BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Obat Surat
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
193/KabB.VII/71 memberikan defenisi berikut untuk obat : “ Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan
diagnosis,
mencegah,
mengurangkan,
menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan lainnya (Joenoes, 2001). Obat-obat yang digunakan dalam terapi dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan besar yaitu : Obat farmakodinamis, Obat kemoterapeutis, Obat tradisional dan Obat diagnosis (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2007). Obat farmakodinamis adalah obat yang bekerja terhadap tuan rumah dengan jalan mempercepat atau memperlambat proses fisiologi atau fungi biokimia dalam tubuh misalnya hormon, diuretika. Obat kemoterapeutis adalah obat yang dapat membunuh parasit dan kuman didalam tubuh tuan rumah. Obat ini memiliki kegiatan farmakodinamika yang sekecil-kecilnya terhadap organisme tuan rumah dan berkhasiat membunuh sebesar-besarnya terhadap sebanyak mungkin parasit (cacing, protozoa) dan mikroorganisme (bakteri dan virus) (Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2
Tablet Nama tablet (tabuletta, tabletta) berasal dari „tabuletta‟ piring pipih, papan
tipis. Beberapa farmakope dijumpai penandaan tablet sebagai kompressi (comprimere = dicetak bersama), juga sebagai komprimat dan dengan demikian menunjukkan cara membuatnya. Tablet adalah sediaan obat padat takaran tunggal. Tablet dicetak dari serbuk kering, kristal atau granulat, umumnya dengan penambahan bahan pembantu, pada mesin yang sesuai dengan menggunakan suatu tekanan tinggi. Tablet dapat memiliki bentuk silinder, kubus, batang, dan bentuk cakram, juga bentuk seperti telur atau peluru. Keberhasilan dimiliki bentuk bundar, lebih atau kurang bentuknya cembung ganda atau bentuk cakram. Besarnya garis tengah tablet pada umumnya 5-17 mm, bobot tablet 0,1 – 1 gram (Voight, 1994). Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja (tahan karat) (Agoes, 2008). Tablet dapat berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pembasah. Tablet dapat digunakan untuk tujuan pengobatan lokal atau sistemik. Tablet yang berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet. Berbagai bentuk
Universitas Sumatera Utara
khusus tablet dimaksudkan untuk menghindari, mencegah, atau mempersulit pemalsuan dan agar mudah dikenal orang (Anief, 1994 ; Syamsuni, 2006). Tablet sangat baik disimpan dalam wadah yang tertutup rapat ditempat yang kelembabannya rendah, serta terlindung dari temperatur yang tinggi. Tablet khusus yang cenderung hancur bila kena lembab dapat disertai dengan pengering dalam kemasannya. Tablet yang dapat rusak oleh cahaya disimpan dalam wadah yang dapat menahan masuknya sinar / cahaya agar dapat bertahan lebih lama (Ansel, 1989). 2.2.1 Keunggulan Bentuk Sediaan Tablet Tablet merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang sangat populer, dimana hampir sebagian besar bentuk sediaan farmasi terdapat dalam bentuk tablet (hampir 60%). Hal ini didukung oleh beberapa keunggulan yang dimiliki oleh tablet, yaitu : a. Tablet dapat diproduksi dalam skala besar dan dengan kecepatan produksi yang sangat tinggi sehingga lebih murah b. Memiliki ketepatan dosis tiap tablet / tiap unit pemakaian c. Lebih stabil dan tidak mudah ditumbuhi mikroba karena dalam bentuk kering dengan kadar air yang rendah d. Dapat dibuat produk untuk berbagai profil pelepasan e. Tablet bukan produk steril (kecuali implant / hipodermik tablet) sehingga penanganan selama produksi, distribusi, dan pemakaian lebih mudah f. Mudah dalam pengepakan (blister atau strip) dan transportasi g. Pasien dapat membawa kemanapun dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
