Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
Abigail Pheilia Yumeisien Thamrin Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Meningitis adalah radang pada arakhnoid dan piamater, yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme. Pada daerah dengan endemik tuberkulosis (TB), meningitis TB adalah kelainan neurologik yang sering terjadi. Meskipun dengan kemoterapi yang adekuat, meningitis TB memiliki angka kematian hingga 50% kasus. Pada kasus disajikan seorang pasien laki-laki, 31 tahun, dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 5 hari yang lalu, disertai demam tinggi, sesak dan nyeri kepala sejak 2 minggu SMRS, dan batuk berdahak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran sopor dengan GCS 7 (E2V2M3). Tekanan darah o 110/70 mmHg, nadi 112x/menit, frekuensi napas 36x/menit dan suhu 39,5 C. Pada status generalis didapatkan konjungtiva anemis (+/+), kandidiasis oral, stomatitis, rhonki (+/+), dan turgor kulit berkurang. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku kuduk, kernig sign, Brudzinky I dan refleks Babinski positif pada kedua tungkai. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan hemoglobin, peningkatan LED, penurunan leukosit dengan peningkatan jumlah neutrofil segmen, penurunan Lymphocyte Count Total dan CD4, dan hasil antibodi anti-HIV reaktif. Hasil pemeriksaan foto rontgen thoraks AP menunjukkan suatu proses spesifik aktif (infiltrat di kedua apeks paru). Pasien ini didiagnosis suspek meningitis TB dan AIDS. Penatalaksanaan pasien dalam kasus dengan pemberian OAT dan terapi suportif lainnya. Kata kunci: AIDS, meningitis tuberkulosis
A 31 Years Old Man with Suspect Tuberculosis Meningitis and AIDS Abstract Meningitis is an inflammation of the arachnoid and piamater, which can be caused by microorganisms. In areas with endemic tuberculosis (TB), TB meningitis is the most common neurological disorder. Although with the adequate chemotherapy, TB meningitis had a mortality rate up to 50% cases. This case presents a male patient, 31 years old, with complaint as loss of consciousness since five days ago, accompanied by high fever, dyspneu and headache since 2 weeks ago, and phlegm cough. Physical examination showed conscious sopor with GCS 7 (E2V2M3). Blood pressure 110/70 mmHg, o pulse 112x/minute, respiratory rate 36x/minute and temperature 39,5 C. In the general status obtained pallor conjunctival, oral candidiasis, stomatitis, rhonki, and decreased skin turgor. Neurological examination showed neck stiffness, Kernig sign, Brudzinky I and positive Babinski reflex in the both legs. Laboratory examination showed decreased hemoglobin, elevated ESR, decreased leukocytes with an increasing number of segment neutrophils, decreased Total Lymphocyte Count and CD4, and reactive anti-HIV antibody. AP chest X-ray examination showed an active specific process (infiltrates in the apex of the lungs). This patient was diagnosed with suspect TB meningitis and AIDS. Managements of patients in this case are the administration of antituberculous drugs and other supportive therapies. Keywords: AIDS, tuberculosis meningitis Korespondensi: Abigail Pheilia YT, S.Ked, alamat Perum Bukti Kencana J-30 Sukabumi Bandar Lampung, HP 08992267558, email
[email protected]
Pendahuluan Meningitis adalah radang umum pada selaput araknoid dan piamater, disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut atau kronis. Mikroorganisme ini dapat masuk ke setiap bagian ruang subaraknoid dan dengan cepat menyebar ke tempat lain.1 Pada daerah dengan endemik tuberkulosis, meningitis TB adalah kelainan neurologik yang sering terjadi dengan angka kejadian 70-80% dari seluruh kasus TB neurologis. Meskipun dengan kemoterapi yang adekuat, meningitis TB memiliki angka kematian hingga 50% kasus. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, meningitis TB masih memiliki angka kematian yang tinggi.
