11
2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan
Volume produksi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) Indonesia yang sangat besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, membutuhkan sistem dan sarana transportasi yang memadai dan efisien. Salah satu alternatif pengganti moda transportasi konvensional melalui moda transportasi darat adalah melalui penggunaan transportasi moda pipa. Penerapan prinsip-prinsip rekayasa proses (process engineering) dalam pengembangan desain sistem transportasi CPO moda pipa yang akurat memerlukan data dasar yang lengkap terkait dengan karakteristik mutu dan sifat fisik CPO selama pengaliran. Menurut Carlson (1996), data-data karakteristik bahan yang dapat diandalkan merupakan dasar agar hasil simulasi proses dan evaluasi ekonomis selanjutnya dapat mendekati kenyataan. Narvaez et al. (2008) juga mengemukakan bahwa data dasar yang diperoleh dari hasil pengujian serta model-model empiris yang dihasilkan dapat digunakan untuk memecahkan kasus simulasi proses, memfasilitasi evaluasi metode perhitungan, memvalidasi sifat yang dikaji, serta memperkirakan parameter-parameter proses yang belum diketahui. Untuk pengembangan sistem transportasi moda pipa, Steffe dan Daubert (2006) menyatakan bahwa perhitungan desain perpipaan memerlukan data reologi absolut yang tidak tergantung pada instrumen pengukuran yang digunakan. Variabel utama yang paling menentukan di dalam perhitungan desain perpipaan tersebut adalah sifat reologi dari bahan yang akan dialirkan tersebut. Wang dan Brigss (2002) juga mengemukakan bahwa sifat fisik minyak seperti viskositas, sifat pelelehan, dan kristalisasi merupakan parameter rekayasa yang penting di dalam desain pindah panas dan perpipaan. CPO memiliki karakteristik kimia yang istimewa bila dibandingkan dengan lemak nabati lainnya, dengan kandungan triacylglycerol (TAG) dengan komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir seimbang (Basiron 2005). Karakteristik kimia yang dimiliki suatu sampel CPO akan berpengaruh terhadap
12 sifat fisik yang dimilikinya. Saat dialirkan di dalam pipa pada suhu yang cukup rendah, akan terjadi kristalisasi fraksi stearin yang dapat menyebabkan hambatan pengaliran dan penyumbatan pipa. Oleh karena itu, kajian karakteristik mutu CPO dan sifat fisiknya yang terkait dengan proses pengaliran dalam pipa perlu dipelajari secara mendalam. Penelitian yang terkait dengan sifat fisik minyak sawit khususnya sifat reologi dan kristalisasinya telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Graef et al. (2008, 2009); Braipson-Danthine dan Gibon (2007); Calliaw et al. (2007); serta Tarabukina et al. (2009). Penelitian tersebut mempelajari sifat fisik minyak sawit yang telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO). Menurut Siew dan Ng (1996) serta Sathivel et al. (2003), proses pemurnian sangat berpengaruh pada sifat reologi lemak. Selain itu Miskandar et al. (2002) serta Metin dan Hartel (2005) menyatakan bahwa adanya komponen minor atau kotoran yang terdapat di dalam minyak kasar sangat besar pengaruhnya pada proses kristalisasi yang terjadi, sehingga fenomena kristalisasi antara minyak yang telah mengalami pemurnian sangat berbeda dengan yang terjadi pada minyak kasar. Diperkirakan, sifat fisik CPO akan berbeda dengan sifat fisik RBDPO, yang terkait juga dengan atribut mutu yang dimilikinya. Saat ini belum ada penelitian yang secara khusus mempelajari sifat fisik CPO terutama terkait dengan pengembangan transportasi CPO moda pipa. Selain itu, data dasar sifat fisik CPO khususnya yang berasal dari Indonesia juga belum tersedia secara lengkap. Adanya variasi antar sampel CPO yang dihasikan oleh pabrik kelapa sawit di Indonesia juga perlu menjadi pertimbangan di dalam penentuan sifat fisik CPO. Oleh karena itu, kajian untuk memperoleh data dasar sifat fisik CPO perlu dilakukan. Pada saat ini, pengujian sifat fisik CPO di lapangan masih menghadapi beberapa kendala teknis antara lain ketersediaan dan keterbatasan instrumen analisis, serta waktu pelaksanaan analisis yang cukup panjang. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan model matematika yang dapat memprediksi sifat fisik CPO melalui kajian korelasi antara atribut mutu dengan sifat fisik CPO juga perlu dilakukan.
13 Tujuan tahap penelitian ini adalah untuk memperoleh data dasar karakteristik CPO yang mencakup data mutu dan data sifat fisik terkait proses transportasi moda pipa; beserta data korelasi dan persamaan matematika untuk memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutunya.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga bulan November 2011.
Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; serta Laboratorium South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah lima sampel CPO yang diperoleh dari beberapa perusahaan kelapa sawit yang dimiliki perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta nasional dan internasional, yang berlokasi di Riau, Kalimantan Barat, Banten, dan Jakarta. Sampel CPO tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap mutu dan sifat fisik CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Dalam penelitian ini juga digunakan bahan-bahan kimia pro analyses (p.a.) untuk analisis mutu CPO. Peralatan utama yang digunakan adalah piknometer untuk mengukur densitas atau bobot jenis (), HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 (Karlsruhe, Jerman) untuk mengukur parameter sifat reologi, Differential Scanning Calorimetry (DSC) tipe DSC-60 (Shimadzu Corp., Jepang) yang dikendalikan dengan software Thermal Analysis System TA-60WS untuk memperoleh kurva profil entalpi (thermogram), serta Gas Chromatography (GC) Shimadzu GC-2100 Series (Shimadzu Corp., Jepang) untuk penentuan komposisi asam lemak. Selain
14 itu digunakan penangas air, pompa vakum, penyaring buchner, hot plate, oven pengering, desikator, dan peralatan gelas untuk analisis mutu CPO.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pengujian mutu lima sampel CPO berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2901-2006 mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006), dan pengumpulan data sifat fisiknya. Dilakukan pula pembandingan dengan standar CPO yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian RI untuk PKS di Indonesia (Ditjenbun 1997), dan standar PORAM (The Palm Oil Refiners Association of Malaysia) (PORAM 2011). Berdasarkan data mutu dan sifat fisik yang diperoleh, diamati adanya variasi antar sampel CPO. Selain itu dilakukan pula uji korelasi antara atribut mutu CPO dengan parameter sifat fisiknya, dan disusun persamaan matematika untuk prediksi sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutu. Bagan alir pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Analisis mutu CPO berdasarkan SNI 01-2901-2006 Warna Kadar air dan kotoran Kadar asam lemak bebas Bilangan iod
Analisis sifat fisik CPO
Densitas pada suhu 25 dan 55 oC Reologi (n, K, pada shear rate 400 s-1) pada suhu 25 dan 55 oC TO dan TM dari thermogram DSC
Analisis komposisi asam lemak sampel CPO
Uji korelasi antara atribut mutu dengan parameter sifat fisik CPO
Penyusunan persamaan matematika untuk prediksi sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutu
Gambar 2 Diagram alir penelitian kajian mutu dan sifat fisik minyak sawit kasar (CPO).
15 Analisis mutu lima sampel CPO dilakukan berdasarkan metode analisis yang tercantum dalam SNI 01-2901-2006 (BSN 2006), dengan atribut mutu mencakup warna visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran, kadar asam lemak bebas, dan bilangan iod. Sebagai data pendukung, dilakukan pula analisis komposisi asam lemak CPO melalui tahap pembentukan metil ester asam lemak sesuai metode AOCS Ce 2-66 (AOCS 2005) yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan Gas Chromatography. Pengumpulan data sifat fisik lima sampel CPO dilakukan pada suhu 25 oC dan 55 oC. Suhu 25 oC merupakan suhu sesuai standar metode pengukuran yang juga menggambarkan kondisi suhu kamar, sedangkan suhu 55 oC merupakan suhu maksimum proses pengisian tangki dan bongkar muat CPO sesuai rekomendasi Codex Alimentarius Commission (CAC) dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005) sebesar 50-55 oC. Sifat fisik yang diukur pada dua suhu tersebut adalah densitas (, sifat reologi, suhu onset kristalisasi (onset crystallization temperature, TO) dan suhu offset pelelehan (offset melting temperature, TM). Densitas diukur dengan piknometer mengikuti metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005). Pengukuran sifat reologi mencakup viskositas terukur (apparent viscosity atau ) pada shear rate 400 s-1 serta nilai indeks tingkah laku aliran (flow behavior index atau n) dan indeks konsistensi (concistency index atau K), yang ditentukan dengan HAAKE Viscometer.
