KAJIAN ISOLASI KAROTENOID DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul ”Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 13 Februari 2007
Diana Serlahwaty NRP F225010081
RINGKASAN DIANA SERLAHWATY. Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN. Karotenoid yang terkandung dalam minyak sawit mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pro-vitamin A. Konsentrat karotenoid dapat dijadikan suatu produk bernilai ekonomis tinggi yang dibutuhkan baik dalam industri farmasi, pangan maupun kosmetik. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia, perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi yang dapat menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses penjerapan (adsorbsi) karotenoid dari minyak sawit kasar dan proses pelarutan kembali (desorbsi) karotenoid dari penjerap yang kaya karotenoid. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan, melakukan review data berbagai penjerap yang berpotensi menjadi penjerap karotenoid. Tahap kedua menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. Tahap ketiga menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap. Hasil penelitian penjerapan karotenoid dari minyak sawit kasar dalam larutan n-heksana 50% w/v menggunakan dua jenis penjerap yaitu bleaching earth dan arang aktif : bleaching earth 4% b/v lebih effektif karena dapat menjerap karotenoid 22 kali lebih besar jika dibandingkan dengan arang aktif 10% b/v dan 48 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 20% b/v. Daya desorbsi penjerap bleaching earth 3 kali lebih besar dari penjerap arang aktif, dengan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v adalah sebesar 44.47%, menggunakan pelarut nheksana:eseton (40:60) yang ekivalen dengan nilai log P = 0.919 dan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 20% b/v adalah sebesar 39.16%. Total perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v adalah 16.59% menggunakan pelarut n-heksana:eseton (50:50) yang ekivalen dengan nilai log P = 1.153 Kata kunci : Isolasi karotenoid, minyak sawit kasar,metode adsorbsi,bahan pemucat
SUMMARY DIANA SERLAHWATY. Study of the Isolation Process of Carotenoid from Crude Palm Oils by the Adsorption Methods using Bleaching Agents. Under Supervision of PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, NURI ANDARWULAN.
Carotenoid of palm oil is potential source of pro-vitamin A. Carotenoid concentrate can be made as highly-economic products which are utilized by pharmacies, food companies and cosmetics. Indonesia as the second producer of palm oil in the world. However, to optimize the palm oil products, it needs technology support in the research developments to gain the added value of the palm oil products. The objectives of this research are to study the adsorption and desorption process of carotenoid from crude palm oils. The research was conducted in three steps. The first was the prelimanary research aimed to evaluate various adsorbents which have potential adsorption to adsorp carotenoids. The second was to determine the effectivity of the adsorbents. The third was to determine the effective solvents which gave the high recovery of carotenoid eluted from adsorbents. The results of the adsorption of carotenoids from crude palm oils in n-heksana 50% (w/v) using two adsorbents i.e bleaching earth and charcoal (activated carbon): bleaching earth 4% (b/v) more effective than activated carbon. It adsorbed carotenoids 22 times higher than activated carbon 10% (b/v) and 48 times higher than activated carbon 20% (b/v). Desorption capacity of bleaching earth 3 times bigger than activated carbon. The total recovery carotenoid from activated carbon 10% (b/v) was 44.47% using the solvent n-heksana : acetone (40:60) which equivalent to the log P value was 0.919 and the total recovery carotenoid when using activated carbon 20% (b/v) was 39.16%. On the other hand, the total recovery carotenoid from bleaching earth 4% (b/v) was 16.59% using the solvent n-heksana : acetone (50:50) which equivalent to the log P value was 1.153 Key words : Isolation carotenoid, crude palm oil, adsorbtion method,bleachings agents
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
KAJIAN ISOLASI KAROTENOID DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE ADSORBSI MENGGUNAKAN PENJERAP BAHAN PEMUCAT
DIANA SERLAHWATY
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Tri Haryati, M.S
Judul Tesis
: Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat
Nama
: Diana Serlahwaty
Nomor Pokok
: F225010081
Program Studi : Ilmu Pangan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. Anggota
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Pangan
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie, M.S
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 16 Februari 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata’alla, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Kajian Isolasi Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Adsorbsi Menggunakan Penjerap Bahan Pemucat. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan September 2006. Saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor CPO terbesar kedua didunia setelah Malaysia yang menempati urutan pertama. Demi memperkuat dan meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di Indonesia perlu dilakukan pengembangan teknologi untuk memperoleh produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Karoten mempunyai nilai jual yang tinggi dan dibutuhkan oleh industri farmasi, pangan maupun kosmetik. Tulisan ini merupakan suatu karya dari hasil perjuangan yang sangat panjang yang tentunya tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala arahan, bimbingan, motivasi, support moril yang tak henti-hentinya penulis dapatkan sejak awal pendidikan dan terus mendorong penulis agar berjuang menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih yang mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr dan ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas saran-saran, arahan dan bimbingannya mulai dari penulisan proposal hingga saat konsultasi yang tak henti-hentinya memotivasi dan mendorong agar terus berjuang menyelesaikan tesis ini. Terima kasih yang mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Tri Haryati, MS yang telah bersedia sebagai penguji luar komisi, serta saran-saran dan arahannya untuk tulisan ini. Disampaikan pula terima kasih tak terhingga kepada Rektor, Para Pembantu Rektor Universitas Pancasila Jakarta, Dekan serta para Pembantu Dekan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta
yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, dukungan dana pendidikan dan support moril yang tiada hentinya kepada penulis selama melanjutkan pendidikan S2 di program studi Ilmu Pangan IPB. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana) Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan kepada Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Industri Hilir Kelapa Sawit yang telah memberikan dukungan dana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Pangan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Universitas Pancasila, teman-teman sejawat dosen khususnya Ena, mbak Rin, Ratna, sahabat-sahabat di Keluarga Alumni Universitas Pancasila, karyawan non edukatif di Fakultas Farmasi dan anak-anakku mahasiswa/i Fakultas Farmasi serta rekan-rekan seprofesi di Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia yang selalu menemani dalam suka maupun duka serta atas do’a, motivasi dan support semangat yang tidak henti-hentinya penulis dapatkan sampai tulisan ini selesai, juga kepada rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2001 sampai 2005 yang memberikan atmosfir yang menyenangkan berupa diskusi-diskusi, do’a dan support semangat. Juga kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada ibu Nur Wulandari, STP, M.Si; mas Taufik, ananda Ari, Eko dan Zul beserta staf laboran di SEAFAST Center-IPB dan staf laboran di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, juga kepada Widya, Tini, Adit dan Tiwi di Laboratorium Mutu Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta, serta kepada staf diperpustakaan PAU, FATETA, LSI IPB dan staf di Perpustakaan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta yang telah banyak membantu penulis selama penelitian dalam pengumpulan data dan terima kasih juga atas do’a, dorongan semangatnya untuk menyelesaikan tulisan ini.
Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada Ayahanda Abu Hassan Rais (Almarhum), Ibunda Saniar (Almarhumah) atas kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis semasa hidupnya dan terima kasih kepada Keluarga besar Abu Hassan Rais, Keluarga Besar Radjuddin Syufni, Keluarga Besar Asy-Syakiroh, Keluarga besar Muslimat atas kasih sayang dan dukungan do’anya yang selalu memotivasi agar penulis pantang mundur sampai selesainya tulisan ini. Selanjutnya untuk keluarga keduaku di Bogor, Mak Ros, mbak Romsyah berserta kakak dan adik yang rumahnya tersedia bagiku selama penelitian sampai selesainya tulisan ini, terima kasih atas kasih sayang dan dorongan semanagt yang diberikan selama ini. Akhirnya kepada ananda tercinta M.Rino Diansyah, M.Rizky Octaviansyah dan adinda Ides terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala do’a dan dukungannya serta segala pengertian, pengorbanan, yang kalian berikan kepada mama selama masa studi yang panjang ini, dan telah merelakan kehilangan waktu untuk tidak bersamaku selama proses penelitian ini. Semoga segala bantuan, do’a, dukungan semangat dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Amiin. Akhir kata penulis sampaikan dengan rasa syukur, semoga tesis ini memberi manfaat kepada yang membacanya, dan ikut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, Amiin
Bogor, 13 Februari 2007 Penulis,
Diana Serlahwaty
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nias pada tanggal 13 Februari 1956 dari ayah Let.Kol (Purn) Abu Hassan Rais (Almarhum) dan ibu Saniar (Almarhumah). Penulis merupakan putri keempat dari sebelas bersaudara. Penulis lulus dari S.D. Persit Kartika Chandra Kirana I di Medan pada tahun 1968, sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri LXXXVI di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1971, dan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri VI di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1974. Pada tahun 1975 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Pancasila Jakarta, Fakultas Farmasi dan pada tahun 1987 penulis bekerja sebagai staf non edukatif pada bagian pendidikan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Penulis lulus sebagai Sarjana Farmasi pada tahun 1991 dan pada tahun 1993 melanjutkan studi profesi apoteker di Universitas Pancasila Jakarta dan lulus sebagai Apoteker pada tahun 1995. Sejak tahun 1995 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan Pendidikan Magister (S2) di Program Studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor dengan Biaya dari Universitas Pancasila Jakarta, dan tahun 2002 mendapat Biaya Pendidikan PascaSarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Tahun 2002 sampai tahun 2004 penulis bekerja pada Humas & Kerjasama Universitas Pancasila Jakarta. Dan pada tahun 2005 penulis mendapat dukungan dana penelitian dari Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Industri Hilir Kelapa Sawit.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvii PENDAHULAN ........................................................................................
1
Latar Belakang......................................................................................
1
Tujuan Penelitian .................................................................................
3
Manfaat Penelitian ...............................................................................
4
Hipotesis ..............................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
Minyak Sawit ......................................................................................
5
Karotenoid ...........................................................................................
8
Analisis Karotenoid ............................................................................. 10 Metode Adsorbsi .................................................................................. 13 Pelarutan ............................................................................................... 16 Bahan Pemucat Arang Aktif ................................................................ 19 Pembuatan Arang Aktif .............................................................. 20 Kegunaan Arang Aktif ............................................................... 22 Bahan Pemucat Bleaching Earth ......................................................... 23 Interaksi Pelarut dan Solut dengan Bahan Pemucat ............................ 27 Adsorbsi satu Lapisan (Mono-layer) .......................................... 27 Adsorbsi dua Lapisan (Bi-layer) ................................................. 27 Interaksi Solut dengan Permukaan Bahan Pemucat ............................ 28 Kepolaran yang Lemah ............................................................... 28 Kepolaran Kuat ........................................................................... 29 METODELOGI ......................................................................................... 38 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 31 Bahan dan Alat .................................................................................... 31 Metode ................................................................................................ 31
Penelitian Pendahuluan .............................................................. 33 Penentuan Penjerap yang Effektif .............................................. 33 Penjerap Arang Aktif 10% b/v ......................................... 36 Penjerap Arang Aktif 20% b/v ......................................... 36 Penjerap Bleaching Earth 2% b/v .................................... 37 Penentuan Konsentrasi Larutan Minyak Sawit Kasar ...... 37 Penentuan Konsentrasi Penjerap Terseleksi ..................... 38 Penentuan Rekoveri Karotenoid ................................................. 39 Prosedur Analisis ............................................................................... 40 Analisis Kandungan Karotenoid, Metode Spektrofotometri ...... 40 Analisis Komposisi Asam Lemak, Metode Kromatografi Gas . 42 Kadar Air, Metode Vakum ......................................................... 44 Nilai log P ................................................................................... 44 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 45 Penelitian Pendahuluan .............................................................. 45 Persiapan dan Karakterisasi Bahan Baku .......................... 45 Penentuan Penjerap yang Efektif ................................................ 49 Penjerapan dengan Arang Aktif 10% b/v........................... 50 Penjerapan dengan Arang Aktif 20% b/v........................... 50 Penjerapan dengan Bleaching Earth 2% b/v ...................... 52 Penentuan Konsentrasi Larutan Minyak Sawit Kasar ....... 54 Penentuan Konsentrasi Penjerap ....................................... 55 Perolehan Kembali Karotenoid .................................................. 56 Perolehan Kembali Karotenoid yang Terjerap pada ......... Arang Aktif 10% b/v ......................................................... 57 Perolehan Kembali Karotenoid yang Terjerap pada ......... Arang Aktif 20% b/v ......................................................... 59 Perolehan Kembali Karotenoid yang Terjerap pada ......... Bleaching Earth 4% b/v .................................................... 61
xii
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 65 LAMPIRAN .............................................................................................. 73
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi Asam Lemak Minyak Awit Kasar .....................................
6
2 Standar Kualitas Minyak Sawit Kasar Menurut SNI 01-2901-1995....
7
3 Komponen Minor dari Minyak Sawit Kasar ........................................
7
4 Beberapa Jenis Karotenoid dengan Aktivitas pro-Vitamin A .............. 10 5 Nilai Rf Berbagai Jenis Karotenoid pada Kromatografi Lapis Tipis ... 11 6 Residu Pelarut Organik yang Diijinkan dalam Makanan ..................... 17 7 Penggunaan Arang Aktif ..................................................................... 23 8 Karakteristik Minyak Sawit Kasar (CPO) .......................................... 46 9 Karakteristik Penjerap Arang Aktif ................................................... 47 10 Karakteristik Penjerap Bleaching Earth ............................................. 47 11 Beberapa Penjerap yang Berpotensi Menjerap Karotenoid ................. 48
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Penampang Melintang Buah Kelapa Sawit ........................................
5
2 Struktur Molekul Senyawa Golongan Karotenoid ..............................
8
3 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Solut pada Larutan dan yang .... Teradsorbsi ........................................................................................... 14 4 Perubahan Entalpi dan Entropi yang terjadi dalam Reaksi Pelarutan . 20 5 Struktur Tanah Liat Montmorilllonite yang telah Diaktifkan ............. 24 6 Diagram Alir Proses Pembuatan Bleaching Earth .............................. 26 7
Distribusi Pelarut A dan B Sebagai Mono-Layer pada Permukaan .... Bahan Pemucat .................................................................................... 27
8 Distribusi Pelarut A dan B sebagai Bi-Layer pada Permukaan ........... Bahan Pemucat .................................................................................... 28 9. Skema Interaksi Sorpsi (Penempelan).................................................. 28 10 Skema Interaksi Pergantian .................................................................. 29 11 Skema Adsorbsi Pelarut pada Dua Lapisan (Bi-Layer) ...................... 30 12 Skema Perbedaan Jenis Interaksi yang dapat terjadi pada Permukaan Bahan Pemucat yang Ditutupi oleh Suatu Lapisan Pelarut Bi-Layer... 30 13 Diagram Alir Proses Isolasi Karotenoid dari CPO dengan Metode .... Adsorbsi ............................................................................................... 32 14 Diagram Alir Penjerapan Karotenoid .................................................. 34 15 Penjerap Arang Aktif sebelum Proses Penjerapan .............................. 35 16 Penjerap Bleaching Earth sebelum Proses Penjerapan ....................... 35 17 Diagram Alir Isolasi Karotenoid dari Penjerap .................................. 39 18 Skema Analilis Konsentrasi Karotenoid ............................................ 41 19 Jumlah Karotenoid yang Terjerap Pada Penjerap Arang Aktif 10% b/v Dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO.......................................... 50 20 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 20% ... b/v dalam berbagai Konsentrasi Larutan CPO ................................... 51 21 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Bleaching Earth .... 2% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO .............................. 52 xv
22 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 10% ... dan 20% (b/v) serta Penjerap Bleaching Earth 2% b/v dalam ............ Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ..................................................... 53 23 Persentase Penjerapan Karotenoid Menggunakan Penjerap ................ Bleaching Earth 2% b/v pada Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ..... 54 24 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Berbagai Konsentrasi .......... Bleaching Earth pada Konsentrasi CPO dalam n-Heksana ............... 50% b/v ................................................................................................ 56 25 Jumlah Karotenoid yang Terekstrak dari Penjerap Arang Aktif ......... 10% b/V, Menggunakan Eluen Campuran n-Heksana dan Aseton ... dengan Berbagai Konsentrasi .............................................................. 58 26 Aktivitas Pelarut / Eluen dengan Nilai Log P pada Perolehan ............ Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 10% b/v .................. 58 27 Jumlah Karotenoid yang Terekstrak dari Penjerap Arang Aktif ......... 20% b/v, Menggunakan Eluen Campuran n-Heksana dan Aseton ..... dengan Berbagai Konsentrasi .............................................................. 60 28 Aktivitas Pelarut / Eluen dengan Nilai Log P pada Perolehan ............ Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 20% b/v .................. 61 29 Jumlah karotenoid yang terekstrak dari penjerap bleaching earth ...... 4% b/v, menggunakan eluen campuran n-heksana dan aseton ............ dengan berbagai konsentrasi. ............................................................... 62 30 Aktivitas pelarut / eluen dengan nilai log P pada perolehan ............... kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v .............. 63
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Nilai log P untuk Beberapa Macam Pelarut Organik .................... 74 2 Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak ....................................... Minyak Sawit Kasar (CPO)............................................................ 76 Kromatogram GC Minyak Sawit Kasar Ulangan 1 ....................... 77 Kromatogram GC Minyak Sawit Kasar Ulangan 2 ....................... 78 3 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif ..... 10% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ...................... 79 4 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif ..... 20% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO ........................ 79 5 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap bleaching earth 2% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ....................... 80 6 Jumlah Karotenoid Sebelum Penjerapan Menggunakan Penjerap Arang Aktif dan Bleaching Earth dalam Berbagai Konsentrasi .. Larutan CPO .................................................................................. 80 7 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Proses Penjerapan .......... Menggunakan Penjerap Arang Aktif dan bleaching earth dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO ............................................... 80 8 Jumlah Karotenoid yang Terjerap Menggunakan Penjerap .......... Bleaching Earth (BE) Dalam Berbagai Konsentrasi pada ........... Larutan CPO dalam n-Heksana 50% b/v ....................................... 81 9 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang .. aktif 10 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ...... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ........................ 81 10 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang .. Aktif 20 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ...... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ........................ 82 11 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Bleaching Earth 4 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana ....... dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan ........................ 82 xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) merupakan salah satu komoditas nonmigas yang telah ditetapkan sebagai salah satu komoditi yang dapat dikembangkan menjadi produk lain untuk ekspor. Menurut Oil World (2002), industri kelapa sawit nasional merupakan salah satu sektor pembangunan unggulan. Sampai saat ini pengembangan industri minyak sawit mempunyai pasar yang cukup besar dan masih didominasi oleh produk minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil). Produksi minyak sawit Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% pertahun. Menurut IPOC (2005) dengan luas total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5.5 juta hektar mampu memproduksi CPO sebesar 16 juta ton sepanjang tahun 2005. Jumlah tersebut merupakan terbesar kedua di dunia setelah Malaysia dan pada tahun 2010 diproyeksikan akan menjadi yang terbesar didunia. Penguatan dan peningkatan daya saing industri kelapa sawit di Indonesia perlu dukungan penelitian pengembangan teknologi hilir untuk memperoleh produk-produk yang mempunyai nilai tambah tinggi. Minyak sawit kasar (CPO) dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai produk turunan, salah satunya dengan mengambil komponen mikronutrien karotenoid dalam minyak sawit kasar menjadi produk konsentrat karotenoid. Produk ini dibutuhkan baik dalam industri pangan, farmasi, maupun industri kosmetik (May, 1994). Komponen minor dari minyak sawit kasar mengandung 500-700 ppm karotenoid, lebih dari 80% dalam bentuk α-, β-, γ-karoten dengan β-karoten sebagai komponen utamanya (Goh et al., 1985; Choo. 1995). β-karoten sebagai salah satu komponen minor dari minyak sawit kasar, merupakan prekursor vitamin A dan berfungsi sebagai pro-vitamin A (Olson 1989; Hudson 1990). β-karoten memiliki 100% aktifitas vitamin A, sedangkan αdan γ-karoten memiliki 50-54% aktifitas vitamin A. Senyawa karotenoida minyak sawit memiliki aktivitas pro-vitamin A 10 kali lebih besar dibandingkan dengan wortel dan 300 kali lebih besar dari tomat (Tan, 1987; Iwasaki, 1992; Susilawati E. et al., 1997)
β-karoten memiliki pengaruh
2
biologis positif yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xerofthalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, penyakit jantung koroner, mencegah proses penuaan yang terlalu dini (Ziegler, 1989; May,1994; Umegaki et al., 1994; Poppel dan Goldbohm, 1995; Sahidin et al., 2000), meningkatkan immunitas tubuh dan juga dapat berperan sebagai antioksidan yang memusnahkan radikal bebas yang selanjutnya mengurangi peluang terjadinya penyakit degeneratif (Iwashaki dan Murokoshi, 1992; Umegaki dan Ikegami, 1994; Sikorski, 1997; Miyawaki, 1998) Adanya warna merah kuning pada minyak sawit umumnya tidak disukai oleh konsumen, sehingga para produsen minyak makan selalu berusaha menghilangkan warna tersebut dengan cara pemucatan. Pemucatan minyak sawit dilakukan dengan menggunakan bahan penjerap, kemudian diikuti dengan pemanasan pada tekanan hampa udara. Pada proses pemucatan minyak sawit dengan menggunakan penjerap, karotenoid akan teradsorbsi oleh bahan pemucat tersebut. Karotenoid yang diadsorbsi bahan pemucat umumnya oleh pabrik tidak dimanfaatkan. Dengan pertimbangan nilai nutrisi dan fungsional β-karoten yang potensial terkandung dalam minyak sawit kasar, maka perlu dipelajari beberapa upaya untuk memperoleh karotenoid dari minyak sawit kasar. Dengan disadarinya manfaat dari senyawa karotenoid dan besarnya kandungan senyawa karotenoid di dalam minyak sawit kasar, isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar mendapat perhatian yang besar dari para peneliti. Berbagai cara telah dikembangkan untuk memperoleh senyawa karotenoid dari minyak sawit kasar. Beberapa metode yang telah dilakukan untuk memperoleh karotenoid dari minyak sawit kasar adalah dengan menggunakan metode penyabunan, ekstraksi pelarut, adsorbsi, urea, destilasi molekuler, iodine, membran dan distilasi molekuler (Choo et al., 1989). Dalam upaya memperoleh senyawa karotenoid, metode adsorbsi merupakan metode yang paling banyak digunakan. Sejumlah penjerap telah banyak dicoba untuk mendapatkan karotenoid dalam jumlah tinggi. Adsorbsi menggunakan abu sekam padi telah dilakukan oleh Masni (2004) dengan memanfaatkan limbah pabrik kelapa sawit dan Hasanah (2006) menggunakan
3
penjerap campuran abu sekam padi/silika gel pada nisbah (30:10 b/b) dengan metode kromatografi kolom adsorbsi, perolehan kembali karotenoid pada fraksi berwarna pertama adalah sebesar 49% dengan rendemen konsentrat fraksi berwarna pertama terhadap minyak sawit kasar sebesar 3.2%. Widayanto (2007) melaporkan pemekatan karotenoid pada metil ester kasar (crude methyl ester) dengan menggunakan kromatografi kolom adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi/silika gel pada nisbah (30:10 b/b), rekoveri karotenoid dari total karotenoid awal CPO adalah 70.25%. Selanjutnya Baharin et al. (1998) dan Latip et al. (2000) menggunakan penjerap sintetik diaion HP-20, alumina
dan silika gel.