Pada penelitian selama beberapa tahun menunjukkan bahwa hanya 40% dari 135 pasien dengan meningitis TB yang bertahan dibandingkan dengan 85% dari 75 pasien yang mengalami meningitis non-TB.2-4 Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi peningkatan insidensi TB (termasuk meningitis tuberkulosis) yang terkait dengan faktor risiko terbanyak yaitu infeksi HIV.5-7 Koinfeksi tuberkulosis pada pasien HIV terkait dengan patogenesis terkait HIV yaitu penurunan limfosit T CD4+ dan tingginya viral load. Infeksi HIV meliputi temuan patologi, klinis dan laboratorium pada pasien TB yang memiliki prognosis buruk.4 Pemberian terapi antiretroviral dapat menurunkan risiko ini.8
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|1
Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
Kasus Pasien laki-laki, 31 tahun, dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 5 hari yang lalu. Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan-lahan dan semakin memberat. Pasien juga mengalami demam tinggi, sesak dan nyeri kepala sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien juga terdapat batuk berdahak. Riwayat batuk darah, keringat malam dan terapi OAT tidak diketahui. Menurut keluarga, pasien tidak muntah, tidak ada kejang ataupun kelemahan anggota gerak. Pasien juga tampak mengalami penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 3 bulan terakhir. Sekitar 1 bulan terakhir pasien juga sering mengeluhkan nyeri saat menelan dan sariawan yang tidak kunjung sembuh, namun keluhan diare tidak ada. Pasien memiliki kebiasaan merokok ½-1 bungkus rokok/hari. Pasien belum menikah dan riwayat kontak seksual dan penggunaan jarum suntik tidak diketahui. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran sopor, GCS 7 (E2V2M3). Tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 112x/menit, RR 36x/menit, suhu 39,5oC. Pada status umum didapatkan konjungtiva anemis, kandidiasis oral, stomatitis, rhonki di kedua lapang paru, dan turgor kulit berkurang. Pemeriksaan neurologis didapatkan kaku kuduk, kernig sign, Brudzinky I dan refleks Babinski positif pada kedua tungkai. Pemeriksaan motorik sulit dinilai (kesan tidak ada lateralisasi). Pemeriksaan sensoris sulit dinilai. Pada pemeriksaan sistem saraf otonom tidak didapatkan gangguan. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan penurunan hemoglobin (9,1 g/dL), peningkatan LED (144 mm/jam), penurunan leukosit (3.900/µL) dengan peningkatan jumlah neutrofil segmen (90%), peningkatan kadar enzim hati (SGOT 60 U/L dan SGPT 49 U/L). Jumlah Total Lymphocyte Count 234 sel/µL dan CD4 47 sel/µL, dan antibodi anti-HIV reaktif. Hasil pemeriksaan foto rontgen thoraks AP didapatkan terdapat suatu proses spesifik aktif (infiltrat di kedua apeks paru). Pasien ini didiagnosis sebagai suspek meningitis TB dan AIDS. Terapi yang diberikan pasien terdiri dari terapi medikamentosa dan non-medikamentosa. Terapi medikamentosa J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|2
meliputi cairan Ringer Laktat, Paracetamol 3 x 500 mg intravena, deksametason 3 x 5 mg intravena dan obat antituberkulosis (OAT) RHZES (Rifampisin tablet 300 mg, Isoniazid tablet 300 mg, Pirazinamid tablet 750 mg, Etambutol tablet 750 mg, Streptomisin injeksi intramuskuler 500 mg). Terapi non medikamentosa meliputi perawatan di ruang isolasi tuberkulosis, pemberian oksigen, diet cair dan pemasangan Nasogastric tube dan kateter urin. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad malam. Pembahasan Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa dan merupakan bentuk yang paling sering terjadi dari tuberkulosis pada Sistem Saraf Pusat (SSP). Individu dengan risiko tinggi meningitis TB seperti anak-anak dengan TB primer dan pasien dengan imunodefisiensi yang disebabkan usia tua, malnutrisi atau penyakit seperti HIV dan kanker.4 Meningitis TB memiliki fase prodormal dengan gejala seperti demam yang tidak tinggi, malaise, sakit kepala, muntah dan atau perubahan perilaku yang mungkin bisa bertahan hingga beberapa minggu. Kemudian diikuti gejala sakit kepala yang memberat, gangguan status mental, stroke, hidrosefalus dan neuropati kranial. Kejang umumnya jarang terjadi pada dewasa.4 Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan penurunan kesadaran secara perlahan-lahan sejak 5 hari SMRS. Demam sejak 2 minggu SMRS, tidak tinggi, hilang timbul dan sakit di seluruh kepala, terasa berat, terutama di daerah tengkuk. Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu 39,50C. Dari pemeriksaan neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, brudzinky I, kernig sign). Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya peningkatan LED. Berdasarkan data klinis, pasien ini didiagnosis meningitis. Meningitis bakterial akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk; tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinik yang sama dengan kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat menjadi sulit jika manifestasi awal hanya nyeri kepala
Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
dan demam. Selain itu, kaku kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.9-12 Pasien pada kasus memang memiliki riwayat batuk sejak 2 bulan yang lalu namun belum dapat ditegakkan diagnosis TB karena riwayat terapi OAT pasien yang tidak jelas dan keadaan pasien saat ini (kesadaran stupor) tidak memungkinkan untuk dilakukan pengumpulan sputum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada kedua lapang paru. Hasil pemeriksaan foto toraks pasien menunjukkan adanya suatu proses spesifik aktif berupa infiltrat di kedua apeks paru yang merupakan tipikal tuberkulosis paru.3 Pasien ini juga memiliki keluhan penurunan berat badan sekitar 10 kg dalam 3 bulan terakhir, nyeri saat menelan dan sariawan yang tidak kunjung sembuh dalam 1 bulan terakhir. Pemeriksaan generalis didapatkan stomatitis dan kandidiasis oral. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan antibodi anti-HIV pasien ini reaktif dengan Total Lymphocyte Count 234 sel/µL. Oleh karena itu, pasien dinyatakan positif terinfeksi HIV. Dari keseluruhan data tersebut maka dapat ditegakkan diagnosis tuberkulosis pada pasien ini. Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dalam menegakkan diagnosis TB diperlukan sedikitnya 2 dari 3 spesimen sputum yang positif ditemukan basil tahan asam. Namun, pada kasus TB BTA negatif, PDPI menjelaskan bahwa jika foto toraks mendukung diagnosis TB, maka dapat didiagnosis sebagai TB paru BTA negatif.3 Sedangkan, WHO dalam pedoman terapi TB edisi 4 menjabarkan bahwa diagnosis TB BTA negatif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria abnormalitas radiografi (TB paru aktif) dan positif terinfeksi HIV.13 Pasien ini didiagnosis dengan suspek meningitis TB dan AIDS. Diagnosis meningitis didasarkan pada manifestasi klinis yang didapatkan baik dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sedangkan, diagnosis AIDS atau infeksi HIV dengan stadium klinis 4 didasarkan pada kriteria sakit berat yaitu meningitis (baik meningitis TB ataupun kriptokokus) pada pasien ini, ditunjang dengan kadar CD4 sebesar 47 sel/µL (CD4 <200 sel/µL). Namun, belum dapat disingkirkan diagnosis banding meningitis kriptokokal pada