Penentuan TM dan TO dilakukan
berdasarkan kurva profil entalpi (thermogram) yang dihasilkan melalui analisis kalorimetri dinamis menggunakan DSC, sesuai prosedur Saberi et al. (2011). Prosedur analisis sifat fisik CPO
secara lengkap dapat dilihat pada bagian
prosedur analisis. Setiap analisis dilakukan dengan minimal dua ulangan. Berdasarkan data mutu, komposisi asam lemak, dan sifat fisik yang diperoleh, dilakukan pengujian one-way analysis of variance (ANOVA one-way) untuk melihat perbedaan antar sampel CPO dengan program statistik SPSS Statistics 17.0.
Uji Duncan multiple-range
dilakukan untuk menentukan
perbedaan yang nyata antara data rata-rata pada P<0.05. Selanjutnya data mutu CPO sesuai SNI dan data sifat fisiknya ditentukan korelasinya dengan uji korelasi Pearson (two-tailed) dan dilanjutkan dengan analisis regresi untuk parameter yang memiliki koefisien korelasi yang nyata (P<0.05).
16 Prosedur Analisis
Penentuan warna CPO secara kasat mata (BSN 2006)
Penentuan warna CPO dilakukan berdasarkan SNI 01-2901-2006 mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.1, melalui pengamatan secara visual dengan kasat mata.
Penentuan kadar air dengan metode pemanasan (hot plate) (BSN 2006, AOCS 1998)
Penentuan kadar air CPO dilakukan berdasarkan SNI 01-2901-2006 mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.2.2, melalui metode pemanasan (hot plate). Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Contoh uji CPO ditimbang dengan teliti sebanyak 10 – 20 g di dalam gelas piala 100 mL yang telah diketahui bobotnya. Contoh uji dipanaskan sambil digoyang-goyang perlahan-lahan sampai tidak ada percikan air lagi.
Suhu
pemanasan tidak boleh lebih dari 130 oC. Bila titik akhir telah tercapai, contoh uji dipanaskan sebentar hingga mengeluarkan asap.
Selanjutnya contoh uji
dimasukkan dan didiamkan lagi dalam desikator selama ± 15 menit, lalu ditimbang bobotnya.
Perlakuan pemanasan dan pendinginan diulangi lagi
beberapa kali sampai selisih bobot antara dua kali penimbangan berturut-turut tidak melebihi 0.02 % dari bobot contoh uji. Kadar air dihitung berdasarkan Persamaan 1 dan dinyatakan dalam 3 desimal.
Kadar air (%) = 100
W1 W2 W1 W
Keterangan: W
adalah bobot wadah (g);
W1
adalah bobot wadah dengan contoh uji sebelum dikeringkan (g);
W2
adalah bobot wadah dengan contoh uji setelah dikeringkan (g).
(1)
17 Penentuan kadar kotoran dengan metode gravimetri (BSN 2006, AOCS 1998)
Penentuan kadar kotoran CPO dilakukan berdasarkan SNI 01-2901-2006 mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.3, melalui metode gravimetri.
Metode yang digunakan SNI tersebut
mengacu pada AOCS (1998). Kadar kotoran dihitung sebagai bahan yang terkandung dalam CPO yang tidak larut dalam n-heksana atau light petroleum. Pengujian menggunakan contoh uji hasil penentuan kadar air yang sudah diketahui bobotnya.
Kertas saring
Whatman No. 41 yang akan dipakai dicuci dengan n-heksana, dikeringkan dalam oven pada suhu 103 oC selama 30 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, dan ditimbang. Sementara itu ke dalam contoh uji ditambahkan 50 mL nheksana dan dipanaskan pada penangas air sambil digoyang-goyang sampai minyak terlarut semua. Contoh uji selanjutnya disaring melalui alat penyaring yang telah disiapkan sebelumnya. Pencucian dilakukan beberapa kali dengan menggunakan n-heksana setiap kalinya 10 mL sampai alat penyaringnya bersih dari minyak. Kertas saring dikeringkan dengan seluruh isinya dalam oven pada suhu 103 oC ± 2 oC selama 30 menit, dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit serta ditimbang bobotnya.
Tahap pengeringan, pendinginan dan
penimbangan diulangi hingga selisih dua kali penimbangan berturut-turut tidak melebihi 0.01 % dari bobot contoh uji. Hasil uji dihitung berdasarkan Persamaan 2 dan dinyatakan dalam 3 desimal.
Kadar kotoran (%) = 100
W1 W2 W1 W
Keterangan : W
adalah bobot kertas saring (g);
W1
adalah bobot kertas saring tanpa contoh uji setelah dikeringkan (g);
W2
adalah bobot kertas saring dengan contoh uji setelah dikeringkan (g).
(2)
18 Penentuan kadar asam lemak bebas metode titrasi volumetri (BSN 2006, AOCS 1998)
Penentuan kadar asam lemak bebas CPO dilakukan berdasarkan SNI 012901-2006 mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.4, melalui metode titrasi volumetri. Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Kadar asam lemak bebas dihitung sebagai persentase bobot (w/w) dari asam lemak bebas yang terkandung dalam CPO dimana bobot molekul asam lemak bebas tersebut dianggap sebesar 256 (sebagai asam palmitat). Sampel CPO dipanaskan pada suhu 60 oC sampai 70 oC dan diaduk hingga homogen. Contoh uji ditimbang sebanyak 10 g ke dalam erlenmeyer 250 mL, dan ke dalamnya ditambahkan 50 mL pelarut (isopropanol atau etanol 95%) yang sudah dinetralkan. Contoh uji dipanaskan di atas penangas air atau pemanas dan diatur suhunya pada 40 oC sampai contoh uji larut semuanya. Ke dalamnya ditambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes, kemudian dititrasi dengan larutan titar (NaOH 0.1 N atau NaOH 0.25 N atau KOH 0.1 N yang telah distandardisasi) sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda (merah jambu) yang stabil untuk minimal selama 30 detik.
Volume (mL) larutan titar yang digunakan
dicatat dan dilakukan analisa sekurang-kurangnya duplo, dengan perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh melebihi 0.05%. Persentase asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan Persamaan 3, dan dinyatakan dalam 2 desimal.
Asam lemak bebas (%) =
25.6 x N x V W
(3)
Keterangan: V
adalah volume larutan titar yang digunakan (mL);
N
adalah normalitas larutan titar;
W
adalah bobot contoh uji (g);
25.6 adalah konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat.
19 Penentuan bilangan iod dengan metode titrasi volumetri (BSN 2006, AOCS 1998) Penentuan bilangan iod CPO dilakukan berdasarkan SNI 01-2901-2006 mengenai Minyak Kelapa Sawit Mentah (crude palm oil) (BSN 2006) pada sub bab 5.5, melalui metode titrasi volumetri. Metode yang digunakan SNI tersebut mengacu pada AOCS (1998). Bilangan iod dinyatakan sebagai gram (g) iod yang diserap per 100 gram (g) sampel. Sampel dilelehkan pada suhu 60 oC sampai 70 oC, dan diaduk hingga rata. Contoh uji kemudian ditimbang sebanyak 0.4 g sampai 0.6 g di dalam erlenmeyer bertutup asah 250 mL.
