Hawania|Wanita dengan Enselopati Hepatik
Wanita dengan Ensefalopati Hepatik
Hawania Rahtio Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Ensefalopati hepatik (EH) dapat didefinisikan sebagai gangguan dalam fungsi sistem saraf pusat yang disebabkan oleh insufisiensi hati. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien sirosis hepatis.Patogenesis ensefalopati hepatikum belum sepenuhnya dimengerti, tetapi amonia memainkan peranan penting di dalamnya.Wania usia 52 tahundatang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, keluarga pasien mengatakan, pasien terlihat gelisah dan lebih mudah marah.Pasien memiliki riwayat sirosis hepatis sejak 2 tahun lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium Glasgow Coma Scale (GCS) 8, tekanan darah 110/60 mmHg, frekuensi nadi 84x/menit reguler, frekuensi pernapasan 28x/menit, suhu 36,8°C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya asites, venektasi vena, liver nail, palmar eritema superior, edema pitting, dan reflek fisilogis menurun. Pemeriksaan penunjang laboratorium Hb 8,7 g/dl, LED 33 mm/jam, leukosit 19.200/ul, trombosit 95.000/ul, GDS 98mg/dl, SGOT 182u/l, SGPT 54u/l, albumin 1,7g/dl, globulin 3,7g/dl, HbsAgpositif.Pasien didiagnosis ensefalopati hepatik. Penatalaksaan farmakologi dengan pemberian injeksi antibiotik ceftriakson 1 g/12jam dan laktulosa sirup 45mL/sampai terjadi defekasi. Kata kunci:ensefalopati hepatik,hepatitis,sirosis hepatis
Woman with Hepatic Encephalopathy Abstract
Hepatic encephalopathy (EH) can be defined as a disturbance of the function in the central nervous system caused by hepatic insufficiency. In Indonesia, the minimal prevalence of EH (grade 0) are unknown with certainly because of the difficulty of diagnosis, but its assumed occur to 30-84% of patients with liver cirrhosis. The pathogenesis of hepatic encephalopathy is not fully understood, but ammonia is considered having an important role in it. A 52-year-old woman came with loss of consciousness since a day before being hospitalized. The patient's family said that she was looked restless and irritablesince 4 previous days. The patient had a history of hepatic cirrhosis since 2 years ago. On physical examination found delirium awareness of the Glasgow Coma Scale (GCS) 8, the blood pressure 110/60 mmHg, pulse rate 84x/minute regular, respiratory rate 28x/minute, temperature 36.8°C. On physical examination found the presence of ascites, veins venectation, liver nail, superior palmar erythema, pittingedema,and reflex physiology hipotonus. Laboratory examinationshowed Hb 8,7 g/dl, ESR 33 mm/hour, leucocyte 19.200/ul, platelet count 95.000/ul, blood glucose 98mg/dl, SGOT 182u/l, SGPT 54u/l, albumin 1,7g/dl, globulin 3,7g/dl, HbsAg:positive. Patient’s diagnosed with hepatic encephalopathy. The pharmacological therapy wasinjection ofceftriaxon1 g/12 hours and lactulose syrup 45mL/until defecation occured. Keywords: hepatic encephalopathy,hepatitis, liver cirrhosis Korespondensi: Hawania Rahtio, alamat Bandar Lampung, HP 087899205725, email
[email protected]
Pendahuluan Ensefalopati hepatik (EH) dapat didefinisikan sebagai gangguan dalam fungsi sistem saraf pusat yang disebabkan oleh insufisiensi hati. Definisi yang luas ini mencerminkan adanya spektrum manifestasi neuropsikiatri terkait dengan berbagai mekanisme patofisiologis.Patogenesis ensefalopati hepatikum belum sepenuhnya dimengerti, tetapi amonia memainkan peranan penting di dalamnya. Banyak studi telah mendemonstrasikan penurunan kadar amonia darah mempengaruhi perbaikan tingkat ensefalopati hepatik.1,2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena
sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30-84% pasien sirosis hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009. Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%. Angkasurvival1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati.3-5 Kasus Perempuan 52 tahundatang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.Sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit keluarga pasien J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|83
Hawania | Wanita dengan Enselopati Hepatik
