1
2 Katalog ini diterbitkan sebagai pendamping dari This catalog is published in conjunction of
ENIGMA Pameran Tunggal Hanafi Hanafi Solo Exhibition
8-29 November 2007 O House Gallery Widya Chandra 39 Jakarta Selatan INDONESIA
Pimpinan Produksi Chief Producer Kurator Curator Penerjemah Translator Desain Grafis Graphic Design Video Art Video Art Fotografer Photographer Percetakan Printing
Selamat Teguh Jim Supangkat Rani E. Ambyo Sari Asih Afrizal Malna (dari dokumentasi Hanafi From Hanafi documentation) Leonardi Portraiture Jaya Murni Printing
© 2007 1000 exp
Pada sampul On the cover
Kakimu Ditubuhku
2007 Acrylic on canvas 185 x 200 cm
Halaman sebelum Previous page
Menghitung Kaki-Kaki 2007 Acrylic on canvas 100 x 200 cm Kanan Right
Hanyut Dalam Arus 2007 Acrylic on canvas 150 x 150 cm
3
4
sambutan foreword Selamat Teguh & Bonny Limantoro
Kami mulai mengenal karya-karya Hanafi lewat majalah-majalah arsitektur (profesi yang kami lakoni sejak selesai kuliah sampai sekarang) di sekitar tahun 2000. Karya-karya Hanafi banyak tergantung di dinding-dinding rumah yang menurut banyak pendapat umum bergaya minimalis/moderen. Karya-karya Hanafi pada masa itu hanya dianggap sebagai elemen penghias interior. Kami punya perasaan yang lain. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh Mas Afrizal, rasanya karya-karya ini justru sanggup membocorkan kekakuan dan keteraturan yang disusun sangat ketat. Ruang-ruang dan detail-detail yang steril seolah dikotori, diajak bermain-main. Ruang mendadak bocor, ia tidak dingin dan bisu, tetapi menjadi ceria, sendu, atau muram, lebih hangat, ia jadi punya ekspresi. Selanjutnya pertemuan langsung kami dengan Hanafi terjadi ketika kami mendatangi pameran Tiga Hari Dalam Sepatu (Bentara Budaya, Jakarta, 2005)- jabat tangan, senyum, sikap yang canggung dan kikuk mewarnai perkenalan pada waktu itu (mungkin Hanafi sendiri tidak pernah mengingat perkenalan itu
We started to know Hanafi’s works through magazines on architecture (architecture being our chosen field of profession since we graduated from university); it was around 2000. Hanafi’s works are hung on walls in houses that many consider as ‘minimalist’ or ‘modern’. At the time, Hanafi’s works were often taken simply as design elements. We, however, begged to differ. Borrowing the term Afrizal Malna often uses, we would say that these works are able to create a leak in the precise rigidity and order of the space in which they are situated. The sterile place and its design seem to be blemished, invited to play around. The space immediately cracks; it is no longer cold and mute, but becoming playful, sad, or sorrowful; it is warmer; it has an expression. Our further encounter with Hanafi occurred when we came to the exhibition “Tiga Hari dalam Sepatu” (Bentara Budaya, Jakarta, 2005)—our meeting was colored by awkward handshakes and hesitant smiles (perhaps Hanafi never remembers the introductory meeting; we’ve never asked). The images of the shoes stuck in our memory.
5
Sofa Sendiri
2007 Acrylic on canvas 200 x 360 cm
6 dan kamipun tidak pernah menanyakan ulang). Gambaran-gambaran sepatu yang muncul, tertempel dalam ingatan. Awal tahun 2006, kami memutuskan untuk mengajak Mas Hanafi menyelenggarakan sebuah pameran yang melibatkan kerja berbagai disiplin, yang kami percayai bahwa pertemuan antar disiplin ini adalah baik. Pameran tunggal Hanafi bertajuk id di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (September 2006) adalah anak sulung dari proses kerja kreatif bersama yang dipersiapkan hampir 9 bulan lamanya. Selanjutnya lahir saudara kembar tidak identik dengan tajuk sama yang dipamerkan di Yogyakarta (Januari 2007). Di balik perawakannya yang kecil dan sifat pendiamnya, Hanafi menyimpan energi yang amatlah besar. Pengalamanpengalaman masa lalu dan berbagai kerja informal yang dilalui menjadi latihan-latihan yang amat berguna bagi perkembangan teknis dan pencapaian artistiknya. Figur-figur yang muncul dalam karya-karya Hanafi akhir-akhir ini, tidak didesain dengan struktur yang rigid sejak awalnya, tetapi bentuk figur ini seakan-akan muncul dari kesunyian yang jauh, samara-samar, kadang menguat, kemudian hilang. Sapuan-sapuan kuasnya kadang terasa sangat kuat, tetapi di saat lain seolah mencair, basah dan mengalir. Dalam pameran penutup tahun 2007 bertajuk Enigma ini, Hanafi melukiskan benda-benda yang dekat dengan keseharian kita. Benda-benda ini ditampilkan dengan mempertanyakan kembali hakekatnya. Pertemuan
In early 2006, we decided to invite Hanafi to hold an exhibition involving many disciplines; we believe that such interdisciplinary encounter is a good thing. Hanafi’s solo exhibition called “id”, held at the National Gallery of Indonesia, Jakarta (September 2006) is the first child of a collaborative creative process, prepared for almost nine months. Then a non-identical twin sibling was born under the same title, held in Yogyakarta (January 2007). In his small figure and his silence, Hanafi has an enormous energy. His past experiences and the various informal work he has done serve as useful trainings for the benefit of his artistic achievements and technical advances. The figures that appear in Hanafi’s works lately have not been designed with a rigid structure since the beginning; rather, they seem to appear from a distant silence, vague, sometimes strengthening, then disappearing. The brushstrokes appear strong at times, then seem to melt at other times, liquid and flowing. In the exhibition at the end of 2007, entitled “Enigma”, Hanafi portrayed the things that are close to us every day. These things are presented and their essence questioned. Friendship and encounters; consensus and agreements—all are reanalyzed. Common patterns are let free. Hanafi compares himself with a child who likes to play under the table. The child is free in his imaginations. It is precisely such creative process of playing that is lacking today, when economy and politics have
7 dan persahabatan, kesepakatan dan perjanjian dipertanyakan kembali. Patron yang sudah menjadi kesepakatan umum dibiarkan terbuka, bebas. Hanafi mengibaratkan dirinya seperti anak-anak yang senang bersembunyi/bermain di kolong meja. Mereka bebas berfantasi. Proses bermain-main yang sangat kreatif seperti ini sudah hampir tidak kita miliki lagi di tengah jaman dimana ekonomi dan politik menjadi kendaraan utama dalam konstruksi budaya (momen-momen pada buah semangka).
become the main vehicle in the process of cultural construction (watermelon moments).
