135
5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA Pendahuluan
Transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) dari pabrik kelapa sawit (PKS) menuju tangki penyimpanan di industri pengolah CPO maupun di pelabuhan, pada umumnya menggunakan moda transportasi darat seperti truk tangki atau kereta api tangki. Transportasi CPO secara bulk melalui jalur darat membutuhkan alat transportasi dengan biaya operasional yang tinggi, dan terjadi inefisiensi saat alat transportasi tersebut kembali ke PKS tanpa muatan. Menurut DJIAK (2009), infrastruktur pendukung industri CPO antara lain pelabuhan curah cair dan akses jalan di Indonesia masih belum memadai. Keterbatasan ruas dan kondisi jalan yang kurang memadai tersebut seringkali mengakibatkan kepadatan dan kemacetan lalu lintas. Pada moda transportasi darat juga terdapat peluang pencemaran CPO selama kegiatan bongkar muat serta praktek pencurian.
Haryati et al. (1997) mengungkapkan bahwa pada saat
bongkar muat, pada moda transportasi dengan truk tangki terjadi proses pemanasan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu yang direkomendasikan oleh CAC dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005), yang seharusnya dilakukan pada suhu 5055 oC menjadi sekitar 80 oC, akibat tidak dilengkapinya truk tangki dengan sistem pemanas. Berbagai permasalahan tersebut menuntut perlunya pengembangan alternatif moda transportasi CPO yang lebih efisien, antara lain melalui penggunaan moda pipa. Proses penanganan bahan pada transportasi CPO moda pipa menjadi lebih sederhana dibandingkan pada transportasi CPO moda truk tangki (Gambar 32).
CPO harus melalui dua kali tahap bongkar muat pada
transportasi moda truk tangki, yaitu pada saat di PKS dan di tangki penyimpanan pelabuhan. Sebaliknya, pada transportasi CPO moda pipa, CPO dapat langsung dialirkan dari PKS ke tangki penyimpanan pelabuhan.
136
PKS
TRUK TANGKI
PKS
PIPA
Pelabuhan
Pelabuhan
Gambar 32 Penyederhanaan proses penanganan bahan pada transportasi CPO moda pipa.
Pootakham dan Kumar (2010a dan 2010b) telah melakukan kajian pembandingan antara sistem transportasi moda pipa dengan moda truk tangki untuk bio-oil. Berdasarkan hasil penelitiannya, transportasi moda pipa untu biooil
membutuhkan
biaya
yang
lebih
rendah
dibandingkan
transportasi
menggunakan truk tangki, khususnya untuk transportasi skala besar dan jarak tempuh yang jauh. Di dalam pengembangan sistem transportasi moda pipa untuk CPO, perlu dilakukan kajian penjaminan aliran (flow assurance) agar aliran CPO dapat dipertahankan di sepanjang pipa.
Fluida dapat mengalir saat ada gaya yang
diberikan kepadanya. Di sepanjang lokasi dan waktu pada sistem pengaliran fluida, beberapa gaya dapat terjadi pada fluida antara lain gaya tekan, gaya gravitasi, dan friksi (friction) (Singh & Heldman 2001). Khususnya pada sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, CPO harus dapat dialirkan secara efektif dan tidak mengalami peningkatan viskositas serta kristalisasi lemak yang berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya penyumbatan pipa. Upaya untuk mempertahankan aliran CPO di dalam pipa, sangat ditentukan oleh karakteristik dasar CPO, sistem pengaliran, dan desain jaringan pipa yang dirancang.
137 Menurut Steffe dan Daubert (2006), variabel utama yang paling menentukan di dalam perhitungan desain perpipaan adalah sifat reologi dari bahan yang akan dialirkan tersebut. Hasil penelitian Tahap I, II, dan III yang telah diuraikan pada Bab 2, 3, dan 4 untuk mengkaji karakteristik CPO, menjadi dasar di dalam penyusunan rancangan teknik kendali dalam sistem transportasi CPO moda pipa. Sistem kendali pengaliran CPO dilakukan melalui kendali karakteristik CPO, khususnya terkait sifat reologi dan kristalisasi lemaknya selama pengaliran, agar CPO dapat dialirkan secara efektif dan terjadinya penyumbatan di sepanjang pipa dapat dicegah. Faktor kritis penentu aliran CPO dalam pipa, harus dikendalikan melalui penerapan parameter proses pengaliran seperti suhu dan laju aliran. Selain itu, kendali pengaliran juga ditentukan oleh desain rancangan teknis pipa yang dirancang, dimana menurut Singh dan Heldman (2001), sistem transportasi fluida pada umumnya terdiri dari empat komponen dasar yaitu tangki, jalur perpipaan, pompa dan sambungan pipa (fittings). Pada desain transportasi CPO moda pipa, variabel proses yang diterapkan pada desain rancangan teknis jaringan pipa seperti input kerja pompa, jenis dan dimensi pipa, laju aliran, ketinggian pipa, jumlah belokan pipa, jenis dan ketebalan insulasi, dan variabel lainnya, perlu diperhitungkan secara detail berdasarkan data karakteristik CPO yang dialirkan dan kondisi di lapangan. Berdasarkan data sifat fisik dasar CPO khususnya data pengaruh suhu terhadap densitas, sifat reologi dan kristalisasi lemak CPO, dapat disusun sistem kendali pengaliran CPO dalam pipa yang harus dipenuhi oleh rancangan teknis jaringan pipa yang ingin dikembangkan. Pada transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, akan terjadi penurunan tekanan (pressure drop atau ๏P) yang diakibatkan faktor friksi (friction factor atau f), maupun akibat gaya gravitasi dan gaya kinetik yang harus diatasi (Pootakham dan Kumar 2010b). Untuk itu, diperlukan stasiun pompa penguat untuk mengatasi penurunan tekanan di sepanjang jalur pipa.
Selain itu, pada jarak tempuh yang jauh juga terjadi
penurunan suhu di sepanjang aliran (thermal drop during flow, ๏Tflow) akibat pelepasan panas di sepanjang pipa. Adanya penurunan suhu menyebabkan sifat reologi CPO akan berubah dan mengakibatkan perubahan pada sistem
138 kesetimbangan mekanis dalam jalur pipa. Untuk mempertahankan suhu CPO di dalam pipa, perlu dirancang pula sistem insulasi di sepanjang pipa untuk menghambat penurunan suhu hingga batas suhu terendah pengaliran tertentu, serta sistem pemanas pada beberapa lokasi di sepanjang pipa untuk mengembalikan karakteristik CPO agar tidak mengalami induksi kristalisasi yang berlebihan. Tahap penelitian ini bertujuan untuk menyusun rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa dengan pendekatan pada desain fungsional. Pada penelitian ini tidak dilakukan desain teknis secara mendetail, karena perhitungan teknis sangat tergantung pada kondisi aplikasi di lapangan. Melalui kajian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran awal mengenai potensi aplikasi sistem transportasi CPO moda pipa dengan menggunakan sistem kendali pengaliran tertentu, yang bertujuan mengendalikan karakteristik CPO agar dapat tetap mengalir di sepanjang pipa. Sistem kendali karakteristik CPO yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada data karakteristik CPO yang sesuai dengan kondisi pengaliran. Dengan demikian, hasil kajian ini dapat menjadi acuan awal dalam penyusunan desain teknis yang lebih lengkap untuk pengembangan transportasi CPO moda pipa yang lebih lanjut, sesuai kondisi dan kebutuhan di lapangan.
Bahan dan Metode
Metode Penelitian Tujuan yang ingin dicapai di dalam menyusun teknik kendali transportasi CPO moda pipa adalah untuk memperoleh sistem kendali beserta contoh perhitungan rancangan teknis pipa yang mampu mempertahankan kondisi CPO agar tetap dapat dialirkan di sepanjang pipa pada jarak tempuh tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan kerangka pikir penelitian seperti disajikan pada Gambar 33. Rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa selama pengaliran yang disusun dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah penyusunan desain fungsional berupa sistem kendali karakteristik CPO selama pengaliran, dan tahap kedua berupa penyusunan rancangan teknis moda pipa sesuai sistem kendali karakteristik CPO
139 Data dasar karakteristik CPO selama pengaliran (hasil penelitian Tahap I, II, III)
Kendali terhadap karakteristik CPO selama pengaliran (densitas, reologi, kristalisasi)
Penetapan asumsi proses pengaliran
Asumsi pada proses pengaliran
Sistem kendali karakteristik CPO
Penyusunan rancangan teknis moda pipa sesuai sistem kendali karakteristik CPO
Penetapan kondisi pembatas (boundary conditions)
Data rancangan teknis pipa (hasil studi literatur)
Rancangan teknis transportasi CPO moda pipa (contoh kasus)
Data teknis sesuai kondisi di lapangan
Transportasi CPO moda pipa yang terkendali
Penyusunan rancangan teknis sesuai kondisi di lapangan
Gambar 33 Kerangka pikir dalam kajian rancangan teknik kendali transportasi minyak sawit kasar (CPO) moda pipa.
Desain fungsional berupa sistem kendali karakteristik CPO selama pengaliran, bertujuan untuk mempertahankan karakteristik CPO agar tetap berada pada kondisi yang dapat dialirkan, khususnya untuk mengendalikan parameter densitas, sifat reologi, dan pencegahan kristalisasi CPO yang berlebihan. Faktorfaktor yang menentukan densitas, sifat reologi, dan kristalisasi CPO mencakup
140 pengaruh suhu, laju perubahan suhu, dan shear rate (laju geser) yang telah dipelajari pada penelitian Tahap I, II, dan III (Bab 2, 3, dan 4), menjadi dasar untuk
sistem kendali proses pengaliran yang potensial untuk digunakan.
Selanjutnya diidentifikasi kondisi pembatas (boundary conditions) yang harus dipenuhi untuk memungkinan penerapan sistem kendali karakteristik CPO tersebut selama pengaliran. Setelah menentukan variabel sistem kendali pengaliran dan kondisi pembatas yang harus dipenuhi, maka tahap berikutnya dilakukan dengan menyusun rancangan teknis pipa yang mampu memenuhi variabel sistem kendali pengaliran yang dipilih.