Adsorbsi silika gel lebih rendah 50% dari pada penjerap polimer sintetik dengan perolehan kembali sekitar 40-65 %. Adsorbsi dengan bleaching agent telah berhasil dilakukan oleh Pitoyo (1988) dengan rendemen sebesar 4.06%. Pemucatan minyak sawit dan lemak lainnya yang telah dikenal antara lain pemucatan dengan adsorbsi menggunakan bahan pemucat seperti tanah liat (clay) jenis monmorilonit yang telah diasamkan dan karbon aktif. Pada penelitian ini dilakukan kajian isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan metode adsorbsi menggunakan bahan pemucat arang aktif dan bleaching earth sebagai penjerap, selanjutnya dilakukan kajian untuk melepaskan karotenoid yang telah terjerap.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. 2. Menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap.
4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk: 1. Memberikan informasi kepada para peneliti dan industri berbasis kelapa sawit, bahwa minyak sawit kasar dapat dijadikan sebagai sumber karotenoid atau pro-vitamin A, yang dapat memberikan nilai tambah dari segi finansial, sekaligus memberikan sumbangan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. 2. Sebagai pengembangan ilmu dan teknologi dan dapat berguna dalam peningkatan diversifikasi hasil perkebunan kelapa sawit
Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Penggunaan arang aktif dan bleaching earth dapat menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar dengan kandungan karotenoid yang tinggi. 2. Penggunaan pelarut campuran n-heksana dan aseton dapat menghasilkan produk karotenoid dengan tingkat rekoveri yang tinggi.
5
TINJAUAN PUSTAKA Minyak Sawit Produksi minyak sawit Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% pertahun. Indonesia
mampu
memproduksi
minyak sawit kasar
(CPO/Crude Palm Oil) sebesar 16 juta ton sepanjang tahun 2005 dengan luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 5.5 juta hektar (IPOC, 2005). Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen ialah tandan kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang membrondol telah mencapai dua brondolan per kg tandan (Naibaho, 1983). Sebaiknya panen dilakukan pada buah berumur 15-17 minggu, karena selain sudah menurunnya kadar lemak, juga terjadi peningkatan asam lemak bebas, yang terbentuk dari penguraian lemak oleh enzim lipase, yang mulai aktif pada mesokarp. Dari kelapa sawit dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit disebut minyak sawit (CPO/Crude Palm Oil) dan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/Palm Kernel Oil) (Ketaren, 1986). Buah sawit umumnya berukuran panjang 2 – 5 cm dan berat antara 3 – 30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi, 1992). Warna daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2005). Penampang melintang buah kelapa sawit disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit
6
Minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masih disebut minyak sawit kasar (CPO /Crude Palm Oil). Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3-5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element (Muchtadi, 1992). Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 1. Asam palmitat dan asam oleat merupakan asam lemak yang dominan terkandung dalam minyak sawit, sedangkan kandungan asam lemak linoleat dan asam stearatnya sedikit (Bailey’s 1996; Siew 2000). Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (meelting point) yang tinggi yaitu 640C. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu
140C
(Ketaren, 1986) Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak sawit kasara Asam Lemak Asam lemak jenuh Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (18:0) Asam lemak tidak jenuh Oleat (18:1) Linoleat (18:2) Linolenat (18:3) a
Kadar (%) 0.1 – 1.0 0.9 - 1.5 41.8 - 46.8 4.2 - 5.1 37.3 - 40.8 9.1 - 11.0 0 - 0.6
(Bailey’s, 1996).
Minyak sawit bersifat setengah padat pada suhu kamar, dengan titik cair antara 40-700C, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karoten. Berdasarkan perbedaan titik cairnya minyak sawit dibagi menjadi 2 fraksi besar, yaitu fraksi olein berbentuk cair, dan fraksi stearin yang berbentuk padat pada suhu kamar (Hartley, 1970; Naibaho, 1983; Muchtadi,
7
1992). Standar kualitas minyak sawit kasar menurut Standar Nasional Indonesia (1995) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI 01-2901 No.
Karakteristik
Satuan
Nilai
1.
Asam lemak bebas (sebagai palmitat)
% (b/b)
Maks 5,0
2.
Kadar air
% (b/b)
Maks 2,0
3.
Kadar kotoran
% (b/b)
Maks 0,02
Komponen non trigliserida dalam minyak sawit kasar, menurut Choo et al. (1989) memberikan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, serta mempercepat proses ketengikan dan kerusakan minyak. Kandungan non trigliserida yang terlalu tinggi dapat mempersingkat umur simpan minyak. Kandungan komponen minor dari minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 3. Bau dan flavor pada minyak terdapat secara alami. Bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh senyawa β-ionone. Bau dapat terjadi karena adanya asam-asam lemak rantai pendek akibat minyak yang teroksidasi (Ketaren, 1986) Tabel 3 Komponen minor dari minyak sawit kasar Komponen minor
Kadar (ppm)
karotenoid a
500-700
tokoferol an tokotrienol a
600-1000
sterol
a
fosfolipid
326-527 b
triterpen alkohol
51-130 c
metil sterol c
40-80 40-80
squalene d
200-500
alkohol alifatik a
100-200
hidrokarbon alifatik d
50
a: Goh et al. (1985), b: Goh et al (1982), Goh et al. (1984), c: Itoh et al (1973), Itoh et al. (1973), d: Goh et al. (1984), Hasanah (2006)
8
Karotenoid Karotenoid merupakan kelompok pigmen alami berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifat-sifatnya yang mendasar, yang dapat ditemui pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Menurut Wirahadikusumah (1985) secara
kimiawi
senyawa karotenoid
dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu karoten dan xantofil. Karoten adalah senyawa hidrokarbon yang tersusun oleh unsur-unsur C dan H, sedangkan xantofil adalah senyawa turunan dari karoten yang mengandung oksigen di dalam struktur molekulnya, sehingga unsur penyusun xantofil adalah C, H dan O. Contoh senyawa yang termasuk karoten misalnya α, β, γ-karoten dan yang termasuk xantofil adalah kriptoxantin, kapxantin dan zeaxantin. Semua jenis karotenoid adalah senyawa hidrofobik, lipofilik dan sebenarnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut lemak. Pada hewan dan tumbuhan, karotenoid berbentuk seperti kristal atau amorphous padat dan larut dalam lemak (Delia 1997). Beberapa jenis senyawa golongan karotenoid disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur molekul senyawa golongan karotenoid (Wirahadikusumah 1985).
9
Ikatan rangkap terkonjugasi dalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus kromofor yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid. Makin banyak ikatan rangkap ter-konjugasi, semakin pekat warna karotenoid tersebut, dan ini berarti semakin mengarah ke warna merah (Wirahadikusumah 1985; Hassan 1987; Choo et al. 1989). Di antara 600 atau lebih karotenoid yang ada di alam, hanya 50 di antaranya yang mempunyai aktivitas biologi sebagai pro-vitamin A, dan 60% vitamin A diperkirakan berasal dari pro-vitamin A (Simpson 1983). Semua karotenoid adalah senyawa lipofilik, tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan pelarut organik, seperti n-heksana dan benzena. Disamping itu senyawa karotenoid juga mudah larut dalam hidrokarbon terklorinasi, seperti khloroform dan metilen klrorida. Karotenoid mudah mengalami isomerisasi oleh panas, asam dan cahaya. Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 – 480 nm (Fennema, 1996). Karotenoid mudah teroksidasi karena banyaknya ikatan rangkap terkonyugasi. Adanya ikatan rangkap terkonyugasi menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi, terutama dalam bentuk padat. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan rangkap. Kepekaannya terhadap oksidasi membuat karotenoid digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai tokoferol dan askorbat (Fennema, 1996). Karotenoid belum mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu 600C, dan reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat peroksidan (Muchtadi, 1992) Sebahagian dari karotenoid yang mempunyai aktivitas sebagai provitamin A, disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa βkaroten merupakan komponen karotenoid yang mempunyai aktivitas provitamin A terbesar (Linder 1991). Hal ini disebabkan oleh karena pada struktur β-karoten terdapat dua cincin β-ionone atau struktur retinoid (Gregory 1996).
10
Tabel 4 Beberapa jenis karotenoid dengan aktivitas pro-vitamin Aa Jenis karotenoid β-karoten α-karoten γ-karoten β-zeakaroten β-karoten-5,6-mono epoksida 3,4 dehidro-β-karoten a Linder (1991).
Aktivitas pro-vitamin A (%) 100 50 - 54 42 - 50 20 - 40 21 75
β-karoten sebagai salah satu komponen bioaktif yang terkandung dalam minyak sawit mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi kebutaan, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. (Akbar, 1994; Kholmeier dan Hasting, 1995; Winarno 1997; Muhilal 1998). Mengkonsumsi β-karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinal), sehingga karoten ini disebut pro-vitamin A (Akbar, 1984, Winarno 1991). Sekitar 25 % dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedang 75 % sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim 15, 15’ β-karotenoid oksigenase (Fennema, 1996). Analisis Karotenoid Analisis komponen karotenoid dapat dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis, dan HPLC (High Performance Liquid Cromatography) berdasarkan atas bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Identifikasi karotenoid dengan metode spektrofotometeri dapat dilakukan berdasarkan pada bentuk spektrum absorpsinya. Bentuk spektrum yang sama menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976; Choo et al.1989; Muchtadi, 1992). Setiap jenis komponen karotenoid memberikan spektrum serapan
11
maksimum pada panjang gelombang tertentu dan setiap spektrum serapan untuk setiap jenis karotenoid berbeda antara satu pelarut dengan pelarut lainnya, kalaupun ada yang sama jumlahnya relatif sedikit. Nilai Rf beberapa jenis karotenoid dalam beberapa jenis pelarut disajikan pada Tabel 5. (Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992). Tabel 5 Nilai Rf berbagai jenis karotenoid pada kromatografi lapis tipisa) Karotenoid
Nilai Rf x 100 A
E
F
G
alfa karoten
84
70
47
beta karoten
80
66
26
88
74
49
11
84
55
20
0
41
11
0
13
1
0
squalen
11
lycopercene
30
phytophloene
21
phytophloene
B
80
beta zea karoten teta karoten
D
90
81
91
75 0
62
alfa zea karoten gamma zea karoten
58
neurosporene
42
lycopene
10
a)
H
100 10
gamma karoten
C
45
(Goodwin, 1976; Muchtadi, 1992)
Keterangan / sistem : A. B. C. D. E. F. G. H.
Silika gel G (deactivated), ligh petroleum MgO-Silika gel. (1:1, activated), (17% v/v), benzene in light petroleum MgO-Silika gel. (1:1, deactivated), (10% v/v), benzene in light petroleum MgO-Silika gel. (1:1, activated), benzene MgO; benzene-light petroleum (90:10 v/v) MgO; benzene-light petroleum (50:50 v/v) MgO; benzene-light petroleum (10:90 v/v) Ca(OH)2 –Silika gel G (6:1); (2% v/v) benzene in light petroleum
12
Identifikasi karotenoid dengan teknik HPLC dengan kepekaannya yang tinggi dapat langsung digunakan dalam proses pemisahan serta penentuan konsentrasi (Bushway, 1986; Kachik dan Beecher, 1987). Khachik et al., (1986), menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan, mengindentifikasi dan menentukan konsentrasi karotenoid dalam ekstrak beberapa sayuran hijau. Sedangkan Fisher dan Kochis (1987) menggunakan teknik HPLC untuk memisahkan karotenoid pada cabe. Jumlah karotenoid yang terdapat dalam suatu bahan, baik dalam tanaman ataupun dalam mikroba dapat ditetapkan secara spektrofotometri dan teknik HPLC. Baik karotenoid maupun komponen karotenoid, memiliki panjang gelombang maksimum dalam pelarut tertentu. Sifat penyerapan ini dijadikan dasar dalam menentukan jumlah karotenoid atau identifikasi kuantitatif secara spektrofotometri. Pelarut yang digunakan menurut Parker, 1992 adalah n-heksana. Dalam n-heksana karotenoid akan menyerap sinar secara maksimum pada panjang gelombang 450 nm. Pada panjang gelombang ini karotenoid mempunyai nilai koefisien Ekstinksi sebesar 2600 (E % 1 cm = 2600) Penentuan konsentrasi komponen karotenoid dan karotenoidnya sendiri menggunakan larutan standar biasanya sulit dilakukan, untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan teknik pendekatan menggunakan nilai koefisien Ekstinksi. Jika Y ml pelarut digunakan untuk memberikan serapan sebesar A pada panjang gelombang 450 nm, maka berat karotenoid dalam larutan dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut : A.Y X=
E % 1 cm x 100
Keterangan : X A.Y
E%
= = 1 cm =
berat karotenoid, dalam gram nilai serapan pada y ml pelarut nilai koefisien Ekstinksi karotenoid = 2600
13
Metode Adsorbsi Adsorpsi adalah proses untuk memisahkan suatu komponen berbentuk gas atau larutan menggunakan zat padat (penjerap). Pada proses adsorbsi terjadi perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan penjerap. Penjerap adalah padatan atau cairan yang mengadsorbsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorbsi. Jadi proses adsorbsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren, 1986). Adsorbsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan sisi-sisi aktif di permukaan penjerap. Pada proses adsorbsi terjadi perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase. Menurut Pari (1995) metode adsorbsi ada dua macam, yaitu adsorbsi secara fisik (physiosorption) dan adsorbsi secara kimia (chemisorption). Adsorbsi fisik terjadi sebagai akibat dari perbedaan energi atau daya tarik menarik elektrik (listrik) sehingga molekul–molekul penjerap terikat secara fisik pada molekul adsorbat. Permukaan partikel padat biasanya lebih aktif dari pada bagian dalamnya, sehingga umum dikatakan mempunyai aktivitas permukaan (surface activity). Bila zat padat tersebut dimasukkan dalam suatu larutan, permukaan partikel zat padat tadi mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada zat pelarutnya. Daya tarik atau kekuatan ikatan senyawa organik dengan suatu penjerap tergantung pada kekuatan tipe interaksi yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol terinduksi dan ikatan van der walls (Slejko 1985). Proses adsorbsi dipengaruhi terutama oleh perbedaan polaritas solut yang dipisahkan. Hal ini disebabkan karena polaritas merupakan faktor yang menentukan daya larut dan terjadinya adsorbsi solut. Proses adsorbsi sangat peka terhadap perbedaan bentuk stereometrik dari solut yang dipisahkan. Banyaknya solut yang dapat ditampung pada permukaan penjerap, di antaranya dipengaruhi oleh konfigurasi solut tersebut. Bentuk konfigurasi
14
solut dapat menentukan juga mudah tidaknya solut tersebut teradsorbsi pada permukan penjerap bila dibandingkan dengan solut lain. Perbedaan daya teradsorbsi inilah yang akan menentukan mudah tidaknya campuran solut untuk dipisahkan dengan kromatografi adsorbsi. Oleh karena itu kromatografi adsorbsi merupakan cara yang cocok untuk memisahkan campuran solut yang serupa, tetapi mempunyai perbedaan bentuk stereometrik (Adnan 1997). Bila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif, akan terjadi proses adsorbsi dan desorpsi. Hubungan antara konsentrasi zat yang ada dalam larutan (Cm) dan yang teradsorbsi (Cs) terlihat pada Gambar 3.
