BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Obat Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 193/KabB/.
VII/71 mendefinisikan bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan serta memperindah badan atau bagian badan manusia (Joenoes, 2001). Batas antara obat dan racun sangat pendek, hal ini tergantung pada dosis dan cara pemakaian. Oleh karena itu, obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan pada suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila digunakan tidak tepat dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebihan akan menimbulkan keracunan, sedangkan apabila dosisnya lebih kecil, maka pasien tidak akan memperoleh kesembuhan (Widjajanti, 1988). Efek farmakologi atau efek terapi obat harus mencapai tempat aksinya dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon. Tercapainya konsentrasi obat tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian yang lain dari badan. Kecepatan absorpsi obat akan dipengaruhi oleh laju disolusi, semakin cepat laju disolusi akan semakin cepat absorpsi obat (Anief, 1996).
2.2
Tablet Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah kedalam lubang cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995). Tablet didefenisikan sebagai bentuk sediaan solid yang mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tanpa berbagai eksipien (yang meningkatkan mutu sediaan tablet) dan dibuat dengan mengempa campuran serbuk dalam mesin tablet (Siregar dan Wikarsa, 2012). Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat-obat secara oral, dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet lain yang penggunaanya dengan cara sublingual, bukal, atau melalui vagina, tidak boleh mengandung bahan tambahan seperti pada tablet yang digunakan secara oral (Ansel, 1989). Komposisi utama dari tablet adalah zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, sedangkan bahan pengisi yang sering digunakan dalam pembuatan
tablet yaitu bahan penghancur, bahan penyalut, bahan pengikat, bahan pemberi rasa dan bahan tambahan lainnya (Ansel, 1989). 2.2.1
Jenis-jenis tablet
Jenis-jenis tablet adalah sebagai berikut : 1. Tablet kompresi Yaitu tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya kedalam bahan obatnya diberi tambahan sejumlah bahan pembantu antara lain : a) Pengencer atau pengisi yang ditambahakan jika perlu kedalam formulasi supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan. b) Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi, memungkinkan granul dibuat dan dijaga keterpaduan hasil tabletnya. c) Penghancur atau bahan yang dapat membantu penghancuran, akan membantu memecah atau menghancurkan tablet setelah pemberian sampai menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, sehingga lebih mudah diabsorpsi. d) Antirekat pelincir atau zat pelincir yaitu zat yang meningkatkan aliran bahan memasuki cetakan tablet dan mencegah melekatnya bahan ini pada punch dan dieserta membuat tablet-tablet menjadi bagus dan berkilat. e) Bahan tambahan lain seperti zat warna dan zat pemberi rasa (Ansel, 1989).
2. Tablet kunyah Pada tablet kunyah sebagai bahan pengisi dapat berupa mannitol, sorbitol, laktosa atau dekstrosa ditambah bahan pemanis dan bahan pembau (Anief, 1987). 3. Tablet salut Tablet sering disalut agar dapat menghilangkan rasa tak enak dari obat, menaikkan stabilitas obat terhadap pengaruhuap, air, cahaya, dan terlihat lebih baik (Anief, 1987). a) Tablet salut gula Tablet ini sering disebut dragee. Penyalutan dilakukan dengan larutan gula dalam panci untuk penyalutan dan panci untuk mengkilapkan tablet diputar dengan motor penggerak dan dilengkapi dengan alat penghisap dan sistem penghembus dengan udara panas (blower) (Anief, 2008). b) Tablet salut selaput Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet. Biasanya lapisan ini bewarna, kelebihannya dari penyalutan dengan gula adalah lebih tahan lama, lebih sedikit bahan, waktu yang lebih sedikit untuk penggunaanya (Ansel, 1989).
c) Tablet salut enterik Tablet salut enterik adalah tablet yang disalut dengan zat penyalut yang relatif tidak larut dalam asam lambung, tetapi larut dalam usus halus. Penyalut enterik dimaksudkan: a) Agar obat tidak mengiritir perut b) Dikehendaki agar obat berkhasiat dalam usus seperti antelmintika c) Menghindari obat menjadi inaktif dalam cairan lambung, yaitu karena pH rendah atau dirusak enzim digostif dalam perut (Anief, 2008). 4. Tablet effervescent Yaitu tablet berbuih dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan-bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air (Ansel, 1989). 2.2.2 Syarat-syarat tablet Syarat-syarat tablet adalah sebagai berikut: 1. Keseragaman bobot Keseragaman bobot ditetapkan sebagai berikut : Ditimbang 20 tablet, dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu-persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak boleh satu tablet pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih dari harga dalam kolom . Jika perlu dapat digunakan dalam
10 tablet dan tidak satu tablet yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata- rata yang ditetapkan dalam kolom A maupun kolom B (Anief, 2008). Tabel 2.1. Penyimpangan bobot rata-rata Bobot rata-rata
25 mg atau kurang 26 mg sampai dengan 150 mg 151 mg sampai dengan 300 mg lebih dari 300 mg
Penyimpangan bobot rata-rata dalam % A B 15% 30% 10% 20% 7,5% 15% 5% 10% (Ditjen POM, 1995).
