BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Tinjauan Tentang Otonomi 1. Pengertian Otonomi Daerah Penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Kata otonomi berasal dari istilah Yunani yaitu kata autos dan nomos. Kata pertama berarti “sendiri”, dan kata kedua berarti “perintah”. Otonomi bermaksud “memerintah sendiri”. Dalam wacana administrasi publik daerah otonom sering disebut sebagai local self government. Daerah otonom praktis berbeda dengan “daerah” saja yang merupakan penerapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi publik disebut sebagai local state government. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar dimasa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah (Mardiasmo, 1999). Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya manusia daerah dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap (Shah, et.al., 1994). Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti ini telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembengunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah (Bastin dan Smoke, 1992 dalam Shah, et.al., 1994). Kedua, tuntutan pembelian otonomi ini juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Shah, 1997). Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintah ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi. Pemerintah pada berbagai tingkatan harus harus bisa menjadi katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan pada produksi pelayanan publik. Produksi pelayanan publik harus dijadikan sebagai pengecualian dan bukan keharusan. Pada masa yang akan datang, pemerintah pada semua tingkatan harus fokus pada fungsi-fungsi dasarnya, yaitu; penciptaan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi; pengembangan suasana yang kondusif bagi proses alokasi sumberdaya yang efisien; pengembangan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur; melindungi orang-orang yang rentan secara fisik maupun non-fisik; serta meningkatkan dan konservasi daya dukung lingkungan hidup (World Bank, 1997).
Dalam praktik, desentralisasi dan otonomi bersifat tumpang tindih. Namun, dalam makna keduanya memiliki perbedaan. Desentralisai merupakan sistem pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi. Jika sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan, maka disentralisasi adalah pembagian dan pelimpahan. (Rondinelli dan Cheema dikutif Sarundjang, 1999, 47), desentralisasi adalah “…the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and prastatal organization”. Secara umum, desentralisasi terbagi menjadi dua: desentralisasi territorial atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi kewilayahan berarti pelimpahan wewnang dari pemerintah pusat kepada wilayah di dalam negara. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama. Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum administrasi negara, kata otonomi itu sering dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom. Oleh karena itu akan dibahas pengertian otonomi, otonomi daerah dan daerah otonom. Otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (Muslimin, 1978: 16), dan dapat diartikan sebagai kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan (Syafrudin, 1985:23) Otonomi daerah sendiri dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Sarundajang, 1999, 27). Secara prinsipal terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi. Hak dan wewenang untuk manajemen daerah, dan tanggung jawab untuk kegagalan
dalam memanajemeni daerah. Sementara “daerah” dalam arti local state government adalah pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Menurut UU No.5 Tahun 1974 otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Pemerintahan yang lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut (Thoha, 1985:27). Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang, sehingga ia lebih dekat dengan otonomi daerah. Konsep desentralisasi dengan demikian mempunyai “cetakan” pemahaman yang sama dengan otonomi daerah. Sedangkan daerah otonom adalah daerah yang mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efesiensi penyelenggaraan pemerintah di daerah dimana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut daerah diberi hak dan wewenang tertentu (Riwu Kaho, 1988:7) Menurut Sarundajang (1999: 38-44) memberikan 5 klasifikasi daerah otonom yaitu : otonomi organik atau rumah tangga organik, otonomi formal atau rumah tangga formal, otonomi materiil atau rumah tangga materiil. Otonomi riil atau rumah tangga riil, otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis. Otonomi adalah derivat dari desentralisasi. Daerah-daerah otonom adalah daerah yang mandiri. Tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi derajat desentralisasi, semakin tinggi tingkat otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of
power, distributins of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas. Pemberian otonomi daerah tidak berarti permasalahan bangsa akan selesai dengan sendirinya. Otonomi daerah tersebut harus diikuti dengan serangkaian reformasi di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak saja sekedar perubahan format lembaga, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembagalembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governance benar-banar tercapai. Agar dasar haluan yang digariskan GBHN itu tercapai, sangat perlu menemukan dan mengembangkan konsepsi hukum mengenai penyelenggaraan asas otonomi dan pembantuan dalam pemerintahan daerah. Bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan ketaatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku sekarang. 1. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan utama dari adanya kebijakan otonomi daerah adalah untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik sehingga berkesempatan mempelajari, memahami, dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya. Di samping itu juga, dengan otonomi maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Selain itu tujuan otonomi adalah untuk mengefensiasikan penyelenggaraan pemerintah daerah yang perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pendistribusian kewenangan, daerah dapat dengan cepat dan tangkap untuk mengatasi berbagai masalah yang perlu penanganan yang lebih cepat, perampingan birokrasi supaya
lebih mudah dan tidak berbelit-belit, dapat mengurangi kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat, serta dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat karena sifatnya yang lebih langsung artinya masyarakat setempat yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Di samping itu otonomi juga mempunyai tujuan yang mengatur mengenai aspekaspek hubungan antara susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global, serta memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dengan adanya hak dan kewajiban penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah Banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah. Pada umumnnya faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia, sumber daya alam, kemampuan manajemen, kemampuan keuangan, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis. Riwu Kaho (1991: 60-246), mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan penyelenggaraan otonomi daerah antara lain dengan: 1) 2) 3) 4)
Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat, Keuangan yang stabil, terutama pendapatan asli daerah, Peralatan yang lengkap, Organisasi dan manajemen yang baik. Menurut Smith (1979: 214-222), faktor yang dapat memprediksi keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah adalah fungsi atau tugas pemerintahan, kemampuan pemungutan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan wewenang, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil.
3. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia Ada tiga asas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang harus diseimbangkan pemakaiannya yaitu sebagai berikut: 1) Asas Negara Hukum Yaitu asas yang mempedomani peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus bertanggung jawab secara hukum. Prinsip dari asas ini tampak dalam rumusan peraturan yang diwujudkan dari cita-cita hukum, kalau demikian muncul kesemena-menaan yang bermula dari subjektivitas penguasa. 2) Asas semangat kekeluargaan Yaitu asas yang mempedomani rasa kemanusiaan dan cinta kasih senasib sepenanggungan. Istilah kekeluargaan ini berasal dari kata “keluarga”. Keluarga itu terdapat dalam masyarakat, bangsa apa saja, selain ditentukan oleh ikatan darah juga terdapat ikatan lainnya yang terjadi karena rasa cinta kasih antara sesama anggota yang sudah dianggap keluarga, yang membawa akibat saling bantu-membantu, saling menghormati dan saling memberikan perlindungan. 3) Asas kedaulatan rakyat Yaitu asas yang mempedomani bahwa kekuasaan yang tertinggi adalah hati nurani rakyat kecil yang selama ini walaupun jumlah mereka besar, tetapi mereka diam. Asas ini berawal dari keinginan untuk dibedakan demokrasi dengan kebebasan, kendatipun demokrasi membicarakan berbagai kebebasan seperti kebebasan berpendapat, kebebasan menuntut ilmu dan mengusahakan mata pencaharian yang layak serta lain-lain. Namun kebebasan pada gilirannya dapat mencapai dekadensi moral karena bagaimanapun manusia ingin bebas bahkan hidup sendiri, peraturan dan hukum tetap perlu diadakan sendiri.
Ketiga asas tersebut diatas mutlak harus diseimbangkan, karena bila dilaksanakan sendiri-sendiri cenderung akan memiliki akses yang negative. Misalnya hukum yang dilaksanakan secara berlebihan akan menyingkirkan kemanusiaan dan kekeluargaan, nilainilai kekeluargaan bila dilakukan berlebihan akan melupakan hukum yang harus dijalankan, dan kebebasan rakyat yang dibiarkan berlebihan akan menimbulkan pelanggaran syariah agama yang trasedental. Namun, demikian apabila dijalankan berbarengan secara seimbang akan menciptakan hasil yang luar biasa baiknya, dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonesia. Ini merupakan sifat dan asas yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945, yang ditelurkan dari pola piker pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dulu. Itulah sebabnya dalam ketatanegaraan Indonesia kita kenal hukum yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila, kekeluargaan leluhur yang berbhineka tunggal ika, dan keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang walaupun sampai saat ini masih tetap mencari bentuk keindonesiaannya.
4. Asas Pemerintahan Di Daerah Dalam hubungan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah, kita mengenal beberapa kali pergantian Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang masih berlaku sampai saat ini, dikenal beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sebagai berikut 1) Asas Desentralisasi Asas desentralisasi adalah asas penyerahan sebagian urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2) Asas Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah asas pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepada wilayah, atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya, kepada pejabat-pejabatnya di daerah. 3) Tugas Pembantuan Tugas pembantuan adalah asas untuk turut sertanya pemerintah daerah bertugas dalam melaksanakan urusan pemerintahan pusat yang ditugaskan kepada pemeritah daerah oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawab kepada yang menugaskannya.
6. Pelimpahan Wewenang Dalam Otonomi Daerah Otonomi daerah telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan dan dengan tingkat partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasilhasil pembangunan dapat segera diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Partisipasi masyarakat tersebut disamping dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat tersebut dalam perjalanan belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat. disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak
dapat terjadi dalam waktu relatif singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti secara otomatis mengubah sistem, politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan adanya konsistensi, kemauan baik dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide tentang otonomi daerah, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang pada akhirnya adalah pembangunan bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”. Saat ini, upaya untuk membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangat diharapkan, sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sangat mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni, karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya. Daerah yang otonom sangat mensyaratkan keberadaan masyarakat yang otonom pula. Masyarakat yang otonom adalah masyarakat yang berdaya, yang antara lain ditandai dengan besarnya partisipasi mereka di dalam kegiatan pembangunan. Karena itulah, dalam era otonomi daerah yang kini mulai dilaksanakan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya sangat penting.
Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono 2006: 48-59) Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi, sendisendi tersebut meliputi: 1. Sharing of power (pembagian kewenangan 2. Distribution of income (pembagian pendapatan); 3. Empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah). Ketiga sendi tersebut sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah, apabila sendi tersebut semakin kuat, maka pelaksanaan otonomi daerah semakin kuat pula, dan sebaliknya apabila sendi-sendi tersebut lemah, maka pelaksanaan otonomi semakin lemah pula. Ketiga sendi-sendi ini sebagai pilar-pilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip-prinsip otonomi yang tertuang dalam UU No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah maupun dalam Undang-Undang penggantinya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah telah dijabarkan tentang ketiga sendi tersebut yaitu dalam prinsip-prinsip otonomi. Upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai program pembangunan, antara lain: a. b. c. d. e.
