KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia dan izin-Nya skripsi ini dapat selesai penulisannya sesuai dengan ketentuan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat serta pembawa panji-panji kebenaran dan pembaharuan bagi kehidupan umat manusia. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengakui banyak menemui kesulitan dan hambatan terutama pengumpulan literatur bahan dan pengolahan data. Namun, berkat bimbingan, dorongan, masukan serta support yang diberikan, alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerjasama dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini pula perkenankan penulis menyampaikan secara khusus ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Kedua orang tua tercinta, H. Kaswir dan Hj. Asnidar yang telah memberikan dorongan moril maupun materil serta do’a yang tulus sampai selesainya penyusunan skripsi ini serta studi penulis.
2.
Kakakku Hildayuni, Abangku Zamis, Adik-adikku Elis Marni dan Desmiati dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan dorongan, do’a, perhatian, serta bantuannya pada penulis.
3.
Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.
Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala kemudahan dan kesulitan urusan administrasi di Jurusan.
5.
Bapak Dr. H. Sirojudin Aly, M.A, Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan dan pencerahan yang diberikan
6.
Seluruh dosen Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah membimbing, mendidik dan mewariskan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan dapat menjadi amal ibadah dan pahala disisi Allah SWT
i
7.
Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat UIN Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.
8.
Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam khususnya angkatan 2004 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama studi.
9.
Kawan-kawan organisasi kampus dan primordial di Jakarta seperti HMI, LPI, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) UIN Jakarta, serta rekan-rekan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Perjuangan akan terus berlanjut.
10.
Kawan-kawan seperjuangan MASAR yang banyak memberikan semangat bagi penulis dan mendesak segera diselesaikanya penulisan skripsi ini. Tebarkan selalu semangat dan persahabatan diantara kita.
11.
Tak terlupakan kawan satu angkatan penulis Alumni Ponpes Darel Hikmah Syukron Darsyah, S.Pdi, Jokef, S.Hi, M.Arizan,S.Ei Wahyu Ridas, S.Hi, Diana Intan Dewi, S.Ei dan Dania Dewi, S.Ei. Terutama kepada Arizan yang mendesak penulis sesegera mungkin menyelesaikan penulisan skripsi ini.
12.
Thank you kepada Siti Suraidah, Amar, Salmi, dan Nurul yang banyak membantu penulis baik dalam memberikan semangat dan bantuan moril sejak penulisan skripsi ini hingga ujian skripsi.
13.
Seluruh teman-temanku dari Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Darel Hikmah Pekanbaru (IKAPDH) Jakarta. Bayu Mustafa Arif dan Duta yang selalu menghibur saat-saat penulis suntuk dan merasa jenuh dalam penulisan skripsi. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa, tekhnik
penulisan, ketelitian, kerapian dan metodologi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Terakhir, hanya kepada Allahlah semua dikembalikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat adanya. Amin. Jakarta, 10 Juni 2008 Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAAN KATA PENGANTAR...............................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................
7
D. Tinjaun Pustaka....................................................................................
7
E. Metode Penelitian ................................................................................
8
F. Sistematika Penulisan ..........................................................................
9
BAB II. PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM A. Riwayat Hidup .....................................................................................
10
B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im...........................................
12
C. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatan...............................
14
BAB III. KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
A. Paradigma Islam Simbolik Formalistik ...............................................
25
B. Paradigma Islam Substantif .................................................................
31
C. Paradigma Sekuler ..............................................................................
38
iii
BAB IV. PEMIKIRAN POLITIK ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM A. Islam, Politik dan Negara ....................................................................
48
B. Islam dan HAM ...................................................................................
57
C. Konstitusionalisme ..............................................................................
67
D. Kewarganegaraan.................................................................................
73
E. Hukum Pidana......................................................................................
77
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... .
iv
85
88
Lembar Pernyataan Dengan ini penulis menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis cantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta
Jakarta, 10 Juni 2008
Hafiz
v
PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Hafiz NIM:104033201090
Pembimbing
Dr. Sirojudin Aly, M.A
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
viii
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “PEMIKIRAN POLITIK ISLAM ABDULLAHI AHMED AN-NAIM” telah diujikan dalam siding munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 25-62008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 25 Juli 2008 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Hamid Nasuhi, M.A NIP: 150326915
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag NIP: 150270808
Anggota, A. Bakir Ihsan, M.Si NIP: 150326915
Nawiruddin, M.A NIP: 150317965
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perdebatan tentang hubungan Islam, politik dan negara belum menemukan titik temu kesepakatan antara para ilmuan atau kalangan intelektual. Perdebatan antara Islam dan negara merupakan subyek penting dan tetap belum terpecahkan secara tuntas1. Pertautan antara Islam, politik, dan negara akan terus menjadi perdebatan, baik pada tataran akademik maupun praktisi. Di Indonesia misalnya perdebatan tersebut terlihat adanya pertarungan yang dimulai dengan pertarungan ideologis antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler (1920-1930) kemudian diikuti oleh perdebatan antara Soekarno dan Natsir antara agama dan negara (1940). Hal ini juga berlanjut tatkala menentukan dasar ideologi negara pada saat kemerdekaan hingga berlangsung saat ini meskipun berada pada konteks perdebatan yang berbeda. Kontroversi hubungan Islam, politik, dan negara baik dalam tataran teori maupun di sekitar implementasi nilai-nilainya telah berlangsung cukup lama. Di satu pihak, ada sebagian kecil aspirasi rakyat yang menghendaki implementasi syariat Islam dalam kehidupan politik, sedang dipihak lain, sebagian kecil masyarakat juga cenderung menjalankan politik sekuler dan mendapat dukungan yang secara politik sangat kuat. Perdebatan tersebut diisyaratkan dengan persoalan problematik antara politik (siyasah) dengan syariat yang juga melibatkan ketegangan antara ranah
1
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1
x
duniawi dan profane. Banyak kita dapati para pemikir Islam klasik seperti alMawardi, al-Gazali sampai ke Ibnu Taimiyah yang mempunyai keahlian di bidang fikih siyasah pada umumnya. Karena itu, bisa dipahami kalau ketika mereka membangun dan merumuskan konsepsi dan teori politik mereka, dalam banyak hal dimulai dengan syariat.2 Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan politik (siyasah) haruslah berpedoman pada syariat yang dilaksanakan dengan baik dan sempurna, karena itu politik tidak boleh mempunyai norma-norma atau ketentuanketentuan sendiri yang seolah-olah terpisah atau bahkan melengkapi syariat itu. Seorang pemikir seperti Ibn Khaldun, meskipun menempatkan siyasah pada posisi yang tinggi namun tetap beranggapan bahwa perlunya penegakan syariat baik bagi penguasa maupun warga masyarakat. Ini membuktikan bahwa pentingnya penerapan syariat sebagai pijakan politik. Karena memang syariat tidak pernah mengekang atau bahkan membatasi hak dan kebebasan masyarakat selama tindakan dan prilaku masyrakat tidak bertentangan dengan syariat Islam. Indonesia, misalnya, dalam peta pemikiran dunia Islam, adalah negara yang sangat menarik diteliti dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Oleh karena itu Islam telah, sedang dan terus memainkan perannya sesuai dengan proses-proses sosial politik, meskipun peran itu ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda. Tuntutan dan aspirasi memberlakukan syariat Islam, menjadi persoalan serius setelah sekian lama rezim pemerintahan membungkam aspirasi tersebut. Keinginan ini lahir berdasarkan fakta, dimana hukum-hukum formal selama ini, baik di bidang pidana, perdata, pendidikan, dan sebagainya, dikatakan oleh 2
Azyumardi Azra, “Siyasah, Syariah dan Historiografi: Refleksi Sejarah Islam” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 460
xi
kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam adalah gagal dalam mengemban misi hukum, keamanan dan keadilan serta menjunjung aspirasi politik umat. Pengabaian nilai-nilai yang dianut dalam masyrakat, khususnya aspek religiositas telah melahirkan konflik dan reaksi keras komponen masyarakat.3 Islam bukan hanya sebagai agama yang hanya mengurus ukhrawi semata, lebih dari pada itu, Islam juga sebagai sebuah ajaran yang mempunyai konsep tentang tatanan kehidupan termasuk kepentingan politik. Hal ini dapat kita lihat bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin sebuah komunitas yang dikenal dengan negara Madinah. Madinah sebagai sebuah negara memang menimbulkan perdebatan, namun dalam memahami Madinah sebagai negara saat itu, tidaklah sama dengan memahami negara dalam konteks zaman modern sekarang ini. Hal yang penting dicacat dalam memahami Madinah sebagai sebuah negara adalah bahwa ketika itu Madinah memiliki sebuah konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah yang mengatur perjanjian antara umat Islam dan non-Muslim, mempunyai sebuah wilayah dan penduduk yang dapat dikategorikan sebagai sebuah negara pada konteks sekarang ini. Namun banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individu, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama. 4
3 4
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 4 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Jakarta: Mizan, 1997), h. 27
xii
Indonesia, misalnya, merupakan negara yang unik karena meskipun merupakan negara yang mempunyai penduduk yang mayoritas Islam, namun Islam tidaklah menjadi agama negara. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya harus tetap mengedepankan prinsipprinsip etika moral Islam. Memang pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk hukum Islam cukup problematik dan dilematis dalam sebuah negara yang plural (majemuk). Dalam hal ini kita perlu sedapat mungkin melakukan reinterpretasi hukum Islam tertentu yang tidak sejalan dengan kondisi sekarang dan kecenderungan universal untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan (hak asasi manusia). Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan penggunaan metodologi yang diakui para ulama, bukan yang ditawarkan oleh sebagian pemikir yang tak memiliki latar belakang hukum Islam tetapi melakukan metodologi dan pemahaman yang tak diakui oleh ulama.5 Hal tersebut menggambarkan bahwa pentingnya memegang ajaran Islam, tidak selalu menjadikannya sebagai hal yang harus diletakkan hanya dalam ruang privat saja. Jadi tidak serta merta menolak hukum Islam tersebut atau hanya beranggapan bahwa syariat Islam hanya berlaku pada masa lalu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang. Berdasarkan perdebatan tersebut, pada dasarnya, belum ada kesepakatan yang mutlak dalam perdebatan tentang hubungan Islam dan negara, dalam hal ini An-Na’im hadir sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang mencoba menawarkan sebuah konsep ketidakterkaitan antara agama dan negara. Perlunya
5
Masykuri Abdillah, “Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya Pada Masa Kini”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 85
xiii
pemisahan antara agama dan negara. Ia hadir sebagai penjembatan antara pandangan fundamentalis dan sekuler. Syariat Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariat karena upaya memformalkan syariat sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia kehilangan otoritas dan kesuciannya. Hal itu diungkapkan Abdullah Ahmed AnNa'im, pemikir Islam dari Sudan yang juga merupakan guru besar hukum Emory University, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, di sela-sela peluncuran bukunya dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Kamis (2/8/2007) di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta. Ia mengisyaratkan bahwa syariat Islam bisa mempengaruhi kehidupan publik dan setiap kebijakan dalam perundang-undangan seperti undang-undang perkawinan, peradilan agama Islam, dan lain-lain. Namun An-Naim juga mengatakan bahwa Islam tidak dapat diselenggarakan oleh negara, juga tak dapat dipisahkan dari kehidupan publik masyarakat-masyrakat Islam.6 An-Naim menjelaskan bahwa masa depan syariat itu cerah dalam pengertian syariat bisa memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk melakukan hal-hal yang positif untuk keadilan sosial. Ada kemungkinan pendekatan moral justru sangat popular dan sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Ini menunjukkan bahwa perlunya moral dalam urusan politik.7 Pendekatan syariat dan akhlak sangat fundamental dalam Islam karena agama harus dipahami sebagai spiritual 6
Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 78 7 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h. xxvi
xiv
kemudian harus direalisasikan dalam bentuk tindakan yang bersifat moralitas serta mencakup aturan prosedural (syariah), hal itu sesuai dengan misi Nabi Muhammad dalam rangka penyempurnaan akhlak umat manusia. Dari maksud An-Na’im di atas, menunjukkan bahwa umat Islam bergerak karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan sehingga kebijakan yang ditetapkan harus mencerminkan kepentingan umat Islam khususnya tanpa menghapus hak non-Muslim serta bukan sebagai wujud kepentingan politik penguasa atau kelompok-kelompok elite tersebut. Syariat harus dilandasi dengan Iman dan amal saleh sebagai kriteria perubahan. Begitu juga penerapan syariat Islam baik di Indonesia maupun di negara lain, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam sebuah kebijakan harus melandasinya dengan sebuah keimanan yang kuat sehingga menimbulkan kesadaran yang merupakan perubahan yang esensial bukan berdasarkan pada kondisi materialnya. Islam bukan agama aqidah semata, yang hanya mngutamakan hubungan manusia dengan Tuhannya, Islam adalah akidah dan syariat.8 Oleh karena itu akidah harus dijadikan sebagai pendorong lahirnya syariat dan setiap amalan syariat harus didasari atas akidah. Oleh karena itu dari uraian di atas, berdasarkan pandangan dan pemikiran An-Na’im, penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh tentang hubungan Islam dan negara perspektif An-Naim. Hal tersebut akan dirangkum
8
Zainun Kamal, “Kontekstualisasi Syariat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 57.
xv
dalam sebuah tulisan berbentuk Skripsi dengan Judul : “ Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, serta agar pembahasan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka masalah-masalah yang diangkat dalam pemikiran ini dibatasi pada pemikiran An-Na’im yang berkaitan dengan Islam, politik dan negara, bagaimana hubungan Islam dan HAM, Konstitusionalisme, Kewarganegaraan, dan Hukum Pidana. Berpijak pada batasan-batasan serta latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu merumuskan persoalan tersebut dalam pertanyaan: Bagaimana pandangan dan pemikiran politik An-Na’im tentang hubungan Islam dan Negara
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan lebih spesifik bagaimana pemikiran An-Na’im tentang Islam dan negara. Sedangkan tujuan penulisan adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan untuk meraih gelar sarjana (SI) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta serta pengembangan dan sumbangan terhadap khazanah ilmu pemikiran politik Islam khususnya di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka Sebelum penulis menyusun skripsi ini yang berjudul Islam dan Negara: Studi Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, penulis telah melakukan review
xvi
literatur sebagai upaya penulisan ini tidak sia-sia dan tidak dianggap hasil plagiat skripsi karya orang lain. Menurut tinjauan penulis selama ini dan sejauh yang penulis ketahui bahwa skripsi yang digarap oleh penulis ini belum ada yang menulis dengan judul yang sama atau yang membahas tentang hubungan Islam dan negara perspektif An-Na’im. Oleh karena itu sangat perlu menurut penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran politik Abdullahi Ahmed An-Naim terutama tentang hubungan Islam dan negara.