Kerja bersama kami dengan Mas Hanafi, Pak Jim, Mas Afrizal, Pak Tatang, Pak Slamet, Mas Ito, Ibu Melani membangun iklim diskusi yang terbuka. Terima kasih atas persahabatan yang tulus ini.
To Mr. Fauzi Bowo, the Governor of Jakarta who is also an art lover, congratulations for your appointment! We hope that under your leadership, Jakarta can be remanaged as a cultural center. Thank you for your willingness to set aside some of your time to open this exhibition.
Kepada Mas Hanafi, selamat dan sukses selalu! Terima kasih untuk kepercayaan pada kerja bersama ini. Kepada pak Fauzi Bowo Gubernur Jakarta yang juga pencinta seni, selamat atas pelantikan Bapak!! Kami berharap di bawah pimpinan Bapak, Jakarta bisa ditata kembali menjadi kota budaya. Terima kasih untuk kesediaannya meluangkan waktu membuka pameran ini. Terima kasih hadirin yang mau datang ke pameran ini, mari bermain bersamasama.. Selamat menikmati! Salam kami
Our collaborations with Hanafi, Jim Supangkat, Afrizal Malna, Pak Tatang, Pak Slamet, Mas Ito, and Ibu Melani have created an open atmosphere, facilitating discussions. Thank you all for the sincere friendship. To Mas Hanafi, congratulations and may you be always successful! Thank you for your trust in this collaboration.
To all of you who have come to this exhibition, thank you, and let’s play… Enjoy the exhibition! Our warmest regards.
8
Pengantar Kuratorial Curatorial Introduction
Jim Supangkat Kurator Curator
Pada dua pameran Hanafi bertajuk “id”, akhir 2006 dan awal 2007, saya mencoba menjelaskan karya-karyanya melalui psikoanalisa. Dalam penjelasan itu saya menguraikan, ekspresi pada lukisanlukisan Hanafi memperlihatkan dorongan energi positif yang mencerminkani élan vital (semangat hidup). Dalam membangun penjelasan itu saya membaca lukisan-lukisan Hanafi sebagai teks dengan keyakinan bahwa persepsi yang tampil pada karya-karyanya adalah teks. Persepsi ini mencerminkan mind set dan attitude (sikap) Hanafi menghadapi kehidupan. Saya menggali persepsi ini dari sejarah dirinya – berawal dari menemukani sentimen-sentimannya, cerita-cerita tentang upayanya mengatasi masalah kehidupan dan romantisme yang muncul dalam perjalanan hidupnya.
In Hanafi’s two exhibitions entitled “id”—one nearing the end of 2006 and another in the beginning of 2007—I have tried to explicate his works by using psychoanalytic. In those treatments, I describe how expressions in his works show an outpouring of positive energy that reflects an élan vital or a creative life force. As I developed my explanations, I read Hanafi’s paintings as a text, believing that perceptions in his works can actually be read thus. These perceptions reflect Hanafi’s mind set and attitude in facing life. I dig out such perceptions from his life history—beginning from his sentiments, his recollections about how he tried to overcome his problems, and the romanticism that takes place along his journey.
9 Meja Tuan Muda
2007 Acrylic on canvas 120 x 180 cm
10 Pada pembacaan teks itu saya mengandalkan pula sejumlah gambaran pada lukisannya – jarum jahit, lampu neon, batang pohon dan gulungan benang. Gambaran ini muncul spontan, tidak direncanakan. Gejala ini menunjukkan gambaran pada lukisan-luklisan Hanafi tidak dimaksudkan untuk menyampaikan sesuatu maksud atau pesan. Gambaran ini sketsa (trace) yang menandakan upaya Hanafi mengenali persepsinya sendiri. Karena itu justru dari gambarangambaran inil Hanafi mulai mengisahkan perjalanan hidupnya yang kemudian saya kenali sebagai sejarah diri. Kendati mengandung gambaran, lukisanlukisan Hanafi dikenal sebagai lukisanlukisan abstrak. Seperti karya-karya abstrak lain lukisan-lukisan abstrak Hanafi hampir selalu dikaitkan dengan wacana abstrakisme. Pembacaan teks yang saya lakukan dalam mengantar kedua pameran bertajuk “id” itu menunjukkan bahwa saya tidak mengaitkan lukisan-lukisan Hanafi dengan sesuatu wacana, termasuk wacana abstrakisme. Karena itu penggunaan psikoanalisa pada pembacaan saya, berbeda dengan penerapan psikoanalisa pada wacana abstrakisme yang dikenal sebagai tanda penting perkembangan seni rupa modern Abad ke 20 di Eropa dan Amerika Serikat. Sikap saya melakukan pembacaan teks dalam mengkaji karya-karya Hanafi dekat ke kepercayaan kaum dekonstruksionis. Dalam kepercayaan ini teks bukan wacana. Teks bahkan bukan penghubung
In such a textual reading, I relied on some images that appear in his paintings— needles, a neon lamp, a tree trunk, and a spool of yarn. Such images appeared spontaneously during his creative process; they were not planned beforehand. Such symptom proves that images in Hanafi’s paintings are not meant to convey certain meanings or messages. These images are sketches or traces that betray Hanafi’s efforts in recognizing his own perceptions. Hanafi thus begins to tell the story of his life precisely from these images; and I recognize this story as a personal history. Albeit containing images, Hanafi’s paintings are understood as abstract paintings. Like other abstract paintings, Hanafi’s paintings are almost invariably connected with the discourse of the abstract art. The textual reading I conducted in presenting the two exhibitions entitled “id” revealed that I did not relate Hanafi’s paintings to a certain discourse, including the discourse of the abstract art. Therefore, the use of psychoanalysis in my reading differed from the application of psychoanalytic in the discourse of abstract art, which is known as an important sign of the modern art in the twentieth century in Europe and United States.