Cs
A
Cs
Cm
Gambar 3
B
Cs
Cm
C
Cm
Kurva hubungan antara konsentrasi solut pada larutan dan yang teradsorbsi, (A) kurva konveks, (B) kurva garis lurus, (C) kurva konkaf. Cs= konsentrasi zat yang teradsorbsi, Cm= konsentrasi zat dalam larutan (Adnan 1997).
Kurva yang menggambarkan hubungan antara Cm dan Cs dinamakan isoterm adsorbsi. Isoterm yang berbentuk konveks seperti yang terlihat dalam Gambar 3A, dapat terjadi karena ada variasi aktivitas dari permukaan yang ada, yang mengakibatkan dihasilkannya hubungan yang tidak linier. Hubungan demikian dimanakan Freundlich isotherm. Kurva isoterm yang berbentuk garis lurus (Gambar 3B) merupakan keadaan yang dikehendaki, dimana permukaan tidak akan menjadi jenuh dengan zat yang diadsorbsi. Slope dari kurva isoterm yang merupakan garis lurus akan merupakan koefisien distribusi dan tidak tergantung dari besarnya konsentrasi. Kurva isoterm yang berbentuk konkaf (Gambar 3C) dihasilkan dari reaksi yang terjadi sedemikian sehingga mempercepat proses adsorbsi secara keseluruhannya. Proses adsorbsi terdiri dari dua tipe adsorbsi, secara kimia dan fisika. Adsorbsi kimia adalah tipe adsorbsi dengan cara suatu molekul menempel ke permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kima. Ciri-ciri dari adsorbsi
15
kimia adalah terjadi pada temperatur yang tinggi, jenis interaksinya kuat, berikatan kovalen antara permukaan penjerap dengan adsorbat, entalpinya tinggi (∆H 400 KJ/mol), adsorbsi terjadi hanya pada suatu lapisan atas (monolayer) dan energi aktivasinya tinggi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption). Adsorbsi fisika adalah tipe adsorbsi dengan cara adsorbat menempel pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Ciri-ciri dari adsorbsi fisika adalah terjadi pada temperatur yang rendah, selalu di bawah temperatur kritis dari adsorbat, jenis interaksi adalah interaksi intermolekuler (gaya van der Waals), entalpinya rendah (∆H <20 KJ/mol), adsorbsi dapat terjadi dalam banyak lapisan (multilayers) dan energi aktivasinya rendah. http://en.wikipedia.org/wiki/Adsorption). Adsorbsi fisika terutama disebabkan oleh gaya van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul yang teradsorbsi dengan atom yang menyusun permukaan penjerap. Gaya van der Waals tersebut timbul sebagai akibat interaksi dipol-dipol, dimana pada jarak antar molekul tertentu terjadi kesetimbangan antara gaya tolak dan gaya tarik. Dalam fase cair dan fase padat terdapat gaya tarik van der Waals yang relatif lebih besar dibandingkan dengan gaya tarik dalam fase gas. Dalam fase cair, gaya van der Waals dapat mengelompokkan atom atau molekul dalam susunan yang teratur di dalam kristal molekulnya. Gaya van der Waals terdiri dari: interaksi dipol-dipol, interaksi dipol permanen-dipol induksi, interaksi dispersi (dipol sementaradipol induksi) (Suzuki 1990). Metode adsorbsi merupakan metode yang banyak diteliti, terutama untuk mendapatkan karoten dari bahan pemucat (bleaching agent). Prinsip dari metode ini adalah penjerapan (adsorbsi) komponen minor oleh penjerap dan menarik kembali (desorpsi) komponen tersebut menggunakan pelarut. Metode ini telah dipublikasikan sejak tahun 1976, dimana karotenoid dapat diekstraksi dari bahan penjerap yang digunakan dalam proses pemucatan minyak sawit (Ooi et al., 1994; Choo, 1996). Naibaho (1983), telah mengekstrak karoten dari tanah pemucat komersil dengan beberapa tahap yaitu pelunakan tanah pemucat dan
16
penyabunan. Dengan cara ini karoten yang didapatkan mencapai 40% dari konsentrasi awal. Pemisahan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan penjerap resin sintetis (Diaion HP-20) telah dilaporkan oleh Baharin et al. (1998). Dengan cara ini didapatkan tingkat perolehan kembali (recovery) karotenoid yang beragam dari 40 – 65%, tergantung pada kondisi kolom kromatografi. Selanjutnya Desai dan Dubash (1994) juga melaporkan, dengan menggunakan penjerap campuran bentonit dan alumina (4 : 1) dalam bentuk gel untuk menjerap karoten dari CPO, didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar 79%; Lessin et al. (1997) menggunakan polimer sintetis untuk menjerap karoten dari beberapa
jenis buah segar dan yang telah
diproses; dan Sahidin et al. (2001) menggunakan penjerap campuran magnesium oksida dan aluminium oksida (1 : 1) untuk memurnikan β-karoten yang diekstraksi dari CPO dan didapatkan tingkat perolehan kembali sebesar 82,41%. Konsentrat karotenoid telah berhasil diproduksi dari limbah serat sawit pada skala laboratorium oleh Masni (2004) dengan menggunakan metode ekstraksi pelarut, diikuti dengan pemisahan ekstak karotenoid menggunakan kolom kromatografi adsorbsi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Masni (2004) disimpulkan bahwa bahan pengekstrak (pelarut) untuk mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit adalah campuran n-heksanaaseton (10 : 1 v/v), karena dapat menghasilkan konsentrasi karotenoid yang lebih tinggi (1283 µg/g ekstrak kering) dibandingkan dengan n-heksana (629 µg/g ekstrak kering) dan campuran n-heksana-etanol (4 : 3 v/v) (18 µg/g ekstrak kering). Hasanah (2006) telah berhasil memproduksi konsentrat karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode kromatografi kolom adsorbsi menggunakan penjerap campuran abu sekam padi dengan silika gel pada nisbah (30:10 b/b) dengan total perolehan kembali 49% dengan rendemen 3.2 %. Pelarutan Secara umum minyak sawit kasar terdiri dari komponen utama trigliserida dan karotenoid. Trigliserida lebih bersifat non polar dari pada komponen karotenoid. Untuk melarutkan karotenoid yang bersifat lebih polar
17
dari pada trigliserida, sebaiknya menggunakan pelarut yang mempunyai kepolaran yang hampir sama dengan karotenoid. Pelarut yang cocok untuk mengekstrak karotenoid adalah yang bersifat semi polar seperti isopropanol, etanol dan asetonitril. Menurut Hamilton (1980) n-heksana merupakan pelarut yang umum digunakan dalam metode ekstraksi pelarut, selanjutnya menurut Proctor et al. (1994) pelarut n-heksana efektif digunakan sebagai bahan pelarut atau pengekstrak minyak. Pelarut yang digunakan mampu melarutkan karotenoid secara spontan, yaitu tidak menggunakan suhu yang tinggi. Karena pada suhu yang tinggi karotenoid sangat mudah terdegradasi. Reaksi pelarutan secara spontan dapat terjadi jika interaksi solut dan pelarut sama kuat (solut dan pelarut keduanya polar atau keduanya non polar). Menurut Gross (1991) belum terdapat metode standar untuk ekstraksi karotenoid, namun untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimal sebaiknya digunakan bahan segar, tidak rusak dan contoh yang digunakan harus terwakili. Ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat oksidasi. Dianjurkan pula agar sebelum diekstrak, contoh bahan yang digunakan dihaluskan atau dipotong kecil-kecil agar ekstraksi berjalan sempurna. Pelarut yang cocok untuk karotenoid adalah aseton, metanol, etanol, isopropil alkohol, n-heksana (Delia & Kimura 2004). Di dalam ekstraksi pelarut, terdapat resiko adanya residu pelarut. Food and Drug Administration (FDA 1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut yang masih diperkenankan dalam bahan makanan (Tabel 6). Tabel 6 Residu pelarut organik yang diijinkan dalam makanana No. 1 2 3 4 5 6 7 a
Jenis Pelarut Aseton Etilen diklorida Etanol Heksan Isopropil alkohol Metilen diklorida Metanol
Residu (ppm) 30 30 30 25 50 30 50
Food and Drug Administration (1987).
18
Dalam memilih jenis pelarut organik, beberapa faktor perlu diperhatikan. Faktor-faktor itu antara lain adalah kelarutan substrat dan produk dalam pelarut, hidrofobisitas pelarut, reaktivitas pelarut, densitas, viskositas, tekanan
permukaan,
toksisitas,
mudah/tidaknya
terbakar,
masalah
pembuangannnya ke lingkungan, serta masalah biaya (Dordick, 1989; Hariyadi, 1996). Dari berbagai faktor tersebut yang mendapat perhatian sangat besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut. Hidrofobisitas pelarut organik sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelarut tersebut dan hidrofobisitas suatu pelarut dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan berbagai parameter. Beberapa parameter yang dapat digunakan adalah : parameter kelarutan Hildebrand (δ), solvatochromism of dye (EŤ) konstanta dieletrika (ε), dipole moment (µ) dan nilai logaritma koefisien partisi (log P) (Laane et al. 1987a; Hariyadi, 1995) Nilai P (koefisien partisi) adalah koefisien partisi suatu pelarut pada sistem dua fase yang terdiri dari fase organik dan fase air (persamaan 1).
P=
[pelarut] organik [pelarut] air
pers (1)
Selanjutnya nilai log P suatu campuran pelarut-pelarut dapat ditentukan dengan memakai rumus empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al., (1984), proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan 2 berikut ini
Log P A dan B = (XA log PA) + (XB log PB)
pers (2)
Nilai log P juga telah diusulkan untuk digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut yang lain (Halling, 1990; Hariyadi, 1996). Nilai log P untuk beberapa pelarut disajikan pada Lampiran 1
19
Bahan Pemucat Arang Aktif Arang aktif merupakan produk yang banyak digunakan di dalam negeri, hampir 70 % produk arang aktif digunakan untuk pemurnian dalam sektor industri gula, minyak kelapa, farmasi, dan kimia. Selain itu juga banyak digunakan untuk proses penjernihan air dan industri lain (Pari, 1995). Bahan baku yang dapat dibuat menjadi arang aktif adalah semua bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuh – tumbuhan, binatang ataupun barang tambang. Bahan–bahan tersebut adalah berbagai jenis kayu, sekam padi, tulang binatang, batubara, tempurung kelapa, kulit biji kopi, bagase dan lain–lain. Akhir–akhir ini arang aktif dibuat dari bahan baku polimer seperti poliakrilonitril, rayon dan resol fenol (Hoyashi at al., 1984) Arang adalah suatu bahan padat yang berpori–pori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon. Sebagian dari pori– porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain. Komponennya terdiri dari karbon terikat (fixed carbon), abu, air, nitrogen dan sulfur (Djatmiko et al., 1985). Arang yang merupakan residu dari peruraian bahan yang mengandung karbon, sebagian besar komponennya adalah karbon dan terjadi akibat peruraian panas. Proses pemanasan ini dapat dilakukan dengan jalan memanasi bahan langsung atau tidak langsung di dalam timbunan, kiln, retort dan tanur (Djatmiko et al., 1985). Arang aktif konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain, serta rongga atau pori dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi luas atau daya adsorbsi terhadap cairan dan gas akan meningkat (Sudrajat dan Soleh, 1994). Arang aktif (arang yang sudah diaktifkan), pori–porinya terbuka dan permukaannya bertambah luas sekitar 300 sampai 2000 m2/g. Permukaan arang aktif yang semakin meluas ini menyebabkan daya adsorbsinya terhadap gas atau cairan semakin tinggi. Menurut Ferry (2002) arang aktif mengandung 2-15 % dan 2-3 % abu. Sedangkan menurut Hassler (1974) arang aktif adalah arang halus yang berwarna hitam tidak berbau, tidak mempunyai rasa, higroskopis, tidak larut dalam air, basa, asam dan pelarut organik. Arang aktif tidak terdekomposisi
20
atau bereaksi setelah digunakan. Arang aktif berbentuk amorf, yang terdiri dari unsur karbon. Menurut Ferry (2002) kualitas arang ditentukan oleh kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon terikat, ukuran partikel dan kapasitas adsorbsi. Sedangkan mutu arang aktif dipengaruhi oleh bahan baku, bahan pengaktif dan proses pengolahan. Syarat mutu arang aktif di setiap negara berbeda–beda. Syarat mutu arang aktif di Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3730-1995). Arang aktif dapat digunakan dalam industri pangan dan industri bukan pangan, sebagai bahan pemucat, penjerap gas, penjerap logam dan sebagainya. Menurut Azah et al., (1983) daya adsorbsi arang aktif dapat terjadi karena (1) adanya pori – pori mikro yang sangat banyak yang dapat menimbulkan gejala kapiler yang menyebabkan timbulnya daya serap (2) permukaan yang luas dari arang aktif (3) pada kondisi bervariasi hanya sebagian permukaan yang mempunyai daya serap, hal ini karena permukaan arang aktif bersifat heterogen, penyerapannya hanya terjadi pada permukaan yang aktif saja. Faktor – faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif antara lain adalah : (1) sifat fisikokimia penjerap seperti ukuran pori, kehalusan dan komposisi kimia permukaan arang aktif (2) sifat fisikokimia adsorbat seperti ukuran dan polaritas molekul (3) sifat fase cair seperti pH dan suhu (4) lamanya proses adsorbsi berlangsung
Pembuatan Arang Aktif Arang adalah produk setengah jadi dalam pembuatan arang aktif. Kualitas
arang
aktif
yang
dihasilkan
diantaranya
dipengaruhi
oleh
kesempurnaan proses pengarangan. Proses pengarangan terdiri dari empat tahap (Sudrajat dan Salim, 1994) : (1) pada temperatur 100–200oC terjadi penguapan air dan sampai temperatur 270oC mulai terjadi penguapan selulosa, destilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. (2) pada temperatur 270-310 oC reaksi eksoterm berlangsung. Terjadi penguraian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu dan sedikit ter. Asam piroglinat merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol. Sedangkan gas kayu terdiri dari CO dan CO2. (3) pada temperatur
21
310-500oC, terjadi penguraian lignin, dihasilkan lebih banyak ter sedangkan larutan pirolignat menurun. Produk gas CO2 menurun sedangkan gas CO, CH4 dan H2 meningkat. (4) pada temperatur 500-1000oC merupakan tahap pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon. Arang aktif dapat dibuat dari bermacam – macam bahan baku yang banyak mengandung karbon seperti kayu, serbuk gergaji, sekam padi, tongkol jagung, tempurung kelapa, tulang dan lain – lain. Bahan baku ini dapat diarangkan pada suhu tinggi tetapi sebaiknya di bawah 700oC. Menurut Prawirakusuma dan Utomo (1970), khusus untuk tempurung kelapa, suhu pengarangan sebaiknya berkisar dari 300-500oC. Pengaktifan arang dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bahan baku dikarbonisasi. Cara kedua, bahan baku dikarbonisasi terlebih dahulu kemudian arang yang diperoleh direndam dalam larutan pengaktif lalu diaktifkan. Guerrero et al. (1970) menyatakan bahwa pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan arang bersifat amorf dan porous pada suhu rendah. Tahap kedua adalah proses pengaktifan arang untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga dapat meningkatkan porositas arang. Menurut Cheremisinoff dan Ellerbusch dalam Pari (1995), pada kedua proses tersebut terjadi tahap-tahap sebagai berikut : (1) dehidrasi, yaitu proses menghilangkan air (2) karbonisasi, yaitu proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon serta mengeluarkan senyawa–senyawa nonkarbon (3) aktivasi yaitu proses pembentukan dan penyusunan karbon sehingga pori–pori menjadi lebih besar. Proses aktifasi arang aktif ada dua macam yaitu proses aktifasi gas dan proses aktivasi kimia (Kienle, 1986). Prinsip pada aktifasi gas yaitu pemberian uap air atau gas CO2 kepada arang yang telah dipanaskan. Arang yang telah dihaluskan di masukkan ke dalam tungku aktivasi dan dipanaskan pada suhu 800–1000oC. Selama pemanasan ke dalamnya dialirkan uap air atau gas CO2. Menurut Ferry (2002) selama proses pengaktifan arang terjadi beberapa proses : (1) pada suhu 20oC sampai 110oC, terjadi penyerapan panas oleh bahan, sehingga komponen volatif dan air menguap (2) pada suhu 110oC sampai 270oC, sisa air yang masih terdapat dalam bahan menguap dan mulai
22
terjadi peruraian selulosa menghasilkan karbon monoksida, asam asetat dan metanol (3) pada suhu 270oC sampai 290oC, terjadi peruraian eksotermal pada bahan menghasilkan gas dan uap bersama–sama dengan ter (4) pada suhu 290oC sampai 400oC, peruraian bahan berlangsung terus dan dihasilkan gas karbon monoksida, karbon dioksida, asam asetat, metanol dan ter (5) pada suhu 400oC sampai 500oC, perubahan bahan menjadi arang secara teoritis telah sempurna.
