otsus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsidan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendirididalam kerangka Negara Kesatuan Republik lndonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalamnya memberikan peranan yang signifikan bagiorang asli Papua melaluiwakil-wakilnya (wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan) untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menetukan strategi pem bangunan dengan tetap menghargaikesetiaraan dan keragaman kehidupan masyarakatdi Provinsi Papua. Kebijakan Otsus Papuajugatelah memberipeluang bagiorang asli Papua untuk mengaktualisasikan diri melaluisimbol-simbol budaya (cultural) sebagai wujud kemegahan jati diri. Hal ini menunjukan bahwasanya sebagai akibat dari
penetapan Otsus Papua, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan Otosus Papua maka
terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, sebaliknya terdapat pula hal-halyang berlaku didaerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. UU No. 21 tahun2001
yang merupakan landasan yuridis bagi pemberlakuan otsus Papua dipandang sebagai suatu produk hukum yang memiliki sejumlah keistimewaan diband ingkan dengan produk hukum lainnya di Indonesia.
Konstruksi undang-undang tersebut dibangun berlandaskan pada sejumlah pernyataan bermaknafilosofi, sebagaimanatertuang dalam konsiderans
menimbang, yang mengandung sejumlah pengakuan dan komitmen yang
Konteksfuatisasi Pelaksanaan
.....
363
merupakan pengejawantahan dari nilai dasaf yang melandasi penyusunan
Rancangan Undang-undang tersebut. Nilai dasar tersebut kemudian diinterpretasikan dalam 5 (lima)prinsip, yang diakronimkan menjadi"PAPUA", yakni : Proteksi, Affirmasi, Pemberdayaan, Universal, dan Akuntabilitas. Nilai dasardan prinsip sebagaimana tersebut, pada ranah operasionaldiaktualisasikan dalam bentuk rumusan isi atau batang tubuh dari UU No. 21 Tahun 2001, yang terdiri atas XXIV Bab dan 7 9 Pasal. Perubahan status Provinsi Papua menjadi daerah yang berotonomi
khusus harus diikuti dengan perubahan struktur dan kewenangan. Hal ini disebabkan karena perubahan status akan mengakibatkan perubahan tujuan. Ketepatan suatu struktur adalah terkait dengan kemampuan struktur tersebut dalam merespon lingkungannya. lni berarti bahwa struktur bersifat dinamis dan dapat direkayasa ulang untuk maksud efektivitas pelaksanaan fungsi dari suatu organisasi. Dalam konteks birokrasi pemerintahan, seiring dengan dinamika perkembangan fonomena sosialpolitik, maka rekayasa ulang terhadap struktur birorasi birokrasi merupakan suatu keniscayaan. Struktur pemerintahan harus
direkayasa untuk memenuhi tuntutan pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan bagi masyarakat. Struktur organisasi pemerintahan harus pula disesuaikan dengan tujuan organisasidan kewenangan yang dimiliki. lni berarti bahwa perubahan tujuan organisasidan kewenangan akan berakibat perubahan strukturorganisasi. Dalam kaitan ini menurutWiesbordT"Strukturinternalyang dibangun dalam suatu kelembagaan harus mencerminkan keselarasan dengan tujuan dan kewenangan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain apakah struktur internalyang telah dibangun tersebut benar-benar melayanitujuan organisasi. Jika struktur organisasitidak sesuaidengan tujuannya, ini berarti antara struktur dan tujuan tidak selaras". Sinyalemen Wiesbord tersebut menunjukkan bahwa perubahan tujuan seharusnya akan mengakibatkan perubahan kewenangan yang menuntut adanya
perubahan struktur. Sedangkan perubahan struktur akan berimplikasi pada perubahan tata hubungan, mekanisme kerja serta fungsi dan personil penyelenggara. Halini mengandung artibahwa perubahan struktur harus pula diikuti dengan perubahan tata hubungan, mekanisme kerja, fungsi, serta penyelenggaranya. Perubahan dimaksud diarahkan untuk menyesuaikan dengan strukturyang ada, sehingga antara tujuan, kewenangan, struktur, tata hubungan,
mekanisme kerja, dan personil penyelenggaranya terformat secara serasi dan selaras. 6
Sumule (edl, Mencari Jalan Tengah,2004, hal. 53-60, disebutkan 7 (tujuh) nilai dasar, yakni
: (1 )
perlindungan terhadap hak-hak penduduk asli Papua; (2) demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi; (3) penghargaan terhadap etika dan moral; (4) supremasi hukum; (5) penegakan HAM; (6) penghargaan terhadap pluralisme;dan (7) persamaan kedudukan , hak, dan kewajiban sebagai warga Negara.
364
Kajian, VoL 16, No.2, Juni 2011
Perubahan struktur harus sejalan dengan perubahan kewenangan. Dalam konteks birokrasi pemerintahan daerah, kewenangan tergantung pada pola hubungan antara pusat dengan daerah, maupun antar daerah. UU Nomor
32 Tahun 2004 memberi arahan bahwa pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Pola hubungan antara pusat dan daerah maupun antara daerah sebagaimana dimaksud mencakup hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya
alam, dan sumberdaya lainnya. Konsekuensi logis dari hubungan tersebut menimbulkan adanya hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Dalam konteks inilah rasionalisasikewenangan perlu dilakukan yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah pada tingkatan masing-masing. Mengingat bahwa dalam konteks Papua telah terjadi perubahan pola hubungan antar pusat dan daerah, maupun antar daerah, maka sangat beralasan
jika pemerintahan daerah harus segera melakukan rasionalisasi kewenangannya. Hasil rasionalisasi kewenangan tersebut merupakan landasan pijak dalam mendesain struktur pemerintahan. Struktur pemerintahan yang dibuat berdasarkan hasil rasionalisasi kewenangan diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah. Dalam kaitan dengan perubahan strukturdan
kewenangan, Randolph dan Dess (1984:114); Gibson, et al (1996:72) mengetengahkan teori desain kontingensi (contingency design theary). Teori ini merupakan suatu pendekatan untuk merancang bangun organisasiyang secara prinsip menyebutkan bahwa "strukturyang efektif tergantung pada faktor-faktor dalam situasi". Merujuk pada berbagai konsep dan teori sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka semakin jelas bahwa struktur dan kewenangan merupakan elemen-elemen yang urgen dan menentukan eksistensi suatu organisasi. Dalam lingkup pemerintahan elemen-elemen inijuga yang akan menentukan optimalisasi peran dan fungsi birokrasi. Kemampuan birokrasidalam
melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowermenf) masyarakat secara efektif dan efisien sangatlah bergantung dari sejauh mana adanya keselarasan antara struktur, wewenang, tujuan dengan lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan, struktur, dan wewenang pemerintahan selalu akan dipengaruhioleh lingkungan dimana institusi tersebut berada. Lingkungan yang dimaksud menurut Robbinso adalah "segala sesuatu yang berada di luar batas organisasi". Dalam konteks ini Robbinse, ?
8 e
Thoha, fumbinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan lntervensr, 1993' hal. 99-100. Robbins, Teoi Organisasi: StruKur, Desain, Aplikasi, 1994, hal.227 . lbid.
Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
365
mengklasifikasikan lingkungan dalam dua bentuk: "(1) lingkungan umum, mencakup kondisi yang mungkin mempunyai dampak terhadap organisasi, namun relevansinya tidak sedemikian jelas; (2) lingkungan khusus, adalah bagian dari lingkungan yang secara langsung relevan bagiorganisasi dalam mencapai
tujuan". Salusu mengklasifikasikan lingkungan yaknilingkungan eksternaldan intemal(kapabilitas organisasi).r0 Kapabilitas organisasi merupakan konsepyang dipakai untuk menunjukan pada kondisilingkungan internalyang terdiridaridua faktor stratejik, yakni: kekuatan dan kelemahan.ll Sedangkan faktoreksternal terdiridaridua faktor stratejik, yakni peluang dan tantangan. Dalam hubungan ini Salusu,12 mengidentifikasi sejumlah elemen dasar yang dipandang sebagai faktor stratejik dalam lingkungan internal maupun eksternal, antara lain: (1)
lokasi yang strategis; (2) misi, tujuan, dan sasaran yang jelas; (3) struktur organisasiyang tangguh; (4) dana yang memadai; (5) tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas; (6) sumberdaya manusia yang memadai, dsb; (7) aspek sosial-kultural; (8) aspek politik dan hukum; (9) aspek teknologi, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan fokus yang akan dianalisis dalam penelitian ini, menurut hemat penulis faktor-faktor yang dominan adalah: (1) faktor regulasi daerah; (2) faktor keuangan daerah; (3) faktor peraturan perundang-undangan atau kebijakan nasional; (4) faktor politik, dan (5) faktor sumberdaya aparat.
III. METODE PENELITIAN
A.
Metode Analisis Data Ada dua pendekatan yang digunakan dalam analisis data pada penelitian
ini, yakni (1) analisis domain (domain analysis), yakni: peneliti menetapkan domain atau kategori tertentu sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya, domain yang terpilih tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci, untuk mengetahui struktur internalnya dan dilakukan melalui observasiterfokus; (2)
anafisis taksonomi (taxonomic analysis) tahapan menentukan fokus, teknik pengumpufan data dengan minitourquesfion, pertianyaan yang digunakan adalah pertanyaan struktural, analisis data dengan analisis komponensionaldilanjutkan analisis tema. Penyusunan laporan penelitian dilaksanakan secara terus menerus
oleh peneliti sendiri sebagai instrumen utama penelitian. Kedua model pendekatan tersebut digunakan secara sinergis, sesuai dengan kondisi dan 10
Safusu, fungambilan lGputusan Stntejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit,
1996, hal. 291. trlbrd., ha|.319. 12
lbid.,hal.320.
366
Kajian, Vol. 16, No. 2, Juni 2011
kebutuhan, sehingga diharapkan akan menghasilkan suatu penelitian yang memiliki tingkat akurasi dengan kesimpulan yang kredibel.
B. Cara Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah adalah penelitilangsung ke lokasipenelitian dengan menggunakan pendekatan triangulasi, yakni: melakukan observasi, mengumpulkan dokumentasi, wawancara mendalam, dan focus group dr'scussrbn, kepada orang-orang yang dianggap mengetahui dan memahami fokus penelitian, yang dalam hal inidianggap sebagaisumberdata primer, secara bersamaan atau terpisah. Sedangkan secara tidak langsung adalah data sekunderyang diperoleh diperoleh melaluistudipustaka, yakniberbagaireferensi kepustakaan yang diperoleh peneliti melalui koleksi pribadi, perpustakaan beberapa institusi, akses internet, serta sarana lainnya' G. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama tahun 2008-2009, akan tetapi untuk kelayakan dan keperluan penerbitan beberapa data telah dimuktahirkan tahun 2011. Lokasi penelitian ini di lingkungan Pemerintahan Provinsi Papua dan beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua. Lokasi penelitian ditingkat provinsiterdiri atas: (1) Pemerintah Provinsi; (2) Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP); dan (3) Majelis Rakyat Papua (MRP). Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa ketiga institusi ini merupakan pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perubahan struktur dan Kewenangan Pemerintahan dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua
uU No. 21 Tahun 2001 secara normatif telah memberikan tuntunan terhadap perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua. Melalui pemberlakuan undang-undang ini, maka struktur dan kewenangan pemerintahan di Provinsi Papua telah direkonstruksi. Perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dipandang sebagai suatu keniscayaan oleh penganut pendekatan "institusionalbaru", yang dikembangkan oleh Robert E. Godiri.13 13
Dalam Budiardjo, Dasar-Dasar tlmu Politik,2008' hal.96-99'
Kontekstualisasi Pelaksanaan
-..
-.
367
Pendekatan ini berpandangan bahwa institusi negara (pemerintah) tidak statis, tetapi dapat diperbaiki ke arah tujuan tertentu yang lebih baik, yakni mengubah institusiyang ada supaya menjadi semakin demokratis. Perubahan inidalam pendekatan institusional baru dikenaldengan istilah rnsfdutionatengineeing (rekayasa institusional), melalui suatu insfif utional design (rancangan institusional). Perubahan strukturdan kewenangan merupakan sarana alternatif untuk menciptakan suata tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam
konteks perubahan struktur, unsur-unsur stratejik yang dipandang memiliki relevansi secrra ideal normative maupun actualempiricmelingkupi: (1) dimensi institusional; (2) dimensi hubungan otoritas; dan (3) dimensi proses politik. Sedangkan perubahan kewenangan akan dikajidari : (1) aspek politik; (2) aspek hankam; aspek hukum dan HAM; (4) aspek keuangan & ekonomi; (5) aspek adat; dan (6) aspek sosial. Kebijakan otsus Papua pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari teori "authoritative(otoritas legal rasional)", yang dikemukakan oleh Max weber. Teori ini berpandangan bahwa kewenangan diperoleh melalui
pengabsahan dengan suatu aturan hukum yang jelas. otsus berdasarkan ketentuan UU No.21 Tahun 2001 adalah kewenangan khususyang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hakhak dasar masyarakat Papua. Ini berarti bahwa kewenangan pemerintah provinsi Papua pada hakikatnya diperoleh melalui legitimasidari suatu aturan hukum. Dalam perspektif institusional maupun hubungan otoritas perubahan struktur pemerintahan di Provinsi Papua dalam kerangka Otsus memiliki korelasi dengan teori "structural"yang dikembangkan oleh Max Weber (1920), Scott (1962) dan Etzioni (1986). Perubahan struktur yang terjadi dalam konteks ini dicirikan dengan adanya pembagian kerja, sebuah hirarkiwewenang yang jelas, prosedur seleksiyang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan atas hubungan pribadi (impersonal). Ini berarti bahwa perubahan struktursebagaimana dimaksud memperkuatteon "structural". Pada perspektif
dimensi sistem politik, proses politik yang terjadi di Provinsi Papua dalam kerangka Otsus memilikikarakteristik tersendiri. Pranata politik yang berperan pada ranah proses/konversidan oufpuf terdiriatas pemerintah daerah (gubernur
beserta jalarannya) sebagai pelaksana fungsi eksekutif, Dewan Penrvakilan Rakyat Papua (DPRP) selaku pelaksana fungsi legislatif, dan Majetis Rakyat Papua (MRP) selaku pelaksanan fungsi representasi kultural dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Kondisiini menunjukkan bahwa dalam proses politik ketiga institusi tersebut memiliki peran strategis. Ini berarti bahwa sistem politik di Provinsi Papua dalam kerangka otonomi khusus berbeda dengan
368
Kajian, Vol. 16, No.2, Juni 2011
teoriyang dikembangkan oleh Easton danAlmond (1962), dimana sistem politik menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi input dan output.
