Prayudo dan Adityo | Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis Hepatis
Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis Hepatik
Prayudo Prio A, Adityo Wibowo Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Penyakit hepar yang paling sering berkomplikasi menjadi ensefalopati hepatik adalah sirosis hepatik. Di Indonesia, kejadian ensefalopati hepatik yang berkomplikasi dari sirosis hepatik hampir mencapai 50% dan perbandingan antara pria dan wanita adalah 2,1:1. Pada laporan kasus ini, pasien adalah seorang perempuan berusia 52 tahun datang dalam keadaan penurunan kesadaran yang disertai letargi dan disorientasi, serta artikulasi bicara yang tidak jelas sejak empat hari yang lalu. Pasien dikatakan mudah marah sebelum kesadarannya menurun. Glasgow Coma Scale (GCS) 10, malaise, tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi o nadi 105 ×/menit, suhu 38 C, frekuensi napas 26 ×/menit, dan dengan gejala klinis sirosis hepatik yang khas serta temuan dari hasil lab darah. Pada tahun 2010, pasien didiagnosis dengan sirosis hepatik. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien didiagnosis dengan ensefalopati hepatik derajat dua. Pasien mendapatkan terapi farmakologi yaitu probiotik laktulosa dan antibiotik ceftriaxone. Kata kunci: ensefalopati hepatik, hiperamoniak, sirosis hepatik
Encephalopaty Hepatic Patient With Chirrosis Hepatic Abstract Encephalopaty hepatic (EH) is a neuropsychiatryc syndrome that happen in acute or heavy chronic liver disease with various manifestation, start from mild to severe, include behavioral change, intellectual impairment, and loss of consciousness without brain abnormality. Liver disease that often be a complication is cirrhosis hepatic. In Indonesia, event of cirrhosis hepatic that complicate to be hepatic encephalopathy is almost 50% dan comparity between male and female is almost 2,1:1. In this case report, the patient was a 52-year-old woman came in a state of loss of consciousness accompanied by lethargy and disorientation, as well as the articulation of speech is not clear since four days ago. Family said that the patient is irritable before consciousness decreases. Glasgow Coma Scale (GCS) 10, malaise, blood pressure 100/70 mm Hg, pulse o 105 x/min, the temperature of 38 C, respiratory rate 26 x/minute, and with symptoms typical of hepatic cirrhosis as well as the clinical findings of the blood lab. In 2010, patients diagnosed with hepatic cirrhosis. Based on anamnesis, physical examination, and support test, the patient was diagnosed with hepatic encephalopathy degree 2. The patient is given lactulose probiotic and ceftriaxone antibiotic as pharmacotherapy. Keywords : chirrosis hepatic, encephalopathy hepatic, hiperamoniac
Korespondensi : Prayudo Prio A, S.Ked., alamat Bandar Lampung, HP 085268826029, email
[email protected]
Pendahuluan Ensefalopati Hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien EH sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma dalam.1 Menurut kriteria West Haven, ditandai dengan perubahan pola bangun tidur dan pelupa (tahap 1), kebingungan, perilaku aneh, dan disorientasi (tahap 2), letargi dan disorientasi yang mendalam (tahap 3), dan koma (tahap 4).2 Pada pemeriksaan fisik, tahap awal hanya menunjukkan adanya tremor distal, namun ciri khas EH adalah adanya asterixis. Temuan klinis dari laboratorium menunjukkan adanya gangguan elektrolit terutama kalium, namun J Medula Unila | Volume 7 | Nomor 2 | April 2017 | 90
yang menjadi perhatian khusus adalah kadar peningkatan yang ekstrim dari amonia. Walaupun dipengaruhi, tidak ada nilai ukur yang pasti pada tingginya kadar amonia tersebut terhadap tingkat keparahan EH.2,3 Keadaan yang memiliki gejala mirip dengan EH, seperti keadaan ensefalopati metabolik dan lesi intrakranial. Pada ensefalopati metabolik contohnya adalah defisiensi vitamin B1, hipoglikemia, hipotiroid, ensefalopati toksik, sindrom WernickeKorsakoff, intoksikasi obat, dan alkohol. Kondisi lesi intrakranial yang dapat menjadi diagnosis banding adalah perdarahan intraserebral, perdarahan subdural, edema serebral, dan hipertensi intrakranial.4 Secara umum, beberapa penelitian di dunia menyebutkan bahwa 30-45% pasien
