62 ANALISIS KRITIS ATAS PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM: STUDI KASUS PADA TIGA DESA DI PULAU LOMBOK CRITICAL ANALYSIS OF LOCAL INSTITUTIONS’ ROLES IN NATURAL RESOURCE MANAGEMENT: A CASE STUDY AT THREE VILLAGES OF LOMBOK ISLAND Siti Nurjannah Fakultas Pertanian Universitas Mataram ABSTRAK Perilaku destruktif manusia atas sumberdaya alam, khususnya hutan tampak semakin mencemaskan dalam beberapa tahun belakangan ini. Kasus illegal logging, perambahan dan penyerobotan lahan hutan terus berlangsung, yang kemudian berujung pada terjadinya degradasi hutan, erosi, berkurangnya debit dan jumlah mata air. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa secara kritis keberadaan dan peran kelembagaan local dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan. Penelitian ini dilakukan di tiga desa di pulau Lombok, yaitu Desa Rempek (Lombok Barat), Aik Berik (Lombok Tengah), dan Sugian (Lombok Timur). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan strategi studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan adanya kelembagaan lokal pada ketiga desa penelitian. Kelembagaan lokal di desa Rempek dan Aik Berik belum berperan banyak dalam pengelolaan sumberdaya hutan sedangkan di desa Sugian kelembagaan lokal dianggap telah berperan secara nyata dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam. Keterbatasan kapasitas kelembagaan lokal dianggap sebagai penyebab dari kurang berperannya lembaga lokal. Selain itu, keterbatasan pembinaan oleh lembaga terkait dianggap berpengaruh pada terbatasnya peran kelembagaan lokal. Atas dasar temuan ini maka perlu dilakukan penelitian yang lebih luas untuk menganalisa secara kritis tentang keberadaan dan potensi kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. ABSTRACT Destructive people’s behavior toward natural resources has led to critical issues of natural resource management, especially in the last few years, where the new government reform and local autonomy taking place. Cases of illegal logging and forest encroachment are continues and these have led to serious forest degradation, forest land erosion, and even a significance decrease of springs and water supply. The aims of this study are to critically analyse the existence of local institutions, to analyse the profile and roles of local institutions in natural resource management such as forest management, and to identify local people’s perceptions of factors contribute to local institutions’ roles in natural resource management. This research was carried out at the three villages of Lombok Island, namely, Rempek village (West Lombok), Aik Berik (Central Lombok), and Sugian (East Lombok). A qualitative method and case study strategy were applied to this study. The results of the study indicate that in all selected villages there have been some types of local institutions (either in form of community-based organizations or norm and regulations). This study found that local institutions at Rempek and Aik Berik villages have not played significant roles in natural resource management while the local institutions at Sugian village had been perceived as having some roles in resource management. Lack of local institutions’ capacity was perceived as one key factor contributed to the lack of strategic roles played by local institutions. There are some external factors perceived as contributing to the poor roles of the local institutions, such as lack of government support and supervision. On the basis of these findings, there is a need to explore more and broad research activities to identify local institutions and their roles in natural resource management. The outputs of these research activities could be used to construct new specific local knowledge of Lombok local institutions. _____________________________
Kata kunci : kelembagaan lokal, pengelolaan, sumberdaya alam Keywords : local institutions, management , natural resource PENDAHULUAN Perilaku destruktif manusia atas sumberdaya alam, khususnya hutan tampak semakin mencemaskan dalam beberapa tahun belakangan ini, Siti Nurjannah: Analisis Kritis atas …
terlebih setelah era Reformasi dan Otonomi Daerah. Kasus illegal logging, perambahan dan penyerobotan lahan hutan terus berlangsung, yang kemudian berujung pada terjadinya
63 degradasi hutan, erosi, berkurangnya debit dan jumlah mata air. Perubahan-perubahan ini mengancam keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan (Muktasam et al., 2003: WWF, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram menunjukkan paling tidak ada empat persoalan pokok pengelolaan hutan di pulau Lombok, yaitu (1) persoalan Bio-fisik; terus berlanjutnya pencurian kayu atau illegal logging, erosi, berkurangnya jumlah dan debit mata air; (2) persoalan ekonomi pada masyarakat sekitar hutan – terbatasnya lapangan kerja, pengangguran, rendahnya produktivitas lahan, rendahnya harga produk pertanian, dan rendahnya pendapatan dan kemiskinan; (3) persoalan sosial – rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya konservasi dan pengelolaan hutan, terbatasnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, dan berkembangnya persepsi negatif terhadap hubungan dan interaksi manusia dengan hutan; dan (4) persoalan kebijakan – belum jelasnya kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan, terbatasnya sosialisasi kebijakan, dan terbatasnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan, formulasi dan implementasi kebijakan (Muktasam et al., 2003: Muktasam et al., 2006: WWF, 2004: PAR Rinjani, 2004). Pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah “Apa yang sedang terjadi dengan ‘lembaga masyarakat’, yang lingkungan alamnya terus terdegradasi?” Jika “lembaga” dipandang sebagai “norma/aturan” yang seharusnya menjadi “pedoman berperilaku” dari suatu komunitas atau juga sebagai “wadah” yang menghimpun kebersamaan dalam mendorong tindakan kolektif, pertanyaannya adalah “apakah sedang dan telah terjadi pengabaian atas kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam masyarakat?” sehingga perilaku destruktif manusia atas lingkungannya terus berlangsung? Hasil penelian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram menunjukkan terus berlangsungnya pengrusakan hutan di berbagai kawasan di pulau Lombok. Di Lombok Barat diidentifikasi terus berlangsungnya perambahan hutan oleh masyarakat di kawasan hutan eks Hak Penguasaan Hutan (HPH), yang tidak saja berusaha untuk menebang kayu tetapi juga berusaha untuk menguasai lahan hutan dan bermukim di dalamnya (Muktasam et.al., 2003). Permasalahan yang sama juga ditemui di kawasan hutan Lombok Tengah dan Lombok Timur. Masyarakat terus merambah hutan untuk kepentingan ekonomi dengan mengambil kayu
dan bercocok tanam di kawasan hutan. Di kedua kabupaten ini, masyarakat bahkan menyerobot hingga ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (Muktasam et.al., 2003). Fakta lain yang juga perlu dikaji dalam penelitian ini adalah pengrusakan hutan mangrove pada beberapa kawasan pesisir di Lombok Timur (P3P, 2005). Permasalahan-permasalahan ini menjadi dasar bagi perlunya pengkajian secara kritis hubungan antara “kelembagaan”1, masyarakat dengan “perilaku destruktif” terhadap sumberdaya alam. Apakah pernah ada atau masih ada “kelembagaan” dalam masyarakat yang seharusnya dapat menjadi acuan berperilaku atau wadah kolektif dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam? Kalau pun ada, kenapa kelembagaan (sebagai norma/aturan dan wadah) tidak mampu mengarahkan perilaku masyarakat dalam mengelola dan memelihara kelestarian sumberdaya alam seperti hutan? Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengkaji secara kritis keberadaan “lembaga” dalam masyarakat”, baik dalam artian “wadah” maupun dalam artian “aturan dan norma”; (2) menganalisa profil dan peran lembaga masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam, dan (3) menelusuri faktorfaktor penjelas bagi ketidakberdayaan lembaga masyarakat dalam mengarahkan dan membentuk perilaku positif terhadap lingkungan alam. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di tiga desa kawasan hutan di pulau Lombok, yaitu masing-masing Desa Rempek kecamatan Gangga – Lombok Barat, Desa Aik Berik kecamatan Batukliang Utara - Lombok Tengah, dan Desa Sugian kecamatan Sambalia – Lombok Timur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji perilaku manusia yang bersifat subyektif, dengan melihat persepsi responden sebagai subyek dalam pandangan yang bersifat emik. Penelitian ini menggunakan starategi studi kasus, yaitu suatu proses 1
