SKRIPSI
KAJIAN PROSES FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN PELARUT ORGANIK DALAM UPAYA PEMBUATAN KONSENTRAT KAROTENOID
Oleh: HERHER HERNAWATI F24103027
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Herher Hernawati. F24103027. Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karotenoid. Di bawah bimbingan: Nur Wulandari, STP, MSi. RINGKASAN Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) memiliki beberapa keunggulan salah satunya adalah adanya kandungan karotenoid dalam jumlah tinggi, yaitu sekitar 500-700 ppm. Karotenoid berfungsi sebagai pewarna alami dan provitamin A. Kandungan tokoferol CPO juga cukup tinggi yaitu 600-1000 ppm. Teknologi proses pemurnian minyak sawit kasar yang dipraktekkan industri minyak goreng selama ini menyebabkan komponen karotenoid dalam CPO mengalami kerusakan karena berlangsung pada suhu tinggi. Upaya penjumputan komponen karotenoid dari minyak sawit dengan teknik tertentu dapat meningkatkan nilai tambah minyak sawit, salah satunya dengan membuat konsentrat karotenoid yang memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai hasil samping proses produksi minyak goreng. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk penjumputan karotenoid adalah metode fraksinasi kristalisasi suhu rendah dengan bantuan pelarut organik. Penggunaan pelarut organik dalam fraksinasi kristalisasi suhu rendah adalah untuk membantu pemisahan antara fraksi cair dan fraksi padat, serta mengikat lebih banyak karotenoid sehingga dihasilkan produk konsentrat dengan konsentrasi dan perolehan kembali (recovery) karotenoid yang tinggi. Jenis pelarut organik akan menentukan proses pemisahan fraksi padat dan fraksi cair. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai penggunaan pelarut organik yang tepat untuk menghasilkan konsentrat dengan konsentrasi dan recovery karotenoid yang tinggi. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu tahap karakterisasi bahan baku CPO dan tahap seleksi pelarut. Tahap seleksi pelarut dilakukan untuk mengetahui jenis pelarut yang mampu menghasilkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi dan recovery yang tinggi. Seleksi pelarut dibagi menjadi dua tahap yaitu seleksi pelarut tahap 1 dan tahap 2. Seleksi pelarut tahap 1 dilakukan untuk mengetahui karakter proses fraksinasi CPO dengan 10 jenis pelarut yang berbeda yaitu aseton, benzena, etanol, dietil eter, heksana, isopropanol, karbon tetraklorida, metanol, petroleum eter, dan toluena pada suhu fraksinasi yang diturunkan secara bertahap mulai dari suhu kamar (27oC), 20oC, 15oC dan seterusnya sampai diperoleh pemisahan fraksi cair dan fraksi padat maksimal. Pemisahan maksimal ditentukan berdasarkan terbentuknya fraksi padat dengan volume setara berat CPO awal yang digunakan yaitu 2 gram. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat dilakukan pada suhu fraksinasi yang paling rendah. Seleksi pelarut tahap 2 merupakan kelanjutan dari seleksi pelarut tahap 1. Pelarut-pelarut yang mampu menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid cukup tinggi dari tahap 1 diseleksi kembali pada suhu fraksinasi yang diturunkan secara bertahap yaitu suhu 27, 20, 15, 10, 5, 0, -10, dan -20oC. Fraksinasi dihentikan apabila semua sampel CPO telah mengendap semua atau membeku. Hasil analisis bahan baku CPO menunjukkan bahwa mutu CPO yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi spesifikasi mutu CPO yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2901-1992. Pada seleksi pelarut tahap 1, pelarut-pelarut
yang menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid cukup tinggi adalah aseton, heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, dan toluena. Konsentrasi dan recovery karotenoid sampel dengan pelarut aseton sebesar 528.37 ppm (76.08%), heksana 519.16 ppm (77.09%), petroleum eter 526.89 ppm (82.04%), dietil eter 497.08 ppm (78.89%), benzena 462.94 ppm (80.12%), dan toluena 590.90 ppm (82.015%). Pelarut-pelarut ini dinyatakan lolos seleksi pelarut tahap 1 dan selanjutnya diseleksi kembali pada seleksi pelarut tahap 2. Sedangkan pelarutpelarut yang tidak lolos seleksi tahap 1 adalah etanol, metanol, isopropanol, dan karbon tetraklorida. Perlakuan suhu rendah secara bertahap mulai dari suhu 27, 20, 15, 10, 5, 0, -10, hingga -20oC pada seleksi pelarut tahap 2 berpengaruh terhadap rendemen fraksi cair, rendemen fraksi padat, berat konsentrat, konsentrasi karotenoid, recovery karotenoid, dan tingkat pemekatan karotenoid. Semakin rendah suhu, rendemen fraksi padat, konsentrasi karotenoid, dan tingkat pemekatan karotenoid semakin meningkat. Sebaliknya, semakin rendah suhu, rendemen fraksi cair, berat konsentrat, dan recovery karotenoid semakin