Ke dalamnya ditambahkan 15 mL
sikloheksana untuk melarutkan contoh uji tersebut, kemudian ditambahkan 25 mL larutan Wijs dengan menggunakan pipet gondok, dan erlenmeyer tersebut ditutup dengan penutupnya. Campuran dikocok kemudian disimpan dalam tempat atau ruang gelap selama 30 menit, atau 3 menit bila ditambahkan merkuri asetat. Selanjutnya ditambahkan 10 mL larutan KI 10% dengan pipet gondok dan 50 mL air suling.
Erlenmeyer tersebut kemudian ditutup, dikocok, dan selanjutnya
dilakukan titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Setelah itu ditambahkan 1-2 mL indikator kanji, dan titrasi dilanjutkan sampai warna birunya hilang setelah dikocok kuat-kuat. Pengujian tersebut dilakukan sekurang-kurangnya duplo dengan perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh besar lebih dari 0.5%.
Dilakukan pula
penetapan blanko dengan cara yang sama. Bilangan iod dihitung berdasarkan Persamaan 4 dan dinyatakan dalam 1 desimal.
Bilangan iod (g iod /100 g sampel) =
12.69 x N x V2 V1 W
Keterangan : N
adalah normalitas larutan natrium tiosulfat 0.1 N;
V2
adalah volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan blanko (mL);
(4)
20 V1
adalah volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan contoh (mL);
W
adalah bobot contoh uji (g);
12.69 adalah konstanta untuk menghitung bilangan iod.
Penentuan komposisi asam lemak dengan Gas Chromatography (AOCS 2005)
Komposisi asam lemak di dalam sampel CPO ditentukan dengan melakukan tahap pembentukan metil ester asam lemak sesuai metode AOCS Ce 2-66 (AOCS 2005) yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan Gas Chromatography (GC).
Metil ester asam lemak yang diperoleh dianalisis dengan Shimadzu GC-
2100 Series menggunakan kolom DB-23 (30 m x 0.25 mm) dengan ketebalan 0.25 m. Detektor yang digunakan adalah Flame Ionization Detector (FID), dengan carrier gas helium. Larutan metil ester asam lemak diinjeksikan sebanyak 1 L ke dalam GC dengan menggunakan syringe (SGE microliter syringe 10 L). Suhu injektor dan suhu detektor ditetapkan 250 oC dan 260 oC. Gas helium (sebagai gas pembawa), gas hidrogen, dan udara dialirkan. Suhu kolom ditetapkan pada suhu 120 oC (ditahan selama 6 menit), kemudian suhunya dinaikkan dengan laju 3 oC/menit hingga suhu kolom mencapai 260 oC dan ditahan selama 25 menit. Jenis asam lemak pada contoh uji ditentukan dengan membandingkan wajtu retensi (retention time atau RT) asam lemak pada contoh uji, dengan RT asam lemak standar eksternal.
Penentuan densitas minyak dan lemak cair dengan piknometer (AOCS 2005) Penentuan densitas minyak dan lemak pada suhu tertentu dilakukan berdasarkan metode AOCS Cc 10a-25 (AOCS 2005) dengan menggunakan botol piknometer bervolume 100 mL yang telah dikalibrasi.
Prosedur pengukuran
densitas CPO dimodifikasi pada penerapan perlakuan suhu menggunakan penangas air yang dipertahankan pada suhu tersebut selama 30 menit untuk meyakinkan suhu contoh uji yang seragam.
21 Contoh uji dilelehkan dan disaring dengan kertas saring untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa kadar air. Selanjutnya contoh uji dan botol piknometer dipanaskan hingga suhu pengukuran di dalam water bath. Contoh uji dimasukkan ke dalam botol piknometer secara berlebih dengan mengatur posisinya untuk mencegah terbentuknya gelembung. Botol piknometer ditutup dan direndam seluruhnya di dalam penangas air pada suhu pengukuran selama 30 menit. Secara hati-hati, botol piknometer diangkat, dan minyak yang menempel di bagian luar botol dihilangkan, kemudian dilap hingga kering. Selanjutnya botol piknometer beserta isinya ditimbang dan densitasnya dihitung dengan Persamaan 5.
Densitas (g/mL) =
𝑊2 −𝑊1 𝑊3 1 + 0.000025 𝑥 ∆𝑇
(5)
Keterangan: W1
adalah bobot botol piknometer (g);
W2
adalah bobot piknometer dan contoh uji minyak pada suhu pengukuran (g);
W3
adalah bobot air pada suhu 25 oC (g);
T
adalah selisih suhu antara suhu pengukuran dengan suhu 25 oC.
Penentuan sifat reologi CPO dengan HAAKE Viscometer (HAAKE 1991, 1992)
Penentuan sifat reologi CPO dilakukan menggunakan HAAKE Viscometer Rotovisco RV20 dengan sistem pengukuran M5 dan sistem sensor NV yang terdiri atas sebuah silinder ko-aksial dengan dua celah/gap (celah dalam = 0.35 mm; celah luar = 0.4 mm) (HAAKE 1991).
Sebelumnya, dilakukan
penyetimbangan suhu contoh uji CPO pada suhu pengukuran selama 30-35 menit dengan penangas air. Suhu instrumen dikontrol oleh thermocontroller yang diatur melalui program Rotoviscometer (HAAKE 1992). Setelah suhu tercapai, terlebih dahulu contoh uji ditahan selama 10 menit pada suhu pengukuran, kemudian dikenai shear rate (laju geser) pada kisaran 0-400 s-1 sehingga diperoleh data shear stress (gaya geser) pada suhu tersebut. Berdasarkan data hubungan shear
22 rate dan shear stress, dapat ditentukan model fluida sampel CPO dengan parameter model fluida n (indeks tingkah laku aliran atau flow behaviour index) dan K (indeks konsistensi atau concistency index) tertentu. Berdasarkan model fluida yang diperoleh dapat ditentukan viskositas terukur () sampel CPO pada shear rate 400 s-1.
Penentuan thermogram kristalisasi dan pelelehan dengan analisis kalorimetri dinamis (Saberi et al. 2011)
Contoh uji CPO dimasukkan sekitar 10 mg ke dalam pan aluminium yang ditutup hermetis. DSC dikalibrasi dengan Indium pro analyses (p.a.) bertitik leleh 156 oC dan digunakan pembanding berupa pan aluminium bertutup yang kosong. Pengukuran DSC dimulai pada contoh uji bersuhu 25 oC. Kurva eksotermik diperoleh dengan menahan contoh uji pada suhu 80 oC selama 10 menit, yang dilanjutkan dengan pendinginan ke suhu -50 oC pada laju pendinginan 5 oC/menit. Untuk memperoleh kurva endotermik, contoh uji ditahan pada suhu
-50 oC
selama 10 menit dan kemudian dipanaskan ke suhu 80 oC pada laju pemanasan 5 o
C/menit. Melalui analisis ini dapat diperoleh kurva profil entalpi (thermogram)
selama kristalisasi dan pelelehan sampel CPO, serta dapat ditentukan suhu onset kristalisasi (onset crystallization temperature, TO) dan suhu offset pelelehan (offset melting temperature, TM).
TO
ditentukan pada kurva eksotermik (kurva
kristalisasi) berdasarkan suhu ketika mulai terjadi pelepasan entalpi, sedangkan TM ditentukan pada kurva endotermik (kurva pelelehan) berdasarkan suhu ketika penyerapan entalpi telah selesai.
Hasil dan Pembahasan
Sebagai dasar penerapan prinsip rekayasa proses dalam pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa, data mutu dan sifat fisik CPO beserta variasi data antar sampel perlu diketahui.
Untuk memberikan gambaran umum
karakteristik CPO yang diproduksi oleh pengolah kelapa sawit Indonesia, dilakukan analisis pada lima sampel CPO yang berasal dari lokasi yang berbeda. Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel yang baru dihasilkan industri
23 pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan kode sampel CPO A, CPO B, CPO C, CPO D dan CPO E.