Kaki Meja Siapa Patah 2007 Acrylic on canvas 185 x 200 cm
11
12 bahasa dengan kenyataan. Teks adalah milieu yang berkaitan dengan pembacaan terbuka yaitu pembacaan yang bisa dengan mudah berubah karena pengubahan tanda-tanda di sekitar pembacaan. Teks dalam kepercayaan ini tidak punya makna tetap. Saya sengaja tidak secara eksplisit menyatakan telah menggunakan pemikiran kaum dekonstruksionis ketika mengantar kedua pameran Hanafi bertajuk “id”. Pertimbangan saya waktu itu, wacana dekonstruksi tidak sepenuhnya dipahami di dunia seni rupa kita – tercermin pada kebingungan memahami seni rupa kontemporer. Karena itu, kendati saya melakukan pembacaan teks, pendekatan yang saya tampilkan untuk mengantar kedua pameran Hanafi adalah pengkajian perkembangan. Saya membandingkan perkembangan abstrakisme di Eropa dan Amerika Serikat dengan perkembangan abstrakisme di Indonesia di mana saya menempatkan karya-karya Hanafi. Dalam kajian ini saya menekankan perbedaan kedua perkembangan – translasi yang disertai pengubahan – dan menggunakan perbedaan ini untuk menjelaskan karyakarya Hanafi. Akan tetapi ketika menyiapkan pameran tunggal dengan tajuk “Enigma” ini saya menghadapi gejala baru pada karya-karya Hanafi. Gejala yang cukup mengejutkan ini ialah, gambaran pada lukisan-lukisannya tidak lagi muncul secara spontan. Gambaran ini dikanvaskan Hanafi dengan kesadaran dan mencerminkan renungan yang kembali mengejutkan saya.
My reading of Hanafi’s works resembles the belief among the deconstructionists. In such a belief, a text is not a discourse; it is not even a link between language and reality. A text is a distinct milieu that is related with an open reading, which can easily change due to the shifts in the signs around the field of reading. Here, a text does not have any fixed meaning. I deliberately chose not to explicitly state that I have used the philosophy of the deconstructionists as I present those two exhibitions. My considerations at the time were that the deconstructionist discourse has not been fully understood within the art world in our country—as betrayed in the confusion in the efforts to understand the contemporary art. Albeit conducting a textual reading, therefore, my approach at the time was that of a comparative nature. I weighed the developments within the abstract art in Indonesia against those found within the abstract art in Europe and United States. In such analysis, I put the emphasis on the differences between the two courses of developments—the translations accompanied by transformations—and used these differences to explain Hanafi’s works. As I am preparing this solo exhibition entitled “Enigma”, however, I encounter new symptoms in Hanafi’s works. Surprisingly, the images in his works now no longer appear spontaneously. Instead, Hanafi consciously brings these images to his canvasses, revealing a surprising reflection.
13
Kesepakatan Dua Kaki 2007 Acrylic on canvas 180 x 200 cm
14 Seperti terlihat pada karya-karya yang disajikan pameran ini, Hanafi menampilkan benda-benda berkaki, seperti meja, kursi, bangku dan sofa. Seperti melakukan observasi, ia menjelajahi benda-benda ini dari berbagai sudut pandang yang tidak lazim diamati orang. Beberapa karyanya segera menarik perhatian saya karena dengan kuat menampilkan paradoks dan ini memaksa saya mengkaji ulang pendekatan yang saya tempuh pada kedua pamerannya terdahulu. Karyanya, Kupinjam Kakimu (2007) menampilkan gambaran sebuah meja dalam posisi tidur sehingga tidak berdiri pada kaki-kakinya. Keempat kaki meja pada lukisan ini ditampilkan melalui pendekatan piktural dan blabar (brush strokes) yang berbeda. Orientasi kedudukan keempat kaki yang berbeda pula seperti menyodorkan pertanyaan, bisakah meja berdiri dengan empat kaki yang berbeda. Sekaligus kesadaran bahwa cuma satu faktior kesamaan pada kaki meja yang membuat meja bisa berdiri, yaitu faktor ukuran. Kendati kaki meja terkesan merupakan persoalan utama pada lukisan itu – bila judulnya dipertimbangkan – kaki meja tidak tampil utama pada lukisan ini. Komponen meja yang menduduki posisi sentral pada bidang kanvas adalah papan mejanya. Pengolahan rupa membuat papan meja ini menyerupai dinding rumah yang melintang pada ketinggian mata dan memotong pandangan. Dalam kedudukan ini papan meja tampil dominan dan terkesan kuat menyembunyikan
As you can see in the works displayed today, Hanafi presents objects with legs— tables, chairs, benches, and couches. As if observing these objects closely, Hanafi explores these objects, employing various points-of-view that one does not often take. Some of these works immediately grab my attention as they strongly reveal paradoxes and force me to reconsider the approach I have taken when presenting his two previous exhibitions. His painting Kupinjam Kakimu (Borrowing Your Legs, 2007) presents the image of a table in an upside-down position. The table’s four legs are presented using brush strokes and each with a different pictorial approach and orientation; thus provoking a question of whether a table can stand with four different legs. It also brings us to a realization that there is one similarity that enables a table to stand sturdily: the similarity of size. Although it seems as if the legs of the table are the main issue presented in the painting—at least if we consider the painting’s title—they do not actually take the center stage in the painting. The element of the table that becomes the center of attention on the canvass is the table-leaf. The visual arrangement on the canvass makes the table-leaf resemble a horizontal wall, placed at eye-height and
Kupinjam Kakimu
2007 Acrylic on canvas 160 x 180 cm
15
16 /melindungi/ baliknya.
menyimpan
sesuatu
di
Karyanya yang lain, Yang Berjalan di Kolong Meja (2007) malah tidak menampilkan gambaran meja sama sekali. Hadir pada lukisan ini balok kayu tebal. Bila balok ini dimaksudkan papan meja, tidak bisa ditemukan kaki-kaki meja yang menyangganya. Namun pengolahan rupa – yang sangat minimal – mengesankan ada ruang di bawah balok tebal ini Di atas balok pada posisi yang sentral, tersampir substansi yang menyerupai kertas. Dalam perbincangan di depan karyakarya itu Hanafi mengemukakan ia mempertanyakan kebenaran makna yang disepakati. Dalam bahasanya ia mengemukakan, “Perjanjian tentang segala hal tidak bisa dipegang karena kita tidak bisa memastikan perjanjianperjanjian yang tidak muncul sebagai perjanjian.” Dan tentang ketiga lukisannya yang menampilkan meja, Hanafi mengemukakan, “Perjanjian selalu terjadi di atas meja, tapi kita kan tidak pernah tahu perjanjian yang ada di kolong meja.“ Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa perjanjian ini mencerminkan bahwa semua makna didukung hanya oleh satu kesepakatan,. sementara makna menurut keyakinannya berkaitan dengan berbagai kesepakatan yang tidak muncul ke permukaan. Gejala baru pada karya-karya Hanafi dan renungannya itu dengan segera membangkitkan ingatan saya pada wacana dekonstruksi. Gejala baru itu memunculkan kesadaran, kali ini saya tidak bisa menghindar dan harus secara
cuts across our view. In such a position, the table-leaf thus appears dominant and gives a strong impression of hiding/ protecting/storing something behind it. His other work, Yang Berjalan di Kolong Meja (The One Walking Underneath, 2007), does not even show any table. What appears in this painting is a thick piece of wood. If the block of wood is meant to represent the table-leaf, it lacks the legs that are supposed to prop it. The visual arrangement, however—minimal as it is— gives an impression of a space beneath the wooden block. On the wooden block, placed in a central position, is a paper-like object. In our discussions, Hanafi admits of questioning the truth of agreed meanings. He says, “We can’t rely on agreements as we can’t be sure about the consensus that doesn’t appear as agreements.” And about three of his paintings that feature tables, Hanafi explains, “Agreements always take place on the table, at the top— but we can’t know about the consensus taking place behind the table, can we?” He further says that such agreement suggests that all meanings are supported by just that one consent, while he actually believes that meanings are related to the consensus that remains hidden.