Kegunaan Arang Aktif Menurut Setyaningsih (1995), ada dua macam jenis arang aktif yang dibedakan menurut fungsinya, yaitu : (1) arang penjerap gas yang digunakan untuk menjerap kotoran berupa gas. Pori – pori yang terdapat pada jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya. Arang jenis ini dapat ditemui pada arang tempurung kelapa. (2) arang fasa cair yang digunakan untuk menjerap kotoran atau zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis pori–pori dari arang ini adalah makropori yang memungkinkan molekul berukuran besar untuk masuk. Arang jenis ini biasanya berasal dari batu bara dan selulosa. Saat ini arang aktif telah digunakan secara luas dalam industri kimia, pangan dan farmasi. Sudrajat dan Salim (1994) mengemukakan bahwa arang aktif dapat memurnikan produk yang dihasilkan industri dan juga berguna untuk mendapatkan kembali zat–zat berharga dari campurannya serta sebagai obat. Kegunaan arang aktif lainnya disajikan pada Tabel 7
23
Tabel 7 Penggunaan Arang Aktif a No. Tujuan Untuk Gas 1. Pemurnian gas
Pemakaian
2.
Pengolahan LNG
3.
Katalisator
Untuk Cairan 1. Industri obat makanan 2. Minuman ringan keras 3. Kimia perminyakan 4. Pembersih air
Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk dan asap Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah serta reaksi Katalisator reaksi / pengangkut vinil klorida dan vinil asetat dan Menyaring dan menghilangkan warna dan Menghilangkan warna dan bau
Penyulingan bahan mentah, zat pewarna Menyaring/menghilangkan warna, bau zat pencemar dalam air, sebagai alat pelindung dan penukar resin dalam alat penyulingan air 5. Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan dari pencemar, warna, bau dan logam berat 6. Penambakan udang & Pemurnian, penghilangan bau dan warna benur 7. Pelarut yang digunakan Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa kembali metanol, etil asetat dan lain – lain Lain – lain 1. Pengolahan pulp Pemurnian dan penghilangan bau 2. Pengolahan pupuk Pemurnian 3. Pengolahan emas Pemurnian 4. Penyaringan minyak Menghilangkan warna, bau dan rasa tidak makan dan glukosa enak a
PDII LIPI, 2005
Bahan Pemucat Bleaching Earth Bleaching earth (bleaching clay) menurut Ketaren (1986) merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2, Al2O3, air terikat serta ion Ca2+ , magnesium oksida dan besi oksida. Daya pemucat bleaching earth disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan partikel penjerap sehingga dapat mengadsobsi zat warna dan tergantung perbandingan SiO2 dan Al2O3 dalam bleaching earth. Struktur tanah liat montmorillonite yang telah diaktifkan (Caffaro, 1978; Naibaho, 1983) disajikan pada Gambar 5.
24
Gambar 5. Struktur tanah liat montmorillonite yang telah diaktifkan Komposisi tanah liat
montmorillonite dipengaruhi
oleh
jenis
mineralnya dan asalnya sehingga perbandingan antara Al dan Si tidak selalu sama akan tetapi berkisar 1 : 4. Bentuk kristal montmorillonite terdiri dari dua lempeng silika dan satu lempeng aluminium yang menyebabkan lebih mudah mengembang jika dibandingkan dengan tanah liat lainnya (Gambar 5). Tanah liat montmorillonite (bleaching earth) memiliki kapasitas pertukaran ion, maka senyawa yang dijerap cenderung menempel pada permukaan tanah liat. Proses adsorbsi 80% terjadi pada bidang yang rata dari kristal sedangkan selebihnya terjadi pada sisi yang bersegi. Ukuran partikel tanah liat akan mempengaruhi besarnya luas permukaan, semakin kecil ukuran partikel semakin bertambah luas permukaan partikel. Bleaching earth pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan Amerika. Dalam perdangan bleaching earth
mempunyai nama dan
komposisi kimia yang berbeda. Sebagai contoh ialah bleaching earth yang
25
berasal dari Amerika dikenal dengan nama Floridin, sedangkan yang berasal dari Rusia, Kanada dan Jepang dikenal dengan nama Gluchower kaolin (Ketaren, 1986) Bleaching earth memiliki permukaan yang luas dan mempunyai afinitas spesifik terhadap molekul bertipe pigmen terdiri dari tanah pemucat alami dan yang telah diaktivasi. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah pemucat alami dengan asam mineral, umumnya asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsobsi tanah tersebut sedemikian sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah sama, tanah pemucat aktif yang dibutuhkan hanya setengah dari tanah pemucat netral. Tanah liat yang digunakan sebagai bahan pemucat ialah jenis montmorillonite. Tanah liat montmorillonite terdiri dari garam Al-silika. Garam tersebut kekurangan satu elektron
sehingga
mudah
menerima
kation, disebut dengan kapasitas
tukar ion (Naibaho, 1983). Adsorbsi kimia berlangsung searah (reversible) sedangkan adsorbsi fisika berlangsung bolak balik (irreversible). Ikatan antara penjerap dengan adsorbat (bahan yang diadsorbsi) lebih kuat pada hasil adsorbsi kimia dibandingkan dengan adsorbsi fisika. Karotenoid memiliki sifat proton aseptor, sehingga cenderung menarik kation dari luar. Tanah liat yang telah diasamkan mengandung atom H yang terikat. Keadaan demikian akan memungkinkan adanya suatu ikatan hidrogen yang berbentuk ikatan vander Waals. Diagram alir proses pembuatan bleaching earth disajikan Gambar 6.
pada
26
Bahan Pembantu REAKTOR AIR
AKTIVASI Steam Boiler
PROSES PENCUCIAN BAHAN BAKU
CRUSHER
FLASH DRYER I WASTE
PROSES PENGEPRESAN LARUTAN PENETRAL
MIXER
FLASH DRYER II
PROSES NETRALISASI GRAIN MILLING
PROSES PENGEPAKAN
BAK PENGENDAPAN
ENDAPAN PRODUK
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan bleaching earth
AIR
tB
27
Interaksi Pelarut dan Solut dengan Bahan Pemucat Pada sistem adsorbsi, pelarut dan solut berinteraksi dengan bahan pemucat (penjerap). Ketika permukaan penjerap kontak dengan pelarut, maka permukaan akan ditutupi dengan suatu lapisan molekul pelarut. Jika pelarut yang digunakan terdiri dari suatu campuran pelarut maka sebagian permukaan akan ditutupi dengan satu jenis pelarut dan bagian permukaan yang lain ditutupi oleh jenis pelarut yang lain. Interaksi solut dengan penjerap ditimbulkan oleh dua atau lebih interaksi, tergantung dari jenis molekul permukaan. Suatu molekul solut akan berinteraksi dengan jenis partikel permukaan dikontrol secara statistik oleh ukuran total daerah permukaan yang ditutupi oleh partikel pelarut. Adsorbsi satu lapisan (Mono-layer). Satu pelarut dapat diadsorbsi dari campuran pelarut pada permukaan penjerap mengikuti adsorbsi isoterm Langmuir (Gambar 7). http://www.chromatography-online.org/Retention/ Surface-Adsorption-/monolayer/rs41.html.
Pelarut B
Pelarut A
Permukaan bahan pemucat
Gambar 7 Distribusi pelarut A dan B sebagai mono-layer pada permukaan bahan pemucat
Adsorbsi dua lapisan (Bi-layer). Isoterm adsorbsi dari pelarut yang lebih polar seperti etil asetat, isopropanol dan tetrahidrofuran dari larutan yang kepolarannya terdispersi seperti n-heptana pada permukaan penjerap (Gambar 8). http://www.chromatography-online.org/Retention/Surface Adsorp tion/bilayer/rs45.html.
28
Pelarut B
Permukaan bahan pemucat
Pelarut B
Pelarut A
Gambar 8 Distribusi pelarut A dan B sebagai bi-layer pada permukaan bahan pemucat Interaksi Solut dengan Permukaan Bahan Pemucat Kepolaran yang Lemah. Ada dua jenis interaksi yang dapat terjadi antara solut dan permukaan penjerap. Jenis interaksi yang pertama molekul solut dapat berinteraksi dengan lapisan pelarut yang teradsorbsi dan terdapat di permukaannya
dan
akan
membentuk
lapisan
diatas
pelarut
tanpa
menggantikan molekul pelarut (Gambar 9). Jenis interaksi ini disebut dengan interaksi sorpsi (penempelan) dan terjadi ketika kekuatan molekul antara solut dan penjerap lemah dibandingkan dengan kekuatan antara molekul pelarut dan penjerap. SOLUT PELARUT A
PELARUT B
Gambar 9 Skema interaksi sorpsi (penempelan). Jenis interaksi yang kedua dimana molekul solut menggantikan molekul pelarut dari permukaan dan berinteraksi langsung dengan penjerap yaitu grup silanol. Jenis interaksi ini disebut dengan interaksi pergantikan. Dan terjadi ketika kekuatan interaksi antara molekul solut dan permukaan penjerap lebih kuat dari pada antara molekul pelarut dan permukaan penjerap. Jenis interaksi ini terjadi jika solut kepolarannya kuat seperti alkohol yang akan berinteraksi lebih kuat dengan grup silanol polar dari pada lapisan kloroform yang kepolarannya lemah.
29
Solut Pelarut A
Pelarut A yang diganti
Pelarut B yang diganti Solut Pelarut B
Gambar 10 Skema interaksi pergantian. Gambar 10 menggambarkan interaksi pergantian, dimana permukaan penjerap ditutupi oleh lapisan dari satu atau lebih molekul pelarut yang berbeda. Lapisan dapat menghalangi langsung interaksi solut dengan penjerap dalam adsorbsinya. Jika interaksi solut dengan penjerap kuat, maka molekul solut akan menggantikan molekul pelarut pada permukaan yang disertai pelepasan molekul pelarut. Pada suatu penjerap, jika solut lebih polar, ia mampu menggantikan salah satu atau kedua pelarut dari permukaan. Jika solut kepolarannya sedang, molekul solut hanya dapat menggantikan molekul pelarut yang lebih lemah tetapi interaksi langsung dengan pelarut yang lebih kuat dengan interaksi sorpsi (penempelan), sehingga interaksi keduanya dapat terjadi pada waktu yang sama yaitu ineteraksi sorpsi dan pergantian. Kepolaran kuat.
Larutan yang terdiri dari campuran pelarut polar dan
dispersi (atau kepolaran yang lemah), sering menghasilkan dua permukaan (bilayer) ketika digunakan pada bahan pemucat.(Gambar 11).
30
Pelarut B lapisan kedua
Pelarut B lapisan pertama
Pelarut A
Gambar 11 Skema adsorbsi pelarut pada dua lapisan (bi-layer). Solut berinteraksi dengan lapisan kedua pelarut (B) (SORPSI)
Solut berinteraksi dengan lapisan pertama pelarut (B) dengan pergantian pelarut dari lapisan Pelarut (B) yang digantikan
Penjerap Solut berinteraksi langsung dengan lapisan pertama pelarut (B) (SORPSI)
Solut berinteraksi dengan permukaan penjerap dengan menggantikan pelarut (B) pada lapisan 1 (PERGANTIAN)
Pelarut (B) yang digantikan
Pelarut (A) yang digantikan
Solut berinteraksi dengan permukaan penjerap dengan menggantikan pelarut (A) pada lapisan 1 (PERGANTIAN) Solut berinteraksi langsung dengan lapisan pelarut (A) (SORPSI)
Gambar 12 Skema perbedaan jenis interaksi yang dapat terjadi pada permukaan bahan pemucat yang ditutupi oleh suatu lapisan pelarut bi-layer. Pada Gambar 11 terlihat bahwa proses sorpsi dan pergantian dapat terjadi antara solut dan permukaan penjerap cukup besar. Ada tiga permukaan yang berbeda untuk terjadinya interaksi dengan sorpsi dan juga ada tiga permukaan yang berbeda untuk interaksi dengan pergantian. Semua alternatif mungkin terjadi, tetapi yang lebih sering adalah beberapa partikel solut lebih dominan dengan satu jenis interaksi. Beberapa tipe interaksi ditunjukkan pada Gambar 12. http://www.chromatography-online.org/Retention/Exclusion/rs59.htm.
METODELOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium pengembangan produk dan proses pangan, Laboratorium mutu dan keamanan pangan Southeast Asian Food and Agricultural and Technology (SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor, Laboratorium kimia pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selain itu penelitian juga dilakukan di Laboratorium pengujian mutu Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta. Penelitian berlangsung dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan September 2006 Bahan dan Alat Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil) yang diperoleh dari PT. Sinar Meadow International Indonesia Pulo Gadung Jakarta. Minyak sawit kasar dikemas dalam wadah tidak tembus cahaya. Penjerap yang digunakan adalah arang aktif dan bleaching earth (Grade: Fuller Earth Pagoda Super) yang diperoleh dari PT. Madu Lingga Perkasa Gersik Sukabumi. Standar β-karoten yang digunakan diperoleh dari SIGMA. Digunakan juga bahan-bahan kimia seperti n-heksana, aseton, metanol, asam asetat, asetonitril, tetrahidrofuran, natrium sulfat anhidrat, gas nitrogen dan bahan kimia lainnya. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup : neraca analitik, penangas
air,
refrigerator
shaker,
spektrofotometer
UV-Vis,
High
Performance Liquid Cromatography (HPLC), Gas Cromatography (GC), penyaring vacum, lemari pendingin, inkubator, vortex, pipet mikro, tabung vial, kertas saring whatman, kertas saring minyak, botol semprot dan peralatan gelas lainnya. Metode Proses penelitian penjerapan dan rekoveri karotenoid dari minyak sawit kasar terdiri atas tiga
tahap yaitu : (1) Tahap pertama yaitu penelitian
pendahuluan, melakukan review data berbagai penjerap yang berpotensi
32
menjadi penjerap karotenoid dari minyak sawit kasar (2) Tahap kedua menentukan penjerap yang efektif untuk menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar. (3) Tahap ketiga menentukan efektifitas pelarut yang dapat melarutkan kembali karotenoid dari bahan penjerap. Diagram alir pelaksanaan penelitian ini disajikan pada Gambar 13
CPO pelarut
penjerap larutan CPO
penjerapan, shaker 150 rpm 400C; 60 menit
penyaringan vacum
filtrat, analisis 444 nm
penjerap kaya karotenoid
pelarut
pencucian vortex, 60 detik
penjerap dengan residu karotenoid
penyaringan
konsentrat karotenoid
Gambar 13 Diagram alir proses isolasi karotenoid dari CPO dengan metode adsorbsi
33
Penelitian pendahuluan Untuk menentukan jenis penjerap yang berpotensi menjadi penjerap karotenoid dari minyak sawit kasar, dilakukan terlebih dahulu studi literatur dengan melakukan koleksi dan review berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan adsorbsi karotenoid. Selanjutnya penjerap yang potensial ditentukan dengan memilih jenis penjerap karotenoid yang mempunyai sifat dapat menjerap karotenoid sebanyak mungkin. Dilakukan juga studi literatur mengenai metode pelepasan komponen karotenoid tersebut dari penjerap. Penentuan penjerap yang effektif Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan karotenoid dari minyak sawit kasar dengan penjerapan langsung secara batch. Masing-masing penjerap yang akan diseleksi dan telah diaktifkan (dipanaskan dalam oven pada suhu 1200C selama lebih dari 2 jam). Minyak sawit kasar dilarutkan ke dalam pelarut nheksana dalam konsentrasi tertentu dimasukkan kedalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan arang aktif (% b/v) atau bleaching earth (% b/v). Selanjutnya dilakukan pengadukan dengan pengaduk bergoyang (shaker) dengan kecepatan 150 rpm dan suhu 400C
selama
60
menit.
Kemudian
dilakukan
penyaringan
dengan
0
menggunakan penyaring vacum pada suhu larutan 40 C. Filtrat hasil proses penjerapan dianalisis dengan mengukur kadar karotenoid yang tidak terjerap menggunakan spektrofotometer UV-Vis, pada panjang gelombang 444 nm, berdasarkan metode Parker yang dimodifikasi (1992). Sejumlah karotenoid yang terikat di dalam penjerap tersebut kemudian diupayakan terlepas kembali dengan teknik pelarutan (elusi) menggunakan pelarut organik. Diagram alir penjerapan karotenoid disajikan pada Gambar 14. Penjerap arang aktif dan penjerap bleaching earth sebelum dilakukan proses penjerapan karotenoid disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16. Penjerap yang diharapkan dapat menjerap karotenoid dalam konsentrasi dan rekoveri setinggi mungkin adalah penjerap yang mampu menjerap karotenoid sebanyak mungkin sehingga dapat dipisahkan dari komponen lain pada minyak sawit kasar; tetapi dilain pihak penjerap tersebut mudah
34
melepaskan kembali komponen karotenoid yang telah dijerapnya dengan suatu teknik tertentu.
CPO
Pelarut
Penjerap
pencampuran dalam erlenmeyer bertutup terlindung cahaya
Shaker 150 rpm 60 menit, 40oC
penyaringan vacum
penjerap kaya karotenoid
filtrat analisis spektrofotometer UV-Vis 444 nm
Gambar 14 Diagram alir penjerapan karotenoid
35
Gambar 15 Penjerap arang aktif sebelum proses penjerapan
Gambar 16 Penjerap bleaching earth sebelum proses penjerapan
36
Penjerap arang aktif 10% b/v Penjerapan karotenoid dilakukan menggunakan penjerap arang aktif dengan konsentrasi 10% b/v terhadap minyak sawit kasar yang telah dilarutkan dengan pelarut n-heksana. Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat konsentrasi yaitu berturut-turut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masing-masing dibuat volume sampai 50 ml. Misalnya untuk membuat konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana 10% b/v, ditimbang 5.0 g minyak sawit kasar dalam wadah yang telah dibungkus dengan alumunium foil dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 50.0 ml yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan pelarut n-heksana sampai tanda 50.0 ml. Selanjutnya larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil dan ke dalam lima konsentrasi larutan minyak sawit kasar tersebut ditambahkan penjerap arang aktif masing-masing sebanyak 5.0 g. Kondisi proses penjerapan ditetapkan sesuai kondisi proses optimal pada penelitian Naibaho (1983) yang melakukan proses penjerapan secara batch pada suhu 400C, pengadukan menggunakan pengaduk bergoyang (shaker) dengan kecepatan 150 rpm selama 60 menit. Kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring vacum pada suhu larutan 400C. Filtrat hasil proses penjerapan dianalisis dengan mengukur kadar karotenoid yang tidak terjerap menggunakan spektrofotometer UV-Vis, pada panjang gelombang 444 nm (Modifikasi Parker. 1992).