pasien ini karena penegakkan diagnosis pasti harus dilakukan melalui penemuan agen penyebab infeksi pada cairan serebrospinal (CSS) baik melalui pemeriksaan gram ataupun melalui kultur. Pemeriksaan anjuran pada pasien ini adalah lumbal pungsi dan CT scan kepala. Gold standard untuk menegakkan diagnosis meningitis adalah pemeriksaan pada cairan serebrospinal (CSS) yang diambil melalui tindakan lumbal pungsi. Namun, pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan kultur CSS karena hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif.13 Untuk kasus dengan hasil biakan negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan analisis CSS. Pada meningitis TB dapat ditemukan pleiositosis dengan dominan limfosit (total leukosit 100-500 sel/µL), peningkatan kadar protein (100-500 mg/dL), dan kadar glukosa yang rendah (<45 mg/dL) atau ditemukan M. tuberculosis.14 Dapat dilakukan pemeriksaan basil tahan asam terhadap CSS namun pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang rendah (20-40%). Sedangkan, kultur membutuhkan waktu beberapa minggu dan memiliki sensitivitas yang rendah (4080%).3,15 Selain itu, diagnosis meningitis TB dapat dibantu ditegakkan dengan neuroimaging. Fitur neuroradiologis klasik yang dapat ditemukan adalah pelebaran meningeal basal dan hidrosefalus. Hipodensitas akibat infark serebral, edema serebral dan lesi nodular dapat ditemukan. Penggunaan MRI dapat menunjukkan gambaran yang lebih jelas, namun CT Scan juga dapat digunakan untuk evaluasi segera terhadap hidrosefalus terkait meningitis TB yang mungkin membutuhkan intervensi bedah.3,14,15 TB susunan SSP dapat bermanifestasi menjadi 3 bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis. Gejala klinis meningitis dibagi menjadi fase prodromal (selama 2-3 minggu berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi, muntah, defisit neurologis) dan fase meningitis (gejala J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|3
Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
prodromal makin hebat) dan fase paralitik (penurunan kesadaran). Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig’s positif dan kelumpuhan saraf kranial yang disebabkan oleh karena terdapatnya eksudat di dasar otak. Tuberkuloma dan penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan neurologi. Dapat juga terjadi penyumbatan pada aliran cairan serebrospinal yang menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Lesi TB pada spinal meningeal dapat menyebabkan paraplegia (spastic atau flaccid).4 Penatalaksanaan pasien adalah terapi umum dan medikamentosa. Terapi umum terdiri dari perawatan di ruang isolasi tuberkulosis dan tirah baring dengan mobilisasi atau mengubah-ubah posisi untuk mencegah terjadinya dekubitus. Pada pasien juga dilakukan elevasi kepala 300 untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial akibat inflamasi selaput meningen. Pemberian Ringer Laktat intravena dengan cara diguyur 1000cc dilanjutkan 30 tetes/menit untuk mengatasi dehidrasi pada pasien ini yang ditandai dengan penurunan turgor kulit. Pemasangan NGT dengan diet cair,
pemasangan kateter urin untuk monitor volume urin, dan pemberian paracetamol 500mg/8 jam untuk mengatasi demam dan mencegah dehidrasi semakin berat. Terapi lainnya terdiri dari pemberian OAT (RHZES) dan dexametason 3x5 mg IV. Menurut WHO dan PDPI, meningitis TB (TB ekstra paru, kasus berat) termasuk dalam kategori I terapi TB yang mendapatkan terapi OAT 2RHZE/4RH. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis TB umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin masih dapat dianggap tepat karena TB dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin.3,13 WHO merekomendasikan terapi TB diperpanjang hingga 9-12 bulan pada pasien meningitis TB. Pada pasien ini juga disarankan pemberian ARV dalam 8 minggu setelah terapi OAT dimulai. Terapi tambahan berupa kotrimoksoazole profilaksis 960 mg/hari (dosis tunggal) dapat diberikan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien yang terinfeksi HIV.3,16
Tabel 1. Dosis obat anti tuberkulosis yang dianjurkan pada
dewasa.