Fungsi-fungsi masukan (input) dijalankan oleh sub-sub sistem non pemerintah, masyarakat dan lingkungan umum, sementara fungsi keluaran (output) merupakan fungsiyang dijalankan oleh pemerintah. Fungsiyang terakhir tersebut merupakan fungsiyang dijalankan oleh pemerintah melalui lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Sedangkan dalam konteks Otsus Papua, fungsi keluaran (output) yang dijalankan oleh pemerintah tidak hanya terbatas diperankan oleh lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, tetapijuga oleh lembaga representasi kultural (MRP). Dengan demikian maka teori sistem politik yang dikembangkan oleh Easton danAlmond (1962) dalam kerangka otonomi khusus telah mengalami modifikasi. Terlepas dari efektif atau tidaknya aktualisasi kewenangan yang d im iliki Pemerintah Provinsi Papua dalam kerangka otonomi khusus, diakui bahwa pembagian kewenangan yang diatur berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 telah memberi ruang adanya kewenangan yang bersifat eksklusif. Bahkan melalui kebijakan Otsus Papua, kewenangan pemerintahan selain dibagikan kepada
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sesuai teori frias politica, iuga dibagikan kepada MRP. Teori trias politica mengintrodusir bahwa lembaga eksekutif memiliki wewenang sebagai pelaksana undang-undang, lembaga legislatif memiliki wewenang sebagai pembuat undang-undang, dan lembaga yudikatif memiliki wewenang sebagai pengawas undang-undang. Mengingat bahwa dalam kerangka Otsus Papua ada wewenang dalam perlindungan hakhak orang asli Papua yang menjadi domain dari MRP, maka teori trias politica dariMonstesquieu juga telah mengalamimodifikasi. Selain itu kebijakan Otsus Papua juga memperkuatteori rumah tangga formal. Teori ini menekankan bahwa rumah tangga atau otonomiadalah keseluruhan daripada urusan-urusan yang diperinci oleh/dengan undang-undang. Penilaian inididasarkan pada kenyataan bahwa urusan yang menjadiwewenang Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi khusus secara terperinci tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001. Dalam hal penyerahan kewenangan dalam kerangka otonomi khusus, modelyang dianut adalah identik dengan teori"otonomiformal", yakni urusan yang diserahkan dan menjadikewenangan daerah adalah sesuaidengan yang telah diperinci dan diatur dalam suatu undang-undang. Hal ini berbeda dengan otonomi biasa yang dianut oleh provinsi lain di lndonesia (kecualiAceh dan Papua). Pada umumnya urusan yang menjadikewenangan daerah sebagaimana dimaksud didasarkan pada anutan teori substansial, yang bersumber dari teori "residu (sisa)", yakni; urusan yang menjadi kewenangan daerah adalah apa yang tertinggal/tersisa belum menjaditugas, wewenang, kewajiban, dan urusan daridaerah otonom yang lebih tinggiatau negara (pemerintah pusat). Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
369
B. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Fungsionalisasi Struktur dan Pelaksanaan Kewenangan Pemerintahan dalam Otonomi Khusus di Provinsi Papua Perubahan struktur, dan kewenangan pemerintahan pada tingkatan manapun, selalu akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana /ocus dari institusi tersebut berada. Faktor lingkungan sebagaimana dimaksud dimaknai sebagai"segala sesuatu yang berada di luar batas organisasi", yang terdiri atas (1) lingkungan luar (external); menggambarkan unsur yang berada di luar organisasi; dan (2) lingkungan dalam (internal); menggambarkan unsur yang berada didalam organisasi. Berdasarkan hasilanalisis yang dilakukan terungkap bahwa setidaknya ada sejumlah faktor yang dipandang berkontribusi secara
signifikan mempengaruhi efektivitas perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dalam pelaksanaan Otsus di Papua. Faktor-faktor sebagaimana dimaksud antara lain: (1) faktor regulasi daerah; (2) faktor keuangan daerah; (3) faktor peraturan perundang-undangan atau kebijakan nasional; (4) faktor politik,
dan (5)faktor sumberdaya aparat.
1. Faktor Regulasi Daerah
Sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan kebijakan otonomi khusus, maka di Provinsi Papua diberlakukan dua bentuk Peraturan Daerah, yakni Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Dalam konteks ini kedudukan Perdasus dan Perdasi adalah sama, artinya yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Perdasus dibuat oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur yang dalam penetapannya harus mendapat pertimbangan dan persetujuan dari MRP. Sedangkan Perdasidibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur. Perdasus maupun Perdasi keduaduanya adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dengan lingkup domain yang berbeda. Untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan dalam Perdasus dan Perdasi pada tahapan implementasi, maka dibentuk Keputusan Gubernur.
Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur merupakan perangkat hukum Daerah yang strategis dalam rangka implementasi UU No. 21 Tahun 2001. Jika pada undang-undang lainnya membutuhkan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk beberapa Peraturan Pemerintah (PP), maka Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 hanya membutuhkan 1 (satu) PP, yaknitentang MRP. Kelambatan dan/atau ketidakmampuan daerah dalam merumuskan Perdasus dan Perdasi akan berimplikasisignifikan terhadap implementasi undang-undang. Berdasarkan
undang-undang tersebut dibutuhkan 11 (sebelas) Perdasus dan 18 (delapan belas) Perdasi.
370
Kajian, Vol. 16, No.2, Juni 2011
Hasil inventarisasiyang dilakukan menunjukkan bahwa Perdasus dan yang Perdasi diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2001 sebagian besar belum dirumuskan. Memang diakui bahwa gubernur dan DPRP telah merumuskan sejumlah Perdasus dan Perdasi, akan tetapisebagian besar bukan merupakan amanat UU No. 21 Tahun 2001, bahkan beberapa substansi dari Perdasus dan Perdasi tersebut tidak sinkron dengan substansi UU No. 21 Tahun 2001.