2. Kekerasan tablet Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya kompresi yang diberikan. Bila tekanan ditambahkan, maka kekerasan tablet meningkat sedangkan ketebalan tablet berkurang. Selain itu metode granulasi juga menentukan kekerasan tablet. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan. Alat yang digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan tablet (Ansel, 1989). 3. Friabilitas Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur keregasannya (friabilitas). Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche friabilator. Sebelum tablet dimasukkan ke alat friabilator, tablet ditimbang terlebih dahulu. Kemudian tablet dimasukkan
kedalam alat, lalu alat dioperasikan selama empat menit atau 100 kali putaran. Tablet ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat mulamula. Selisih berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan harus lebih kecil dari 0,8% (Ansel, 1989). 4. Waktu hancur (Disintegration Test) Uji waktu hancur tablet dilakukan untuk tablet yang tidak bersalut, tablet bersalut bukan enterik, tablet salut enterik, tablet bukal, dan tablet sublingual. Uji waktu hancur dilakukan dengan menggunakan alat uji waktu hancur. Masing-masing sediaan tablet tersebut mempunyai prosedur uji waktu hancur dan persyaratan tertentu (Siregar dan Wikarsa, 2010). Uji waktu hancur tidak dilakukan pada etiket jika dinyatakan “tablet kunyah, tablet isap, tablet yang pelepasan zat aktif bertahap dalam jangka waktu tertentu, atau tablet melepaskan zat aktif dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas diantara periode pelepasan tersebut (Siregar dan Wikarsa, 2010). 5. Disolusi (Dissolution Test) Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat (Syamsuni, 2007).
6. Penetapan kadar zat aktif Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masingmasing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi (Syamsuni, 2007). 2.3
Paraseta mol
Rumus Bangun
: Acetamenophen; Paracetamol; p-acetamidophenol; Nacetyl-p-amino-phenol
Gambar 2.1. Struktur parasetamol Rumus Struktur
: C8H9NO2
Berat Molekul
: 151,16
Nama Kimia
: 4’- Hidroksiasetanilida
Pemerian
: Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.
Kelarutan
: Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida1N; mudah larut dalam etanol; tidak larut dalam benzen dan eter. (Ditjen POM, 1995).
2.3.1 Mekanisme kerja Mekanisme
kerja
yang
berhubungan
dengan
sistem
biosintesis
prostaglandin (PG) ini memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan antiinflamasinya belum jelas. Selain itu obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). Golongan obat ini menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). 2.3.2 Farmakokinetik Parasetamol diserap cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam, masa paruh dalam plasma antara 1-3 jam.Obat ini tarsebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma sebagian terikat oleh protein plasma, 25%. Obat ini mengalami metabolisme oleh anzim-anzim mikrosom dalam hati. 80% asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam sulfat dalam hati. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi.
Metabolit hasil
hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). 2.3.3 Farmakodinamik Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagaai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). 2.3.4 Efek samping Reaksi
alergi
terhadap
derivat
para-aminofenol
jarang
terjadi.
Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa (Nafrialdi dan Setiawati, 2007). Methemoglobinemia
dan
sulfhemoglobinemia
jarang
menimbulkan
masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% hemoglobin (Hb) diubah menjadi met-Hb. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati analgesik (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).
2.3.5 Indikasi Penggunaan asetaminofen sebagai analgetik dan antipiretik adalah sama dengan penggunaan salisilat. Analgesik, penggunaan asetaminofen dapat diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan seperti sakit kepala, migren, serta nyeri haid. Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu lama. Jika dosis terapeutik biasa tidak memberi manfaat, dosisi yang lebih besar biasanya juga tidak menolong. Antipiretik, penggunaan asetaminofen untuk meredakan demam telah terdesak oleh penggunaannya untuk menimbulkan analgesia.Untuk dewasa dosis 325 mg-1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 20 mg/kg BB diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi 3,6 g (Tanu, 1972). 2.3.6 Sediaan dan dosis Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay dan Kirana, 2002). 2.3.7
Sindrom toksik yang umum Asetaminofen jika dikonsusmsi secara akut lebih dari 150-200 mg/kg
(pada anak-anak) atau 7 gr (pada orang dewasa) dianggap sebagai potensi toksik. Metabolit yang sangat toksik diproduksi didalam hati (Katzung, 2004). Awalnya pasien mengalami gangguan gastrointernal ringan (mual, muntah). Setelah 24-36 jam bukti cedera hati mulai nampak, disertai kenaikan
kadar aminotransferase dan hipoprotrombinemia. Pada kasus berat, terjadi gagal hati fulminan, sehingga menyebabkan ensefalopati hepatis dan kematian. Kadar keparahan keracunan ditentukan oleh kadar asetaminofen serum. Jika kadarnya kira-kira 4 jam setelah mengonsumsi lebih dari 150-200 mg/L, maka pasien tersebut beresiko mengalami kerusakan hati (Katzung, 2004). 2.4
Uji Disolusi Uji Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut. Secara singkat, alat untuk menguji karakteristik disolusi dan sediaan padat kapsul atau tablet terdiri dari : 1) Motor pengaduk dengan kecepatan yang dapat diubah, 2) Keranjang baja stainless berbentuk silinder atau dayung untuk ditempelkan keujung batang pengaduk, 3) Bejana dari gelas, atau bahan lain yang inert dan transparan dengan volume 1000 ml, bertutup sesuai dengan di tengah-tengahnya ada tempat untuk menempelkan pengaduk, dan ada lubang tempat masuk pada 3 tempat, dua untuk memindahkan contoh dan satu untuk menempatkan termometer, dan 4) Penangas air yang sesuai untuk menjaga temperatur pada media disolusi (seperti yang dicantumkan dalam masing-masing monografi) ditempatkan dalam bejana dan biarkan mencapai temperatur 37°C ± 0,5°C. Kemudian satu tablet atau satu kapsul yang diuji dicelupkan ke dalam bejana atau