menurun. Fraksi padat yang terbentuk pada sampel dengan pelarut heksana, petroleum eter, dan aseton berbentuk kristal padat cukup kompak sehingga pemisahan fraksi padat dan fraksi cair lebih mudah. Sedangkan, fraksi padat yang terbentuk pada sampel dengan pelarut dietil eter, benzena, dan toluena berbentuk kristal halus dan mudah buyar sehingga menyulitkan proses pemisahan fraksi padat dan fraksi cair. Jenis pelarut aseton, benzena, dietil eter, heksana, petroleum eter, dan toluena berpengaruh nyata terhadap berat konsentrat, konsentrasi karotenoid, recovery karotenoid, dan tingkat pemekatan karotenoid. Aseton memiliki daya larut yang baik terhadap karotenoid dan lebih sedikit melarutkan komponenkomponen lemak CPO. Heksana dan petroleum eter bersifat non polar dengan fraksi padat berupa kristal padat (kompak) menghasilkan konsentrasi dan tingkat pemekatan karotenoid cukup tinggi. Benzena, dietil eter, dan toluena juga bersifat non polar dengan fraksi padat berupa kristal halus mudah buyar menghasilkan konsentrasi dan tingkat pemekatan karotenoid yang rendah. Hasil seleksi pelarut tahap 2 menunjukkan bahwa sampel dengan pelarut aseton memiliki konsentrasi karotenoid tertinggi yaitu 1762.92 ppm dan tingkat pemekatan 3.58 kali pada suhu fraksinasi -20oC. Tetapi recovery karotenoidnya masih rendah yaitu 28.58%. Sedangkan untuk kadar tokoferol, jenis pelarut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kadar tokoferol dalam fraksi cair yang telah dihilangkan pelarutnya.
KAJIAN PROSES FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN PELARUT ORGANIK DALAM UPAYA PEMBUATAN KONSENTRAT KAROTENOID
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: HERHER HERNAWATI F24103027
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KAJIAN PROSES FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN PELARUT ORGANIK DALAM UPAYA PEMBUATAN KONSENTRAT KAROTENOID
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: HERHER HERNAWATI F24103027 Dilahirkan pada tanggal, 24 Desember 1984 di Tasikmalaya, Jawa Barat Tanggal Lulus: 10 Desember 2007 Menyetujui
Nur Wulandari, STP, MSi Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Desember 1984 di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan merupakan putri dari pasangan Bapak Mastur dan Ibu Haryati. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Negeri 1 Cijulang pada tahun 1997. Kemudian melanjutkan pendidikan tingkat menengah di SMP Negeri 1 Cineam dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1 Tasikmalaya periode 20002003. Pada tahun 2003 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam keanggotaan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA), anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman, dan bendahara Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Tasikmalaya. Penulis juga pernah tergabung dalam kepanitiaan beberapa kegiatan yaitu Seminar Pangan Halal Tingkat Nasional (2004), Seminar Pangan Nasional dan Konferensi I Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (2005), dan Seminar Tahunan Riset Unggulan Strategis Nasional (2006). Selain itu, penulis juga pernah mempunyai pengalaman mengajar di Bimbingan Belajar Ampuh tahun 2005 dan mendapat beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik). Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul penelitian ”Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karotenoid” dengan dosen pembimbing Nur Wulandari, STP, MSi.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim... Segala puji dan syukur pada Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan menyusun skripsi dengan judul ”Kajian Proses Fraksinasi Minyak Sawit Kasar dengan Pelarut Organik dalam Upaya Pembuatan Konsentrat Karotenoid”. Skripsi ini disusun setelah penulis melakukan penelitian di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center IPB, analisis terhadap hasil penelitian, serta studi pustaka. Selama penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak, Mamah, adikku tercinta De Tria dan A Dadan, serta semua keluarga besar atas segala perhatian, do’a, kasih sayang, pengorbanan, dan motivasi yang tiada henti selama penulis menjalani masa studi di IPB. 2. Ibu Nur Wulandari, STP, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, semangat, dan dorongan yang sangat membantu penulis selama kuliah dan penelitian. 3. Ibu Dr. Ir. Sedarnawati, MAgr selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan nasihat bagi penulis dalam upaya penyempurnaan skripsi ini. 4. Ibu Didah Nur Faridah, STP, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan nasihat bagi penulis dalam upaya penyempurnaan skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Departemen ITP atas ilmu dan bimbingan bagi penulis. 6. Mbak Yane, Mbak Ririn, dan Teh Yuli di LJA yang telah memberikan bantuan dan saran selama penulis melakukan penelitian. 7. Pak Wahid, Pak Rojak, Pak Sidik, Pak Koko, Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Rubiyah, Teh Ida, Mas Edi, Pak Taufik, Abah (Pak Karna), dan Bi Cacih, serta segenap laboran yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.