Dana Pembangunan Desa, Bantuan Inpres Desa Tertinggal, bantuan bibit dan pupuk bagi petani, Kredit Usaha Tani, Kukesra, Takesra, bantuan bergulir ternak sapi dan lain sebagainya.
Namun demikian berbagai program tersebut gagal memberikan kesejahteraan warga masyarakat di daerah (desa). Upaya perwujudan kesejahteraan melalui peningkatan peran serta masyarakat yang dilaksanakan dengan melibatkan LSM, seperti dalam program jaring pengaman sosial, dan berbagai macam program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan pada masa pemerintahan reformasi. Namun hasilnya masih belum terealisasikan bahkan ada dugaan
adanya penimpangan penggunaan dana untuk program-program pengentasan kemiskinan, bahkan laporan pertanggungjawaban kepala daerah isinya hanya menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah tanpa menyinggung laporan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipergunakan untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pelibatan masyarakat tidak hanya dalam bidang peningkatan kesejahteraan tetapi juga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat tersebut. Badan Permusyawaratan Desa yang disingkat BPD pada dasarnya adalah penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan merupakan lembaga tertinggi Desa. BPD juga merupakan pemegang dan pelaksanan sepenuhnya kedaulatan masyarakat desa. Lembaga ini memiliki urgensi yang tidak jauh berbeda dengan DPR. Karenanya agar otonomi di desa dapat berjalan secara proporsional. B. Kinerja 1. Pengertian Kinerja Konsep kinerja selalu dikaitkan dengan akuntabilitas yang berkenaan dengan check and balance kelembagaan dalam suatu administrasi. Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan sebagai penampilan unjuk kerja atau prestasi. Prawirosentono (dalam Sinambela, 2006:136) mengemukakan ”bahwa secara etimologi kinerja berasal dari kata performance, performace berasal dari kata to perform yang mempunyai beberapa masukan (entry) yaitu: (1)Memasukkan, menjalankan, melaksanakan; (2)Memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3)Menggambarkan suatu karakter dalam suatu pemainan; (4)Menggambarkannya dengan suara atau alat musik; (5)Melaksanakan atau menyempurnakan dengan tanggungjawab; (6)Melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7)Memainkan alat musik; (8)Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Tidaklah semua masukan tersebut relevan dengan kinerja, disini hanya empat saja yakni: (1)Melakukan; (2)Memenuhi atau menjalankan;
(3)Melaksanakan tanggungjawab; dan (4)Melakukan sesuatu yang diharapkan orang lain” Pamungkas (dalam Juliantara, 2005: 38) menyatakan bahwa Kinerja adalah penampilan cara-cara untuk menghasilkan sesuatu hasil yang diperoleh dengan aktivitas yang dicapai dengan suatu unjuk kerja. Mahsun (2006: 25) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai suatu gambaran mengenai tingkat pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Kinerja organisasi didefinisikan Rue & Byars (dalam Keban, 1995: 1), sebagai tingkat pencapaian hasil (“the degree of accomplisment”), karena itu kinerja organisasi dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan organisasi (Keban, 1995 : 1). Definisi lain, yang juga memandang kinerja secara internal, hanya membandingkannya dengan tujuan organisasi, dikemukakan Gordon (1993: 332) bahwa “permormance ferers specifically to performing and reaching group throught fast work speed; outcomes of high quality, accuracy and quantity; observation of rules”. Definisi kinerja dari pemahaman secara eksternal, yang membandingkan dengan keseluruhan status organisasi dengan pesaing, pemilik dan standart eksternal dikemukakan Holloway, Lewis dan Mallory (1995 : 1) yang merumuskan konsep kinerja secara multidimensional, yaitu sebagai “the overall status of and organizaitionin relation to competitors, or aganst its own or external standar”. Cara pandang terhadap kinerja baik secara internal maupun eksternal, pada dasarnya menunjukkan perlunya suatu perhatian terhadap penggunaan standard internal dan eksternal dalam pengukuran kinerja suatu organisasi pelayanan publik. Kinerja organisasi menurut Perry (1989 : 619-626) akan menunjuk pada efektivitas organisasi, dimana hal itu akan menyangkut pengharapan untuk mencapai hasil yang terbaik
sesuai dengan tujuan kebijakan. Isu efektivitas organisasi dalam kaitannya dengan kinerja organisasi, menurut Hodge, Anthony dan Gales (1996) mencakup how well the organization is doing, bagaimana suatu organisasi mencapai profit/tujuannya dan tingkat kepuasan dari para pelanggan/penguna jasa pelayanannya. Efektivitas organisasi secara internal mencakup efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan faktor-faktor hubungan manusia (conflic, happy, satisfied) yang akan mempengaruhi produktivitas. Kinerja organisasi sebagaimana yang dikemukakan Boyatzis (dalam Perry, 1989: 619-626) dilakukan untuk mencapai specific result (outcomes). Kinerja organisasi mempertanyakan apakah tujuan dan misi suatu organisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik dan budaya yang ada. Apakah memiliki kepemimpinanan modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya. Apakah kebijakan, budaya dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan dan apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi, pelatihan dan sumberdayanya. Enyclopedi of publik Administration and Publi Policy tahun 2003 (dalam Keban, 2005:193) menjelaskan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh Organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerja terdahulu (Previous Performance), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Berbagai definisi kinerja diatas, jika ditinjau dari bentuk rumusannya terdapat perbedaan, akan tetapi jika ditinjau secara mendalam terdapat persamaan konsep yaitu pada hakekatnya
kinerja
adalah
gambaran
dalam
melakukan
sesuatu
kegiatan
dan
menyempurnakan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya, sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Hakekat ini merupakan suatu pemahaman bahwa ruang lingkup kinerja meliputi perencanaan, proses, dan hasil yang dicapai.