3
Pada pasien ini, meskipun terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT, tetapi diberikan OAT dengan pengawasan terhadap kadar kedua tes fungsi hati tersebut. Bila terdapat manifestasi klinis ikterik dan peningkatan kadar SGOT maupun SGPT ≥3 kali, maka OAT harus dihentikan.13 CDC merekomendasikan pemberian kortikosteroid tambahan karena dapat meningkatkan survival pada pasien HIV positifJ Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|4
TB yang mengenai SSP dan perikardium. Dexamethasone digunakan pada TB SSP dengan dosis 0,3–0,4 mg/kg/hari selama 2–4 minggu, kemudian diturunkan 0,1 mg/kg/minggu hingga 0,1 mg/kg, kemudian menjadi 4 mg/hari dan diturunkan 1 mg/minggu; total durasi pemberian 12 minggu. Prednison atau prednisolon digunakan pada TB perikard dengan dosis 60 mg/hari dan diturunkan 10mg/hari setiap
Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
minggu, total durasi pemberian 6 minggu. PDPI menyebutkan bahwa meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan kortikosteroid, biasanya yang digunakan adalah prednison oral yang diberikan dosis 3040 mg per hari dan dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari. Total lama pemberian selama 4-6 minggu.13,14,17 Pemberian tambahan steroid dapat bermanfaat bagi pasien dengan TBM.18 Penelitian Thwaites et al. menunjukkan bahwa pemberian deksametason pada pasien TBM dengan HIV memiliki angka kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian plasebo.19 Pemberian deksametason dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat meningkatkan hasil dengan mengurangi tingkat kematian dan keparahan dari komplikasi neurologis yang terjadi. Kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi CSS dan waktu pemulihan pada pasien meningitis TB. Deksametason diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara intravena. Pada pasien ini diberikan deksametason 3 x 5 mg. Dosis yang diberikan masih kurang tepat jika dibandingkan dengan literatur karena dosis deksametason pada pasien tidak adekuat.12,15,19,20 Pemberian terapi meningitis kriptokokal berupa kombinasi dua antifungal yaitu amfoterisin B dan flusitosin/flukonazol. Regimen ini diberikan selama dua minggu dengan dosis amfoterisin B 0,7-1,0 mg/kg/hari IV dan fluconazole 800 mg/hari peroral. Fluconazole kemudian dilanjutkan sebagai terapi konsolidasi dengan dosis 800 mg/hari per oral selama 8 minggu dan sebagai maintenance dan profilaksis diberikan fluconazole 200 mg/hari peroral.21,22 Selain itu, pasien dengan HIV positif seharusnya diberikan Antiretroviral Therapy (ART) secara bersamaan. Pemberian ART diindikasikan pada semua pasien dengan CD4 <200 sel/µL atau pasien dengan CD4 <350 sel/µL dengan TB paru atau infeksi berat lainnya.23 Namun, meskipun dengan pemberian regimen terapi ini, tingkat mortalitas masih mencapai 15%.22
Pasien dalam kasus memiliki jumlah CD4 47 sel/µL dan belum diberikan ART. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada pasien TB-HIV dengan diagnosa TB sebelum memulai pengobatan HIV, pemberian ART harus didasarkan pada jumlah CD4. Pasien dengan CD4 <50 diberikan ART dalam 2 minggu pertama setelah terapi TB dimulai. Sedangkan, pada pasien dengan CD4 >50 diberikan ART 2-8 minggu setelah terapi TB dimulai. Pada pasien dengan meningitis TB (berapapun jumlah CD4), pemberian ART ditunda hingga 8 minggu setelah terapi TB dimulai terkait dengan efek samping yang lebih banyak terjadi pada pemberian mingguminggu awal terapi.17,24-27 Penundaan pemberian ini terkait dengan interaksi obat ART dan OAT. Interaksi rifampisin dengan efavirenz dapat meningkatkan kadar efavirenz sehingga meningkatkan risiko efek samping terhadap susunan saraf pusat. Sedangkan, rifampisin menurunkan konsentrasi nevirapin. Selain itu, efek samping lain yang ditakutkan terjadi pada pemberian bersamaan kedua jenis obat yang belum ditoleransi oleh tubuh pasien ini adalah Tuberculosis immune reconstitution inflammatory syndrome (TB-IRIS).28 Pemberian ART dan OAT secara bersamaan dapat menimbulkan TB-IRIS (47%) dan