Institution: “an established order comprising rulebound & standardized behaviour patterns”. Social institution: “refers to arrangements involving large numbers of people whose behaviours is guided by NORMS & ROLES”. Values: “socially shared ideas about what is good, right & desirable; jika masyarakat menilai tinggi dan penting sumberdaya alam seperti hutan dan air, maka normanya mendorong masyarakat untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya alam seperti hutan dan air”
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
64 pengkajian dan pengumpulan data secara mendalam dan detail seputar kejadian khusus sebagai “kasus” yang dipilih - perilaku masyarakat terhadap hutan, pandangan terhadap keberadaan dan peran lembaga lokal dalam mengarahkan perilaku masyarakat desa dalam interaksinya dengan lingkungan alam – hutan (Neuman, 1994; Nisbet, dan Watt , 1994). Pengumpulan data dilakukan dengan metode triangulasi data kombinasi berbagai sumber data dan kombinasi dari tiga atau lebih teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan, penelusuran dokumen, dan focus group discussion. Variabel pokok penelitian adalah: keberadaan lembaga lokal, profil dan peran lembaga, dan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh pada berperan atau tidak berperannya kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisa data kualitatif. Langkah yang ditempuh untuk analisis data adalah reduksi data yang sudah dilakukan mulai di lapangan berupa catatan harian lapangan; penyajian data dimaksudkan untuk menyusun sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan; dan penarikan kesimpulan. Dalam tahap penarikan kesimpulan ini dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung dengan menghubungkan semua kejadian sosial yang ditemukan di lapangan. Kesimpulan sementara tersebut kemudian didiskusikan kembali dengan responden dan informan kunci (Creswell, 1994). Penelitian ini dilandasi oleh pendekatan konstruktivis, yang memberi peluang besar bagi dikonstruksinya pengetahuan baru tentang hubungan antara kelembagaan dengan perilaku manusia dalam interaksi mereka dengan sumberdaya alam. Tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Kelembagaan dalam Arti Organisasi Masyarakat Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ketiga desa penelitian telah ada kelembagaan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya hutan (Tabel 1). Desa Rempek Di desa Rempek (Tabel 2) telah terbentuk satu kelompok besar petani kawasan hutan dengan nama Sari Bunga, sedangkan di desa lain di sekitar Rempek (desa Bentek) juga telah terbentuk satu kelompok besar yang disebut Kelompok Masyarakat Pemerhati dan Pengelola Hutan (KMPPH). Dari perspektif proses pembentukannya, kelompok-kelompok pada lokasi penelitian terbentuk karena beberapa hal. Kelompok pada desa Rempek misalnya, dibentuk bersamaan dengan adanya program wanatani yang diprakarsai oleh Dinas Kehutanan pada tahun 1997. Kelompok ini keanggotaannya meliputi semua petani yang berada pada salah satu dusun (dusun Busur) dan mengerjakan lahan eks HPH. Desa Aik Berik Di desa Aik Berik telah ada kelembagaan, yaitu Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) yang berjumlah 42 kelompok (Tabel 3). Kelompok tani-kelompok tani tersebut terbentuk pada tahun 1998 sejalan dengan dimulainya program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dari perspektif proses pembentukannya, kelompok-kelompok tersebut terbentuk atas inisiatif masyarakat yang juga difasilitasi oleh tokoh-tokoh masyarakat.
Kelembagaan (dalam Artian Kelompok) yang Teridentifikasi di Ketiga Desa Penelitian di Pulau Lombok
Jenis kelembagaan Kelompok masyarakat
Desa Rempek
Desa Aik Berik
Desa Sugian
o Satu kelompok besar o Ada 42 kelompok tani o Kelompok Nelayan bernama “Sari Bunga”, pengelola HKm yang o Kelompok Usaha Bersama; berlokasi di salah satu terbentuk pada thn 1998 dan dusun. o Kelompok Tani (Pangan) o Komite Pengelolaan o Kelompok pekebun & P3A Perikanan Laut (KPPL)
Siti Nurjannah: Analisis Kritis atas …
65 Tabel 2. Karakteristik Umum Kelembagaan yang Teridentifikasi di Desa Rempek Lombok Barat Kelompok Tani
Rempek
1.
Jumlah kelompok
1 (satu) kelompok besar “Sari Bunga”, berlokasi di salah satu dusun. Belum terasa sebagai kelompok yang jelas keanggotaannya (karena mengklaim semua warga di salah satu dusun), sehingga keterikatan dan rasa memiliki kelompok pada anggota lemah
2.
Jumlah anggota
3.
Tahun terbentuk
4. 5.
Luas areal Proses pembentukan
6. 7.