h. Bau, rasa, dan warna yang tidak menyenangkan dapat ditutupi dengan penyalutan i. Produk dapat dengan mudah diidentifikasi, dengan memberikan tanda atau logo di punch atau dengan printing j. Tablet tersedia dalam berbagai tipe tablet : buccal, effervescent, dispersible, dan lain-lain k. Dapat dengan mudah digunakan sendiri oleh pasien tanpa bantuan tenaga medis l. Dibandingkan dengan kapsul, tablet lebih temperproof (sulit dipalsukan) (Sulaiman, 2007). 2.2.2 Bahan-Bahan Tambahan Untuk membuat suatu zat obat menjadi suatu bentuk sediaan akhir, bahanbahan farmasetik dibutuhkan. Sebagai contoh, dalam pembuatan larutan sediaan farmasi, satu atau lebih pelarut digunakan untuk melarutkan zat obat tersebut, pengawet dapat ditambahkan untuk mencegah pertumbuhan mikroba, penstabil bisa digunakan untuk mencegah peruraian obat, dan pemberi warna serta pemberi rasa ditambahkan untuk menambahkan penampilan produk. Dalam pembuatan tablet, pengencer atau pengisi biasanya ditambahkan untuk meningkatkan bulk formulasi, pengikat menyebabkan adhesi atau perekatan serbuk obat dan bahanbahan farmasetik, anti-adheren (antirekat) dan pelumas untuk membantu mulusnya proses pentabletan, zat disintegrasi (zat penghancur) mendorong pecahnya tablet setelah pemberian, dan penyalutan memperbaiki kestabilan,
Universitas Sumatera Utara
mengontrol penghancuran, atau menambah penampilan (Ansel, 1989; Lachman, dkk, 1994). 2.3
Amebiasis Berdasarkan tempat kerjanya, amebisid dibagi dalam tiga golongan yaitu :
1). Amebisid jaringan, yaitu obat yang bekerja terutama pada dinding usus, hati dan jaringan ekstra intestinal lainnya. 2). Amebisid yang bekerja dalam usus. 3).Amebisid yang bekerja pada lumen usus dan jaringan. Untuk mempercepat penyembuhan khususnya pada kasus berat maka penderita amebiasis sebaiknya diberikan makanan rendah residu. Bilamana perlu diberikan pengobatan simtomatik (Amir Syarif,1980). 2.4
Metronidazol Pada tahun 1960 metronidazol mendapat paten sebagai kemoterapi yang
sangat efektif. Metronidazol (2–metil–5-nitroimidazol-1-etanol) adalah antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dan protozoa. Spektrum antiprotozoanya mencakup Trikomonasi, Gardnerella, Vaginalis, Entamoeba histolytica dan Guardian lamblia. Aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus bedah dan ginekologis terutama Bacteroides fragilis (Amir syarif, 1980; ISO, 2008). Metronidazol adalah senyawa nitroimidazol (turunan 5-nitroimidazol) yang lebih aktif terhadap amubiasis sistemik dari pada amubiasis usus karena sebagian besar obat diabsorpsi melalui usus halus sehingga kemunkinan gagal untuk mencapai kadar terapetik dalam usus besar (Siswandono, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Struktur Metronidazol
CH3
Nama kimia
: 2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol
Rumus molekul : C6H9N3O3 Berat molekul : 171,16 Pemeriaan
: Hablur atau serbuk habllur, putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara; tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya.
Kelarutan
: Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform.