toksisitas obat akibat metabolisme rifampisin dan efavirenz pada sitokrom p450 hepar.29 IRIS disebabkan oleh kemampuan sistem imun untuk meningkatkan respon inflamasi setelah pemberian ART dalam masa terapi OAT. IRIS muncul dalam dua jenis, yaitu unmasking IRIS (timbulnya infeksi baru setelah pemberian ARV) atau paradoxical IRIS (meskipun terapi yang diberikan efektif, namun terjadi perburukan klinis akibat infeksi).30-32 Prognosis tergantung pada status neurologis dan inisiasi pemberian terapi. Tingkat kematian bervariasi dari 7-65% di negara berkembang. Risiko kematian terkait dengan penyakit komorbid, defisit neurologis yang muncul, progresivitas penyakit yang cepat dan usia tua atau sangat muda.33,34 Sekuele neurologis terjadi pada hampir 50% pasien. Di RSCM, tingkat mortalitas meningitis kriptokokal mencapai 23,1% pada tahun 2010. Sedangkan, tingkat mortalitas meningitis TB mencapai 30%.22 Prognosis pada pasien ini sudah tepat, yaitu adalah dubia ad malam
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|5
Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
karena tingkat kematian akibat meningitis (baik kriptokokal dan TB) yang cukup tinggi. Kekurangan pada studi ini adalah tidak dilakukannya lumbal pungsi untuk mengambil cairan serebrospinal dalam penegakkan diagnosis pasti meningitis dan mencari penyebabnya. Hal ini disebabkan tingkat kesadaran pasien (GCS 7) yang menjadi kontraindikasi lumbal pungsi. Kontraindikasi neurologis lumbal pungsi pada pasien suspek meningitis akut tanpa CT Scan sebelumnya antara lain koma atau penurunan kesadaran (GCS <10), papiledema, defisit neurologis baru yang tidak dapat dijelaskan (misal, hemiparesis atau disfasia), kejang dan adanya ventriculoperitoneal shunt.35 Meskipun kultur CSS sendiri tidak pasti dapat menumbuhkan organisme penyebab meningitis, sebaiknya pemeriksaan ini rutin dilakukan. Simpulan Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki insidensi yang tinggi terhadap infeksi tuberkulosis. Pada daerah endemik TB, meningitis TB adalah kelainan neurologik yang sering terjadi. Meskipun dengan kemoterapi yang adekuat, meningitis TB memiliki angka kematian hingga 50% kasus. Daftar Pustaka 1. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Edisi ke-6. Jakarta: Dian Rakyat; 2009. 2. Agarwal SP, Chauhan LS. Tuberculosis Control in India. New Delhi: Ministry of Health and Family Welfare; 2005. 3. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: guidelines. Edisi ke-4. Geneva: World Health Organization; 2010. 4. Kemenkes. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan; 2010. 5. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIVTB co-infection: epidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res. 2005; 121:550 –67. 6. Padmapriyadarsini C, Narendran G, Swaminathan S. Diagnosis & treatment of tuberculosis in HIV co-infected
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|6
7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
patients. Indian J Med Res. 2011;134:850– 65. Pawlowski A, Jansson M, Sköld M, Rottenberg ME, Källenius G. Tuberculosis and HIV co-infection. PLoS Pathog [internet]. 2012 [diakses tanggal 10 Mei 2015]. Tersedia dari: http://journals.plos.org/plospathogens/ar ticle?id=10.1371/journal.ppat.1002464 Sharma SK, Mohan A. Tuberculosis: From an incurable scourge to a curable disease - journey over a millennium. Indian J Med Res. 2013; 137(3): 455–493. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2005. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. Neurology: A queen square textbook. London: Blackwell Publishing; 2009. Van de Beek D, de Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EFM. Community-acquired bacterial meningitis in adults. N Eng J Med. 2006;354:44-53. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakterialis. CDK. 2015;42(1): 15-19. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2006 [diakses tanggal 8 Mei 2015]. Tersedia dari: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/t b.html. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), National Institutes of Health (NIH) dan HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. MMWR. 2009;58(4):1-206. Van de Beek D, Brouwer M, Thwaites G. Advances in treatment of bacterial meningitis. Lancet: 2012;380:1693-702. TB DOTS Strategy Coordination, National Department of Health Republic of South Africa. National tuberculosis management guidelines 2014. Pretoria: Department of Health, Republic of South Africa; 2014. American Thoracic Society, CDC, and infectious diseases society of America. Treatment of Tuberculosis. MMWR. 2003; 52(11):1-77