mengatakan, pasien terlihat gelisah, dan lebih mudah marah. Satu minggu sebelum rumah sakit, keluarga mengatakan, pasien mengalami demam yang hilang timbul, penurunan nafsu makan, mual dan muntah sebanyak 2 kali dalam sehariberisi cairan dan makanan, nyeri kepala, sulit BAB dan BAK yang berwarna pekat seperi teh. Dua bulan yang lalu pasien pernah dirawat di rumah sakit, dengan keluhan perut yang makin lama makin membesar,disertai dengan penurunan nafsu makan, sesak, lekas merasa kenyang, dan bengkak pada kedua tungkai. Sejak 2 tahun terakhir, pasien sudah terdiagnosis oleh dokter spesialis penyakit dalam menderita sirosis hepatis.Selain itu, suami pasien juga pernah terdiagnosis hepatitis.Keluarga mengatakan pasien pernah mengeluhkan BABnya berubah warna menjadi kehitaman. Keluarga menyangkal adanya riwayat hipertensi, kencing manis, trauma, kejangkejang, ataupun stroke pada pasien. Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan menyangkal memiliki riwayat muntah berwarna kehitaman. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium Glasgow Coma Scale (GCS) 8, tekanan darah 110/60 mmHg, frekuensi nadi 84x/menit reguler, frekuensi pernapasan 28x/menit, suhu 36,8°C. Pada kepala tak tampak kelainan, pada wajah, sklera terlihat ikterik, konjungtiva anemis, pada leher dan thoraks tak ada kelainan, abdomen inspeksi simetris cembung terdapat venektasi vena,auskultasi bising usus normal, perkusi timpani pada puncak abdomen serta shifting dullnes (+), palpasi dinding perut tegang, hepar dan lien tidak teraba. Pada ekstremitas superior dan inferior ditemukan liver nail, palmar eritema pada ekstremitas superior, dan edema pitting pada ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan neurologis nervus I-XII tidak ada kelainan, refleks fisiologis menurun, refleks patologis tidak ditemukan, rangsang selaput otak tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium Hb 8,7 g/dl, LED 33 mm/jam, leukosit 19.200/ul, trombosit 95.000/ul, GDS 98 mg/dl, SGOT 182u/l, SGPT 54u/l, albumin 1,7g/dl, globulin 3,7g/dl, HbsAg positif. Dari hasil pemeriksaan, didapatkan diagnosis ensefalopati hepatik pada pasien.Penatalaksaanan pada kasus ini adalah perawatan intensif dengan cara J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|84
membebaskan jalan nafas dengan oropharngeal airway (OPA), pemberian oksigen(O2)dengannasal kanul dengan kecepatan5L/menit, memasangnasogastric tube(NGT) dan dower kateterserta pemantauan kesadaran dan pemberian kalori lebih kurang 2.000 kal/hari yang mencakupi pemberiaan nutrisi secara enteral dengan jumlah protein yang rendah (1,0 g/kgBB/hari), IVFD D10% 20 tetes/menit serta pemberian nutrisi parenteral, yaitu dengan formula tinggi asam amino rantai cabang (AARC) dan rendah asam amino aromatic (AAA).Untuk perawatan lebih lanjut dilakukan tindakan khusus, yaitu, antibiotik ceftriakson intravena 1 g per 12 jam, laktulosa sirup 45mL/jam sampai terjadi defekasi. Pembahasan Menurut pernyataan konsensus The Hepatic Encephalopathy Working Group, diagnosis EH hanya ditegakkan setelah dieksklusi penyebab gangguan otak yang lain. Diagnosis EH harus dipikirkan pada pasien yang menunjukkan gangguan fungsi motorik dengan tidak ada gangguan metabolik atau pengaruh obat, dan sistem neurologis normal. Kecurigaan yang kuat harus dipikirkan pada pasien dengan penyakit sirosis hepatis yang mendasarinya dan dengan adanya kejadian presipitan (pencetus) akut.6,7 Beberapa penyakit hati yang dapat berpengaruh terhadap timbulnya EH dibedakan atas gangguan hati akut (fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan, aseaminofet),perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati maupun penyakit hati kronik dengan koma porosistemik. Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi, dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus. 4,8,9 Diagnosis utama pada kasus ini ensefalopati hepatik,karena pasien memiliki riwayat sirosis hepatis yang merupakan penyebab utama EH pada kasus ini, keterangan ini yang didapatkan pada alloanamesisbahwa pasien sudah terdiagnosis sirosis hepatis sejak 2 tahun lalu,selain itu keluarga mengatakan pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, kencing manis, trauma, kejang-kejang, stroke dan pasien tidak pernah
Hawania|Wanita dengan Enselopati Hepatik
