MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL PADA GURU INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko
A.
PENGANTAR
Kalau dikumpulkan terdapat belasan bahkan puluhan pengertian atau pun definisi kompetensi. Kalau kita buka “Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English” (1995) halaman 232, di sana terminologi kompetensi dideskripsi sebagai kapasitas, keterampilan, atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan secara efisien, atau suatu lingkup kemampuan seseorang atau suatu kelompok Apa pun definisinya, kompetensi berkait erat dengan spesifikasi pekerjaan. Menurut Kreitner dan Knicki (2000), untuk situasi keterlibatan individu dalam organisasi, kompetensi yang dituntut adalah kemampuan berkomunikasi verbal, inisiatif, kemampuan memutuskan, toleransi, pemecahan masalah, dan kemampuan menyesuaikan diri. Selanjutnya terkait dengan deskripsi kompetensi sebagai tingkah laku unjuk kerja (tasks performed), penguasaan materi dan pengetahuan berhubungan dengan tingkah laku unjuk kerja tersebut dan dapat dikatagorikan menjadi 4(empat) tingkat, yaitu: (1) pemula (novice), (2) menengah (intermediate), (3) lanjut (advanced), dan (4) ahli (expert). Semua ini dapat dibaca di dalam naskah, “Hakikat Kompetensi dan Kemampuan Pemecahan Masalah” yang dapat diakses dalam situs http;// network.realmedia.com.
2
Setiap ahli biasanya membuat definisi sendiri mengenai kompetensi, setidak-tidaknya membuat pengertian tentangnya. Belum lagi kalau dilihat deskripsi kompetensi dari kamus ke kamus; terkadang antara kamus yang satu dengan yang lain memiliki deskripsi yang berbeda. Sama-sama kamus terbitan Amerika Serikat (AS) atau Inggris saja tidak jarang membuat deskripsi kompetensi yang berbeda; demikian pula halnya dengan kamus yang sama-sama terbitan Indonesia. Perbedaan seperti tersebut di atas kiranya wajar-wajar saja sepanjang kita tepat dalam menerapkannya; maksudnya menerapkan deskripsi kompetensi tersebut dalam konteks yang tepat.
B.
KOMPETENSI SOSIAL
Sekarang, apakah yang dimaksud dengan kompetensi sosial itu? Sebagaimana dengan kompetensi, pengertian kompetensi sosial pun relatif banyak karena masing-masing ahli membuat definisi sendiri-sendiri menurut latar belakang ilmu yang ditekuninya. Sumardi (2006) misalnya, dalam tulisannya “Tantangan Baru Dunia Pendidikan” yang bisa diakses dalam situs http://www.sfeduresearch.org menyatakan kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang bekomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Ia pun mengutip pendapatnya Gardner (1983) bahwa kompetens sosial sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial, di mana kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.
3
Senada dengan pengertian tersebut di atas, St. Makmur Muin (2004) dalam karyanya “Atase Ketenagakerjaan” yang dapat diakses dalam situs http://www.nakertrans.go.id menyatakan yang dimaksud kompetensi sosial adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru sehingga mampu mengaktualisasi diri di lingkungan masyarakat maupun lingkungan tempat kerja. Sedangkan Suwarna, dkk.(2007) dalam bukunya “Pengajaran Mikro” yang diterbitkan oleh Tiara Wacana menyatakan bahwa kompetensi sosial secara implisit tercakup di dalam penguasaan kompetensi mengajar. Dalam arti, guru dengan kompetensi mengajar yang baik dan bertanggung jawab diasumsikan akan secara simultan menguasai kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dalam dunia pendidikan anak-anak dikenal istilah kompetensi sosialemosional sebagai salah satu dari tiga pilar kompetensi; adapun dua pilar yang lainnya adalah kompetensi kognitif dan kompetensi motorik-fisik. Adapun pengertian kompetensi sosial-emosional tersebut menurut Nana dalam naskah “Agar Anak Jujur Melangkah” yang dapat diakses dalam situs http://yuswar.blogsome.com adalah jalinan hubungan yang baik dengan orang di sekitarnya, seperti ayah-ibu, kakek-nenek, adik-kakak, dan pembantu. Anak perlu belajar bahwa orang dewasa di sekelilingnya dapat dipercaya dan diandalkan. Dengan demikian, dia akan belajar bahwa dunia ini adalah tempat yang aman. Definisi atau pengertian manakah di antara definisi tersebut di atas yang paling benar? Hal itu tentu saja sangat relatif karena masing-masing memiliki kelebihan tersendiri apabila diterapkan dalam kasus-kasus tertentu yang relevan.