2. Faktor Keuangan
Daerah
Sejak diberlakukannya kebijakan Otsus Papua, semua pihak sepakat bahwa wilayah Provinsi Papua adalah yang sebelumnya menjadi wilayah Provinsi lrian Jaya. Halinisesuaidengan ketentuan Undang-undang No. 21 Tahun 2001,
Pasal t huruf a. Atas dasar tersebut, dana dalam rangka Otsus Papua dibagi secara berkeadilan antara provinsi dan kabupaten/kota se-Papua. Sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut, maka sejak tahun 2002 sampai dengan
tahun 2007, semua kabupaten/kota se-Papua mendapatkan bagian dari pembagian dana Otsus. Hal initentunya tidak menjadi masalah ketika Inpres No. 1 Tahun 2003 belum dikeluarkan, serta belum diikutidengan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua Barat, dengan terbentuknya DPRD ProvinsiPapua Barat, hasilPemilu 2004 maupun terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubemur Provinsi Papua Barat, hasil Pemilihan Kepala Daerah se€ra langsung (pilkada) tahun 2006. Definitifnya eksistensiwilayah Papua Barat yang telah berubah menjadi ProvinsiPapua Barat, tentunya akan memunculkan permasalahan baru, terutiama terkait dengan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua, yang bersumber dari dana dalam rangka Otsus, untuk membiayai program pembangunan kabupaten/kota diwilayah Papua Barat. Salah satu prinsip dalam penyelenggaraan otonomidaerah adalah batas teritorialsebagai locusnya. Hal inimengandung arti bahwa suatu daerah otonom memiliki batas wilayah dan tidak dibolehkan melampaui batas tersebut kecuali dalam kerangka kerjasama. Dengan demikian, akomodasi program, kegiatan, dan penyediaan dana bagi kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat dalam APBD Provinsi Papua sepertiyang terjadisaat inimerupakan suatu pelanggaran dan kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembagian dan pengelolaan dana dalam rangka Otsus Papua iuga menjadi unsur yang berimplikasi terhadap efektivitas Otsus Papua. Dana dalam rangka Otsus Papua selama t 7 (tujuh) tahun anggaran (2002 s/d 2008), dibagi hanya berdasarkan pada kesepakatian antara Gubernur Provinsi Papua dan para
Bupati/Walikota se-Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Sedangkan pengelolaannya dilakukan berdasarkan pada Peraturan Menteri Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
37
|
Dalam Negeri (Permendagri) yang telah diubah beberapa kali, terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembagian dan pengelolaan dana dalam rangka Otsus Papua selama tahun anggaran 2002 -2008 dilakukan tidak
berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001. Pada prinsipnya Pasal 34 ayat (7) UU No. 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa "Pembagian penerimaan dalam rangka otonomi khusus Papua antiara Provinsi Papua dengan kabupaten/kota se- Papua
diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerahdaerah yang tertinggal." Dalam hal penyusunan, pelaksanaan, perubahan, dan perhitungan, serta pertanggungjawaban ApBD, Pasal 36 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2001 memberi arahan didasarkan pada Perdasi. Akibatnya dana otsus cenderung tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Berdasarkan paparan tersebutdiatas, terbukti bahwa beberapa haldalam kebijakan otonomi khusus yang terkait dengan faktor keuangan ternyata dilakukan tidak berdasarkan uU No. 21 Tahun 2001. Kondisiiniakan berimplikasi negatif terhadap efektivitas Otsus Papua.
3. Faktor Kebijakan Nasional Mengingat bahwa Otsus Papua merupakan suatu kebijakan nasional yang diatur dalam undang-undang, pemerintah pusat merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas efektivitas Otsus Papua. Dengan kewenangan
yang dimiliki, pemerintah pusat dapat melakukan segala hal baik untuk mengefektifkan Otsus Papua atau sebaliknya dapat menghambat efektivitas Otsus Papua. Kehadiran lnpres Nomor 1 Tahun 200314 tentang Percepatan Pelaksanaan Pemekaran Provinsi lrian Jaya sesuai Undang-undang Nomor 45 Tahun 199915 dapat dipandang sebagai suatu kebijakan yang kotroversial. Kebijakan initelah memunculkan paradoksal respon masyarakat dalam konteks lokal, nasional, maupun internasional. Bagi sebagian kalangan masyarakat Papua kehadiran Inpres Nomor 1 Tahun 2003 direspon dengan penuh antusias dan optimistis, karena dinilaisebagaisuatu kebijakan yang bernilaistrategis dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan akselerasi pembangunan didaerah inisecara berkeadilan. Bersamaan dengan itu bagisebagian kalangan lllnpres No. 1 Tahun 2003 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 2003 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, menginstruksikan. kepada perangkat Pemerintah, yakni; Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Provinsi Papua, dan BupatiMalikota se Provinsi Papua. Masuknya Bupati/VValikota se Papua Provinsi Papua Barat-langkah percepatan pemekaran Provinsi lrian Jaya. lsUndang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi lrian Jaya Tengah, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, disahkan oleh Presiden Rl 'Bacharuddin Jusuf Habibie", Pada tanggal 4 Oktober 1 999.
372
Kajian, Vol. 16, No.2, Juni 2011
masyarakat Papua yang lain merespon kebijakan tersebut dengan sikap apatis
dan pesimistis, karena dianggap sebagai kebijakan yang tidak populer, dan menjadi penghalang dalam implementasi Otsus. Menurut kelompok inijika kebijakan tersebut dipaksakan maka secara signifikan akan berimplikasi negatif terhadap implementasiOtsus, yang mengarah pada memburuknya keadaan
(kehidupan) masyarakat sekaligus dapat menjustifikasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kedua kondisi ini merupakan kenyataan yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat di Papua. Menindaklanjuti Inpres ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan Radiogram Nomor 1341221 lSJ16 tertanggal 3 Pebruari 2003 yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua, BupatiMalikota se-Provinsi Papua, dan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri. Inpres No 1 Tahun
2003 dan Radiogram Mendagri yang seharusnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat di Papua, justru telah memunculkan konfl ik norma
antara ketentuan UU No 45 Tahun 1999 dengan Ketentuan UU No 21 Tahun 2001. Kondisi ini bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum, serta kebingungan bagi pejabat publik (pemerintah) provinsi, kabupaten/kota di Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam menjalankan undangundang Otsus Papua. Keterlambatan pemerintah menetiapkan PP tentang MRP juga dianggap sebagai salah satu yang mempengaruhi pelaksanaan Otsus Papua. Dalam kenyataannya sejak diusulkan oleh Gubernur dan DPRP pada tanggal 15 Juli 2002,PP tersebut baru ditetapkan setelah t 2 (dua) tahun mengendap di pihak pemerintah tanpa ada alasan yang jefas. Sebagaiakibatdari keterlambatan ini, tentunya berdampak terhadap efektivitas Otsus Papua. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa beberapa dimensi proses politik dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua sebagai pengejawantahan dari kebijakan Otsus tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Perdasus sebagai instrumen hukum daerah tidak dapat dibuat, karena berdasarkan ketentuan undang-undang, MRP berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus, yang diajukan oleh DPRP. Selain itu komitmen pemerintah untuk memberiperlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua, juga menjadisumir jika MRP belum terbentuk.
r6Radiogram Mendagri No 134/221lSJ, berisikan: (1)seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota agar segera mengambil langkahJangkah operasional yang
relevan; (2) ditegaskan bahwa lnpres Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya UU.No.21 Th 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua;(3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/ Bupati melapor kepada Menteri Dalam negeri atas persiapan langkahJangkah tersebut dalam waktu selambatnya dua minggu.
Kontekstuatisasi Pelaksanssn
.....