Mutu CPO
CPO yang digunakan dalam penelitian ini diuji mutunya berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2901-2006 tentang Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil) dan dibandingkan pula dengan standar CPO dari Ditjenbun untuk PKS di Indonesia (Ditjenbun 1997) dan standar PORAM (PORAM 2011). Hasil pengujian lima sampel CPO tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dengan data selengkapnya pada Lampiran 1. Terdapat perbedaan yang nyata antar sampel CPO (P<0.05) pada atribut mutu KAK, ALB, dan BI dengan hasil uji ANOVA one-way serta uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 1 Hasil analisis mutu lima sampel CPO * Atribut mutu** Sampel
Bilangan iod (g iod/100 g sampel)
Warna
Kadar air dan kotoran (%)
Asam lemak bebas (%)
CPO A
Jingga kemerahmerahan
0.6840 c
3.88 b
51.3 a,b
CPO B
Jingga kemerahmerahan
0.6710 c
4.58 c
54.6 c
CPO C
Jingga kemerahmerahan
0.3304 a
5.80 d
50.4 a
CPO D
Jingga kemerahmerahan
5.3888 d
4.60 c
50.8 a
CPO E
Jingga kemerahmerahan
0.4911 b
3.34 a
52.6 b
* Spesifikasi standar mutu CPO: (a) Berdasarkan SNI 01-2901-2006 (BSN 2006): warna jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran maksimal 0.5%, bilangan iod 50-55 g iod/100 g sampel; (b) Berdasarkan PORAM (2011): asam lemak bebas maksimal 5%; (c) Berdasarkan Ditjenbun (1997): kadar air dan kotoran maksimal 0.17%, asam lemak bebas maksimal 2.53.5%, dan bilangan iod min.51 g iod/100 g sampel; ** Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
24 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa secara umum mutu lima sampel CPO yang diuji berada pada kisaran spesifikasi standar yang ditetapkan dalam standar SNI, Ditjenbun, maupun PORAM. Terdapat beberapa sampel CPO yang belum memenuhi standar spesifikasi yang ditetapkan dalam standar tersebut. Berdasarkan definisi minyak sawit menurut CODEX STAN 210-1999 (CAC 2009), minyak sawit adalah minyak makan yang diperoleh dari bagian mesokarp (daging) buah sawit, yang saat belum diproses berwarna coklat kemerahan dan memiliki konsistensi semisolid pada suhu kamar. Menurut Ong et al. (1995), komponen utama dari minyak sawit adalah TAG (94%), asam lemak (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, terpen dan gugus hidrokarbon alifatik, serta elemen sisa lainnya. Warna sampel CPO yang jingga kemerahmerahan, disebabkan oleh kandungan komponen pigmen karotenoid di dalamnya yang menurut Basiron (2005) konsentrasinya berkisar antara 500-700 ppm. CODEX STAN 210-1999 (CAC 2009), menentukan spesifikasi standar kadar total karotenoid (sebagai beta-karoten) untuk minyak sawit yang belum mengalami pemucatan sebesar 500-2000 ppm. Secara visual intensitas warna jingga kemerah-merahan yang dimiliki setiap sampel CPO berbeda-beda, namun spesifikasi standar mutu warna yang digunakan dalam SNI tidak membedakan intensitas warna jingga kemerah-merahan tersebut. Kenampakan lima sampel CPO yang diuji dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kenampakan lima sampel CPO yang digunakan.
25 Pada atribut mutu KAK, hanya sampel CPO C dan E yang memenuhi spesifikasi standar SNI, dan tidak ada sampel yang mampu memenuhi spesifikasi standar Ditenbun (1997).
Kadar air yang rendah sangat penting untuk
meminimalkan terjadinya reaksi hidrolisis lemak pada CPO saat penyimpanan dan transportasi (Hilder 1997). Sampel CPO A dan CPO B mengandung KAK sedikit lebih tinggi dibandingkan spesifikasi standar SNI, akan tetapi untuk sampel CPO D, nilai KAK-nya sangat tinggi, yaitu mencapai 5.39%. Bila ditelusuri lebih lanjut pada sampel CPO D, diperoleh data kadar air sebesar 0.55% dan kadar kotoran sebesar 4.84%. Kadar kotoran sampel CPO D yang sangat tinggi dapat terlihat secara visual berupa partikel-partikel kotoran pasir dan kerak berwarna hitam.
Tingginya kadar kotoran dapat disebabkan oleh kurang terjaganya
kebersihan peralatan dan wadah selama pengolahan dan penanganan CPO. Untuk atribut mutu kadar ALB, terdapat satu sampel CPO yang tidak memenuhi spesifikasi standar PORAM sebesar maksimal 5%. Tingginya kadar ALB dalam sampel CPO dapat dipengaruhi oleh kadar ALB awal dalam sampel, kadar air, dan suhu selama penanganan dan transportasi (Hilder 1997), serta mengindikasikan penanganan bahan baku tandan buah sawit (TBS) yang kurang baik sebelum ekstraksi CPO. Spesifikasi standar BI CPO menurut SNI 01-2901-1992 berada pada kisaran 50-55 g iod/100 g sampel, dan kelima sampel CPO yang diujikan memenuhi spesifikasi standar tersebut. Spesifikasi standar Ditjenbun (1997) untuk bilangan iod lebih ketat, yaitu minimal 51 g iod/100 g sampel. Menurut Basiron (2005), BI CPO sekitar 53 menggambarkan kesetimbangan antara jumlah asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, dan menghasilkan sifat minyak yang stabil terhadap reaksi oksidasi dibandingkan minyak nabati lainnya. Sebagai data pendukung terhadap mutu CPO, dilakukan pula analisis komposisi asam lemak pada lima sampel CPO, untuk melihat keragaman mutu kimia sampel CPO yang dihasilkan beberapa produsen CPO di Indonesia. Data komposisi asam lemak sampel CPO dapat dilihat pada Tabel 2 dengan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Komposisi asam lemak sampel
CPO secara umum memenuhi kisaran kadar asam lemak yang umumnya terkandung di dalam CPO sesuai CODEX STAN 210-1999 (CAC 2009).
26 Tabel 2 Komposisi asam lemak lima sampel CPO dan standar menurut CODEX STAN 210-1999 (CAC 2009), beserta bilangan iod hasil perhitungan berdasarkan komposisi asam lemaknya.
*
Komposisi asam lemak dalam CPO (%)*
Jenis asam lemak (% area)
CODEX STAN 210
CPO A
CPO B
CPO C
CPO D
CPO E
C8:0 C10:0 C12:0 C14:0 C15:0 C16:0 C18:0 C20:0 C22:0
0.01 0.01 0.09 0.98 0.04 43.78 a 4.65 0.35 0.06
0.02 0.01 0.15 1.06 0.04 43.71 a 4.24 0.38 0.07
0.02 0.01 0.12 1.07 0.05 44.43 c 3.87 0.36 0.06
0.07 0.04 0.51 1.18 0.04 44.09 b 4.25 0.37 0.07
0.01 0.01 0.08 1.03 0.05 44.62 d 4.08 0.37 0.07
39.3-47.5 3.5-6.0 ND-1.0 ND-0.2
Total asam lemak jenuh
49.96 b
49.68 a
49.99 b
50.61d
50.33 c
-
C16:1 C18:1 C20:1
0.15 34.62 a 0.11
0.15 37.40 d 0.13
0.16 38.28 e 0.13
0.15 36.68 b 0.14
0.16 37.09 c 0.13
ND-0.6 36.0-44.0 ND-0.4
Total asam lemak tidak jenuh tunggal
34.88 a
37.68 d
38.57 e
36.97 b
37.38 c
-
C18:2 C18:3
14.74 0.36
12.18 0.39
10.97 0.39
11.83 0.40
11.83 0.39
9.0-12.0 ND-0.5
Total asam lemak tidak jenuh jamak
15.10 d
12.57 c
11.37 a
12.23 b
12.22 b
-
Total asam lemak tak jenuh
49.98 c
50.25 d
49.94 c
49.20 a
49.60 b
-
Bilangan iod (g iod/100 g sampel) ***
56.5
54.5
53.2
53.3
53.6
50-55
ND** ND ND-0.5 0.5-2.0
Huruf yang berbeda di belakang angka pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). ** ND: non-detectable (tidak terdeteksi). *** Hasil perhitungan berdasarkan komposisi asam lemak.