Prayudo dan Adityo | Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis Hepatis
yang mengalami EH, didahului oleh sirosis.5 Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, lebih dari sepertiga pasien sirosis menjalani rawat inap karena EH. Prevalensi terjadinya EH adalah sebesar 30-40% dari pasien sirosis hepatik sedangkan untuk EH minimal sebanyak 20-80%. Sebanyak 30% EH mengalami kematian. Sedangkan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 14,7% pada tahun 1997-1998 dengan angka kematian 44,7%.6 Kasus Perempuan 52 tahun datang dengan penurunan kesadaran yang disertai gelisah, kebingungan, mudah marah, dan bicara yang tidak jelas sejak empat hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelum mengalami penurunan kesadaran, keluarga mengatakan bahwa pasien mudah marah terhadap hal-hal kecil. Satu minggu sebelum rumah sakit, keluarga mengatakan, pasien mengalami demam yang hilang timbul, penurunan nafsu makan, mual dan muntah sebanyak dua kali dalam sehari berisi cairan dan makanan, nyeri kepala, sulit BAB dan BAB berwarna kehitaman bila keluar, dan BAK yang berwarna pekat seperi teh. Dua bulan yang lalu pasien pernah dirawat di rumah sakit, dengan keluhan perut yang makin lama makin membesar, disertai dengan penurunan nafsu makan, sesak, lekas merasa kenyang, dan bengkak pada kedua tungkai. Pada anamnesis riwayat penyakit dahulu, sejak dua tahun terakhir, pasien sudah terdiagnosis oleh dokter spesialis penyakit dalam menderita sirosis hepatis. Keluarga menyangkal adanya riwayat penyakit hipertensi, diabetes dan stroke pada pasien. Dilakukan anamnesis berdasarkan riwayat keluarga, sosial, dan gaya hidup pasien. Dalam keluarga pasien, suami pasien pernah terdiagnosis hepatitis lima tahun lalu. Hubungan dengan lingkungan sekitarya baik dan tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium dengan Glasgow Coma Scale (GCS) delapan, tekanan darah 110/60 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit reguler, frekuensi pernapasan 28 x/menit, 36,8 °C. Pada kepala tak tampak kelainan, pada wajah, sklera terlihat ikterik, konjungtiva anemis. Sementara itu pada leher tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan thoraks tampak terdapat lesi pembuluh darah yang dikelilingi serabut pembuluh yang lebih halus. Pada abdomen, inspeksi terlihat perut membesar dan berbentuk cembung, auskultasi bising usus normal, perkusi timpani pada puncak abdomen serta shifting dullnes (+), palpasi dinding perut tegang, serta hepar dan lien tidak teraba. Pada ekstremitas superior dan inferior ditemukan eritema palmaris pada telapak tangan, dan edema pitting pada ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan neurologis nervus IXII tidak ada kelainan, refleks fisiologis menurun, refleks patologis tidak ditemukan, dan rangsang selaput otak tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium Hb 9,5 g/dl, LED 33 mm/jam, leukosit 10.500/ul, trombosit 160.000/ul, GDS 98 mg/dl, SGOT 182 u/l, SGPT 54 u/l, albumin 1,7 g/dl, globulin 3,7 g/dl, dan HbsAg positif. Pasien mendapatkan terapi berupa probiotik laktulosa dan antibiotik ceftriaxone. Laktulosa yang diberikan berupa sirup dan ceftriaxone diberikan melalui injeksi IV. Pembahasan Diagnosis klinik pada pasien ini adalah ensefalopati hepatik (EH) e.c sirosis hepatik. EH menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.6-8 Yang harus pertama kali diteliti pada pasien adalah penyebab dari EH-nya. Berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa pasien mengalami sirosis hepatik. Gejala yang dapat dilihat dari pemeriksaan fisik memenuhi lima dari tujuh kriteria diagnosis sirosis
