Risa | Wanita Usia 19 Tahun, Primigravida Hamil 38 Minggu dengan Intrapartum Eklampsia
Wanita Usia 19 Tahun, Primigravida Hamil 38 Minggu dengan Intrapartum Eklampsia
Risa Andriana Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Eklampsia merupakan hipertensi dalam kehamilan yang biasanya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu disertai kejangkejang pada wanita hamil. Dikarenakan kejadian ini sering terjadi dan berpotensi mengalami perburukan klinis, diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting. Laporan kasus ini menjelaskan seorang wanita primigravida usia 19 tahun, usia kehamilan 38 minggu, dengan keluhan utama kejang berulang dan darah tinggi. Pada riwayat medis sebelumnya, tidak dijumpai adanya riwayat epilepsi. Pada kehamilan ini, hipertensi didiagnosis pada usia kehamilan 7 bulan tetapi tidak ada obat antihipertensi yang diberikan. Kejang berulang terjadi 4 kali sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit dan lamanya tiap kejang kira-kira 5 menit. Terdapat penurunan kesadaran setelah kejang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum buruk, kesadaran delirium, tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 96 kali/menit, pernafasan 28 kali/menit, jantung dan paru dalam batas normal, tidak ada asites dan tidak ada edema. Pemeriksaan obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 29 cm, presentasi kepala, denyut jantung janin 158 kali/menit, teratur, pembukaan serviks 2 cm, selaput 3 ketuban utuh dan panggul luas. Hasil laboratorium menunjukkan hemoglobin 9,8 g%, trombosit 408.00/mm , SGOT 50 u/l, SGPT 15 u/l, ureum 15 mg/dl, creatinin 1,1 mg/dl, LDH 798 u/l, urinalisa protein +2. Pasien dilakukan stabilisasi selama 6 jam, oksigenasi 5 liter/menit, injeksi magnesium sulfat 20 % 4 gram intravena diikuti 6g dalam infus, nifedipin per oral 3 kali 10 mg dan dilakukan terminasi kehamilan dengan seksio sesaria.
Kata kunci: eklampsia, hipertensi, wanita primigravida
A 19-Year-Old Primigravid Woman in 38 Weeks Of Gestation with Intrapartum Eclampsia Abstract Eclampsia is a pregnancy-related hypertensive disorder which usually occurs after 20 weeks of gestation with onset of seizures (convulsions) in a woman. Due to its frequent occurrence and potential severity, early diagnosis and appropriate management are essential. This study explained A 19-year-old primigravid woman, 38 weeks of gestation, reffered with the chief complaints of recurrent seizures and hypertension. On review of medical history, she had no epilepsy. In the present pregnancy, hypertension was diagnosed in the seventh month of pregnancy but no antihypertensive drug given. Recurrent seizures was occurred 4 times since twelve hours before admission and the duration of every seizure was approximately 5 minutes. There was decrease of consciousness after seizure. On physical examination found very bad general condition, delirium, the blood pressure was 150/100 mmHg, pulse 96 times/minutes, respiratory 28 times/minutes, no abnormality found in lung and heart, no ascites and no edema. Obstetrical examination found fundal height was 29 cm, cephalic presentation, fetal heart rate 158 times/minutes, regular, dilatation of cervix 2 cm, intact amniotic membrane, and the pelvic was adequate. Results of her laboratory investigation showed the following values: haemoglobin 9,8 g%, platelets 3 408.000/mm , SGOT 50 u/l, SGPT 15 u/l, ureum 15 mg/dl, creatinin 1,1 mg/dl, LDH 798 u/l, urinalysis +2 protein. The patient was undergo stabilization for 6 hours, oxygenation 5 liters/minutes, injection of magnesium sulphate 20 % 4g intravenously followed by 6 g infusion 25 drops/minutes, nifedipine orally 3 times 10 mg and performed termination of pregnancy by caesarian section.