Perencanaan merupakan rencana pengolahan masukan (input) yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik untuk menghasilkan keluaran (output). Perencanaan diantaranya meliputi perencanaan tujuan, visi dan misi, dan sumber daya (resource) yang dimiliki. Proses merupakan pelaksanaan kegiatan yang berkaiatan dengan ukuran kegiatan, baik segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan, rambu-rambu yang paling dominan dalam proses adalah tingkat efektivitas, efisiensi, dan ekonomis. Hasil (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, dapat berupa benda fisik atau non fisik. Aspek hasil menurut (Mahsun, 2006: 78) berupa outcomes yaitu tingkat pencapaian hasil yang diperoleh dalam bentuk output. Apakah output dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan besar bagi masyarakat. Benefit terkait dengan manfaat dari tujuan akhir pelaksanaan kegiatan. Impact yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. Menurut Veithzal Rivai (2005:14) bahwa Kinerja merupakan hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standard hasil kerja, target/sasaran atau criteria yang telah disepakati bersama. Menurut A.A Anwar Prabunegara mengatakan bahwa“Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan penampilan kerja oleh karyawan di tempat kerjanya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. 2. Tingkat dan Sumber Kinerja Menurut Agus Dharma (2001:149) mengatakan bahwa “Untuk dapat menilai kinerja karyawan secara objektif dan akurat adalah dengan mengukur tingkat kinerja karyawan.
Pengukuran kinerja dapat juga berfungsi sebagai upaya mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk mengarahkan upaya karyawan melalui serangkaian prioritas tertentu, seperti komunikasi.” Menurut Malayu S. P. Hasibuan (2001:95) tingkat dan sumber kinerja diantaranya yaitu:Kesetiaan,
Prestasi
Kerja,
Kejujuran,
Kedisiplinan,
Kreativitas,
Kerjasama,
Kepemimpinan, Kepribadian, Prakarsa, Kecakapan, Tanggung jawab. Menurut James A. F. Stoner dan R.E. Freeman (Dharma, 2001:554) mengatakan mengenai tingkat dan sumber kinerja, diantaranya: 1. Kuantitas kerja (quantity of work), yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan, 2. Kualitas kerja (quality of work), yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya, 3. Kreativitas (creativeness), yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul, 4. Pengetahuan mengenai pekerjaan (knowledge of job), yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya 5. Kerjasama (cooperation), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain sesama amggota organisasi, 6. Inisiatif (initiative), yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru, 7. Ketergantungan (dependability), yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dalam melaksanakan pekerjaan, 8. Kualitas pribadi (personal quality), yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan, dan integritas pribadi. Jadi tingkat dan sumber kinerja itu terdiri dari kualitas kerja, kuantitas kerja, kreatifitas atau gagasan yang dimunculkan untuk menyelesaikan persoalan yang muncul, luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilan, kesediaan bekerjasama dengan orang lain sesama anggota, semangat untuk melaksanakan tugas, kesadaran dan kepercayaan dalam melaksanakan pekerjaan, serta kualitas pribadi. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja a. Menurut Anwar P. Mangkunegara (2006:16) 1) Faktor Individu. Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan
adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik maka indivisu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. 2) Faktor Lingkungan Organisasi. Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi yang efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja yang respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relative memadai. b. Menurut Agus Dharma (2001:9-11) 1. Pegawai, berkenaan dengan kemampuan dan kemauan dalam melaksanakan pekerjaan. 2. Pekerjaan, menyangkut desain pekerjaan, uraian pekerjaan dan sumber daya untuk melaksanakan pekerjaan. 2. Mekanisme kerja, mencakup system, prosedur pendelegasian dan pengendalian serta struktur organisasi. 3. Lingkungan kerja, meliputi faktor-faktor lokasi dan kondisi kerja, iklim organisasi dan komunikasi. Menurut pendapat di atas faktor yang mempengaruhi kinerja diantaranya faktor pegawai, pekerjaan, mekanisme kerja, dan lingkungan kerja. 4. Penentuan Indikator Kinerja Sebagai Dasar Penilaian Kinerja Penggunaan indikator kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah suatu aktivitas atau program telah dilakukan secara efisien dan efektif. Pada dasarnya terdapat dua hal yang dapat dijadikan sebagai Indiator kinerja, yaitu kinerja anggaran (anggaran policy) dan anggaran kinerja (performance budget). Kinerja anggaran adalah alat atau instrumen yang dipakai oleh DPRD untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah. Alat tersebut berupa strategi makro dan policy yang tertuang dalam Propeda dan Renstrada, arah dan kebijakan umum APBD, serta strategi dan Priorotas APBD. Anggaran kinerja adalah alat atau instrumen yang