Penjerap arang aktif 20% b/v Tahap
berikutnya
dilakukan
penjerapan
karotenoid
dengan
menggunakan penjerap arang aktif dengan konsentrasi 20% b/v terhadap minyak sawit kasar yang telah dilarutkan dengan pelarut n-heksana. Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat konsentrasi yaitu berturut-turut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masingmasing dibuat volume sampai 50 ml. Misalnya untuk membuat konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana 30% b/v, ditimbang 15.0 g minyak sawit kasar dalam wadah yang telah dibungkus dengan alumunium foil dimasukkan
37
secara kuantitatif ke dalam labu ukur 50.0 ml yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan pelarut n-heksana sampai tanda 50.0 ml. Selanjutnya larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil dan ke dalam lima konsentrasi larutan minyak sawit kasar tersebut ditambahkan penjerap arang aktif masing-masing sebanyak 10.0 g. Kondisi proses penjerapan dilakukan dengan cara yang sama seperti proses penjerap arang aktif 10% b/v di atas.
Penjerap bleaching earth 2% b/v Tahap
selanjutnya
adalah
melakukan
penjerapan
karotenoid
menggunakan penjerap bleaching earth dengan konsentrasi 2% b/v terhadap minyak sawit kasar yang telah dilarutkan dengan pelarut n-heksana. Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat konsentrasi yaitu berturut-turut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masingmasing dibuat volume sampai 50 ml. Misalnya untuk membuat konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana 50% b/v, ditimbang 25.0 g minyak sawit kasar dalam wadah yang telah dibungkus dengan alumunium foil dimasukkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 50.0 ml yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan pelarut n-heksana sampai tanda 50.0 ml. Selanjutnya larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil dan ke dalam lima konsentrasi larutan minyak sawit kasar tersebut ditambahkan penjerap bleaching earth masingmasing sebanyak 1.0 g. Kondisi proses penjerapan dilakukan dengan cara yang sama seperti proses penjerap arang aktif 10% b/v. Penjerap yang menunjukkan karotenoid terjerap dengan konsentrasi tertinggi ditetapkan sebagai penjerap terseleksi dan akan digunakan pada perlakuan berikutnya yaitu menentukan tingkat konsentrasi larutan minyak sawit kasar.
Penentuan konsentrasi larutan minyak sawit kasar Penjerap yang digunakan untuk menentukan konsentrasi larutan minyak sawit kasar adalah penjerap terseleksi pada percobaan sebelumnya. Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat
38
konsentrasi yaitu berturut-turut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masingmasing dibuat volume sampai 50 ml. Untuk membuat konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana 70% b/v, ditimbang 35.0 g minyak sawit kasar dalam wadah yang telah dibungkus dengan alumunium foil dimasukkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 50.0 ml yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan pelarut n-heksana sampai tanda 50.0 ml. Selanjutnya larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil dan ke dalam lima konsentrasi larutan minyak sawit kasar tersebut ditambahkan penjerap yang terseleksi pada percobaan sebelumnya dengan konsentrasi yang telah ditetapkan. Kondisi proses penjerapan dilakukan dengan cara yang sama seperti proses penjerap arang aktif 10% b/v. Konsentrasi larutan minyak sawit kasar yang terseleksi digunakan untuk
menentukan optimasi konsentrasi penjerap dengan persentase
penjerapan karotenoid yang tinggi.
Penentuan konsentrasi penjerap terseleksi Pada tahap ini dipersiapkan larutan minyak sawit kasar dengan konsentrasi yang telah terseleksi. Untuk membuat konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana, ditimbang sejumlah tertentu minyak sawit kasar untuk lima perlakuan dalam wadah yang telah dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 50.0 ml yang telah dibungkus dengan alumunium foil kemudian ditambahkan pelarut n-heksana sampai tanda 50.0 ml, selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup yang telah dibungkus dengan alumunium foil dan ke dalam lima larutan minyak sawit kasar dengan konsentrasi larutan terseleksi tersebut ditambahkan penjerap yang terseleksi dengan lima tingkatan konsentrasi (% b/v) sebagai perlakuan yaitu: 2%, 2.5%, 3.0%, 3.5% dan 4.0%. Kondisi proses penjerapan dilakukan dengan cara yang sama seperti proses penjerap arang aktif 10% b/v. Pada tahap selanjutnya ditentukan pelarut yang efektif untuk melepaskan komponen karotenoid dari penjerap yang kaya karotenoid.
39
Penentuan rekoveri karotenoid Sejumlah karotenoid yang terikat di dalam penjerap tersebut kemudian diupayakan terlepas kembali dengan teknik pelarutan (elusi) menggunakan pelarut organik. Penjerap yang kaya karotenoid, dilarutkan menggunakan pelarut organik campuran n-heksana dan aseton, di vortex selama 60 detik, kemudian disaring menggunakan kertas saring whatman nomor 1. Filtrat karotenoid yang diperoleh, dianalisis dengan mengukur kadar karotenoid menggunakan spektrofotometer UV-Vis, pada panjang gelombang 444 nm (Modifikasi Parker. 1992). Diagram alir isolasi karotenoid disajikan pada Gambar 17.
Pelarut pengelusi yang diharapkan adalah yang mudah
melepaskan kembali komponen karotenoid pada penjerap yang kaya akan karotenoid dengan suatu teknik tertentu.
penjerap kaya karotenoid (1 g)
pelarut organik / eluen (10ml)
pencampuran penjerap kaya karotenoid dengan eluen dalam tabung bertutup terlindung cahaya
vortex selama 60 detik
penyaringan dengan kertas saring whatman nomor 1
Residu
filtrat analisis spektrofotometer UV-Vis 444 nm
Gambar 17 Diagram alir isolasi karotenoid dari penjerap
40
Prosedur Analisis Analisis kandungan karotenoid, Metode Spektrofotometri (Parker, 1992) Analisis kandungan karotenoid dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 0,5 gram sampel didispersikan dalam 6 ml larutan KOH-metanol 5% (b/v) di dalam tabung reaksi bertutup. Tabung ditutup dan dibungkus dengan alumunium foil untuk mencegah terjadinya oksidasi karena cahaya. Headspace diisi dengan gas nitrogen, kemudian disaponifikasi pada temperatur 60-70oC selama 1 jam di dalam penangas air dengan kondisi gelap, yang bertujuan untuk menyempurnakan reaksi dan dikocok dengan vortex setiap 10 menit. Setelah 1 jam, hasil saponifikasi didinginkan dan ditambahkan dengan 2 ml air bebas ion dan 6 ml n-heksana, headspace diisi dengan nitrogen, ditutup dan dikocok dengan menggunakan vortex selama 1 menit, kemudian di sentrifuge, lapisan atasnya (lapisan organik) dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang bersih. Lapisan bawah difraksinasi sekali lagi dengan 6 ml nheksana, dikocok dengan menggunakan vortex selama 1 menit, dan lapisan atasnya dipisah lagi, kemudian digabungkan dengan lapisan atas sebelumnya. Gabungan lapisan atas selanjutnya dinetralkan untuk menghilangkan sabun yang masih ada dan sisa KOH yang belum tersabunkan (tersaponifikasi) dengan penambahan 3 ml asam asetat 5 % (di dalam air) dan headspace diisi gas nitrogen, dikocok selama 3 menit, di- sentrifuge lalu dipisahkan lapisan atasnya. Filtrat lapisan atas selanjutnya dialiri gas N2 (nitrogen) sampai kering. Pada ekstrak kering yang diperoleh, ditambahkan 3 ml campuran asetonitril:metanol:diklorometana
(75:20:5))
lalu
diukur
serapannya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 444 nm. Prosedur analisis konsentrasi karotenoid secara skematis disajikan Gambar 18.
pada
41
0.5 g sampel + 6 ml KOH 5% dalam metanol, kocok, N2 saponifikasi, water bath 60-70oC, 1 jam, kocok setiap 10 menit + 2 ml air bebas ion, kocok 1 menit + 6 ml n-heksana, kocok 1 menit
Lapisan bawah
Lapisan atas
+ 6 ml n-heksana + N2, kocok
Lapisan bawah (dibuang)
+ 3 ml Asam Asetat 5%, N2, kocok
Ekstrak
Lapisan atas
Analisis Spektofotometer (3 ml asetonitril:metanol:diklorometan 75:20:5 v/v) Gambar 18 Skema analisis konsentrasi karotenoid (Parker 1992). Kandungan total karotenoid dalam sampel dihitung dengan menggunakan nilai E1% (1 cm) untuk β-karoten = 2600, yaitu absorbansi dari 1% larutan β-karoten (10 mg/ml atau μg/μl) pada panjang gelombang 444 nm dan menggunakan kuvet 1 cm. Perhitungan sebagai berikut : [karotenoid] =
Keterangan :
10mg / ml V x A x fp x 2600 B
[karotenoid] A fp V B
= konsentrasi karotenoid sampel (μg/g) = absorbansi pada panjang gelombang 444 nm = faktor pengenceran = volume sampel yang diukur (μl) = bobot sampel yang dianalisis (g)
42
Analisis komposisi asam lemak, metode kromatografi gas (AOAC, 1995)
Analisis komposisi asam lemak dengan metode kromatografi gas terdiri dari 2 tahap, yaitu derivatisasi asam lemak dan tahap analisis GC. Pada tahap derivatisasi asam lemak, sample yang akan dianalisis asam lemaknya ditimbang dalam tabung reaksi bertutup + 25 mg, kemudian ditambahkan larutan standar internal (C17:0) 1,0 mg/ml sebanyak 0,5 ml. Ke dalam campuran ditambahkan 1,5 ml NaOH metanolik 0,5 N, kemudian tabung dialiri dengan gas N2 (nitrogen), ditutup rapat, kemudian dikocok dan dipanaskan dalam penangas air yang mendidih (suhu air sekitar 100oC) selama 5 menit. Selanjutnya tabung didinginkan sampai suhu campuran berada pada kisaran suhu 30-400C. Ke dalam campuran ditambahkan 2 ml pereaksi BF3metanol (14% b/v), kemudian tabung dialiri dengan gas N2 (nitrogen) dan ditutup rapat, kemudian dipanaskan kembali dalam penangas air mendidih selama 30 menit. Campuran didinginkan sampai suhu campuran berada pada kisaran suhu 30-400C dan ditambahkan 1 ml n-heksana, aliri dengan gas N2 (nitrogen), ditutup rapat dan dikocok selama 30 detik. Campuran yang dihasilkan selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh, aliri dengan gas N2 (nitrogen), ditutup rapat dan dikocok selama 30 detik Lapisan n-heksana dipisahkan dan dipindahkan ke dalam vial, fase metanol-air diekstrak kembali dengan 1 ml n-heksana dan hasil ekstraksi digabungkan serta dilakukan penyaringan dengan Na2SO4 anhidrat. Sampel ester metil asam lemak ini dipekatkan dengan dialiri gas N2 (nitrogen) hingga diperoleh volume + 1 ml dan sample siap diinjeksikan kealat kromatografi gas. Tahap kedua, analisis komposisi asam lemak sampel menggunakan alat GC (Gas Cromatography) yang dilengkapi dengan detektor FID (Flame Ionization Detector), integrator chromatopac C-R6 dan kolom kapiler DB-23 (30 m x 0,25 mm: J & W Scientific, Folson, CA). Metil ester asam lemak yang telah dibebaskan dari kandungan air dengan Na2SO4 anhidrat dan telah dipekatkan dengan gas nitrogen, sebanyak 1 μl disuntikkan ke alat kromatografi gas menggunakan sistem langsung (splitless mode) dengan suhu hidrogen/ suhu injektor diatur 2500C, suhu detektor 2600C, suhu kolom awal 1400C yang dipertahankan selama 6 menit. Peningkatan suhu kolom kemudian
43
diatur adalah suhu 30oC/menit, hingga suhu akhir kolom 230oC dan dipertahankan selama 25 menit. Gas helium digunakan sebagai gas dengan tekanan 1 kg/cm2 dan udara untuk FID masing-masing adalah 0,5 kg/cm2. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan standar ester metil asam lemak dan kuantifikasi masing-masing jenis asam lemak dilakukan dengan perbandingan terhadap standar internal C17:0 Kromatogram yang diperoleh digunakan untuk menentukan persentase komposisi asam lemak menggunakan persamaan : a. Penentuan persen asam lemak
Persen total lemak = 100% - % pelarut Persen puncak asam lemak Persen asam lemak =
x 100% persen total puncak asam lemak
b. Penentuan respon faktor (Rf) standar asam lemak:
area SI a) Rf =
mg SI b)
mg asam lemak b) x area asam lemak
a)
c. Penentuan kadar asam lemak sampel
WSI (mg) c) Konsentrasi asam lemak (mg/g ) = W minyak (g)
area asam lemak d) x Rf x
area SI d)
Keterangan : a)
area pada kromatogram hasil penyuntikan standar metil asam lemak berat masing-masing asam lemak dalam standar ester metil asam lemak c) jumlah standar internal C17:0 yang ditambahkan ke dalam sampel d) area pada kromatogram hasil penyuntikan sampel b)
44
Kadar air, Metode Vakum (AOAC, 1995)
Sampel minyak sebanyak 5.0 g dimasukkan ke dalam cawan aluminium. Sampel lalu dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 20-250C dan tekanan dibawah 100 mmHg hingga bobotnya konstan. Cawan dan sampel tersebut selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Bobot konstan terjadi jika pada selang selama 1 jam pengeringan perubahan bobot kurang daro 0.05%. Perhitungan kadar air sebagai berikut : Bobot yang hilang (g) Kadar air (%) (basis basah)
=
x 100% Bobot sampel (g)
Nilai log P (Halling, 1990; Hariyadi, 1996).
Nilai log P digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut yang lain. Nilai log P campuran pelarut A dan pelarut B ditentukan dengan memakai rumus empiris, proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan dibawah ini:
Log P A dan B = (XA log PA) + (XB log PB)
Keterangan : Log P = nilai logaritma koefisien partisi suatu pelarut pada sistem dua fase P = koefisien partisi X = fraksi molar dari pelarut
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Pada tahap awal penelitian dilakukan terlebih dahulu persiapan dan karakterisasi bahan baku serta studi literatur mengenai berbagai jenis penjerap yang berpotensi dalam menjerap karotenoid, untuk penentuan jenis penjerap potensial yang akan dipilih untuk diuji dan dioptimasi di laboratorium.