E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah berupa pengumpulan data dari berbagai literatur baik data primer maupun data skunder, penulis menggunakan jenis penelitian Library research (study kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan karya-karya Primer yang ditulis secara langsung oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im sedangkan sumber sekunder yaitu karya lain yang menguraikan yang berkaitan dengan tema kajian yang penulis ajukan baik berupa buku-buku, artikel, maupun media masa yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam bentuk karya ilmiah. Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis mengunakan dua metode yaitu: metode deskriptis dan analistis yaitu dengan mendiskripsikan data-data yang ada, kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan tampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
xvii
CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan petunjuk dari Dosen Pembimbing baik formal maupun informal
F. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, terarah dan menjadi standar penulisan skripsi SI, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yaitu : Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang berfungsi sebagai acuan pembahasan bab-bab selanjutnya, sekaligus mencerminkan isi skripsi ini secara global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab Kedua akan membahas tentang profil Abdullahi Ahmed an-Na’im yang menjelaskan riwayat hidup An-Na’im, karya-karyanya serta latar belakang pendidikan, karier dan kegiatannya. Bab Ketiga membahas tentang wacana dan kontekstualisasi hubungan Islam dan negara yang menjelaskan tiga paradigma yaitu paradigma simbolik formalistik, paradigma substantif dan paradigma sekuler. Bab Keempat sebagai inti akan dibahas ide sentral yaitu pemikiran politik Abdullahi Ahmed An-Na’im yaitu pandangannya tentang Islam, politik dan negara, Islam dan HAM, konstitusionalisme, kewarganegaraan, dan hukum pidana. Bab Kelima adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi ini.
xviii
BAB II PROFIL ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM A. Riwayat Hidup Abdullahi Ahmed An-Na’im dilahirkan di Sudan. Ia merupakan seorang guru besar di bidang hukum yang mengkaji lebih dalam tentang agama dan hak asasi manusia (HAM) di The Emory Law School, Atlanta. An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka dan ia dikenal sebagai pakar Islam dan hak asasi manusia dengan perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu- isu ketatanegaraan di negara-negara mayoritas muslim dan Afrika disamping isu-isu tentang Islam dan politik. Dia juga telah menerbitkan lebih dari 30 artikel tentang hak asasi manusia, konstitusionalisme, hukum Islam dan politik. Sebagai salah seorang mahasiswa hukum di University of Khartoum di Sudan, An-Na’im aktif di sebuah gerakan reformasi Islam (Islamic reform movement) yang dipimpin oleh Mahmoud Mohamed Taha dalam sebuah organisasi Persaudaraan Republik (Republican Brotherhood) sampai gerakan ini dibubarkan oleh pemerintah Sudan pada tahun 1984. Kemudian ia juga yang mempopulerkan pemikiran gurunya yang disampaikan dalam sebuah buku “The Second Message of Islam”. Organisasi ini didirikan Thaha sebagai partai Republik ditengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan pada akhir perang Dunia II. Keberadaan partai-partai yang ada ketika itu sangat didominasi oleh kaum konservatif. Thaha mencoba
xix
mengembangkan dasar-dasar pemahamanya melalui penafsiran ulang Islam dalam sebuah karya nya yang bejudul The Second Massage of Islam yang diterjemahkan oleh An-Na’im dan diterbitkan pada tahun 1987 serta melalui buku inilah yang banyak memengaruhi pemikiran An-Na’im.
Namun pada tahun 1985, ketika
sebuah gerakan Islam fundamentalis mendapatkan tempat di Sudan dan setelah dieksekusinya Mahmoud Mohamed Taha oleh rejim Sudan Ja’far Numeiry, AnNa’im lalu meninggalkan daerahnya. Sejak pengasingannya dari Sudan, ia memfokuskan pekerjaannya mambantu kaum muslimin menentukan cara hidup secara islami serta mencakup hak asasi setiap manusia. Projek penelitian internasionalnya mencakup kajian perempuan, hukum keluarga Islam, Islam dan hak asasi manusia yang selalu disponsori oleh Ford Foundation. An-Na’im juga menjadi juru bicara yang fasih tentang ide-ide Mahmoud Mohamed Taha, menulis artikel dan berbicara dengan berbagai kalangan dalam rangka melanjutkan pemikiran gurunya. An-Na’im sendiri bergabung dengan Persaudaraan Republik ketika masih mahasiwa fakultas hukum Universitas Khartoum. Ia menghadiri sejumlah kuliah yang langsung disampaikan oleh Thaha dan selalu hadir dalam diskusi-diskusi informal di rumah gurunya. Sehingga buku The Second Massage of Islam lah yang sangat mempengaruhi pemikiran AnNa’im selanjutnya. Sejak terbunuhnya Mahmoud Mohamed Taha, kelompok ini secara tidak resmi diorganisasikan kembali menjadi komunitas sosial yang bergerak pada
xx
usaha reformasi Islam menurut tradisi Thaha. An-Naim sendiri menekankan bahwa pesan ini mewakili suatu pendekatan bukan aksi politik.9
B. Karya-karya Abdullahi Ahmed An-Na’im. Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im selain memiliki hasil karya sendiri, ia juga merupakan salah seorang editor buku sekaligus penerjemah bebarapa buku. Beberapa karya An-Na’im ini penulis peroleh dari media internet.10 Beberapa karya pribadi yang langsung ditulis Abdullahi Ahmed An-Nai’im adalah: 1. Islam and The Secular State: Negotiating The Future of Shari’a, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Islam dan Negara Sekular: Menogosiasikan Masa Depan Islam Syariah, yang diterjemahkan oleh Sri Murniati dan diterbitkan oleh penerbit Mizan. 2007. Buku ini menegaskan kembali apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya Towards an Islamic Reformation (1990) yang intinya menolak intervensi negara dalam penerapan syariat Islam karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Menurut An Na’im, syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga
9
Pengantar LKiS dalam Abdullahi Ahmed An-Nai’m, Dekonstruksi syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasioanal dalam Islam (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. xiii 10 Dapat dilihat di www.law.emory.edu/aannaim atau juga dapat dilihat di Wikipedia, the free encyclopedia http://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_AnNa'im#Main_Publications. Diakses pada taggal 10 April 2008.
xxi
netralitas negara terhadap agama dan pemisahan secara kelembagaan antara Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam 2. African Constitutionalism and the Contingent Role of Islam. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press (2006). 3. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1990 (soft-cover edition by American University in Cairo, 1992). Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia (1994) oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dan diterbitkan oleh LKis Yogyakarta dengan judul Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. Arab (1994), Rusia (1999), dan Persia 2003. 4. Sudanese Criminal Law: General Principles of Criminal Responsibility (Arabic). Omdurman, Sudan: Huriya Press, 1985. Bebarapa karya An-Na’im sebagai editor adalah: 1. Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 2003. 2. Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book. London: Zed Books, 2002. 3. Cultural Transformation and Human Rights in Africa. London: Zed Books, 2002. 4. Proselytization and Communal Self-Determination in Africa. Maryknoll, NY: Orbis Books, 1999.
xxii
5. Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights under the Constitutions of African Countries. London: Interights, 1999. 6. The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic). Cairo: Ibn Khaldoun Center, 1993. 7. Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 1992. Karya An-Na’im sebagai Co. Editor 1. With Ifi Amadiume: The Politics of Memory: Truth, Healing and Social Justice. London: Zed Books, 2000. 2. With J. D. Gort, H. Jansen, & H. M. Vroom: Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship? Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1995. 3. With Francis Deng: Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives. Washington, DC: The Brookings Institution, 1990. Beberapa karya yang pernah diterjemahkan oleh An-Na’im: 1. Terjemahan dalam bahasa Arab: Francis Deng: Cry of the Owl (a political novel). Cairo: Midlight, 1991. 2. Terjemahan dalam bahasa Inggris:
an Introduction: Ustadh Mahmoud
Mohamed Taha: The Second Message of Islam. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1987. C. Latar Belakang Pendidikan, Karir dan Kegiatan Profesor Abdullahi Ahmed An-Na’im memperoleh gelar dibidang Hukum di Universitas Khartoum, Sudan pada tahun 1970, kemudian melanjutkan ke Cambridge University, Inggris dalam bidang kriminologi pada tahun 1973 dan
xxiii
memperoleh gelar LL.B dan Diploma. Kemudian pindah ke Edinburgh University, Scotlandia dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1976. Kemudian dia kembali ke Sudan untuk mengajar di University of Khartoum, hingga tahun 1985. Menjelang tahun 1979, ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum Universitas Khartoun. An-Na’im menjadi guru besar agung dibidang hukum dari Universitas California, Los Angles pada tahun 1985-1987, dan pada tahun 1988-1991, AnNa’im juga guru besar agung di bidang HAM dari sebuah Universitas Saskatchewan, Canada. Pada tahun 1995 An-Na’im memperoleh gelar Profesor
dari Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat dan sejak 15 tahun terakhir ini beliau menetap dan mengajar di Amerika Serikat. An-Na’im adalah murid dari Muhamed Thaha, seorang pemikir besar Sudan, yang memiliki pemikiran yang dianggap oleh pemerintah Sudan sebagai pemikiran yang aneh dan karena itu beliau dibawa ke pengadilan dan kemudian digantung. Para pengikutnya juga dikejar-kejar oleh rezim pemerintah waktu itu pada masa rezim Sudan Ja’far Numeyri. Dalam rangka menyampaikan pesan sang guru, An-Naim memberikan ceramah dan tulisan-tulisan terutama untuk diluar Sudan. Dia merasa bahwa merupakan tanggungjawabnya untuk mengambil dasar ajaran Thaha dan mengembangkannya. Dia telah menulis untuk spesialisasi bidangnya yaitu hukum publik yang merupakan interpretasi hukum Islam dari perspektif ajaran gurunya. Abdullahi Ahmed An-Naim merupakan seorang pakar Islam terkemuka serta juga menekuni riset di bidang advokasi strategi reformasi melalui transformasi budaya internal. Saat ini, lelaki kelahiran Khartoum, Sudan, ini
xxiv
bekerja sebagai Profesor Hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat. Pemikirannya sangat kontroversial. Ia berkali-kali menegaskan tidak pernah ada dan tidak perlu ada negara Islam. "Kita butuh negara sekuler untuk menjadi muslim yang baik," kata Naim kepada VHRmedia.com di Hotel Kristal, Jakarta Selatan kepada Fathiyah Wardah Alatas, Rabu (1/8/2007). Ia mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Dalam riset yang disponsori Ford Foundation ini, Na’im hanya ingin mengulangi sikapnya bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan peraturan dan hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya.
Ia
menekankan
perlunya
menjaga
netralitas
negara
dan
memisahkannya secara kelembagaan dari agama. Pengalaman Professional dan Pengalaman Mengajar11 Sejak
dibubarkannya organisasi Persaudaraan Republik (Republican
Brotherhood) yang didirikan oleh gurunya, perjuangan An-Na’im dalam mensosialisasikan ajaran gurunya tidaklah melalui sebuah partai politik yang dilakukan oleh gurunya, tetapi melalui diskusi-diskusi publik, seminar-seminar, terutama melalui mengajar di sebuah perguruan tinggi maupun universitas yang memang menjadi profesi keahlian sehari-hari An-Na’im. Di bawah ini beberapa pengalaman professional mengajar An-Na’im:
11
Dapat dilihat di www.law.emory.edu/aannaim
xxv
•
Juni 1995 sampai sekarang, Professor of Law, Emory University, Atlanta, GA, U.S.A.
•
Global Legal Scholar, School of Law, The University of Warwick,UK, September 2007 sampai Agustus 2010.
•
Scholars-in-Residence, the Ford Foundation, New York, NY, USA, May sampai December, 2007.
•
G.J. Wiarda Chair, Utrecht University Institute for Legal Studies, the Netherlands, September 2005 to August 2006.
•
Jeremiah Smith, Jr. Visiting Professor of Law, Harvard Law School, Cambridge, MA, USA, Januari sampai Juni 2003.
•
Juli 1993-April 1995 Executive Director, Human Rights Watch/Africa, Washington, DC. U.S.A.
•
Juli 1992 - Juni 1993 Scholar-in-Residence, The Ford Foundation, Office for the Middle East and North Africa, Cairo, EGYPT
•
Agustus 1991-Juni 1992 Olaf Palme Visiting Professor, Faculty of Law, Uppsala University, Swedia
•
Agustus 1988-January 1991 Ariel F. Sallows Professor of Human Rights, College of Law, University of Saskatchewan, Saskatchewan, Kanada.
•
Agustus 1985-July 1987 Visiting Professor of Law, School of Law, University of California at Los Angeles (UCLA), Los Angeles, U.S.A.
•
November 1976-Juni 85 Dosen and Guru Besar Hukum Luar Biasa; (Kepala Departemen Hukum Publik 1979-85) University of Khartoum, Sudan.
Kuliah Umum dan Presentasi Internasional12 12
Ibid
xxvi
Dibawah ini beberapa kuliah umum, seminar, dan presentasi internasional yang dilakukan oleh An-Na’im dalam rangka membumikan pemikirannya serta memberikan pemahaman kajiannya tentang
Islam, politik, dan negara,
konstitusionalisme, dan HAM (hak asasi manusia ). •
Kuliah Umum dan Launching Buku “African Constitutionalism and the Role of Islam,” Centre for the Book, Cape Town, Africa Selatan, 9 Oktober , 2007.
•
Kuliah , “Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari`a”, 30th Convention of German Orientalist Society, Albert-Ludwigs-Universsitat, Freiburg, Germany, 26 September , 2007.
•
Kuliah Umum “Human Rights, Global Citizenship and Refugees,” Forced Migration and Refugee Studies, American University in Cairo, 6 December, 2006.
•
Kuliah Umum , “Interdependence of Islamic Philanthropy and Secularism,” The John D. Gerhart Center for Philanthropy and Civic Engagement, American University, Cairo, 5 Desember , 2006.
•
Presentasi, “The Future of Shari`a is with a Secular State,” and “Shari`a and Human Rights,” Conference on Shari`a in a Modern Context, The Association of Democratic Muslims of Demark and Institute for Cross-cultural and Regional Studies, University of Copenhagen, Denmark, 25-26 November , 2006.
•
Kuliah Umum “African Constitutionalism and the Role of Islam in State, Politics and Society”, Faculty of Law and Departments of Religious Studies and Political Science, University of Jos, 11 Nigeria, 1 September, 2006.
xxvii
•
Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics, Economics and Society”, Centre for Democratic Research and Training, Bayero University, Mambayya House, Kano, Nigeria, 31 Agustus, 2006.
•
Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam,” Islamic Legal Studies and Faculty of Law, Ahmado Bello University, Zaria, Nigeria, 30 Agustus, 2006.
•
Kuliah Umum, “African Constitutionalism and the Role of Islam in Politics and Society”, University of Abuja, Nigeira, 29 Agustus , 2006
•
Keynote presentation, “Citizenship and Legal Pluralism: An Islamic Perspective,” Conference on the Possibility of Intercultural Law, Annual Meeting of Association of Legal Philosophy, Conference Center Kaap Doorn, Diebergen/Zeist, The Netherlands, 9-10 Juni, 2006.
•
Keynote lecture, “Protection of Human Rights of Vulnerable Groups in the era of Terrorism,” 4th National Roundtable on Anti-terrorism and Protection of Minorities, Utrecht, the Netherlands, 7 Juni, 2006.