373
Dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2008, yang telah ditetapkan sebagai UU No. 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atias UU No. 21 Tahun 2001, juga dianggap sebagaisuatu kebijakan yang kontraproduktif. Materi muatan dalam UU No. 35 Tahun 2008, yang semula diharapkan mampu menjadi instrumen penyelesaian masalah Provinsi Papua Barat dalam kerangka otsus, ternyata faktanya tidak demikian. uu No. 35 Tahun 2008 sebagaimana dimaksud hanya mengatur dua hal yaitu (1) menegaskan bahwa Provinsi Papua adalah provinsi lrian Jaya yang sekarang menjadi Provinsi Papua dan Provinsi papua Barat; (2)
pemilihan kepala daerah di Provinsi Papua dilaksanakan secara langsung. Padahal ketika Perpu tersebut dibuat, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang, banyak masalah dalam kerangka pelaksanaan kebijakan Otsus yang mengemuka di Papua, yang diharapkan dapat terakomodir penyelesaiannya
melalui Perpu dan/atau undang-undang tersebut. Beberapa masalah yang mengemuka antara lain: (1) bagaimana dengan kedudukan MRP, apakah hanya satu atau ada disetiap ibukota provinsi? (2) bagaimana dengan penambahan jumlah kursi DPRD Papua Barat, apa dasar hukumnya? (3) bagaimana dengan teritorial keberlakuan Perdasus, apakah di Papua saja atau juga di Papua Barat? (4) bagaimana dengan pembagian dana Otsus, apa dasar hukum dana Otsus dibagi 70% untuk Papua dan 30% untuk Papua Barat? (5) bagaimana dengan kewenangan Gubernur Papua Barat terhadap sejumlah kewenangan pusat (politik luar negeri, pertahanan-keamanan, fiskal-moneter, yustisia, & agama)?, serta sejumlah permasalahan lain. Berdasarkan berbagai uraian sebagaimana tersebut di atias, maka jelaslah bahwa pemberlakuan UU No. 35 Tahun 2008 tidak mampu mengakomodir berbagai permasalahan yang mengemuka dalam proses implementasi kebijakan
Otsus Papua. Undang-undang tersebut sangat dangkal dan tidak dapat diposisikan sebagai instrumen yang dapat mendorong efektivitas implementasi kebijakan Otsus Papua sesuaidengan perkembangan dan fakta politik kekinian di Papua (adanya Provinsi Papua & Provinsi Papua Barat). Undang-undang tersebut juga tidak memperhatikan perkembangan Papua di masa datang, dan karenanya dapat dikatakan bahwa spektrum dari undang-undang dimaksud sangat sempit dan tidak prospektif. Hal initerbukti ketika sampai hari ini beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua Barat sebagaimana dikemukakan diatas masih terus mengemuka.
4. Faktor Politik
Silang pendapat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan masyarakat Papua mengenai eksistensi Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik lndonesia hingga saat ini masih mengemuka.
374
Kajian, Vol.16, No.2, Juni 2011
Pemerintah Pusat melalui DirektoratOrganisasi Internasional Departemen Luar NegeriTahun 1998, berpendapat bahwa masalah keabsahan lrian Jaya/Papua
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik lndonesia telah selesai. Pelaksanaan penentuan nasib sendiridi lrian telah dilakukan secara demokratis dan transparan serta telah melibatkan masyarakat lrian Jaya melalui proses konsultasi mengenai cara dan pemberian suara dalam Pepera (Penentuan
Pendapat Rakyat). Seluruh proses Pepera telah melibatkan partisipasi, pemberian nasehat, dan bantuan PBB yang pada gilirannya mendapatkan pengesahan masyarakat internasional (Majelis Umum PBB). Dengan demikian Pepera sebagai suatu pelaksanaan penentuan nasib sendiri tidak cacat hukum. Pendapat berbeda terungkap dalam Kongres ll Papua hasil Komisi Pelurusan Sejarah dirumuskan beberapa pokok penting sebagai berikut; "... Pasal XVllf ayat d New York Agreement mengatur bahwa "The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of selfdetermination to be carried out in accordance with international practice ...". Aturan ini berarti bahwa penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada
saat penandatangan New York Agreement. Hal ini dalam prakteknya tidak dilaksanakan, yang dibuktikan dengan pertama, penentuan nasib sendiri dilakukan oleh suatu badan ditiap kabupaten yang disebut Dewan Musyawarah Pepera yang keanggotaannya langsung ditunjuk oleh pemerintah lndonesia. Dari 815.906 penduduk (diperkirakan 600.000 orang dewasa) yang ditunjuk langsung hanya 1.026 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera. Dari ke1.026 orang tersebut yang ditunjuk hanya 175 orang untuk menyampaikan pendapatyang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Kedua, masyarakat Papua yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatanganan New York Agreement adalah penduduk Papua, tidak diberikan kesempatan untuk ikut
serta dalam penentuan nasib sendiri; Ketiga, tidak dilaksanakannya hak penentuan nasib sendiri sesuaidengan PasalXVlll ayat d New YorkAgreement, menurut pemerintah Indonesia, dikarenakan oleh tiga alasan: (1) keprimitifan penduduk untuk dapat melakukan pemilihan secara demokratis menurut praktek modern; (2) kesulitan transportasi; dan (3)faktor-faktorgeografis, alasan seperti initidak bisa diterima. Silang pendapat sebagaimana tersebut sampai saat ini
masih terus berlangsung dan mengemuka dalam berbagai kesempatan, yang dipelopori oleh berbagai pihak khususnya Presidium Dewan Papua dan Dewan Adat Papua. lsu tentang sejarah integrasi Papua masih sering dijadikan alat propaganda politik. Hal ini akan menimbulkan kontraproduktif bagi'efektivitas pelaksanaan Otsus Papua.
Keberhasilan Pemilu 2004 ternyata juga meninggalkan sejumlah implikasi terhadap kebijakan Otsus Papua. Beberapa persoalan yang Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
37 5
mengemuka dalam proses pelaksanaan Pemilu 2004 yaitu: (1) Komisi Pemilihan Umu m (KPU) dalam ketetapannya mengenai daerah pemilihan, membagi daerah pemilihan di Papua menjadi dua, yaknidaerah pemilihan Papua dan daerah
pemilihan Papua Barat. Pembagian ini tentunya berimplikasi terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Hal ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 1 huruf a UU No. 21 Tahun 2001, Provinsi Papua adalah Provinsi lrian Jaya yang
diberiotonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya bahwa wilayah Provinsi Papua meliputiseluruh wilayah yang sebelumnya
bernama lrian Jaya, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UU No. 21 Tahun 2001. lni berarti bahwa penetapan KPU tersebut nyata-nyata bertentangan
dengan UU No. 21Tahun2001; (2) Berdasarkan keputusan KPU, maka kursi untuk calon anggota DPR Rl untuk daerah pemilihan Papua 10 kursisedangkan untuk daerah pemilihan Papua Barat 3 kursi. Penetapan ini tidak hanya bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, tetapijuga bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Dalam penjelasan Pasal48,
t
huruf b UU No. l2Tahun 2003, disebutkan bahwa "Jumlah kursi untuk anggota DPR pada setiap provinsi dialokasikan tidak kurang darijumlah kursi provinsi sesuai Pemilu 1999'. Jika KPU konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan ketentuan ini, maka jumlah kursi untuk anggota DPRP daerah pemilihan Provinsi Papua adalah 13 kursi bukan 10 kursi (Pemilu 1999 jumlah kursi untuk anggota DPR daerah pemilihan lrian Jaya adalah 13 kursi); (3) penetapan jumlah kursi untuk DPRP sebanyak 56 kursi (45 kursi berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 dan 11 kursi berdasarkan UU No. 21 tahun 2001), telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berbeda
ayat
dengan penetapan 44 kursi bagi DPRD Provinsi Papua Barat (35 kursi berdasarkan UU No. l2Tahun 2003 dan 9 kursi berdasarkan UU No. 2l Tahun 2001). Penetapan kuota kursi ini nyata-nyata bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, karena berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat(4) UU No.21 Tahun 2001, disebutkan: "Jumlah anggota DPRP adalah 1/, (satu seperempat) kali darijumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diaturdalam peraturan
perundang-undangan". Pasal ini menunjukan bahwa jumlah 1/, (satu seperempat) kali hanya diberlakukan pada DPRP bukan DPRD Papua Barat. Iniberartipenambahan kuota kursi(9 kursi) bagi DPRD Provinsi lrian Jaya Barat nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001.