Abigail | Pria 31 Tahun dengan Suspek Meningitis Tuberkulosis dan AIDS
18. Prasad K , Volmink J , Menon GR . Steroids for treating tuberculous meningitis. The Cochrane Database of Systematic Reviews [internet]. 2008 [diakses tanggal 10 Mei 2015]. Tersedia dari: http://fhs.mcmaster.ca/medicine/infectio us_diseases/residents/docs/Corticosteroi ds_TB-meningitis.pdf 19. Thwaites GE, Bang ND, Dung NH et al. Dexamethasone for the treatment of tuberculous meningitis in adolescents and adults. NEJM. 2004;351(17):1741-5. 20. Garg RK. Tuberculous Meningitis. Acta Neurol Scand. 2010;122(2):75-90. 21. Rarg RK, Sinha MK. Tuberculous meningitis in patient infected with human immunodeficiency virus. J Neurol. 2011; 28: 3-13. 22. Crevel Rv. Cryptococcal and tuberculosis meningitis Update. PLoS One. 2012; 7(12). 23. World Health Organization. Laboratory Guidelines for enumerating CD4 T Lymphocytes in the context of HIV/AIDS. New Delhi: World Health Organization; 2007. 24. World Health Organization. WHO policy on collaborative TB/HIV activities: Guidelines for national programmes and other stakeholders. Geneva: WHO Press; 2012. 25. Karim SSA, Naidoo K, Grobler A, Padayatchi N, Baxter C, Gray AL, et al. Integration of antiretroviral therapy with tuberculosis treatment. N Engl J Med. 2011; 365(16): 1492–1501. 26. Blanc FX, Sok T, Laureillard D, Borand L, Rekacewicz C, Nerrienet E, et al. Earlier versus later start of antiretroviral therapy in HIV-infected adults with tuberculosis. N Engl J Med. 2011;365(16):1471-81. 27. Török ME, Farrar JJ. When to start antiretroviral therapy in HIV-associated tuberculosis. N Engl J Med. 2011; 365: 1538-40. 28. Cohen K, Meintjes G. Management of individual requiring ART and TB treatment. Curr Opin HIV AIDS. 2010; 5(1): 61–69. 29. Van der Plas H, Meintjes G, Schutz C, Goliath R, Myer L, et al. Complications of Antiretroviral Therapy Initiation in Hospitalised Patients with HIV Associated
30.
31.
32.
33.
34.
35.
Tuberculosis. PLoS ONE [internet]. 2013 [diakses tanggal 11 Mei 2015]. Tersedia dari: http://journals.plos.org/plosone/article?i d=10.1371/journal.pone.0054145 French MA. HIV/AIDS: immune reconstitution inflammatory syndrome: a reappraisal. Clin Infect Dis. 2009; 48(1): 101–7. Meintjes G, Lawn SD, Scano F, Maartens G, French MA, Worodria W, et al. Tuberculous is associated immune reconstitution inflammatory syndrome: case definitions for use in resourcelimited settings. Lancet Infect Dis. 2008; 8(8): 516–23. Naidoo K, Yende-Zuma N, Padayatachi N, Naidoo K, Jithoo N, Nair G, et al. Immune reconstitution inflammatory syndrome following antiretroviral therapy initiation in tuberculous patients: Findings from the SAPiT Trial. Ann Intern Med. 2012; 157(5): 313–324. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhøj P, Andersen ÅB. Tuberculous meningitis in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a diagnostic challenge. Scand J Infect Dis. 2002;34(11):811-4. Marx GE, Chan ED. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment Overview. Tuberculosis Research and Treatment [internet]. 2011 [diakses tanggal 11 Mei 2015. Tersedia dari: http://www.hindawi.com/journals/trt/20 11/798764/ Boyles TH, Bamford C, Bateman K, Blumberg L, Dramowski A, Karstaedt A, et al. Guidelines for the management of acute meningitis in children and adults in South Africa. South Afr J Epidemiol Infect. 2013;28(1):5-15.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|7