8. Sopa dan Devi beserta keluarga sebagai sahabat terdekat yang selalu bercerita dan mau mendengarkan cerita. 9. BuDe, Ibokh, Intan, Isnie, Yofie, dan Ina (Seven Sign of Love) yang selalu memberikan semangat dan do’a walaupun dari kejauhan. 10. Hay_sweet, Dhani, Gilang atas persahabatan dan keceriaan yang selalu diberikan kepada penulis. 11. Teman-teman satu kos, Zulfa’ers (Neng Erly, Dewi, Mbak Dias, Irma, D’Anis, D’Ela, D’Ajeng, Tria, Sieska, Boty, Neng Ina, Dede, Neng Gina, Nani, Bulan, Mui, Mbak Weny, Mbak Uut) atas kebersamaannya yang tak akan terlupakan. 12. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian minyak sawit, Kak Eko, Kak Zul, Kaninta, dan Martin. 13. Teman-teman ITP angkatan 40 antara lain Eneng, Asih, Fena, Tilo, Mitoel, Lichan, Fitri, Hanifah, Kokom, Zano, Ina, Tuti, Tathan, Nunu, Selly, Ekuz, Jengjeng, Ade dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 14. Teman-teman Gentra Kaheman yang selalu membuat hidup ini penuh warna. Haturnuhun! 15. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pihak yang memerlukan.
Bogor, Desember 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
I. PENDAHULUAN .................................................................................... A. LATAR BELAKANG ......................................................................... B. TUJUAN ..............................................................................................
1 1 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... A. TANAMAN KELAPA SAWIT........................................................... B. MINYAK SAWIT................................................................................ C. FRAKSINASI ...................................................................................... 1. Fraksinasi Minyak Sawit................................................................ 2. Fraksinasi Kristalisasi Suhu Rendah.............................................. D. KAROTENOID.................................................................................... 1. Struktur dan Sifat Fisika-Kimia Karotenoid .................................. 2. Stabilitas Karotenoid...................................................................... 3. Karotenoid sebagai Provitamin A .................................................. E. METODE EKSTRAKSI DAN PEMEKATAN KAROTENOID........ 1. Metode Penyabunan ....................................................................... 2. Metode Adsorpsi ............................................................................ 3. Metode Distilasi Molekuler............................................................ 4. Metode Ekstraksi dengan Fluida Superkritik................................. 5. Metode Ektraksi Pelarut................................................................. F. TOKOFEROL ...................................................................................... 1. Struktur Kimia Tokoferol............................................................... 2. Stabilitas Tokoferol ....................................................................... 3. Sumber-sumber Tokoferol ............................................................. G. PELARUT ORGANIK ....................................................................... 1. Aseton ............................................................................................ 2. Benzena .......................................................................................... 3. Dietil Eter ....................................................................................... 4. Etil Alkohol.................................................................................... 5. Heksana .......................................................................................... 6. Isopropanol..................................................................................... 7. Karbon tetraklorida ........................................................................ 8. Metanol .......................................................................................... 9. Petroleum Eter................................................................................ 10. Toluena...........................................................................................