Yang Berjalan di Kolong Meja 2007 Acrylic on canvas 165 x 180 cm
17
18 eksplisit mengaitkan karya-karyanya dengan wacana dekonstruksi. Walau Hanafi tidak bisa disebut sebagai perupa yang menerapkan pendekatan dekonstruksi – dekonstruksionis yang memahami wacana dekonstruksi – tandatanda pada karyanya memperlihatkan dengan kuat gejala dekonstruksi. Realitas pada visi kaum dekonstruksionis selalu mengandung paradoks. Perupa Francis Bacon mengemukakan, berbeda dengan kesepakatan yang selalu memperlihatkan kecocokan, realitas pada karya-karyanya menampilkan ketidakcocokan pada kecocokan. Karya Hanafi pada pameran ini, Laci Kosong (2007) dan Musik Meja (2007) memperlihatkan credo dekonstruksi yang dikemukakan Bacon. Pada Laci Kosong, Hanafi menampilkan batang kayu utuh di atas meja. Pada Musik Meja ia melukiskan piano sayap dengan selembar papan melayang di atasnya. Kedua lukisan ini menampilkan “ketidak-cocokan pada kecocokan”. Obyek-obyek pada kedua lukisan memperlihatkan kejanggalan karena perbedaan konteks – papan dan piano, balok kayu dan meja – yang bisa ditafsirkan sebagai ketidak-cocokan. Namun dilihat dari sisi material semua benda ini memperlihatkan kecocokan karena semuanya terbuat dari kayu. Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana letak persinggungan Hanafi dengan wacana dekonstruksi bila ia tidak bisa disebut dekonstruksionis, yang memahami wacana dekonstruksi. Jawaban ini memerlukan pengamatan berbagai
The new symptoms appearing in Hanafi’s works, as well as his reflections, immediately remind me of the discourse of the deconstructionists. Such new symptom brings about the realization that this time I cannot avoid that discourse and must explicitly link his works with the deconstructionist discourse. Although we cannot say that Hanafi is an artist who deliberately applies the deconstructionist approach—or that he is a deconstructionist artist who is aware of the deconstructionist discourse—there are signs in his works that strongly reveal the deconstructionist symptoms. Reality, according to the deconstructionists, always carries paradoxes within it. The artist Francis Bacon said that, unlike the consensus that invariably reveals concords, the reality in his works presents the discords existing within the concords. Two of Hanafi’s works in this exhibition— Laci Kosong (Empty Drawer, 2007), Musik Meja (Table Music, 2007)—betray the deconstructionist credo which Bacon mentioned. In Laci Kosong, Hanafi presents a whole wooden block on the table. In Musik Meja, he depicts a grand piano with a piece of wood hovering over it. These two paintings reveal “discords within the concords”. The objects in both paintings show peculiarity due to some contextual differences—the wood and the piano, the wooden block and the table— which one might interpret as discord. If we consider the materials presented there, however, there is harmony—as all the objects depicted in the two paintings
19
Atas Top
Laci Kosong
2007 Enamel on wood 183 x 244 cm Bawah Bottom
Musik Meja
2007 Acrylic on canvas 165 x 183 cm
20 aspek. Saya cenderung memulainya dengan mempersoalkan realitas.pada karya-karya Hanafi. Realitas pada karya-karya Hanafi menyodorkan kehidupan dalam sistem dunia modern. Dalam dunia yang tersistem pemahaman tentang realitas dipengaruhi berbagai pemahaman yang muncul melalui pemikiran, teori-teori dan pandangan-pandangan. Di tengah kondisi semacam ini sudah tidak mungkin membangun pemahaman yang bebas dari pengaruh pemahaman lain. Renungan Hanafi yang tercermin pada pandangan-pandangannya menunjukkan ia menganggap pemikiran, teori dan pandangan tentang realitas yang berpengaruh itu sebagai kesepakatankesepakatan yang tidak harus dipercaya menunujukkan realitasnya. Kesepakatankesepakatan ini selalu mempunyai lingkup yang terbatas dan karena itu kebenarannya pun terbatas. Baik Hanafi mau pun kita, percaya bahwa semua pemikiran, teori dan pandangan tentang realitas itu menunjukkan keragaman. Saya kira sebagian besar dari kita tidak percaya semua pemikiran, teori dan pandangan ini menunjukkan realitas yang sebenarnya dan menyodorkan kebenaran absolut. Kurang lebih pandangan semacam itu pula yang diyakini kaum dekonstruksionis. Namun ketika pemikiran tentang dekonstruksi ini muncul pada awal 1970an, para dekonstruksionis ini tidak sebebas kita menyimpulkan berbagai pemikiran
are made of wood. There is then the question of where Hanafi’s path intersects with that of the deconstructionists, if he is not a deconstructionist who is fully aware of the deconstructionist discourse. This begs observations from various points of view. I tend to begin by analyzing the reality presented in Hanafi’s works. Reality in Hanafi’s works presents a life within the modern system. In a systematized world, one’s understanding of reality is affected by the myriad insights that came about due to thoughts, theories, and views. Amid such a condition, it is impossible to construct an understanding that is free from the influences of other understandings. Hanafi’s reflections as revealed in his views show that he considers the influencing thoughts, theories, and views on reality as agreements which do not necessarily reveal their realities. The scopes of such agreements are invariably restricted and their truth, therefore, is also limited. Hanafi—and we, too—believe that all thoughts, theories, and views on reality reveal plurality. I think most of us—like the deconstructionists—do not believe that all the thoughts, theories, and views betray the true reality and represent an absolute truth. When such opinion first emerged in the 1970s, however, the deconstructionists were not as unrestricted as we are now in concluding that the myriad of thoughts actually reflected diversity, because at the time they had to face structuralism.