27 Menurut Basiron (2005), CPO mengandung asam lemak dalam TAG dengan panjang rantai pada kisaran yang sempit yaitu antara 12-20 atom karbon. Jenis asam lemak terbanyak yang dimiliki sampel CPO adalah asam palmitat (C16:0) sebesar 43.71-44.62%, diikuti dengan asam oleat (C16:1) sebesar 34.6238.28%. Variasi komposisi asam lemak antar sampel CPO diperkirakan karena adanya variasi pada sumber bahan baku TBS yang digunakan oleh masingmasing industri pengolah CPO. Hasil pengujian tersebut hampir sama dengan pengujian yang dilakukan oleh Tangsathitkulchai et al. (2004) pada sampel CPO dengan kadar asam palmitat sebesar 45.8% dan asam oleat sebesar 39.0%. Bila dibandingkan dengan komposisi asam lemak sampel minyak sawit yang telah dimurnikan (RBDPO) pada penelitian Azis (2011) terdapat sedikit perbedaan komposisi, dengan kadar asam palmitat sebesar 44.9 % dan kadar asam oleat sebesar 38.3%.
Narvaez et al. (2008) juga telah melakukan analisis
komposisi asam lemak pada sampel RBDPO dengan bilangan iod 53.3 yang menghasilkan komposisi asam lemak utama berupa asam lemak palmitat sebanyak 44.2% dan asam lemak oleat sebanyak 39.6%. Terjadinya perbedaan komposisi asam lemak CPO dan RBDPO disebabkan oleh berubahnya komposisi asam lemak pada RBDPO yang salah satunya disebabkan akibat berkurangnya ALB selama pemurnian CPO menjadi RBDPO. Komposisi asam lemak pada lima sampel CPO memiliki kisaran distribusi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh jamak berturut-turut sebesar 49.58-50.61%, 34.88-38.57%, dan 11.37%-15.10%. Data tersebut sedikit berbeda dengan hasil Tan dan Che Man (2000) pada sampel RBDPO yang memiliki distribusi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal, dan asam lemak tak jenuh jamak berturut-turut sebesar 54.7%, 37.1%, dan 8.1%. Komposisi asam lemak CPO diduga memiliki korelasi yang erat dengan sifat kimia CPO yaitu BI (Tabel 1), karena BI merupakan gambaran kandungan asam lemak tidak jenuh di dalam sampel CPO.
Terjadinya variasi komposisi
asam lemak di dalam sampel CPO, akan menghasilkan perbedaan BI pada lima sampel CPO. Walaupun secara statistik variasi komposisi asam lemak dan BI antar kelima sampel CPO tersebut berbeda nyata pada P<0.05 (Lampiran 4), akan
28 tetapi kelima sampel CPO yang seluruhnya memenuhi kisaran standar CPO sesuai SNI sebesar 50-55 g/100 g sampel, memiliki komposisi asam lemak pada kisaran yang hampir sama. Selain menggunakan metode titrasi volumetri (data pada Tabel 1), BI juga dapat ditentukan berdasarkan data komposisi asam lemak yang diperoleh pada Tabel 2, dengan menggunakan Persamaan 6 (O’Keefe & Pike 2010). Bilangan Iod = (% asam heksadekanoat x 0.950) + (% asam oktadekanoat x 0.860) + (% asam oktadekadienoat x 1.732) + (% asam oktadekatrienoat x 2.616) + (% asam eikosaenoat x 0.785) + (% asam dokosaenoat x 0.723)
(6)
Data pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa BI sampel CPO hasil pengujian dengan metode titrasi volumetri nilainya sedikit berbeda dibandingkan BI yang dihitung berdasarkan komposisi asam lemaknya. Terjadinya perbedaan tersebut diduga dapat disebabkan oleh derajat ketelitian tahap titrasi yang kurang baik, karena titik akhir titrasi ditentukan secara visual. Akan tetapi pengujian dengan metode titrasi volumetri tersebut merupakan praktek analisis yang umum digunakan dalam menentukan standar CPO, sehingga data BI hasil pengujian dengan titrasi volumetri yang akan digunakan dalam analisis data berikutnya.
Sifat Fisik CPO
Data sifat fisik lima sampel CPO yang dikumpulkan dalam penelitian ini terutama yang terkait dengan parameter proses pengaliran dalam pipa, diukur pada suhu 25 oC (Tabel 3) dan 55 oC (Tabel 4). Data lengkap sifat fisik CPO disajikan pada Lampiran 5. Untuk melihat adanya variasi parameter sifat fisik antara lima sampel CPO yang diuji, dilakukan uji ANOVA one-way dan uji lanjut Duncan (Lampiran 6 dan Lampiran 7).
29 Densitas CPO
Densitas
atau bobot jenis () merupakan parameter penting dari sudut
pandang komersial, karena digunakan untuk konversi volume terhadap bobot bahan, serta merupakan indikator kemurnian minyak dan lemak (Basiron 2005). CPO pada suhu 25 oC (Tabel 3) berkisar antara 0.909-0.917 g/mL, sedangkan pada suhu 55 oC (Tabel 4), nilai menurun menjadi berkisar antara 0.888-0.892 g/mL. Tabel 3 Data sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 25 oC. Sampel CPO CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Densitas (g/mL) 0.909 a 0.912 a 0.917 a 0.917 a 0.916 a
Parameter sifat fisik* Indeks Indeks tingkah konsistensi laku aliran (n) (K, Pa.sn) 0.534 b 0.781 d 0.545 b 0.457 a 0.673 c
2.519 b 0.369 a 2.452 b 4.530 c 1.057 a
Viskositas terukur pada 400 s-1 (mPa.s) 153.3 b 98.9 a 159.3 b 174.5 b 120.2 a
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
Tabel 4 Data sifat fisik lima sampel CPO pada suhu 55 oC. Parameter sifat fisik* Sampel CPO CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Densitas (g/mL)
Indeks tingkah laku aliran (n)
Indeks konsistensi (K, Pa.sn)
Viskositas terukur pada 400 s-1 (mPa.s)
0.891 a 0.888 a 0.890 a 0.892 a 0.891 a
0.987 a 0.968 a 1.004 a 0.936 a 0.948 a
0.027 a 0.027 a 0.026 a 0.031 a 0.030 a
25.0 a 22.2 a 25.9 a 21.1 a 22.0 a
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
30 Bila dibandingkan dengan data RBDPO pada suhu 50 oC seperti yang disajikan oleh Ong et al. (1995) yaitu sebesar 0.891 g/mL, maka nilai CPO yang dihasilkan dalam penelitian ini
hampir sama.
Ong et al. (1995) juga
mengemukakan bahwa suhu berpengaruh pada minyak sawit, dimana suhu yang semakin tinggi akan menurunkan nilai densitasnya. Nilai kelima sampel CPO baik pada suhu 25 oC maupun 55 oC, tidak berbeda nyata antar sampel (P<0.05). Dengan demikian, walaupun pada beberapa parameter mutu dan sifat fisik CPO terdapat perbedaan yang nyata secara statistik (Tabel 1, 3 dan 4), hal tersebut ternyata tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap nilai CPO.
Sifat reologi CPO
Seperti yang dijelaskan oleh Steffe dan Daubert (2006), sifat reologi suatu fluida dapat ditentukan melalui percobaan pengukuran pengaruh shear rate (laju geser, -dV/dr atau ) terhadap shear stress (gaya geser, 𝜎), dan menghasilkan kurva rheogram seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Shear stress adalah stress yang terjadi saat molekul-molekul fluida bergeser satu sama lain sepanjang permukaan tertentu, sedangkan shear rate adalah ukuran seberapa cepatnya suatu molekul untuk saling bergeser. Pada suhu standar 25 oC, bentuk rheogram kelima sampel CPO adalah convex (cekung ke bawah) yang merupakan ciri dari fluida yang bersifat non-Newtonian pseudoplastic (Rao 1999). Pada shear rate yang meningkat, nilainya tidak berbanding lurus (linier) dengan kenaikan shear stress, dan menghasilkan kenaikan viskositas terukur () yang semakin rendah. Terdapat perbedaan bentuk rheogram antar sampel CPO, dan perbedaan tersebut dapat dikuantifikasi dengan menggunakan model fluida. Model fluida adalah persamaan matematika yang menggambarkan sifat aliran fluida, yang ditentukan dari penepatan kurva secara statistik (umumnya dengan analisis regresi linier) dari data percobaan (Steffe & Daubert 2006).
Persamaan power law
menggunakan penyederhanaan model matematika dengan linierisasi hubungan antara shear rate dengan shear stress. Hubungan antara nilai ln shear rate dan ln shear stress berbentuk kurva yang linier yang dapat ditentukan slope serta intercept-nya, untuk menghasilkan parameter model fluida dari persamaan power
31 law berupa nilai n atau indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index) dan nilai K atau indeks konsistensi (concistency index). Pada Gambar 5 dapat dilihat contoh penentuan nilai n dan K berdasarkan linierisasi hubungan shear rate dan shear stress sampel CPO. Data lengkap persamaan regresi linier hubungan shear rate dan shear stress lima sampel CPO dapat dilihat pada Lampiran 8.
Berdasarkan model fluida tersebut dapat
ditentukan pula viskositas terukur () pada shear rate tertentu, yang dalam penelitian ini digunakan data pada shear rate 400 s-1. Hasil penentuan nilai n dan K pada suhu 25 oC (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai n sampel CPO berkisar antara 0.457-0.781 sedangkan nilai K berada pada kisaran 0.369-4.530 Pa.sn. Menurut Steffe dan Daubert (2006), model fluida dengan nilai 0
80 70 60
Shear stress (Pa)
CPO A 50
CPO B
40
CPO C
30
CPO D
20
CPO E
10 0 0
50
100
150
200
250
300
350
400
Shear rate (s-1 )
Gambar 4 Hubungan shear rate dan shear stress atau kurva rheogram lima sampel CPO pada suhu 25 oC.
32 5.05 4.5 4,5
y = 0.545x + 0.897 R² = 0.994
ln shear stress (Pa)
4.04 3,5 3.5 3.03 2,5 2.5 2.02 3 3.0
3,5 3.5
4 4.0
4,5 4.5
5 5.0
ln shear rate
5,5 5.5
6 6.0
6,5 6.5
7 7.0
(s-1 )
Gambar 5 Hubungan ln shear rate dan ln shear stress sampel CPO dan penepatan model fluidanya (menampilkan data CPO C). Nilai CPO pada suhu 25 oC berkisar antara 98.9-174.5 mPa.s dimana variasi nilai tersebut sangat ditentukan oleh sifat fluida pseudoplastic sampel CPO yang memiliki kisaran nilai n dan K yang cukup lebar.
Menurut Singh dan
Heldman (2001), saat fluida pseudoplastic mengalami shear stress, partikelpartikel yang terdistribusi secara acak akan mengatur dirinya sejajar dengan arah aliran, sehingga menurun. Munson et al. (2001), menyatakan bahwa pada umumnya minyak dan lemak memiliki sifat pseudoplastic yang mengalami penurunan viskositas saat shear rate meningkat (shear thinning). Selain itu CPO juga merupakan minyak yang masih kasar (belum dimurnikan) yang menurut Sathivel et al. (2003) dapat dianggap sebagai sistem dispersi karena campuran kompleks turunan hidrokarbon cair akan berperan sebagai media dispersi, dan agregat kotoran akan berperan sebagai fase terdipersi. Interaksi antara minyak dan kotoran akan menyebabkan pembentukan sistem dispersi koloid teragregasi, yang biasanya menghasikan karakteristik shear thinning saat shear rate diterapkan pada sistem, dimana integritas struktural minyak kasar akan terganggu.
33 Sifat reologi CPO pada suhu 25 oC berbeda dengan sifat reologi tujuh minyak nabati yang telah diteliti oleh Kim et al. (2010), dimana pada suhu 25 oC, diketahui bahwa minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari memperlihatkan sifat fluida Newtonian. Demikian juga pada penelitian Fasina et al. (2006) yang menguji sifat reologi 12 sampel minyak nabati yaitu minyak almond, canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kacang tanah, safflower, wijen, kedelai, biji bunga matahari, dan walnut pada kisaran suhu 5-95 o
C, dan diperoleh sifat fluida Newtonian. Fluida Newtonian adalah fluida yang
menunjukkan sifat yang tidak tergantung pada waktu, menampilkan hubungan linear antara shear stress dan shear rate, dan tidak memiliki yield stress (Steffe & Daubert 2006). Perbedaan sifat reologi CPO dibandingkan minyak nabati lain terjadi karena pada suhu 25 oC terdapat perbedaan fase TAG akibat perbedaan komposisi asam lemak penyusunnya dengan titik leleh yang berbeda-beda. Selain itu CPO merupakan minyak yang masih kasar (belum mengalami pemurnian). Sathivel et al. (2003) mengemukakan bahwa sifat reologi minyak dipengaruhi oleh tahap pemurnian, dimana nilai indeks konsistensi (K) akan menurun pada setiap tahap pemurnian yang dialaminya. Bila dibandingkan dengan data pada suhu 25 oC, pengukuran pada suhu 55 o
C (Tabel 4) menghasilkan nilai n sampel CPO yang meningkat menjadi 0.936-
1.004, sedangkan nilai K menurun pada kisaran 0.0266-0.031 Pa.sn. Perubahan nilai n yang mendekati 1 dan nilai K yang mendekati 0 pada sampel CPO bersuhu 55 oC, menunjukkan bahwa CPO telah mengalami perubahan sifat reologi menjadi fluida Newtonian. Menurut Steffe dan Daubert (1996), fluida Newtonian memiliki hubungan linier antara shear stress dengan shear rate yang dihasilkan, dengan nilai yang relatif tetap. Pada suhu 55 oC tersebut, nilai sampel CPO relatif tetap berkisar antara 21.1-25.9 mPa.s, lebih rendah dibandingkan pada suhu 25 oC yang berkisar antara 53.6-174.5 mPa.s. Menurut Singh dan Heldman (2001), viskositas fluida ditentukan oleh sifat fisiko kimia alami bahan dan suhu, dan menurut Rao (1999) viskositas akan menurun dengan meningkatnya suhu.
34 Sifat fluida non-Newtonian pseudoplastic pada sampel CPO bersuhu 25 oC diduga disebabkan adanya kandungan fraksi stearin yang berbentuk padat pada suhu kamar. Menurut Azis (2011), kandungan stearin yang lebih tinggi pada sampel shortening menyebabkan peningkatan viskositas sampel dengan sifat fluida pseudoplastic yang semakin kuat.
Saat mengalami peningkatan suhu
menjadi 55 oC, fraksi stearin mengalami pelelehan sehingga CPO berada dalam fase cair sempurna dan tidak mengalami hambatan pengaliran dan menghasilkan sifat fluida Newtonian. Menurut Ong et al. (1995) yang melakukan pengujian pada sampel RBDPO, sifat fluida RBDPO adalah Newtonian, namun terindikasi sifat aliran turbulen non-Newtonian pada sampel yang bersuhu di bawah 30 oC. Nilai n, K, dan pada suhu 25 oC dan shear rate 400 s-1 berbeda nyata antar sampel CPO (P<0.05). Perbedaan sifat reologi kelima sampel CPO pada suhu 25 oC tersebut, secara umum menunjukkan adanya variasi sifat reologi dalam produk CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Hal yang berbeda dapat diamati pada suhu 55 oC, dimana besaran parameter sifat reologinya menghasilkan kisaran nilai yang relatif sempit. Sampel CPO pada suhu 55 oC, memiliki sifat fluida yang hampir sama yaitu mendekati fluida Newtonian, dengan nilai n, K, dan yang tidak berbeda nyata antar sampel (P<0.05). demikian dapat disimpulkan bahwa pemanasan CPO ke suhu 55
Dengan o
C akan
menghasilkan sifat fluida yang relatif sama yaitu menjadi bersifat Newtonian dengan nilai yang lebih rendah menjadi di bawah 26.0 mPa.s.