Keywords: eclampsia, hypertension, primigravid woman
Korespondensi: Risa Andriana, S.Ked, alamat Jalan Landak No. 21 Kel. Kedaton Bandar Lampung, HP 085269064555, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan preeklampsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan edema yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurologi 1 lain. Di Indonesia eklampsia disamping perdarahan dan infeksi masih merupakan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|146
sebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi.2 Beberapa tanda dan gejala yang mendahului eklampsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, nyeri ulu hati, perubahan visual dan mental, retensi cairan, dan hiperrefleksia, 1 fotofobia, iritabel, mual dan muntah. Untuk menentukan dengan pasti kondisi
Risa | Wanita Usia 19 Tahun, Primigravida Hamil 38 Minggu dengan Intrapartum Eklampsia
neuropatologik yang menjadi pemicu kejang dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti foto rontgen, CT scan 3 atau MRI. Adanya edema serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada 4 eklampsia. Edema vasogenik reversibel adalah yang paling predominan sehingga eklampsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele 5 neurologik yang permanen. Perubahan pokok yang terjadi pada preeklampsia adalah adanya spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Sedangkan proteinuria disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus.6 Patofisiologi preeklamsia-eklampsia lebih ditekankan kearah disharmoni implantasi dan disfungsi jaringan endotel. Hasil akhir dari disharmoni implantasi adalah melebarnya arteri spiralis yang tadinya tebal dan muskularis membentuk kantong yang elastis, bertahanan rendah dan aliran cepat, dan bebas dari kontrol neurovaskular normal, sehingga memungkinkan arus darah yang adekuat untuk masuknya oksigen dan nutrisi untuk janin. Sedangkan definisi disfungsi endotel sendiri berarti berkurangnya sampai hilangnya kemampuan sel endotel dalam mengatur vasodilatasi.7 Bila preeklampsia tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang menjadi eklampsia yang mana tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga janin dalam rahim ibu. Kemungkinan yang terberat adalah terjadinya kematian ibu dan janin, solusio plasenta, hipofibrinogemia, hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru, nekrosis hati, sindroma Hemolysis, Elevated Liver enzyme, and Low Platelets (HELLP), dan kelainan hati.8 Ditemukan juga adanya edema serebri sebagai komplikasi terjadinya eklampsia.9
Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun.10 Predisposisi genetik dapat merupakan faktor imunologi lain. Ditemukan adanya frekuensi preeklampsia dan eklampsia pada anak dan cucu wanita yang memiliki riwayat eklampsia, yang menunjukkan suatu gen resesif autosom yang mengatur respons imun maternal.11 Walaupun timbulnya preeklampsiaeklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penyuluhan dan pelaksanaan pengawasan pada ibu hamil.12
Kasus Wanita primigravida usia 19 tahun datang diantar oleh keluarga dalam keadaan tidak sadar, hamil dan kejang-kejang. Berdasarkan anamnesis yang didapat dari keluarga, kejang sudah berlangsung sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit sebanyak 4 kali dengan interval 5 menit setiap kejang. Tidak pernah ada riwayat kejang sebelum hamil. Pasien mulai tidak sadar dan meraung/gelisah sejak dibawa ke rumah sakit. Sebelum terjadi kejang pasien mengeluh mules pada perut disertai keluar darah lendir. Pasien lalu diantar keluarga ke bidan dan langsung dirujuk ke rumah sakit. Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil dan tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga. Hipertensi baru diketahui sejak pasien hamil 7 bulan saat kontrol ke bidan dikatakan tekanan darah 190/110 mmHg. Pasien jarang melakukan pemeriksaan kehamilan sebelumnya dan tidak pernah minum obat darah tinggi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit berat, kesadaran delirium, tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 96x/menit, pernapasan 28 x/menit, suhu 36,8 oC, berat badan 58 kg. Pemeriksaan jantung dan paru-paru dalam batas normal, abdomen tidak dijumpai tanda cairan bebas, ekstremitas tidak dijumpai adanya edema. Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 29cm, letak memanjang, presentasi kepala, sudah masuk pintu atas panggul, denyut jantung janin 158 x/menit, teratur, pembukaan serviks 2 cm, penurunan hodge I-II, dan panggul luas. J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|147
Risa | Wanita Usia 19 Tahun, Primigravida Hamil 38 Minggu dengan Intrapartum Eklampsia
Hasil laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 9,8 g%, hematokrit 31 %, leukosit 18.800/mm3, trombosit 408.000/mm3, masa perdarahan 3 menit, masa pembekuan 12 menit, SGOT 50 u/l, SGPT 15 u/l, ureum 15 mg/dl, kreatinin 1,1 mg/dl, LDH 798 u/l, dan proteinuria +2. Pasien didiagnosis primigravida hamil aterm inpartu kala 1 fase laten dengan eklampsia intrapartum, janin tunggal hidup presentasi kepala dan ditatalaksana dengan stabilisasi tekanan darah selama 6 jam, observasi tanda vital ibu, denyut jantung janin, pemberian anti kejang magnesium sulfat 20 % 4 gram intravena dilanjutkan 6 gram dalam ringer laktat 500 cc dengan tetesan 25 tetes/menit, pemberian anti hipertensi nifedipin 3x10 mg secara peroral, dan dilakukan terminasi kehamilan. Selama 6 jam observasi pasien tidak mengalami kemajuan persalinan dan diputuskan dilakukan seksio sesaria. Bayi lahir hidup dengan berat badan lahir 2700 gram, panjang badan 48 cm dan skor apgar 1/5. Keadan pasien berangsur membaik 1 hari setelah seksio sesaria dan mulai sadar. Pasien dirawat selama 5 hari dengan perbaikan klinis kemudian pasien dipulangkan dan diminta untuk tetap kontrol ke poliklinik.