dipakai oleh kepala daerah untuk mengevaluasi unit-unit kerja yang ada dibawah kendali kepala daerah selaku manajer eksekutif. Anggaran kinerja merupakan suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah perlu dikembangkan Standar Analisa Belanja (SAB), tolok ukur kinerja, dan standar biaya. Tujuan pembangunan daerah seharusnya menempatkan manusia sebagai sasaran akhir dan fokus utama dari seluruh kegiatan pembangunan, melalui pemberian pelayanan dalam berbagai segi kehidupan yaitu kesehatan, pendidikan, sosial dan ekonomi. Dengan konsep pembangunan manusia ini, keberhasilan pembangunan bukan semata-mata dilihat dari perkembangan atau pertumbuhan yang terjadi melainkan kemampuan pemerintah untuk menciptakan atau memungkinkan orang menikmati hidup dengan layak, mendapatkan kesehatan, dan meningkatkan kreativitas hidup. Pembangunan manusia mencakup dua proses dimana orang-orang melakukan perluasan pilihan-pilihan dan pencapaian tingkat kesejahteraan. Salah satu hal penting adalah menjamin kondisi kesehatan hidup dalam jangka panjang, memperoleh pendidikan dan menikmati standar hidup yang layak. Pilihan tambahan lainnyaadalah kebebasan berpolitik dan perlindungan hak asasi manusia. Salah satu bentuk kemampuan manusia yang dapat diperbaiki yaitu kesehatan dan pengetahuan, sementara itu, yang kemampuan lainnya dapat dipergunakan untuk bekerja atau menikmati waktu luang. Pada tahun 1990, UNDP (United Nation Development Prograam) memperkenalkan sebuah konsep pembangunan yang diberi nama Human Development.konsep ini memprioritaskan pada tujuan pembangunan yang menjadikan manusia sebagai fokus pembangunan (Human Centered Development). Pencapaian tujuan tersebut dapat diukur dengan Indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Develompent Indeks).
Indeks Pembangunan Manusia adalah suatu indeks yang mengukur pembangunan sosial ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Salah satu keunggulan Indeks Pembangunan Manusia sebagai alat ukur indikator pembangunan adalah fleksibel dalam pengaplikasiannya. Pengukuran kinerja (Performance Measurenment) adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi, sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi, serta meningkatakan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas (Mahsun, 2006:26). Pengukuran kinerja merupakan penilaian terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Kurniawan (2005:52) mengemukakan bahwa untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan aparatur pemerintah, perlu adanya kriteria yang menunjukkan apakah mutu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Indikator atau kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja bersifat variatif artinya terdapat berbagai indikator sesuai dengan fokus dan konteks penelitian. Karakteristik good governance dapat pula dijadikan indikator pengukuran kinerja yang meliputi participation, rule of law,transparancy, responsiveness, consesus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, dan stategic vision. Lenvine dkk. (dalam Dwiyanto, 1995: 7-8) menawarkan tiga konsep indikator dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik, yaitu : responsiveness, responsibility, dan accountability. Responsiveness (responsivitas) adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas merupakan daya tanggap organisasi publik terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik
tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya dalam mengidentifikasi dan mengakomodir berbagai kepentingan dari berbagi kelompok yang ada di masyarakat (Herring, 1987: 74). Responsibility, (responsibilitas), merupakan suatu konsep yang menjelaskan persesuaian pelaksanaan kegiatan organisasi publik dengan prinsip-prinsip administasi yang benar atau dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Dan dalam fungsi pelayanan publik memerlukan birokrasi yang profesional dengan dipadukan otoritas dan kemampuan diskresi, koordinasi serta responsibilitas (Herring, 1987: 78). Accountability (akuntabilitas) merujuk pada pertanggungjawaban eksternal organisasi, yaitu apakah kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para stakeholder-nya. Harmon dan Mayer (1986: 384) mengemukakan bahwa efektivitas pelayanan merupakan ukuran accountability dari suatu kebijakan organisasi publik sebagai standar kinerja pelayanan (provide standart of correct action). Berpijak dari adanya perbedaan dari tujuan pada organisasi publik, Hughes (1994: 207) memilahkan indiktor ukuran kinerja organisasi pada tiga pusat perhatian, yaitu: (1) apabila perhatian utamanya pada efisiensi penggunaan sumber daya, dipergunakan adalah pendekatan ekonomis dengan penekanannya pada indiktor keluaran, dan apabila memungkinkan pada hasil (outcome); (2) apabila perhatian utamanya pada akuntabilitas, penekanannya pada indikator pelayanan publik; dan (3) apabila pusat perhatiannya pada kompetisi manajerial, tekanannya pada pencapaian target. Hatry (1989) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan berpedoman pada sumber data dari (1) analysis of agency records, (2) trained observer procedures, (3) citizen/client surveys. Tujuan pengukuran kinerja disebutkan Hatry adalah untuk: (1) mengetahui efisiensi dan kualitas layanan, (2) memotivasi birokrasi publik guna meningkatkan kualitas layanan, (3) pengawasan pelaksana kebijakan, (4) menentukan dan
menyesuaikan anggaran, (5) mendorong birokrasi publik untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan masyarakat, dan (6) memperbaiki kualitas layanan. Parameter dalam indikator responsivitas organisasi, yang meliputi: kemampuan mengenali kebutuhan dan aspirasi masyarakat, khususnya pengguna layanan; dan daya tanggap serta kemampuan organisasi mengembangkan program-program pelayanan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Dalam indikator akuntabilitas organisasi, parameter yang dipakai adalah: persesuaian layanan yang diberikan dengan yang diharapkan pengguna jasa layanan; dan persesuaian kinerja dan pelayanan dengan sikap politik Pemerintah. Responsibilitas organisasi merujuk pada persesuaian pelaksana kerja organisasi dengan prosedur dan tatakerja yang berlaku. Sedangkan ukuran efektivitas organisasi akan mencakup : persesuaian pelaksanaan kegiatan kerja organisasi dengan tujuan; dan tingkat produktivitas organisasi atau kemampuan pencapaian hasil dibandingkan dengan target. Pendapat Steers (1980), bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pencapaian tujuan organisasi meliputi: karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, serta kebijakan dan praktek manajemen.