Adanya
perbedaan sifat fluida CPO pada suhu yang berbeda akan berimplikasi terhadap perhitungan teknik rekayasa proses dan penanganan CPO pada suhu tersebut.
Titik kristalisasi dan titik leleh CPO
Salah satu sifat fisik empiris minyak dan lemak adalah titik kristalisasi dan titik leleh yang ditentukan berdasarkan profil entalpi yang digambarkan dengan thermogram hasil pengujian Differential Scanning Calorimetry (DSC). Profil entalpi tipikal selama kristalisasi dan pelelehan sampel CPO (menampilkan data thermogram sampel CPO C) hasil pengujian DSC dinamis digambarkan dalam thermogram kristalisasi (Gambar 6) dan thermogram pelelehan (Gambar 7).
Aliran panas endotermik (mW)
35
3
2 1
1 mW
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
Suhu (o C)
Gambar
6
Thermogram kristalisasi dinamis tipikal sampel CPO (menampilkan thermogram sampel CPO C) yang diperoleh dengan instrumen Differential Scanning Calorimetry. Titik 12: peak kristalisasi olein, titik 2-3: peak kristalisasi stearin.
-5
Aliran panas endotermik (mW)
-4 1 mW
-3 1
-2 -1
3 2
0 1 -50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
Suhu (oC)
Gambar 7 Thermogram pelelehan dinamis tipikal sampel CPO (menampilkan thermogram sampel CPO C) yang diperoleh dengan instrumen Differential Scanning Calorimetry. Titik 12: peak pelelehan olein, titik 2-3: peak pelelehan stearin.
36 Thermogram kristalisasi yang mengalami proses eksotermik (pelepasan panas) bentuknya lebih sederhana dibandingkan thermogram pelelehan yang mengalami proses endotermik (penyerapan panas). Menurut Tan dan Che Man (2000), thermogram kristalisasi hanya dipengaruhi oleh komposisi kimia minyak dan bukan ditentukan oleh status kristalisasi, sehingga bentuk thermogram-nya lebih sederhana. Thermogram kristalisasi kelima sampel CPO memiliki bentuk tipikal yang sesuai dengan thermogram sampel RBDPO hasil penelitian Tarabukina et al. (2009) dan Ng & Oh (1994).
Komposisi TAG CPO dan
RBDPO secara umum tidak berbeda, karena pada kedua sampel tersebut belum dilakukan tahapan khusus untuk memisahkan fraksi-fraksi TAG di dalamnya. Pada thermogram kristalisasi dan pelelehan CPO, titik 1 sampai 2 merupakan peak kristalisasi dan pelelehan olein, sedangkan titik 2 sampai 3 menunjukkan peak kristalisasi dan pelelehan stearin.
Menurut Chong et al.
(2007), pada proses kristalisasi CPO dengan laju pendinginan lambat, terdapat dua peak eksotermik akibat kristalisasi fraksi bertitik leleh tinggi (stearin) dan fraksi bertitik leleh rendah (olein). Demikian juga Saberi et al. (2011) yang menguji thermogram kristalisasi RBDPO dan menghasilkan dua peak yang mewakili fraksi dengan titik leleh tinggi dan fraksi dengan titik leleh rendah. Kurva pelelehan CPO menghasilkan dua puncak endotermik, yang sesuai dengan penelitian Tarabukina et al. (2009) dan Siew & Ng (1999) yang menunjukkan dua puncak endotermik pada kisaran suhu -23 hingga 43 oC. Peak pelelehan pada suhu tinggi disebabkan oleh TAG dengan tiga asam lemak jenuh (trisaturated), sedangkan peak pelelehan pada suhu rendah terutama melibatkan TAG dengan satu asam lemak jenuh (monosaturated) (Tarabukina et al. 2009). Berdasarkan thermogram dinamis sampel CPO saat mengalami kristalisasi dan pelelehan, dapat ditentukan dua parameter sifat fisik yang terkait dengan perubahan fase CPO saat dipanaskan dan didinginkan, yaitu suhu awal (onset) kristalisasi (onset crystallization temperature, TO), dan suhu akhir (offset) pelelehan (offset melting temperature, TM) yang disebut juga titik leleh (Saberi et al. 2011). Data TO dan TM lima sampel CPO yang diuji disajikan pada Tabel 5. Variasi data antar sampel CPO diuji dengan ANOVA one-way yang hasil analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10.
37 Tabel 5 Titik onset kristalisasi dan titik leleh lima sampel CPO hasil analisis kalorimetri dinamis dengan DSC. Sampel CPO CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Titik onset kristalisasi /TO (oC)* 23.55 a 23.17 a 21.12 a 22.47 a 23.28 a
Titik leleh /TM (oC)* 38.52 a 39.16 a 39.53 a 39.78 a 39.19 a
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
Menurut Che Man et al. (1999), sumber dan kondisi ekstraksi dapat menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk thermogram CPO. Pada kelima sampel CPO yang dianalisis, nilai TO berkisar pada suhu 21.12-23.55 oC. Pengujian TO pada sampel RBDPO oleh Saberi et al. (2011) menghasilkan TO di suhu 21.16 oC, sedangkan Tan dan Che Man (2002) menghasilkan TO yang lebih rendah yaitu 17.0 oC. TM sampel CPO saat telah mengalami pelelehan sempurna berkisar pada suhu 38.52-39.78 oC.
Pada sampel RBDPO, pengujian Saberi et al. (2011)
memperoleh TM sebesar 42.5 oC, sedangkan pengujian Tan dan Che Man (2002) memperoleh TM sebesar 40.59 oC. Terdapat sedikit perbedaan data TO dan TM sampel CPO dibandingkan data sampel RBDPO, yang diduga terkait dengan proses pemurnian yang telah dialami RBDPO. Adanya komponen pengotor pada CPO dapat mempercepat induksi kristalisasi lemak sehingga TO CPO lebih tinggi. Pada CPO juga masih terkandung pecahan dari TAG berupa DAG sekitar 5% (Ng & Oh 1994), yang diketahui sangat mempengaruhi sifat kristalisasi minyak sawit. Selain itu Che Man et al. (1999) juga mengemukakan bahwa pergeseran peak pada thermogram RBDPO dibandingkan CPO diakibatkan oleh proses deodorisasi suhu tinggi yang dialami RBDPO. Kecenderungan terjadinya peningkatan titik leleh pada sampel RBDPO dibandingkan sampel CPO juga sesuai dengan data slip melting point (SMP). SMP adalah pengujian titik leleh minyak sawit dengan memanaskan minyak sawit padat dalam pipa kapiler, dan diukur suhunya saat meleleh. Ong et al. (1995) mengemukakan suatu survey di Malaysia yang mendapatkan kisaran nilai SMP
38 CPO antara 30.8-37.6 oC, sedangkan nilai SMP RBDPO sedikit mengalami peningkatan menjadi 34.0-39.0 oC. Parameter TO dan TM CPO nilainya tidak berbeda nyata antar sampel (P<0.05) yang menunjukkan bahwa sifat kristalisasi dan sifat pelelehan kelima sampel CPO tersebut relatif sama. TO dan TM tidak dipengaruhi oleh kondisi awal sampel CPO sebelum pengujian, karena memori kristal lemak dalam sampel CPO telah dihilangkan dengan pemanasan awal sampel CPO di suhu 80 oC selama 10 menit.