•
Public lecture, “Cross-Cultural Dialogue Re-visited: Islam and Human Rights,” Society for International Development – Netherlands Chapter, Free University, Amsterdam, 15 May, 2006.
•
Presentasi, “Islam, State and Politics: Separate but Interactive”, International Conference on Human Rights and Renewal of Religious Discourse”, Cairo Institute for Human Rights Research and Swedish Institute, Alexandria, Egypt, 18-20 April, 2006.
xxviii
•
Kuliah Umum, “State Secularism: Reality and Experience”, Khartoum Center for Human Rights and Development, Sharijah Hall, Institute of Afro-Asian Studies, University of Khartoum, Sudan, 26 Desember, 2005.
•
Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Women Studies, State Institute for Islamic Studies, Yogyakarta, Indonesia, 9 Februari , 2005.
•
Seminar, “The Future of Shari`ah in Islamic Societies,” Center for Languages and Cultures, State Islamic University, Jakarta, Indonesia, 27 Januaryi, 2005.
•
Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,” Conference Hall, India Tea Center, Mumbai, India, 8 January, 2005.
•
Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,” General Education Centre, Aligarh Muslim University, Aligarh, India, 3 Januari, 2005.
•
Seminar, “Islam, State and Society: Experiences and Prospects in India,” India International Centre, New Delhi, India, 5 Januari, 2005.
xxix
BAB III KONTEKSTUALISASI HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Perdebatan ilmiah mengenai Islam dan politik muncul sejak tumbangnya kekhalifahan Islam Ottoman 1924. Sebelumnya literatur mengenai pendekatan Islam terhadap masalah kenegaraan baik dalam soal pemilihan imam, kualifikasi pemimpin amir dan tata administrasi kekhalifahan tidak meragukan integrasi Islam dalam politik. Setelah itulah muncul berbagai literatur yang banyak dibaca kalangan umat Islam sehingga mengaburkan jati diri Islam dalam kehidupan masyarakat dan lembaga-lembaga yang dibangun untuk mengendalikannya. Wacana tentang relasi agama dan negara selalu mewarnai perdebatan fiqh siyasah (fiqh politik) dalam Islam13. Fenomena yang mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat diwilayah tertentu. Suatu negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-bersama dan untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat. Disini otoritas politik memiliki urgensi dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut negara. Sehingga dirasa perlu oleh kaum muslimin untuk merumuskan konsep negara. Diskursus negara agama sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana Islam Politik. Implementasi syariat Islam dalam negara modern jadi polemik publik yang pasang surut. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama
13
Perdebatan antara relasi Islam dan politik (negara) muncul pada abad Modern dan Kontemporer yaitu ketika pertemuan Islam dengan Barat pada abad ke- 19 dan ke- 20 yaitu setelah terjadi penjajahan Barat ke dunia Islam. Abdul Rashid Molten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 30-32
xxx
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini bisa dilihat dari maraknya organisasi keagamaan yang lantang menyuarakan isu negara agama di pelbagai dunia Islam, seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Historisitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai pilihan termungkin yang bisa dilakukan kalangan Islam Politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan. Kebanyakan diskusi tentang Islam dan politik mengasumsikan bahwa Islam tidak membedakan antara agama dan politik. Dunia keilmuan Barat pada tingkat lebih luas juga dunia keilmuan Muslim menegaskan ketidak terpisahan antara keduanya melalui perbandingan antara pemikiran politik Muslim dan Kristen. Meskipun metaphor semacam ini mengalami perubahan dalam tulisantulisan Kristen masa awal dan masa abad pertengahan, tetapi ide pemisahan kekuasaan tetap berjalan, urusan Tuhan dan urusan Kaisar. Sebaliknya, di dalam pemikiran Islam kerangka rujukannya adalah kesatuan keduanya: din wa-daulah, “agama dan negara”. Dalam merumuskan sebuah konsep negara terdapat beberapa pandangan yang berbeda dari kaum muslimin itu sendiri. Hal ini disebabkan bukan karena kompleksitas hubungan antara keduanya. Tetapi, lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa Islam tidak mungkin diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal. Doktrin Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah satu. Namun,
bagaimana
umat
menerjemahkan
ajaran-ajaran
tersebut
dan
mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi, meskipun tetap ada benang merah yang menghubungkan antara satu penafsiran
xxxi
dengan penafsiran yang lain. Multitafsir merupakan ciri dari Islam yang tak terhindarkan. Kelompok pertama menawarkan sebuah konsep negara yang berdasarkan pada agama yaitu menyatunya antara agama dan negara (integralistik) dimana Islam diakui bukan hanya sekedar agama yang mengurus urusan ukhrawi lebih dari itu Islam juga mengurus persoalan-persoalan duniawi termasuk persoalan politik. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik dan negara. Sehingga kelompok ini menolak bahkan sangat mengecam sekali adanya pemisahan agama dan negara. Namun sampai sekarang negara mana yang dapat dijadikan sebagai representasi negara Islam, apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain juga belum dapat dipastikan atau dianggap sample sebagai negara Islam. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat para pemikir politik Islam dalam mendefinisikan tentang hubungan agama dan negara. Azyumardi menjelaskan bahwa beragam perbedaaan pemikirian tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Barat. Pada masa modern ekspansi dan dan imprealisme dan kolonialisme Eropa ke wilayah Islam tidak hanya menciptakan desintegrasi politik Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri umat Islam.14 Salah satu dampak terbesar dari penetrasi Barat ke dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dan sistem politik Barat tentu saja asing dan karena itu bersifat ahistoris bagi masyarakat muslim pada umumnya. Sebab itulah terjadi perdebatan dikalangan pemikir dan penguasa muslim tentang konsep Barat seperti nation state, nasionalisme, dan lain-lain. 14
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.
xxxii
Kelompok kedua mempunyai pandangan bahwa Islam lebih dimaknai pada penerapan nilai-nilai substansinya, agama tidak mesti dilembagakan dalam sebuah institusi negara, namun tetap mengedepankan nilai-nilai Islam
yang
bersifat universal sehingga bisa diterima oleh pihak manapun diluar Islam. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahawa antara agama dan negara harus dipisahkan satu sama lain (sekuler) karena memahami agama hanya pada aspek pengurusan persoalan-persolan akhirat sementara masalah dunia (politik) diserahkan pada manusia sesuai zaman masing-masing tanpa mengikutsertakan agama dalam persoalan politik. Namun meskipun ketiga-tiganya mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan agama dan negara, tetapi ketiga pandangan tersebut sama-sama mengakui peran penting negara. Dalam proses pencarian konsep negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada juga yang menolak Barat. Maksudnya jika mereka menganggap bahwa Barat adalah segalanya, maka corak pemikiran mereka akan meniru Barat. Namun sebaliknya, ada juga yang menolak cara pandang Barat dan berasumsi bahwa Islam telah memiliki konsep negara yang jelas. Spektrum pendukung dan penentangnya pun cukup beragam. Ada yang ekstrem, ada yang moderat. Pendukung yang bergaris ekstrem sampai mengusulkan perubahan fundamental, dengan mengubah sistem politik menjadi khilafah atau negara Islam. Sementara penentang bergaris keras mendesak perlucutan total negara dari anasir agama
xxxiii
Kamaruzzaman dalam tulisannya15 membagi pandangan relasi agama dan negara menjadi dua gerakan. Pertama gerakan Fundamentalisme yaitu kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara, sedangkan kelompok kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi dalam dua kelompok yaitu modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa antara agama dan negara dapat diintegrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem kenegaraan. Disini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada dalam memahami relasi antara agama dan negara, yang akan diklasifikasi berdasarkan tiga paradigma yaitu pertama, Paradigma Islam Simbolik Formalistik, kedua, Paradigma Islam Substantif, dan yang ketiga Paradigma Sekuler.
A. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik Pengaruh agama pada politik bukanlah sebuah fenomena yang hanya terjadi di dunia Islam. Tetapi adalah tidak mungkin bagi seorang ahli teori politik akan mengabaikan peran Islam dalam kehidupan publik umat muslim. Pengaruh yang paling besar dalam politik bangsa-bangsa Muslim dapat dilacak dengan jelas pada kecenderungan partisipasi politik yang amat luas dikalangan penduduknya. Jelas bahwa setiap hukum membutuhkan sebuah pemerintahan yang mengadopsinya dan seperangkat aparat negara yang akan mengimplementasikan dan menegakkan sangsinya. Oleh karena itu Islam (syariat) juga membutuhkan 15
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis (Indonesia Tera, Magelang, 2001), h. 50.
xxxiv
sebuah negara untuk menegakkan sangsinya16. Ini memberikan pemahaman bahwa syariat membutuhkan kekuasaan politik dan otoritas agar bisa diimplementasikan. Di pihak lain, hubungan yang maksimal antara agama dan politik memerlukan komitmen total dan keterlibatan negara terhadap isi sebuah agama yang spesifik. Pemikiran ini yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan negara dan politik. Din wa-daulah marupakan salah satu jargon terpenting dari mazhab pemikiran seperti ini. Dalam pandangan aliran ini, Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memiliki sistem dan teori tentang politik, ekonomi, negara, dan sebagainya. Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk kekhalifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di Madinah dan juga para khulafaurrasyidin pada kurun setelahnya.. Karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.17 Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa pandangan kelompok yang menginginkan menyatunya agama dan negara dilatarbelakangi oleh dua hal18. Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler. Ini menjadi
16
Ahmed Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab (Jakarta: Citra, 2006), h. 8. 17 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8. 18 Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler?,” diakses pada tanggal 5 April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=148. html
xxxv
alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas Dalam tulisannya itu, Zuhairi Misrawi memasukkan Yusuf al-Qardlawi sebagai pemikir muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara sebagai alternatif dari ketimpangan sistem sekuler yang telah memporakporandakkan nilai dan moralitas. Menurut Qardlawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah rujukan utamanya.19 Dalam menyikapi sekularisasi dan westernisasi atas nama modernisasi, kaum Muslim dapat dipilah dalam dua kelompok besar, yaitu yang menerima dan yang menolak. Masing-masing dapat dibagi lagi: ada yang cenderung bersikap ekstrim, dan ada pula yang bersikap moderat. Yang ekstrim dari kelompok penerima biasanya disebut secularist seperti Ataturk, sedangkan yang bersikap moderat disebut reformist atau modernist seperti Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Fazlur Rahman. Adapun yang ekstrim dari pihak yang menolak biasanya dicap revivalist atau fundamentalist seperti Al-Maududi dan Sayyid Qutb, sementara yang moderat dijuluki conservative atau tradisionalist seperti Muhammad bin Abd al-Wahhab. Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekulerisasi adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama dan takhyul. Penentangan yang paling kentara muncul dari Islam Fundamentalis.
19
Ibid
xxxvi
Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka membantah bahwa pemerintahan sekuler menciptakan lebih banyak masalah dari pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan mengakui otoritas absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib sosial yang Islami sesuai ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, dan berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam. Paradigma ini memahami Islam sebagai agama yang sempurna pada prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama dan negara. Merefleksikan adanya kecenderungna untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam. Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam merupakan: • Sebuah agama yang serba lengkap dimana terdapat sistem kenegaraan dan poltik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam • Sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.20 20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1.
xxxvii
Kelompok ini sering dikategorikan sebagai kelompok revivalisme atau fundamentalisme yang mengusung reaksi ekstrim terhadap meluasnya ide-ide pemikiran Barat kedalam dunia Islam. Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekulerisme. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dan pemerintah sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak. Kelompok ini juga sering dikategorikan sebagai kelompok muslim skriptualis yang berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, dalam pandangan mereka, Islam harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi sekedar agama privat. Islam harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengambil inspirasi dari karya-karya Sayyid Qutb (W.1966) dan Abul A’la AlMaududi (W. 1979), mereka yang dalam istilah John L. Esposito (1990), menegaskan jargon bahwa doktrin Islam itu self-sufficiency, sehingga mendirikan negara Islam menjadi doktrin agama. Para pendukung arus ini secara mutlak menolak liberalisme dan ideologiideologi Barat lainnya. Mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari sumber-sumber yang bersifat ilahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk mengakhiri hegemoni Barat, dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah sulit yang dihadapi masyarakat Muslim. Tujuan utama dari sebuah pemerintahan Islam adalah untuk membentuk sebuah masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya tidak memandang masyarakat Islam sekumpulan orang, tetapi masyarakat juga dilihat dari sisi hubungan sosial
xxxviii
dan tertib sosial masyarakat dimana mereka tinggal. Oleh karena itu, sebuah masyarakat Islam secara definitif adalah sebuah masyarakat yang ideal dimana tertib sosial telah dibentuk dan diatur sesuai dengan nilai-nilai Islam, ajaranajaran, dan aturan-aturannya.21 Pemikiran akan penyatuan agama dan negara setidaknya terlihat pada tokoh seperti Abu A’la Al-Maududi yang sangat tidak tertarik dengan yang terjadi di Turki yaitu adanya pemisahan agama dan negara yang pada gilirannya posisi Islam terletak pada titik subordinat, jika tidak boleh dikatakan dikikis sama sekali. Al-Maududi menulis teori-teori politiknya dilatari penolakan terhadap teori-teori politik Barat dan memberi label Islam kepada sistem yang dirumuskannya. Persoalan inilah yang membuat Al-Maududi sangat berlawanan dengan kalangan sekuler, karena dia sangat anti terhadap sekularisme, oleh karena itulah Al-Maududi mendukung berdirinya negara Islam. Kelompok yang menginginkan formalisasi Islam dalam bentuk formal dimana menyatunya agama dan negara beranggapan bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh dari Nabi, yang pada saat bersamaan bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin komunitas politik. Dipertahankannya institusi kekhalifahan juga didasarkan atas keyakinan bahwa kekuasaan agama dan politik harus digabungkan dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat bisa diterapkan dan kominitas muslim terlindungi. Adnin Armas menyatakan bahwa sekularisasi akan menggiring kepada sekularisme, sebuah ideologi yang mengeyampingkan peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana yang dikutif Adnin Armas dari Syed
21
Vaezi, Agama Politik, h. 10.
xxxix
Muhammmad Naquib al-Attas bahwa sekularisasi tidaklah sesuai dengan agama Islam yang final dan otentik. Menurutnya sumber asli Islam adalah wahyu dan bukan Budaya. Substansi Islam seperti iman dan amal, ibadah serta aqidah diberi oleh wahyu dan diterjemahkan serta ditunjukkan oleh Rasulallah dalam perkataan dan perbuatannya bukan tradisi dan budaya22. Sementara Syamsudin Arif mengatakan bahwa sekularisme sebagai ideologi, pada dasarnya memang tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan agama. Dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk kepentingan politik sehingga kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat dan tak terpisahkan.23
B. Paradigma Islam Substantif Kelompok ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat system kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.24 Jenis pemikiran ini sebagaimana dikatakan Bachtiar Efendi, adalah sebagai pikiran yang tengah-tengah25 yang mampu sebagai penengah antara pemikiran
22
Adnin Armas dalam “ Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox”, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 32. 23 Syamsudi Arif, Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama. Dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, h. 42. 24 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2 25 Efendi, Jalan Tengah Politik Islam, h. 9.
xl
sekuler dan pemikiran teokrasi. Perhatian utama dari kelompok ini adalah bahwa meskipun Islam meliputi nilai-nilai dan ide-ide tertentu, namun hal itu tidak serta merta menggabungkan spritualitas dan politik. Sehingga mereka tidak menentukan secara spesifik suatu bentuk pemerintahan. Mereka percaya bahwa politik dan agama merupakan persoalan yang berbeda. Tetapi, antara keduanya tidak mesti harus dihubungkan atau dipisahkan. Secara legal-formal dan simbolik barangkali antara Islam dan politik tidak selamanya bisa diterima. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak mewajibkan pengikutnya dengan cara apapun untuk mewujudkan ide-idenya dalam ranah politik. Mereka berusaha menunjukkan bahwa Islam tidak mempunyai hubungan dengan politik dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin spritualitas dan bukanlah sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian, secara substansial keduanya sulit untuk dipisahkan. Menjadi sekuler, dalam pengertian yang sebenarnya bukan perkara gampang-kalau tidak bisa sama sekali. Selalu saja terdapat nilai-nilai yang akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik. Termasuk dalam hal ini nilai-nilai agama.26 Aliran dan model pemikiran yang kedua ini lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis
itu
(dengan
menekankan
nilai-nilai
keadilan,
persamaan,
musayawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.