Pelaksanakan pilkada juga dilaksanakan dengan mekanisme dan proseduryang tidak sesuai dengan UU No.21 Tahun 2001 maupun UU No. 32 Tahun 2004. Jika proses pilkada dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001, maka yang berhak untuk memilih adalah anggota DPRP (sesuai Pasal 7 huruf a). Jika berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, maka yang berhak memilih adalah rakyat dan KPUD merupakan lembaga penyelenggara tunggal
376
Kajian, Vol. 16, No.2, Juni 2011
dan independen, tanpa melibatkan pihak lain, seperti DPRP dan MRP. Disadari
bahwa dalam pelaksanaan pilkada di Provinsi Papua untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, pemerintah pusat bermaksud untuk memadukan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 dan UU No. 32 Tahun 2004 secara bersamaan. Maksud ini patut dihargai sepanjang tidak bertentangan dengan materi muatan dari kedua undang-undang tersebut. Akan tetapijika penerapan kedua undang-undang ini nyata-nyata kontradiKil hal ini patut menjadi
koreksi. Karena dasar penyelenggaraan pilkada tahun 2006 di Provinsi Papua untuk memilih gubernur dan wakil gubernur adalah PP No. 6 Tahun 2005. Pemilihan Gubernurdan WakilGubernurdi Provinsi Papua Barat juga tidak didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004. Jika pelaksanaan pilkada didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 20M, maka pelaksanaannya
dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan KPUD bertindak sebagai penyelenggara satu-satunya sec€rra independen.Apabila pilkada di Provinsi Papua Barat didasarkan pada PP No. 6 Tahun 2005, maka prosedur dan mekanismenya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 141 PP tersebut. Dalam ketentuan Pasal 141 PP No. 6 Tahun 2005, disebutkan bahwa: "Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur hasil pemekaran di Provinsi Papua sebelum dikeluarkan PP Nomor 54 Tahun 200417, dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah diselesaikannya Pasal 73 PP Nomor 54 Tahun 2004.18 Pemilihan gubernur dan wakil gubernur sebagaimana dimaksud, dilaksanakan setelah terbentuknya MRP sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (1) PP Nomor 54 Tahun 2004.1e Dalam halMRP sebagaimana dimaksud belum terbentuk, penetapan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi calon gubernur dan wakil gubernur pada pemilihan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh DPRD Provinsiyang bersangkutan." Ketentuan PP sebagaimana dimaksud dalam pilkada untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat ternyata dikesampingkan. Pilkada yang diselenggarakan di Provinsi Papua Barat untuk memilih gubernur dan wakil Gubernur dilakukan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 secara acak dan tidak konsisten. Jika ditelaah
dan dikaji Secara cermat mekanisme pelaksanaan pilkada untuk memilih
disahkan Presiden pada tanggal 23 Desember 2004. ls Pasal 73, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 menyebutkan: "MRP bersama Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua '7 Peraturan Pemerintah
Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk bertugas dan bertanggung jawab untuk membantu Pemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP." 1e Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004, menyebutkan: " Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru, dibentuk MRP yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi."
Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
377
Gubernur dan wakilGubernur Provinsi Papua Barat, dapat dikatakan bahwa proses yang dilakukan nyata-nyata tidak berlandaskan pada ketentuan uu No. 21 Tahun 2001, UU No. 32 Tahun 2004, dan PP No. 6 Tahun 2005. Terkait dengan MRP, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 22A-982 Tahun 2005, tanggal29 Oktober20AS untuk pertama kalinya 42 orang anggota terpilih disahkan pengangkatannya sebagai anggota MRp periode 2005-2010. Dalam perkembangannya berselang 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah/janji (oktober 2005), MRP dituntut untuk melaksanakan
salah satu tugas dan wewenangnya yaitu memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakalcalon Gubemurdan Wakil Gubernur Provinsi papua. MRP melaksanakan tugas dan wewenangnya tanpa mempertimbangkan faktor
prosedur dan mekanisme, yang seharusnya diatur dalam sebuah perdasus (berdasarkan Pasal 20 ayat(2) uU No. 21 Tahun 2001. Ini adalah awat kontroversi keputusan MRP. Karena tidak didasarkan pada Perdasus, maka dalam menilai bakal calon gubernur dan wakil gubernur orang asli Papua atau bukan, MRp membuat batasan orang asli Papua berdasarkan pertimbangannya sendirisecara
subjektif, padahal MRP secara politis maupun yuridis bukan lembaga yang berwenang membuat aturan yang mengikat ke luar. Rumusan kriteria orang asli Papua versi MRP adalah: (1) seseorang yang bapak dan ibunya asli papua (ras
melanesia); (2) seseorang yang bapaknya asli Papua (ras melanesia); (3) seseorang yang mempunyai basis kultur Papua. Rumusan ini mengandung
pengertian bahwa pendekatan yang digunakan MRP untuk menetapkan seseorang asli Papua atau bukan adalah pendekatan "patilinief'(berdasarkan keturunan bapak). Pilihan terhadap pendekatan ini tidak berdasar dan nyatanyata bertentangan dengan ketentuan UU No. 21 Tahun 2001, Pasal t huruf t. Pengertian orangAsli Papua dalam konteks uu No. 21Tahun2001 tidak dibatasi
berdasarkan keturunan bapak semata (patrilinier) tetapi juga berdasarkan keturunan ibu (matrilinierl. UU No. 21 Tahun 2001 juga tidak pernah membatasi
tingkatan keturunan, bahkan undang-undang juga memberi ruang bagi orang lain (bukan rumpun ras melanesia suku-suku asli di Papua), untuk diakui dan diterima menjadi orang asli Papua oleh masyarakat adat. Konsepsi orang asli Papua sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut pada hakikatnya dapat dikategorikan dalam 2 (dua) jenis, yakni: (1) kategori orang asli Papua berdasarkan pada aspek keturunan atau genetika (ras melanesia suku-suku aslidi Papua). Kategori iniseharusnya dimaknai bahwa seseorang bisa dikatakan asliapabila kedua orang tuanya atau salah satu dariorang tuanya
(bapaUibu) berketurunan ras melanesia tanpa mempersoalkan tingkatan keturunannya; (2) kategoriorang asli Papua berdasarkan pada aspek penerimaan dan pengakuan oleh masyarakatadattertentu. Kategoriiniseharusnya dimaknai
bahwa seseorang dapat disebutkan asli Papua apabila ada penerimaan dan
378
Kajian, Vol.16, No.2, Juni 2011
pengakuan dari masyarakat adattertentu. Penerimaan dan pengakuan tersebut harus pula berdasarkan pertimbangan tertentu yang merupakan indikatornya. Setain itu dalam proses penilaian bakalcalon gubernur dan/atau wakil gubernur asli Papua atau bukan, mekanisme yang dipakai MRP adalah melalui cara voting. Hal ini tentunya menjadi catatan kelabu bagi demokrasi di Papua,
sekaligus bagi keberadaan MRB karena suatu hal yang sangat riskan jika keturunan seseorang ditentukan atas pilihan orang lain yang berada di luar masyarakat hukum adatyang memilikihak kolegial, serta dilakukan berdasarkan suara terbanyak (voti ng). Setelah memasukitahun kelima sejak diresmikan tahun 2005, MRP nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan cenderung melakukan hal-halm di luar tugas dan wewenangnya, yang bermuara pada hal-hal yang kontra produktif. Kontroversi keputusan MRP kembaliterjadi ketika dipenghujung tahun 2009, dikeluarkannya SK MRP No. 14lMRP 12009, yang intinya mengatur bahwa dalam pilkada calon bupatiAlrrakil bupati dan walikota/wakilwalikota harus orang
Asli Papua. Mencermati materi muatan dalam SK MRP tersebut terungkap bahwa dasar dikeluarkannya SK tersebut adalah ketentuan UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1) huruf f dan penjelasannya. Pasal ini memberikan arah bahwa salah satu tugas dan wewenang MRP adalah memberi pertimbangan kepada DPRD Kabupaten/Kota, mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan MRP kepada DPRD Kabupaten/Kota dalam hal penentuan bakal calon bupati/wakil bupati dan walikotaiwakil walikota. Harus diingat bahwa ketentuan tersebut lahir ketika design pemilihan kepala daerah kabupaten/ kota dilakukan oleh DPRD kabupaten/kota berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, Bab V Bagian Kedua, Pasal 18 huruf a, dimana DPRD mempunyaitugas dan wewenang memilih gubernur/wakilgubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/ wakilwalikota. UU No. 22 Tahun 1999 telah digantidengan UU No. 32 Tahun
2004. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Bab lV, Bagian keempat, Pasal24 ayat (5) pemilihan kepala daerah tidak lagi menjaditugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota, tetapi menjadi domain rakyat yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten/Kota. Oleh karenanya SK MRP No. 14|MRP/2009 secara politis tidak memiliki kekuatan mengikat. Apalagi dalam SK tersebut sekali lagi MRP
mengulangi kekeliruan seperti yang terjadi pada tahun 2005' dengan merumuskan batasan orang asli Papua secara subjektif, berdasarkan pertimbangan keturunan bapak (patil in ier).