4 4 5 8 8 10 12 12 13 13 14 15 15 16 16 16 17 17 18 19 19 20 21 21 22 22 23 23 23 24 24
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... B. METODE PENELITIAN..................................................................... 1. Karakterisasi Bahan Baku CPO ..................................................... 2. Seleksi Pelarut ................................................................................ a. Seleksi pelarut tahap I ........................................................... b. Seleksi pelarut tahap II ........................................................... C. METODE PENGAMATAN ................................................................ 1. Analisis Kandungan Karotenoid (Apriyantono et al., 1989) ......... 2. Rumus Perhitungan Karakter Proses Fraksinasi CPO ................... 3. Kadar Air Metode Oven (SNI 01-3555, 1998 ) ............................. 4. Penentuan Asam Lemak Bebas sebagai Asam Palmitat (SNI 01-0019, 1995) ...................................................................... 5. Bilangan Iod (Apriyantono et al., 1989) ........................................ 6. Analisis Tokoferol (Wong et al., 1988) ......................................... 7. Penentuan Komposisi Asam Lemak (AOAC, 1995) ..................... D. RANCANGAN PERCOBAAN ...........................................................
25 25 25 26 26 26 28 31 31 31 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU CPO.......................................... 1. Warna ............................................................................................. 2. Kadar Air........................................................................................ 3. Asam Lemak Bebas sebagai Asam Palmitat.................................. 4. Bilangan Iod ................................................................................... 5. Total Karoten ................................................................................. 6. Total Tokoferol .............................................................................. 7. Komposisi Asam Lemak ................................................................ B. SELEKSI PELARUT........................................................................... 1. Seleksi Pelarut Tahap I................................................................... a. Kelarutan CPO dalam pelarut pada suhu kamar ...................... b. Karakteristik fraksinasi CPO dalam pelarut pada penurunan suhu secara bertahap ................................................................ c. Konsentrasi karotenoid dalam fraksi cair dengan berbagai pelarut....................................................................................... 2. Seleksi Pelarut Tahap II ................................................................. a. Karakteristik fraksinasi CPO dalam berbagai pelarut pada penurunan suhu secara bertahap............................................... b. Pengaruh penurunan suhu fraksinasi secara bertahap.............. 1) Rendemen fraksi cair dan fraksi padat ............................... 2) Berat konsentrat ................................................................. 3) Konsentrasi dan recovery karotenoid................................. 4) Tingkat pemekatan karotenoid........................................... c. Pengaruh jenis pelarut .............................................................. 1) Berat konsentrat ................................................................. 2) Konsentrasi karotenoid....................................................... 3) Recovery karotenoid........................................................... 4) Tingkat pemekatan karotenoid........................................... 5) Kadar tokoferol dalam konsentrat......................................
36 36 37 37 38 38 39 39 40 41 41 43
32 33 33 34 35
45 47 52 53 55 56 60 62 67 68 69 71 74 75 78
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ A. KESIMPULAN .................................................................................... B. SARAN ................................................................................................
81 81 83
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
84
LAMPIRAN....................................................................................................
90
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komponen minor dari minyak sawit kasar (CPO).........................
6
Tabel 2.
Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit ...........
9
Tabel 3.
Komposisi dan titik leleh asam lemak minyak sawit kasar ...........
11
Tabel 4.