26
Ibid., h.10
xli
Refleksi kaum substansialis dalam bidang politik, pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.27 Pandangan mereka tersebut tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Kalangan subtantif cenderung menginginkan Islam sebagai dasar etik dalam mengatur kehidupan masyarakat, tanpa harus terlibat jauh dalam formalisasi. Bagi mereka, bentuk negara dan institusi politik dalam pandangan Islam bukanlah bagian dari dogma agama, sehingga bersifat sakral. Tentang negara Islam pandangan kelompok ini mengakui bahwa Nabi memang telah membentuk tertib politik sesudah migrasi nya ke Madinah. Akan tetapi, mereka tetap bersikeras bahwa ini bukan merupakan hubungan intrinsik antara Islam dan politik. Timbulnya otoritas Nabi di Madinah dianggap sedikit banyak sebagai event historis, suatu situasi khusus dimana keadaan sosial politik mendorong kearah itu, dan bukan merupakan suatu tugas agama yang termasuk dalam wahyu Ilahi. Kemudian bentuk perjuangan terhadap berlakunya syari’at Islam, paradigma Substantif-Inklusifistik lebih cenderung pada sistem kulturalisasi, biarkan berjalan mengikuti keinginan masyarakat, bukannya pemaksaan melalui pensisteman sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum simbolik formalistik. Lebih jelasnya lagi kalau paradigma Substantif Inklusif menggunakan cara Battom Up, berangkat dari perspektif masyarakat, sedangkan paradigma simbolik
27
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 155.
xlii
formalistik bersifat Top Down, pemaksaan dari atas ke bawah melalui sistem negara. Nurcholis Madjid sebagaimana yang dijelskan oleh Fachri Ali bahwa Islam yang dimaksudkan itu adalah sebuah ajaran teologis dimana artikulasinya tidaklah harus selalau dibatasi oleh sekat-sekat kelembagaan dan peraturan formal yang mengedepankan label Islam. Sehingga Islam menyatu dalam nilai-nilai masyarakat umum. Dalam hal ini Nurcholis Madjid tidak melepaskan nilai-nilai Islam dalam dirinya, melainkan lebih mengarahkan pengejawantahannya kepada sesuatu yang lebih substansial dan kualitatif: pengembangan etika publik berdasarkan nilai-nilai Islam. Nilai Islam yang dapat berlaku pada dataran nasioanal itu hanyalah nilai Islam yang bisa dan orang Islam sanggup merumuskannya secara universal dan dan inklusif. Karena itu orang tidak berbicara tentang negara Islam lagi. Negara Islam itu ekslusif tidak inklusif dan merupakan penemuan manusia.28 Ia mencontohkan bahwa dulu waktu zaman Umayyah dan Abbasiyah tidak ada ekspresi seperti itu. Negara Umayyah disebut daulah Umayyah, zaman Abbasiyah disebut
Daulah Abbasiyah. Tidak mungkin
mengatakan daulah
Umayyah dan Abbasiyah itu lepas dari Islam. Sampai sekarang pun ahli sejarah mengatakan bahwa Daulah Umayyah dan Abbasiyah itu dijiwai oleh Islam atau dikatakan negara Islam tapi dalam makna negara yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Kemudian Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa orang Islam sekarang berbicara tentang keadilan, persamaan antar manusia, hak pribadi, yang semuanya ada dalam ajaran Islam namun inklusif dan inilah substansi dari ajaran Islam. 28
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. 173.
xliii
Sebagaimana orientasi yang digunakan oleh paradigma Substantif-inklusif, bahwa urusan agama biarlah berjalan secara kultural, maka yang bertugas menjaga keberlangsungan syari’at Islam adalah umat Islam itu sendiri, terutama para ulamanya. Hal ini kenapa ? karena agama adalah penghayatan jiwa, dan Antara orang satu dengan lainnya berbeda pengalaman dalam merasakannya. Maka orang yang lebih mengerti keadaan sebagimana tadi adalah orang itu sendiri dan ulamanya, bukan orang lain, apalagi negara, selain ia tidak bertatap muka secara langsung dengan masyarakat juga didalamnya sarat dengan kepentingan individu dan golongan. Kemudian tugas pemerintah disini adalah hanya sebagai penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Dengan kata lain negara hanya mengurus Sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan publik saja, bukan ikut campur dalam masalah prifat. Dukungan negara bukan saja terasa anakronis, tapi juga salah arah. Negara tidak berhak menelusup masuk ke dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dengan kata lain, negara tak berhak mengintervensi kehidupan keagamaan seseorang. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah menciptakan suatu format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format kewargaan
yang
inklusif
(inclusive
citizenship)
tanpa
menelikung
ajaran-ajaran normatif suatu agama. Dan itu sulit terwujud jika pemeluk agama hanya puas menerapkan hal-hal simbolik dan menafikan hal-hal substansial yang menjadi inti (core) agama. Ketika Nurcholis Madjid memberi perumpamaan Pancasila, bahwa Pancasila bukanlah Islam namun konsep musyawarah yang ada dalam butir
xliv
Pancasila sudah melambangkan dan mengedapankan nilai-nilai Islam. Sementara musyawarah bukanlah hanya ajaran Islam bahkan orang selain Islam juga mengakui musyawarah sehingga tanpa pun musywarah diberi label Islam, hal itu sudah mencerminkan etika Islam. Inilah yang dimaksud Nurcholis Madjid Islam yang hadir dan diterima Publik. Nurcholis Madjid menyesali kecenderungan mereduksi Islam hanya pada tata cara ibadah. Tetapi hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana Islam dalam konteks substansialisasi artikulasi ajaran-ajarannya. Memberikan makna yang lebih luas dan dinikmati secara maknai bukan hanya oleh kalangan Islam sendiri. Sehingga Islam benar-benar mempunyai fungsi dan peran dalam sebuah konsep Rahmat-an lil alamin dan inilah yang menjadi kunci dari pemikirannya.29 Caknur ingin membebaskan pengertian Islam dari penjara-penjara partikularisme. Karena akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang berawal dari pemaksaan generalisasi. Maka dalam konteks pemikirannya, satusatunya jalan membebaskan Islam dari sifatnya yang partikularistik itu adalah dengan mengembalikan fungsi dan peran Islam kepada konteks universal dan abadi: Rahmata-an lil alamin. Semangat universalisme memfokuskan perhatian pada masalah-masalah yang menjadi agenda manusia secara universal tanpa tapal batas agama dan budaya.30 Bagi Caknur bahwa corak-corak pemikiran yang bersifat partikularistik itu adalah bersifat nisbi dan tak harus dimutlakkkan. Pemutlakan pemikiranpemikran dan lembaga-lembaga itu bukan saja bersifat kontraproduktif dalam
29
Pengantar Fachri Ali dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi NilaiNilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Paramadina: Jakarta, 1998), h. xxxix. 30 Ibid., h. xi.
xlv
kehidupan riil tapi juga sangat sulit menyesuaikan diri dalam kehidupan yang sesunguhnya yang sangat dinamis. Nurcholis Madjid melihat bahwa pemutlakan pemikiran dan lembaga tersebut sangat bahaya karena akan menimbulkan ideologisasai agama yang menghambat
inklusivitas
Islam
sehingga
akan
menghambat
percepatan
perkembangan dan penerimaan publik terhadap Islam. Gagasan politik dan negara berlabel Islam merupakan representasi paling nyata dari sifat partikularistik Islam. Sebagaimana dijelaskan Fachry Ali bahwa pendirian negara Islam lebih merupakan respons sosiologis dalam struktur kejadian sosial politik. Apakah lantas apa yang disampaikan dan dijabarkan Caknur keluar dari nilai-nilai Islam dan beranjak dari pemikiran sekuler? Fachri Ali menjelaskan bahwa partisipasi Caknur dalam menyumbangkan pikiran dan kritik-kritiknya terhadap dunia politik Indonesia, tidaklah beranjak dari kesadaran sekular, melainkan merupakan perwujudan dan konsekuensi logis dari persepsi keislamannya sendiri.31 Republik Mesir, Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan Konstitusional Malaysia, dan Demokrasi Indonesia adalah varian-varian negara Islam modern. Kebebasan beragama, toleransi, anti-diskriminasi, penegakan hukum, keadilan dan HAM adalah partikular dari maqhasidus syariah inilah sesungguhnya secara substansial dengan nilai-nilai Islam. Azyumardi dalam buku "Islam Substantif Agar Umat Tidak Menjadi Buih" menuliskan, politik Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku karena pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif. Jadi, katanya,
31
Ibid., h. xivi.
xlvi
apabila Islam mau berperan dalam politik, perannya adalah pesan substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol.32 Kesimpulannya, hal yang diinginkan oleh golongan Substantif-Inklusif dalam hubungan agama dengan negara adalah bagaimana antara ulama dan pemerintah (agama dan negara) bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurus bagaimana moral umat/rakyat baik, kemudian pemerintah mengurus dan
mengupayakan
tentang
bagaimana
kesejahteraan,
ketentraman
dan
perdamaian rakyat bisa tercapai. Dalam Islam, etika menjadi acuan bagi politik dan segala bentuk aturan tingkah laku politik yang diambil dari norma-norma etika Islam. Dengan demikian, perhatian utama politik, yakni usaha mengkontrol struktur Negara, meraih kekuasaan untuk kebaikan, menyapu bersih keburukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik, semuanya relevan dan dianjurkan oleh Islam.33 Islam memberikan
perhatian
penting
terhadap
aktivitas-aktivitas
ini,
yang
membedakannya dengan yang lain adalah bahwa kehidupan politik harus ditempatkan dalam kerangka kehidupan keagamaan dan spiritual yang lebih luas.
C. Paradigma Sekuler Kata sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagai cara dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara
32
Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan, 2000), h. 145. 33 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati (Bandung, Pustaka, 2001), h. 25
xlvii
Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan antara gereja dan negara. Masalah yang cukup menyita perhatian kaum Muslimin saat ini adalah masalah hubungan agama dan negara. Masalah ini menjadi mendesak disebabkan oleh munculnya negara-negara bangsa (Nation State) dan berhembusnya semangat sekularisme yang dibawa oleh Barat modern. Modernisasi dunia Islam dimulai pada abad ke -19. Berbagai perlawanan yang dilakukan untuk menandingi Barat dimulai pertama kali oleh kekhalifahan Usmani dibawah pimpinan sultan Mahmud II (1808- 1839). Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah
rangka
yang
netral
dalam
masalah
kepercayaan
serta
tidak
menganakemaskan sebuah agama tertentu34. Pemikiran tentang sekulerisasi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Harvey Cox dalam bukunya yang berjudul The secular City. Sehingga gagasan sekuler nya tampak lebih popular dan terformulasi dengan lebih sistematis. Harvey Cox berpendapat sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his
34
Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008
xlviii
attention away from other worlds and toward this one)35. Harvey Cox menegaskan bahwa sekularisasi membebaskan masyarakat dari kontrol agama dan pandangan alam metafisik. Di dunia Islam sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah menjadi paradigma, ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan digarap secara sistematis dan terencana. Sekularissai dianggap sebagai prasyarat transformasi masyarakat tradisional menjadi modern. Pendukung arus sekular menyuguhkan analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi.36 Dalam istilah politik, sekulerisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.37 Sekulerisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkanm peranan utama dalam Peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekulerisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan. Dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik 35
Dikutip dari Adnin Armas dalam tulisannya Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox, dalam sebuah Jurnal Islamia, Melacak Akar Peradaban Barat, Vol. III No. 2, hal. 28. 36 Vaezi, Agama Politik, hal. 3. 37 Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008
xlix
atau pemerinthan. Pola pemisahan agama dan negara ini, menolak eksistensi “negara agama”, juga kaitan hukum keagamaan. Pandangan An-Naim tentang sekuler, memang harus ada pemisahan antara negara dan agama supaya dapat dijalankan oleh pemeluknya dengan suka rela tanpa ada paksaan dari negara. Namun dalam pengertian sekulernya An-Naim mendefinisikannya sebagai netralitas negara terhadap semua agama, sebagai kerangka untuk mengatur peran politik agama, dan bukan sebagai alat untuk meminggirkan agama dari domain publik.38 Islam tidak mempunyai sistem politik, dan apa yang dilakukan Nabi saw pada masanya tidak bisa disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam klasik. Bagi mereka kegagalan dunia Islam di dalam membangun sistem politik modern, termasuk yang bertumpu pada demokrasi, diakibatkan oleh ketidak mampuan melihat dan memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas yang berbeda dan terpisah. Dalam sejarah Islam, pandangan seperti ini sering diasosiakan dengan praktik politik Ataturkisme atau Kemalisme di Turki. Atau sering juga dirujukkan kepada pemikiran-pemikiran Ali ibn Abd Raziq, pemikir Mesir pada dasawarsa 1920-an. Ali Abd Al-Raziq ( 1888-1966), seorang syaikh di Universitas al-Azhar Kairo Mesir, telah memicu kontroversi yang meledak pada tahun 1952 ketika bukunya, Al-Islam wa-Ushul Al-Hukm ( Islam dan Akar Pemerintahan), menyatakan bahwa kekuasaan Agama dan administratif Nabi adalah terpisah. Pemerintahan Muhammad atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari
38
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan masa depan syariah. Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 436
l
misi kenabiannya, dan para penerusnya, para khalifah hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya. Ia mengklaim bahwa khalifah tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijma’ ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang sistem pengaturan dan pengelolaan negara. Baginya Muhammad hanyalah seorang Nabi, bukan penguasa. Ia Cuma ditugaskan untuk mengajarkan akhlak dan agama, bukan politik dan tata negara. Oleh karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain tidak ada sangkut pautnya dan karena itu tidak perlu dikaitkan dengan agama. Ali Abd Al-Raziq berargumen bahwa Nabi adalah pembawa misi agama, ia tidak mempunyai sebuah pemerintahan dan juga tidak berusaha mendirikan sebuah kerajaan dalam arti politik atau semacamnya. Sehingga ia berpendapat bahwa upaya pendirian sebuah pemerintahan tidak dipandang sebagai bagian dari ajaran Islam. Penulis Pakistan Qamaruddin Khan, telah berpendapat bahwa teori politik Islam tidak muncul dari Al-Qur’an tetapi dari keadaan dan bahwa negara bukanlah merupakan hal yang dipaksakan secara ilahiyah ataupun yang sangat dibutuhkan sebagai sebuah institusi sosial. Konstitusi muslim bersifat fleksibel dan tidak semestinya menjadi institusi yang kaku dan tidak dapat dipertahankan secara intelektual sebagaimana yang sudah terjadi. Ia telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo politik di dalam masyarakat muslim. Menurut Al-Jabiri pertanyaan apakah Islam itu agama atau negara adalah merupakan sebuah pertanyaan palsu karena tidak memantulkan realitas kaum
li
Muslimin itu sendiri. Kemudian Al-Jabiri menjelaskan bahwa jika kita mau jujur menalaah Al-Qur’an dan sejarah Islam, maka kita akan menemukan dengan jelas fakta-fakta yang menunjukkan dengan jelas bahwa Islam sama sekali tidak menentukan jenis dan bentuk negara. Masalah negara adalah merupakan sebuah ijtihad. Singkatnya masalah negara menurut Al-Jabiri adalah masalah yang tergolong pada apa yang dikatakan Nabi bahwa kamu lebih tahu tentang urusan dunia mu. Lebih jauh Al-Jabiri mengatakan: Sesungguhnya bentuk negara dalam Islam bukanlah termasuk hal-hal yang diatur dalam Islam. Ia termasuk masalah yang diserahkan kepada kaum muslimin agar mereka berijtihad sesuai dengan pertimbangan manfaat dan kemaslahatan serta berbagai standar yang ada pada setiap zaman. Karena itu mengatakan bahwa Islam agama sekuler menurut saya sama salahnya dengan mengatakan bahwa Islam bukan agama sekuler karena sekularisme dalam arti memisahkan agama dari negara tidak dikenal dalam Islam karena tidak ada gereja dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan adalah terpisahnya ulama dari umara, tentara dari rakyat, yakni apa yang kita sebut sekarang sebagai pemisahan agama dari politik dan tiadanya izin bagi tentara untuk terlibat dalam partai-partai politik, maka inilah yang secara aktual telah terjadi sejak muawiyah, dan inilah yang membentuk bagian terbesar dari pengalaman historis umat Islam.39 Dalam pengertian Amien Rais bahwa sekularisme
merupakan suatu
ideologi ataupun paham hidup yang mengajarkan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan masalah subyektif setiap individu yang hanya bermanfaat 39
Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Penerjemah Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 19
lii
untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan.40 Para pendukung sekularisme berpendirian bahwa agama harus sama sekali terpisah dari urusan-urusan dunia. Dalam pandangan mereka, konsep negara agama merupakan sebuah konsep yang sudah usang dan tertinggal dan hanya terbatas pada zaman dimana manusia masih miskin ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur tertib sosialnya, sehingga mereka memerlukan agama dalam mengatur hubungan-hubungan antara mereka dalam masalah hukum, ekonomi, politik ,dan kebudayaan. Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama. Dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban
mendirikan
negara,
namun
tidak
pula
mewajibkan
untuk
mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslim.41 Para pemburu sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi.42 Mereka menitikberatkan pandangan mereka pada sebuah konsep rasionalitas. Rasionalitas sekuler beranggapan bahwa intelektual manusia sanggup untuk membentuk pengetahuannya sendiri tanpa bantuan wahyu. Oleh karena itu manusia mampu membangun ilmu pengetahuan alam, humaniora, filsafat, hukum dan lain-lain tanpa bantuan Tuhan ataupun agama. Hal inilah yang menyebabkan cara berpikir sekuler hanya menyisakan sedikit ruang untuk agama. Sehingga pemikiran seperti ini telah membatasi peran agama sebagai hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya,
40
Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Mizan: Bandung, 1998), hal. 75. 41 Al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, h. 19. 42 Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 8.