J Medula Unila | Volume 7 | Nomor 2 | April 2017 | 91
Prayudo dan Adityo | Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis Hepatis
hepatik, yaitu spider nevi, eritema palmaris, kolateral vein, ascites, ikterik. Sementara itu berdasarkan hasil laboratorium didapatkan hasil SGOT-SGPT yang sangat meningkat, invert globulin-albumin, serta dipastikan dengan positifnya HbsAg.9,10 Bagaimana sirosis hepatik dapat berkomplikasi menjadi ensefalopati hepatikum akan dijelaskan pada paragraf ini. Amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida.9,10 Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin dengan glutamin sintetase. Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. 10 Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.8,9 EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsic jaringan hati, dan tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus J Medula Unila | Volume 7 | Nomor 2 | April 2017 | 92
paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibedakan menjadi dua tipe yaitu EH minimal (EHM) dan EH overt. EH minimal yaitu bila ditemukan adanya defisit kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif, sedangkan EH overt terbagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan fluktuasi) dan EH persisten (progresif dengan gejala neurologis yang makin memberat).9 Vena portal menerima darah dari usus dan sekitar limpa, pankreas dan kandung empedu. Setelah memasuki vena hati terbagi menjadi cabang kanan dan kiri dan kemudian ke saluran kecil yang melewati hati. Ketika darah meninggalkan hati, mengalir kembali ke dalam sirkulasi umum (sistemik atau badan) melalui vena hepatika. Dua faktor dapat meningkatkan tekanan darah di pembuluh darah portal yaitu peningkatan volume darah yang mengalir melalui pembuluh dan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.8,12 Di negara-negara Barat, penyebab paling umum dari hipertensi portal peningkatan resistensi terhadap aliran darah yang disebabkan oleh jaringan parut yang luas dari sirosis hati, yang paling sering disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan kronis. Hipertensi portal mengarah ke pengembangan pembuluh darah baru (disebut pembuluh darah kolateral) yang terhubung langsung ke pembuluh darah portal ke sirkulasi umum, melewati hati. Untuk alasan ini (CABG), zat (seperti toksin) yang biasanya dikeluarkan dari darah melalui hati dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pembuluh darah kolateral berkembang di lokasi tertentu. Yang paling penting terletak di ujung bawah kerongkongan dan perut bagian atas. Di sini, aliran pembuluh menjadi meningkat, terdesak, dan berbalik arah (varises esofagus) atau dapat juga terjadi pada bagian perut (varises lambung). Pembuluh darah yang mengalami varises ini rapuh, bengkak dan rentan terhadap perdarahan, kadang dengan hasil yang fatal. Varises lainnya dapat tumbuh di dinding perut dan rektum. Hipertensi portal sering menyebabkan pembesaran limpa karena tekanan mengganggu aliran darah ke limpa pada pembuluh darah portal. Tekanan portal di dalam pembuluh darah dapat
Prayudo dan Adityo | Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis Hepatis
menyebabkan protein dan cairan pada permukaan hati dan usus dan kemudian masuk ke rongga perut. Kondisi ini disebut asites.10-12 Kondisi lain yang disebabkan oleh hipertensi portal adalah varises esofagus. Pada kasus ini terdapat varises pada esofagus pasien yang mudah pecah. Apabila varises ini pecah maka dapat menimbulkan adanya
muntah darah/ hematemesis maupun melena karena darah dari esofagus masuk ke dalam saluran cerna.11 Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi derajat nol hingga empat, dengan derajat nol dan satu masuk dalam EH minimal serta derajat dua sampai empat masuk dalam EH overt.7 7
Tabel 1. Manifestasi tingkatan Ensefalopati Hepatik.