mengkonsumsi alkohol, sehingga kecurigaan akan gangguan metabolik serta gangguan neurologis dapat disingkirkan. Pasien pernah mengeluhkan BABnya yang berubah warna menjadi kehitaman yang menandakan adanya perdarahan gastrointestinal, selain itu pasien mengalami konstipasi. Konstipasi/obstipasi meningkatkan produksi dan absorbsi amonia (NH3) akibat kontak yang lama antara bakteri usus dan substrat protein, yang menyebabkan terjadinya infeksi. Kondisi tersebut merupakan fakor pencetus terjadinya EH pada kasus.9 Gejala klinis EH berupa manifestasi neurologis dan psikiatri, yaitu penurunan kesadaran dari somnolen hingga koma serta perubahan prilaku dan kepribadian seperti apatis, iritabilitas, dan disinhibisi, serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata.Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan.Manifestasi neurologis dan psikiatri yang ditemukan pada kasus ini berupa penurunan kesadaran delirium dengan
GCS 8 dan terjadi perubahan perilaku seperti lebih mudah marah.10,11 EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibedakan menjadi dua tipe yaitu EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal yaitu bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif, sedangkan EH overtterbagi menjadiEH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan fluktuasi) dan EH persisten (progresif dengan gejala neurologis yang makin memberat). 8,12-14
15 Tabel 1.Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven
Derajat Kognitif dan Prilaku 0 (subklinis Asitomatis minimal) 1 Gangguan tidur, penurunan konsentrasi, depresi, ansietas, dan iritabilitas 2 Letargi, penurunan konsentrasi, penurunan daya ingat 3 Somnolen, kebingungan, amnesia, gagguan emosi 4 Koma
Kriteria West Havenmembagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1).Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covertserta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti tabel 1.Pemeriksaan Mini Mental Status Examination(MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam menegakkan diagnosis EH. Berdasarkan kriteria West Haven, kasus ini sudah mencapai stadium EH derajat 3.15 Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang mendukung ensefalopati hepatik akibat sirosis hepatis, yaitu sklera terlihat ikterik, konjungtiva anemis, abdomen inspeksi cembung,venektasi vena, dinding perut tegang, serta shifting dullnes (+). Pada ekstremitas superior dan inferior ditemukan liver nail, palmar eritema pada ekstremitas superior, dan edema pitting pada ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan neurologis nervus
Fungsi Neuromuskular Tidak ada Suara monoton, tremor, gangguan menulis, apraksi Ataksia, disatria, asteriksis Nistagmus, kekakuan otot, hiper atau hiporefleks Pupil dilatasi, refleks patologis dijumpai
I-XII tidak ada kelainan, refleks fisiologis hipotonus, refleks patologis tidak ditemukan, rangsang selaput otak tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium Hb 8,7g/dl, LED 33 mm/jam, leukosit 19.200/ul, trombosit 95.000/ul, GDS 98mg/dl, SGOT 182u/l, SGPT 54u/l, albumin 1,7g/dl, globulin 3,7g/dl, HbsAg positif. Pada sirosis hepatis, SGOT/SGPT dapat meningkat tapi tidak terlalu tinggi.Albumin menurun sesuai dengan derajat perburukan sirosis karena sintesis albumin terjadi di hati. Globulin meningkat pada sirosis akibat sekunder dari pintasan antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid yang akan menginduksi produksi immunoglobulin.16 Asites yang terjadi pada kasus ini diakibatkanoleh adanya kelainan pada organ hati. Asites bisa terjadi disebabkan penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|85
Hawania | Wanita dengan Enselopati Hepatik
Pada pasien dengan sirosis hepatis, edema yang pertama akan muncul adalah pada bagian abdomen. Hal ini dapat dijelaskan karena pada sirosis hepatis terjadi jaringan fibrosis yang mengakibatkan terjadinya tahanan pada vena porta akibatnya terjadi peningkatan tekanan dari vena tersebut.Akibat dari peningkatan ini, terjadi pengalihan aliran darah ke pembuluh darah mesenterika sehingga terjadi filtrasi bersih cairan keluar dari pembuluh darah ke rongga peritoneum. Cairan tersebut mengandung albumin yang tinggi sehingga pada darah terjadi penurunan kadar albumin. Pada keadaan lanjut karena ada kerusakan pada hepatosit yang menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi hati, salah satunya adalah gagalnya sintesis dari albumin. Akibat ketidak seimbangan yang terjadi, lama kelamaan asites yang terjadi akan semakin jelas hingga mendorong ke lokus minorus sehingga terjadi edema hingga