liii
tanpa harus turut campur dalam masalah tertib sosial dan politik. Hal ini disebabkan karena hubungan sosial merupakan bagian dari urusan manusia bukan urusan wahyu. Pemisahan agama dari politik hanyalah salah satu bagian saja dari sekularisme. Menurut mereka, pemisahan agama bukan hanya dari poltik saja, tetapi juga dari etika, seni, hukum, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu mereka tidak hanya mendukung negara sekuler, tapi juga hukum sekuler, kebudayaan sekuler, ilmu pengetahuan sekuler dan seterrusnya.43 Anggapan tentang penyatuan agama dan politik, din wa-daulah, adalah tidak berguna karena tiga alasan:44 Pertama, ia melebihkan keunikan politik muslim. Karena menurutnya agama jelas merupakan hal yang sentral bagi kehidupan politik rakyat di seluruh dunia, bukan hanya bagi kaum muslimin. Kedua, tekanan pada din wa-daulah secara tidak sengaja mengabadikan asumsi para orientalis bahwa politik Muslim, tidak seperti politik yang lain, tidak dibimbing oleh perhitungan rasional berbasis kepentingan. Akibatnya, disebabkan oleh selalu terlibatnya agama, Muslim lalu dianggap terlalu bernafsu, tak terkendali, tak kenal kompromi, dan tak mungkin untuk diajak bernegosiasi. Ketiga, asumsi din wa-daulah ikut menyumbang pandangan bahwa politik merupakan sebuah jaring tak berjahit, yang bagian-bagiannya tidak dapat dibedakan karena adanya interpenetrasi yang alami dan mutual antara agama dan politik. Karena Islam dianggap memasukkan semua aspek kehidupan dan segala sesuatu lalu diasumsikan bersifat politis, maka struktur politik menjadi teremehkan. 43
Vaezi, Agama Politik, hal. 13. Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hal. 71. 44
liv
Turki sebagai salah satu contoh negara sekuler, apakah bentuk negara sekuler mereka yang digagas Mustafa Kemal Ataturk sejak 1920an dapat dijadikan salah satu model terbaik dari penerapan sekularisme? Meskipun dalam banyak hal, banyak yang setuju dengan penerapan sekularisme di Turki. Namun, untuk persoalan larangan mengenakan hijab (atau jilbab) bagi mahasiswi di universitas, banyak muslim lainnya sangat tidak sepakat. Negara paling sekuler pun harus tetap menjamin kebebasan menjalankan keyakinan agama bagi setiap warga negaranya. Dalam hal ini, negara tidak perlu mencampuri keinginan warga negaranya dalam menjalankan syariat agama mereka masing-masing, termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, kalung salib, dan lain lain. Ini seharusnya menjadi bagian terpenting dalam penerapan sekularisme, yaitu jaminan atas kebebasan dan hak individu. Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, sebagai ajaran suci, Syariah haruslah dilaksanakan setiap Muslim secara sukarela. Karena itu, penerapannya oleh negara secara formal dan paksa dalam bentuk formalisasi syariah akan membuat ia kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Na'im dengan tegas menolak formalitas syariah Islam yang dipaksakan oleh negara. Sebaliknya, penerapan syariah harus sukarela agar bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam sendiri. Na'im juga menuturkan, harus ada pemisahan agama dan negara. Negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. "Syariah harusnya menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap kebijakan negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang memihak kepada Islam saja. An-Na'im menawarkan pandangan jalan tengah
lv
antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya. Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan.45 Menurut An-Naim pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa Islam menurunkan Islam ke level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undangundang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama.46 Syariah Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariah karena upaya memformalkan syariah sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia kehilangan otoritas dan kesuciannya. Namun betapa pun, dia yakin bahwa Islam tak dapat dislenggarakan oleh negara, juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan publik masyarakat-masyarakat Islam.47
45
Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Na'im di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http://groups.yahoo.com/group/telaga_hikmah/message. html. 46 47
An-Naim, Islam dan Negara Sekuler, h. 212. Ibid., h. 78
lvi
BAB IV PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM A. Islam, Politik dan Negara Subyek kajian Islam, politik, dan negara memang belum mencapai finalnya di antara kalangan politikus Muslim, intelektual Muslim dan beberapa tokoh lainnya serta masih menyelimuti perdebatan yang mendalam tentang bagaimana idealnya hubungan antara Islam, politik, dan negara. Antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lain sudah mencerminkan perbedaan yang sangat mencolok. Penerapan syariah Islam masih terus menjadi perdebatan. Sejumlah kalangan menganggap syariah perlu diadopsi secara resmi dan diterapkan oleh negara. Kalangan lainnya, menilai syariah cukup dijalankan secara individual maupun komunal. Memang Keterkaitan antara Islam dan politik sudah berlangsung sejak masa awal Islam. Bahkan, ketika pertama kali Islam didakwahkan, nuansa-nuansa politik sudah menyertai perjalanan agama yang dibawa Nabi Muhammad ini. Baik mereka yang sejak awal menerima Islam dan karenanya berkewajiban untuk membelanya atau mereka yang pada mulanya menolak Islam dan kerenanya ingin menghentikanya- sama-sama mengambil langkah yang bersifat politik. Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam bukunya Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini yang diterjemahkan dari judul aslinya The History of Islamic Political
lvii
Though: From the Prophet to the Present terbitan Edinburgh University Press, 2001, menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.48 Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir Muslim yang menginginkan pemisahan Islam, politik, dan negara sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam, politik, dan negara sebagai pemikiran Islam politik. Sebagaimana sudah dijelaskan di Bab III, bahwa setidaknya ada tiga paradigma dalam menjawab hubungan Islam, politik, dan negara oleh karena itu melalui paradigma ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.49 Dalam Bab ini penulis mencoba mendsikripsikan pandangan salah satu intelektual muslim yaitu Abdullahi Ahmed An-Na’im sebagai salah seorang guru besar di Emory Law University, Atlanta, Amerika Serikat yang konsen membicarakan tentang subyek tersebut. Abdullahi Ahmed An-Na’im sendiri menyatakan sebaiknya syariat diterapkan oleh umat Islam tanpa harus melalui sebuah penerapan yang dilegalkan oleh negara. Ia bahkan menyatakan, tak diformalkannya syariah akan menjadikan umat Islam lebih baik. Karena pelaksanaannya, didasari oleh kesadaran umat 48
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullahi Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), h. 17-25 49 Istilah politik Islam sering digunakan untuk sebutan gerakan Islam kultural tanpa menjadikan Islam sebagai sebuah idologi sementara Islam politik sering diistilahkan dengan Islam struktural yang menghendaki Islam sebagai sebuah Ideologi.
lviii
Islam sendiri bukan karena paksaan negara.50 Menurut dia, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina lembaga, dan berhubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundangan- perundangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis51. Namun, prinsip-prinsip atau aturanaturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah, dan apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam. Intinya, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Abdul Rasyid Moten tentang sekularisme dunia ketiga ketika mengutip argumen Gajendragadkar bahwa sekularis bukan berarti hilangnya agama dalam arena umum. Sekularisme semata-mata berarti kenetralan negara dari agama, yang
50
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 16 51 Ibid.,h. 15
lix
kemudian diinterpretasikan, sebagai kesempatan bagi semua agama untuk melindungi negara dan berpartisipasi dalam urusan-urusan umum52. Modernis Fazlurrahman yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan agama telah bersifat merusak. Dia menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elit politik. Hasilnya adalah politik “hasutan omong kosong”, bukannya politik yang terilhami oleh moral53. Slogan agama dan politik dalam Islam tak terpisahkan kadang-kadang hanya dipergunakan untuk menipu orang-orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, tetapi pada kenyataannya bahwa Islam justru hanya dijadikan untuk melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik. Nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etikmoral keagamaan. Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, mempercayai, atau menindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organya.54 Ide negara Islam menurut An-Naim merupakan suatu yang kontradiktif. Negara adalah institusi politik. Islamic state adalah suatu kontradiksi. Istilah Islamic di situ menurutnya digunakan secara ceroboh. Jadi gagasan itu merupakan suatu gagasan yang sangat tidak koheren. Itu adalah suatu kesalahan sejarah. Ide negara Islam adalah suatu ide pasca-kolonial. Ini bukan ide yang muncul dari sejarah Islam. Negara adalah institusi politik dan birokratik dengan suatu hierarki
52
Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati ( Bandung: Pustaka, 2001), h. 7 53 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 68 54 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 28.
lx
dan kekuasaan yang ekspansif yang mengontrol hampir semua aspek kehidupan kita, terlepas dari apakah kita menyukai hal ini atau tidak. Syariah adalah sistem norma dalam Islam. Otoritasnya adalah religius dan bukan sekular. Dalam arti ia tidak ada dalam wewenang negara. Dengan kata lain, negara menyimpang jika ia menerapkan syariah. Menurut An-Na’im, bahwa mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara55. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut An-Na’im sebagai netralitas negara terhadap agama. Azyumardi Menjelaskan bahwa alasan AnNa’im ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun, baik sebagai mayoritas maupun minoritas-dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian dari kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara.56 Menurut saya, saya membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan57. 55
Ibid., h. 18 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli 2007. 57 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari http://apri23.multiply.com/journal/item/7/ Buat_Pak_PeAceMan_Tuh_Kan_Pak.An_Naim_Liberal_Abiss. html 56
lxi
Negara sekular adalah negara yang netral dalam hal doktrin-doktrin keagamaan. Dia tidak berpihak pada agama tertentu. Dia juga tidak mendukung atau memusuhi agama tertentu. Kenetralan negara dalam hal doktrin keagamaan inilah yang membuat agama mungkin berkembang dalam masyarakat. Karena hanya masyarakat yang merupakan tempat di mana agama bisa berkembang dan berada58. Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu. An-Na’im hanya ingin menjelaskan bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan peraturan dan hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara dan memisahkannya secara kelembagaan dari agama. Kemudian Azyumardi dalam tulisannya tentang An-Na’im itu melanjutkan bahwa negara tetap tidak bisa dihindari dari kepentingan politik masyarakat yang tinggal dalam sebuaha negara. Ungkapan itu dikutif sebagai berikut: Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis AnNa’im, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu.59
58 Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Naim di Freedom Institute, Rabu 1 Agustus 2007. Daikses pada tanggal 27 April 2008 dari http://www.freedom-institute.org. 59
html
Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,”
lxii
Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu, tegas An-Na’im. Alasan utama lainnya menurut An-Na’im untuk menekankan pentingnya netralitas negara atas agama karena hal itu merupakan syarat mutlak pemenuhan ajaran-ajaran Islam dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan bagi setiap individu muslim. Ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau perundang-undangan
yang
bersumber
dari
agama
atau
keyakinnanya,
sebagaimana seluruh warga negara memiliki hak yang sama, mereka harus mendahulukan nalar public ( public reason ). Nalar publik adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijkan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran warga yang pada umumya bisa menerima atau menolak60. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan dan motivasi personal, mutlak adanya bagi kaum muslim, baik sebagai penduduk mayoritas atau minoritas, karena sekalipun muslim sebagai mayoritas mereka tidak lantas bersepakat terhadap kabijakan dan perundang-undangan yang cocok dengan kayakinan Islam mereka. Keseluruhan proses formulasi dan implementasi kebijakan dan perundang-undangan publik tunduk kepada kesalahan dan kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persolan kebijakan dan perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka.