Struktur kelompok Kegiatan
Semua petani yang berada di salah satu dusun di desa Rempek lebih kurang 200 KK (Dusun Busur, yang berbatasan dengan hutan) September 1997; karena adanya program “wanatani” atau “agroforestri” Tidak jelas (kisaran 0.5 - 1.0 ha per petani) Terbentuk karena inisiatif petugas dengan adanya program “wanatani” (dari Dinas Kehutanan Lombok Barat) Ketua, sekertaris dan bendahara Sementara tidak ada kegiatan yang murni diprakarsai kelompok. Kegiatan hanya ada pada saat ada program wanatani (seperti konservasi, pembibitan yang terkait dengan program wanatani) atau kegiatan-kegiatan lain yang insidental sifatnya (tergantung program) tidak ada tidak ada tidak ada Ada aturan kelompok tetapi belum efektif
8. 9. 10. 11.
Aset kelompok Pembinaan Bantuan terhadap kelompok Keberadaan aturan atau awigawig 12. Masalah kelompok 13. Keberadaan kelompok lain dan masalahnya 14. Harapan ke depan
Belum aktif Kelompok konservasi - kebun Kelompok dapat menjadi wadah atau kelembagaan yang dapat membantu petani dalam hal teknis, pemasaran dan pengembangan ekonomi
Desa Sugian Sejalan dengan konsep “kelembagaan” dalam arti “community-based organisations”, di desa Sugian ditemukan sejumlah kelembagaan masyarakat, yaitu Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL), Kelompok Nelayan, Kelompok Usaha Bersama (KUB). Selain kelembagaan yang langsung terkait dengan pengelolaan laut dan pesisir, masyarakat di desa Sugian mendapat pelayanan dari kelembagaan lain yang berkedudukan di kota kecamatan, antara lain Lembaga Kredit Pedesaan (LKP), dan BRI unit Desa. Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL): Sejarah keberadaan KPPL menunjukkan bahwa pada awalnya KPPL menjadi lembaga atau wadah yang menghimpun tokohtokoh masyarakat di tingkat desa seperti tokoh
pemuda, tokoh agama, dan masyarakat nelayan yang secara bersama-sama berkerja untuk melestarikan lingkungan alam di desa Sugian. Namun belakangan, KPPL berevolusi menjadi lembaga tingkat kawasan yang menghimpun tokoh masyarakat di tingkat kawasan, yang memiliki perhatian dan kepentingan terhadap pelestarian sumbedaya laut dan pesisir. KPPL kawasan Sambelia beranggotakan 20 orang, yang terdiri dari wakil desa-desa yang berada di kecamatan Sambelia (masing-masing 5 orang per desa. Secara struktur, KPPL kawasan juga menjadi bagian dari KPPL tingkat Kabupaten Lombok Timur. Keberadaan Kelembagaan dalam Arti Peraturan Studi ini menunjukkan bahwa dari ketiga desa penelitian, kelembagaan dalam artian
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
66 aturan atau awig-awig ditemukan di semua desa penelitian, hanya saja awig-awig di desa Rempek dan Aik Berik lebih sebagai aturan atau awig-awig kelompok, sedangkan awig-awig di desa Sugian dinyatakan berlaku lebih luas (untuk kawasan hutan mangrove di beberapa desa di Kecamatan Sambelia). Pada ketiga desa penelitian, aturan atau awig-awig yang dikembangkan adalah selain terkait dengan
perilaku anggota di dalam kelompok, juga terkait dengan pengaturan interaksi masyarakat dengan sumberdaya alam atau hutan. Perbedaannya, aturan yang dikembangkan di desa Rempek dan Aik Berik belum seformal aturan atau awig-awig yang dikembangkan di desa Sugian. Aturan di desa Sugian sudah dibukukan (dalam bentuk buku).
Tabel 3. Karakteristik Umum Kelembagaan yang Teridentifikasi di Desa Aik Berik Lombok Tengah
1. 2. 3.
Kelompok Tani Jumlah kelompok Jumlah anggota Tahun terbentuk
4. 5.
Luas areal Proses pembentukan
6.
Struktur kelompok
7.
Kegiatan
8. 9.
Aset kelompok Pembinaan
Aik Berik 42 kelompok tani pengelola HKm 1042 petani (rata-rata 25 petani per kelompok) 1998; sebelumnya ada kelompok pengaman hutan walau jumlahnya terbatas 509 ha dengan rata-rata 0,5 ha per petani Masyarakat bersama petugas HKM (dari dinas Kehutanan dan pondok pesantren membentuk kelompok setelah adanya sosialisasi HKM tahun 1997. Pada masing-masing kelompok ada ketua, sekertaris dan bendahara, dan antar kelompok ada koordinator kelompok (Abdul Kadir), dan 5 sub-koordinator (kepala dusun atau tokoh masyarakat) Tidak ada (dulu pada masa awal ada kegiatan berupa gotong royong, pembuatan jalan dan gang-gang di kawasan) Balai pertemuan Pembinaan terbatas (hanya pada awal pembentukan, tahun 1998), dalam hal teknis usahatani dan pengelolaan kelompok.