21
Keabadian Itu
2007 Acrylic on canvas 160 x 160 cm
22 itu mencerminkan keragaman.karena waktu itu mereka harus menghadapi strukturalisme. Strukturalisme merupakan pemikiran yang mencari hukum-hukum alam semesta yang bersifat universal. Pencarian yang merupakan proyek besar ini dilakukan dengan menggabungkan seluruh teks pemikiran dalam sejarah pemikiran (Barat) melalui pengakumulasian, pensejajaran, apropriasi pewacanaan dan hibridisasi. Tujuannya menyiangi perbedanperbedaan pandangan (différences) dan membongkar kode-kode budaya untuk menemukan pengalaman esensial yang menunjukkan kesamaan. Dalam pemikiran Lévi Strauss dan Heidegger, himpunan pengalaman yang esesnsial itu bisa membawa pemikiran ke penemuan hukum-hukum alam universal yang terstruktur. Apabila hukum-hukum yang terstruktur ini bisa ditemukan, hukum-hukum ini akan berlaku sepanjang masa dan karena itu bisa digunakan untuk menentukan strategi manusia menuju masa depan. Pencarian ini tidak lain adalah rencana besar “menaklukan bumi”. Cita-cita besar itu yang diruntuhkan pemikiran tentang dekonstruksi yang pada mulanya dipopulerkan Jacques Derrida. Pemikiran ini, yang sering disebut-sebut mengawali pemikiran postmodern – bersama pemikiran Michel Foucault dan François Lyotard – ternyata meluas dengan cepat pada dekade1980 ke berbagai sektor, termasuk ke pemikiran di dunia seni rupa.
Structuralism is a philosophy that seeks to find universal laws of nature. Such grand search is thus conducted by combining the texts of all streams of philosophy in the long history of (Western) thinking. The combination takes place through accumulations, equations, appropriations of discourse, and hybridizations. The goal: to cut through the differences and take apart the cultural codes in order to arrive at some essential experiences that reveal sameness. According to the philosophies of LéviStrauss and Heidegger, the collection of essential experiences can bring us to the discovery of structured universal laws of nature. If such structured laws can be found, they will always be applicable and can therefore be used to determine our strategy for the future. This search amounts to a grand plan to “conquer the world”. It was precisely such an ambitious goal that the deconstructionist philosophy brought down. This philosophy, first made popular by Jacques Derrida, was often considered as the beginning of the postmodernist philosophy—along with the thoughts of Michel Foucault and François Lyotard— and spread quickly during the 1980s to all sectors of life, including art. The abolition of the philosophy of structuralism entailed some intricate debates which directly questioned whether or not such universal law of nature existed. The effort to abolish that philosophy began with attacks on its methods. Jacques Derrida started this criticism
23
Kesibukan Menutup Botol 2007 Acrylic on canvas 225 x 245 cm
24 Pengguguran akidah strukturalisme itu bukan perdebatan sederhana yang secara langsung mempersoalkan, “ada” atau “tidak ada” hukum alam universal. Pengguguran ini dilakukan dengan menyerang metode-metode pemikiran strukturalisme. Kritik ini dimulai Jacques Derrida dengan merelatifkan hubungan kebenaran dengan uraian tentang kebenaran secara verbal dan tertulis. Derrida membuktikannya dengan menunjukkan kelemahan-kelemahan linguistik pada bahasa yang digunakan untuk menjabarkan semua kebenaran. Derrida menisbikan pula pengertian “perbedaan” (différance) pada pemikiran kaum strukturalis yang menjadi kunci untuk menemukan “pengalaman esensial”. Derrida mengajukan pengertian “perbedaan” (différance) yang punya konotasi arti “perbedaan” yang tidak tetap (“defer-ment”).. Melalui kritik-kitik itu kaum dekonstruksionis memulai pencarian baru di dunia pemikiran melalui dekonstruksi diri (self-deconstruction). Ini proyek pembongkaran semua pemahaman yang didapat (tadinya dipercaya) dari himpunan pemikiran pada strukturalisme. Pembongkaran pemahaman ini melibatkan metode-metode rumit yang tidak mudah dimengerti. Sekadar contoh penyamaan obyektivitas dan subyektivitas; penyaamaan kehadiran diri (self presence) dan bahasa yang diyakini tidak bisa terbebas dari efek différance. Dalam pengamatan saya, pergolakan pemikiran yang bermuara pada metodemetode rumit itu – tercermin khususnya
by revealing the relative nature of truth, expounding on verbal and written truth. Derrida showed the linguistic weaknesses that existed within languages used to delineate truth. He proceeded to show that the understanding of ‘difference’ among the thinkers of structuralism— serving as the key to find the ‘essential experience’ as it had been—was actually also relative. Derrida proposed thus a concept of ‘différance’ which had the connotation of mutable ‘différance’ or ‘deferment’. Through such criticism, the deconstructionists embarked on a new search in the realm of philosophy, by employing the methods of selfdeconstruction. This was a project to take apart all understanding gained (or, in the beginning, taken for granted) from the gathering of the many streams of thought in structuralism. The efforts involved complex methods that are difficult to grasp. Some examples of this are: the efforts to equate objectivity and subjectivity; the matter of self-presence; and the nature of languages that could not be free from the effect of différance. As I see it, the philosophical debates rooted in those intricate methods— especially reflected in Derrida’s critique on Heidegger’s thoughts—could not possibly be understood outside the West. Such deconstructionist thoughts can only emerge in a society with a long history of philosophical texts. Therefore, such deconstructionist views born out of these debates are not necessarily applicable to thoughts outside the West.