Tablet Metronidazol mengandung Metronidazol, C6H9N3O3, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Dirjen POM, 1995). 2.4.2 Mekanisme Kerja Gugus nitro dari metronidazol pada posisi 5 secara kimiawi sangat berperan untuk aktifitas amubiasis karena mampu mereduksi dan berfungsi sebagai elektron aseptor terhadap gugus elektron donor protein amuba. Akibatnya, terjadi gangguan proses biokimia; terjadinya interaksi terhadap DNA sehingga menyebabkan perubahan struktur helik DNA (hilangnya struktur heliks DNA), pemecahan ikatan dan kegagalan fungsi DNA sehingga amuba mengalami
Universitas Sumatera Utara
kematian. Metronidazol terhadap trichomoniasis mempunyai daya trikomoniasid langsung dengan konsentrasi 2,5 mcg/ml dan terhadap amebiasis, metronidazol mempunyai daya amebisid langsung dengan konsentrasi 1-2 mcg/ml (Amir Syarif, 1980; Siswandono dan Bambang Soekardjo, 2000). 2.4.3 Farmakokinetika dan Metabolisme Absorpsi : Oral baik, jika diberikan topical konsentrasi sistemik yang tercapai setelah aplikasi topical 1 gr sepuluh kali lebih rendah dibandingkan dengan pemberian dosis oral 250 mg Distribusi : Ke air liur, empedu, cairan seminal, air susu, tulang, hati, dan hati yang abses, sekresi paru dan vagina, menembus sawar plasenta dan darah-otak. Rasio CSS : darah: normal mening : 16-43 %; mening inflamasi : 100%. Ikatan protein: <20%. Metabolisme : hati (30-60%) Waktu paruh eliminasi : neonates : 25-75 jam; lainya 6-8 jam, diperpanjang oleh gangguan hati, gangguan ginjal tahap akhir : 21 jam. Waktu untuk mencapai kadar puncakdiserum : oral immediate release : 1-2 jam (Katzung, 2004 ; Syarif, 1980). 2.5
Disolusi Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk kedalam
pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (syukri, 2002). Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai
Universitas Sumatera Utara
pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation). Kinetika uji disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo (Sulaiman, 2007). Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut, granulat, kapsul) meskipun demikian persyaratannya dalam pandangan terhadap ketersediaan terbatas. Suatu kehancuran total memang menawarkan persyaratan yang lebih baik untuk pelepasan, meskipun demikian bahan pembantu dapat membungkus bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancuran sangat terhambat. Oleh karena kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali menggambarkan langkah penentu kecepatan untuk jalannya resorpsi, maka tes pelarutan (dissolution-test) lebih nyata (Ansel et al, 1999; Voigt, 1994) Disolusi-test sudah dapat dilakukan dengan alat kehancuran otomatis yang biasa, akan tetapi yang diamati bukan kehancuran dari „ Formling‟, melainkan jumlah bahan obat dalam interval waktu tertentu, yang larut dari seluruh sediaan obat atau hancuran sediaan obat dalam cairan penguji (cairan pencernaan buatan), diinterpretasikan secara analitis (Voigt, 1994). Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi
Universitas Sumatera Utara
kedalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan (Syukri, 2002). Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet. Bila yang menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang tinggi di dalam darah, maka cepatnya obat dan tablet melarut biasanya menjadi sangat menentukan. Laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai formula (Lachman et al., 1994). Persyaratan uji disolusi pertama sekali dicantumkan dalam NF XIII (1970) dan USP XVIII (1970) . Persyaratan yang dimaksud disini bukan hanya persyaratan untuk nilai Q (jumlah obat yang terlarut dalam waktu yang ditentukan) saja, tetapi juga termasuk prosedur pengujian, medium disolusi dan peralatan serta persyaratan pengujiannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses disolusi tablet, diantaranya kecepatan pengadukan, temperatur pengujian, viskositas, pH, komposisi medium disolusi, dan ada atau tidaknya bahan pembasah (wetting agent) (Sulaiman, 2007). Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan (1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 % dan (2) laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis (Lachman et al., 1994).
Universitas Sumatera Utara
Komponen yang penting dalam melakukan perubahan disolusi adalah wadah, pengadukan, suhu, dan medium. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi, kenaikan suhu medium yang tinggi akan semakin banyak zat aktif terlarut. Suhu harus konstan yang biasanya pada o
suhu tubuh (37 C). Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat, yang biasa dipakai adalah cairan lambung yang diencerkan, HCl 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung sifat-sifat lokasi obat akan larut. Ukuran dan bentuk wadah akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan, untuk mengamati pelarutan dari obat sangat tidak larut dalam air menggunakan wadah berkapasitas besar (Lachman et al., 1994). Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutannya seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu merupakan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat, sedangkan obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat (Shargel et al., 2005). 2.5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi 1)
Faktor Fisika yang Berpengaruh pada Uji Pelarutan In Vitro a) Pengadukan Kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada kecepatan disolusi
yang dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan difusi berbanding terbalik pada kecepatan putaran pengadukan. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi (Shargel et al, 2005).