10. Bantuan terhadap kelompok Bibit dari kehutanan (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanaman - BRLKT) berupa 10.000 pohon durian & 1000 pohon gaharu dari Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD). 11. Peran kelompok Terbatas yaitu hanya pada saat awal kegiatan (memudahkan pembagian kaplingan lahan, gotong royong pembersihan lahan & pembuatan jalan). 12. Keberadaan aturan atau Ada awig-awig dan dibuat bersama antara kelompok dengan pondok awig-awig pesantren, namun belum diterapkan secara efektif. 13. Masalah kelompok
Kurang berfungsi. Kelompok hanya befungsi pada masa awal pelaksanaan HKm. Pondok pesantren tidak menggunakan kelompok sebagai wadah untuk memasyarakatkan kegiatannya termasuk pada saat distribusi kartu anggota HKm (baru sebagian anggota yang bayar Rp.15.000 yang memiliki kartu anggota). 14. Keberadaan kelompok lain Ada kelompok lain seperti Kelompok Tani (5 aktif dan 8 tidak aktif), dan masalahnya dan masing-masing sebuah kelompok wanita tani, P3A, dan kelompok usaha bersama (KUB, baru terbentuk). 15. Harapan ke depan
Kelompok dapat menjadi wadah atau kelembagaan yang dapat membantu petani dalam hal tehnis, pemasaran dan pengembangan ekonomi
Siti Nurjannah: Analisis Kritis atas …
67 Tabel 4. Kelembagaan dalam Artian “Norma dan Aturan” yang Teridentifikasi di Ketiga Desa Penelitian di Pulau Lombok Jenis kelembagaan Aturan dan norma
Desa Rempek
Desa Aik Berik
o Tidak ada o Tidak ada peraturan peraturan tingkat desa (perdes) tingkat desa yang terkait dengan (perdes) yang pengelolaan hutan terkait o Ada aturan kelompok dengan tetapi tidak efektif; penge-lolaan o Ditemukan adanya hutan sistem nilai yang o Ada aturan menjadi dasar kelompok perilaku masyarakat dalam interaksinya dengan hutan.
Desa Sugian o Ada peraturan tingkat desa dan kawasan yang dikenal sebagai “awig-awig”, tertulis dalam bentuk buku o Tidak ditemukan aturan atau norma yang secara turun temurun telah dijadikan acuan dalam berinteraksi dengan SDA o Diungkapkan ada nilai atau keyakinan (agama) yang terkait dan menjadi acuan dalam interaksi dengan sumbedaya alam (nilai-nilai ekologis dalam perspektif islam) o Diakui bahwa nilai ini telah diakomodir pada saat pengembangan “Awig-awig” (dengan ketelibatan tokoh agama dalam KPPL)
Tabel 5. Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumbedaya Alam (Hutan) pada Tiga Desa Penelitian Rempek (Kelompok Tani Pengelola kawasan Eks HPH) 1. Lembaga Belum berperan sebagai wadah maksimal sebagai wadah pemberdayaan masyarakat; kelembagaan hanya berfungsi pada masa awal distribusi lahan atau kawasan hutan Kelembagaan
2. Lembaga sebagai “aturan” atau “Norma”
Aik Berik (Kelompok Tani HKm)
Belum berperan sebagai wadah kolektif bagi petani pengelola kawasan; sekarang bahkan dinyatakan membubarkan diri setelah kawasan HKm dianggap tidak dikelola lagi oleh Pondok Pesantren Darussodiqien. Belum ada aturan Belum ada aturan lokal atau norma lokal yang dijadikan acuan yang dianggap dalam interaksi menjadi acuan dalam masyarakat dengan hutan. perilaku masyarakat dalam interaksinya dengan hutan.
Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sesuai dengan uraian di atas, kelembagaan lokal dalam penelitian ini dipilahkan menjadi kelembagaan dalam arti “organisasi atau kelompok masyarakat” dan kelembagaan dalam arti “norma atau aturan-aturan yang menjadi acuan atau pedoman bagi perilaku masyarakat”.
Sugian (Kelompok Nelayan dan KPPL) Telah berperan dalam pengelolaan hutan mangrove dan perairan di sekitar Sambelia, yang meliputi pengembangan bibit mangrove, pengamanan kawasan mangrove dan perairan laut (dari penebangan liar, penangkapan ikan melalui bahan berbahaya, dan alat tangkap yang tidak sesuai) Ditemukan aturan lokal atau awigawig yang dikembangkan bersama oleh KPPL dengan lembaga pendamping; yang saat penelitian ini dilakukan dianggap menjadi aturan yang efektif dalam pengelolaan hutan mangrove dan perairan di sekitar kawasan atau kecamatan Sambelia.
Sejalan dengan konsep ini, maka secara umum ditemukan bahwa kelembagaan lokal di desa-desa penelitian memiliki peran yang relatif terbatas, khususnya di desa Rempek dan desa Aik Berik – Tabel 6. Kelembagaan pada kedua desa ini tidak berperan dalam mengarahkan perilaku anggotanya kearah perilaku yang sejalan dengan nilai dan prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara lestari.
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
68 Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Rempek Analisis terhadap kegiatan dan peran-peran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok selama ini menunjukkan bahwa kelompokkelompok di desa Rempek belum memiliki peran yang bermakna dalam pengelolaan hutan, baik dalam hal peran ke atas (mengartikulasikan aspirasi anggota kepada pemerintah, termasuk dalam pengembangan dan implementasi kebijakan), ke samping (bekerjasama dan koordinasi dengan kelompok atau lembaga lain yang setara) maupun peran ke bawah (membantu anggota kelompok dalam pemberdayaan sosial dan ekonomi, termasuk dalam pengembangan kapasitas). Kelompokkelompok petani pengelola eks HPH ternyata belum memiliki program dan kegiatan yang terencana secara sistimatis. Diakui oleh pengurus maupun anggota kelompok, kelompok hanya aktif dan memiliki kegiatan saat adanya program wanatani atau agroforestri yang dilaksanakan pada tahun 1997. Fakta yang sama diungkapkan oleh informan kunci seperti kepala desa dan tokoh informal desa. Namun demikian, sejalan dengan adanya sejumlah program dan kegiatan yang terkait dengan pengelolaan hutan di kawasan eks HPH, baik dalam bentuk program-program penelitian dan pengembangan masyarakat, diakui bahwa “kelompok-kelompok” yang ada di desa penelitian paling tidak telah berperan dalam memberikan informasi dan sharing pengalaman dengan berbagai lembaga, antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram, WWF Nusa Tenggara, Tim Participatory Action Research Rinjani (PAR Rinjani), dan pihak-pihak LSM. Peran dalam memberikan informasi dan sharing pengalaman ini agaknya perlu dikaji secara kritis mengingat bahwa kelompok belum terorganisir secara baik dan kompak. Kehadiran para pengurus dan anggota kelompok dalam suatu pertemuan atau kegiatan boleh jadi hanya sebatas individu-individu yang tidak terikat secara kuat oleh norma dan aturan kelompok. Dalam konteks seperti ini, “kelembagaan” atau “kelompok” dapat dipandang sebagai sebatas instrumen atau alat dalam pelaksanaan program atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak luar. Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Aik Berik Kondisi yang hampir sama ditemukan di desa Aik Berik, dimana kelembagaan lokal
Siti Nurjannah: Analisis Kritis atas …