25
Pesta Berakhir Sudah
2007 Acrylic on canvas 100 x 200 cm
26 pada kritik Derrida pada pemikiran Heiddeger – mustahil bisa sesungguhnya dipahami di luar dunia pemikiran Barat. Dekonstruksi semacam ini bisa muncul hanya pada masyarakat yang mempunya sejarah teks yang panjang. Karena itu belum tentu pemahaman dekonstruksi yang lahir dari pergolakan pemikiran ini relevan untuk diterapkan pada pemikiranpemikiran di luar dunia Barat. Maka bukan pemahaman dekonstruksi itu yang mendasari karya-karya Hanafi yang terkesan dekat dengan wacana dekonstruksi. Pertanyaan yang kemudian muncul, adakah pemahaman dekonstruksi yang lain di luar pengertian dekonstruksi yang dikemukakan Derrida ? Karena Derrida memulainya kritiknya melalui persoalan linguistik, penafsiran dominan melihat dekonstruksi adalah persoalan bahasa. Dalam kritik seni rupa penafsiran ini seringkali dilihat sebagai awal terjadinya perubahan upaya memahami realitas, dari pendekatan mimesis (pencocokan pemikiran tentang realitas dengan realitasnya) ke pendekatan semiosis (pengkajian teori-teori dan teks). Penafsiran itu terdistorsi. Perubahan dari pendekatan mimesis ke pendekatan semiosis sudah terjadi pada perkembangan strukturalisme. Dalam perkembangan seni rupa modern Abad ke 20, perubahan ini tercermin pada bergesenya masalah ekspresi seni rupa dari masalah representasi (mengamati realitas) ke masalah bentuk yang dikenal
Therefore, it is not such deconstructionist philosophy that forms the base of Hanafi’s works, which at a glance seem to be closely related to that philosophy. A question then emerges: Is there another kind of deconstructionist philosophy outside the one proposed by Derrida? Derrida started his criticism in the realm of linguistic thoughts, and because of this, the dominant interpretation tends to see the deconstructionist philosophy as pertaining to matters of language only. In art criticism, such interpretation is often seen as the beginning of the shift in the effort to understand reality, from the mimesis tendency (the effort to match up thoughts on reality with the reality) to the semiotic tendency (the analyses on theories and texts). This, however, is a distorted interpretation, as the shift from the mimesis approach to that of semiotic has occurred within the developments of structuralism itself. Within the developments of the modern art in the twentieth century, this change is reflected in the shift in the art expressions, from the matters of representations (observing reality), to the matters of forms, which are known as formalism and signified by the emergence of the abstract art. Therefore, it is not the deconstructionist philosophy that has introduced the method of semiotic—or the method of analyzing texts in the history of philosophy. The deconstructionist philosophy is the continuation of the semiotic approach, which has given rise to a different philosophical method. Controversies
27
Pertumbuhan Anak Meja
2007 Acrylic on canvas 170 x 170 cm
28 sebagai formalisme dan ditandai perkembangan abstrakisme.
oleh
Maka bukan wacana dekonstruksi yang mengenalkan metode semiosis – pengkajian semua teks dalam sejarah pemikiran. Wacana dekonstruksi merupakan kelanjutan pendekatan semiosis yang memunculkan metode pemikiran berbeda. Kontroversi terjadi karena metode pada pemikiran tentang dekonstruksi secara radikal membalikkan metode-metode yang berlaku sebelumnya. Karya-karya Hanafi bisa ditegaskan tidak memperlihatkan pendekatan mimesis tapi pendekatan semiosis. Karya-karyanya merupakan ungkapan yang menggunakan bahasa rupa dalam mempersoalkan realitas. Namun bahasa rupa ini tidak segera bisa diidentikkan dengan bahasa dalam konsep dekonstruksi Derrida. Dalam berbagai tulisannya tentang seni lukis dan lukisan, Derrida tidak sepenuhnya berhasil menyamakan bahasa rupa dengan bahasa dalam pengertian umum. Hanafi tidak mengenal strukturalisme. Karena itu ia sama sekali tidak mencari “esensi” bahasa rupa seperti kaum modernis Hanafi tidak pernah menggeser persoalan realitas pada ungkapannya dan menggantinya dengan persoalan bahasa rupa (persoalan bentuk). Ini yang membedakan lukisan-lukisan abstraknya dengan lukisan-lukisan abstrak dalam wacana abstrakisme. Keterikatan pada persoalan realitas itu yang membuat gambaran pada lukisanlukisan Hanafi tidak hilang. Namun
occurred because the deconstructionist method radically overthrew the previous methods. It is certain that Hanafi’s works do not reveal the approach of mimesis; rather, it betrays the approach of semiotic. His works are expressions which employ the visual language in questioning reality. Such visual language, however, cannot be immediately identified with the language according to the deconstructionist concept of Derrida. In many of his essays on art and paintings, Derrida has not been fully successful to equate the visual language with the common understanding of language. Hanafi is not aware of structuralism discourse. He does not, therefore, look for the “essence” of the visual language, which would be expected if he were a modernist. Hanafi has never changed the matters of reality in his expressions and turns it to the matter of visual language (or the matter of form). This is exactly what differentiates his abstract paintings with other abstract paintings in the discourse of abstract art. It is this linkage with the matters of reality that makes images keep on appearing in Hanafi’s paintings. These images, however, are not depictions of reality. They are simply one element of the visual language he employs in order to develop his expressions. Although these images can be read as metaphors, their underlying function is to become an “anchor” for his visual expression as a whole.