Di dalam penyusunan rancangan teknis tersebut
dibutuhkan data teknis terkait desain pipa yang akan digunakan berdasarkan hasil studi literatur dan praktek pengaliran CPO di lapangan. Desain pipa yang disusun akan sangat tergantung pada volume bahan yang akan dialirkan, jarak tempuh, serta topografi daerah yang akan dilalui sistem pipa. Rancangan teknis dasar transportasi CPO moda pipa disusun dengan menggunakan beberapa asumsi, yang saat akan diterapkan pada rancangan yang sesungguhnya harus diperhitungkan kembali secara detail dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Beberapa asumsi yang digunakan dalam menyusun
rancangan teknis dasar transportasi CPO moda pipa ini antara lain: 1. CPO dialirkan dalam pipa lurus yang memiliki permukaan yang halus, dengan diameter tertentu; 2. Pengaliran berlangsung dengan laju aliran (๐ ) yang tetap; 3. Faktor energi potensial, elevasi (ketinggian) dan energi kinetik tidak berubah selama pengaliran; 4. Shear rate di sepanjang pipa relatif konstan. Adanya peningkatan shear rate akibat aliran CPO melalui pompa, flowmeter, keran, penyaring, dll., belum diperhitungkan dalam penelitian ini. 5. Suhu mengalami penurunan dari 55 oC dengan ๏T tertentu hingga suhu isotermal tercapai.
Lingkungan di luar pipa berinsulasi maksimal 30 oC,
sehingga suhu isotermal pengaliran CPO adalah suhu 30 oC, dan Faktor-faktor yang harus diperhitungkan di dalam menyusun desain rancangan teknis transportasi CPO moda pipa antara lain (1) pemilihan jenis dan
141 dimensi pipa yang digunakan, (3) kebutuhan pompa untuk mendorong aliran, serta (3) kemampuan sistem insulasi untuk mengendalikan proses pelepasan panas di sepanjang aliran pipa serta sistem pemanas yang dibutuhkan. Terkait dengan terjadinya penurunan tekanan (pressure drop, ๏P) dan penurunan suhu selama pengaliran (temperature drop during flow, ๏Tflow), pada kasus tertentu akan dibutuhkan stasiun pompa penguat dan stasiun pemanas di beberapa lokasi di sepanjang pipa yang ditentukan berdasarkan perhitungan.
Perhitungan dalam transportasi fluida
Di dalam perhitungan rancangan teknis pipa, digunakan beberapa rumus atau persamaan matematika. Tahap perhitungan dan persamaan yang digunakan untuk menentukan penurunan tekanan (๏P) pada setiap panjang pipa tertentu (๏P/km) disajikan pada Gambar 34. Sesuai sistem kendali karakteristik CPO yang dipilih, dapat ditentukan kisaran suhu yang akan diterapkan dalam sistem transportasi CPO moda pipa tersebut. Kisaran suhu pengaliran yang digunakan akan menentukan data sifat fluida CPO apakah bersifat sebagai fluida Newtonian atau non-Newtonian, yang telah diketahui berdasarkan hasil penelitian Tahap I, II, dan III. Hasil perhitungan ๏P/km panjang pipa dapat digunakan untuk mengetahui tekanan total yang harus ditangani sistem. Berikut ini adalah beberapa persamaan yang terkait dengan sifat fluida dalam transportasi untuk menentukan ๏P (Toledo 1991). Salah satu parameter dalam pengaliran fluida adalah Bilangan Reynolds (Toledo 1991).
Bilangan
Reynolds adalah bilangan tak berdimensi yang menentukan jenis aliran yang terjadi di dalam pipa (laminar atau turbulent), yang menentukan pula perhitungan faktor friksi (friction factor, f) yang terjadi di dalam pipa serta ๏P yang terjadi. Bilangan Reynolds (Re), adalah fungsi dari diameter pipa (D), kecepatan rata-rata (๐ ), densitas fluida (๏ฒ), dan viskositas (๏ญ) (Persamaan 18).
142
Gambar 34
Tahap perhitungan dan rumus yang digunakan dalam perhitungan parameter proses transportasi fluida yang ditentukan oleh karakteristik CPO dan dimensi pipa, sesuai kondisi proses pengaliran yang ditetapkan. Rumus dari Toledo (1991).
๐
๐ =
๐๐ท ๐ ๐
(18)
Untuk fluida yang memiliki sifat yang sesuai dengan model power law, bilangan Reynolds dapat dihitung dengan Persamaan 19.
๐
๐ =
8 (๐ )2โ๐ ๐
๐ ๐ ๐พ
3๐ +1 ๐ ๐
(19)
143 Bilangan Reynolds kurang dari 2100 menghasilkan sifat aliran yang laminar dan penurunan tekanan per unit panjang pipa dapat ditentukan dengan Persamaan 20 untuk fluida Newtonian, atau dengan Persamaan 21 untuk fluida yang sesuai dengan model power law.
๐=
๐=
โ๐
1
๐
2๐ฟ๐พ
โ ๐๐
2
(20)
8๐ฟ๐
๐
(๐+1)/๐
๐
(21)
3๐+1
Bilangan Reynolds lebih besar dari 2100, menghasilkan sifat aliran turbulent dan penurunan tekanan dihitung dengan faktor friksi yang diturunkan secara empiris. Menurut Singh dan Heldman (2001), bilangan Reynolds (Re) memberikan gambaran mengenai pelepasan energi (energy dissipation) yang disebabkan oleh viskositas fluida. Ketika viskositas memberikan pengaruh yang dominan terhadap pelepasan energi, nilai Re rendah dan aliran bersifat laminar. Selama Re lebih kecil dari 2100, sifat aliran yang terjadi adalah laminar (stream line). Re antara 2100 hingga 4000 menghasilkan aliran transisi, sedangkan Re lebih besar dari 4000 mengindikasikan aliran turbulent, yang hanya sedikit saja dipengaruhi oleh viskositas fluida. Menurut Toledo (1991), aliran fluida melalui pipa tubular akan selalu mengalami penurunan tekanan (pressure drop, ๏P).
Terjadinya penurunan
tekanan tersebut ekuivalen dengan gaya (stress) yang harus diberikan pada fluida untuk membuatnya mengalir. Gaya (stress) ini merupakan resistensi gesekan (friksi) untuk mengalir pada fluida tersebut (Persamaan 22).
โ๐๐ =
2๐(๐ )2 ๐ฟ ๐ ๐ท
(22)
Faktor friksi (friction factor, f) ditentukan oleh jenis aliran yang dialaminya (laminar atau turbulent) dengan perhitungan pada Persamaan 23, 24, dan 25 untuk pipa halus.
144
f = 16/Re pada Re < 2100
(23)
f = 0.193 (Re) โ 0.35 pada 3 x 103 < Re < 104
(24)
f = 0.048 (Re) โ 0.20 pada 104 < Re < 106
(25)
Toledo (1991) mengemukakan bahwa akibat adanya tahanan fluida untuk mengalir, terjadi kehilangan energi selama perjalanan fluida mengalir di sepanjang pipa. Bila tingkat energi awal lebih tinggi dari energi pada setiap titik sepanjang pengaliran, fluida akan mengalir secara spontan. Namun bila energi yang dibutuhkan untuk menuju titik tertentu melebihi tingkat energi awal, harus diberikan sejumlah energi untuk mendorong fluida sepanjang pipa melalui pemberian energi oleh pompa. Neraca energi di sepanjang sistem perpipaan untuk mengalirkan fluida dinyatakan dalam persamaan Bernoulli (Persamaan 26). ๐1 ๐
g 1+ + ๐๐
๐12 2
+ ๐๐ =
๐2 ๐
g 2+ + ๐๐
๐22 2
+
โ๐ ๐ ๐
(26)
P adalah tekanan, ๏ฒ adalah densitas (kg/m3), g adalah kecepatan gravitasi, h adalah ketinggian, V adalah laju aliran, W adalah input kerja, dan ๏Pf adalah tahanan gesek aliran (frictional resistance) atau tahanan friksi. Pada Tabel 12 disajikan terminologi energi yang terlibat dalam aliran fluida, unit, dan rumus untuk menghitungnya. Dalam sistem pengaliran fluida tersebut, terminologi energi yang terkait dengan karakteristik fluida yang dialirkan adalah tahanan friksi aliran. Bila faktor energi potensial, elevasi (ketinggian) dan energi kinetik tidak berubah selama pengaliran dalam pipa lurus sepanjang L (km), maka input kerja pompa yang dibutuhkan adalah sebesar input kerja untuk mengatasi terjadinya ๏P akibat hambatan pengaliran karena tahanan friksi (frictional resistance) dari pipa (๏Pf) (Persamaan 27): P pompa = ๏Pf per panjang pipa x L
(27)
145 Tabel 22 Terminologi energi yang terlibat dalam aliran fluida* Terminologi energi
Rumus
Ekspresi dimensi
Rumus (basis 1 kg)
Unit
Tekanan energi potensial
๐
๐ ๐
๐๐(๐๐โ2 ) ๐๐๐โ3
๐ ๐
joule/kg
Elevasi (ketinggian)
mgh
kg (ms-2)(m)
gh
joule/kg
kg (ms-1)2
๐2 2
joule/kg
W
joule/kg
โ๐๐ ๐
joule/kg
Energi kinetik Input kerja (dari pompa) Tahanan friksi (frictional resistance)
W ๐โ๐๐ ๐
๐๐(๐๐โ2 ) ๐๐๐โ3
*Toledo (1991).
Perhitungan pelepasan panas selama pengaliran fluida dalam pipa lurus
Selama pengaliran CPO moda pipa pada jarak tempuh yang jauh, akan terjadi pelepasan panas di sepanjang pipa, sehingga suhu CPO akan mengalami penurunan. Untuk mempertahankan suhu di sepanjang pipa, digunakan insulator yang ketebalannya dihitung sesuai panjang pipa yang digunakan. Seberapa besar terjadinya penurunan suhu CPO selama pengaliran sangat ditentukan oleh hasil perhitungan pindah panas yang ditentukan oleh faktor karakteristik bahan yang dialirkan, dimensi dan karakteristik pipa dan insulasi yang digunakan, serta faktor proses pengaliran yang berlangsung di dalam pipa.
Karakteristik CPO yang
menentukan proses pindah panasnya adalah data sifat termal CPO berupa nilai panas jenis (specific heat, Cp) dan nilai konduktivitas panas (thermal conductivity, k) CPO berdasarkan hasil studi literatur. Menurut Ong et al. (1995), pada kondisi cair, panas jenis (Cp) akan sedikit meningkat dengan bertambahnya berat molekul, tetapi sedikit menurun dengan meningkatnya bilangan yodium. Secara praktis, panas jenis minyak, termasuk minyak sawit dapat dihitung dengan Persamaan 28, dengan dimana T adalah suhu minyak (oC).
Cp = 0.47 + 0.0073 T kkal/kg
(28)
146 Coupland dan McClements (1997) mengemukakan bahwa konduktivitas panas (k) menggambarkan kemudahan terjadinya pindah panas pada suatu bahan. Secara umum, minyak nabati memiliki nilai k pada kisaran 0.156โ0.176 W.m-1K1
, dan pengaruh suhu terhadap k dapat dihitung dengan Persamaan 29. k = 0.1676 -๏ 6.00 x๏ 10-5T
(29)
Dengan menggunakan asumsi pipa yang lurus, dapat dihitung proses pelepasan panas selama pengaliran dalam pipa, untuk mengetahui penurunan suhu selama pengaliran (temperature drop atau ๏Tflow).
Berikut ini beberapa
persamaan matematika yang digunakan di dalam perhitungan pindah panas selama pengaliran CPO di dalam pipa lurus dengan insulasi tertentu. Menurut Toledo (1991), pelepasan panas pada dinding pipa terjadi secara konduksi dimana laju aliran panas (q) ditentukan oleh nilai konduktivitas panas (k), luas permukaan pindah panas (A), dan gradien suhu (๏T) yang terjadi. Bila pipa yang digunakan ingin dihambat pelepasan panasnya, maka dilakukan insulasi dengan melapis pipa tersebut dengan bahan insulator yang memiliki nilai k yang kecil, sehingga q menjadi lebih kecil dengan menggunakan Persamaan 30.
๐=
๐1 โ ๐2 ln (๐2 / ๐1 ) / 2๐ ๐ฟ๐
(30)
Pengaliran fluida melibatkan proses pindah panas konveksi (Toledo 1991), dimana laju pindah panas konveksi merupakan fungsi dari suhu (T), koefisien pindah panas (๐๐ ), dan luas permukaan fluida dan pipa tempat terjadinya pindah panas (A) (Persamaan 31).
๐ = ๐๐ ๐ด โ๐
(31)
Nilai koefisien pindah panas (hh) suatu fluida yang mengalir ditentukan oleh faktor dimensi pipa (D), densitas (๏ฒ) dan kecepatan alir fluida (๐ ), viskositas (๏ญ), panas jenis (Cp), dan konduktivitas panas (k). Nilai hh dihitung menggunakan
147 analisis bilangan tak berdimensi yang mencakup Bilangan Prandtl (Pr), Bilangan Nusselt (Nu), dan Bilangan Reynolds (Re). Pr ditentukan dengan Persamaan 32, sedangkan Nu ditentukan dengan Persamaan 33.
Nu = (hh D) / k
(32)
Pr = (๏ญCp) / k
(33)
Berdasarkan analisis bilangan tak berdimensi terhadap parameter proses dan dimensi pipa dan insultor yang digunakan dalam sistem pengaliran, dapat ditentukan hh untuk mengetahui ๏T yang terjadi pada fluida yang mengalir di dalam pipa pada jarak tertentu. Untuk membantu di dalam perhitungan ketebalan insulasi terkait dengan fenomena pindah panas yang terjadi selama pengaliran dalam pipa, dapat digunakan program perhitungan ketebalan insulator yaitu program 3E Plusยฎ Insulation Thickness Computer Program yang dikeluarkan oleh North American Insulation Manufacturers Association (NAIMA).
Berbagai variabel proses
selama pengaliran beserta asumsi yang digunakan perlu diperhitungkan di dalam sistem insulasi yang akan dikembangkan. Perhitungan teknis pindah panas selama pengaliran dan sistem insulasi yang dibutuhkan tidak diuraikan secara mendetail di dalam penelitian ini, karena akan sangat tergantung parameter proses pengaliran dan desain sistem insulasi yang ingin diterapkan di lapangan.
Hasil dan Pembahasan Sistem Kendali Karakteristik Minyak Sawit Kasar Selama Pengaliran
Data dasar karakteristik CPO terkait proses pengaliran di dalam pipa yang telah dihasilkan pada tahap penelitian sebelumnya (penelitian Tahap I, II, dan III dengan hasil disajikan pada Bab 2, 3, dan 4), merupakan pertimbangan pertama di dalam menyusun sistem kendali karakteristik CPO selama pengaliran. Dengan menggunakan batas suhu maksimal pengaliran sebesar 55 oC (sesuai batas suhu
148 maksimal untuk bongkar muat CPO menurut Codex Alimentarius Comission (CAC) dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005)), maka pengaliran diharapkan dapat berlangsung hingga jarak tertentu sebelum terjadi kristalisasi lemak CPO yang mengakibatkan penyumbatan dalam pipa. Sistem pengaliran CPO dapat dirancang untuk mengalir pada kondisi suhu yang tetap (isotermal),
maupun suhu yang mengalami penurunan selama
pengaliran akibat pelepasan panas di sepanjang pipa (kondisi non-isotermal). Sistem pengaliran pada kondisi isotermal dapat terjadi bila diasumsikan bahwa pelepasan panas di sepanjang pipa dapat diabaikan karena jarak tempuh yang dekat. Sedangkan sistem pengaliran pada kondisi non-isotermal dapat terjadi bila pelepasan panas di sepanjang pipa tidak dapat diabaikan dan suhu mengalami penurunan, akibat jarak tempuh yang jauh. Penerapan sistem pengaliran pada kondisi isotermal dan non-isotermal tersebut membutuhkan sistem kendali terhadap karakteristik CPO di sepanjang pengaliran, yang dalam penelitian ini disebut sebagai sistem kendali (A) untuk kondisi isotermal, dan sistem kendali (B) untuk kondisi non-isotermal.
Sistem kendali isotermal
Dalam prakteknya di lapangan, pengaliran CPO dapat dilakukan sesuai suhu bongkar muat yang direkomendasikan oleh CAC/RCP 36 (CAC 2005), yaitu pada suhu 50-55 oC. Akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa pengaliran dan bongkar muat CPO dilakukan pada sampel CPO yang suhunya telah mengalami penurunan setelah pemanasan awal, misalnya karena telah disimpan dalam tangki atau diangkut dalam truk tangki pada waktu tertentu. Pada kondisi sampel CPO yang telah mengalami penurunan suhu hingga di bawah 50 oC, seharusnya dilakukan pemanasan kembali menuju kisaran suhu yang direkomendasikan CAC. Pemanasan kembali dapat menurunkan mutu CPO, dan oleh karena itu bila pengaliran CPO dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dari suhu rekomendasi CAC, maka mutu CPO dapat dipertahankan lebih baik lagi. Adanya perbedaan sifat reologi dan kristalisasi CPO pada suhu pengaliran konstan (isotermal) yang dibatasi oleh TM, memberikan arahan di dalam
149 pengembangan sistem kendali karakteristik CPO agar tetap dapat dialirkan di sepanjang pipa. Pada sistem kendali pengaliran (A) dengan kondisi isotermal di atas TM (pada kisaran suhu di atas 40-55 oC), pengaliran berlangsung pada suhu yang tetap di sepanjang aliran pipa dengan sifat reologi yang konstan. Berdasarkan karakteristik reologi CPO pada perlakuan awal sampel yang telah mengalamai pemanasan awal 55 oC dan disetimbangkan pada suhu-suhu tertentu selama 24 jam, maka dapat diketahui bahwa pada suhu di atas 40 oC, CPO bersifat sebagai fluida Newtonian dengan ๏ญ maksimal sebesar 51.1 mPa.s. Pada suhu di atas TM CPO tersebut, tidak akan terjadi induksi kristalisasi selama suhu dapat dipertahankan konstan. Dengan demikian, penyumbatan pipa tidak akan terjadi bila suhu dipertahankan konstan di atas 40 oC. Dengan suhu awal CPO yang lebih tinggi dari 40
o
C dan dengan
mempertahankan kondisi isotermal melalui penggunaan sistem insulasi di sepanjang pipa, pengaliran CPO dapat berlangsung tanpa resiko penyumbatan pipa. Akan tetapi, persyaratan yang harus dipenuhi adalah kondisi suhu yang isotermal.
Karena pelepasan panas dan penurunan suhu tetap akan terjadi
walaupun
telah
digunakan
insulasi,
direkomendasikan untuk digunakan
maka
suhu
pengaliran
isotermal
pada pengaliran CPO jarak dekat untuk
tujuan bongkar muat. Data sifat reologi CPO yang digunakan untuk sistem kendali pengaliran isotermal untuk jarak tempuh yang dekat dengan tujuan bongkar muat di suhu di atas 40-55 oC adalah data sifat reologi CPO yang telah mengalami pemanasan awal di 55 oC dan penyetimbangan di suhu antara 40-55 oC selama 24 jam (data penelitian Tahap II dalam Bab 3).
Berdasarkan data dasar sifat reologi dan
kristalisasi CPO yang telah diperoleh, terdapat beberapa kesimpulan mengenai sifat reologi dan kristalisasi CPO yang dapat dipergunakan untuk menentukan sistem kendali pengaliran CPO dan perhitungan rancangan teknis pipa CPO pada kondisi isotermal, sebagai berikut: 1. Pada kondisi statis di suhu isotermal tertentu di atas titik leleh (melting point, TM) CPO (> 40 oC), CPO bersifat sebagai fluida Newtonian dengan ๏ญ๏ relatif rendah, dan tidak akan terjadi induksi kristalisasi karena tidak terjadi kondisi supercooling.
150 2. Pada suhu < 40 oC, CPO bersifat sebagai fluida non-Newtonian pseudoplastic dengan ๏ญ yang tinggi, dan mengalami induksi kristalisasi pada waktu induksi kristalisasi (ti ) tertentu. Pengaliran CPO pada kondisi isotermal dengan sistem kendali pengaliran (A), direkomendasikan untuk aplikasi pengaliran CPO pada jarak dekat, dengan suhu yang relatif tetap (perubahan suhu atau ๏Tflow dapat diabaikan). Untuk mempertahankan suhu pengaliran isotermal, dibutuhkan insulasi yang mencukupi untuk dapat mempertahankan karakteristik pengaliran CPO yang tetap konstan di sepanjang aliran pipa. Perhitungan teknik kendali pengaliran CPO pada kondisi isotermal berlangsung pada besaran parameter sifat fisik CPO yang lebih โberatโ, karena sifat reologi CPO telah konstan saat diukur pada kondisi suhu yang setimbang.
Dengan
menghitung
kebutuhan
sistem
insulasi
untuk
mempertahankan suhu pengaliran tetap konstan, sistem pengaliran isotermal akan menguntungkan pada aspek tertentu, yaitu tidak dibutuhkannya sistem pemanas.
Sistem kendali non-isotermal
Untuk pengaliran pada jarak tempuh yang jauh dengan tujuan menggantikan moda transportasi darat, maka transportasi CPO harus dilakukan pada kisaran suhu yang dapat mencegah terjadinya kristalisasi yang mengakibatkan penyumbatan pipa, dengan tetap mengacu pada suhu maksimal bongkar muat CPO yang direkomendasikan oleh CAC dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005), yaitu 55 oC. Yang menjadi titik kritis penyebab penyumbatan CPO dalam pipa adalah bila pengaliran berlangsung pada suhu lebih rendah dari suhu minimal pengaliran yang dapat digunakan, dan bila pengaliran isotermal melampaui waktu induksi kristalisasinya.
Dengan demikian kontrol suhu minimal pengaliran, harus
didasarkan pada karakteristik CPO saat mengalami induksi kristalisasi ketika CPO mengalami laju penurunan suhu dari suhu awal pengaliran 55 oC menuju suhu minimal pengaliran, serta shear rate tertentu. Berdasarkan data penelitian Tahap III (Bab 4) mengenai Sifat Reologi dan Kristalisasi Minyak Sawit Kasar pada Kondisi Dinamis, dapat disimpulkan beberapa bahwa sifat reologi dan kristalisasi CPO sebagai berikut:
151 1. Kondisi pengaliran non-isotermal (dengan ๏T dan shear rate tertentu) menghasilkan sifat reologi CPO yang lebih โringanโ karena dapat mempertahankan sifat fluida yang Newtonian dengan ๏ญ yang relatif kecil, selama suhu masih mengalami penurunan dari 55 oC dengan ๏T tertentu, dan belum mencapai kondisi isotermal. 2. Bila suhu isotermal terjadi di atas TM, belum terjadi kondisi supercooling yang dapat menjadi driving force kristalisasi lemak, sehingga sifat reologi CPO dapat dipertahankan sebagai fluida Newtonian dengan viskositas terukur (๏ญ) CPO yang relatif rendah, dan tidak akan terjadi induksi kristalisasi CPO 3. Kristalisasi CPO belum akan terjadi selama kondisi isotermal di bawah TM belum tercapai hingga suhu terendah 30 oC.
Sifat reologi CPO dapat
dipertahankan tetap Newtonian ๏ญ maksimal sebesar 60 mPa.s. 4. Bila pengaliran telah mengalami kondisi isotermal pada suhu di bawah TM (< 40
o
C), akan terjadi kondisi supercooling yang menyebabkan induksi
kristalisasi lemak setelah melalui waktu induksi (ti) tertentu.
Pada suhu
o
isotermal 30 C, ti akan terjadi setelah 30 menit. Karakteristik CPO tersebut sesuai untuk dipergunakan dalam sistem kendali pengaliran CPO pada kondisi non-isotermal. Selama suhu masih mengalami laju penurunan suhu tertentu dan belum tercapai kondisi isotermal, CPO belum akan mengalami induksi kristalisasi sehingga penyumbatan CPO dalam pipa belum akan terjadi. Ketika suhu isotermal telah tercapai, CPO yang sedang mengalir harus segera dipanaskan kembali ke suhu 55 oC, agar sifat reologinya dapat dikembalikan ke kondisi awal, dan kristalisasi dapat dicegah. Sistem kendali pengaliran (B) untuk kondisi pengaliran CPO non-isotermal, menggunakan suhu awal 55 oC yang selanjutnya didesain akan mengalami penurunan suhu akibat terjadinya pelepasan panas di sepanjang pengaliran CPO di dalam pipa.
Suhu terendah yang dapat terjadi sangat tergantung pada suhu
lingkungan, yang mengalami proses kesetimbangan dengan suhu CPO untuk mencapai kondisi isotermal. Bila suhu isotermal < TM, akan terjadi induksi kristalisasi tertentu dengan nilai ๏ญ dan ti tertentu. Pencegahan kristalisasi melalui pemanasan kembali ke suhu 55 oC dilakukan pada kisaran ti di suhu isotermal tersebut.
152 Sistem kendali pengaliran (B) memiliki potensi untuk diaplikasikan pada pengaliran CPO jarak jauh.
Selama pengaliran, akan terjadi penurunan suhu
akibat pelepasan panas yang menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik CPO. Kondisi suhu setimbang tidak segera terjadi selama pengaliran dari suhu tinggi (55 oC), karena terdapat laju penurunan suhu dan shear rate tertentu yang berlangsung pada kondisi yang metastabil. Sifat reologi CPO dikendalikan dengan melakukan kontrol terhadap suhu di sepanjang aliran CPO sesuai desain sistem pipa yang dirancang.
Hal itu
dilakukan agar suhu dapat dikendalikan sesuai kisaran suhu yang masih memungkinkan karakteristik CPO terkendali, tidak mengalami kristalisasi lemak yang berlebihan, serta tidak mengakibatkan penyumbatan pipa.
Pada jarak
tempuh yang jauh, kontrol suhu dapat dilakukan melalui penggunaan insulasi untuk mempertahankan suhu pengaliran hingga jarak tertentu. Bila suhu telah menurun mendekati batas suhu isotermal, CPO harus dipertahankan atau dinaikkan kembali suhunya dengan suatu sistem pemanasan kembali (misalnya dengan heat exchanger) di beberapa titik tertentu pada sistem pipa. Dengan menerapkan sistem pemanasan kembali pada titik tertentu di sepanjang pipa, akan terjadi beberapa siklus suhu, dan suhu dapat dipertahankan tetap di atas suhu isotermalnya, sehingga sifat reologi CPO dapat terus dikendalikan agar dapat terus mengalir hingga jarak tempuh yang jauh. Bila dibandingkan dengan proses transportasi konvensional dengan moda transportasi darat menggunakan truk tangki, diterapkannya siklus suhu pada transportasi moda pipa relatif lebih menguntungkan karena suhu dapat dikendalikan pada kisaran suhu yang direkomendasikan oleh CAC dalam CAC/RCP 36 (CAC 2009) untuk penanganan CPO pada kisaran suhu maksimal 55 oC. Sedangkan pada transportasi dengan truk tangki, seringkali dilakukan pemanasan hingga suhu 80 oC untuk mencegah terjadinya pemadatan lemak selama transportasi karena truk tangki tidak dilengkapi dengan sistem pemanas. Dengan suhu yang lebih terkontrol, mutu kimia CPO khususnya pada atribut mutu total karotenoid dan DOBI selama terjadinya siklus suhu diharapkan tidak banyak mengalami penurunan
153 Acuan dalam Pengembangan Rancangan Teknis untuk Kendali Transportasi CPO Moda Pipa Kendali pengaliran dalam transportasi CPO moda pipa sangat ditentukan oleh desain sistem pengaliran CPO yang akan dikembangkan. Terdapat beberapa variabel sistem perpipaan yang harus ditentukan untuk menghitung beban sistem pipa yang harus ditangani dengan karakteristik CPO yang tetap terkendali dan dapat mengalir pada jarak tempuh tertentu. Sebagai acuan awal untuk pengembangan rancangan teknis pipa yang dapat mengendalikan karakteristik CPO, digunakan beberapa data rancangan teknis dasar moda pipa yang diajukan oleh Yuliati (2001), serta informasi pendukung dari sistem transportasi moda pipa untuk minyak bumi.
Kebaruan dalam
rancangan teknis yang disusun pada penelitian ini dibandingkan penelitian Yuliati (2001) adalah koreksi terhadap karakteristik CPO, dimana Yuliati mengasumsikan viskositas digunakannya data dasar karakteristik CPO hasil penelitian Tahap I, II, dan III (disajikan pada Bab 2, 3, dan 4), yang diharapkan akan menghasilkan sistem kendali aliran CPO yang lebih efektif, akurat, dan efisien. Selain itu, di dalam penelitian Yuliati (2001), pelepasan panas di sepanjang aliran pipa jarak jauh diabaikan, sedangkan di dalam penelitian ini, pelepasan panas di sepanjang pipa menjadi salah satu faktor yang harus dikendalikan melalui sistem stasiun pemanas untuk mempertahankan aliran CPO di sepanjang pipa. Perhitungan rancangan teknis pengaliran CPO dalam pipa dilakukan dengan memodifikasi rancangan teknis yang telah disusun oleh Yuliati (2001). Yuliati (2001) menggunakan pipa API 5L Grade B, tetapi pada perhitungan di dalam penelitian ini digunakan pipa jenis stainless steel 304L sesuai rekomendasi dari CODEX Alimentarius Comission dalam CAC/RCP 36 (CAC 2009). Fokus perhitungan kendali pengaliran CPO yang dilakukan pada tahap penelitian ini adalah perhitungan yang terkait langsung dengan karakteristik fisik CPO, khususnya sifat reologinya selama pengaliran di dalam pipa. Dalam penelitian ini dilakukan beberapa modifikasi dan penyempurnaan terhadap perhitungan sistem transportasi CPO moda pipa yang dilakukan Yuliati (2001), khususnya koreksi terhadap asumsi suhu aliran yang konstan, viskositas CPO yang tetap, dan jarak antar pompa penguat yang ditetapkan di awal
154 sepanjang 70, 140, dan 210 km. Yuliati (2001) mengasumsikan CPO memiliki suhu yang tetap 55 oC di sepanjang aliran pipa, sedangkan pada rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa di dalam penelitian ini, pengaruh sifat reologi dan densitas CPO yang berubah akibat pengaruh suhu akan diperhitungkan. Kebutuhan stasiun pompa penguat diperhitungkan sesuai ๏P yang dialami oleh sistem aliran CPO sesuai desain pipa dan suhu terendah yang dipilih. Stasiun pompa penguat didesain untuk ditempatkan pada lokasi yang sama dengan stasiun pemanas, untuk mengembalikan sifat reologi fluida ke suhu awal 55 oC.
Kajian Transportasi CPO Moda Pipa dengan Sistem Pengaliran Isotermal
Kajian transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal dilakukan untuk menghasilkan rancangan teknik kendali karakteristik CPO selama pengaliran, beserta contoh perhitungan rancangan teknis pipa pada sistem pengaliran isotermal. Di dalam menyusun rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal ini, digunakan beberapa asumsi dan kondisi pembatas (boundary conditions). Asumsi yang digunakan antara lain digunakannya pipa lurus, dengan laju aliran (๐ ) dan suhu pengaliran yang tetap. Selain itu dalam perhitungan, tidak dimasukkan faktor perubahan energi potensial, elevasi (ketinggian) dan energi kinetik selama pengaliran. Kondisi pembatas yang diterapkan adalah penggunaan data sifat fluida pada suhu terendah yang mungkin terjadi selama pengaliran yaitu masih di atas TM CPO (> 40 oC), serta penggunaan sistem insulasi dengan ketebalan insulator yang cukup sehingga mampu mempertahankan suhu yang isotermal. Rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa dengan sistem pengaliran isotermal Sistem pengaliran CPO isotermal dapat diterapkan pada suhu pengaliran yang tetap sesuai dengan suhu aktual CPO setelah penyimpanan dan pengangkutan, tanpa proses pemanasan kembali. Kasus yang relevan dengan kondisi ini misalnya ketika CPO telah mengalami penyimpanan dalam tangki penyimpanan atau setelah diangkut dengan kapal tangker atau truk tangki, dan
155 tidak tersedia peralatan kontrol suhu dan pemanas yang dapat mengatur dan mempertahankan suhu CPO tetap tinggi. Pada kasus ini, CPO dapat dialirkan pada suhu aktual tersebut dengan kendali pengaliran pada gaya dorong pompa, dengan mempertahankan suhu isotermal dengan insulator. Karena pada suhu di bawah TM (< 40 oC), CPO bersifat sebagai fluida nonNewtonian pseudoplastic dengan nilai ๏ญ yang cukup besar dan dapat mengalami induksi kristalisasi pada suhu isotermal, maka pengaliran pada kondisi isotermal dibatasi pada kisaran suhu 55 oC hingga suhu tidak lebih rendah dari 40 oC. Semakin rendah suhu pengaliran isotermal yang digunakan, ๏ญ CPO semakin tinggi. Akan tetapi bila pengaliran isotermal dilakukan pada suhu lebih dari 40 C, ๏ญ CPO maksimal yang harus ditanggung masih cukup ringan yaitu maksimal
o
60 mPa.s. Pada Gambar 35 dapat dilihat bagan alir teknik kendali transportasi CPO moda pipa untuk mempertahankan aliran CPO pada sistem pengaliran isotermal untuk transportasi CPO jarak dekat dan ๏T rendah. Agar pengaliran berlangsung pada kondisi isotermal yang lebih tinggi dari 40 oC untuk mencegah induksi kristalisasi, maka pengaliran CPO pada kondisi isotermal direkomendasikan hanya digunakan untuk pengaliran CPO pada jarak dekat.
Praktek pengaliran pada jarak dekat ini telah diterapkan di lapangan,
seperti pada proses bongkar muat CPO antar tangki penyimpanan, atau antara truk tangki
dengan
tangki
penyimpanan
dan
sebaliknya.
Walaupun
Codex
Alimentarius Comission dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005) merekomendasikan agar pengaliran CPO dilakukan pada suhu 50-55 oC, bila kondisi aktual lebih rendah dari suhu yang direkomendasikan tersebut, pengaliran CPO dapat dilakukan tanpa perlu pemanasan kembali. Konsekuensi dari suhu pengaliran isotermal yang lebih rendah dari suhu rekomendasi CAC adalah beban pengaliran yang lebih tinggi akibat sifat reologi CPO yang lebih berat.
Untuk mengatasi beban pengaliran yang lebih berat,
dibutuhkan input kerja pompa yang lebih besar saat pengaliran CPO dilakukan pada suhu lebih rendah. Akan tetapi karena jarak tempuh yang dekat, maka diasumsikan input kerja pompa yang dibutuhkan akan cukup ekonomis untuk mengatasi beban pengaliran yang harus ditanggung, dibandingkan bila harus dilakukan pemanasan CPO kembali ke suhu pengaliran 55 oC.
156 Mulai
Karakteristik CPO isotermal pada T antara 40-55 oC: ๏ฒ, n, K Volume CPO yang dialirkan Dimensi pipa: D ๐, Q Hitung Re (Newtonian/non Newtonian) Jenis pipa Hitung f Fittings pipa Hitung ๏Pf /๏ฒ๏ per satuan jarak
Hitung P total yang harus ditangani sistem
Hitung input kerja pompa (W) Klasifikasi P untuk tebal pipa Hitung tebal pipa (xp)
๏T~ 0, sifat termal CPO, spesifikasi insulator, kondisi lingkungan
Tentukan tebal insulator
Tentukan jarak maksimal pengaliran
Selesai Gambar 35
Bagan alir rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal untuk transportasi CPO jarak dekat dan ๏T rendah.
157 Terjadinya pelepasan panas di sepanjang pipa pada kondisi pengaliran isotermal harus diminimalisir dengan penggunaan insulator.
Desain sistem
insulasi yang digunakan harus mampu mempertahankan suhu isotermal CPO sepanjang pipa aliran, melalui pengaturan jenis dan ketebalan insulator sesuai dengan hasil perhitungan pindah panas yang terjadi pada pipa. Rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal seperti yang disajikan pada Gambar 35 diawali dari penggunaan data dasar densitas (๏ฒ) dan sifat reologi CPO yaitu indeks tingkah laku aliran (flow behavior index atau n) dan indeks konsistensi (concistency index atau K), pada kondisi isotermal pada suhu aktual di lapangan (suhu > 40 oC). Menurut IPL Tech. (1995), viskositas (sifat reologi) fluida merupakan peubah yang mempengaruhi ukuran pipa, kekuatan pompa, dan menentukan terjadinya kehilangan tekanan akibat friksi.
Untuk data sifat reologi, direkomendasikan
untuk menggunakan data hasil pengukuran CPO yang telah mengalami pemanasan awal 55 oC dan mengalami penyimpanan di suhu tertentu selama 24 jam, yang mensimulasikan sifat reologi CPO yang telah mengalami penyimpanan di dalam tangki timbun atau tangki alat transportasi. Data dimensi pipa dan kecepatan aliran CPO yang dipilih, ditentukan oleh kapasitas angkut (volume CPO) yang akan dialirkan.
Peningkatan kapasitas
pengangkutan CPO dapat ditentukan oleh diamater pipa dan ๐ aliran yang dipilih. Bila volume CPO tinggi, debit aliran (Q) harus diperbesar dengan cara meningkatkan kecepatan aliran atau dengan memperbesar diameter pipa. Setelah D dan ๐ ditetapkan, parameter proses transportasi fluida berupa bilangan Reynolds (Re), faktor friksi atau friction factor (f), dan perbedaan tekanan akibat friksi atau pressure drop (๏Pf / ๏ฒ๏ฉ๏ per satuan jarak dapat dihitung sesuai dengan jenis pipa dan kondisi fittings atau sambungan pipa yang dimiliki sistem, seperti adanya sambungan pipa dan belokan pipa.
Rumus yang digunakan dalam
perhitungan parameter proses transportasi fluida tersebut dapat dilihat bagian Metode Penelitian. Selanjutnya dapat dihitung tekanan total yang harus ditangani sistem (P) akibat faktor friksi dalam pipa lurus untuk jarak tempuh tertentu. Data P total digunakan untuk menentukan ketebalan pipa yang harus digunakan, agar mampu
158 menahan tekanan di sepanjang aliran pipa. Tebal pipa ditentukan sesuai rating tekanan menurut ASME B31.4 untuk sistem transportasi cairan (ASME 1993). Dengan menggunakan bagan alir rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa untuk sistem pengaliran isotermal tersebut, dapat diperoleh informasi mengenai perbedaan tekanan atau pressure drop (๏P) per satuan jarak. Data tersebut dapat digunakan untuk menentukan input kerja pompa yang harus disediakan untuk mampu mengatasi pengaliran CPO pada jarak tempuh tertentu. Bila input kerja pompa hanya tersedia dengan ukuran input kerja tertentu, dapat ditentukan pula jarak maksimal yang dapat ditempuh pada sistem pengaliran tersebut. Bila jarak tempuh ditetapkan, berdasarkan bagan alir rancangan teknik kendali tersebut juga dapat ditentukan kebutuhan input kerja pompa yang minimal harus dipenuhi untuk mampu mengalirkan CPO pada suhu isotermal tertentu. Dengan menggunakan hasil perhitungan pada suhu isotermal terendah yang direkomendasikan yaitu lebih dari 40 oC, maka pengaliran CPO isotermal pada suhu-suhu lain yang lebih tinggi akan lebih mudah terjadi. Input kerja pompa yang digunakan akan mampu mengatasi pengaliran CPO pada suhu-suhu isotermal lainnya yang lebih tinggi. Menurut Pootakham dan Kumar (2010b), pengaliran bahan pada jarak tempuh yang jauh membutuhkan stasiun pompa penguat untuk mengatasi kehilangan tekanan akibat friksi selama pengaliran. Pada kapasitas pengaliran yang lebih tinggi, bila diameter pipa yang digunakan tetap, maka jarak antara stasiun pompa penguat menjadi lebih dekat. Akan tetapi bila diameter pipa lebih besar, faktor friksi akan menurun, dan jarak stasiun pompa penguat menjadi lebih jauh. Karena pengaliran berlangsung isotermal, maka dibutuhkan insulator dengan ketebalan tertentu yang dapat ditentukan dari hasil perhitungan pindah panas dengan melibatkan parameter sifat termal CPO yang mencakup panas jenis (specific heat, Cp) dan nilai konduktivitas panas (thermal conductivity, k) CPO, spesifikasi insulator yang digunakan, serta kondisi lingkungan. Kondisi pengaliran isotermal akan lebih menguntungkan dari sudut pandang mutu CPO, dimana ekspos panas terhadap CPO menjadi lebih rendah karena proses pemanasan
159 kembali ke suhu pengaliran 50-55 oC sesuai rekomendasi CAC/RCP 36 (2005) dapat dilakukan pada frekuensi yang lebih rendah. Menurut Haryati et al. (1997), dalam transportasi CPO secara konvensional, pemanasan berulang pada CPO seringkali lebih tinggi dari suhu 55 oC, yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu. Dengan demikian bila pengaliran berlangsung secara isotermal, mutu CPO dapat dipertahankan lebih baik lagi, khususnya pada parameter kadar total karoten dan DOBI (deterioration of bleachability index). Di lain pihak, karena CPO merupakan minyak yang belum mengalami pemurnian, pengaliran CPO pada suhu isotermal yang rendah, dapat meningkatkan peluang terjadinya penyumbatan.
Sathivel et al. (2003)
mengemukakan bahwa pada suhu rendah, adanya kotoran (impurities) pada minyak kasar cenderung akan mengendap pada dinding pipa. Beberapa partikel solid dalam pengaliran bulk akan meningkatkan viskositas minyak, dan mengakibatkan terjadinya peningkatan pressure drop dalam jalur perpipaan. Contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal
Berikut ini adalah contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa untuk sistem pengaliran isotermal. Variabel proses yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 23, sedangkan contoh hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 24. Pada penyimpanan dan transportasi minyak nabati, CAC/RCP 36 (CAC 2005) merekomendasikan bahwa permukaan tangki (serta pipa) yang kontak dengan minyak harus inert dan terbuat dari mild steel yang dilapisi epoksi resin atau terbuat dari stainless steel. List et al. (2005) menjelaskan bahwa pipa yang sesuai digunakan untuk pengaliran minyak nabati adalah pipa fleksibel yang terbuat dari baja karbon, neoprene, plastik, aluminium, atau stainless steel (tipe 302, 303, 316). Perhitungan rancangan teknis pipa untuk pengaliran CPO dalam penelitian ini menggunakan jenis pipa stainless steel 304L (smooth) yang sesuai digunakan untuk produk pangan.
160 Tabel 23 Variabel proses dan asumsi yang digunakan pada contoh kasus perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal. No
Variabel
Keterangan
Kebutuhan data
Asumsi
1
Karakteristik CPO: densitas (๏ฒ), sifat reologi (n, K, ๏ญ)
Data dasar karakteristik CPO
Hasil penelitian Tahap II untuk kondisi isotermal
2
Kapasitas angkut: debit aliran (Q)
Sesuai kapasitas CPO yang akan dialirkan
List et al. (2005): minimal 16500 L/jam atau 0.005 m3/s
๐ tetap
3
Dimensi pipa: diameter, jumlah belokan pipa, ketinggian
Ditetapkan sesuai kapasitas CPO yang akan dialirkan, dan sistem pipa
Pahan (2007): pipa distribusi CPO berdiamater 4 inci; (ASME 1993)
Pipa lurus dan datar
4
Ketebalan insulator
Diperhitungkan sesuai ๏T yang ditetapkan
k insulator, k pipa, Cp CPO. Yuliati (2000), xi untuk D pipa 4 inci = 3.5 inci
Diameter pipa yang digunakan dalam contoh perhitungan adalah 4 inci, dengan laju aliran rata-rata (flow rate atau V) yang diterapkan adalah 3 feet/detik. Pahan (2007) menjelaskan bahwa ukuran pipa distribusi CPO umumnya berdiameter 4 inci sch 40. Menurut List et al. (2005), untuk memompa minyak dapat digunakan pompa sentrifugal maupun pompa perpindahan positif. Pompa harus terbuat dari baja karbon atau stainless steel, dengan kapasitas yang mencukupi untuk mengeluarkan minyak hingga 32280 L (8000 galon) dalam waktu kurang dari 2 jam. Untuk itu di dalam contoh perhitungan ini pengaliran CPO digunakan pompa dengan debit minimal 16500 L/jam atau 0.005 m3/s. Pada pengaliran jarak dekat, diasumsikan bahwa suhu CPO telah setimbang dan isotermal, dan dialirkan langsung pada suhu tersebut tanpa perlu proses pemanasan kembali. Suhu pengaliran dipertahankan tidak lebih rendah dari 40 oC dengan penggunaan insulator di sepanjang pipa.
Jarak pengaliran isotermal
terjauh yang dapat berlangsung tanpa induksi kristalisasi lemak diperhitungkan berdasarkan ketebalan insulator yang dipergunakan.
161 Tabel 24 Contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran isotermal pada suhu 40 hingga 55 oC, dengan penurunan suhu maksimal 5 oC No
Parameter
Simbol Satuan
DATA DASAR SIFAT FISIK CPO o 1 Suhu awal T C 2 Densitas kg/m3 ๏ฒ๏ Indeks tingkah 3 n laku aliran Indeks konsis4 K Pa.sn tensi Viskositas 5 Pa.s ๏ญ๏ terukur VARIABEL PROSES PENGALIRAN inci 1 Diameter pipa D m 2 Jari-jari pipa R m ft/s Laju aliran 3 ๐ rata-rata m/s 4 Debit aliran Q m3/s o 5 Penurunan suhu C ๏T 6 Tebal insulasi xp Inci 7 k pipa SS k W/mK k insulasi serat 8 k W/mK mineral HASIL PERHITUNGAN Bilangan 1 Re Reynolds 2 Jenis aliran
Nilai 40 903.3
45 899.0
50 894.7
55 890.4
0.786
0.914
0.947
0.959
0.132
0.051
0.036
0.028
0.132
0.051
0.036
0.028
4 0.102 0.051 3 0.914 0.007 5 3.5 16
4 0.102 0.051 3 0.914 0.007 5 3.5 16
4 0.102 0.051 3 0.914 0.007 5 3.5 16
4 0.102 0.051 3 0.914 0.007 5 3.5 16
0.04
0.04
0.04
0.04
1202
2316
2859
3485
-
Laminar
Turbulent
Turbulent
Turbulent
3 Shear rate maks
๏ง๏
s-1
118
113
111
110
4 Faktor friksi Penurunan tekanan 5 (pressure drop)/km Input kerja 6 pompa Tebal pipa 7 (schedule)* Jarak maks 8 pengaliran
f
-
0.013
0.013
0.012
0.011
๏P/km
kPa
199
190
175
163
W
kPa
594
569
526
489
xp
Inci
0.120
0.120
0.120
0.120
Lmaks
km
1.7
1.7
1.8
2.6
* ditentukan sesuai ASME B31.4 (ASME 1993).
162 Data dasar yang digunakan dalam perhitungan pengaliran CPO pada jarak dekat adalah data yang diperoleh dari percobaan Tahap II (Bab 3), yaitu data densitas (๏ฒ) dan sifat reologi CPO yaitu parameter n dan K, pada kisaran suhu 2555 oC yang diukur dengan metode penerapan suhu (1) yaitu CPO telah mengalami pemanasan awal 55 oC dan penyetimbangan selama 24 jam. Berdasarkan data karakteristik CPO (data disajikan pada Tabel 24) dapat diketahui secara umum bahwa semakin rendah suhu CPO pada kondisi isotermal, maka ๏ฒ๏ CPO semakin tinggi, n semakin rendah, sedangkan K akan semakin tinggi. CPO pada suhu di atas 40 oC cenderung bersifat sebagai fluida Newtonian dengan viskositas terukur (๏ญ) maksimal pada suhu 40 oC sebesar 60 mPa.s Berdasarkan rancangan teknis pipa dengan diameter pipa tertentu (dalam perhitungan ini dipilih diameter 4 inci), serta laju aliran (๐ ) dan debit aliran (Q) CPO tertentu, dengan hasil perhitungan pada Tabel 24 dapat diketahui bahwa sifat reologi CPO yang berbeda akibat pengaruh suhu menyebabkan Re pada suhu pengaliran juga berbeda-beda. Pada kasus pengaliran tersebut, suhu pengaliran yang semakin rendah akan menghasilkan Re yang semakin rendah pula. Pada suhu 40 oC, pengaliran CPO pada kondisi tersebut menghasilkan sifat aliran CPO yang laminar, sedangkan pada suhu 45-55 oC, cenderung memiliki sifat aliran yang turbulent. Dengan menggunakan model pipa lurus, sifat aliran yang berbeda tersebut berimplikasi pada shear rate dan faktor friksi (f) yang terjadi di dalam pipa. Suhu pengaliran CPO yang semakin rendah menyebabkan shear rate dan f semakin besar. f yang semakin besar, akan berimplikasi pada penurunan tekanan (pressure drop)/km panjang pipa atau (๏P/km) dimana pengaliran CPO pada suhu yang lebih rendah akan meningkatkan ๏P /km. Dengan demikian, untuk mengalirkan CPO pada jarak tempuh tertentu pada suhu pengaliran yang semakin rendah, dibutuhkan input kerja pompa yang semakin besar. Semakin besar input kerja pompa yang digunakan, dibutuhkan pipa yang dengan ketebalan (schedule) yang semakin besar agar mampu menahan tekanan di sepanjang aliran. Bila pipa yang digunakan tidak cukup kuat untuk menahan tekanan pipa, pipa dapat pecah.
Ketebalan pipa harus diperhitungkan menurut
klasifikasi ASME B31.4 (ASME 1993).
163 Melalui perhitungan pindah panas, dapat dihitung penurunan suhu yang terjadi/km panjang pipa.
Dengan mengetahui suhu awal pengaliran dan
penurunan suhu maksimal yang dapat terjadi pada sistem sebelum suhunya lebih rendah dari 40 oC, maka dapat diketahui jarak tempuh maksimal yang dapat ditempuh oleh sistem pengaliran tersebut yang belum mengalami induksi kristalisasi CPO. Contoh perhitungan yang disampaikan di dalam penelitian masih bersifat sederhana, karena belum mempertimbangkan secara detail kondisi teknis di lapangan seperti kapasitas pengaliran yang ingin digunakan, kondisi topografi, suhu lingkungan, desain pipa yang dipilih, dll. Bila data sistem pengaliran CPO yang diinput berbeda, tentu akan diperoleh hasil perhitungan rancangan teknis pipa yang berbeda pula, sesuai dengan desain yang ingin dikembangkan. Kajian Transportasi CPO Moda Pipa dengan Sistem Pengaliran NonIsotermal
Kajian transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal dilakukan untuk menghasilkan rancangan teknik kendali karakteristik CPO selama pengaliran, serta memberikan contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa dengan sistem pengaliran non-isotermal. Di dalam menyusun rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal ini, digunakan beberapa asumsi dan kondisi pembatas (boundary conditions). Asumsi yang digunakan antara lain digunakannya pipa lurus dan laju aliran (๐ ) yang konstan. Selain itu faktor perubahan energi potensial, elevasi (ketinggian) dan energi kinetik tidak dimasukkan dalam perhitungan ini. Kondisi pembatas yang ditetapkan antara lain suhu pengaliran CPO diawali dari suhu 55 oC hingga suhu minimal pengaliran pada sistem pengaliran nonisotermal (sistem B) pada suhu 30 oC.
Segera setelah suhu 30 oC tercapai,
dilakukan pemanasan kembali di stasiun pemanas di lokasi yang ditentukan berdasarkan perhitungan.
Untuk mempertahankan suhu pada kisaran yang
ditetapkan yaitu dari suhu 55 oC hingga 30 oC pada jarak tempuh tertentu, maka diasumsikan insulator yang digunakan harus mampu untuk mempertahankan suhu pada kisaran tersebut dengan jenis insulator dan ketebalan yang sesuai.
164 Rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa dengan sistem pengaliran non-isotermal Sistem pengaliran non-isotermal direkomendasikan untuk pengaliran CPO jarak jauh, dimana pengaliran CPO dimulai dari suhu awal 55 oC, dan dilakukan pemanasan kembali di titik tertentu saat karakteristik CPO telah cenderung menghambat proses pengaliran. Hambatan pengaliran disebabkan oleh turunnya suhu CPO hingga lebih rendah dari TM, sehingga terjadi kondisi supercooling yang menjadi driving force kristalisasi.
Pembentukan kristal lemak akan
menyebabkan peningkatan ๏ญ yang dapat mengakibatkan penyumbatan pipa. Pada Gambar 36 disajikan bagan alir rancangan kendali transportasi CPO moda pipa untuk mempertahankan aliran CPO pada sistem pengaliran non-isotermal pada jarak jauh, dengan pemanasan kembali pada titik-titik tertentu di sepanjang pipa. Teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran nonisotermal diawali dari penggunaan data dasar karakteristik CPO yang diukur setelah CPO mengalami pemanasan awal 55 oC dan mengalami penurunan suhu hingga suhu terendah pengaliran yang belum isotermal, yaitu suhu 30 oC. Pada suhu tersebut, tetapi belum terjadi induksi kristalisasi selama belum terjadi kondisi isotermal. Digunakan data sifat reologi CPO pada metode penerapan suhu (2) (yang diawali dari suhu 55 oC dan mengalami penurunan suhu dengan ๏T tertentu) yang diketahui dapat mempertahankan sifat reologinya sebagai fluida Newtonian, dengan๏ ๏ญ maksimal di suhu 30 oC sebesar 60 mPa.s. Nilai๏ ๏ญ CPO maksimal sekitar 60 mPa.s dapat dipertahankan tetap selama suhu pengaliran masih belum isotermal.
Untuk memperlambat terjadinya
penurunan suhu dan mempertahankan suhu CPO tetap di atas TM, digunakan insulasi yang mampu mengurangi laju pindah panas dari CPO ke luar sistem pipa. Akan tetapi, karena jarak tempuh yang jauh, suhu CPO akan tetap mengalami penurunan dan pada akhirnya akan mendekati suhu 30 oC. Pada suhu kritis tersebut, CPO harus segera dipanaskan kembali sebelum terjadi induksi kristalisasi yang diketahui terjadi pada ti 30 menit
165 Mulai Karakteristik CPO pada T di atas T 30 oC: ๏ฒ, ๏ญ Volume CPO yang dialirkan Dimensi pipa: D ๐, Q Hitung Re (Newtonian) Jenis pipa Hitung f Fittings pipa Hitung ๏Pf /๏ฒ๏ per satuan jarak L Hitung P total yang harus ditangani sistem Klasifikasi P untuk tebal pipa Sifat termal CPO, spesifikasi insulator, kondisi lingkungan
Hitung tebal pipa (xp)
Tentukan tebal insulator
Tidak ๏T flow pada L > 25 oC? Kapasitas heat exchanger
Ya
Hitung input kerja pompa (W) Hitung lokasi stasiun penguat
Hitung lokasi stasiun pemanas Selesai Hitung input kerja pompa penguat pada stasiun pemanas Selesai Gambar 36
Bagan alir rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal dari suhu awal 55 oC hingga suhu pengaliran minimal 30 oC.
166 Seperti pada sistem pengaliran isotermal, data dimensi pipa dan kecepatan aliran CPO yang dipilih, ditentukan oleh kapasitas angkut (volume CPO) yang akan dialirkan sesuai kebutuhan. Peningkatan kapasitas pengangkutan CPO dapat ditentukan oleh diameter pipa dan ๐ aliran yang dipilih.
Setelah D dan ๐
ditetapkan, parameter proses transportasi fluida berupa Re, f, dan ๏Pf /๏ฒ๏ per satuan jarak dapat dihitung sesuai dengan jenis pipa dan kondisi fittings atau sambungan pipa yang dimiliki sistem, seperti adanya sambungan pipa dan belokan pipa. Karena sifat fluida CPO pada sistem pengaliran non-isotermal di 30 oC cenderung tetap
mempertahankan
sifat
fluida
Newtonian,
maka
perhitungan
Re
menggunakan persamaan untuk fluida Newtonian. Berdasarkan ๏Pf /๏ฒ๏ per satuan jarak dapat dihitung tekanan total (P) yang harus ditangani sistem untuk jarak tempuh tertentu. Data P juga digunakan untuk menentukan ketebalan pipa yang harus dipilih, agar mampu menahan tekanan di sepanjang aliran pipa.
Tebal pipa ditentukan sesuai rating tekanan menurut
ASME B31.4 untuk sistem transportasi cairan (ASME 1993). Berdasarkan data sifat aliran CPO pada suhu minimal pengaliran 30 oC, data sifat termal CPO (Cp, K), data spesifikasi pipa dan insulator yang digunakan, serta data kondisi lingkungan, dapat ditentukan pelepasan panas dan penurunan suhu yang terjadi pada jarak tempuh pengaliran tertentu (temperature drop, ๏Tflow). ๏Tflow kritis yang menentukan terjadinya kristalisasi dan sifat reologi CPO adalah 25 oC, dengan asumsi suhu awal pengaliran adalah 55 oC, dan suhu terendah pengaliran adalah 30 oC (๏Tflow kritis = 55-30 oC = 25 oC). Perhitungan panjang pipa saat ๏Tflow kritis tercapai tidak diuraikan secara detail di dalam penelitian ini karena tergantung pada sistem insulasi yang digunakan. Pada penggunaan jenis pipa dan spesifikasi insulator tertentu, terdapat kemungkinan bahwa ๏Tflow sebesar 25 oC telah terjadi pada jarak tertentu yang kurang dari jarak tempuh pengaliran CPO yang diinginkan (๏Tflow kritis < jarak tempuh total). Insulator yang mampu menghasilkan kinerja insulasi dengan ๏Tflow kritis < jarak tempuh total pada penelitian ini disebut insulator I. Bila pengaliran CPO dalam pipa menempuh jarak yang sangat jauh, jarak saat terjadi ๏Tflow 25 oC merupakan jarak yang digunakan sebagai lokasi stasiun pemanas. Pada jarak (lokasi) tersebut, ditempatkan sistem pemanas (heat exchanger) untuk
167 meningkatkan suhu CPO yang semula hampir mendekati suhu kritis pengaliran 30 o
C agar dapat kembali ke suhu 55 oC, sehingga kristalisasi lemak CPO dapat
dicegah. Agar stasiun pemanas dan stasiun pompa penguat dapat berada di lokasi yang sama, maka input kerja pompa awal dan pompa penguat ditentukan berdasarkan jarak antara lokasi stasiun pemanas. Posisi pompa penguat harus diletakkan setelah heat exchanger, dimana CPO telah mengalami pemanasan kembali ke suhu 55 oC. CPO yang sifat reologinya telah kembali ke kondisi awal, dapat kembali mengalami proses pengaliran dengan karakter pengaliran seperti saat baru mulai dialirkan dari tangki penyimpanan. Dengan demikian proses pengaliran CPO hingga jarak tempuh yang sangat jauh dapat terus dipertahankan dengan beberapa siklus pemanasan kembali (oleh heat exchanger) dan pendorongan kembali (oleh pompa penguat) di beberapa lokasi di sepanjang pipa. Bila di sepanjang jarak tempuh pengaliran tersebut tidak ingin digunakan sistem pemanasan kembali dengan heat exchanger, maka ๏Tflow disepanjang pipa tidak boleh melebihi 25 oC (agar suhu terendah pengaliran tidak < 30 oC). Untuk mendapatkan kondisi tersebut, maka dapat digunakan insulator yang mampu menghasilkan kinerja insulasi dengan ๏Tflow kritis > jarak tempuh total (disebut insulator II).
Untuk itu dibutuhkan ketebalan insulator tertentu yang dapat
ditentukan dari hasil perhitungan pindah panas dengan melibatkan parameter sifat termal CPO (Cp, K), spesifikasi insulator yang digunakan, serta kondisi lingkungan. Tentu saja perlu dipertimbangkan bahwa insulator yang semakin tebal akan memiliki konsekuensi terhadap peningkatan biaya pembangunan jaringan pipa. Dengan menggunakan sistem pengaliran tanpa stasiun pemanas tersebut, dapat diperoleh informasi mengenai perbedaan tekanan atau pressure drop (๏P) per satuan jarak yang dapat digunakan untuk menentukan input kerja pompa yang harus disediakan untuk mampu mengatasi pengaliran CPO pada jarak tempuh tertentu.
Bila input kerja pompa hanya tersedia dengan ukuran input kerja
tertentu, dapat ditentukan pula lokasi stasiun pompa penguat di sepanjang jalur pengaliran CPO tersebut.
168 Berdasarkan hasil kajian teknik kendali transportasi CPO moda pada sistem pengaliran CPO non-isotermal tersebut secara teknis dapat diajukan dua desain sistem pipa yang dapat dipilih, yaitu (i) menggunakan insulator di sepanjang aliran pipa, atau (ii) menggunakan insulator dan juga stasiun pemanas di beberapa lokasi saat mendekati suhu kritis 30 oC. Detail teknis perhitungan akan sangat tergantung pada kondisi di lapangan serta rancangan teknis desain sistem pipa yang dipilih, yang tidak dicakup di dalam tahapan penelitian ini.
Contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal
Berikut ini adalah contoh kasus perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa untuk sistem pengaliran non-isotermal untuk jarak tempuh 100 km. Perhitungan dilakukan menggunakan kondisi terberat yang harus diatasi, yaitu pada kondisi pengaliran di suhu minimal pengaliran 30
o
C. Untuk
menyederhanakan perhitungan, contoh perhitungan dilakukan untuk aliran dalam pipa lurus, dimana aliran dimulai dari suhu 55 oC dan diakhiri pada suhu minimal pengaliran tertentu, dengan diameter pipa 4 inci dan laju aliran 3 feet/detik. Variabel proses yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 25 dengan mengunakan data karakteristik CPO hasil penelitian Tahap III (Bab 4) mengenai pengaruh laju penurunan suhu (๏T) dan shear rate terhadap ๏ญ CPO.
Contoh perhitungan
kendali pengaliran CPO pada sistem pengaliran non-isotermal (Tabel 26), diterapkan pada dua kasus terkait ๏Tflow kritis, yaitu kasus dengan jarak saat ๏Tflow kritis tercapai > jarak tempuh, dan kasus dengan jarak saat ๏Tflow kritis tercapai < jarak tempuh. Untuk kasus dengan jarak ๏Tflow kritis > dari jarak tempuh (sebagai contoh jarak ๏Tflow kritis > 100 km), maka ๏Tflow kritis 25 oC dengan suhu minimal pengaliran 30 oC hanya memerlukan sistem insulasi tanpa sistem heat exchanger di stasiun pemanas. Sistem insulasi yang digunakan harus cukup memadai agar mampu mempertahankan pindah panas tertentu yang menghasilkan jarak saat ๏Tflow kritis tercapai > jarak tempuh. Pada kasus dengan jarak saat ๏Tflow kritis < jarak tempuh (misalnya pada contoh perhitungan jarak saat ๏Tflow kritis adalah 20
169 km), maka pada jarak tersebut, CPO harus dipanaskan kembali dengan sistem heat exchanger di stasiun pemanas. Tabel 25 Variabel proses dan asumsi yang digunakan pada contoh kasus perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal. Sumber data variabel
Asumsi
No
Variabel
Keterangan
1
Karakteristik CPO: densitas (๏ฒ), sifat reologi (๏ญ)
Data dasar karakteristik CPO pada suhu minimal pengaliran 40 oC
Hasil penelitian Tahap III pada pengujian pengaruh ๏T dan shear rate
Menggunakan data karakteristik CPO pada T terendah
2
Kapasitas angkut: debit aliran (Q)
Sesuai kapasitas CPO yang akan dialirkan
List et al. (2005): minimal 16500 L/jam atau 0.005 m3/s
๐ tetap
3
Dimensi pipa: diameter, jumlah belokan pipa, ketinggian, strainer
Ditetapkan sesuai kapasitas CPO yang akan dialirkan, dan sistem pipa
Pahan (2007): Pipa lurus dan pipa distribusi CPO datar berdiamater 4 inci
4
Jarak tempuh (panjang pipa, L)
Sesuai kebutuhan di lapangan
Contoh kasus: 100 km
Insulasi mampu mempertahankan T isotermal
5
Ketebalan insulator
Diperhitungkan sesuai ๏P yang ditetapkan
k insulator, k pipa, Cp CPO
Insulator I: ๏Tflow kritis < jarak tempuh total Insulator II: ๏Tflow kritis > jarak tempuh total
170 Tabel 26 Contoh perhitungan rancangan teknis transportasi CPO moda pipa pada sistem pengaliran non-isotermal dimulai dari suhu 55 oC hingga suhu 30 oC, pada dua kasus jarak terkait ๏Tflow kritis. Kasus terkait ๏Tflow kritis No
Parameter
Simbol
DATA DASAR SIFAT FISIK CPO 1 Suhu T 2 Densitas r Viskositas terukur maks 3 ๏ญ๏ pada T minimal pengaliran VARIABEL PROSES PENGALIRAN
Satuan
o
Jarak๏ ๏Tflow kritis Jarak๏ ๏Tflow kritis > jarak tempuh > jarak tempuh
C kg/m3
30 911.9
30 911.9
Pa.s
0.060 4 0.106 0.051 3 0.914 0.007 100 1600 >L (contoh 100 km)
4 0.106 0.051 3 0.914 0.007 100 Dihitung
0.060
1
Diameter pipa
D
2
R
4 5 6
Jari-jari pipa Laju aliran rata-rata Debit aliran Jarak tempuh Input kerja pompa
Q L W
inci m m ft/s m/s m3/s km kPa
7
Jarak๏ ๏Tflow kritis
L kritis
km
Re f
-
1564 Laminar 0.010
1564 Laminar 0.010
3
HASIL PERHITUNGAN 1 Bilangan Reynolds 2 Jenis aliran 3 Faktor friksi
V
4
Penurunan tekanan /km
๏P/km
kPa
154
154
5
Tebal pipa (schedule)*
xp
inci
0.120
0.120
6
Total P sesuai jarak tempuh
P = L* (๏P/km)๏
kPa
10500
10500
7
Jarak stasiun pemanas
LHE๏
km
tidak berlaku
20
8
Jumlah stasiun pemanas
L/LHE๏
unit
tidak berlaku
5
L/(P/W)๏
km
15.3 (~ 16)
P/W
unit
6.6 (~ 7)
Jarak stasiun pompa penguat Jumlah stasiun pompa 10 penguat 9
Input kerja pompa untuk 11 setiap stasiun pemanas
P/LHE
kPa
* ditentukan sesuai ASME B31.4 (ASME 1993).
Sesuai rancangan teknis point 6: 1600
Sesuai perhitungan point 7: 20 Sesuai perhitungan point 8: 5 2098
171 Data dasar sifat fisik CPO yang digunakan dalam perhitungan yaitu data ๏ฒ pada suhu 30 oC dan data ๏ญ CPO pada saat CPO mengalami ๏T dan shear rate pada suhu minimal 30 oC. Dengan menggunakan rancangan teknis pipa dengan diameter pipa tertentu (dalam perhitungan ini dipilih diameter 4 inci), serta laju aliran (๐ ) dan debit aliran (Q) CPO tertentu, berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 25 dapat diketahui bahwa sifat aliran CPO pada kasus tersebut adalah laminar, dengan faktor friksi (f) sebesar 0.007, yang terkait dengan sifat fluida CPO yang masih bersifat sebagai fluida Newtonian.
Pada kasus tersebut, dapat
ditentukan ketebalan pipa yang sesuai dengan rating tekanan menurut ASME B31.4 untuk sistem transportasi cairan, sebesar 0.120 inci (ASME 1993). Pada contoh kasus pengaliran CPO dengan jarak ๏Tflow kritis < jarak tempuh 100 km, misalnya setelah dilakukan perhitungan pindah panas dapat diketahui bahwa jarak ๏Tflow kritis = 20 km, maka pada jarak ๏Tflow kritis tersebut, perlu disediakan pemanas (heat exchanger) untuk mengembalikan suhu CPO ke 55 oC dan mencegah kondisi supercooling yang menginduksi kristalisasi lemak CPO.
Dengan jarak tempuh 100 km dan jarak ๏Tflow kritis 20 km, maka
dibutuhkan 5 stasiun pemanas. Agar stasiun pompa penguat dapat ditempatkan di lokasi yang sama dengan stasiun pemanas, maka input kerja pompa yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk memompa CPO pada jarak antar stasiun pemanas tersebut. Dengan total P pada jarak 100 km sebesar 10500 kPa, maka untuk jarak 20 km, dibutuhkan pompa dengan input kerja minimal sebesar 2098 kPa. Yang perlu diperhatikan di dalam desain stasiun pemanas adalah bagaimana agar proses pindah panas untuk memanaskan CPO kembali ke suhu 55 oC dapat berlangsung secara efisien dan mencapai target suhu yang tepat. Diperlukan perhitungan pindah panas yang teliti sesuai kapasitas pemanasan heat exchanger dan volume CPO yang digunakan agar suhu akhir yang dicapai setelah melewati heat exchanger tidak berlebihan. Suhu awal yang terlalu tinggi dapat menurunkan mutu kimia CPO, khususnya pada atribut mutu kadar karoten dan DOBI. Selain itu menurut Bing et al. (2010), laju kristalisasi yang dimulai dari suhu awal yang lebih tinggi dari TM akan terjadi lebih cepat.
Suhu awal yang lebih tinggi,
172 diketahui akan menginduksi kondisi minyak yang leleh sempurna sehingga dihasilkan driving force yang lebih besar menuju fase kristalnya. Berdasarkan rancangan teknik kendali pengaliran CPO khususnya pada sistem pengaliran non-isotermal dapat disimpulkan secara umum bahwa pengaliran CPO pada jarak tempuh yang jauh memiliki potensi yang baik untuk diaplikasikan. Untuk pengembangan rancangan teknis yang terperinci, masih dibutuhkan data-data pendukung lain khususnya yang terkait dengan topografi dan lingkungan tempat jaringan pipa akan dibangun, serta kebutuhan teknis pipa lainnya. Kajian dan perhitungan yang terperinci baik secara teknis dan ekonomis untuk transportasi CPO moda pipa ini perlu dilakukan lebih lanjut, karena belum tercakup di dalam lingkup penelitian ini.
Simpulan
Terdapat dua sistem pengaliran yang dapat digunakan yaitu (A) sistem pengaliran pada kondisi isotermal pada suhu tertentu (pada kisaran suhu di atas 40 o
C hingga 55 oC), dan (B) sistem pengaliran pada kondisi non-isotermal yang
dimulai dari suhu awal CPO yang tinggi hingga suhu terendah sebelum kondisi isotermal tercapai, yaitu hingga suhu minimal 30 oC. Pengaliran pada suhu di bawah TM harus dalam kondisi suhu yang belum isotermal. Pengaliran CPO pada kondisi isotermal dapat diaplikasikan untuk sistem pengaliran CPO jarak dekat, dengan sistem insulasi yang harus mampu mempertahankan karakteristik pengaliran CPO yang tetap konstan di sepanjang aliran pipa. Data sifat reologi yang digunakan untuk sistem pengaliran tersebut adalah data CPO yang telah mengalami pemanasan di suhu 55 oC dan mengalami penyetimbangan selama 24 jam. Dengan menggunakan model pipa lurus pada jarak tempuh tertentu, pengaliran CPO pada suhu isotermal yang semakin rendah membutuhkan input kerja pompa dan ketebalan pipa yang semakin besar. Pada transportasi CPO moda pipa dengan jarak tempuh yang jauh, direkomendasikan untuk menggunakan sistem pengaliran non-isotermal hingga suhu terendah 30 oC. Pada sistem pengaliran non-isotermal diperlukan stasiun pompa penguat, sistem insulasi di sepanjang pipa serta sistem pemanas pada
173 beberapa lokasi untuk mencegah induksi kristalisasi lemak CPO. Data sifat reologi CPO yang digunakan adalah data CPO pada metode penerapan suhu saat mengalami laju penurunan suhu dan shear rate tertentu dimana sifat reologi CPO adalah Newtonian, dengan๏ ๏ญ maksimal pada suhu 30 oC sebesar 60 mPa.s. Pada sistem pengaliran CPO non-isotermal secara teknis dapat diajukan dua desain sistem pipa yang dapat dipilih, yaitu (i) menggunakan insulator di sepanjang aliran pipa, atau (ii) menggunakan insulator dan stasiun pemanas di beberapa lokasi saat mendekati suhu kritis 30 oC. Berdasarkan rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa khususnya pada sistem pengaliran non-isotermal, dapat disimpulkan secara umum bahwa pengaliran CPO pada jarak tempuh yang jauh memiliki potensi yang baik untuk diaplikasikan. Untuk mewujudkan transportasi CPO moda pipa, diperlukan kajian teknis yang lebih mendalam agar rancangan teknis yang dihasilkan lebih akurat dan sesuai dengan kondisi topografi, lingkungan tempat sistem pipa akan dibangun, serta kebutuhan teknis lainnya di lapangan.