delam bentuk kelompok belum memainkan peran yang strategis dalam pengelolaan sumberdaya alam, hutan dan air. Data yang terkumpul melalui penelitian ini menunjukkan bahwa semua kelompok di desa Aik Berik tergolong “tidak aktif” dan tidak memiliki kegiatan yang jelas. Menurut informan kunci seperti Bapak Kepala Desa dan Koordinator Kelompok Tani, kelompok hanya digunakan pada masa awal pelaksanaan HKm, yaitu sebagai media atau wadah untuk mengorganisir petani dalam rangka pendistribusian lahan dan bibit tanaman untuk keperluan HKM (durian dan gaharu). Data terakhir, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Desa Aik Berik, kelompok-kelompok pengelola HKm bahkan dianggap sudah bubar dengan sendirinya sejalan dengan masa berakhirnya ijin kelola yang diberikan kepada Pondok Pesantren Darrusiddiqien. Data ini bermakna bahwa kelembagaan lokal di desa Aik Berik belum berperan, baik ke atas, ke samping maupun ke bawah. Kelompok belum berfungsi sebagai wadah yang memberikan perhatian khusus dalam pengelolaan hutan untuk kepentingan pelestarian sumberdaya hutan, dan juga pemberdayaan ekonomi anggota. Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Sugian Dalam perspektif tokoh masyarakat, pengurus dan anggota kelompok nelayan, dan pengelola KPPL, kelembagaan KPPL dinyatakan telah memainkan peran yang cukup strategis dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Sambelia. Hal ini ditunjukkan dengan reberapa kegiatan penting yang pernah dan sedang dilakukan oleh kelompok nelayan (yang diakui sebagai bagian dari KPPL) dan KPPL antara lain (1) mengembangkan aturan lokal yang dikenal sebagai “awig-awig”; (2) mensosialisasikan aturan lokal atau awig-awig kepada masyarakat dan pihak-pihak yang terkait; (3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan aturan lokal melalui kegiatan patroli bersama; (4) melakukan pengembangan bibit mangrove, baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual kepada pihak lain yang membutuhkan; (5) melakukan penanaman mangrove; (6) melakukan kerjasama horizntal dengan lembaga lain yang berada di desa lainnya, dan melakukan kordinasi serta kerjasama dengan lembaga-lembaga lain di tingkat kabupaten; dan (7) mengartikulasikan aspirasi masyarakat desa Sugian kepada lembaga legislatif (DPRD Lombok Timur).
69 Tabel 6. Faktor-faktor yang “Dianggap” Mempengaruhi Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumbedaya Alam (Hutan) pada Tiga Desa Penelitian Desa Rempek Kelompok Tani Pengelola Eks HPH: o Tujuan kelompok tidak jelas o Tidak ada pembinaan dari dinas terkait (dishut Lombok Barat) o SDM anggota dan pengurus relatif terbatas o Keberasamaan dalam merasakan permasalahan dan kebutuhan kelompok rendah
Desa Aik Berik Kelompok Tani Pengelola HKm: o Kelompok dibentuk sekedar untuk pembagian lahan di masa awal HKm – nuansa “top-down” pembentukan lembaga masyarakat o Tujuan pembentukan kelompok tidak jelas o Tidak ada pembinaan yang berkelanjutan terhadap kelompok o Kapasitas pengurus dan anggota kelompok relatif rendah o Ukuran kelompok terlalu besar
Faktor-faktor yang “Dianggap” Berpengaruh terhadap Terbatasnya Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Tabel berikut menunjukkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kelembagaan yang ada di desa-desa penelitian, yang dianggap sebagai penghambat dari pelaksanaan peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Data hasil wawancara mendalam dan FGD menunjukkan adanya kesamaan dalam persepsi terhadap faktor-faktor penghambat bagi kinerja kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu terbatasnya kapasitas kelembagaan lokal. Hal ini terungkap dengan jelas melalui ekspresi peserta FGD dan informan kunci yang menyatakan bahwa “tujuan kelompok tidak jelas”, “SDM pengurus dan anggota relatif rendah”. Selain faktor-faktor internal, faktor eksternal yang dianggap berpengaruh pada terbatasnya peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah karena terbatasnya pembinaan oleh lembaga terkait. Keterbatasan pembinaan ini pada gilirannya mempengaruhi kapasitas lembaga dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi programprogram lembaga atau kelompok.
Desa Sugian KPPL: o Belum semua masyarakat mengetahui fungsi dan tugas KPPL o Sosialisasi KPPL belum maksimal o Manajemen KPPL belum baik o Sarana penunjang KPPL belum maksimal Kelompok Nelayan: o Pengurus tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan o SDM pengurus relatif rendah o Kelompok dibentuk dengan pendekatan topdown Kelompok Usaha Bersama: o SDM kelompok rendah o Tidak ada pembagian tugas yang jelas dalam struktur kelompok o Ksadaran anggota dalam mendukung KUB rendah o Tidak ada koordinasi dengan kelembagaan lain di tingkat desa
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Atas dasar data yang terhimpun, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan berikut: 1.