60
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 22-23
lxiii
Baginya, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Tapi Islam harus dipisahkan dari negara. Sebab negara adalah produk politik dan Islam adalah produk Tuhan. Dan sebagai Muslim, mereka akan berperilaku secara politik sebagai seorang yang beriman dan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan publik. Namun sebagai produk politik, negara harus dipisahkan dari Islam. Pernyataan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan bukan hanya pernyataan menyangkut Islam, tapi itu berkaitan dengan semua agama. Semua agama bisa mengklaim hal yang serupa. Sifat agama menjadikan orang yang beriman akan bertindak secara politik sebagai orang yang beriman. Perilaku orang beriman akan diresapi dengan keyakinan-keyakinan keagamaan mereka. Di samping itu, negara menurutnya adalah institusi politik, warganya diperlakukan setara. Jadi ide negara syariah berarti mengesampingkan kemungkinan perlakuan yang sama terhadap warga negara. Dalam sistem negara sekular, dalam pandangannya bahwa kita tidak bisa melakukan diskriminasi terhadap warga non-Muslim atau kepada warga yang Muslim seperti yang ada dalam sistem syariah. Gerakan syariah adalah tren yang berbahaya. Sebab apa yang diharamkan (illegitimate) dan dianggap salah, hanya didasarkan dari sudut pandang Islam. Inilah yang dimaksud An-Na’im bahwa negara syariah jelas melanggar HAM internasional, seperti yang disuarakannya dalam artikelartikelnya. Penegasan An-Na’im bahwa pemisahan Islam dan negara bukan berarti tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijkan publik, perundang-undangan atau kehidupan publik secara umum, tapi peran itu harus didukung oleh apa yang disebut Nalar Publik, dan harus tunduk kepada prisai-prisai konstitusonal serta
lxiv
perlindungan hak-hak asasi manusia. Karena menurut An-Na’im bahwa tuntutan pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah realistis dan menyesatkan.61 Dalam sebuah wawancara
Fathiyah Wardah Alatas
dengan An-Na’im, ketika
ditanya apakah negara mayoritas muslim harus melaksanakan hukum syariah? An-Na’im menjawab bahwa: Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah62. Menurut pendapat saya bahwa pelaksanaan syariat Islam berdasarkan kesadaran umat Islam itu sendiri sebagaimana yang dimaksud An-Na’im, secara teori benar tetapi realitasnya sulit dilaksanakan dan bahkan Islam akan terus meredup, tidak berpengaruh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peran ulama dalam memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat agar tidak menyalahi dan menyelewengkan ajaran Islam (syariat) sehingga masyarakat tidak hanya memahami atau melaksanakan ajaran Islam berdasarkan kemauannya sendiri. Pemisahan Islam dari negara harus dilakukan demi menjaga netralitas negara terhadap ajaran agama lain, tetapi bukan menghilangkan peran ulama dalam masyarakat Islam.
B. Islam dan HAM
61
Ibid., h. 62
62 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com
lxv
Manusia pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, hakhak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Tujuan utama HAM bagi An-Na’im adalah untuk meyakinkan perlindungan yang efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak semua manusia di mana pun berada, termasuk di negara yang tidak menjamin keberadaan hak itu dalam undang-undang dasar63. Sehingga bagaimanapun dan dalam bentuk apa pun bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia tetap menjadi hak setiap manusia. Deklarasi HAM bertujuan melindungi keluhuran manusia dan menaikkan taraf kesejahteraannya di manapun berkat universalitas nilai moral dan politik yang dikandungnya. Dengan universalitsas yang dikandungnya, maka setiap kekuasaan hukum dan konstitusi di sebuah negara bertugas untuk melindunginya. HAM mengatur hubungan antar individu dan semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang lain. Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat. Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.
63
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 179
lxvi
Melalui deklarasi universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Islam sebagai agama, pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, Islam pun mengatur mengenai hak asasi manusia. Harmonisasi antara tradisi Islam dan konsep HAM modern adalah sesuatu yang niscaya, sehingga hukum Islam pra-modern yang menghambat kemungkinan itu haruslah ditafsir ulang64. Mereka yang mendukung gagasan HAM menegaskan bahwa hukum-hukum (Islam pra-modern) itu adalah rumusan manusia, karena itu perumusannya kembali bukan saja tidak boleh, bahkan diperlukan. Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu65. Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hak asasi manusia, hal ini terbukti dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagai cara. 64
Budhy Munawar Rahman, “HAM dan Persoalan Relativitas Budaya” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara & Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 471 65 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004), h. 91
lxvii
Menurut Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, setidaknya ada tiga hal yang membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.66 Pertama, dalam al-Qur’an memang tidak dipaksakan untuk memeluk agama Islam dan “dibebaskan untuk tidak beragama.” Seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 29 yang berarti : “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa ingin beriman, hendaklah ia beriman. Barangsiapa ingin kafir, biarlah ia kafir.” Kedua, model masyarakat yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui piagam Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam tersebut setiap masyarakat Madinah dibolehkan menganut agama masing-masing dan tidak mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para sarjana memandang bahwa piagam ini merupakan teks sebagai pengakuan Hak Asasi Manusia. Walaupun kemudian teks ini dilanggar oleh kelompok non-Muslim, namun harus diakui sumbangsih Islam terhadap cetak biru HAM di muka bumi ini. Sebab teks-teks tentang HAM di barat mulai dikenal pada abad ke-13 dengan munculnya Magna Charta (1215). Ketiga, dalam Islam dikenal 5 prinsip hak asasi manusia yang seringkali kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih: a) Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup; b) Hak perlindungan keyakinan; c) Hak perlindungan terhadap akal pikiran; d) Hak perlindungan terhadap hak milik; e) Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.67 Lima prinsip inilah yang selalu menjadi nafas dalam pengkajian hukum Islam. Artinya semua ketentuan hukum harus berlandaskan lima prinsip tersebut.
66
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 105 67
Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (ed.), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67.
lxviii
Rasulallah Muhammad SAW mengatur perlindungan hak-hak sipil golongan Islam dan non-Muslim dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah suatu aturan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika Ia masuk ke Madinah setelah meninggalkan Makkah. Inilah sebuah piagam yang memberikan jaminan kesetaraan hidup beragama. Tidak ada pemaksaan hidup beragama. Dengan Piagam Madinah, warga setempat merasakan keadilan hidup beragama, dapat menjalankan ajaran agama yang memberdayakan, yang menjamin integrasi bangsa, yang menjamin adanya pluralitas atau kemajemukan bangsa, yang menjamin kemajuan bagi semua. Tak ada eksploitasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Hukum Islam, syari’ah, memiliki reputasi yang buruk – terutama di Barat, dan juga dibeberapa negara Muslim sekuler. Ia dianggap sebagai sebuah konsep yang merepresi perempuan, melanggar hak asasi manusia, dan terbelakang. Namun Abdullah An-Na’im, professor ilmu hukum pada Emory University di Atlanta, Amerika Serikat mengatakan bahwa para fundamentalis memang memahami konsep syari’ah secara lain. Menurutnya syari’ah justru memiliki segi positif dan masa depan. Menurut cendekiawan muslim dan aktivis yang pernah diusir dari negaranya, Sudan, karena prinsipnya tentang penegakan HAM, prinsip dan nilai-nilai HAM sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar terlindungi diri secara pribadi dan masyarakat dari kesewenang-wenangan kekuasaan.68 Pakar hukum Islam asal Sudan ini, Abdullah Ahmed An-Na’im menegaskan, semangat hukum Islam tidak berbeda dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia berpendapat masalah HAM dan syari’ah lebih baik dipahami dengan
68
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 17
lxix
menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas HAM di pihak lain. Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif daripada sekadar mengungkapkan kecocokan atau ketidakcocokan Islam dengan HAM dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan hubungan Islam dan HAM, kita akan menemukan bahwa Islam sebenarnya sangat mendukung HAM.69 Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan maupun agama.70 Guru Besar Hukum Islam yang menjadi guru besar di sejumlah universitas di Amerika Serikat itu berulang kali menyatakan bahwa hukum Islam mempunyai semangat serupa dengan HAM. Namun pada saat yang sama, AnNa’im mengingatkan, hukum Islam tidak bisa dijadikan hukum nasional dengan alasan apa pun. Jika itu yang terjadi maka negara cenderung menafsirkan hukum Islam sesuai dengan kepentingan politiknya, kata An-Na’im yang diusir dari Sudan karena pandangan-pandangannya yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan politik pemerintah. Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh saja (berhak) menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Islam. Artinya dalam mengklaim dan menggunakan hak-hak perorangan dan kolektif untuk menentukan nasib sendiri, kaum Muslimin juga harus mengakui dan menjamin hak-hak yang sama bagi orang lain. 69 70
Ibid., h. 177 Ibid
lxx
Persoalannya, menurut Na’im, jika syari’ah historis (Na’im menggunakan istilah historical shari’ah untuk menamakan syari’at Islam) diterapkan sekarang, akan
menimbulkan
masalah
serius
menyangkut
masalah-masalah
konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia. Dan menurutnya, yang paling merasakan akibatnya adalah masyarakat non-Muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas dua dengan status dzimmi, dan bagi wanita, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan minimnya akses ke dalam kehidupan publik. Bahkan kaum laki-laki pun, katanya, juga akan merasakan dampaknya, yaitu mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-undang. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Na’im mengajukan konsep perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam dengan membangun suatu versi hukum publik Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-hak asasi manusia modern. Untuk tujuan itu, Na’im menafikan kesakralan syari’ah, karena syari’ah bukanlah bersifat ilahiyyah (wahyu yang langsung datang dari Allah). Syari’ah, menurutnya, adalah “the product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition” (hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain).71 Oleh karena nya Pemahaman atas syari’ah seperti apapun selalu merupakan produk ijtihad dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara untuk memahami makna al-Qur’an dan Sunnah Nabi. 71
Abdullah Ahmed An-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, And International Law.(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), h. 11
lxxi
An-Na’im begitu simpatik kepada HAM dan tidak begitu simpatik kepada syariah. Syariah dalam makna baru versi An-Na’im yang punya masa depan, bukan syari’ah seperti yang diyakini kaum Muslimin pada umumnya. An-Na’im menitikberatkan pemahamannya tentang hak asasi manusia melalui dua kekuatan utama yang menjadi sumber motivasi seluruh tingkah laku manusia yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas.72 Dengan kata lain, syari’ah sebagai hukum yang praktis tidak dapat mengesampingkan konsepsi hak-hak asasi manusia yang berlaku pada suatu waktu. Menghubungkan Islam dan HAM bagi An-Na’im merupakan hal yang sangat penting bagi mayoritas umat Islam agar motivasi mereka untuk berpegang pada norma-norma HAM tidak hilang begitu saja hanya karena memahami norma tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena apabila mereka percaya bahwa hak-hak tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan mereka, komitmen dan motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan bertambah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk bisa menjustifikasi secara moral atas klaim HAM, tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, umat Islam harus menyadari bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Adnin Armas mengatakan bahwa An-Na‘im, menghabiskan waktu menulisnya tentang Islam dan Negara Sekuler dalam rangka menegosiasikan masa depan syariah selama 3 tahun (2004-2006) dengan dibiayai Ford Foundation.73 Dalam persoalan hubungan Islam dan HAM, An-Na’im menjelaskan bahwa 72
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional Dalam Islam ,(Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 313 73 Adnin Armas, “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM ketimbang syariah,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http://khalidwahyudin.wordpress.com.html
lxxii
apabila dihadapkan dengan pilihan antara HAM dan Islam, maka An-Naim akan lebih berpihak pada Islam, kalau ajaran Islam tersebut tidak bertolak belakang dengan konsep universalitas HAM, namun apabila ajaran Islam bertolak belakang bahkan bertentangan dengan konsep HAM, An-Na’im tidak ragu akan berpihak pada HAM dibandingkan pada Islam. An-Na’im dalam pernyataannya sebagai berikut: “Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Akan tetapi, jika dihadapkan pada argument bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang saya anut dan hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya. Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.” 74 Menurut An-Na’im, semua umat Islam tunduk pada hukum Islam. Pertanggungjawaban umat Islam atas pelaksanaan hukum Islam tidak boleh melibatkan negara atau pemerintah. Pertanggungjawaban umat Islam menurut peneliti masa depan hukum Islam itu ditujukan hanya kepada Allah. Bahkan ia menegaskan bahwa, Tidak ada seorangpun yang bisa menyatakan bahwa orang lain itu murtad atau musyrik. Masalah tersebut merupakan wilayah otonomi orang yang bersangkutan. An-Na’im, oleh karenanya, mendukung sekularisme, sebuah negara yang secara netral membuat hukum yang berlaku bagi seluruh warganya, seraya memberikan cukup ruang kebebasan bagi mereka untuk tetap mempraktekan agama yang mereka percayai dalam kehidupan mereka sehari-hari.
74
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 50-51
lxxiii
An-Na’im menyoroti bahwa adanya ketegangan antara syari’ah dan HAM terutama berkaitan tentang perbudakan, diskriminasi berdasarkan gender dan agama serta hak non-Muslim. Kemudian mengeksplorasi cara-cara menyelesaikan ketegangan tersebut melalui reformasi Islam bahwa ia tidak menerima aspek syari’ah ini sebagai hukum Islam yang final dan konklusif. Menurut An-Na’im bahwa secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan bagi syariah untuk melanjutkan pengabsahan perbudakan75. Adapun diskriminasi hukum keluarga dan hukum perdata syariah dalam pandangan An-Na’im mencakup hal-hal sebagai berikut:76 •
Seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi, tetapi seorang laki-laki Kristen atau Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim
•
Perbedaan agama adalah penghalang dari seluruh pewarisan. Sehingga seorang Muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun mewariskan kepada non-Muslim
Adapun diskriminasi berdasarkan gender dalam hukum keluarga dan perdata mencakaup hal-hal sebagai berikut: •
Laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorang lakilaki dalam waktu bersamaan.