4. Pengawasan, Pengendalian Dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah Otonomi daerah secara serentak telah dilaksanakan mulai Januari 2001. Dalam tahap awal pelaksanaan otonomi daerah, masih ada beberapa daerah yang belum siap, namun sebagian merasa sudah siap melaksanakan otonomi. Pelaksanaan otonomi secara tidak langsung akan memaksa daerah untuk melakukan perubahan-perubahan baik perubahan srtuktur maupun perubahan proses birokrasi dan kultur birokrasi. Perubahan struktur meliputi pembaharuan yang sifatnya kelembagaan (institutional reform), yaitu pembenahan struktur
birokrasi pemerintah daerah yang lebih ramping akan tetapi kaya fungsi (form follow function). Perubahan proses meliputi perubahan yang menyentuh keseluruhan aspek dalam siklus pengendalian manajemen di pemerintah daerah, yaitu perumusan strategi, perencanaan strategi, penganggaran, pelaporan kinerja, penilaian kinerja, dan mekanisme reward dan punishment sistem. Perubahan kultur birokrasi terkait dengan perubahan budaya kerja dan perilaku pegawai yang mengarah pada terciptanya profesionalisme birokrasi. Terdapat tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak diluar eksekutif (yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintah. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif (pemerintah daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada. Pada tataran teknis aplikatif juga berbeda, monitoring oleh DPRD dilakukan pada tahap awal. Pengendalian dilakukan terutama pada tahap menengah (operasional), yaitu level pengendalian manajemen (management control) dan pengendalian tugas (task control), sedangkan pemeriksaan dilakukan pada tahap akhir. Objek yang diperikasa yaitu kinerja anggaran (anggaran policy), anggaran kinerja, dan laporan pertanggung jawaban yang terdiri atas nota perhitungan APBD, neraca, laporan aliran kas, dan laporan surplus/deficit anggaran. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian
wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah (social control). Penguatan fungsi pengendalian dilakukan melalui pembuatan sistem pengendalian intern yang memadai dan pemberdayaan internal auditor pemerintah daerah (misalnya inspektorat). Pengawasan oleh DPRD dan masyarakat tersebut harus sudah sudah dilakukan pada tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap perencanaan (penentuan Arah dan Kebiajakan Umum APBD), maka sangat mungkin pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi, harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif daerah adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy) yang digariskan, bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik yang independen. Jika DPRD menghendaki, dewan dapat meminta BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kinerja keuangan eksekutif. Untuk memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk mengawasi jalannya suatu lembaga publik. Namum untuk fungsi pemeriksaan tetap dilakukan oleh badan yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal tersebut agar DPRD tidak disibukan dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga dewan dapat lebih berkonsentrasi pada permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijakan.
C. Pelayanan Publik Desain sistem manajemen kinerja sektor publik tidak dapat dipisahkan dari penentuan standar pelayanan publik. Manajemen kinerja sektor publik belum dikatakan lengkap bila tidak ditetapkan standar pelayanan publik yang menjadi acuan bagi manajemen dalam bertindak. Standar pelayanan publik merupakan standar kerja minimal yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik. Dalam rangka memenuhi standar pelayanan publik tersebut, setiap unit pelayanan harus menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM). 1. Pengertian Pelayanan Publik Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Mahmudi ( 2007: 213-214) dalam hal ini, yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah yang meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Satuan kerja/satuan organisasi Kementrian; Departemen; Lembaga Pemerintah Non Departemen; Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, misalnya : sekretariat dewan (Setwan), sekretariat Negara (Setneg), dan sebagainya; Badan Usaha Milik Negara (BUMN); Badan Hukum Milik Negara (BHMN); Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk dinas-dinas dan badan.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya.