4
Selanjutnya di dalam dokumen “Panduan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Tahun 2006” yang telah disusun bersama Direktorat Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan Direktorat Profesi Pendidik Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas (2006) disajikan pengertian yang lengkap. Pada halaman 1 s/d 7 dokumen ini disebutkan bahwa kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan orang tua / wali dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memilii subkompetensi dengan indikator esebsial sebagai berikut. 1.
Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
2.
Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
3.
Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua / wali peserta didik dan masyarakat.
C.
TEORI KOMUNIKASI
Kalau diperhatikan uraian tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa kunci kompetensi sosial itu ada pada komunikasi, dalam arti sejauh mana guru mampu melakukan komunikasi yang produktif dengan siswa serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengajaran itu sendiri.
5
Pada dasarnya komunikasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu komunikasi satu arah (one way traffic comunication), komunikasi dua arah (two ways traffic communication), dan komunikasi banyak arah (multi ways traffic communication). Adapun penjelasan ketiga jenis komunikasi tersebut adalah sebagai berikut. Komunikasi satu arah terjadi kalau hanya ada satu sumber dalam komunikasi yang sedang berlangsung. Di dalam dunia pendidikan hal ini terjadi misalnya pada Siaran Radio Pendidikan (SRP) ketika gurunya menjelaskan sesuatu hal dan siswanya mendengarkan melalui radio, Televisi Pendidikan (TP) ketika dosennya menjelaskan sesuatu hal dan mahasiswa menjaganya melalui televisi, dsb. Dalam hal ini sumber komunikasi adalah guru di radio atau dosen di televisi. Kalau ada yang perlu ditanyakan oleh siswa atau mahasiswa tidak mungkin terjadi karena adanya kendala teknis; itulah sebabnya jenis komunikasi ini disebut komunikasi satu arah. Komunikasi dua arah terjadi kalau terdapat dua sumber yang keduanya saling berinteraksi dalam suatu komunikasi. Di dalam dunia pendidikan hal ini terjadi pada pengajaran di dalam kelas ketika seorang guru sedang bertanya jawab dengan seorang siswa. Siswa yang bertanya dan guru yang menjawab itulah nara sumber komunikasi. Hal ini bisa terjadi karena siswa dengan penuh keingintahuan dan penuh keberanian menanyakan segala sesuatu yang belum jelas kepada guru; sebaliknya guru pun pada saat itu pula dapat memberikan jawaban atas pertanyaan siswa tersebut tanpa ada kendala teknis sehingga komunikasi keduanya dapat berjalan. Itulah sebabnya jenis komunikasi ini disebut dengan komunikasi dua arah.