Sejumlah keputusan yang dibuat oleh MRP cenderung kontroversial dan bahkan bertentangan dengan amanat UU Otsus Papua, bahkan MRP dinilai sering merambah ke ranah politik bukan ranah budaya,
20
Kontekstuatisasi Petaksanaan
.....
379
Pada tanggal 18 Juni 2010, MRP bersama sejumlah komponen masyarakat Papua antara lain Dewan Adat Papua, Presidium Dewan Papua, Forum DemokrasiRakyat Papua Bersatu, dan Solidaritas Perempuan Papua, melakukan longmarch ke DPRP menyerahkan hasil "Mubes". Hasil "Mubes" dimaksud dirumuskan dalam bentuk Keputusan MRP No. 02/MRP/2010 tentang
Hasil Musyawarah MRP dan Masyarakat Asli Papua dalam rangka Pertanggungjawaban Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001, yang ditujukan kepada sejumlah pihak untuk ditindaklanjuti, antara lain: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah ProvinsiPapua dan Papua Barat; (3) DPRP dan DPRD Papua Barat; (4) Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Papua dan Papua Barat; (5) DPRD Kabupaten/Kota se papua dan Papua Barat; (6) lembaga keagamaan, Lembaga Adat, serta Lembaga Perempuan, LSM dan komunitas pemerhati masalah-masalah sosial di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dalam keputusan MRP tersebutterlampir rekomendasi bahwa UU No. 21 Tahun 2001 selama 9 tahun telah GAGAL, oleh karena itu (1) bahwa UU Otsus dikembalikan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia;(2) bahwa Rakyat Papua menuntutdilakukannya'DIALOG'yang dimediasioleh pihak internasional yang netral; (3) bahwa Rakyat Papua menuntut dilakukannya'REFERENDUM' menuju kebebasan politik; (4) bahwa Rakyat Papua menuntut Pemerintah Negara
Republik Indonesia untuk mengakui dan mengembalikan Kedaulatan Bangsa Papua Barat, yang telah diploklamirkan pada tanggal 1 Desember 1961;(5) bahwa Rakyat Papua mendesak Dunia Internasional untuk melakukan Embargo Bantuan lnternasonaldalam pelaksanaan Otonomi Khusus diTanah Papua; (6) bahwa dipandang tidak perlu melakukan revisiterhadap UU No. 21 Tahun 2001 jo UU No. 35 tahun 2008, karena telah terbuktigagal; (7) bahwa seluruh proses Pemilukada Kabupaten / Kota se-Tanah Papua dihentikan, serta menyerukan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, DPRP, DPRD Papua Barat, Bupati, Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua untuk segera menghentikan penyaluran dana dalam rangka pelaksanaan Pemilukada; (8) bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan Papua Barat serta seluruh Kabupaten/Kota se-Tanah Papua harus menghentikan program transmigrasi dari luar Papua serta melakukan pengawasan ketatterhadap arus migrasi penduduk dari luarTanah Papua (9) Bahwa Rakyat Papua mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP serta Pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPRD Papua Barat untuk melakukan Pembebasan TerhadapTapol/Napol Papua yang ada dilembaga pemasyarakatan diseluruh Indonesia; (10) bahwa Pemerintah Pusat dengan segera melakukan Demiliterasisasi di seluruh Tanah Papua; ('tl) bahwa Musyawarah MRP dan MasyarakatAsli Papua mendorong untuk PT. Freeport Indonesia segera ditutup.
380
Kajian, Vol. 16, No.2, Juni 2011
Kegiatan yang dilaksanakan MRP tersebut dapat bermakna positif bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Papua, jika diletakkan pada koridoryang benar, secara proseduralmaupun fungsional. Evaluasikinerja MRP ataupun evaluasi pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 merupakan suatu keniscayaan, sebagai upaya perbaikan atau pembaharuan menuju optimalisasi pencapaian tujuan. MRP adalah lembaga resmi pemerintah (suprastruktur politik), oleh karena kedudukannya, maka MRP dalam berpendapat atau menyalurkan aspirasi masyarakat harus menggunakan jalur resmi pemerintahan, bukan jalur
seperti "demonstrasi".
6. Sumberdaya Aparatur Perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan dalam otonomi khusus akan menjaditidak berarti kalau tidak didukung oleh pefformance aparatur
pemerintahan yang handal. Aparatur pemerintahan yang dimaksudkan dalam konteks ini tidak secara mikro dan statis, yakni terbatas pada jajaran pemerintah daerah atau perangkat daerah, tetapi bersifat makro, termasuk pihak DPRP dan MRP. Untuk memotret kondisiaparatur pemerintahan di Provinsi Papua dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka setidaknya dapat digunakan indikator, tingkat pendidikan dan pangkaVgolongan. Data yang ada memberi gambaran bahwa 54,27o/o aparat pemerintah provinsi dan kabupaten atiau kota berpendidikan dasar.21 Selain pendidikan konfigurasi aparat pemerintah ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota ditinjau dari golongan kepangkatan juga menunjukan kondisi yang tidak jauh berbeda, artinya bahwa sebagian aparat pemerintah yang berstatus pegawai
negeri sipil otonom provinsi dan kabupaten atau kota hanya bergolongan kepangkatan I dan ll (48,56%). Sedangkan yang bergolongan lV sangat terbatas hanya berjumlah 3.879 orang atau setiara dengan 7,99o/o. Anggota MRP yang berpendidikan setingkat sekolah menengah (SLTP dan SLTA) sebanyak 21 orang (50,00%). Dan anggota DPRP yang berpendidikan setingkat sekolah menengah (19,65%). Potret aparatur penyelenggaraan pemerintiahan sebagaimana tersebut
tentunya akan berimplikasi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang khususnya dalam rangka fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan.