Pembahasan Faktor risiko preeklampsia dan eklampsia adalah primigravida, primipaternitas, hiperplasentosis misalnya pada mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis dan bayi besar, umur yang ekstrim, riwayat keluarga preeklampsia dan eklampsia, penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, obesitas dll.12 Pada pasien ini faktor risiko yang ada berupa kehamilan pertama atau primigravida dengan usia ekstrim dibawah 20 tahun. Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas, banyak teori yang dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan diantaranya teori kelainan vaskularisasi plasenta, teori iskemik plasenta radikal bebas dan disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, teori J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|148
maladaptasi kardiovaskuler, teori defisiensi gizi, teori inflamasi dll.13 Pada kasus ini belum diketahui secara pasti apa penyebab dari eklampsia tetapi dicurigai adanya faktor risiko primigravida dan usia ekstrim yang menyebabkan terjadinya eklampsia. Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia antara lain terapi suportif untuk stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing, circulation, monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow-Pittsburg Coma Scale”. Kontrol kejang dengan pemberian magnesium sulfat intravena dipilih karena kerjanya di perifer tidak menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan sampai 24 jam paska persalinan atau 24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian obat antihipertensi secara intermitten, sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada pasien eklampsia juga dilakukan koreksi hipoksemia dan asidosis, hindari penggunaan diuretik kecuali jika ada edema paru, gagal jantung kongestif dan edema anasarka, batasi pemberian cairan intravena kecuali pada kasus kehilangan cairan berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan, hindari penggunaan cairan hiperosmotik, dan segera dilakukan terminasi kehamilan.14 Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat sesuai dengan tahapan diatas yaitu diberikan magnesium sulfat 20 % sebanyak 4 gram melalui intravena dan diikuti dengan 6 gram dalam infus. Diberikan antihipertensi berupa nifedipin 3x10 mg per oral. Antihipertensi yang dipilih adalah nifedipin, karena nifedipin merupakan obat antihipertensi yang paling aman untuk janin dan tidak menyebabkan penurunan aliran darah dalam rahim.15 Tidak diberikan diuretik karena tidak ada edema paru, gagal jantung kongestif dan edema ansarka, serta diberikan cairan Ringer laktat dengan tetesan 25 tetes/menit untuk menghindari pemberian cairan yang berlebih. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia antara lain solusio plasenta 10 %, defisit neurologis 7 %, pneumonia aspirasi 7 %, edema paru 5 %, henti jantung 4 %, gagal ginjal akut 4 %, kematian maternal 1 % dan sindroma HELLP.5 Pada kasus ini komplikasi yang mungkin timbul adalah solusio plasenta, defisit neurologis, edema paru, gagal jantung dan sindroma HELLP.16 Prognosis pasien eklampsia ditentukan dengan kriteria Eden yaitu koma yang lama > 6 jam, peningkatan nadi 120 x/menit, suhu > 39
Risa | Wanita Usia 19 Tahun, Primigravida Hamil 38 Minggu dengan Intrapartum Eklampsia o
C, tekanan darah > 200 mmHg, konvulsi > 10 kali, proteinuria > 10 gram, tak ada edema / edema menghilang, kegagalan sistem kardiovaskuler (edema paru, sianosis, menurunnya tekanan darah, rendahnya tekanan nadi), ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan dalam pengobatan (untuk menghentikan kejang, untuk menghasilkan urin 30 ml/jam atau 750 ml/24 jam, untuk menurunkan hemodilusi dengan menurunkan nilai hematokrit sampai dengan 10 %), bila dijumpai satu atau lebih gejala diatas maka prognosisnya buruk. Pada kasus ini prognosisnya dubia ad malam karena terdapat salah satu kriteria eden yaitu proteinuria > 10 gram. Terminasi kehamilan dilakukan bila telah dilakukan stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu 4-8 jam setelah satu atau lebih keadaan setelah pemeberian obat anti kejang terakhir, setelah kejang terakhir, setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir dan penderita mulai sadar (responsive dan orientasi), cara terminasi kehamilan disesuaikan dengan keadaan ibu saat masuk.17 Seksio sesaria dapat dipertimbangkan bila anak hidup atau bila ada indikasi.18 Pada kasus ini dilakukan terminasi kehamilan dengan cara seksio sesaria karena pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedangkan pada kasus eklampsia terminasi kehamilan harus dilakukan dengan segera, terutama karena bayi masih dalam keadaan hidup.