ditempatkan dalam keranjang dan pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada waktu-waktu tertentu contoh dari mesin diambil untuk analisis kimia dari bagian obat yang terlarut. Tablet atau kapsul harus memenuhi persyaratan seperti yang tertera dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989). Laju disolusi dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan sebelum zat aktif berada dalam darah. Akan tetapi jika bentuk sediaan (tablet) yang diberikan secara per oral masuk dan berada di saluran cerna dalam bentuk sediaan solid, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi untuk tahap pembatasan kecepatan zat aktif berada dalam sirkulasi. Pertama, bentuk sediaan solid harus terdisintegrasi dan zat aktif larut dalam media cair dan kemudian harus melewati membran saluran cerna. Zat aktif yang mudah larut akan cenderung cepat melarut, membuat tahap pembatasan kecepatan, yakni difusi pasif atau transpor aktif zat aktif, untuk absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya kecepatan absorpsi zat aktif yang sukar larut akan dibatasi oleh laju disolusi zat aktif yang tidak larut, atau juga dapat dibatasi oleh kecepatan disintegrasi bentuk sediaan (Siregar dan Wikarsa, 2010). 2.4.1
Metode uji disolusi Menurut Ditjen POM (1995), ada dua metode alat uji disolusi sesuai
dengan yang tertera dalam masing-masing monografi: a) Alat 1 (Tipe Keranjang) Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi
(keranjang) berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm−175 mm, diameter 98 mm−106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan tanpa goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat kecil yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan oleh motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37o ± 0,5oC selama pengujian dan menjaga agar gerakan air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas. b) Alat 2 (Tipe Dayung) Alat ini sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi dengan jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan. 2.4.2
Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan
biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:
1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuranukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri, 2002). 2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan
tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama.Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas (Siregar dan Wikarsa, 2010). 3. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat (Syukri, 2002). 2.4.3
Syarat penerimaan hasil disolusi Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada
daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995). Pengujian dengan tiga tahap, Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu
tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi (Siregar dan Wikarsa, 2010). Tabel 2.2. Tabel penerimaan hasil uji disolusi Tahap
Jumlah sediaan yang diuji
Syarat penerimaan
S1
6
Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+ 5%
S2
6
Rata-rata dari12 unit (S1+S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q–15%
S3
12
Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecildari Q–15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q–25%
Keterangan: S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali ditetapkan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam 45 menit dengan menggunakan Alat 1 pada 100 rpm atau Alat 2 pada 50 rpm (Ditjen POM, 1995).
2.5
Metode Penetapan Kadar Secara Spektrofotometri Ultraviolet (UV)
2.5.1
Defenisi Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan
untuk
mengukur
energi
ditransmisikan, direfleksikan atau
secara
relatif jika
energi
tersebut
diemisikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Gandjar dan Rohman, 2007). Metode spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrofotometri UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul organik di dalam larutan. Spektrumnya mempunyai daerah yang lebar dan sedikit informasi yang bisa didapatkan dari spektrum ini, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan visible berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).
2.5.2
Instrumen Komponen- komponen suatu spektrofotometer meliputi sebagai berikut:
-
Sumber cahaya Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang
dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visible (pada panjang gelombang antara 350-900 nm) (Gandjar dan Rohman, 2007). -
Monokromator Digunakan untuk mendispersikan sinar kedalam komponen-komponen
panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati spektrum (Gandjar dan Rohman, 2007). -
Optik-optik Dapat didesain untuk memecah sumber sinar, sehingga sumber sinar
melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam suatu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi (Gandjar dan Rohman, 2007). -
Detektor Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat mengaktifkan
meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal yang secara
kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya. Persyaratanpersyaratan penting untuk detektor meliputi: 1) Sensitivitas tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang mempunyai tingkatan rendah sekalipun. 2) Waktu respon yang pendek (Sastrohamidjojo, 1991). Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah: a. Pemilihan panjang gelombang maksimum Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. b. Pembuatan kurva baku Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal.