244 | TARI KOMUNAL
rakan yang “terpecah” tidak berarti menggambarkan perpecahan. Gerakan berlawanan tidak selalu menggambarkan perlawanan atau pertentangan. Kesenian tidak bisa dimaknai dengan cara sederhana seperti itu. Jika gerakan tari bermakna (seperti menghias, menunjuk, menggupay, mendayung, dan lain-lain), tidak selalu bahwa seluruh gerakan dalam tarian tersebut dapat dimaknai secara verbal. Bandingkan misalnya dengan lukisan, jika ada bagian yang menggambarkan sesuatu (muka, hidung, daun, binatang, dan lain-lain), bagian lainnya yang merupakan garis-garis dan warna belum tentu bisa diterjemahkan maknanya. Bagian yang “tidak bisa dimaknai” itu memiliki makna penting sebagai lukisan. Demikian juga dalam tari dan kesenian lainnya. Ingatlah, dalam Bab 1 telah disebutkan bahwa tari mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata atau media lain. 6.1.6 Forum Dialog dan Kritik Sosial
Uraian di atas mungkin memberi kesan bahwa dalam suatu komunitas, terutama yang kecil lingkupnya, selalu terjadi kesatuan. Hal itu baru benar dari satu sisi saja. Sisi lainnya, dalam suatu komunitas hampir pula selalu terjadi ketegangan atau pertentangan, yang ditimbulkan oleh lahirnya gagasan atau minat-minat individual atau kelompok-kelompok yang tidak sama. Perbedaan pendapat dalam suatu komunitas tidak selalu berarti negatif. Lahirnya inovasi atau kreativitas sosial, tergantung dari tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru. Jika gagasan baru (kreativitas) itu diterima masyarakat, didukung oleh komponen sosial, maka gagasan itu akan melahirkan karya produktif. Sebaliknya, jika gagasan itu ditolak, kesepakatan melalui musyawarah (verbal) tidak tercapai, bukan saja tidak akan menjadi sesuatu yang tidak produktif, melainkan dapat menimbulkan suatu ketegangan atau krisis sosial, baik antarindividu maupun antarkelompok. Terkait dengan ini, tari komunal memiliki fungsi pemulihan sosial. Melalui aktivitas tari bersama, mungkin dapat meredakan bahkan menghapuskan konflik-konflik yang ada. Dengan lain kata, perselisihan dan pertikaian antarkelompok
KONTEKS SOSIAL | 245
mungkin dapat dilebur melalui menari bersama-sama, dengan tidak harus mengungkapkannya secara eksplisit. Sama halnya dengan perubahan, yang di satu sisi diharapkan karena akan memajukan masyarakat, tapi di sisi lain juga banyak tidak dikehendaki karena bisa merusak tatanan sosial yang sudah terbangun. Yang ideal, tentu saja, adalah perubahan yang baikbaik saja. Tetapi, realitas berbicara lain, yang positif biasa terjadi berbarengan dengan yang negatif. Krisis besar bisa timbul karena adanya perubahan sistem sosial (ekonomi, teknologi, politik), yang bisa berdampak pula pada perubahan status atau peran dari masing-masing anggota masyarakatnya. Setiap individu harus mempelajari peran barunya. Artinya, kesepakatan baru harus terus-menerus pula ditumbuhkan dalam suatu masyarakat, baik mengenai peran (hak dan tanggung jawab) individu, cara (modus) interaksi, maupun sistem kepengurusannya. Tari komunal dapat merupakan forum untuk terjadinya interaksi seperti ini, yakni sebuah forum komunikasi nonverbal, melalui rasa, jiwa dan energi. Ketika interaksi verbal (diskusi, musyawarah) tidak bisa menyelesaikan masalah, forum non-verbal mungkin dapat menyele saikannya. Misalnya, ketika pihak-pihak yang bersengketa berkumpul dalam forum silaturahmi, sembahyang, atau makan bersama, kemungkinan pertentangan itu sedikit demi sedikit terselesaikan. Peristiwa tari komunal dapat berfungsi seperti itu. Ketika dua orang yang bersengketa menari bersama, apalagi sambil berpegangan tangan, di situ bisa terjadi suatu hubungan batin yang akan membantu mengembalikan kekuatan pertalian sosial atau menumbuhkan kembali sifat-sifat azasi solidaritas kemanusiaannya. Dengan demikian, tari komunal merupakan suatu instrumen sosial atau adat, yang turut membuat proses dialog terjadi antara dua atau beberapa golongan. Tari komunal adalah suatu forum “musyawarah nonverbal” yang turut mengendurkan ketegangan, baik antarpersonal, antarkelompok, maupun antara individu dan kelompok; baik mengenai keluarga, adat, ekonomi, maupun politik. Tari juga memiliki fungsi sebagai media, seperti halnya koran, majalah, radio, atau TV. Sebagai media, yang disampaikannya bukan
246 | TARI KOMUNAL
hanya berita, melainkan juga opini (pendapat atau kritik), yang membuat publik menjadi paham, atau lebih menyadari persoalanpersoalan yang dihadapi. Dalam suatu pertunjukan kesenian, komentar atau kritik sosial biasa muncul. Yang paling eksplisit, paling verbal, biasanya melalui sastra dan teater. Namun, juga dalam tari, seni rupa, dan musik, walau ekpresinya tersebut tidak secara implisit (tersembunyi) atau tidak verbal. Ekspresi implisit ini tidak selalu berarti kurang efektif dibanding yang eksplisit. Bahkan dalam banyak hal, ekspresi tersembunyi ini bukan saja membuat suatu pesan atau kritik menjadi lebih halus, melainkan mungkin lebih bisa masuk sanubari lewat jalur inderawi yang lain, yakni melalui rasa dan kalbu. (Perihal eksplisit dan implisit akan dibicarakan lagi selanjutnya.). Adanya kesenian dalam suatu sistem sosial, disadari atau tidak, adalah karena kepentingan fungsi implisit seperti ini. Yang baru saja terjadi adalah ketika bencana terjadi: tsunami di Aceh dan Sumtera Utara, gempa di Yogyakarta dan sekitarnya. Bencana itu bukan hanya merupakan musibah regional atau nasional, ada yang menganggapnya sebagai bencana global. Berbagai kalangan, pemerintah maupun lembaga sosial (LSM) dari segala bidang (ekonomi, lingkungan, politik, keagamaan), turun tangan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi setelah peristiwa yang mengenaskan itu. Para seniman di berbagai pelosok dunia pun demikian juga, banyak yang mengadakan pertunjukan untuk pengumpulan dana. Di kemah-kemah pengungsian, selain bantuan fisik, juga banyak dilakukan kegiatan spiritual (kutbah, pengajian), untuk menguatkan keyakinan para korban dalam menghadapi kesulitan yang besar. Pertunjukan kesenian pun banyak dilakukan pula di sana agar dapat mengurangi duka traumatis, ketika ribuan orang kehilangan harta benda, teman, dan keluarganya. Masyarakat (petani, pedagang, nelayan) dari daerah-daerah aman, seperti dari pantura, berdatangan dengan truk untuk membantu yang tertimpa bencana, membereskan puing-puing rumah dan sebagainya. Mereka datang secara spontan, dari beberapa kalangan orang saja, bukan dari suatu sistem organisasi yang besar
KONTEKS SOSIAL | 247
seperti misalnya pemerintah, atau lembaga donor kaliber dunia. Semuanya itu untuk menunjukkan empati sosial masyarakat. Mereka datang untuk membantu orang yang mungkin tidak pernah dikenalnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Ganjaran atau hasil apa yang mereka dapat dari bekerja beberapa hari itu? Pertanyaan tersebut pasti tidak bisa dijawab dari pendekatan untung-rugi material, akan lebih terjelaskan jika dilihat dari perasaan yang terpanggil oleh hati kemanusiaannya. Hal ini hanya untuk menjelaskan bahwa pendekatan kesenian pun tidak hanya bisa diukur dari sisi perhitungan untung-rugi secara material, atau dari pendekatan efektifefisiennya sebuah manajemen yang modern. Suatu sistem sosial terbukti memiliki sistem sendiri dalam mengatur kehidupan sosial, di mana tari termasuk dalam sistem tersebut. Jika tari (kesenian) diakui sebagai suatu forum untuk membantu menyelesaikan persoalan, kesenian pun harus pula diterima sebagai salah satu forum di mana kritik bisa lahir. Dalam peristiwa tari komunal sering timbul hal serupa itu. Misalnya saja, melalui syair yang dilantunkan penarinya, melalui simbol-simbol yang ada atau tertulis dalam properti tari, dan sebagainya. Suatu kritik yang disampaikan melalui pertunjukan kesenian, walau mungkin bisa kasar, tapi mungkin tidak pernah brutal atau violent. Senjata seniman adalah kesenian yang tidak akan menyakiti fisik jika terjadi kerusuhan fisik, itu sudah berada di luar “senjata” kesenian. Uraian ini menegaskan kembali apa yang telah dikatakan sebelumnya, yakni bahwa persoalan sosial itu sangat kompleks, sehingga penyelesaiannya pun tidak bisa hanya berdasar salah satu sektor saja; setiap sektor bukanlah merupakan komponen yang berdiri sendiri. Setiap sektor mempunyai kekuatan yang berbedabeda sehingga suatu sektor tidak bisa dipandang superior ataupun inferior terhadap sektor lainnya. Jika sektor budaya (kesenian), misalnya, diukur atau dinilai oleh ekonomi, teknologi, politik, atau keagamaan saja, maka akan terjadi semacam pemerkosaan terhadap sifat-sifat alamiah dari kebudayaan. Inilah pula yang dapat menegaskan ulang bahwa tari yang hidup di masyarakat itu tidak
248 | TARI KOMUNAL
bisa hanya dilihat dari pandangan estetika, ataupun hanya dari perhitungan efektifefisien. Tari memiliki makna yang teranyam dari berbagai pandangan atau pertimbangan. 6.1.7 Ritual
Yang memunculkan kekuatan dari suatu tari komunal sebagai instrumen sosial, bukan semata karena tariannya sebagai seni gerak, melainkan juga oleh konteks atau situasinya. Anda pasti akan dapat merasakan perbedaannya ketika membandingkan tarian yang dipertunjukan dalam konteks dengan yang di luar konteksnya. Ketika suatu tari ditampilkan dalam panggung pertunjukan, kekuatannya terfokus pada aspek seninya sebagai unsur tontonan, sedangkan dalam konteks sosial, keseluruhan peristiwanyalah yang memunculkan daya atau energinya. Salah satu konteks tari komunal adalah acara-acara ritual, seperti syukuran panen, upacara inisiasi (memasuki jenjang baru dalam tingkat pertumbuhan kehidupan, dari lahir sampai mati), untuk kepentingan keagamaan, dan lain-lain. Pertunjukan tarian Hudoq di Dayak Modang (Kalimantan), Kebo-koboan di Banyuwangi (Jawa Timur), Pakarena di Bugis (Sulawesi Selatan), Hana Matsuri di Toeicho (Jepang), umpamanya saja, adalah yang berhubungan dengan syukuran panen (videonya menyertai pelajaran buku ini). Guro-guro aron di Karo (Sumatera Utara), Ngarot di Indramayu (Jawa Barat), adalah ritus inisiasi muda-mudi, Sayur Matua di Simalungun (Sumatera Utara) adalah upacara kematian, dan tari Sangiyang dan Baris Gede di Bali, adalah upacara keagamaan, Perasaan yang akan diungkapkan atau pengalaman yang diharapkan adalah yang sesuai dengan tujuan upacaranya. Jika peristiwa itu merupakan ritual keagamaan atau kepercayaan, yakni hubungan vertikal dari manusia dengan Sang Pencipta Semesta juga dengan arwah leluhur, makhluk gaib, benda pusaka, tempat keramat, dan lain-lain tari merupakan media penyembahan atau bagian dari sesaji. Atau, mungkin saja tari di situ merupakan kegiatan yang terlepas dari pemujaannya (walau waktu dan
KONTEKS SOSIAL | 249
tempatnya berkaitan dengan peristiwa ritual tersebut), sebagai ungkapan kebahagiaan para pesertanya setelah secara bersamasama melakukan upacara. Tarian di situ merupakan ungkapan kegembiraan, kesenangan, kepuasan, dari suatu peristiwa sakral yang telah dilakukan. Namun demikian, karena kaitannya dengan upacara suci yang baru dilakukan, kemungkinan besar suasana sakral masih melekat. Secara lebih jelas lagi kita menemukan keterkaitan antara suatu hal dengan yang lainnya, yakni antara yang sakral dan sekular. Ketika seseorang atau sekelompok penari mempertunjukkan tarian sakral, tidak berarti bahwa di situ tidak ada elemen artistik atau unsur hiburan. Demikian pula sebaliknya, ketika seseorang atau sekelompok orang melakukan tarian sekular, belum tentu terbebas dari unsur-unsur kepercayaan. Hal itu sangat wajar dan logis, dan biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sebagai umat beragama, umumnya orang berdoa atau bersyukur pada Tuahan sebelum melakukan pekerjaan sekular. Dalam ritus keagamaan, biasa terjadi perpaduan erat dan bahkan luluh antara ritual agama dan budaya, sehingga sering sulit dipisahkan satu sama lain. Dengan itu pula, suatu agama dapat “membumi” atau dirasakan oleh penganutnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan nilai-nilai kelokalan yang telah terbangun oleh kehidupan sosial. Sebaliknya, kebudayaan pun (dalam hal ini tari) bisa mendapatkan nilai kedalaman spiritual keagamaan, yang dengan itu kemudian bisa menjadi kekuatan budaya. Dengan demikian, budaya yang memiliki identitas kalangan agama pun berbeda-beda di setiap wilayah. Agama Islam, misalnya, jumlah penganutnya terbesar di negara kita, telah menumbuhkan budaya yang amat kaya, yang di antaranya adalah bentuk-bentuk ritual. Hari-hari besar Islam seperti Maulid dan Idul Fitri, dirayakan atau disertai aktivitas kebudayaan yang berbeda-beda. Gamelan sekaten di Keraton Kasepuhan Cirebon (Jawa Barat) dipertunjukkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, sedangkan dalam tradisi keraton-keraton lainnya di Jawa, gamelan sekaten dipertunjukkan
250 | TARI KOMUNAL
pada acara Maulid Nabi Muhammad. Seblang di Banyuwangi dipertunjukkan pada hari kedua setelah Idul Fitri. Pada bulan Ramadan (puasa), di Banten ramai dengan “pertandingan” menabuh bedug (gendang besar, yang umum terdapat di mesjid-mesjid). Di Gorontalo, pada 6 hari menjelang Idul Fitri (tanggal 24 Ramadan) diadakan malam api, yang disebut tombilotole. Pada saat itu orangorang menyalakan lampu yang khusus untuk di jalan, halaman, dan sebagainya. Pada malam itu juga diadakan acara adat, disertai pertunjukan musik dan tarian. Karena sudah dianggap tradisi atau budaya Gorontalo, acara yang diadakan di setiap kampung itu pun dilakukan oleh masyarakat yang bukan muslim sekalipun. Bahkan, pada tahun-tahun belangan ini, pertunjukan tari komunal tombilotole mulai diperlombakan, seperti halnya tari Jajar dalam kalangan Mudika di Manado. Banyak lagi hari suci keagamaan lainnya yang dirayakan secara kultural seperti Tabuik di Sumatera Barat dan Kebo-keboan di Jawa Timur (Sura); dan Sekaten (atau panjang jimat) di Jawa (Maulud), Jumat Agung di Larantuka, dan sebagainya. Bukan hanya pada agama Islam dan Kristen, dalam agama, seperti Hindu, Budha, dan Konghucu. Apalagi dalam konteks budaya atau kepercayaan tradisional, upacara ritual ini banyak sekali macamnya, terdapat di setiap wilayah Nusantara. Tentu saja, tidaklah mungkin kita bisa menyampaikannya secara keseluruhan dalam buku ini. Salah satu yang sangat disarankan dalam pelajaran ini, adalah kita semua turut aktif dalam mengadakan penelusuran atau survey terhadap upacara-upacara yang terjadi di lingkungan kita masing-masing. Jika di atas disinggung tentang terjadinya percampuran antara persepsi agama dan budaya (setempat), demikian juga percampuran yang terjadi antara budaya dan budaya, dan agama dan agama. Dalam ilmu kebudayaan, percampuran itu disebut akulturasi; sedangkan dalam agama disebut sinkretisme. Yang rumit adalah kedua hal itu tidak terjadi secara terpisah, melainkan bersamaan. Masalahnya, budaya luar datang dengan sistem kepercayaannya, dan demikian pula sebaliknya, agama pun menyebar dengan budayanya.
KONTEKS SOSIAL | 251
a
b
d c
f
e
g
Gbr. 6.5: Ritual, yaitu upacara berulang yang dilakukan suatu komunitas atau keluarga, diadakan untuk berbagai keperluan, berbagai ukuran, dan dengan sendirinya memiliki berbagai makna. (a) Penonton menyatu dengan para pemain musik yang mengiringi tari topeng (b) pada upacara ngarot (muda-mudi) di Indramayu, Jawa Barat. (c) Pertunjukan dabuik (debus) untuk acara pengangkatan penghulu di Minangkabau. (d) Ramai-ramai menari pada suatu perayaan desa. (e) Arak-arakan besar dengan berpuluh jenis ogoh-ogoh (patung besar dari kertas) menjelang hari raya Nyepi Hindu Bali, diadakan di Mataram, sehingga banyak masyarakat setempat yang bukan umat Hindu pun turut terlibat atau menonton. (f) Upacara kecil pada suatu upacara kematian masyarakat Tionghoa di Kalimantan Tengah. (g) Tarian anak umur 3-5 yang merupakan bagian dari ritus tahunan suatu desa di Fukui, Jepang upacara bukan hanya untuk orang dewasa, melainkan juga untuk anak-anak, bahkan bayi yang masih dalam kandungan sekalipun.
252 | TARI KOMUNAL
Di sini, dalam kesempatan yang sangat terbatas, kita tidak bermaksud untuk mengupas atau memahami semua hal. Akan tetapi dibutuhkan kesadaran untuk memahami keragaman budaya. Tujuannya adalah agar kita tidak melihat suatu fenomena hanya dari satu titik pandang saja, dan apalagi dari suatu ukuran nilai kebenaran. Dalam ilmu kebudayaan, memandang nilai budaya berdasarkan budaya lain disebut etnosentrisme. Sikap atau cara-pandang etnosentrisme ini bukan hanya memiliki dampak budaya, melainkan juga dampak politik, dan bahkan dampak moral kemanusiaan, seperti yang berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). 6.1.8 Pendidikan
Dalam dunia pendidikan kesenian, telah banyak sekali dibicarakan mengenai fungsi kesenian sebagai aktivitas yang menghaluskan dan meningkatkan kepekaan perasaan, media penyaluran ekspresi kreatif, dan lain sebagainya. Akan tetapi, di sini, kita akan membicarakannya dari aspek lain yang berkaitan dengan muatan sosialbudaya, yang juga memiliki fungsi pendidikan kultural bagi masyarakatnya. Jika tari mengandung nilai-nilai budaya, pelajaran tari dengan sendirinya berfungsi sebagai instrumen pendidikan budaya. Pendidikan atau transmisi (pewarisan) budaya dianggap penting oleh semua kelompok masyarakat, agar terjadi kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pertanyaan utama kita sekarang: pendidikan budaya seperti apakah yang disampaikan oleh tarian? Seberapa jauh kita dapat mengerti nilai budaya melalui gerak tari? Apakah melalui belajar gerak, ataukah melalui nilai-nilainya yang hanya bisa disampaikan melalui kata-kata atau cerita? Jawabannya, walau tidak bisa dirinci secara lengkap, namun bisa dimulai dengan dua kata kunci yang telah disinggung sebelumnya, yaitu eksplisit dan implisit. Pada Bab 1 pernah disinggung bahwa nilai budaya ada yang bisa diterangkan dengan kata-kata dan ada yang tidak. Keduanya penting, dan memiliki kekuatan masing-masing. Gerak, bunyi, bentuk, garis, warna, sebagai elemen-
KONTEKS SOSIAL | 253
elemen dasar kesenian, tidak selalu bisa diterangkan, tapi tetap memiliki daya ungkap. Jika kita merasakan suatu getaran atau kepuasan dengan melihat karya seni, meskipun yang diungkapkan seniman tidak bisa diterangkan melalui kata-kata, itu artinya kita mendapat “pemahaman” secara kesenian. Komunikasi telah terjadi antara seniman yang menyampaikan dan penonton yang menankap. Jika Anda pernah mendengar perkataan “kesenian merupakan bahasa universal” (walau di atas sudah ditunjukkan bahwa itu tidak seluruhnya benar), adalah dari kaca pandang ini, yakni untuk menikmati kesenian kita tidak perlu uraian bahasa, karena kita bisa menikmatinya melalui mendengar atau melihatnya. Tari komunal umumnya dilakukan secara bersama-sama. Interaksi terjadi antarpenari, penari dengan penonton, penari dengan pemusik, dan lain-lain seperti telah dibicarakan dalam Bab 3. Sebagian norma “tatakrama” bisa juga terdapat dalam tarian. Jika tarian komunal berhubungan dengan struktur sosial, sistem kepercayaan, lingkungan, dan sebagainya, maka proses pewarisan tarian akan merupakan pula pewarisan budaya. Di samping itu, banyak tarian yang terkait erat dengan sastra atau cerita yang banyak mengandung ajaran budaya secara verbal. Nilai-nilai yang dapat diceritakan itu amat penting, selain melalui pemahaman (atau pengalaman) secara implisit. Dalam budaya ada mitos, ada sejarah, yang bisa didapat melalui ceritera. Pertunjukan tarian bisa memunculkan banyak hal yang dapat memicu pertanyaan yang berkaitan dengan nilai budaya. Misalnya, mengapa suatu tarian dilakukan oleh sekian orang? Mengapa dimulai atau diakhiri oleh suatu gerakan tertentu? Mengapa harus menghadap ke arah tertentu? Mengapa tarian perempuan dilakukan oleh laki, atau sebaliknya? Informasi yang didapat melalui pertanyaan serupa ini mungkin mengungkap makna khusus yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya, mitos ataupun sejarah selain alasan-alasan artistik atau teknis. Demikian juga dari aspek busana atau propertinya; warna, cara memakai, bentuk hiasan dan lain-lainnya, banyak berkaitan dengan nilai-nilai kultural. Perhatikan busana nande aron (pimpinan pe-
254 | TARI KOMUNAL
mudi dalam acara guro-guro aron) dari Karo, yang memakai hiasan kepala sangat khusus. Selain bentuk ikat kepala yang cara membuatnya rumit, hiasan-hiasan emas yang bergantungan sebagai simbol kebesaran, di situ juga ada yang sangat khusus yakni gulungan tikar kecil dan tas kampil (keseluruhannya disebut baka). Hiasan kepala itu sulit membuat atau memasangnya, dan tidak mudah memakainya dalam upacara sambil menari selama beberapa jam. Bukan hanya masalah berat, tapi juga keseimbangannya. Di