6
Komunikasi banyak arah terjadi kalau terdapat lebih dari dua sumber yang semuanya saling berinteraksi dalam suatu komunikasi. Di dalam dunia pendidikan hal ini terjadi pada pengajaran di dalam kelas ketika terjadi diskusi antarsiswa dan antara guru dengan siswa. Guru dan para sisiwa yang saling berdiskusi itulah nara sumber komunikasi. Hal ini bisa terjadi karena antarsiswa dan antara siswa dengan guru bisa saling berdiskusi tanpa ada kendala teknis sehingga komunikasi semuanya dapat berjalan. Itulah sebabnya jenis komunikasi ini disebut dengan komunikasi banyak arah. Apabila komunikasi dua arah dan komunikasi banyak arah dibiasakan semenjak siswa SD, apalagi siswa TK, dan berlangsung terus sampai perguruan tinggi tentu akan menghasilkan seorang komunikator yang baik; tahu apa yang perlu disampaikan dan tidak perlu disampaikan, bagaimana cara menyampaikan dengan sopan tetapi tanpa kehilangan substansi permasalahan, dan sebagainya. Menurut Kemp (1977) ada empat faktor yang sangat menentukan keberhasilan komunikasi, yaitu Audience, Behaviour, Condition, dan Degree. Keempat faktor ini disingkat dengan ABCD. Audience atau sasaran maksudnya dalam berkomunikasi hendaknya memperhatikan siapa sasarannya; apakah orang berpendidikan atau tidak, apakah masyarakat umum atau pejabat, apakah siswa atau kepala sekolah, apakah siswa SD atau siswa SMA, dan sebagainya. Dengan mengetahui karakteristik sasaran maka sang komunikator pun bisa menyesuaikan gaya dan “irama” komunikasi menurut karakteristik sasaran. Berkomunikasi dengan siswa SD tentu berbeda dengan siswa SMA misalnya.
7
Behaviour atau perilaku maksudnya perilaku apa yang diharapkan dari sasaran setelah berlangsung dan selesainya komunikasi. Misalnya seorang guru sejarah sebagai komunikator ketika sedang berlangsung dan setelah selesai menjelaskan Peristiwa Pangeran Dopinegoro, perilaku siswa apakah yang diharapkan. Apakah siswa menjadi sedih dan menangis merenungi nasib bangsanya, apakah siswa mengepalkan tangan seolah-olah akan menerjang penjajah Belanda, apakah siswa santai-santai saja asal tahu peristiwanya, dsb. Hal ini sangat penting berkait dengan keberhasilan komunikasi guru sejarah tersebut. Condition atau kondisi dalam kondisi apa sasaran ketika komunikasi sedang berlangsung. Misalnya ketika guru Matematika mau menjelaskan rumus-rumus yang sulit harus tahu kondisi siswa, apakah sedang gembira, sedang sedih, sedang lelah habis olah raga, sedang kantuk karena semalam ada acara, dsb. Dengan memahami kondisi seperti ini akan berhasillah komunikasi yang disampaikan oleh guru karena menjelaskan rumus yang sulit dalam situasi siswa sedih tentu berbeda dengan gembira. Degree atau tingkatan maksudnya sampai tingkatan manakah target bahan komunikasi yang harus dikuasai oleh sasaran itu sendiri. Misalnya saja ketika seorang guru Bahasa Inggris menjelaskan kata kerja menurut satuan waktunya, past tense, present tense dan future tense, berapa jumlah minimal kata kerja yang harus dihafal oleh siswa pada hari itu; apakah 10, 20, 30, 40, atau 50 kata kerja. Jumlah minimal kata kerja yang dikuasai oleh siswa sekaligus dapat dijadikan sebagai alat ukur keberhasilan guru Bahasa Inggris dalam mengajar atau berkomunikasi; kalau tercapai adalah berhasil, sebaliknya kalau tidak tercapai adalah tidak berhasil.
8
Kalau menurut Septi Irawati (2002) dalam “Pengaruh Program Play Group Al-Fath Kediri terhadap Keterampilan Berkomunikasi Anak” yang dapat diakses dalam http//digilib.itb.ac.id disebutkan, menurut Stewart L. Tubb dan Sylvia Moss sifat komunikasi anak secara umum ada 2 macam: Pertama, Komunikasi Egosentris, artinya, anak selalu berbahasa dengan bahasa yang selalu membuat pernyataan, bahkan perdebatan, alih-alih memberi alasan pernyataannya. Anak tersebut hampir tidak pernah bertanya pada dirinya, apakah ucapannya dimengerti. Baginya semua itu sudah jelas, karena ia sama sekali tidak memikirkan orang lain ketika ia berbicara. Kedua, Komunikasi Sosiosentrik, artinya meliputi penyajian informasi kepada penerima dan dalam beberapa hal cara pandang penerima, ini lebih melibatkan penyandian sosial daripada penyandian nonsosial. Adapun dalam pola belajar berbicara, biasanya terdapat empat bentuk prabicara, yaitu menangis, berceloteh, isyarat, dan pengungkapan emosi.