Simpulan Pasien wanita primigravida usia 19 tahun didiagnosis dengan eklampsia intrapartum karena adanya riwayat kejang saat kehamilan sebanyak 4x dan disertai adanya penurunan kesadaran setelah kejang, tekanan darah tinggi dan proteinuria +2, serta sudah dalam keadaan inpartu dilihat dari pembukaan serviks 2 cm dan adanya his inpartu. Penegakan diagnosis pada kasus ini sudah sesuai dan penatalaksanaannya pun sudah sesuai dengan teori yakni dimulai dengan stabilisasi, resusitasi, pemberian magnesium sulfat, antihipertensi, dan terminasi kehamilan. Dengan
penatalaksanaan yang tepat maka pada kasus ini komplikasi dan kematian ibu dan bayi dapat dicegah.
Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Chacravarty A, Chakrabarti S. The neurology of eclampsia. Neurol india: 2002; 50:128135. Prawirohardjo S. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan bina pustaka; 2001. Gilstrap L, Ramin S. Diagnosis and management of preeclampsia and eclampsia. Am J Obstet Gynecol. 2002; 99:157-67. Cunningham FG, Twickler D. Cerebral edema complicating eclampsia. Am j obstet gynecol. 2000; 182:94-100. Zeeman GG, Fleckenstein JL, Twickler DM, Cunningham FG. Cerebral infarktion in eclampsia. Am J Obstet Gynecol. 2004; 190:714-20. Wiknjosastro G. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. Wibowo B, Rachimhadhi T. Ilmu kebidanan; preeklampsia dan eklampsia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1997. Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. Cunningham FG, Gant N, dkk. Williams Obtetrics. Edisi ke-23. McGraw-Hill. Jakarta: EGC; 2006. Kaplan N, editor. Redman Kaplan’s Clinical Hypertension. Edisi ke-8. England; 2002. hlm. 404-33. Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy. National High Blood Pressure Education Programz: NIH Publication; 1991. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo; 2008. Duley L, Gullmaezoglu AM, HendorsonSmart DJ. Magnesium sulphate and other anticonvulsants for women with preeclampsia (Cochrane Review). The Reproductive Health Library; 2007. Odendal HJ. Severe preeclampsia and eclampsia in Sibai BM. USA: WB Saunders Company; 2001. hlm. 41-59.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|149
Risa | Wanita Usia 19 Tahun, Primigravida Hamil 38 Minggu dengan Intrapartum Eklampsia
Podymow T, August P. Update on the use of antihypertensive drugs in pregnancy. Hypertension. 2008; (51):960-69. Cunningham FG, Gant N, dkk. Williams Obtetrics. Edisi ke-22. In:McGraw-Hill. London: Medical Publishing Division; 2005. hlm. 788.
15.
16.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|150
17.
18.
Norman JC, Davison JM, Thornton S, Saade GR. Preeclampsia and pregnant women with chronic hypertension and renal disease. New York: Marcel Dekker; 2003. hlm. 123. Higgins JR, de Swiet M. Blood Pressure measurement and classification in pregnancy. Lancet. 2004; 361:121-6.