samping itu, baka ini menggugah pertanyaan: mengapa tikar dan kampil (kantong tempat sirih pinang)? Kalau itu sebagai bahan untuk menghormati tamu, misalnya, apakah tikar itu sewaktu-waktu dapat diambil untuk digelar? Hiasan emas itu milik siapa? Apakah yang terpilih sebagai nande aron itu harus dari keluarga kaya saja, yang mampu mengadakannya? Dan lain sebagainya, seribu-satu pertanyaan lagi bisa muncul bagi orang yang mempunyai perhatian. Lahirnya pertanyaan yang bersifat penalaran seperti itu, juga sangat penting dalam suatu upaya pemahaman. Jawabannya mungkin tidak bisa didapatkan dalam seketika, dan belum tentu memuaskan. Buku ini pun tidak bermaksud untuk memberi jawabannya. Akan tetapi, seperti bahasa filsafat, pertanyaan yang baik sesung guhnya sudah mengandung sebagian dari “jawaban.” Sebaliknya, jawaban yang baik adalah yang dapat mengantar pada pertanyaan selanjutnya. Jika kita cukup berpikir kritis, fenomena tari komunal diharapkan dapat mendorong lahirnya pertanyaan dan jawaban kultural secara dialektis, yang tidak akan pernah berhenti. Dengan demikian, selain tarian sebagai khazanah budaya yang butuh diwariskan, tari komunal merupakan pula salah satu instrumen metodologis pewarisan budaya. Fungsinya ini bisa kita lihat dalam dua tingkatan: pertama, tarian dapat memberikan ajaran budaya dalam tingkat perasaan dan spiritual melalui pengalamanpengalaman praktis (gerak tubuh) dan secara batiniah melalui penangkapan maknanya (isi). Kedua, tarian dapat mewariskan nilai-nilai yang eksplisit melalui simbol-simbol dan berbagai hal yang terkait dengannya (seperti sastra, legenda), serta melalui upacaranya sendiri sebagai bagian dari norma budaya.
KONTEKS SOSIAL | 255
Inilah beberapa hal yang patut dikemukakan dalam membicarakan fungsi tarian komunal. Jika Anda memiliki pengalaman terlibat langsung dalam suatu tarian komunal, pasti akan lebih baik atau lebih mendalam lagi, karena akan dapat merasakannya, tidak
a
b
c
d
e Gbr. 6.6: Tari komunal sebagai media pendidikan paling tidak bisa dilihat dari pendidikan mengenai tarinya sendiri, dan kemudian mengenai nilai-nilai kebudayaan yang terpelajari melalui tarian baik secara eksplisit ataupun implisit, baik dalam tingkatan sadar maupun bawah-sadar. (a): Anak-anak di Flores sambil main-main mencoba sendiri alat-alat gong waning, setelah orang dewasa selesai memainkannya untuk mengiringi tarian. (b) Seorang anak di Banyuwangi, pada saat menonton pertunjukan tarian di panggung, mengikuti atau belajar sendiri dengan menirukan sebisanya. (c) Anak-anak sedang pertunjukan, yang juga berarti berlatih dan belajar, tari rudat dalam pimpinan orang-orang dewasa. (d) Dalam “upacara air panas” (hanamatsuri) di suatu desa kecil di wilayah Toeicho, Jepang, anak muda menari dalam bimbingan penari dewasa. (e) muda-mudi sedang berlatih tari Jajar di Mudika Manado.