Derajat 0 (subkliinis minimal) 1 2 3 4
Kognitif dan Perilaku Asimtomatik
Fungsi Neuromuskular Tidak ada
Gangguan tidur, penurunan konsentrasi, depresi, ansietas, dan iritabilitas Letargi, disorientasi, penurunan daya ingat Somnolen, kebingungan, amnesia, gangguan emosi Koma
Suara monoton, tremor, penurunan kemampuan menulis, apraksia Ataksia, disartria, asteriksis
Pada pasien ini, tingkat EH nya berada pada derajat dua, karena keadaan kognitif dan perilakunya yang letargi serta ataksia pada fungsi neuromuskularnya. Tujuan utama dari pengobatan EH adalah mengidentifikasi dan mengobati faktor presipitasi EH. Sebagian besar obat yang digunakan untuk menangani EH saat ini bekerja dengan mengurangi atau mengeliminasi peningkatan kadar ammonia dalam darah. Pengobatan untuk mencegah timbulnya EH pada pasien sirosis yang belum pernah mengalami EH disebut sebagai profilaksis primer, sedangkan pengobatan untuk mencegah timbulnya rekurensi EH disebut sebagai profilaksis sekunder. Terapi yang digunakan adalah probiotik dan antibiotika.10 Hingga saat ini Laktulosa merupakan terapi utama dalam pengobatan dan pencegahan timbulnya EH, efikasinya sudah terbukti efektif baik sebagai profilaksis primer maupun sekunder. Probiotik mempengaruhi flora normal usus, sehingga menurunkan produksi amonia. Namun dalam penggunaannya dapat menimbulkan efek samping diare, perut kembung, dan susah buang angin (flatus) terutama bila digunakan untuk jangka panjang.10,12,13
Nistagmus, kekakuan otot, hiper atau hiporeflek Pupil dilatasi, refleks patologis dijumpai Terapi antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri penghasil amonia. Selain itu antibiotik juga memiliki efek anti inflamasi dan down regulation aktivitas glutaminase. Antibiotik yang menjadi pilihan utama adalah rifaximine berspektrum luas dan diserap secara minimal. Antibiotik lain yang menjadi pilihan sebelumnya adalah neomycin, metronidazole, paromomycin, vancomycin dan juga ceftriaxone.14 Ceftriaxone menjadi pilihan pengobatan karena ketersediaan rifaximine sangat terbatas di Indonesia. Daftar Pustaka 1. Rahtio, H. Wanita dengan ensefalopati hepatik. J Medula. 2015; 4:195-201. 2. Iris W, Liou MD. Diagnosis and management of hepatic encephalopathy. Hepatitis C online. 2017; 3(4):1-20. 3. Perhimpunan peneliti hati Indonesia (PPHI). Artikel umum: Sirosis hati. Jakarta: PPHI; 2013. 4. Chronic liver disease foundation (CLDF). Hepatic encephalopathy: A review of diagnostic methods. Indiana: CLDF; 2013. 5. Guo Z, Yu Z, Hu KQ. Overview on current management of hepatic encephalopathy. N A J Med Sci. 2016; 9(2):59-65. 6. Suyoso, Mustika S, Achmad H. Ensefalopati
J Medula Unila | Volume 7 | Nomor 2 | April 2017 | 93
Prayudo dan Adityo | Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis Hepatis
hepatik pada sirosis hati: faktor presipitasi dan luaran perawatan di RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2015; 28(4):340-4. 7. Caropeboka, MD. Ensefalopati hepatikum pada pasien sirosis hepatis. J Medula. 2013; 1(4):108-16. 8. Hasan I, Araminta AP. Ensefalopati Hepatik: Apa, mengapa, dan bagaimana?. Medicinus. 2014; 27(3):1-8. 9. Ndraha, S. Ensefalopati hepatikum minimal. CDK. 2015; 42(11):824-8. 10. Kencana, Y. Probiotik sebagai terapi profilaksis pada ensefalopati hepatikum. Jakarta: Univversitas Indonesia; 2015. 11. Saksana RA, Bayupurnama P, Indrarti F, Ratnasari N, Maduseno S, Triwikatmani C, et al. Correlation between the severity of
J Medula Unila | Volume 7 | Nomor 2 | April 2017 | 94
liver cirrhosis (child-pugh score) and qtc interval prolongation. The Indonesian journal of gastroenterology, hepatology, and disgestive endoscopy. 2012; 13(3):15760. 12. Perhimpunan peneliti hati Indonesia (PPHI). Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia. Jakarta: PPHI; 2014. 13. Lunia MK, Sharma BC, Sharma P, Sachdeva S, Srivastava S. Probiotics prevent hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis: A randomized controlled trial. Clin Gastroenterol Hepatol. 2014; 12(6):1003-8. 14. Sulistiyani A, Anggraini DI. Ensefalopati hepatis et causa sirosis hepatis dekompensata pada laki-laki usia 57 tahun. J Medula Unila. 2016; 5(1):21-6.