Namun demikian, meskipun kewajiban pemberian pelayanan publik terletak pada pemerintah, pelayanan publik juga dapat diberikan oleh pihak swasta dan pihak ketiga, yaitu organisasi nonprofit, relawan (volunterr), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Jika penyelenggaraan pelayanan publik tertentu diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga, maka yang terpenting dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan regulasi, jaminan keamanan, kepastian hukum, dan lingkungan yang kondusif (Mahmudi: 2007). 2. Klasifikasi Pelayanan Publik Pelayanan publik yang harus diberikan pemerintah dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori utama, yaitu : pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan umum (Mahmudi: 2007). a) Pelayanan Kebutuhan Dasar Pelayanan kebutuhan dasar yang harus diberikan oleh pemerintah meliputi: b) Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, maka kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu, perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera (welfare society). Menurut Mahmudi (2007: 213-214) Tingkat kesehatan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, karena tingkat kesehatan memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat kemiskinan. Sementara, tingkat kemiskinan akan terkait dengan tingkat kesejahteraan. Keterkaitan tingkat kesehatan dengan kemiskinan dapat dilihat pada siklus lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of profety). Dalam suatu lingkaran setan kemiskinan tersebut, terdapat tiga poros utama yang menyebabkan seseorang menjadi miskin, yaitu:
1) rendahnya tingkat kesehatan, 2) rendahnya pendapatan, 3) rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat kesehatan merupakan salah satu pemicu terjadinya kemiskinan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa tingkat kesehatan masyarakat yang rendah akan menyebabkan tingkat produktivitas rendah. Tingkat produktivitas yang rendah lebih lanjut menyebabkan pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan terjadinya kemiskinan. Kemiskinan itu selanjutnya menyebabkan seseorang tidak dapat menjangkau pendidikan yang berkualitas serta membayar biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan. Oleh karena kesehatan merupakan faktor utama kesejahteraan masyarakat yang hendak diwujudkan pemerintah, maka kesehatan harus menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah harus dapat menjamin hak masyarakat untuk sehat (right for health) dengan memberikan pelayanan kesehatan secara adil, merata, memadai, terjangkau, dan berkualitas (Mahmudi: 2007). c) Pendidikan Dasar Selain kesehatan bentuk pelayanan lainnya adalah pendidikan dasar. Sama halnya dengan kesehatan, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Masa depan suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh seberapa besar perhatian pemerintah terhadap pendidikan masyarakat. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan karena pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam lingkaran setan kemiskinan sebagaimana digambarkan di atas. Untuk memotong lingkaran setan kemiskinan salah satu caranya adalah melalui perbaikan kualitas pendidikan. Pelayanan pendidikan masyarakat yang paling elementer adalah pendidikan dasar. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan, “Jika kita ingin mengetahui bangsa ini tiga puluh atau lima puluh tahun yang akan datang, maka lihatlah anak-anak Sekolah Dasar kita sekarang.” Pada pemerintahan kita pendidikan dasar diterjemahkan dalam program Wajib Belajar Sembilan Tahun
Pendidikan dasar tersebut pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintaha untuk menyelenggarakannya. Idealnya pemerintah mensubsidi penuh pendidikan dasar ini sehingga tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak mamapu menyekolahkan anaknya. Pemerintah hendaknya menjamin bahwa semua anak dapat bersekolah (Mahmudi: 2007). Untuk melakukan hal itu diperlukan anggaran pendidikan yang besar. Dalam pemenuhan anggaran tersebut amanat amandemen UUD 1945 telah mensyaratkan alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total anggaran. Alokasi anggaran untuk pendidikan sebenarnya bukan biaya akan tetapi investasi jangka panjang yang manfaatnya juga bersifat jangka panjang (Mahmudi: 2007). d) Bahan Kebutuhan Pokok Selain kesehatan dan pendidikan yang tersebut di atas, pemerintah juga harus memberikan pelayanan kebutuhan dasar yang lain, yaitu bahan kebutuhan pokok. Dalam hal penyediaan bahan kebutuhan pokok, pemerintah perlu menjamin stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediaannya di pasar maupun di gedung dalam bentuk cadangan atau persediaan (Mahmudi: 2007). e) Pelayanan Umum Selain pelayanana kebutuhan dasar, pemerintah sebagai instansi penyedia pelayanan publik juga harus memberikan pelayanan umum kepada masyarakat (Mahmudi: 2007). Pelayanan umum yang harus diberikan pemerintah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Pelayanan Administratif Pelayanan administratif adalah pelayanan berupa penyediaan berbagai bentuk dokumen yang dibutuhkan oleh publik, misalnya: o o o o o o
Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Sertifikat Tanah Akta Kelahiran Akta Kematian Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK)
o Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) o Paspor 2) Pelayanan Barang Pelayanan barang adalah pelayanan yang menghasilkan berbagaibentuk/jenis barang yang menjadi kebutuhan publik (Mahmudi: 2007), misalnya: o Jaringan telepon o Penyediaan tenaga listrik o Penyediaan air bersih 3) Pelayanan Jasa Pelayanan jasa adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan publik (Mahmudi: 2007), misalnya: o o o o o o o o o o
Pendidikan tinggi dan menengah Pemeliharaan kesehatan Penyelenggaraan transportasi Jasa pos Sanitasi lingkungan Persampahan Drainase Jalan dan trotoar Penanggulangan bencana Pelayanan social
3. Asas Pelayanan Publik Asas memberikan pelayanan publik, instansi penyedia jasa pelayanan publik harus memperhatikan asas pelayanan publik (Mahmudi: 2007), yaitu:
a. Transparansi Pemberiaan pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b.
Akuntabilitas
Pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Kondisional Pemberian pelayanan publik harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. d. Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e. Tidak diskriminatif (kesamaan hak) Pemberian pelayanan publik tidak boleh diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, status social dan ekonomi f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masingmasing pihak.