Kondisi umum sumberdaya alam (khususnya hutan) di ketiga lokasi penelitian menunjukkan kecenderungan yang memburuk. Ada kesamaan dan konsistensi persepsi dari para informan kunci, peserta FGD dan petani responden tentang terus terjadinya degradasi sumberdaya alam pada kawasan hutan di ketiga desa penelitian.
2.
Ditemukan adanya beberapa kelembagaan lokal pada masing-masing lokasi penelitian, baik kelembagaan dalam artian organisasi masyarakat (Community organisations) maupun kelembagaan dalam artian norma dan aturan.
3.
Kelembagaan lokal sebagaimana yang disebutkan di atas ternyata belum berperan secara nyata dalam pengelolaan sumberdaya alam – khususnya hutan. Menurut para informan kunci dan peserta FGD, kelembagaan lokal lebih banyak berperan dalam proses distribusi lahan hutan (kasus kelompok tani HKm di desa Aik Berik; dan
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
70
4.
kasus kelompok tani pengelola lahan hutan eks HPH). Kondisi yang sedikit berbeda ditemukan pada kelembagaan lokal di desa Sugian, yang menurut para informan kunci dan responden telah berperan secara nyata dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam – mangrove, terumbu karang dan perikanan.
Muktasam, A., Rosiady, S., Bambang, H.K., Bambang, D.K, Gatot, D.S., and Markum. 2003. Implementation of Agroforestry and Integrated Farming System through Community Participation in the Forest Boundary and Steep Dry Land Area. Mataram (unpublished report by Research Center for Rural Development).
Data menunjukkan adanya kesamaan dalam persepsi terhadap faktor-faktor penghambat bagi kinerja kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu terbatasnya kapasitas kelembagaan lokal. Hal ini terungkap dengan jelas melalui ekspresi peserta FGD dan informan kunci yang menyatakan bahwa “tujuan kelompok tidak jelas”, “SDM pengurus dan anggota relatif rendah”. Selain faktor-faktor internal, faktor eksternal yang dianggap berpengaruh pada terbatasnya peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah karena terbatasnya pembinaan oleh lembaga terkait.
Muktasam, A., dan Nurjannah, S. 2004. Identifikasi Sistem Nilai yang Mempengaruhi Perilaku dan Interaksi Masyarakat dengan Hutan (Studi Kasus di Desa Hutan Kemasyarakatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah NTB). Penelitian Dasar yang Dibiayai oleh Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Dasar, No. 83/P2IPT/DPPM/PID/III/2004, tanggal 1 Maret 2004.
Saran Atas dasar temuan penelitian ini maka diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1.
2.
Perlu dilakukan penelitian yang lebih luas dalam rangka menganalisa secara kritis tentang keberadaan dan potensi peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian perlu dilakukan pada keseluruhan desa pada kawasan yang lebih luas guna membangun pengetahuan baru tentang kelembagaan lokal dan perannya dalam pengelolaan sumberdaya alam (construction of knowledge). Penelitian yang lebih luas ini diharapakan dapat mengisi kekosongan informasi sekitar keberadaan dan peran kelembagaan lokal dalam pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam. DAFTAR PUSTAKA
Creswell. J. W., 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. London: SAGE Publications.
Siti Nurjannah: Analisis Kritis atas …
Muktasam, A., Amiruddin, Eko Bambang S., Safwan, M., Rosiady, S., dan Umbu Lili P., 2006. Studi Dinamika Kebijakan Kehutanan di Nusa Tenggara: Peluang dan Tantangannya (Draft Laporan Penelitian). Penelitian yang Didanai oleh MFP-DFID. Neuman, W.L. 1994. Social Research Method : Qualitative and Quantitative Approach (2 nd Edition). Sydney: Allyn and Bacon. Nisbet dan Watt. 1994. Studi Kasus Sebuah Panduan Praktis. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. PAR Rinjani, 2004. Laporan Kegiatan Pleno Propinsi Tim Kaji Kebijakan PAR Rinjani. Mataram, Tim Participatory Action Research Rinjani. P3P. 2005. “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Lombok Timur”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) – Universitas Mataram. WWF, 2004. The Economic Change, Poverty and Environment (ECPE) Project in Lombok. Mataram, WWF Indonesia - Nusa Tenggara Project