Jenis-jenis karotenoid yang memiliki aktivitas provitamin A........
14
Tabel 5.
Residu pelarut yang diizinkan dalam makanan..............................
17
Tabel 6.
Spesifikasi mutu minyak sawit dan hasil analisis bahan baku CPO.............................................................................
36
Tabel 7.
Komposisi asam lemak CPO..........................................................
40
Tabel 8.
Kelarutan CPO dalam berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) pada suhu kamar.............................................................................
43
Karakteristik pemisahan fraksi pada CPO dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) pada suhu rendah ..........................
46
Tabel 10. Karakteristik fraksinasi CPO dalam pelarut dengan penurunan suhu secara bertahap pada suhu akhir fraksinasi ...........................
54
Tabel 9.
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Tanaman dan tandan buah kelapa sawit......................................
4
Gambar 2.
Penampang buah kelapa sawit ....................................................
5
Gambar 3.
Struktur dasar karotenoid ............................................................
12
Gambar 4.
Struktur β-karoten .......................................................................
14
Gambar 5.
Struktur α-tokoferol.....................................................................
18
Gambar 6.
Diagram alir seleksi pelarut tahap 1............................................
28
Gambar 7.
Diagram alir seleksi pelarut tahap 2............................................
30
Gambar 8.
Kelarutan CPO dalam berbagai jenis pelarut pada suhu kamar..........................................................................
44
Kelarutan CPO dalam berbagai jenis pelarut pada suhu rendah.........................................................................
47
Gambar 10. Histogram konsentrasi karotenoid hasil fraksinasi CPO dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v).........................
48
Gambar 11. Histogram recovery karotenoid hasil fraksinasi CPO dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v).........................
51
Gambar 12. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat pada suhu fraksinasi 10oC....................................................................
54
Gambar 13. Histogram rendemen fraksi cair hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
57
Gambar 14. Histogram rendemen fraksi padat perhitungan hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ....................................................
57
Gambar 9.
Gambar 15. Histogram rendemen fraksi padat pengukuran langsung hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v)............................ 58
Gambar 16. Histogram berat konsentrat hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
61
Gambar 17. Histogram konsentrasi karotenoid konsentrat hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ....................................................
63
Gambar 18. Histogram recovery karotenoid konsentrat hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ....................................................
66
Gambar 19. Histogram tingkat pemekatan karotenoid hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
68
Gambar 20. Histogram berat konsentrat hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
69
Gambar 21. Histogram konsentrasi karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
71
Gambar 22. Histogram recovery karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
75
Gambar 23. Histogram tingkat pemekatan karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
75
Gambar 24. Histogram kadar tokoferol konsentrat hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ................................................................
79
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Hasil analisis kadar air sampel CPO ........................................
91
Lampiran 2.
Hasil analisis asam lemak bebas sampel CPO .........................
91
Lampiran 3.
Hasil analisis bilangan iod sampel CPO ..................................
91
Lampiran 4.
Hasil analisis total karoten sampel CPO ..................................
92
Lampiran 5.
Kurva standar tokoferol............................................................
92
Lampiran 6.
Hasil analisis total tokoferol sampel CPO ...............................
92
Lampiran 7.
Kromatogram Gas Chromatography CPO (Ulangan 1)..........
93
Lampiran 8.
Kromatogram Gas Chromatography CPO (Ulangan 2)...........
94
Lampiran 9.
Nilai RF asam lemak................................................................
95
Lampiran 10. Jumlah asam lemak CPO (Ulangan 1) .....................................
95
Lampiran 11. Jumlah asam lemak CPO (Ulangan 2) .....................................
95
Lampiran 12. Konsentrasi dan recovery karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu rendah yang diturunkan secara bertahap dengan berbagai pelarut........................................................................... 96 Lampiran 13. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid fraksi cair minyak sawit......................
97
Lampiran 14. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid fraksi cair minyak sawit ..........................
97
Lampiran 15. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid fraksi cair minyak sawit .......
98
Lampiran 16. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid fraksi cair minyak sawit ............................................................................