29
Meja Tanpa Akar
2007 Acrylic on canvas 185 x 200 cm
30 gambaran ini bukan gambaran realitas. Gambaran inii salah satu elemen pada bahasa ungkapan.yang digunakannya untuk membangun ekspresi. Kendati gambaran ini bisa dibaca sebagai metafora, fungsinya yang mendasar adalah menjadi “jangkar” bagi ekspresi rupa secara keseluruhan. Pengalaman panjang Hanafi bergaul dengan dunia rupa dalam menghasilkan karya-karya abstraknya, membuat renungan pada karya-karyanya berada pada posisi sejajar dengan pengolahan elemen rupa sebagai bahasa ekspresi. Bahasa rupa pada karya-karya Hanafi bukan alat untuk menjelaskan renungan dan renungan pada karya-karyanya bukan suplemen ekspresi.. Pada pengantar kuratorial untuk pamerannya bertajuk “id” saya melihat kesejajaran itu sebagai permainan catur soliter pada proses berkarya Hanafi. Dalam melukis ia terus menerus menghadapi masalah. Pada proses ini hampir selalu ia sampai pada sesuatu keadaan mati langkah. Namun justru pada saat seperti ini renungan dan penataan bahasa rupa seperti bergabung. Hanafi mengemukakan, “Waktu saya terdesak untuk mengambil tindakan penyelesaian persoalan di atas kanvas, sering terjadi saya tiba-tiba teringat pada konflik-konflik yang saya hadapi dalam kehidupan. Persoalan pada lukisan saya sering bisa saya atasi setelah saya teringat pengalaman saya menyelesaikan konflik dalam kehidupan.” Melalui psikoanalisa
Hanafi’s long experience of conversing with the visual world makes the reflections in his works to be in an equal position with the processing of visual elements as an expressive language. For Hanafi, the visual language is not a means to explain his reflections, and neither are reflections in his works supplementary to his expressions. In the curatorial introduction for his “id” exhibition, I explain that such an equal position is like a solitary game of chess in Hanafi’s creative process. In painting, he continuously faces problems. In such process, he almost always reaches an impasse. But it is precisely at such an impasse that his reflections and processing of the visual language seem to join forces. Hanafi explains, “When I’m forced to take actions to overcome the problems I encounter on the canvass, I’m often reminded of the conflicts I’ve faced in life. The problems within my painting can often be tackled as I remember my experiences in handling the conflicts in my life.” By employing the theory of psychoanalytic, I see that such encounter is possible due to the interaction between the id and the ego. In such interaction—of which he is not fully aware—the energy from his subconscious emerges as positive energy. The symptom that reveals changes in his present works can be seen today in this exhibition entitled “Enigma”. In these works, as I have mentioned earlier, Hanafi
31
Kota dalam Meja Terbalik 2007 Acrylic on canvas 165 x 180 cm
32 saya melihat persinggungan ini terjadi karena interaksi id dan ego. Pada interaksi ini – yang tidak sepenuhnya ia sadari – energi dari alam bawah sadar memunculkan bentuknya yang positif. Gejala itu yang memperlihatkan perubahan pada karya-karyanya yang sekarang dipamerkan di bawah tajuk “Enigma”. Pada karya-karya ini, seperti sudah saya kemukakan, gambaran dikanvaskan Hanafi dengan sadar.. Perkembangan itu membawa saya pada pemahaman bahwa pada kondisi emosional di mana semua tindakannya bersifat spontan, tersisip proses berpikir yang melibatkan kesadaran. Gejala ini yang membuat renungan Hanafi tidak bisa dipisahkan dari proses kerja artistiknya. Barangkali inilah sebuah kebetulan. Upaya mensejajarkan pemikiran (renungan) dengan proses kerja artistik (pengolahan bahasa) merupakan pendekatan para perupa dekonstruksionis. Pendekatan ini yang membedakan metode semiosis mereka dengan metode semiosis kaum modernis/ strukturalis. Kesamaan yang barangkali memang kebetulan itu membangkitkan kesadaran saya bahwa dekonstruksi sangat mungkin membayangi semua eksekusi pada proses berkarya Hanafi. Pada persiapan pamerannya bertajuk “id”, ia mengemukakan, “Saya selalu ingin menemukan penyelesaian baru di atas kanvas saya karena itu saya sering merasa lukisan saya gagal kalau penyelesainnya terasa konvensional dan biasa-biasa saja.”
consciously creates the images on his canvasses. This development brings me to an insight that in the emotional condition where all his actions are spontaneous, there lays a thinking process in which consciousness is involved. It is such symptom that makes Hanafi’s reflections inseparable from his artistic process of work. This is perhaps a coincidence. The effort to put thoughts (reflections) on the same level as the process of artistic work (the processing of the visual language) has been the approach taken by the deconstructionist artists. Such efforts make their semiotic method differ from that of the modernist/structuralist artists. This similarity—which perhaps is indeed a coincidence—makes me realize that the deconstruction method might very well loom behind all the actions taken during Hanafi’s creative process. During the preparation of his exhibition entitled “id”, he explains, “I always want to find new solutions on my canvasses; that’s why I often feel that my paintings are failing if I think that the solutions are conventional and just so-so.” Although in the beginning it was made popular by Derrida and thought of as a matter of language, deconstructionist philosophy actually pertains to the process of meaning ascription toward all things related to meanings and languages. On the one side, meanings and idioms are always influenced by the history of their significations. On the other side, meanings and language always change,
33
Atas Top
Kesepakatan di Balik Meja
2007 Acrylic & enamel on canvas 140 x 270 cm
34 Kendati pada mulanya dipopulerkan Derrida dan disangka merupakan persoalan bahasa, dekonstruksi adalah persoalan pemaknaan berbagai hal yang melibatkan makna dan bahasa. Di satu sisi, makna dan ungkapannya selalu dipengaruhi sejarah pengertiannya. Di sisi lain makna dan bahasa selalu berubah mengikuti perubahan ruang (spatial) dan waktu (temporal). Maka dekonstruksi pada dasarnya selalu terjadi hampir dengan sendirinya pada semua proses pemaknaan yang melibatkan inspirasi, kreativitas dan menunjukkan inovasi (sudah diprediksi Plato pada 500 S.M. dan inilah awal pendekatan semiosis) yang tercermin khususnya pada pengubahan tanda-tanda bahasa. Melihatnya dalam perkembangan seni rupa kontemporer, bukan dunia tanda (yang digali metode dekonstruksi) tapi bahasa rupa yang fleksibel dalam memunculkan perubahan itu. Pengertian “seni rupa kontemporer” mencerminkan akidah ini. Konotasi arti “kesezamanan” dan “kekinian” yang dikandung kata “kontemporer” mencerminkan kepercayaan pada ruang dan waktu. Keyakinan pada perubahan makna yang terus menerus pada pemikiran tentang dekosntruksi itu merupakan kebalikan yang mengoreksi keyakinan tentang makna absolut pada strukturalisme dalam mencari “the real presence of Being”. Pemahaman realitas yang menunjukkan sikap takabur manusia ini mencerminkan persepsi kebudayaan Barat tentang realitas. Persepsi Barat ini bertumpu pada