Bila terdapat perbedaan yang nyata pada TO dan TM sampel CPO,
diperkirakan terutama dipengaruhi oleh perbedaan sifat kimia dan komposisi asam lemak di dalamnya. Persamaan Matematika untuk Prediksi Parameter Sifat Fisik CPO berdasarkan Atribut Mutu
Hasil pengujian mutu dan sifat fisik lima sampel CPO secara umum menunjukkan adanya variasi produk CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Perbedaan sifat fisik minyak sawit disebabkan oleh adanya variasi pada komposisi TAG dan posisi asam lemak penyusunnya (Basiron 2005), yang menurut
Chong et al. (2007) juga berpengaruh pada tahapan kristalisasinya.
Variasi sifat fisik akan menghasilkan perbedaan dalam perhitungan serta penerapan rekayasa proses dan penanganan CPO selanjutnya. Pada penelitian ini, komposisi TAG dan posisi asam lemak penyusunnya tidak dipelajari pengaruhnya secara khusus terhadap sifat fisik CPO. Sifat fisik CPO ingin dipelajari melalui pendekatan berdasarkan atribut mutu yang mudah dianalisis, sesuai spesifikasi standar mutu yang ditentukan dalam SNI 01-2901-2006. Pada aplikasinya di lapangan, pengujian sifat fisik CPO menghadapi beberapa kendala teknis, antara lain keterbatasan instrumen analisis, serta waktu pelaksanaan analisis sifat fisik yang cukup panjang.
Dengan melakukan uji
korelasi antara data sifat fisik CPO dengan data atribut mutu sesuai spesifikasi standar SNI, diharapkan dapat diperoleh persamaan yang dapat memprediksi parameter sifat fisik CPO berdasarkan atribut mutunya. Berdasarkan pengujian korelasi Pearson (two tailed) antara sifat fisik CPO dengan atribut mutunya (Tabel 6 dan Lampiran 11), terdapat korelasi yang nyata antara n sampel CPO pada suhu 25 oC (n25) dengan bilangan iod (BI), dan antara
39
pada suhu 25 oC (25) dengan BI. Tidak terdapat korelasi yang nyata antara parameter sifat fisik CPO pada suhu 55 oC dengan atribut mutu CPO (KAK, ALB, dan BI). Hal itu terjadi karena sampel CPO yang mengalami pemanasan ke suhu 55 oC, akan mengalami pelelehan fraksi stearinnya sehingga menghasilkan parameter sifat fisik yang tidak berbeda nyata. Antar parameter sifat reologi CPO yaitu n, K dan terdapat korelasi yang nyata, akan tetapi korelasi tersebut tidak dilanjutkan untuk menyusun persamaan matematika yang mampu menduga parameter
sifat
fisik
CPO
karena
ketiga
parameter
reologi
tersebut
merepresentasikan sifat fisik yang sama. Berdasarkan hasil uji korelasi yang nyata pada P<0.05, dapat ditentukan dua persamaan regresi linier yang dapat digunakan untuk memprediksi sifat reologi CPO berdasarkan data mutu BI.
Persamaan 7 dapat digunakan untuk
memprediksi nilai indeks tingkah laku aliran CPO pada suhu 25 oC (n25) sedangkan Persamaan 8 dapat digunakan untuk memprediksi viskositas terukur sampel CPO pada suhu 25 oC (25). Persamaan regresi linier yang dihasilkan memiliki R2 yang tinggi yaitu berturut-turut sebesar 0.879 dan 0.904 untuk Persamaan 7 dan 8. Persamaan regresi linier tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 6 Hasil uji korelasi Pearson (two-tailed) antara atribut mutu dan parameter sifat fisik lima sampel CPO.
25 25
n25
K25
400-25
KAK
ALB
BI
-.261
.330
.310
.421
.370
-.364
n25
-.261
-.572
-.244
.938*
K25
.330
.788
.260
-.814
400-25
.310
.559
.353
-.951*
KAK
.421
-.572
.788
.559
.077
-.322
ALB
.370
-.244
.260
.353
.077
BI
-.364
.938*
-.814
-.951*
-.322
* korelasi Pearson (two-tailed) nyata pada P<0.05.
-.361 -.361
40 n25 = 0.070 (BI) – 3.074
(7)
25 = -17.25 (BI) + 1037
(8)
BI berkorelasi dengan parameter sifat reologi CPO yaitu nilai n25 dan 25 karena menurut Basiron (2005), BI mengindikasikan derajat ketidakjenuhan asam lemak yang terkandung dalam sampel CPO, dan terkait langsung dengan keberadaan fraksi padat dan cair di dalam sampel pada suhu 25 oC. BI yang semakin tinggi mengindikasikan jumlah asam lemak berikatan rangkap yang semakin banyak, sehingga menghasilkan n25 CPO yang lebih tinggi yang semakin mendekati sifat fluida Newtonian, dan 25 CPO yang semakin rendah (semakin encer). Sebaliknya bila BI sangat rendah (asam lemak jenuh sangat tinggi), maka sifat fluida non-Newtonian pseudoplastic akan semakin nyata dengan nilai n25 yang semakin rendah, dan nilai 25 yang semakin tinggi. Hasil pengujian korelasi ini memperkuat pendapat Kim et al. (2009), yang menyatakan bahwa ikatan rangkap dengan konfigurasi cis pada asam lemak tak jenuh memiliki bentuk rantai yang bengkok, yang menyulitkan untuk tersusun rapat satu sama lain.
Hal tersebut mengganggu penataan kristalin dan
menyebabkan struktur lemak menjadi tidak kuat dan tidak kaku, dengan molekul yang tersusun lebih longgar sehingga bersifat lebih cair. Selain itu menurut Wang dan Briggs (2002), adanya konfigurasi rantai asam lemak yang bengkok mencegah terjadinya interaksi atau penataan antar molekul serta mengurangi friksi intermolekuler, sehingga mengakibatkan menjadi lebih rendah. Melalui penggunaan persamaan regresi linier yang dihasilkan dan data atribut mutunya, dapat diprediksi parameter sifat reologi CPO berdasarkan bilangan iod sampel CPO tersebut, yang akan menentukan pula parameter dalam rekayasa proses pengaliran yang akan diterapkan pada sampel CPO.
41 Simpulan
Parameter sifat fisik CPO dipengaruhi oleh suhu pengukuran. Pada suhu 25 C, densitas () CPO berkisar antara 0.909-0.917 g/mL. CPO bersifat sebagai
o
fluida non-Newtonian pseudoplastic, dengan indeks tingkah laku aliran (n) 0.4570.781, dan indeks konsistensi (K) 0.369-2.519 Pa.sn. Nilai parameter sifat fisik CPO pada suhu 25 oC tersebut berbeda nyata antar sampel, kecuali untuk parameter densitas. Suhu onset kristalisasi (TO) CPO berkisar antara 21.12-23.55 o
C, sedangkan titik leleh CPO (TM) berkisar antara 38.52-39.78 oC, yang keduanya
memiliki nilai yang tidak berbeda nyata antar sampel. Pada suhu 55 oC, terjadi perubahan sifat fisik CPO dibandingkan sifat fisiknya pada suhu 25 oC, dimana CPO menurun menjadi berkisar antara 0.888-0.892 g/mL. Sifat fluida CPO juga mengalami perubahan dengan nilai n sampel CPO meningkat menjadi 0.9360.994, sedangkan nilai K menurun pada kisaran 0.027-0.031 Pa.sn, yang menunjukkan sifat fluida mendekati Newtonian. Diperoleh korelasi yang nyata antara parameter sifat fisik indeks tingkah laku aliran CPO pada suhu 25 oC (n25) dan viskositas terukur sampel CPO pada suhu 25 oC (25) dengan atribut mutu bilangan iod (BI) CPO. Persamaan regresi linier untuk memprediksi n25 berdasarkan BI adalah n25 = 0.070 (BI) – 3.074 (R² = 0.879); sedangkan persamaan regresi linear untuk memprediksi 25 berdasarkan BI adalah 25 = -17.25 (BI) + 1037 (R² = 0.904).