•
Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya, atau seorang dari istriistrinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talaq, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya. 75 76
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 329-335 Ibid., h. 337
lxxiv
Sebaliknya seorang perempuan Muslim dapat bercerai hanya dengan kerelaan suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk mengurus istri. •
Dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian lebih sedikit dari bagian laki-laki Muslim ketika keduanya berada pada tingkatan yang sama dalam hubungannya dengan seorang yang meninggal. Mengenai hal diatas itu An-Na’im menekankan tentang tidak adanya
pembenaran historis berbagai hal berkenaan dengan diskriminasi berdasar agama atau gender tersebut dan menilai bahwa perbudakan dan diskriminasi atas dasar agama dan gender adalah melanggar penegakan hak asasi manusia. Hal tersebut adalah titik konflik dan ketegangan yang paling serius antara syari’ah dan hak asasi manusia universal.77 Karena menurutnya pengakuan Deklarasi Universal HAM sebagai norma hak asasi manusia universal lebih merupakan hasil proses konsensus global daripada sekedar sebuah hasil pemaksaan. Deklarasi HAM tidak mewakili suatu kerangka kerja teologis atau metafisis tertentu karena ia tidak menetapkan agama apapun sebagai sumber justifikasi. Ini memungkinkan penganut agama manapun untuk membangun komitmen atas deklarasi tersebut berdasarkan norma yang dianut.78 Dalam berbagai hal, ide An Na’im ini sangat absurd, sebab beberapa perangkat hukum dalam syari’ah Islam meniscayakan campur tangan negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan dan keonaran. Dalam pelaksanaan hukum
77
Ibid, h. 340 Sukron Kamil dan Chaeder S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim (CSRC: Jakarta, 2007), h. 10 78
lxxv
kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat, dan lain sebagainya, rasanya
sulit
membayangkan negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja, urusan pendidikan Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman Islam, wakaf, dan sebagainya, telah melibatkan campur tangan negara. Dan itu berjalan biasa-biasa saja. Na’im juga terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya. pemikiran An Na’im ini bisa menuntun orang untuk menganggap bahwa Islam adalah hasil rekayasa manusia.
C. Konstitusionalisme Konstitusi adalah simbol dari kedaulatan rakyat. Konstitusi adalah acuanacuan tetap yang harus dipatuhi oleh negara agar bisa mengoperasikan kekuasaannya dengan persetujuan warga negaranya. Hanya dengan demikian negara bisa dan absah menarik kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh warganegara, maka dalam artian ini, konstitusi berarti sarana bagi rakyat untuk mengontrol operasi kekuasaan negara. Konstitusi adalah sarana bagi demokrasi. Inilah inti pengertian dari konstitusionalisme. Hal yang sama pentingnya menurut An-Na’im adalah Kemampuan masing-masing dari setiap warga negara secara sah menentang kebijakan atau hukum apapun lewat cara perundang-undangan, juga lewat alat politik79.
79
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160
lxxvi
Konstitusionalisme, sebagai paham dan semangat (spirit) sebenarnya menegaskan pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi yang tidak bisa dicukupkan dari akomodasi tekstual. Artinya, memperbincangkan problematika ketatanegaraan tidaklah sekadar berhenti pada proporsi tekstualitas semata, melainkan pula melakukan lompatan lebih jauh membangkitkan semangat untuk terus menerus mendorong perubahan yang berkeadilan dengan sandaran akar konstitusionalisme. Di sinilah tantangan para teoritisi konstitusi untuk secara terus
menerus
mengoreksi
dan
menggali
akar-akar
konstitusi
dengan
mentransmisikannya dalam merespon situasi-situasi kekinian. Konstitusionalisme bukanlah sekadar urusan bongkar pasang teks berikut institusinya melalui konstitusi, melainkan sebagai lompatan pemikiran kritis dan tindakan nyata untuk memberikan kepastian jaminan hak-hak kesejahteraan sosial sebagai hak-hak dasar warga negara yang tidak boleh sedikitpun diabaikan oleh penyelenggara kekuasaan. Begitulah salah satu cara memaknai teori dan hukum konstitusi agar kian lebih maju secara substantif, bermartabat dan membumi bagi seluruh warga bangsa. Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk merealisasikan dan melindungi persamaan status, HAM, dan kesejahteraan seluruh warga negara. Sedikit negara-negara kontemporer yang bisa dikualifikasi sebagai penganut sistem konstitusionalisme dalam arti yang sepenuhnya maupun secara parsial.80 Hal ini dimaksudkan An-Na’im adalah karena negara tersebut gagal dalam memenuhi tuntutan hak asasi manusia serta adanya perlakuan diskriminasi terhadap status warga negara terutama terhadap status perbudakan,
80
Ibid., h. 141
lxxvii
perempuan
dan
non-Muslim
bahkan
kadang-kadang
hilangnya
hak
kewarganegaraan penuh mereka. Sehingga yang harus pertama-tama dipahami adalah filosofi dari konstitusionalisme, yaitu sebagai prinsip keutamaan hak rakyat. Karena konstitusionalisme berpendirian bahwa kekuasaan sungguhsungguh terbatas dan hak-hak warga negara benar-benar ada, maka sebuah konstitusi harus bersifat membebaskan. Fungsi pembebasan dari sebuah konstitusi hanya bisa berjalan apabila konstitusi itu memenuhi dua syarat. Pertama, memiliki paradigma emansipatoris yang menekankan pentingnya penegakan hak-hak dasar setiap warga negara. Kedua, konstitusi itu bersifat terbuka baik untuk didialogkan dengan kenyataan riil yang berkembang maupun untuk diperbaiki. Penolakan maupun penerimaan terhadap konstitusioanalisme menurur AnNaim harus berpedoman pada dua argumen yaitu pertama bersifat moral dan kedua bersifat empirik. Yang dimaksud moral di sini adalah bahwa dalam mengambil keputusan harus menempatkan posisi diri kita berada dalam posisi orang lain sehingga tidak terjadi keberatan di antara dua pihak dan saling mendapatkan keadilan dari prinsip konstitusionalisme sedangkan argument empiris adalah kenyataan bahwa konstitusionalisme telah menjadi pilihan bebas mayoritas rakyat di seluruh dunia, termasuk umat Islam.81 Konstitusionalisme merupakan suatu perangkat aturan yang memuat prinsip dasar dan impian bangsa mewujudkan masa depan. Oleh sebab itu, perubahan terhadap konstitusi memerlukan paradigma yang jelas sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang antara lain adalah: (1) pembatasan wilayah
81
Ibid., h. 143
lxxviii
kekuasaan negara, (2) pengaturan cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan terhadap hak asasi manusia, (4) prinsip kedudukan politik yang demokratis, (5) independensi peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi, serta (9) melibatkan masyarakat.82 Konstitusionalisme adalah paham moderen tentang perlindungan warga negara. Ia bukan pertama-tama sebagai aturan-aturan ketatanegaraan, melainkan prinsip final tentang hak warga negara. Itulah sebabnya di dalam sejarah awal perkembangan paham itu, eksplisit diakui hak warga negara untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap penguasa yang otoriter. Baru kemudian konstitusi dipahami sebagai sarana untuk mengatur kehidupan politik secara permanen, yaitu dengan berfungsi sebagai lembaga intermediasi di dalam mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat. Paham konstitusionalisme lalu menjadi identik dengan prinsip negara hukum, karena pasangan prinsip itu beroperasi untuk tujuan yang sama, yaitu ketertiban dan kepastian. Dengan itu kita dibiasakan untuk menjalankan aktivitas politik dan kenegaraan secara prosedural. Dan demokrasi dalam konteks ini juga dipahami sebagai mekanisme prosedural untuk menjamin berlanjutnya ketertiban politik dan kepastian hukum. Dari sinilah kemudian diterima suatu kredo universal tentang keniscayaan hubungan antara demokrasi, negara hukum dan konstitusionalisme. Saling mengandalkan dan saling membutuhkan. Dalam konteks ini perlu juga diterangkan bahwa sistem di belakang perkembangan moderen dari paham konstitusionalisme adalah pandangan bahwa 82
J. Kristiadi, “Kambing hitam itu bernama UUD 1945,” artikel diakses pada tanggal 14 Mei 2008 dari http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=623&id=29&tab=3. html
lxxix
manusia merupakan mahluk rasional yang mampu mencapai kesepakatan berdasarkan akal pikirannya. Karena itu, paham konstitusionalisme itu sendiri tidak diturunkan dari suatu pandangan transendental tentang ideal dari sebuah kehidupan politik, atau dari sebuah tujuan hidup (common good) yang sudah final, melainkan dari suatu tuntutan historis tentang prasyarat kebebasan dan hak individu, demi dapat bekerjanya rasionalitas. Artinya, karena kontrak sosial di antara individu harus didasarkan pada kesepakatan bebas, maka pertama-tama hak dan kebebasan individu haruslah dianggap primer. Di sini jelas bahwa konstitusionalisme adalah suatu rumusan historis untuk menyelamatkan hak dan kebebasan individu dari hambatan dan tekanan-tekanan kekuasaan, yang contohcontoh buruknya bertebaran sepanjang sejarah manusia. Melihat fenomena kedaulatan yang mendasari problem konstitusionalisme dalam syariah, An-Na’im berpandangan bahwa terjadi ambivalensi83. Meskipun merupakan kepercayaan bagi Islam bahwa otoritas tertingggi berada di tangan Tuhan, namun tidak dengan sendirinya menunjukkan siapa yang berwenang atas kedaulatan itu. Pada waktu Nabi masih hidup klaim tersebut masih mungkin dan tidak diperselisihkan namun setelah Nabi wafat kalim tersebut lantas menimbulkan masalah terutama setelah masa khulafaurrasyidin bahwa kalim tersebut telah terdistorsi dan bahwa mereka ini sebagai instrumen kehendak Ilahi yang diapresiasikan melalui syariah juga mengundang masalah bagaimana khalifah itu mempertanggungjawabkan perbuatannya.84 An-Na’im berpandangan bahwa perlu rumusan baru tentang batasanbatasan kedaulatan yang pada akhirnya dapat berjalan beriringan dengan 83 84
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 160 Ibid., h. 161
lxxx
konstitusi. Pembatasan hak non-Muslim dan partisipasi perempuan Muslim dalam penyelenggaraan urusan negara. Ini tentu saja tidak konsisten dengan konstitusi modern yang mensyaratkan persamaan dan tidak ada diskriminasi diantara warga negara85. Sehingga menurut An-Na’im semua aspek syariah historis yang berhubungan dengan perempuan dan dzimmi adalah melanggar prinsip persamaan di depan hukum konstitusi.
D. Kewarganegaraan Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseoarang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara. Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan
85
Ibid., h. 162
lxxxi
dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila
orangtuanya
berkewarganegaraan
suatu
negara,
maka
otomatis
kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan
atas
dasar
kelahiran
atau
melalui
proses
naturalisasi
atau
pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas,
maka
yang
bersangkutan
secara
langsung
mendapatkan
status
kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah. Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik (negara), dan dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik.
lxxxii
Seseorang dengan keanggotaan tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan, walaupun dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi bangsa dari suatu negara.86 Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan suatu yang niscaya.87 An-Na’im mengajukan HAM sebagai kerangka untuk menggarisbawahi dan menyelesaikan ketegangan yang ada ketimpangan pemahaman masyarakat Islam saat ini terhadap konsep kewarganegaraan. Istilah kewarganegaraan yang digunakannya sebagai sebuah bentuk keanggotaan dalam komunitas politik dalam sebuah wilayah negara.
Konsep kewarganegaraan harus menandakan adanya
pemahaman bersama tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi politik yang inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak. Dengan demikian individu maupun komunitas, di mana pun berada harus mengakui adanya kesamaan warga negara. Karena itulah menurut An-Na’im kesediaan menerima
86
Dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Tim ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005), h. 83 87
lxxxiii
paham kewarganegaraan berdasarkan HAM universal adalah merupakan prasyarat moral, hukum, dan basis politik.88 Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan hak dan kewajiban masyarakat. Menolak kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang dilahirkan dan menetap sebagai penduduk di dalam wilayah suatu negara menurut An-Na’im tidak dapat diterima secara moral dan politik, kecuali jika orang itu memilih dan memperoleh kewarganegaraan lain. Bagi An-Na’im adalah hak seluruh warga negara untuk secara terus menerus dan signifikan mempengaruhi formulasi dan penetapan kebijakan publik serta pengundangan hukum-hukum publik. Hal tersebut adalah pembenaran moral dan pragmatis bagi kedaulatan negara.89 An-Naim menjelaskan meskipun adanya pembenaran politik dan sosiologis di masa lalu menyangkut pembatasan dan diskualifikasi terhadap perempuan, perbudakan dan non- Muslim pada saat ini pembenaran tersebut tidak sah. Konsep ummah sebagai wakil kolektif kedaulatan Tuhan dan kedaulatann manusia itu, dapat menjadi landasan konstitusionalme aktif hanya jika cakupan ummah dalam syariah direvisi dengan memasukkan seluruh warga negara atas dasar kesamamn mutlak, tanpa diskriminasi karena perbedaan agama maupun jenis kelamin.90 Oleh karena itu An-Na’im secara tegas menolak adanya status kewarganegaraan yang bersifat mayoritas dan minoritas dalam hak dan kewajiban. Prinsip aturan berdasarkan mayoritas, tak dapat dipertahankan kecuali jika minoritas memperoleh hak hukum dan kesempatan menjadi mayoritas sehingga pandangan-pandangannya suatu saat dapat diberlakukan. 88
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 198 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 163 90 Ibid., h. 164 89
lxxxiv
Dengan adanya kebebasan bagi setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi antara minoritas dan mayoritas dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaan keagamaan, maka negara tidak dapat memaksakan seseorang untuk meninggalkan atribut esensial bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Sehingga manurutnya bahwa suatu kebijakan dan hukum selalu dibangun atas dasar rasional yang dihormati dan didukung oleh seluruh warga negara tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama dan kepercayaan. An-Na’imi menolak adanya istilah dzimmah sebagai warga negara tidak penuh dalam sebuah status kewarganegaraan dan tidak bisa dipertahankan lagi sebagaimana yang dipahami oleh sebagian umat Islam. Baginya umat Islam tidak saja harus menghapus sistem dzimmi dalam syari’ah secara formal, tapi juga menolak nilai-nilai diskriminasi yang terdapat di dalammya.91 Pandangan ini menunjukkan bahwa adanya persamaan status kewarganegaraan dalam sebuah negara manapun. Pandangannya ini berawal dari pemahamannya tentang konsep universal HAM sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan utama HAM menurutnya adalah untuk menjaga dan menjamin hak dasar seluruh manusia dimanapun berada. Menurut An-Na’im relasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim hanya bisa dicapai melalui:92 Pertama, tarnsisi aktual dari konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era pasca kolonial. Kedua, bagaiman menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM 91 92
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 202 Ibid
lxxxv
berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini menjadi diskursus lokal yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam.
E. Hukum Pidana Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma hukum disiplin, ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata diberi ganjaran hukuman perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana adalah hukuman pidana.93 Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang satu dengan yang lain tidak saja berlainan, akan tetapi kadang-kadang saling bertentangn. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, maka hukum memberi rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu. Fungsi yang demikian itu terdapat pada setiap hukum termasuk didalamnya hukum pidana.
93
E.Y. Kanter dan S.R Siantar, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 12
lxxxvi
Hukum pidana berfungsi:94 1. Melindungi kepentingan manusia dari perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan tersebut. 2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan. 3. Mengatur
dan
membatasi
kekuasaan
negara
dalam
rangka
negara
melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum. Masalah administrasi hukum pidana Islam juga merupakan isu yang menonjol dan masih dalam perdebatan yang cukup panjang tentang penerapan syari’ah yang tidak hanya terjadi di kalangan ilmuan Barat, namun juga terjadi di antara ilmuan Muslim karena hal ini akan mengakibatkan reaksi politik yang sangat keras apabila penerapannya yang prematur dan sewenang-wenang atas hukum pidana syari’ah. Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal baru. Ia telah sejak lama dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap menerapkan
syari’ah
Islam
atau
tidak.