256 | TARI KOMUNAL
hanya berupa pengetahuan yang didapat dari buku ini ataupun sajian audio visual di kelas. Berikut ini, kita akan melihatnya dari beberapa aspek secara lebih teknis, seperti: tempat penyelenggaraannya, waktunya, pendukungnya, dan lain-lain. 6.2 TEMPAT PENYELENGGARAAN Penyelenggaraan tarian komunal diadakan di tempat yang sesuai dengan fungsi, makna, dan adat seperti telah disinggung di atas. Dalam konteks tradisional, hampir tidak ada tempat yang dibuat secara permanen, yang khusus hanya untuk pertunjukan kesenian. Kebanyakan pertunjukan diadakan di tempat serba-guna, yang berarti bahwa tempat itu digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Balai desa (atau balai adat), jambur di Karo, pendopo di Jawa, misalnya, atau bangunan pasar (los), kuil (pura) di Bali, halaman mesjid, surau, rumah, lapangan, dan sebagainya, biasa dipakai untuk pertunjukan tari dan kesenian-kesenian lainnya, secara temporer untuk kala itu saja. Banyak juga tradisi yang membangun panggung atau bangunan sementara atau semi-permanen seperti baruga (Bugis) atau balandongan (Sunda), yang beratap tapi tak berdinding. Jadi, perhitungan tempat yang cocok untuk suatu pertunjukan sangat penting, tapi yang dianggap cocok untuk itu bukanlah seperti gedung teater modern, dengan perlengkapan (pencahayaan, sound system) yang lengkap, melainkan yang paling sesuai dengan kebutuhan, lingkungan, situasi sosialnya masing-masing.. Untuk tarian komunal yang bersifat rekreatif, biasa dilakukan di halaman rumah, di lapangan di tenda pesta, di pinggir pantai, di tengah ladang, dan tempat lain yang disepakati komunitas untuk acara kegembiraan. Jika acara itu diadakan atas keinginan seseorang, seperti untuk mengadakan pesta syukuran lulus ujian atau pesta ulang tahun, mungkin diadakan di dalam rumah, di teras, atau di halaman rumah. Kita tidak bisa menentukan tempatnya secara pasti, karena kepentingan dan perhitungannya (termasuk jumlah orangnya, di setiap kasus untuk setiap komunitas berbedabeda. Yang pokok adalah tempat itu akan dapat mengakomodasi keperluan pengungkapan para peserta secara maksimal tapi terbatas
KONTEKS SOSIAL | 257
pada fasilitas ada atau memungkinkan. Jika kehendak untuk mengadakan tarian bersama secara spontan, seperti ketika sekelompok muda-mudi berkumpul, kemudian ada gagasan untuk menari bersama, seperti misalnya Poco-poco di Indonesia bagian timur, mereka akan melakukannya di tempat yang memungkinkan di sekitar mereka berada, seperti di pantai, di kebun, di sekolah, di restoran, dan sebagainya. Akan tetapi, untuk peristiwa penting yang direncanakan, misalnya untuk acara pernikahan, tempat itu mungkin akan dipersiapkan sebelumnya, dan mungkin sampai ada beberapa lokasi. Di Mandailing, Sumatera Utara, terdapat tradisi hajatan besar (horja godang), yakni perayaan untuk keluarga bangsawan atau orang-orang berada. Acaranya dilakukan selama sembilan hari, sembilan malam. Acara tari keluarga-perkeluarga (atau marga) generasi-pergenarasi secara bergantian dilakukan selama 9 hari, siang, sore, ataupun malam. Ada tarian yang dilakukan di atas sebuah panggung yang khusus dibuat. Ada juga tarian bersama dengan kedua mempelai (di jalan, di halaman, di dalam ruangan rumah, dan sebagainya) yang menyesuaikan dengan jalannya upacara pernikahan tersebut. Pada malam tertentu, ada tarian yang berfokus pada teman-teman dari mempelai, ada yang khusus untuk kerabat orang-tuanya, dan ada juga yang untuk para pimpinan adat atau kemargaan yang lebih besar, dan sebagainya. Ketika peristiwa tari komunal berhubungan dengan ritus yang berhubungan dengan lingkungan, umpamanya untuk upacara sidekah laut (selamatan para nelayan, larungan atau menghanyutkan sesuatu ke laut), tentu akan sesuai pula dengan tempatnya, yang umumnya di pantai. Demikian pula jika upacara itu berhubungan dengan sungai, gunung, hutan, dan sebagainya, tempatnya akan pula sesuai dengan tujuannya. Namun demikian, adakalanya pemilihan tempat itu berdasarkan perhitungan lain, seperti nilai kekeramatan atau kebertuahannya tempat tersebut. Untuk syukuran panen, ada yang menyelenggarakannya di persawahan yang sudah kering, tapi bisa juga di alun-alun sebagai pusat desa, di sekitar makam keramat, atau di sekitar tempat penyimpanan barang pusaka.
272 | TARI KOMUNAL
Gbr. 6.16: Tokoh politik yang diwujudkan dengan dinosaurus, dalam pameran binnale 2005 di Galeri Nasional, Jakarta.
Gbr. 6.17: Seni instalasi dari di kota Kabupaten Barru, yang menyertakan gerak (tari), akting, dan baca puisi.