Persiapan dan karakterisasi bahan baku Pada tahap awal penelitian dilakukan karakterisasi bahan baku yang digunakan dalam penelitian. Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil). Bahan baku CPO yang digunakan mula-mula dianalisis untuk mengetahui kadar air, kadar asam lemak bebas, konsentrasi karotenoid serta komposisi asam lemaknya. Karakterisasi minyak sawit kasar yang digunakan disajikan pada Tabel 8 Tabel 8 Karakteristik minyak sawit kasar (CPO) Karakteristik
Satuan
Nilai
Kadar air
%
0.15
Kadar asam lemak bebas
%
3.50
μg/g
635.44
Asam laurat (12:0)
%
0.66
Asam miristat (14:0)
%
2.08
Asam palmitat (16:0)
%
42.17
Asam stearat (18:0)
%
2.45
Asam oleat (18:1)
%
28.16
Asam linoleat (18:2)
%
14.56
Asam linolenat (18:3)
%
1.30
Kadar karotenoid Komposisi asam lemak
Kadar air dan kadar asam lemak bebas minyak sawit kasar yang digunakan dalam penelitian ini masih memenuhi standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI (Standar Nasional Indonesia). Kadar air maksimal minyak
46
sawit kasar menurut SNI nomor 01-2901-1995 adalah 2.0% dan kadar asam lemak bebas maksimal 5.0%. Asam palmitat adalah asam lemak dominan dalam minyak sawit kasar dengan jumlah sebesar 42.17%, sedangkan asam oleat merupakan asam lemak dengan jumlah terbesar kedua setelah palmitat yaitu sebesar 28.16% disusul asam linoleat sebanyak 14.56%. Hasil analisis komposisi asam lemak secara lengkap tersaji pada Lampiran 2. Studi literatur dilaksanakan dengan melakukan koleksi dan review berbagai penelitian yang berkaitan dengan adsorbsi karotenoid. Dari hasil review beberapa penjerap mempunyai potensi sebagai penjerap karotenoid, antara lain : abu sekam padi, alumina, arang aktif, ASF, bentonit, bleaching earth, C-18, Galeon V2, MgO. Dari beberapa penelitian yang dilaporkan, arang aktif
efektif untuk menjerap karotenoid demikian pula dengan
bleaching earth. Keduanya sering digunakan secara komersial di industri sebagai bahan pemucat minyak nabati. Dilaporkan oleh Naibaho (1983) pemucatan minyak sawit dimaksudkan untuk menghilangkan warna merah kuning yang disebabkan oleh karotenoid minyak sawit yang tidak disenangi oleh konsumen. Sesuai dengan persyaratan warna minyak sawit yang telah dipucatkan tidak boleh melebihi 2.5 merah dan 25 kuning (Lovibond Tintometer) Lebih lanjut Naibaho melaporkan pemucatan minyak sawit yang telah dikenal antara lain adalah pemucatan dengan cara adsorbsi dengan menggunakan bahan pemucat seperti tanah liat dan karbon aktif. Kombinasi pemucatan panas (heat bleaching) dengan pemucatan penjerap minyak sawit yang umum dikembangkan ialah kombinasi pemucatan panas. Pemucatan minyak dengan tanah asam akan lebih baik jika dibandingkan dengan hasil pemakaian tanah netral. Dengan adanya sifat tersebut maka tanah liat monmorillonit dapat diasamkan dengan asam mineral. Karakteristik penjerap arang aktif dan bleaching earth
yang diperoleh dari PT. Madu Lingga
Perkasa, Gersik Sukabumi tersaji pada Tabel 9 dan 10 selanjutnya hasil Desk study koleksi dan review berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan adsorbsi karotenoid disajikan pada Tabel 11
47
Tabel 9 Karakteristik penjerap arang aktif Karakteristik Bahan baku Proses karbonisasi Suhu destilasi Waktu destilasi Bentuk arang aktif Rendemen Kadar air Kadar abu
Keterangan tempurung kelapa destilasi kering 5500C 3 jam butiran kasar 29% 6.4% 2.1%
Tabel 10 Karakteristik penjerap bleaching earth Karakteristik Kadar air pH Asam untuk aktivasi Ukuran partikel Luas permukaan Berat jenis Jenis tanah Daerah asal Komposisi kimia : SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO TiO2 Na2O K2 O
Keterangan 8% 2.50 Asam sulfat 200 mesh 195 (m2/gm) 0.53 (gr/ml) montmorillonite Gersik; Sukabumi 65.0 % 12.0% 3.0% 0.2 % 1.5% 0.3% 0.5% 0.2%
48
Tabel 11 Beberapa penjerap yang berpotensi menjerap karotenoid JENIS PENJERAP
PELARUT
Diaion HP20
Isopropanolol dan n-heksana
Alumina
Isopropanol ol dan nheksana
Silica Gel
Isopropanolol dan n-heksana
Galeon V2
Aseton, PetroleumEter (PE)
ASF
Aseton, PetroleumEter (PE)
Karbon Aktif
n-heksana
Karbon Aktif : Alumina Bentonit; Bleaching earth MgO : Al2O3 MgO : Al2O3 C-19 Karbon Karbon Aktif Mg Silikat : Arang Aktif (1:1)
METODA
Kromatografi Adsorpsi,dg kolom berjacket, suhu 40-600C Kromatografi Adsorpsi,dg kolom berjacket, suhu 40-600C Kromatografi Adsorpsi,dg kolom berjacket, Suhu 40-60 C Adsorbsi, 500C, 350 rpm, 60menit, hampa vacum Adsorbsi, 500C, 350 rpm, 60 menit, hmpa vacum
KAROTEN ppm
RECOVERI
105
40 – 65
105
40 – 65
105
40 – 65
%
Kolom Kromatografi Kolom Kromatografi Adsorpsi Fase Terbalik Adsorpsi
Baharin,98
Baharin,98
Adsorpsi Adsorpsi, 1000C
mengadsorb karoten 90.41%
Naibaho,83
mengadsorb karoten 87.54%
Naibaho,83
pemurni an minyak goreng bekas Mutu minyak goreng naik 50-90 % Nilai absorben rendah, minyak jernih
Ferry, 2002
890,60
Ita C.M., 1991 Yulianto, 2004
> 90
Sahidin, 2001 Sahidin, 2001 Choo,1989
< 50
Choo,1989
< 80
Choo,1989
644,12 8.000 – 9.000 5.000 – 7.000 3.700 – 5.600
PUSTAKA
Baharin,98
Adsorbsi, 1 jam, saring
PE : Aseton (1:3) PE : Aseton (1:1)
KETE RANGAN
Efisiensi pemakai an minyak goreng
Nugraha W.S., 2004
49
Penentuan Penjerap Yang Efektif Pemilihan bahan pengekstrak atau pelarut yang digunakan untuk melarutkan komponen-komponen bioaktif dari tanaman merupakan tahap paling penting dan menentukan untuk mencapai tujuan dan sasaran pelarutan. Menurut Houghton dan Raman (1998) terdapat dua pertimbangan utama dalam pemilihan bahan pelarut. Pertama, harus mempunyai daya larut yang tinggi terhadap bahan yang akan dilarutkan, dalam hal ini untuk mengoptimalkan perolehan senyawa bioaktif yang diinginkan. Kedua, tidak berbahaya dan tidak bersifat racun. Pertimbangan lain untuk memilih pelarut juga berdasarkan pada titik didihnya, mudah tidaknya terbakar. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan baku, mudah didapat dan murah harganya. Pada penelitian ini digunakan pelarut n-heksana yang mengacu pada hasil peneliti sebelumnya bahwa n-heksana merupakan pelarut yang umum digunakan dalam metode ekstraksi pelarut (Hamilton, 1980). Selanjutnya menurut Proctor et al., (1994) pelarut n-heksana efektif digunakan sebagai bahan pelarut atau pengekstrak minyak. Demikian halnya Shills et al. (1994) mengatakan bahwa untuk ekstraksi komponen yang larut dalam lemak dianjurkan
menggunakan
pelarut yang
dapat
merusak
struktur
sel,
mendenaturasi protein dan dapat melarutkan fraksi lemak, dalam hal ini adalah n-heksana. Pertimbangan dari segitoksisitas bahan pengekstrak, etanol dan nheksana merupakan pelarut yang rendah atau kurang bahayanya secara biologis,
sehingga
cocok
digunakan
untuk
mengekstrak
karotenoid
(Taungbodithan et al.,1998). Peluang penggunaan arang aktif dan bleaching earth sebagai penjerap karotenoid dari minyak sawit kasar berdasarkan hasil desk study
yang
dilakukan pada tahap pendahuluan. Penentuan penjerap yang effektif menjerap karotenoid ditentukan melalui perlakuan (1) arang aktif dengan konsentarsi 10% b/v terhadap minyak sawit kasar (CPO) yang telah dilarutkan dengan larutan n-heksana (2) arang aktif 20% b/v terhadap minyak sawit kasar (CPO) yang telah dilarutkan dengan larutan n-heksana (3) bleaching earth 2% b/v
50
terhadap minyak sawit kasar (CPO) yang telah dilarutkan dengan larutan nheksana. Penjerapan dengan arang aktif 10% b/v Dilakukan isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar (CPO) dengan menggunakan penjerap arang aktif dengan konsentrasi 10% b/v terhadap CPO yang telah dilarutkan dengan pelarut n-heksana. Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat konsentrasi yaitu berturutturut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masing-masing dibuat volume sampai 50 ml.
Karotenoid terjerap ( ug karotenoid/g arang aktif)
800.00
736.31
700.00 579.94
600.00 500.00
417.35
400.00 270.28
300.00 200.00
144.65
100.00 0.00 10
30
50
70
90
Konsentrasi CPO dalam n-heksana ( % b/v)
Gambar 19 Jumlah karotenoid yang terjerap pada penjerap arang aktif 10% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO Data yang disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 3 terlihat bahwa proses isolasi karotenoid menggunakan penjerap arang aktif 10% b/v, jumlah karotenoid yang terjerap meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan CPO. Pada konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana 10% b/v, karotenoid yang terjerap sebesar 144.65 ug/g penjerap arang aktif 10%, meningkat sampai 736.31 ug/g penjerap arang aktif 10% pada konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana 90% b/v. Dengan proses isolasi yang sama penelitian dilanjutkan dengan menggunakan penjerap arang aktif 20% b/v. Penjerapan dengan arang aktif 20% b/v Dilakukan isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar dengan menggunakan penjerap arang aktif dengan konsentrasi 20% b/v terhadap minyak sawit kasar yang telah dilarutkan dengan pelarut n-heksana.
51
Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat konsentrasi yaitu berturut-turut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masingmasing dibuat volume sampai 50 ml dan hasil penelitian disajikan
pada
Gambar 20.
Karotenoid terjerap (ug karotenoid/g arang aktif )
350.00
314.84
300.00
256.73
250.00 200.03 200.00 134.18
150.00 100.00
69.97
50.00 0.00 10
30
50
70
90
Konsentrasi CPO dalam n-heksana ( % b/v)
Gambar 20 Jumlah karotenoid yang terjerap pada penjerap arang aktif 20% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO Pada Gambar 20 dan data yang disajikan pada Lampiran 4 terlihat bahwa proses penjerapan karotenoid menggunakan penjerap arang aktif 20% b/v, jumlah karotenoid yang terjerap meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan CPO, tetapi jika dibandingkan dengan penggunaan penjerap arang aktif 10% b/v terlihat bahwa dengan peningkatan konsentrasi penjerap arang aktif dari 10% b/v menjadi 20% b/v jumlah karotenoid yang terjerap menurun yang dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20. Pada konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana 10% b/v menggunakan penjerap arang aktif 10% b/v karotenoid yang terjerap sebesar 144.65 ug/g arang aktif sedangkan jika menggunakan penjerap arang aktif 20% b/v karotenoid yang terjerap hanya 69.97 ug/g arang aktif, demikian pula hasil yang ditunjukkan pada konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana 90% b/v menggunakan penjerap arang aktif 10% b/v karotenoid yang terjerap sebesar 736.31 ug/g penjerap arang aktif sedangkan jika menggunakan penjerap arang aktif 20% b/v karotenoid yang terjerap hanya 314.84 ug/g arang aktif. Naibaho (1983) melaporkan penjerap arang aktif menunjukkan daya penjerap terendah yaitu dalam proses pemucatan penurunan karotenoid sebesar
52
38.94% sedangkan jika menggunakan penjerap tanah pemucat Galeon V2 penurunan karotenoid sebesar 68.50%. Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 19 dan Gambar 20, penambahan jumlah penjerap arang aktif dari 10% b/v menjadi 20% b/v tidak meningkatkan jumlah karotenoid yang terjerap Kemudian pada penelitian lanjut dicoba mengisolasi karotenoid dari minyak sawit kasar (CPO) menggunakan penjerap bleaching earth dengan konsentrasi 2% b/v.
Penjerapan dengan bleaching earth 2% b/v Proses isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar (CPO) menggunakan penjerap bleaching earth dengan konsentrasi 2% b/v terhadap minyak sawit kasar yang telah dilarutkan dengan pelarut n-heksana. Konsentrasi minyak sawit kasar dalam n-heksana (% b/v) dibuat lima tingkat konsentrasi yaitu berturut-turut: 10%, 30%, 50%, 70% dan 90% masing-masing dibuat volume sampai 50 ml, hasil penelitian disajikan pada Gambar 21. Perlakuan pemucatan minyak sawit kasar seperti yang dilakukan di industri pemurnian minyak, menggunakan penjerap bleaching earth dengan
Karotenoid terjerap
(ug karotenoid / g bleaching earth )
konsentrasi 2% sampai dengan 4% b/v. 14000.00
12619.13
12000.00
13103.35
10554.72
10000.00 7697.05
8000.00 6000.00 4000.00 2665.19 2000.00 0.00 10
30
50
70
90
Kons e ntras i CPO dalam n-he k sana ( % b/v)
Gambar 21 Jumlah karotenoid yang terjerap pada penjerap bleaching earth 2% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO Hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 21 dan Lampiran 5 terlihat bahwa proses isolasi karotenoid menggunakan penjerap bleaching earth 2% b/v, jumlah karotenoid yang terjerap meningkat seiring dengan
53
meningkatnya konsentrasi larutan CPO. Pada konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana 10% b/v, karotenoid yang terjerap sebesar 2665.19 ug/g bleaching earth 2%, meningkat sampai 13103.35 ug/g penjerap bleaching earth 2% pada konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana 90% b/v. Selanjutnya dari data yang tersaji pada Gambar 21 dan Gambar 22 serta data yang tersaji pada Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 7, penjerap bleaching earth dengan konsentrasi 2% b/v merupakan penjerap yang efektif untuk mengisolasi karotenoid dari minyak sawit kasar, dibandingkan dengan arang aktif dengan konsentarsi 10% b/v ataupun 20% b/v, karena mampu menjerap karotenoid kurang lebih 22 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 10% b/v dan mampu menjerap karotenoid kurang lebih 48 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 20% b/v.
Karotenoid yang terjerap
(ug karotenoid / g penjerap)
14000.00
13103.35 12619.13
12000.00 10554.72
10000.00 8000.00
7697.05
6000.00 4000.00
2665.19
2000.00
270.28
144.65
0.00
69.97
10
134.18
30
417.35 200.03
50
579.94
736.31
256.73
70
314.84
90
Kons entras i CPO dalam n-hek sana (% b/v)
Arang aktif 10% b/v
Arang aktif 20% b/v
Bleaching earth 2% b/v
Gambar 22 Jumlah karotenoid yang terjerap pada penjerap arang aktif 10% dan 20% (b/v) serta penjerap bleaching earth 2% b/v dalam berbagai konsentrasi larutan CPO Untuk selanjutnya pada proses isolasi karotenoid dari CPO, penjerap bleaching earth merupakan penjerap yang terseleksi untuk digunakan pada proses penelitian selanjutnya.
54
Penentuan konsentrasi larutan minyak sawit kasar Hasil penelitian dengan perlakuan berbagai konsentrasi larutan minyak sawit kasar dalam pelarut n-heksana dengan lima tingkat konsentrasi yaitu: 10%, 30%, 50%, 70%, 90% (b/v) dan menggunakan penjerap bleaching earth dengan konsentrasi 2% b/v disajikan pada Gambar 21 dan 23. Perlu diketahui jumlah pelarut yang tepat, karena penggunaan pelarut yang berlebihan akan menambah biaya secara ekonomis. Pada Gambar 23 teramati bahwa persentase penjerapan karotenoid menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi larutan CPO dalam pelarut n-heksana.
Karotenoid terjerap (%)
120.00 100.00
98.45
95.23 78.48
80.00
67.00 54.14
60.00 40.00 20.00 0.00 10
30
50
70
90
Konsentrasi CPO dalam n-heksana ( % b/v)
Gambar 23 Persentase penjerapan karotenoid menggunakan penjerap bleaching earth 2% b/v pada berbagai konsentrasi larutan CPO Jumlah karotenoid yang terjerap pada konsentrasi larutan CPO dalam n-heksana 10% b/v dapat mencapai 98.45% dan seiring dengan menurunnya jumlah pelarut n-heksana sampai konsentrasi larutan CPO dalam n-heksana 90% b/v
jumah karotenoid yang terjerap menurun sampai 54.14%. Pada
larutan CPO 50% b/v persentase karotenoid yang terjerap dapat mencapai 78.48% (Gambar 23) dan jumlah karotenoid yang terjerap pada konsentrasi CPO diatas 50% b/v (Gambar 21) tidak banyak bertambah, menunjukkan sisi aktif penjerap bleaching earth sudah jenuh berikatan dengan karotenoid. Berdasarkan hasil ini, maka dinyatakan konsentrasi larutan CPO 50% b/v sebagai nisbah terseleksi dan diterapkan pada perlakuan selanj utnya.
55
Penentuan konsentrasi penjerap Penjerap bleaching earth merupakan penjerap terseleksi dan perlu ditentukan konsentrasi penjerap yang akan digunakan pada penelitian tahap berikutnya. Perlakuan menggunakan lima konsentrasi bleaching earth yang berbeda yaitu 2%, 2.5%, 3.0%, 3.5%, 4.0% (b/v) pada larutan minyak sawit kasar 50% (b/v). Peningkatan konsentrasi penjerap dengan pertimbangan bahwa peningkatan konsentrasi penjerap akan meningkatkan jumlah karotenoid yang dapat terisolasi dari minyak sawit kasar. Dari hasil penelitian yang tersaji pada Gambar 24 dan Lampiran 8, jumlah karotenoid yang terjerap meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi penjerap yang digunakan. Hasil analisis ragam konsentrasi bleaching earth pada larutan CPO dalam n-heksana 50% b/v menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bleaching earth berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah karotenoid yang terjerap pada larutan CPO 50% yang dihasilkan (p<0.005). Hasil analisa beda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bleaching earth dengan konsentrasi yang berbeda (Gambar 24) menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap jumlah karotenoid yang terjerap pada larutan CPO 50% yang dihasilkan. Oleh karena itu bleaching earth dengan konsentrasi 4% b/v yang dapat menjerap karotenoid sampai 96.40% (Lampiran 8) merupakan konsentrasi yang optimum dan diterapkan untuk perlakuan selanjutnya, yaitu menentukan kondisi optimum melarutkan karotenoid dari penjerap kaya karotenoid. Pada umumnya konsentrasi bleaching earth yang digunakan di industri pangan atau minyak goreng adalah 2% sampai 4% b/v
56
Karotenoid yang terjerap (ug karotenoid/g penjerap)
14000.00 11604.29
12000.00
12426.09
12562.00
3.0
3.5
12972.47
10656.76
10000.00 8000.00 6000.00 4000.00 2000.00 0.00 2.0
2.5
4.0
Konsentrasi penjerap bleaching earth ( % b/v )
Gambar 24
Jumlah karotenoid yang terjerap pada berbagai konsentrasi bleaching earth pada konsentrasi CPO dalam n-heksana 50% b/v Perolehan Kembali Karotenoid
Untuk mendapatkan konsentrat dengan konsentrasi dan tingkat perolehan kembali (% recovery) karotenoid yang tinggi, dilakukan kajian untuk mengetahui kondisi optimum pelarutan kembali atau isolasi karotenoid dari penjerap yang kaya akan karotenoid. Penentuan perolehan kembali karotenoid dari penjerap yang kaya karotenoid dengan metode adsorbsi dilakukan langsung secara batch. Penggunaan eluen kombinasi n-heksana dan aseton didasarkan atas sifat kelarutan dan keterikatan karotenoid. n-heksana merupakan pelarut non-polar sedangkan aseton merupakan pelarut semi polar. Karotenoid termasuk senyawa yang bersifat non-polar yang hanya larut dalam pelarut non-polar, karena itu pelarut aseton tidak dapat digunakan tunggal. Karena keberadaan komponen karotenoid bisa terikat pada senyawa yang bersifat polar maupun non-polar, maka penggunaan eluen campuran nheksana dan aseton dapat melepaskan karotenoid yang terikat pada penjerap. Aseton berperan sebagai eluen yang dapat melepaskan karotenoid dalam keadaan terikat
dengan senyawa lain yang bersifat polar, sedangkan n-
heksana berperan sebagai eluen bagi karotenoid yang bebas (Mappiratu, 1990)
57
Selanjutnya Jaren
et al. (1999) telah menggunakan campuran n-
heksana – aseton (10:1 v/v) untuk mengekstrak pigmen paprika dan dilaporkan bahwa penambahan aseton sebesar 1% dalam bahan pengekstrak akan menghasilkan ekstrak pigmen dengan konsentrasi yang tinggi. Dan Taungbodithan et al. (1998) untuk mengekstrak karotenoid dari sari tomat dan meperoleh perolehan kembali karotenoid yang tinggi. Pada penelitian ini, digunakan pelarut campuran n-heksana dan aseton dengan berbagai konsentrasi untuk melarutkan karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v, arang aktif 20% b/v serta penjerap bleaching earth 4% b/v yang semuanya sudah kaya akan karotenoid. Menurut Dordick, 1989 dan Hariyadi, 1996, dalam memilih jenis pelarut organik, beberapa faktor perlu diperhatikan. Salah satunya yang mendapat perhatian sangat besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut. Hidrofobisitas pelarut organik sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelarut tersebut dan hidrofobisitas suatu pelarut dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan berbagai parameter antara lain dengan menentukan nilai log P (Laane et al. 1987a; Hariyadi, 1995). Nilai P (koefisien partisi) adalah koefisien partisi suatu pelarut pada sistem dua fase yang terdiri dari fase organik dan fase air. Nilai log P (nilai logaritma koefisien partisi) digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut yang lain. Nilai log P campuran pelarut A dan pelarut B ditentukan dengan memakai rumus empiris, proporsional dengan fraksi molar. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa eluen campuran nheksana dan aseton dengan ratio perbandingan 40:60 (v/v) dan 50:50 (v/v) dapat melepaskan karotenoid dengan konsentrasi tertinggi dibandingkan dengan eluen dengan ratio perbandingan lainnya. Data-data hasil perolehan kembali karotenoid dari penjerap yang kaya akan karotenoid disajikan pada Gambar dibawah ini.
Perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada arang aktif 10% b/v Sejumlah karotenoid yang terikat di dalam penjerap tersebut kemudian diupayakan terlepas kembali dengan teknik pelarutan (elusi) menggunakan
58
pelarut organik campuran n-heksana dan aseton, selanjutnya divortex selama 60 detik, dan disaring menggunakan kertas saring whatman nomor 1. Filtrat karotenoid yang diperoleh, dianalisis dengan mengukur kadar karotenoid
Jumlah karotenoid terekstrak (ug karotenoid/ g penjerap kaya karotenoid)
menggunakan spektrofotometer UV-Vis, pada panjang gelombang 444 nm.
1400 1213.40 1200
1026.92
1000 785.53 800
664.48
603.36
576.41
600 400 200 8.46 0 (100 : 0)
(80 : 20) ('60 : 40) (50 : 50)
(40 : 60)
(20 : 80)
(0 : 100)
Ratio penggunaan larutan (n-Heksana : Aseton)
Gambar 25
Jumlah karotenoid yang terekstrak dari penjerap arang aktif 10% b/v, menggunakan eluen campuran n-heksana dan aseton dengan berbagai konsentrasi.
Jumlah karotenoid terekstrak
(ug karotenoid / g penjerap kaya karotenoid)
1400.000 1213.40 1200.000 1023.96 1000.000 785.53
800.000
664.48
603.36
576.41
600.000 400.000 200.000 8.46 0.000 3.500
2.383
1.517
1.153
0.919
0.262
-0.208
-200.000 Nilai Log P
Gambar 26
Aktivitas pelarut / eluen dengan nilai log P pada perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v kaya karotenoid
Dari hasil penelitian yang tersaji pada Gambar 25 dan 26 serta Lampiran 9 terlihat bahwa jumlah karotenoid yang dapat terlarut kembali dari penjerap arang aktif 10% b/v kaya karotenoid paling kecil jika menggunakan hanya pelarut n-heksana yaitu sejumlah 8.46 ug / g penjerap arang aktif 10%
59
b/v kaya karotenoid dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar 3.500, jika menggunakan hanya pelarut aseton jumlah karotenoid yang dapat terlarut / terekstrak sebesar 576.41 ug / g penjerap arang aktif 10% b/v kaya karotenoid dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar -0.208. Hasil penelitian yang tersajikan pada Gambar 25 dan 26 serta Lampiran 9 maka campuran pelarut n-heksana : aseton dengan ratio perbandingan = 40 : 60 (% v/v) mampu melepaskan karotenoid yang terjerap pada penjerap arang aktif 10% kaya karotenoid dengan jumlah tertinggi yaitu 1213.40 ug / g penjerap arang aktif 10% b/v kaya karotenoid dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar 0.919 dan perolehan kembali (% recovery) sebesar 44.47%.
Perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada arang aktif 20% b/v Hidrofobisitas pelarut organik sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelarut tersebut. Dengan menggunakan log P (Laane, 1987) dapat ditemukan kecenderungan proporsional aktivitas pelarut. Nilai P diberi batasan sebagai koefisien partisi suatu pelarut pada suatu sistem dua fase. Nilai log P suatu campuran pelarut-pelarut dapat ditentukan dengan memakai rumus empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al. 1984 (Hariyadi P, 1996), proporsional dengan fraksi molar. Hasil perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada penjerap arang aktif 20% b/v yang kaya akan karotenoid tergambarkan pada data-data yang tersaji pada Gambar 27 dan 28 serta pada Lampiran 10. Dapat dilihat bahwa jumlah karotenoid yang dapat terlarut kembali dari penjerap arang aktif 20% b/v kaya karotenoid paling kecil jika menggunakan hanya pelarut n-heksana yaitu sejumlah 7.85 ug / g penjerap arang aktif 20% b/v kaya karotenoid dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar 3.500, jika menggunakan hanya pelarut aseton jumlah karotenoid yang dapat terlarut / terekstrak sebesar 370.20 ug / g penjerap arang aktif 20% b/v kaya karotenoid dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar -0.208. Selanjutnya tergambarkan bahwa campuran pelarut n-heksana : aseton dengan ratio perbandingan = 40 : 60 (% v/v) mampu melepaskan karotenoid
60
yang terjerap pada penjerap arang aktif 20% kaya karotenoid dengan jumlah tertinggi yaitu 577.24 ug / g penjerap arang aktif 20% b/v kaya karotenoid dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar 0.919 dan perolehan kembali (% recovery) sebesar 39.16%. Hasil perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada arang aktif 20% b/v dengan menggunakan campuran n-heksana dan aseton dengan beberapa ratio perbandingan, ternyata semuanya lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada arang aktif 10% b/v.
Jumlah karotenoid terekstrak (ug karotenoid/ g penjerap kaya karotenoid)
700 577.24 600 508.55
473.10
500 410.69
414.30
(80 : 20)
('60 : 40)
370.20
400 300 200 100 7.85 0 (100 : 0)
(50 : 50)
(40 : 60)
(20 : 80)
(0 : 100)
Ratio penggunaan larutan (n-Heksana : Aseton)
Gambar 27 Jumlah karotenoid yang terekstrak dari penjerap arang aktif 20% b/v, menggunakan eluen campuran n-heksana dan aseton dengan berbagai konsentrasi.
61
700.000 577.24
Jumlah karotenoid terekstrak (ug karotenoid / g penjerap kaya karotenoid)
600.000 508.55
473.10
500.000 410.69 414.30
370.20
400.000 300.000 200.000 100.000 7.85 0.000 3.500
2.383
1.517
1.153
0.919
0.262
-0.208
-100.000 Nilai Log P
Gambar 28
Aktivitas pelarut / eluen dengan nilai log P pada perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 20% b/v
Perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada bleaching earth 4% b/v
Penjerap bleaching earth memiliki permukaan yang luas serta mempunyai afinitas spesifik terhadap molekul bertipe pigmen, merupakan lumpur pemucat standar yang biasa digunakan pada industri minyak makan, untuk menghilangkan warna merah dari karotenoid
sehingga didapatkan
minyak makan yang jernih. Hasil penelitian awal pada proses penjerapan karotenoid dari minyak sawit kasar (CPO) diperoleh data bahwa penjerap bleaching earth
lebih
efektif menjerap karotenoid dari minyak sawit kasar, sedangkan pada penelitian untuk mendapatkan kembali karotenoid yang terjerap pada bleaching earth 4% b/v menggunakan campuran pelarut n-heksana dan aseton dengan ratio perbandingan yang beragam, ternyata hasil perolehan kembali (% recovery) lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil perolehan kembali penjerap arang aktif.
62
Hasil perolehan kembali karotenoid yang terjerap pada penjerap bleaching earth 4% b/v tergambarkan pada data-data yang tersaji pada Gambar 29 dan 30 serta pada Lampiran 11. Jumlah karotenoid yang dapat diisolasi dari penjerap bleaching earth
4% b/v menggunakan pelarut n-
heksana sebesar 3.66 ug / g penjerap bleaching earth 4% b/v dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar 3.500, jika menggunakan pelarut aseton jumlah karotenoid yang diperoleh meningkat menjadi 624.67 ug /g penjerap bleaching earth 4% b/v dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar -0.208. Dengan menggunakan campuran pelarut n-heksana : aseton pada berbagai ratio perbandingan, perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v terbesar dengan menggunakan kombinasi pelarut nheksana dan aseton pada ratio perbandingan = 50 : 50 (% v/v) dimana mampu melepaskan karotenoid yang terjerap sebesar 998.32 ug /g bleaching earth 4% b/v dengan aktivitas pelarut yang ditunjukkan dengan nilai log P sebesar 1.153 dan perolehan kembali (% recovery) sebesar 16.59%.
Jumlah karotenoid terekstrak (ug karotenoid/ g penjerap kaya karotenoid)
1200 998.32
1000 862.95
809.39
800
693.23 749.47
624.67
600
400
200 3.66
0 (100 : 0)
(80 : 20) ('60 : 40)
(50 : 50)
(40 : 60)
(20 : 80)
(0 : 100)
Ratio penggunaan larutan (n-Heksana : Aseton)
Gambar 29
Jumlah karotenoid yang terekstrak dari penjerap bleaching earth 4% b/v, menggunakan eluen campuran n-heksana dan aseton dengan berbagai konsentrasi.
63
Jumlah karotenoid terekstrak
(ug karotenoid / g penjerap kaya karotenoid)
1200.000 998.32
1000.000 862.95 809.39
800.000
749.47
693.23 624.67
600.000 400.000 200.000 3.66
0.000 3.500
2.383
1.517
1.153
0.919
0.262
-0.208
-200.000 Nilai Log P
Gambar 30
Aktivitas pelarut / eluen dengan nilai log P pada perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v
64
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penjerap yang ideal adalah yang mampu menjerap (adsorbsi) karotenoid dengan konsentrasi yang tinggi dan mampu melepaskan kembali (desorbsi) karotenoid yang terjerap menggunakan pelarut dengan perolehan kembali karotenoid (recovery) dengan jumlah yang tinggi pula. Hasil penelitian, penjerap bleaching earth merupakan penjerap yang effektif untuk mengisolasi karotenoid dari minyak sawit kasar, dibandingkan penjerap arang aktif 10% b/v ataupun 20% b/v, dengan kemampuan adsorbsi 22 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 10% b/v dan 48 kali lebih besar jika dibandingkan dengan penjerap arang aktif 20% b/v. Konsentrasi penjerap bleaching earth terbaik untuk mengisolasi karotenoid dari minyak sawit kasar adalah 4% b/v, dapat menjerap karotenoid sampai 96.40%. Total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 10% b/v adalah sebesar 44.47% dengan menggunakan pelarut campuran n-heksana : aseton (40:60) yang ekivalen dengan nilai log P = 0.919 dan total perolehan kembali karotenoid dari penjerap arang aktif 20% b/v adalah sebesar 39.16%. Total perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth 4% b/v adalah 16.59% menggunakan pelarut campuran n-heksana : aseton (50:50) yang ekivalen dengan nilai log P = 1.153. Hasil penelitian perolehan kembali karotenoid dari penjerap bleaching earth dan penjerap arang aktif yang kaya akan karotenoid dengan menggunakan pelarut campuran n-heksana dan aseton,
karotenoid yang
terjerap pada arang aktif lebih mudah dilepaskan kembali 3 kali lebih besar dibandingkan dengan karotenoid yang terjerap pada penjerap bleaching earth.
Saran Untuk mendapatkan perolehan kembali karotenoid yang lebih tinggi, perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan menggunakan penjerap arang aktif dan bleaching earth secara berulang, dengan mempertimbangkan nilai log P.
65
DAFTAR PUSTAKA Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit Andi. Akbar P.A. 1994. Hubungan antara pemberian berkala vitamin a dosis tinggi dengan prevalensi kasus baru Xeropthalmia. Bandung. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran. Anonim. 2005. Info Ristek. Media Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Vol.3 No.1. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Anonim. 2006. Solvent/solute interaction with penjerapt surfaces. Retention/ Surface -Adsorption. http://www.chromatography-online.org/ Reten tion/ Surface-Adsorption/Mono-layer/rs41.html. [8 Desember 2006]. Anonim. 2006. Solvent/solute interaction with penjerapt surfaces. Retention/ Surface -Adsorption. http://www.chromatography-online.org/Reten tion/ Surface-Adsorption/Bi-layer/rs45.html. [8 Desember 2006]. Anonim. 2006. The Mechanisme of chomatographic retention. Retention/ Surface-Adsorption. http://www.chromatography online .org/Retenti on/Exclusion /rs59.html. [8 Desember 2006]. [AOAC] Association Official of Analytical Chemistry. 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official of Analytical Chemist Washington D.C. [AOAC] Association Official of Analytical Chemistry. 1995. Official Methods of Analysis. Inc, Virginia, USA. Azah, Dahlius, Rudyanto, J.S. 1983. Pembuatan karbon aktif dari tempurung inti sawit. Medan: Balai penelitian dan pengembangan industri Baharin BS et al. 1998. Separation of palm carotene from crude palm oil by adsorption chromatography with a synthetic polymer adsorbent. J Am Oil Chem Soc 75(3): 399-404. Bailey’s. 1996. Industrial Oil and Fat Product. Fifth Edition Volume 2. Edited by Y.H. Hui. New York: A Wiley Interscience Publication. Bushway RJ. 1986. Determination of alfa and beta carotene in some raw fruit and vegetables by HPLC. J Agric Food Chem 34:402-412. Caffaro. 1978. Activated bleaching earth “Prolit”. Belgium, 1-28
66
Casiday R, Frey R. 2001. Nutrients and solubility. Department of Chemistry Washington University St. Louis, MO 63130. http://
[email protected]. [1 maret 2006]. Choo YM. 1989. Carotenoid from palm Oil. Palm Oil Dev. 22: 1-6. Choo YM et al. 1995. Palm Oil Carotenoid: Chemistry and Technology. Kuala Lumpur: Proc. Of Int. Palm Oil Conf. PORIM. Choo Y. M. 1996. Recovered oil from palm-pressed fiber: A good sorce of natural carotenoid, vitamin E, and sterols. U.S.A J. Am Oil Chem. Soc. Vol. 73 (5) AOCS Press. Christie, W.W. 1992. Lipid Analysis. 2nd Ed. New York, Toronto, Sidney, Paris: Pergamon Press. Clydesdale FM, Francis FJ. 1976. Pigments. Di dalam: Owen R. Fennema, editor. Principles of Food Science. Part I. New York: Food Chemistry. Delia BRA. 1997. Carotenoid and Food Preparation: The Retention of Vitamin A Carotenoids in Prepared, Processed, and Store Foods. Brazil: Universidade Estadual de Campias. Delia BRA, Kimura M. 2004. Harvest Plus Handbook for Carotenoid Analisys. Ed ke-2. Washinton: Harvest Plus Technical Monograph. Desai BJ, Dubash PJ. 1994. Recovery of carotenes from crude palm oil by adsorption method. J. Food Sci Technol 31(1):60-61. Djatmiko, B., S. Ketaren dan S. Setyahartini. 1985. Pengolahan Arang dan Penggunaannya.. Bogor: Agro Industri Press. Dordick, J.S. 1989. Enzymatic catalysis in monophasic organic solvents. Enzyme Microb Technol 11: 194-211 Fennema O. R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Ferry, J. 2002. Pembuatan arang aktif dari serbuk gergajian kayu campuran sebagai penjerap pada pemurnian minyak bekas. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. FDA. 1987. Food Drug Administration Advisory Committe on Protocols for Safety Evaluations: Panel on Reproduction Report on Reproduction Studies in the Safety Evaluation of Food Additives and Pesticide Residues, Toxicology and Applied Pharmacology. 16:264.