following spatial and temporal changes. Deconstruction, therefore, basically takes place automatically in all the processes of meaning ascriptions in which inspirations and creativity are involved, and show innovations reflected mainly in the shifts of linguistic signs (in 500 BCE, Plato predicted this and that was the beginning of the semiotic approach). Viewing it in the frame of the developments of the contemporary art, it is not the world of signs (which the deconstructionist method explores) but the visual language that is flexible in giving rise to such shifts. The understanding of ‘the contemporary art’ reflects such philosophy. The connotations of ‘being in the same era’ and the ‘present-day’ that the word ‘contemporary’ contains reflect a belief in the space and time. The deconstructionist belief in the continual shifts of meaning is the opposite of the structuralism belief in an absolute meaning as the latter continually searches for ‘the real presence of Being’. Such arrogant understanding of reality reflects the Western perception on reality. This perception relies on the concept of ‘the real’, in which the material presence exists in a central position in the effort to understand reality. The defiance against absolutism serves as the basis of the juxtaposition between the deconstructionist philosophy which reflects the seething debates in the streams of philosophy in the West, and such streams of philosophy as pluralism and multiculturalism which are open to
35
Kelelahan Panjang
2007 Acrylic on canvas 165 x 183 cm
36 konsep “the real” di mana kehadiran (presence) yang bersifat material berada pada posisi sentral dalam memahami realitas. Penentangan absolutisme kaum dekonstruksionis ini merupakan dasar kesejajaran (juxtaposition) pemikiran tentang dekonstruksi yang mencerminkan pergolakan pemikiran di dunia Barat dengan pemikiran seperti pluralisme dan muiltikulturalisme yang terbuka untuk mempersoalkan perkembangan di dunia non-Barat – keadaan ini membangunkan kesadaran kita tentang perlunya membentuk pemikiran inter-kulturalisme. Menimbang pemahaman dekonstruksi itu, tidak terlalu sulit untuk melihat kedekatan karya-karya dan renungan Hanafi dengan wacana dekonstruksi. Kendati tidak sampai muncul sebagai kesadaran eksplisit, Hanafi peka dalam merasakan ruang dan waktu. Karena itu ia merasa renungan dan perkembangan artistiknya seperti menghadapi enigma dan ketidak-pastian yang tidak berujung -- endless. §
developments in non-Western thoughts. Such condition creates the awareness about the need to develop a stream of philosophy that is aware of the approaches of interculturalism. Considering the deconstructionist approach, it is not too difficult to see the closeness between Hanafi’s works and reflections and the deconstructionist discourse. Hanafi has an acute sensitivity toward space and time, although such sensitivity does not give rise to some explicit awareness. Hanafi, therefore, feels as if his reflections and artistic developments are facing some endless enigma and uncertainties. §
Bermain di Kolong Meja 2007 Acrylic on canvas x cm
37
38
daftar karya list of works
Keabadian Itu Kupinjam Kakimu Yang Berjalan di Kolong Meja Kelelahan Panjang Musik Meja Kota dalam Meja Terbalik Pertumbuhan Anak Meja Hanyut dalam Arus Sofa Sendiri Kesepakatan di Balik Meja
2007 Acrylic on canvas
160 x 160 cm
2007 Acrylic on canvas
160 x 180 cm
2007 Acrylic on canvas
165 x 180 cm
2007 Acrylic on canvas
165 x 183 cm
2007 Acrylic on canvas
165 x 183 cm
2007 Acrylic on canvas
165 x 180 cm
2007 Acrylic on canvas
170 x 170 cm
2007 Acrylic on canvas
150 x 150 cm
2007 Acrylic on canvas
200 x 360 cm
2007 Acrylic & enamel on canvas
140 x 270 cm
Laci Kosong Kaki Meja Siapa Patah Bermain di Kolong Meja Kakimu di Tubuhku Kesepakatan Dua Kaki Kesibukan Menutup Botol Meja Tanpa Akar Meja Tuan Muda Menghitung Kaki-Kaki Pesta Berakhir Sudah Rumah Kaki Ibu
2007 Enamel on wood
183 x 244 cm
2007 Acrylic on canvas
185 x 200 cm
2007 Acrylic on canvas 2007 Acrylic on canvas
185 x 200 cm
2007 Acrylic on canvas
180 x 200 cm
2007 Acrylic on canvas
225 x 245 cm
2007 Acrylic on canvas
185 x 200 cm
2007 Acrylic on canvas
120 x 180 cm
2007 Acrylic on canvas
100 x 200 cm
2007 Acrylic on canvas
100 x 200 cm
2007 Acrylic on canvas
100 x 200 cm
39
curriculum vitae
Born on July 5, 1960 in Purworejo, Central Java, Indonesia, 1976-1979 Sekolah Seni Rupa Indonesia ( SSRI ) Yogyakarta, Indonesia Selected Solo Exhibitions 2007
2006
2005 2004
2002
2001
2000
1999 1998 1996 1995 1993 1992
“Home of Images”, Museu D’Art DE Girona, Barcelona “Darkness”, Taksu & Cream, Singapore “id hanafi”, O House Gallery - Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “id hanafi”, O House Gallery - Indonesian National Gallery, Jakarta, Indonesia “Bahasa Tangan Membaca”, Taksu Gallery , Jakarta, Indonesia “Configu(art)ion”, espai(b) contemporani gallery, Barcelona, Spain “Tiga Hari dalam Sepatu”, Bentara Budaya Jakarta, Indonesia “UR ( you are ) URBAN ROOM Project”, Komaneka Gallery, Bali, Indonesia “R U A N G”, Taksu Gallery, Kuala Lumpur, Malaysia “HOT PLATE”, Taksu Gallery, Jakarta, Indonesia “Dive Into”, Canna Gallery, Jakarta, Indonesia “Study for Distance” Mares Del Sure, Barcelona, Spain “Hanafi’s Diary”, Chateu d’Arts, Singapore “Sepuluh Tahun Pertama”, Indonesian National Gallery, Jakarta, Indonesia “Lukisan Besar”, Minima Maxima Gallery, Jakarta, Indonesia “Study for Distance”, One 2 One Gallery, Toronto, Canada “Keheningan Sayan”, Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, Bali, Indonesia “Desa Batu di Costabrava”, Milenium Gallery, Jakarta, Indonesia “Stone Village of Costabrava”, KOI Gallery, Jakarta, Indonesia “Blue Print”, Puzzle Gallery, Cinere, Jakarta, Indonesia “Time”, Deustche Bank, Jakarta, Indonesia “Som Ni de Miro”, Mares del Sur, Barcelona, Spain FOCUS Gallery, Kemang, Jakarta, Indonesia “Dancer’s Dream”, Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia “Menguji Tradisi”, Cipta II Gallery, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia “ Sabuk-Sabuk Hanafi”, Gorong-Gorong Budaya, Depok, West Java, Indonesia “Hitam-Putih”, The Stage, Ratu Plaza, Jakarta, Indonesia Hilton Executive Club, Jakarta
Awards 2005 2003 2002 1997
Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia, Jakarta Finalist Indofood Art Awards Finalist Indofood Art Awards Top Ten Phillip Morris Award
40
ucapan terimakasih acknowledgement
Keabadian Itu Kupinjam Kakimu Yang Berjalan di Kolong Meja Kelelahan Panjang Musik Meja Kota dalam Meja Terbalik Pertumbuhan Anak Meja Hanyut dalam Arus Sofa Sendiri Kesepakatan di Balik Meja
Rumah Kaki Ibu
2007 Acrylic on canvas 100 x 200 cm