Persoalan
utama
menyangkut
pemberlakuan syari’ah Islam bagi Luthfi Assyaukanie bukannya apakah kita bisa menerapkan hukum pidana semacam itu atau tidak, tapi siapkah kita menerima
94
Adawi Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 1516
lxxxvii
dampak buruk dari pelaksanaannya. Terlalu banyak persoalan yang muncul akibat penerapan hukum syari’ah di dunia modern.95 Hampir semua negara yang menerapkan syariat Islam mengalami persoalan besar, baik karena berbenturan dengan hukum positif yang dianut dunia internasional maupun kelemahan penerapannya sendiri akibat basisnya yang rapuh. Penerapan syari’ah sering kali dianggap bertentangan dengan prinsipprinsip penologis (soal-soal kriminalitas) dan norma-norma hak asasi manusia (HAM) modern. Basis penerapan syari’ah juga kerap dianggap lemah, karena bersifat diskriminatif, khususnya yang menyangkut hukum-hukum prosedural, seperti dalam kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan non-Muslim. Abdullahi Ahmed An-Na’im, memberikan contoh bagaimana hukum Islam di Sudan sangat tidak memadai ketika harus menerapkan hukum zina bagi warganya yang nonMuslim. Dalam hukum pidana Islam yang berlaku di negeri itu, para pelaku zina dari ahlul kitab (non-Muslim) tidak dikenakan sanksi hudud. Tapi, ketika beberapa kasus menyangkut non- Muslim terjadi, masyarakat merasa resah dan menganggap hukum Islam telah berlaku diskriminatif. Malangnya, ketika pemerintah hendak memberlakukannya kepada mereka (ahlul kitab), masalah baru muncul. Siapa yang berhak memutuskan sebuah agama dianggap ahlul kitab. Apakah pengadilan yang harus menggunakan keyakinan tertuduh sebagai
95
Luthfi Assyaukanie, “Ambiguitas Penerapan Syariat Islam,” artikel diakses pada tanggal 19 Mei 2008 dari http://www.freedominstitute.org/ id/index.page=profile&detail=artikel&detail=.html.
lxxxviii
standarnya atau standar pengadilan sendiri. An-Na’im mengakui bahwa persoalan ini sangat problematik dan tak pernah bisa diselesaikan peradilan Sudan.96 An-Na’im berpendapat bahwa tujuan dan urgensi keberadaan Hukum Internasional adalah untuk mengatur hubungan antar masyarakat internasional dengan standar persamaan dan keadilan, agar tercipta rasa aman dan makmur bagi setiap elemen yang tercakup di dalamnya. Negara adalah salah satu elemen utama yang diatur Hukum Internasional tersebut, karena negara sendiri terdiri dari elemen-elemen
yang
memperoleh
hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban
internasional, di samping juga setiap negara memang berkesempatan untuk berinteraksi dengan elemen internasional secara lebih luas. Salah satu alasan AnNa’im mengapa negara-negara Islam diwajibkan menghormati standar-standar Hukum Internasional khususnya yang berhubungan dengan administrasi hukum pidana, karena negara harus melindungi hak-hak warga asing beberapa diantaranya adalah non-Muslim.97 Atas dasar inilah An-Na’im beranggapan bahwa tolak ukur utama legalitas Hukum Internasional sebenarnya serupa dengan Hukum Dalam Negeri, yakni bagaimana menyeimbangkan kemaslahatan setiap individu dan (atau) negara dalam memerankan kebebasan individunya dengan kemaslahatan kolektif untuk mewujudkan keadilan menyeluruh yang paripurna. Kerena pada kenyataannya, kontradiksi antara Hukum Internasional dan Hukum Dalam Negeri memang sering terjadi dengan sebab ketidak-samaan lahan terapan kedua jenis hukum tersebut. Betapapun hal ini tidak akan menafikan persamaan tujuan utama kedua hukum tadi. 96
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah II : kritik Konsep, Penjelajahan lain (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 46 97 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 195
lxxxix
An-Na’im senantiasa mengakui legalitas dan keampuhan Hukum Internasional sebagai sebuah instrumen Hukum yang harus ada, demi tercipta dan terjaganya keamanan dan stabilitas Hak Asasi Manusia di semua penjuru dunia. Tapi An-Na’im juga tetap keras mengkritik bahwa selama ini timbul pencitraan bahwa Hukum Internasional adalah murni produk Barat, sementara yang lainnya hanya berperan sebagai pelaksana dan (bahkan) pengikut saja. Menurutnya harus ada pembangunan image building yang baru, di mana Hukum ini harus bisa dipandang sebagai Hukum Internasional sebenarnya, yang diproduksi, ditetapkan dan dipatuhi oleh setiap komponennya. Dalam pemahaman An-Naim bahwa semakin surutnya penerapan hukum harus dipahami tidak semata-mata akibat dominasi Barat atas seluruh dunia Muslim, melainkan juga kesadaran kaum Muslimin sendiri atas tidak memadainya konsep-konsep syari’ah yang ada.98 Memang ada sebagian muslim yang tidak menginginkan penerapan syari’ah dalam kehidupan politik, dengan alasan bahwa konsep syari’ah tidak memadai, namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa pertemuan Islam dan Barat juga sangat mempengaruhi rasa percaya diri kaum muslimin terhadap peradaban Islam sendiri, termasuk dalam hal pembuatan kebijakan hukum yang sangat mempengaruhi dunia Islam sehingga terjadi penolakan terhadap hasil hukum tersebut. Sebagai penegasan, An-Na’im menekankan bahwa Muslim tidak diperbolehkan untuk menjadikan sejarah sebagai sumber Hukum Islam, baik dahulu maupun mendatang. Juga tidak menyetujui al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan Hukum Islam yang disama-ratakan baik dahulu, kini dan mendatang.
98
Ibid., h. 201
xc
Karena An-Na’im mengira bahwa sejarah hanyalah frame tempat dua sumber Hukum Islam (al-Qur’an dan Sunnah) tersebut ditetapkan. Dengan kata lain, AnNa’im mengafirmasi bahwa sebagaimana Qur’an dan Sunnah telah menjadi Sumber Hukum dalam rangka memecahkan permasalahan yang terjadi zaman dahulu, al-Qur’an dan Sunnah juga harus menjadi Sumber Hukum Modern yang bisa memecahkan permasalahan-permasalahan masa kini. Dari paparan dimensi historis di atas, ada beberapa kaidah-kaidah penting dalam Hukum Islam menurutnya yang bertentangan dengan Hukum Internasional, yakni masalah permusuhan terhadap non-Muslim dan penggunaan kekerasan terhadap non-Muslim, regulasi penggunaan kekerasan dan perjanjian damai. Na’im yakin bahwa kaum Muslim seluruhnya akan menemukan pola keimanan yang lebih mudah terhadap Islam, yang terwujud dengan perdamaian dan kebebasan yang sempurna, yang jauh lebih baik dibanding dengan penggunaan kekerasan ataupun ancaman untuk menggunakannya. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa AnNa’im sangat mendukung nalar publik, termasuk juga persoalan hukum pidana. Bahwa menurutnya sebelum menetapkan hukum pidana melalui proses legislatif, hukum pidana tersebut harus berusaha merangkum kesepakatan rakyat seluas mungkin dan aspirasi serta hak-hak minoritas etnik, agama, dan politik harus dihormati.99 Konsep riddah sebagaimana yang dipahami oleh sebagaian ahli hukum Islam sebagai had yang pelakunya harus dihukum mati, bagi An-Naim justru ini sangat bertolak belakang sekali dengan semangat HAM dan kebebasan beragama.
99
Ibid., h. 198
xci
Ia sangat mengecam sekali hukuman mati yang diberikan pada sang pelaku. Baginya, konsep hukum riddah dan semua konsekusensi perdata dan pidananya harus dihapuskan100 hal ini dilakukan agar supaya dapat menyingkirkan keberatan-keberatan konstitusional dan hak asasi manusia (HAM). Memang keyakinan tidak bisa dipaksakan kepada penganut keyakinan agama tertentu termasuk agama Islam, namun kalau alasan murtad atau keluar dari agama Islam dengan motif hanya ingin mencari kelemahan dan mengobokobok agama Islam maka pelakunya berhak dihukum meskipun bukan hukuman mati karena sudah melakukan kejahatan penghinaan terhadap sebuah agama dan hal ini tanpa disadari juga telah melanggar HAM.
100
Ibid., h. 207
xcii
BAB V PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Perdebatan hubungan agama, dan negara di dunia Barat terutama agama Kristiani dan Katolik telah menemukan jawaban bahwa adanya pemisahan antara kedua unsur tersebut antara agama dan negara atau antara gereja dan negara, namun di beberapa negara muslim masih terjadi perdebatan yang hebat antara pemikir-pemikir Islam
tentang bagaimana hubungan antara keduanya karena
beberapa pemikir Islam ada yang menginginkan adanya integritas agama dan negara, Islam dan negara, namun ada juga yang mencoba mencontoh Barat tetapi tetap mengedepankan nilai-nilai moral dan etika Islam, bahkan ada yang sama sekali menginginkan pemisahan total keduanya sebagaimana yang dipahami Barat. Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab III, bahwa ada tiga paradigma yang menjelaskan hubungan Islam dan negara, Abdullahi Ahmed AnNaim merupakan salah seseorang intelektual muslim yang intens mengkaji tentang hubungan Islam dan negara. Ia mencoba menawarkan sebuah konsep negara sekuler namun tetap menjadikan Islam sebagai pijakan moral dalam pengambilan kebijakan dan pembuatan undang-undang. Meskipun ia menolak sebuah konsep negara Islam namun ia tetap mengakui peran Islam di ruang publik
xciii
yang prosesnya melalui apa yang disebutnya sebagai Nalar Publik dan menolak sebuah bentuk masyarakat sekuler. Tentang hubungan Islam dan negara dari perspektif An-Na’im, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya: 1. Ada dua hal besar. Pertama mengenai syari’ah, yang ditafsirkan ulang dan bahwa syari’ah merupakan hasil penafsiran manusia. Syari’ah harusnya menjadi semangat etis negara bahwa ada landasan moral pada setiap kebijakan negara, walaupun tidak harus diterjemahkan dalam kebijakan yang memihak kepada Islam saja. Kedua adalah tentang sekularisme. Sekularisme itu sesuatu yang sebenarnya netral agama. Bukan benci agama. Dalam salah satu bab bukunya dia menunjukkan bahwa sekularisme itu meskipun wujud dasarnya adalah pemisahan agama dan negara, tapi wujud konkretnya berbeda dari satu ke lain negara. 2. Butir-butir pokok pemikirannya adalah bahwa Islam dan negara itu secara institusional harus dipisahkan. Bukan hanya Islam, tapi juga agama-agama lain. Tetapi Islam dan politik tidak boleh dipisahkan. Oleh sebab itu dia memisahkan apa yang dia sebut sebagai religion in public space dengan religion in the state. Dan bahwa ia sangat menentang sekali bentuk yang kedua ini. 3. Sebagai seorang pakar HAM, menurutnya setiap kebijakan yang diambil harus tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, gender, dan lain-lain.
xciv
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia.
xcv
DAFTAR PUSTAKA Abd ar-Raziq, Ali. Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam. Yogyakarta: Jendela, 2002. Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2004. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Penerjemah Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001. An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syariah. Penerjemah Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS, 1994. _________. Dekonstruksi Syariah (II ), Kritik Konsep, Penjelajahan Lain. Yogyakarta: LkiS, 1996. _________. Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Penerjemah Sri Murniati. Bandung: Mizan, 2007. _________. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, And International Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1990. Anwar, M. Syafii. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. _________. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan, 2000. Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullahi Ali & Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi, 2006. Brown, Carl. L. Wajah Islam Politik, Pergulatan Agama & Negara Sepanjang Sejarah Umat. Jakarta: Serambi, 2003. Bustamam Ahmad, Kamaruzzaman. Wajah Baru Islam di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2004.
xcvi
Chazawi, Adawi. Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, teoriteori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Efendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Tarnsformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. ________. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, 2005. Eickelman, Dale F, dan James Piscatori. Ekspresi Politik Muslim. Bandung: Mizan, 1998. ________. Politik Muslim; Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998. Esposito, Jhon L. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. ________. Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman & Realitas Sosial. Jakarta: Inisiasai Press, 2004. Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005. Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF, ed. Islam, Negara dan Civil Society, Gerakan Dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005. Ismail, Faisal. Islam, Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Fundamentalis. Magelang: Indonesia Tera, 2001.
Modernis
dan
Kamil, Sukron, dan Chaider S. Bamualim, ed. Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariat Islam Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim. Jakarta: CSRC, 2007. Kanter, E.Y. dan S.R Siantar. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Jakarta: Mizan, 1997. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.
xcvii
______. Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998. Moten, Abdul Rasyid. Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati Bandung: Pustaka, 2001. Nafis, Muhammad Wahyuni, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali. M.A, Jakarta: Paramadina, 1995. Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993. Tim ICCE. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005. Urbaningrum, Anas. Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Republika, 2004. Vaezi, Ahmad. Agama Politik, Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab. Jakarta: Citra, 2006. Referensi Jurnal Islamia. Melacak Akar Peradaban Barat. Vol. III No. 2 Referensi Media Massa Azra, Azyumardi. “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli 2007 Referensi Internet www.law.emory.edu/aannaim Armas, Adnin. “ Abdullahi ahmed An-na’im lebih simpatik kepada HAM ketimbang syariah,” artikel ini diakses pada tanggal 25 Juni 2008 dari http://khalidwahyudin.wordpress.com.html. Assyaukanie, Luthfi. “Ambiguitas Penerapan Syariat Islam.” Artikel diakses pada tanggal 19 Mei 2008 dari http://www.freedominstitute.org/id/ index.page=profile&detail=artikel&detail=dir&id=330. html. Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Na’im di Freedom Institute, Rabu 1 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari situs http://www.freedom-institute.org. html http://en.wikipedia.org/wiki/Abdullahi_Ahmed_An-Na'im#Main_Publications. Diakses pada taggal 10 April 2008. http:/id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme yang diakses pada tanggal 5 April 2008
xcviii
Kristiadi, J. “Kambing hitam itu bernama UUD 1945.” Artikel diakses pada tanggal 14 Mei 2008 dari http://www.csis.or.id/scholars opinion view.asp?op id=623&id=29&tab=3. html Misrawi, Zuhairi. “Negara Syariat atau Negara Sekuler?.” Artikel diakses pada tanggal 5 April 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?pagearticle&id=148.html Hasil
wawancara Fatiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari http://apri23.multiply.com/journal/item/7/buat Pak PeAceMan Tuh Kan Pak. An Naim Liberal Abiss.html.
Hasil wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan An- Na'im di Hotel Kristal, Jakarta ketika kunjungannya di Indonesia. Diakses pada tanggal 5 April 2008 dari situs http://groups.yahoo.com/group/ telaga hikmah/message.html.
xcix