4. Prinsip Pelayanan Publik Selain beberapa asas pelayanan publik yang harus dipenuhi, instansi penyedia pelayanan publik dalam memberikan pelayanan harus memperhatikan prinsi-prinsip pelayanan publik (Mahmudi: 2007). Prinsip pelayanan publik itu antara lain: a. Kesederhanaan prosedur Prosedur pelayanan hendaknya mudah dan tidak berbelit-belit. b. Kejelasan Kejelasan dalam hal persyaratan teknik dan administrative pelayanan publik, unit kerja/pejabat yaqng berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan, persoalan, sengketa, atau tuntutan dalam pelaksanaan pelayanan
publik, serta rincian biaya pelayanan publik dalam tata cara pembayarannya. Kejelasan ini penting bagi masyarakat untuk menghindari terjadinya berbagai penyimpangan yang merugikan masyarakat (Mahmudi: 2007). c. Kepastian waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Dalam hasl ini harus ada kejelasan berapa lama proses pelayanan diselesaikan (Mahmudi: 2007). d. Akurasi produk pelayanan publik Produk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat harus akurat, benar, tepat, dan sah (Mahmudi: 2007).
e. Kelengkapan sarana dan sarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyedia saran teknologi informasi dan komikasi. f. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. Tidak boleh terjadi intimidasi atau tekanan kepada masyarakat dalam pemberian pelayanan (Mahmudi: 2007). g. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik (Mahmudi: 2007). h. Kemudahan akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informatika.
i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan sepenuh hati (Mahmudi: 2007). j. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman dan bersih, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan (Mahmudi: 2007). 5. Standar Pelayanan Publik Pelayanan publik harus diberikan berdasarkan standar tertentu. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan. Dengan demikian, standar pelayanan publik adalah spesifikasi teknis pelayanan yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan pelayanan publik. Standar pelayanan publik tersebut
merupakan
ukuran
atau
persyaratanbaku
yang
harus
dipenuhi
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dan wajib ditaati oleh pemberi pelayanan (pemerintah) dan atau pengguna pelayanan (masyarakat). Setiap penyelenggaranan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan (Mahmudi: 2007). a. Pentingnya Standar Pelayanan Publik Standar pelayanan publik wajib dmiliki oleh institusi penyelenggara layanan publik untuk menjamin diberikannya pelayanan yang berkualitas oleh penyedia layanan publik sehingga masyarakat penerima pelayanan publik merasakan adanya nilai yang tinggi atas pelayanan tersebut. Tanpa adanya standar pelayanan publik maka akan sangat mungkin terjadi pelayanan yang diberikan jauh dari pelayanan publik. Dalam keadaan seperti itu akan timbul senjangan harapan (expectation gap) yang tinggi (Mahmudi: 2007).
Standar pelayanan publik berfungsi untuk memberikan arah bertindak bagi institusi penyedia pelayanan publik. Standar tersebut akan memudahkan instansi penyedia pelayanan untuk menentukan strategi dan priorotas. Bagi pemerintah sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan publik, penetapan standar pelayanan untuk menjamin dilakukan akuntabilitas pelayanan publik sangat penting. Standar pelayanan publik dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan. Selain itu, standar pelayanan juga dapat dijadikan salah satu dasar untuk menghitung besarnya subsidi yang harus diberikan oleh pemerintah untuk pelayanan publik tertentu (Mahmudi: 2007). b. Cakupan standar pelayanan publik Menurut Mahmudi (2007: 215) cakupan standar pelayanan publik yang harus ditetapkan sekurang-kurangnya meliputi: 1) Prosedur standar pelayanan publik Dalam hal ini harus ditetapkan standar prosedur pelayanan yang dibekukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk prosedur pengaduan. 2) Waktu penyelesaian Harus ditetapkan standar waktu penyelesaian pelayanan yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. 3) Biaya pelayanan Harus ditetapkan standar biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. Hendaknya setiap kenaikan tarif/biaya pelayanan diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan (Mahmudi: 2007). 4) Produk pelayanan Harus ditetapkan standar produk (hasil) pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan harga pelayanan yang telah dibayarkan oleh
masyarakat, mereka akan mendapat pelayanan berupa apa saja. Produk pelayanan ini harus distandarkan (Mahmudi: 2007). 5) Sarana dan prasarana Harus ditetapkan standar saran dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik (Mahmudi: 2007). 6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan Perlu ditetapkan standar kompetensi petugas pemberi pelayanan berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan. Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan prinsip, standar, dan pola penyediaan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita dan mengupayakan tersediannya sarana dan prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita (Mahmudi: 2007). 6. Pola Penyelenggara Pelayanan Publik Menurut Mahmudi (2007: 217) terdapat beberapa pola dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pola tersebut antara lain:
a. Pola Fungsional Pola pelayanan fungsional adalah pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Sebagai contoh, untuk pelayanan pajak akan ditangani oleh unit organisasi yang berfungsi melakukan pemungutan pajak, misalnya KPPD (Kantor Pelayanan Pajak Daerah). b. Pola Terpusat
Pola pelayanan terpusat adalah pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan (Mahmudi: 2007). c. Pola Terpadu Menurut Mahmudi (2007: 217) pola pelayanan terpadu terdiri atas dua bentuk, yaitu: 1) Terpadu Satu Atap Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu disatu atapkan. 2) Terpadu Satu Pintu Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. d. Pola Gugus Tugas Pola pelayanan gugus tugas adalah pola pelayanan publik yang dalam hal ini petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan tertentu. Selain pola pelayanan sebagaimana tersebut di atas, instansi yang melakukan pelayanan publik dapat mengembangkan pola penyelenggaraan pelayanan dalam rangka menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan publik.