Universitas Sumatera Utara
b) Suhu Umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin banyak zat aktif yang terlarut. Suhu medium dalam percobaan harus dikendalikan pada keadaan o
yang konstan umumnya dilakukan pada suhu 37 C, sesuai dengan suhu tubuh manusia. Adanya kenaikan suhu selain dapat meningkatkan gradien konsentrasi juga akan meningkatkan tetapan difusi, sehingga akan menaikkan kecepatan disolusi (Shargel et al., 2005). c) Medium Kelarutan Sifat medium larutan akan mempengaruhi uji pelarutan. Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat. Medium yang terbaik merupakan persoalan tersendiri dalam penelitian. Beberapa peneliti telah menggunakan cairan lambung yang diencerkan, HCL 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung dari sifat produk obat dan lokasi dalam saluran pencernaan dan perkiraan obat yang akan terlarut (Shargel et al., 2005). d) Wadah Ukuran dan bentuk dapat mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan. Untuk mengamati kemaknaan dari obat yang sangat tidak larut dalam air mungkin perlu wadah berkapasitas besar (Shargel et al., 2005). 2)
Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi
kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbatasan atau
Universitas Sumatera Utara
berperan pada permasalahan yang umum pada disolusi dalam hal terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri,2002). 3)
Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan. Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan
cara pengolahan (prossesing). Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena di antara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi (Syukri, 2002). 2.5.2 Metode Uji Disolusi Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV pelarutan dapat digunakan dengan beberapa cara, yaitu : -
Metode Keranjang (Basket) Metode keranjang terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari
kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang di gerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian didalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 370C ± 0,50C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setegah bola, tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 106 mm dan kapasitas
Universitas Sumatera Utara
nominal 1000 ml. Pada bagian atas wadah dapt digunakan suatu tutup yang pas untuk mencegah penguapan. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertikal wadah, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Batas kecepatan yang memungkinkan untuk memilih kecepatan dan mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4% (Dirjen POM,1995). -
Metode Dayung Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal kesuatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan suhu pada 370 ± 0,50 C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam Farmakope Indonesia. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Dirjen POM, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.6
Spektrofotometri
2.6.1 Defenisi Spektrofotometer sesuai namanya adalah
alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi, Spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi
tersebut
ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan Spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Khopkar, 1990).215 Spektrofotometri yang paling sering digunakan dalam industri farmasi adalah spekrofotometri ultra violet dan juga cahaya tampak. Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultra violet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-800 nm. Salah satu aplikasi dari spektrofotometri ultra violet adalah penetapan kadar yang memiliki peranan penting untuk melakukan penentuan kuantitatif bahan baku dan sediaan obat. Konsentrasi dari analit didalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tetentu dengan menggunakan hukum Lambert- Beer. Jika penentuan kadar sangat rendah atau senyawa mula-mula mengabsorbsi dibawah 200 nm, maka sering kali senyawa ini terlebih dahulu diubah menjadi suatu senyawa yang
Universitas Sumatera Utara
berwarna melalui reaksi kimia dan absorbsi ditentukan dalam daerah tampak. (Dachriyanus, 2004; Khopkar, 1990; Rohman, 2007). Dalam farmakope, metode spektrofotometri UV-Vis digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat yang mendasarkan pada penggunaan nilai 𝐴1% 1 𝑐𝑚 suatu obat. Nilai 𝐴1% 1 𝑐𝑚 adalah absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 gr/100 ml) dengan ketebalan kuvet 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut tertentu. Nilai 𝐴1% 1 𝑐𝑚 berfungsi untuk mengetahui berapa besar sensitifitas dan konsentrasi senyawa yang harus disiapkan sehingga diperoleh absorbansi pada kisaran 0,2-0,8 ( Rohman, 2007). 2.6.2 Instrumen komponen-komponen punyusun dari spektrofotometer antara lain : 1. Sumber Cahaya Sumber yang biasa yang digunakan adalah lampu wolfram. Tetapi untuk daerah Ultra violet digunakan lampu hidrogen atau lampu deutrium. Kebaikan lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai panjang gelombang. 2. Monokromator Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya berupa prisma ataupun grating. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian dapat digunakan celah. Jika celah posisinya tetap maka prisma ataupun gratingnya yang dirotasikan untuk mendapatkan panjang Gelombang (λ) yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
3. Sel Absorbsi Pada pengukuran didaerah tampak kuvet kaca dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah Ultra violet kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang bertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan serta seragam seluruhnya. 4. Detektor Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang ( Khopkar, 1990).
Universitas Sumatera Utara