hernia pada skrotum, umbilikus, atau diafragma.16 Venektasi vena merupakan hasil dari hipertensi porta, yang disebabkan peningkatan resistansi intrahepatis. Darah yang tidak dapat melewati sistem porta akan berjalan di vena-vena di sekitar vena porta, menyebabkan shunting porta-sistemik.17 Pada sirosis dapat juga terjadi trombositopenia, salah satu mekanisme trombositopenia pada pasien sirosis hati adalah terjadi peningkatan pooling trombosit pada splenomegali, sebagai akibat perubahan hemodinamik yang disebabkan oleh hipertensi portal.Trombositopenia pada sirosis hepatis sering diakibatkan oleh adanya hipersplenisme, disfibrinogenemia, dan penurunan produksi trombopoietin oleh hati.Hati merupakan tempat sintesis plasminogen dan anti-plasmin.Dan sebaliknya berfungsi untuk membersihkan activator plasminogen dan membuat tidak aktif beberapa faktor pembekuan.Maka dapat dimengerti, mengapa pada penyakit hati dapat terjadi disfibrinogenemia dimana hal ini juga menyebabkan terjadinya trombositopenia, akan tetapi hal ini jarang menyebabkan trombosit sampai kurang dari 50.000/mL kecuali jika diiringi suatu koagulopati oleh sebab yang lain.18 Anemia pada penyakit kronis ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan gangguan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|86
produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoetin.Pada umumnya anemia derajat sedang, dengan mekanisme yang belum jelas. Gambaran klinis pada anemia karena kelainan kronis terdiri dari berbagai macam, yaitu kadar Hb yang berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe jaringan tinggi, dan produksi sel darah merah berkurang. Pada anemia derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya karena kadar Hb sekitar 7-11 g/dl umumnya asimtomatik. Anemia pada penyakit kronis tidak menunjukkan kelainan yang khas, diagnosis didapat dari hasil laboratorium.Anemia pada kasus dipikirkan karena perdarahan gastrointestinal.19 Inverted albumin-globulin ratio terjadi karena penurunan produksi albumin oleh hati yang disertai peningkatan produksi globulin. Hati merupakan tempat produksi protein seperti albumin dan globulin, sehingga kerusakan hepar akan membuat produksi protein tersebut berkurang. Globulin tidak hanya diproduksi di hepar saja tapi juga dapat diproduksi oleh reticuloendothelial system(RES) sehingga pada kerusakan hepar akan terjadi penurunan albumin dan peningkatan globulin.9 Pemeriksaan anjuran yang dapat dilakukan pada kasus yaitu pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging(MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak, akan tetapi pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut, karena kelainan neurologis pada kasus ini sudah disingkirkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan EEG akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (>100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. 8,15 Penatalaksanaan non farmakologi pada kasus ini, yaitu pemasangan oropharngeal
Hawania|Wanita dengan Enselopati Hepatik
airway serta pemberian oksigen nasal kanul dengan kecepatan (O2)5 L/menit bertujuanuntukmempertahankanjalannapas agartetapterbukadanmenahanpangkallidahag artidakjatuhkebelakangyangdapatmenutupjal annapaspadapasien serta pemberian oksigenasi yang adekuat.Indikasi pemasanganoropharngeal airwayhanyadiperbolehkanpadapasiendengan penurunan kesadaranatauGCS≤8.20 Pemasangan NGT bertujuan untuk memudahkan pemberian nutrisi secara enteralkarena pada kasus terjadi penurunan kesadaran yang merupakan salah satu indikasi pemasangan NGTsehingga kebutuhan energi dapat tercukupi sekaligus memudahkan dalam pemberian obat.Nutrisi enteral per selang makan sangat penting untuk saluran cerna karena dapat mencegah atrofi vili usus serta tetap menjaga kelangsungan fungsi usus. Pembatasan jumlah asupan protein bertujuan untuk mencegah peningkatan kadar amonia dalam darah yang masuk ke otak. Pada EH derajat II-III, pemberian jumlah protein yang dapat diberikan 1,0-1,5 g/kg/BB/hari, sedangkan pada EH derajat III-IV asupan protein yang dapat diberikan 0,5-1,2 g/kg/BB/hari. Pada gangguan hati kronik, seperti sirosis hati, umumnya nutrisi parenteral diberikan bila disertai dengan komplikasi seperti asites masif, hematemesis melena, dan ensefalopati. Pada ensefalopati hepatik pemberian dekstrosa 10% atau maltosa 10% diberikan