67
Fisher, C. Dan J.A. Kochis, 1987. Separation of paprika pigments by HPLC. J.Agric. Food Chem. Vol.35 p.55-57 Goh SH, Khor HT, Gee PT. 1982. Phospholipids of palm oil. J Am oil Chem Soc 59:296-299. Goh SH, Tong SL, Gee PT. 1984. Total phospholipids in crude palm oil: quantitative analysis and correlations with oil quality parameter. J Am oil Chem Soc 61:1597-600. Goh S.H, Choo YM, Ong ASH.1985. Minor constituents of palm oil. J Am Oil Chem Soc 62:237-240. Goodwin TW. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments II. Ed ke2. London, New York, San Fransisco: Academic Press. Gross J. 1991. Pigments in Vegetables, Chlorophyls and Carotenoids. New York: Van Nostrand Reinhold. Gregory JF. 1996. Vitamins. Di dalam: Fennema OR editor. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 531-609. Guerrero,A.E, M.F Collamates, dan L.A. Reyes. 1970. Coconut Research and Development, Volume 3. Manila: United Coconut Association of The Philippines Inc Hamilton R.J. 1980. Fats and Oil Chemistry and Technology. London: Applied Science Publ.Ltd. Hartley, C.W.S. 1970. Some environmental factors affecting flowering and fruiting in the oil palm physiology of tree crops. 269-286. Halling, P.J. 1990. Solvent selection for biocatalysis in mainly organic systems predictions of effects on equilibrium position. Biotech. Bioeng 35: 691-701 Hariyadi, P. 1995. Synthesis of monoesters and mono- and diacylglycerol from butteroil by lipase-catalyzed esterification in microaqueous media. [Phd Dissertation]. Wisconsin-Madison USA: Graduate School of the University of Wisconsin-Madison Hariyadi, P. 1996. Katalis enzimatis dalam pelarut organik. Bogor : J. Ilmu dan Tek. Pangan. Vol.1. No.1. Hal 52-60. Hasanah U. 2006. Proses produksi konsentrat karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode kromatografi kolom adsorbsi. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
68
Hassan AH. 1987. Palm Oil and Health. Medan: Worshop on Management of Palm Oil Industry. Hassler, J.W. 1974. Purification with Activated Carbon. New York: Industrial Commercial, Environmental. Chemical Publishing Co. Inc. Hilhorsst, R., Spruijt, R., Laane, C dan Veeger, C. 1984. Rules for regulation of enzyme activity in reversed micelles as illustrated by conversion of apolar steroids by 20b-hydroxy-steroid dehydrogenase Eur. J.Biochem, 144: 459-466. Hoyashi,K, dan M.Chisato. 1984. Principle Properties of Reticulated Active Carbon from Polyphenolic Resin. Tokyo. Houghton P.J. and A.Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fraction of Natural Extracts. London: Chapman & Hall Hudson BJF. 1990. Food Antioxidants. London, New York: Elsevier Applied Science. IPOC (Indonesian Palm Oil Commission) 2005. Indonesian Palm Oil Statistic 2005. Jakarta Ita C.M. 1991. Pengaruh lama penggorengan dan penggunaan adssorben terhadap mutu minyak goreng bekas. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Itoh T, Tamura T, Matsumoto T. 1973. Sterol compositions of 19 vegetable oil. J Am oil Chem Soc 50:122-125. Iwasaki R, Murakoshi M. 1992. Palm oil yields carotene for world markets oleochemicals. Inform 3(2):210-217. Jaren G., M. Niaber and U. Swartz. 1999. Paprika (Capsicum annum L.) Oleoresin Extraction with Supercritical Carbon Dioxide. J.Agric Food Chem. 47(9): 3558-3564. Kachick, F., G.R. Beecher dan N.F. Whitaker, 1986. Separation, Identification and Quantification of The Quantification of Carotenoid and Chlorophyll Constituents in Extract of SeveralVegetables by Liquid Chromatography. J. Agric. Food Chem. Vol.34, p. 603-616 Kachick, F., G.R. Beecher dan N.F. Whitaker, 1987. Application of C-45Carotene as An Internal Standard for The Quantification of Carotenoids in Yellow and Orange Vegetable by Lyquid Chromatography. J. Agric. Food Chem. Vol.35, p. 752-758
69
Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Nabati. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kienle, H.V. 1986. Carbon. Di dalam : F.T. Campbell, R. Pfefferkorn, and J.F. Rounsaville (Penyunting). Ullman’s Encyclopedia of Industrial Chemistry 5th Completely Revised Edition, Volume 5. Cancer Chemotherapy to Ceramics Colorants. VCH, Weinheim. Kohlmeier L., and B.S. Hastings. 1995. Epidemiologic evidence of a role of carotenoids in cardiovascular disease prevention. Am J Clin Nutr. 62(suppl): 1370S-1376S. Laane, C., Boeren, S. Hilhorst, R. And Veeger, C. 1987a. Rules for optimization of biocatalysis in organic solvent. Biotechnol. Bioeng. 30: 81-87. Latip RA, Baharin BS, Che Man YB, Rahman RA. 2000. Evaluation of different types of synthetic adsorbents for carotene extraction from crude palm oil. J Am Oil Chem Soc 77(12):1277-1281. Lessin WJ, Catigani GL, Schwartz SJ. 1997. Quantification of cis-trans isomer of pro-vitamin A carotenoids in fresh and prosessed fruits and vegetables. J Agric and Food Chem 45(10): 3728-3732. Linder MC. 1991. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical Applications. Ed ke-2. California: Pretice-Hall International Inc. Mappiratu. 1990. Produksi beta karoten pada limbah cair tapioka dengan kapang oncom merah. [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Masni. 2004. Kajian pemanfaatan limbah serat sawit sebagai sumber karotenoid. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. May CY. 1994. Palm oil carotenoids. Food and Nutrition Bulletin 15(2):130136. Muchtadi. 1992. Karakterisasi komponen instrinsik utama buah sawit (Elaeis guineensis, Jacq) dalam rangka optimalisasi proses ekstraksi minyak dan pemanfaatan pro-vitamin A. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Muhilal. 1998. Prospek nilai gizi dan manfaat produk pangan asal minyak sawit. Seminar Ilmiah Minyak Sawit. Bogor. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
70
Naibaho P.M. 1983. Pemisahan karotena (pro-vitamin A) dari minyak sawit dengan metode adsorbsi. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Progran Pascasarjana IPB. Nugraha W.S. 2004. Kendali adsorben karbon aktif dan magnesium silikat dalam efisiensi pemakaian minyak goreng di further processing PT. Charoen Pokphan Indonesia-Serang. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Oil World. 2002. World supply, demand, and price forecasts for oilsedds, oils and meals. Mielke, GmbH, 44(45):350-539. Oil World. 1998. Oil world annual. Germany: ISTA Mielke GmbH. Ooi, CK, Choo YM, Yap SC, Basiron Y, Ong ASH. 1994. Recovery of carotenoids from palm oil. J Am oil Chem Soc 71(4): 423-426. Olson JA. 1989. Pro-vitamin A function of carotenoids. Am J Clin Nutr 119:105-108. Parker. 1992. Extraction of Carotenoid from Palm Oil. Cornell. USA: New York University. Pari, G. 1995. Pembuatan dan Karakteristik Arang Aktif dari Kayu dan Batubara. [Tesis] Bandung: Program Pascasarjana Magister Kimia, Institut Teknologi Bandung. Pitoyo. 1988. Kemungkinan ekstraksi β-karoten dari tanah pemucat limbah proses pemurnian minyak kelapa sawit. [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Poppel VG, Goldbohm RA. 1995. Epidemiologic evidence for beta carotene and cancer prevention. Am J of Clin Nutr 62(Suppl):1393S-1402S. Prawirakusuma, C dan T.Utomo. 1970. Pembuatan Karbon Aktif. Bandung: Lembaga Kimia Nasional-LIPI. Proctor A, Adhikari C, Blyholder GD. 1994. Mode of oleic acids adsorption on rice hull ash cristobalite. J Am Oil Chem Soc 72(3):331-335. Sahidin, Sabirin Matsjeh dan Eka Nuryanto. 2000. Thermal degradation of βcarotene from crude palm oil. Indonesian Journal of Oil Palm Research 8(1) : 45-50 Sahidin, Sabirin Matsjeh dan Eka Nuryanto. 2001. Pemisahan β-karoten dari minyak sawit mentah dengan metode ekstraksi dan kromatografi kolom. Medan. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Vol 9(1); 29-35
71
Setianingsih, H. 1995. Pengolahan limbah batik dalam proses kimia dan adsorbsi karbon aktif. [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Shills M.E., A.O. James and S. Moshe. 1994. Modern Nutrition in Health and Disease. Eighth Edition. Vol 1. Philadelphia: Lea & Febiger. Siew WL. 2000. Analisis of palm and palm kernel oils. Di dalam: Basiron Y, Jalani BS, Chan KW. Advances in Oil Palm Research. Kuala Lumpur, Malaysia: Malaysian Palm Oil Board. hal 968-1035. Sikorski ZE. 1997. Chemical and Functional properties of Food Components. USA: Technomic Publ. Co. Lansaster, Pensylvania,. Simpson KL. 1983. Relative value of carotenoids as precusors of vitamin A. Proc. Nutr. Soc 42:7-17. Slejko FL. 1985. Adsorption Technology. New York: Marcel Dekker. Sudrajat, R dan S. Soleh. 1994. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Susilawati E. Guritno P. dan Nuryanto E. 1997. Preparation of red palm oil using double fractionation process. Indonesian Journal of Oil Palm Research 5(1) : 39-50 Suzuki M. 1990. Adsorption Engineering. Amsterdam: Elsevier. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1995. Minyak Sawit. Jakarta: Pusat Standarisasi Industri. Departemen Perindustrian. (SNI-01-29011995). Sulaswatty A. 1998. Karakteristik pemekatan karotenoid minyak sawit dengan teknik fluida CO2 superkritik. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tan B. 1987. Novel aspects of palm oil carotenoid analytical biochemistry. Int. Oil Palm/Palm Oil Conf P. 370-376. Taungbodhitan AK. 1998. Evaluation of extraction method for the analysis of carotenoids in fruits and vegetables. Food Chem 63(4):577-584. Umegaki K, Ikegami S. 1994. Beta carotene prevents X-ray induction of micronuclei in human lymphocytes. Am J of Clin Nutr 59(2):409412.
72
Widayanto, E. 2007. Optimasi pemekatan karotenoid pada metil ester kasar (crude methyl ester) minyak sawit dengan menggunakan metode kromatografi kolom adsorpsi. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG, Fardias D, Fardias S. 1973. Extraksi Khromatografi Elektrophoresis. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia: Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid. Bandung: Penerbit ITB. Yulianto T. 2004. Karekteristik bentonit sebagai bleaching earth dan pengaruhnya terhadap pemucatan minyak sawit mentah. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Tanah fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ziegler R. 1989. Epidemiological studies of carotenoid and cancer. American J Clin Nutr 119:116-122.
73
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Nilai log P untuk beberapa macam pelarut organika No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Pelarut Dimetil sulfoksida dioksana n,n-dimetil formamida metanol acetonitril etanol asetone asam asetat etoksi etanol metil asetat propanol asam propionat tetra hidro furan dietil amin etil asetat piridina butanol pentanon asam butirat dietil eter benzil etanol sikloheksanon metil propionat dihidroksi benzena propil asetat etil klorida pentanol heksana benzil format fenil etanol sikloheksanol metil sikloheksanol fenol m- asam ptalat tri etil amin benzil asetat butil asetat kloropropana heksanol heptana asam benzoat dipropil eter asam heksanoat a
Hariyadi, (1995)
Log P -1.3 -1.1 -1.0 -0.76 -0.33 -0.24 -0.23 -0.23 -0.22 0.16 0.28 0.29 0.49 0.64 0.66 0.71 0.80 0.80 0.81 0.85 0.90 0.96 0.97 1.0 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.4 1.5 1.5 1.5 1.5 1.6 1.6 1.7 1.8 1.8 1.8 1.9 1.9 1.9
75
Lampiran 1 Nilai log P untuk beberapa macam pelarut organik (lanjutan)a No. 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
Pelarut kloroform benzen metil sikloheksanol metoksi benzen metil benzoat pentil asetat dimetil phtalat oktanon heptanol toluen etil benzoat etoksi benzen dibutil amin pentil propionat klorobenzen oktanol nonanon dibutil eter tetra kloro metana pentana etil benzen sikloheksana nonanol dekanon heksana propil benzen metil sikloheksana etil oktanoat dekanol heptana pentil benzoat oktana undekanol etil dekanoat dodekanol nonane dekana undekana dodekana tetra dekana heksa dekana butil oleat didesil ptalat a
Hariyadi, (1995).
Log P 2.0 2.0 2.0 2.1 2.2 2.2 2.3 2.4 2.4 2.5 2.6 2.6 2.7 2.7 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0 3.0 3.1 3.2 3.4 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 4.0 4.0 4.2 4.5 4.5 4.9 5.0 5.1 5.6 6.1 6.6 7.6 8.8 9.8 11.7
76
Lampiran 2 Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit Kasar (CPO) Kromatogram G.C. - Standar Internal
w a k t u r e t e n s i
No.
Waktu retensi
Luas area
Konsentrasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
2.2 3.917 6.725 11.958 13.767 14.983 18.108 19.242 21.133 22 24.283 25.008 25.242 26.975 29.975 30.483 31.683 33.15 34.758 35.3 39.4 39.958 42.542 43.5
1365495 1345 2512 5343 57 2663 2841 1572 1688 185 12119 5914 52 2979 6730 22016 10368 4039 1009 202 1987 1985 106 92
93.7827 0.0923 0.1725 0.3669 0.0039 0.1832 0.1951 0.108 0.116 0.0127 0.6323 0.4061 0.0036 0.2046 0.4622 1.5121 0.7121 0.2774 0.1311 0.1388 0.1365 0.1364 0.0070 0.0060
TOTAL
1456021
100
77
Lampiran 2 ( Lanjutan ) Kromatogram G.C. - Minyak Sawit Kasar Ulangan 1
w a k t u r e t e n s i
No.
Waktu retensi
Luas area
Konsentrasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
2.275 11.345 17.347 23.5 24.13 24.565 26.167 28.863 29.567 30.528 30.8 31.057 32.327 36.382 41.422 TOTAL
8878801 1481 529 10695 67 104 2272 711 7724 114 3162 87 215 423 1593 8906643
99.6874 0.0017 0.0059 0.1201 0.0008 0.0012 0.0255 0.008 0.0867 0.0013 0.0355 0.001 0.0024 0.0047 79 100
78
Lampiran 2 ( Lanjutan ) Kromatogram G.C. - Minyak Sawit Kasar Ulangan 2
w a k t u r e t e n s i
No.
Waktu retensi
Luas area
Konsentrasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
2.275 17.392 23.508 24.158 24.592 26.2 28.883 29.575 30.533 30.833 31.783 32.375 38.125 40.808 41.383 44.017 44.775 50.058 TOTAL
9942791 356 8031 75 59 1698 501 5614 50 2370 86 174 86 124 1078 246 131 472 9963936
99.7878 0.0036 0.0806 0.008 0.0006 0.017 0.005 0.0563 0.0005 0.0238 0.0009 0.0017 0.0009 0.0012 0.0108 0.0025 0.0013 0.0047 100
79
Lampiran 3
CPO dlm n-heksana ( % b/v ) 10 30 50 70 90
Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 10% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO Karotenoid terjerap Karotenoid terjerap (ug karotenoid /g arang aktif) (ug karotenoid /g arang aktif) dalam 50 ml larutan CPO Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan 143.38 268.90 420.77 582.58 742.75
145.92 271.67 413.93 577.29 729.86
144.65 270.28 417.35 579.94 736.31
Lampiran 4 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Arang Aktif 20% B/V dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO.
CPO dlm n-heksana ( % b/v ) 10 30 50 70 90
Karotenoid terjerap Karotenoid terjerap (ug karotenoid /g arang aktif) (ug karotenoid /g arang aktif) dalam 50 ml larutan CPO Ulangan 1 Ulangan 2 rataan 69.95 134.75 200.88 252.37 318.30
69.99 133.60 199.18 261.10 311.38
69.97 134.18 200.03 256.73 314.84
80
Lampiran 5 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Penjerap Bleaching Earth 2% b/v dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO.
CPO dlm n-heksana
Karotenoid terjerap
Karotenoid terjerap
(ug karotenoid /g bleaching earth)
(ug karotenoid /g bleaching earth)
( % b/v )
Ulangan 1
10 30 50 70 90
2654.72 7659.73 10614.29 12692.45 13038.37
Lampiran 6
2675.66 7734.37 10495.16 12545.82 13168.33
Rataan 2665.19 7697.05 10554.72 12619.13 13103.35
Jumlah Karotenoid Sebelum Penjerapan Menggunakan Penjerap Arang Aktif dan Bleaching Earth dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO.
CPO dlm n-heksana % b/v 10 30 50 70 90
dalam 50 ml larutan CPO Ulangan 2
Karotenoid sebelum penjerapan (ug karotenoid / g CPO) dalam 50 ml Larutan CPO Arang aktif 10% b/v
Arang aktif 20% b/v
Bleaching earth 2% b/v
2688.01 8062.13 13438.96 18807.84 24175.80
2716.68 8074.81 13467.33 18811.22 24192.46
2707.28 8082.33 13448.26 18833.52 24204.82
Lampiran 7 Jumlah Karotenoid yang Terjerap pada Proses Penjerapan Menggunakan Penjerap Arang Aktif dan Bleaching Earth dalam Berbagai Konsentrasi Larutan CPO. CPO dlm n-heksana % b/v 10 30 50 70 90
Karotenoid yang terjerap (ug karotenoid / g penjerap) dalam 50 ml Larutan CPO Arang aktif 10% b/v
Arang aktif 20% b/v
Bleaching earth 2% b/v
144.65 270.28 417.35 579.94 736.31
69.97 134.18 200.03 256.73 314.84
2665.19 7697.05 10554.72 12619.13 13103.35
81
Lampiran 8
BE
Jumlah Karotenoid yang Terjerap Menggunakan Penjerap Bleaching Earth (BE) dalam Berbagai Konsentrasi pada Larutan CPO dalam n-Heksana 50% b/v
Karotenoid yang terjerap dalam 50 ml lar. CPO ( ug/g )
Karotenoid yang terjerap dalam 50 ml lar. CPO (%)
Karotenoid yang terjerap
Karotenoid yang terjerap
( % b/v )
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 1
Ulangan 2
(ug/g)
(%)
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0
10654.59 11608.69 12408.91 12585.26 12965.58
10658.94 11599.89 12443.27 12538.73 12979.35
79.20 86.30 92.25 93.65 96.36
79.24 86.24 92.50 93.29 96.44
10656.76 11604.29 12426.09 12562.00 12972.47
79.22 86.27 92.38 93.47 96.40
Lampiran 9 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 10 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan Jenis Pelarut v/v n-Heksana : Aseton = 100 : 0 n-Heksana : Aseton = 80 : 20 n-Heksana : Aseton = 60 : 40 n-Heksana : Aseton = 50 : 50 n-Heksana : Aseton = 40 : 60 n-Heksana : Aseton = 20 : 80 n-Heksana : Aseton = 0 : 100
Log P
3.500 2.383 1.517 1.153 0.919 0.262 -0.208
Karotenoid terekstrak ug/g 8.46 603.36 785.53 1023.96 1213.40 664.48 576.41
Perolehan Kembali % 0.31 22.11 28.79 37.53 44.47 24.35 21.13
82
Lampiran 10 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Arang Aktif 20 % b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan Jenis Pelarut v/v n-Heksana : Aseton = 100 : 0 n-Heksana : Aseton = 80 : 20 n-Heksana : Aseton = 60 : 40 n-Heksana : Aseton = 50 : 50 n-Heksana : Aseton = 40 : 60 n-Heksana : Aseton = 20 : 80 n-Heksana : Aseton = 0 : 100
Log P
3.500 2.383 1.517 1.153 0.919 0.262 -0.208
Karotenoid terekstrak ug/g 7.85 410.69 414.30 508.55 577.24 473.10 370.20
Perolehan Kembali % 0.53 27.86 28.11 34.50 39.16 32.10 25.12
Lampiran 11 Persentase Perolehan Kembali Karotenoid dari Penjerap Bleaching Earth 4% b/v Menggunakan Campuran Larutan n-Heksana dan Aseton dengan Beberapa Ratio Perbandingan
Jenis Pelarut v/v n-Heksana : Aseton = 100 : 0 n-Heksana : Aseton = 80 : 20 n-Heksana : Aseton = 60 : 40 n-Heksana : Aseton = 50 : 50 n-Heksana : Aseton = 40 : 60 n-Heksana : Aseton = 20 : 80 n-Heksana : Aseton = 0 : 100
Log P
3.500 2.383 1.517 1.153 0.919 0.262 -0.208
Karotenoid terekstrak ug/g 3.66 749.47 809.39 998.32 862.95 693.23 624.67
Perolehan Kembali % 0.06 12.45 13.45 16.59 14.34 11.52 10.38