Dalam konteks dengan pelaksanaan Otsus Papua, maka perubahan struktur dan kewenangan saja tidak bermakna jika tidak diikuti dengan perubahan
mainstream yang diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku para aparatur terutama di kalangan elit. Aparatur harus sadar bahwa untuk mendorong efektivitas
2lBadan Pusat Statistik Provinsi Papua, Papua Dalam Angka Tahun 2009, Jayapura
Kontekstuatisasi Pelaksanaan
.....
381
pelaksanaan otonomi khusus, maka diperlukan serangkaian penataan. Penataan
dimaksud mencakup melakukan redefinisi, reorientasi, restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi sejumlah elemen dasar dalam proses pemerintahan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa peftama, pemberlakuan kebijakan
otonomi khusus telah mengakibatkan perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di provinsi Papua. Fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan dalam otonomikusus di Provinsi Papua berimplikasi terhadap sistem pemerintahan di Papua. Pranata suprastruktur politik dalam sistem pemerintahan yang berperan pada ranah proses atau konversi dan output tidak hanya terbatas pada legislatif (DPRP) dan eksekutif (Pemerintah Daerah) tetapijuga ada lembaga representasi kultural(MRP) dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Ini berarti, sistem politik di Provinsi Papua dalam kerangka otonomi khusus berbeda dengan pandangan teori "sistem politik" yang umunya berlaku yang menempatkan legislatif dan eksekutif sebagaiaktor dalam kelembagaan suprastruktur politik. Hal ini juga menunjukkan bahwa kewenangan pemerintahan otonomi khusus tidak hanya menjadi domain legislatif, eksekutif dan yudikatif sepertiteori"trias politica", tetapijuga menjadi domain lembaga representasikultural. Dalam perspektif ini Pemerinhhan daerah tidak hanya terdiridari Pemerintah Daerah (Gubemurdan jajarannya) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRP), tetapijuga Majelis Rakyat Papua (MRP). struktur dan kewenangan kelembagaan politik resmi (suprastruktur politik) di Provinsi Papua dapat diformat dalam istilah "catur politika", karena terdiri dari4 (empat) unsur, yakni: ('1) Pemerintah Daerah (kewenangan eksekutiD; (2) Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (kewenangan legislatif); (3) Majelis Rakyat Papua (kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua), dan (4) Lembaga Peradilan (kewenangan yudikatif).
Kedua, fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan pemerintahan dalam Otsus Papua dipengaruhioleh beberapa faktor dominan: (1) faktor regulasidaerah; (2) faktor keuangan daerah; (3) faktor kebijakbn nasional; (4) faktor politik; dan (5) faktor sumber daya aparatur. Ketidakoptimalan
aktualisasi faktor-faktor tersebut berkorelasi secara signifikan terhadap optimalisasistrukturdan kewenangan pemerintahan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam kerangka implementasi Otsus. Kondisi ini telah pula
382
Kajian, Vol.16, No.2, Juni 2011
berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal
melayani (service), membangun (development) dan memberdayakan (e m powe
rme nt) masyarakat men uj u sejahtera.
B. Rekomendasi Penelitian ini merekomendasikan p ertam a, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Otsus, perlu segera dilakukan rekayasa ulang struktur pemerintahan di Provinsi Papua dalam konteks substansial. Sehubungan dengan itu pertu
dirumuskan norma sebagai landasan operasionalisasi fungsi dan hubungan otoritas masing-masing pranata suprastruktur politik, termasuk hubungan antiara
pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Selain itu dalam merespon perkembangan dinamika sosial politik dan kemasyarakatan di Papua dan untuk menjamin terktualisasinya komitmen politik Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka akselerasi pembangunan dan perlindungan hak-hak masyarakat menuju sejahtera melalui kebijakan Otsus Papua, maka perlu dilakukan "rekonstuksi" terhadap UU No.21 Tahun 2001. Undang-undang tersebut dipandang sudah tidak mampu mengakomodir dan mengantisipasi tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, terutama dalam perspektif struktur dan kewenangan.
Kedua, untuk menjamin efektivitas implementasi kebijakan otonomi
khusus terutama dalam upaya fungsionalisasi struktur dan pelaksanaan kewenangan, maka pasca rekonstruksi UU No. 21 Tahun 2001 perlu segera dibenahi sejumlah faktor strategis dalam konteks implementasi otsus, yakni: dirumuskan dan diberlakukan regulasi daerah yang memadai, sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di wilayah Papua, serta perlu adanya grand design (masterplan) pembangunan Papua dalam kerangka otonomi khusus.
Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
383
DAFTARPUSTAKA Buku: Agus Dwiyanto, dkk, ReformasiTata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, 2003,Yogyakarta.
Agus Pramusinto, Erwan Agus Purwanto (Ed), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Otonomi Daerah di Indonesia, Gava Media, 2009, Yogyakarta. Agus Sumule, (ed), Mencari Jalan Tengah, Grasindo, 2004, Jakarta. Bayu, Surianingrat, DesentralisasidanDkonsentrasi Pemerintahan dilndonesia Suatu analisa, DewaruciPress, 1981, Jakarta. Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan ModelAplikasi, Raja Grafindo, 2003, Jakarta.
David Osborne, Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, 1 997, Jakarta. David Osborne, Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, 1 996, Jakarta. Gabriel lglesias, Regionalization and Regional Development in the Philippines, UP-CPA, 1978, Manila.
Joehermansyah Johan, Pembuatan Kebijakan Otonomi Daerah Bermuatan Budaya Lokal (Studi tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua (Disertasi), PPS Unpad,2004, Bandung. Joh n Naisbitt, M eg atre n ds 2000, Binarupa Aksara, 1 990,
J
akarta.
J. Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organlsasi Publik dan Organisasi N on profit, Grasindo, 1 996, J akarta. Miftah Thoha, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosadan lntervensi, Rajawali Press, 1993, Jakarta. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar llmu Politik (Edisi Revisi), Gramedia Pustaka Utama, 2008,Jakarta. Mohammad Musa'ad, Penguatan Otonomi Daerah di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi, ITB Pres, 2002, Bandung. , MenguakTabir Otsus Papua, ITB Press, 2004, Bandung. P. Stephen Robbins, TeoriOrganisasi: Struktur, Desain, Aplikasi; alih bahasa Lukman Hakim, RajawaliPress, 1994, Jakarta. Sarundajang, S.H., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, 1999, Jakarta. Solossa, Ofsus Papua; Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Sinar Harapan, 2006, Jakarta.
384
Kajian, Vol.16, No.2, Juni 2011
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Alfabeta, 2006, Bandung. Varma, SP. TeoriPolitik Modern, RajawaliPress, 2003, Jakarta Wibowo, M an aje me n Pe rubah an, RajaGrafindo Persada, 2006, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan: Ketetapan MPR Republik Indonesia 1999 beserta GBHN 1999-2004, Citra Umbara, Bandung. Ketetapan MPR Republik Indonesia 2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Setneg Rl, Jakarta. Undang-undang Nomor45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi lrian Jaya Tengah, Propinsi lrian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, Setneg Rl, Jakarta. Undang-Undang Nomor2l Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagiProvinsi Papua, Setneg Rl, Jakarta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Setneg Rl, Jakarta. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 menjadi Undang-undang, Setneg Rl, Jakarta. PP Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua, Setneg Rl, Jakarta. PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Setneg Rl, Jakarta. Perpu Nomor 1 tahun 2008Tentang Perubahan atias UU Nomor2l Tahun 2001,
Setneg Rl, Jakarta.
Kontekstualisasi Pelaksanaan
.....
385