D.
MEMPRODUKTIFKAN KOMUNIKASI
Setelah memahami pengertian kompetensi sosial dan meteri komunikasi permasalahnya sekarang adalah bagaimanakah cara mengembangkan kompetensi sosial pada guru Indonesia? Cara mengembangkan kompetensi sosial guru adalah dengan memproduktifkan komunikasi guru dengan siswa, dengan sesama guru, dan dengan orang tua / wali siswa. Apabila ketiga sasaran komunikasi tersebut dapat dilakukan dengan baik maka secara langsung kompetensi sosial guru yang bersangkutan akan berkembang.
9
Cara tersebut kelihatannya relatif mudah karena dalam kesehariannya pekerjaan guru memang bersentuhan dengan siswa dan guru, sedangkan secara periodik bersentuhan dengan orang tua / wali siswa; namun secara kasus per kasus sungguh tidak mudah. Ketika menghadapi siswa yang tidak memiliki motivasi belajar misalnya; betapa sulitnya guru untuk menciptakan komunikasi yang produktif. Apakah ada siswa yang seperti itu? Tentu banyak! Di kota, desa, pinggiran, dan pedalaman hampir semuanya ada siswa seperti itu. Apalagi menghadapi siswa yang tidak memiliki motivasi bersekolah, guru pun lebih sulit lagi menciptakan komunikasi yang produktif. Siswa seperti ini pun, meski relatif sedikit jumlahnya, tetapi ternyata ada di banyak tempat. Karakter orang tua / wali siswa terhadap pendidikan anak memang beraneka ragam; ada yang sangat perhatian, ada yang acuh tak acuh, dan ada pula yang sama sekali tidak memperhatikan pendidikan anak. Aneka karakter ini berimplikasi pada tingkat kesulitan guru untuk membuat komunikasi yang produktif. Secara umum, pada orang tua yang tidak mempunyai perhatian terhadap pendidikan anak lebih sulit menciptakan komunikasi yang produktif daripada orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anak. Pada orang tua yang tidak perhatian, komunikasi dengan guru anaknya merasa tidak perlu, sebaliknya pada orang tua yang sangat perhatian maka komunikasi itu dianggap sangat perlu. Secara kasus per kasus memang cukup sulit menciptakan komunikasi yang produktif antara guru dengan siswa, sesama guru, dan orang tua / wali siswa; namun itu semua sesungguhnya justru menjadi tantangan untuk mengembangkan kompetensi sosial guru Indonesia.
10
E.
KESIMPULAN
Kompetensi sosial sangat penting dan memiliki posisi yang strategis untuk mensukseskan pendidikan; oleh karenanya setiap guru hendaklah memiliki, menguasi dan mempraktekkan kompetensi sosial tersebut di atas dalam proses pengajarannya. Cara mengembangkan kompotensi sosial ialah memproduktifkan komunikasi antara guru yang bersangkutan dengan siswa, dengan sesama guru, dan dengan orang tua / wali siswa. Apabila ketiga hal ini dapat dilakukan dengan baik maka akan berkembanglah kompetensi sosial guru yang bersangkutan !!!*****
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Prof. Dr. H. Ki Supriyoko, M.Pd. adalah Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, Pengasuh Pesantren “Ar-Raudhah” Yogyakarta, dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang
KAPASITAS: 1.915 KATA (WORDS)