sebagai sumber kalori, dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, langkah selanjutnya ialah pemberian cairan kaya AARC dan rendah AAA. Tujuan pemberian AARC ialah untuk mecegah masuknya AAA kedalam jaringan otak, selain itu untuk menurunkan katabolisme protein dan mengurangi konsentrasi amonia darah. Pada ensefalopati hepatik terjadi peurunan kadar AARC dan peningkatan kadar AAA di plasma otak, sehingga pemberian cairan tinggi AARC dan rendah AAA dapat memberikan imbangan nitrogen yang baik, dan memperbaiki angka kelangsungan hidup pasien.21-23 Pemasangan dower kateter pada kasus bertujuan untuk memantau pengeluaran urin dan sekaligus melihat keseimbangan antara air yang masuk ke dalam dan air yang keluar dari tubuh. Pada kasus terjadi edema pada tungkai dan asites karena terjadinya
peningkatan volume cairan intersisium. Pada penyakit hati kronik seperti sirosis hati terjadi retensi natrium sekunder (kompensasi) hal ini dilakukan oleh tubuh untuk memenuhi volume sirkulasi efektif menjadi normal kembali guna optimalisasi perfusi jaringan, sehingga perlu dilakukan pemantauan pengeluaran urin agar tidak terjadi retensi cairan tubuh.24 Tujuan terapi utamaEH adalah menurunkan produksi dan absorpsi amonia, sehingga salah satu manajemen terapi EH dengan diet rendah protein, pada kasus ini dilakukan diet rendah protein dengan mengurangi jumlah asupan protein, tetapi tidak mengurangi jumlah asupan kalori. The European Society for Parenteral and Enteral Nutrition mengeluarkan konsensus guidelinesyang menyatakan bahwa kebutuhan protein perhari pada pasien dengan penyakit hepar adalah sekitar 1,0-1,5 g/kgBB, tergantung derajat dekompensasi hepar. Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium.Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia.Meningkatnyapermebialitas sawar darah otak untuk ammonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitasamonia terhadap astrosit otak yang berfungsimelakukan metabolisme amonia melalui kerjaenzim sintetase glutamin.Disfungsi neurologisyang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edemaserebri, dimana glutamin merupakan molekulosmotik sehingga menyebabkan pembengkakanastrosit.25,26 Pemberian laktulosa pada kasus merupakan modalitas untuk menurunkan kadar amonia. Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin.Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhanflora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease.15,25,27
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|87
Hawania | Wanita dengan Enselopati Hepatik
Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan.Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.The American College of Gastroenterologymengeluarkan guidelines yang merekomendasikan pemberian laktulosa 45 ml/jam sampai terjadi defekasi.Penggunaan stimulan atau laksatif osmotik seperti bisakodil dan enema sodium fosfat biasanya dipakai untuk menambahefek laktulosa.15,27 Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti inflamasi dandownregulationaktivitas glutaminase.Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximinberspektrum luas dan diserap secara minimal.Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 36 bulan.Rifaximindipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan vancomycinoral karena rifaximinmemiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya. Antibiotik yang diberikan pada kasus yaitu ceftriakson karena ketersediaan rifaximin sangat terbatas di Indonesia dan memiliki harga yang cukup tinggi.8,12,15,28,29 Pemberian L-ornitin L-aspartat (LOLA) pada EH dapat menurunkan kadar amonia, dan memberikan perbaikan ensefalopati hepatikum sesuai pada kriteria West Haven.LOLA secara in vivo bekerja pada dua jalur detoksifikasi amonia, yaitu sintesis urea dan sintesis glutamin, melalui asam amino ornithine dan aspartat. Glutamat digunakan sebagai asam amino yang mengikat amonia, sehingga meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot dan menurunkan amonia di dalam darah, selain itu LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH. LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsangureagenesis.29-31
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|88
Pada kasus ini,L-ornitin L-aspartat (LOLA)tidak diberikan karena ketersediaan obat yang terbatas serta memiliki harga yang cukup tinggi.
Simpulan Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada kasus ditegakkan diagnosis ensefalopati hepatik yang disebabkan oleh sirosis hepatis.Tujuan penatalaksaanan pada kasus adalah mengurangi produksi dan absorpsi amonia dengan pemberian antibiotik dan laktulosa. Daftar Pustaka 1. Muthia, Alisa N. Evidence Based Clinical Research: Peran Rifaximin dalam Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik Akut. Departemen ilmu penyakit dalam divisi hepatologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. 2. Takuma Y, Nouso K, M akino Y, Hayashi M , Takahashi H. Clinical trial: oral zinc in hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther 2010;32:1080-90. 3. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009. KOPAPDI; 2009. 4. Jubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Edisi KeV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 667-80. 5. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy: Review of the Latest Data from EASL. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):1-16. 6. Garg H, Kumar A, Garg V, Sharma P, Sharma BC, Sarin SK. Clinical profile and predictors of mortality in patients of acute on chronic liver failure. Digestive and Liver Disease. 2012; 44(2):166-71. 7. Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. Complications of Cirrhosis. Curr Opin Gastroenterol. 2012; 28(3):2239. 8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605. 9. Nurdjanah S. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia; 2009. hlm. 668-73. 10. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline. European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol;2014. 11. Córdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2012; 54(5):1030-40.
Hawania|Wanita dengan Enselopati Hepatik 12. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An over-view. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63. 13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65.orld J Hepatol. 2012;4(3) 14. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in themechanism of ammonia neurotoxicity.Metab Brain Dis. 2009;24(1):103-17. 15. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7. 16. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo Dl, Jamerson JL. Harrison’s principles of internal th medicine. 16 edition. New York: McGraw-Hills; 2005. hlm. 1483-95. 17. Bajaj JS, Pinkerton SD, Sanyal AJ, Heuman DM. Diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy to prevent motor vehicle accidents: a cost effectiveness analysis. Hepatology. 2012;55(4):1164-71. 18. Fichet J, Mercier E, Genée O. Prognosis and 1-year mortality of intensive care unit patients with severe hepatic encephalopathy. Journal of Critical Care. 2009; 24(3):364 -70. 19. Poh Z and Chang PEJ. A current review of the diagnostic and treatment strategies of hepatic encephalopathy. International Journal of Hepatology. 2012;44(2):150-7. 20. Roppolo LP, Davis D, Kelly SP, Rosen P. Airway management. In:Emergency Medicine Handbook Critical Concept for Clinical Practice. Philadelphia: Elseiver; 2007. hlm. 25-43. 21. Simadibrata M. Nutrisi Enteral. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi KeV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 323-7. 22. Subeki I. Nutrisi Parenteral: Cara Pemilihan, Kapan, Dan Bagaimana. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi KeV. Jakarta: Pusat
23.
24.
25.
26. 27.
28.
29. 30.
31.
Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 32834. Mansjoer A, Simadibrata M. Dukungan Nutrisi Pada Penyakit Kritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi KeV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 33541. Parlindungan S. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi KeV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hlm. 17589. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver. 2008; 28(1):70-80. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13. Romeiro FG, Fabio DSY, Madileine FA.Erythromycin versus neomycin in the treatment of hepatic encephalopathy in cirrhosis: A randomized double blind study. BMC Gastroenterology. 2013; 13:13. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int J Hepatol. 2011. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithine-L-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the College of Physicians and Surgenons Pakistan. 2008;18(11):684-7. Prabowo PA.Efek L-Ornithine L-Aspartate (Hepamerz) terhadap Digit Symbol Test pada pasien Ensefalopati Hepatikum. Yogyakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2008.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|89