98
Lampiran 17a. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut aseton...............................................................
99
Lampiran 17b. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut dietil eter.......................................................... 100 Lampiran 17c. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut heksana ............................................................ 100 Lampiran 17d. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut petroleum eter.................................................. 101 Lampiran 17e. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut benzena ............................................................ 101 Lampiran 17f. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut toluena ............................................................. 102 Lampiran 18. Rendemen fraksi padat dan fraksi cair hasil fraksinasi CPO pada suhu bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) ............................................................. 102 Lampiran 19. Konsentrasi dan recovery karotenoid hasil fraksinasi suhu bertahap dengan berbagai pelarut .................................... 103 Lampiran 20. Berat fraksi cair dan padat hasil fraksinasi suhu rendah secara bertahap ......................................................................... 104 Lampiran 21. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap berat konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ............................. 106 Lampiran 22. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap berat konsentrat pada suhu akhir fraksinasi .............. 106 Lampiran 23. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi........................................................ 106 Lampiran 24. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi........................................................ 107 Lampiran 25. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ................................................................ 107 Lampiran 26. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi........................................................ 107
Lampiran 27. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan karotenoid konsentrat pada suhu akhir fraksinasi........................................................ 108 Lampiran 28. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan karotenoid pada suhu akhir fraksinasi........................................................ 108 Lampiran 29. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi tokoferol dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ................................................................ 108
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Industri kelapa sawit dewasa ini merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan. Setiap tahun luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan sekitar 150.000-200.000 ha diiringi dengan peningkatan produksi minyak sawit kasar atau CPO (Crude Palm Oil). Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2005 luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 3.592.000 ha (BPS, 2005) dengan produksi CPO sebesar 13.1 juta ton (IPOC, 2005). Saat ini, industri pengolahan kelapa sawit masih didominasi oleh industri kilang minyak sawit kasar (Crude Palm Oil), minyak inti sawit (Palm Kernel Oil), serta produk antara berupa Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO), dan stearin. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pemanfaatan minyak kelapa sawit menjadi produk turunannya dengan nilai tambah yang lebih besar. Minyak kelapa sawit memiliki beberapa keunggulan salah satunya adalah kandungan pigmen karotenoid yang berwarna kuning-jingga-merah dalam jumlah yang tinggi, yaitu sekitar 500-700 ppm terdiri dari α-, β-, γkaroten, likopen, dan xantofil. Komponen karotenoid yang terbesar dalam minyak sawit adalah α-, β-, γ-karoten dengan persentase lebih dari 80% (Choo et al., 1989). Komponen karotenoid pada minyak sawit memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Selain sebagai pewarna alami, kandungan βkaroten dalam jumlah paling dominan menjadikan minyak sawit berfungsi sebagai provitamin A. Peranannya antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena xerophtalmia (Muhilal, 1991), mencegah proses penuaan dini (May, 1994), mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker dan penyakit degeneratif, serta meningkatkan imunitas tubuh (Iwasaki dan Murakoshi, 1992). Selain karotenoid, minyak sawit juga memiliki kandungan tokoferol cukup tinggi yaitu 600-1000 (Choo et al., 1989). Tokoferol adalah komponen alami yang memiliki aktivitas vitamin E. Tokoferol memiliki beberapa bentuk
isomer yaitu α-, β-, γ-, dan δ-tokoferol. Aktivitas terbesar dimiliki oleh komponen α-tokoferol. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menekan terjadinya oksidasi pada asam lemak tak jenuh (Muchtadi, 1989). Warna kuning-jingga-merah yang berasal dari karotenoid pada minyak sawit seringkali tidak disukai oleh konsumen. Pada produk minyak goreng misalnya, konsumen lebih menyukai minyak sawit dengan warna kuning keemasan. Warna kuning keemasan ini menunjukkan bahwa tingkat pemucatan selama proses pemurnian CPO menjadi minyak goreng sangat tinggi. Teknologi proses pemurnian minyak yang dipraktekkan industri minyak goreng selama ini menyebabkan karotenoid dan tokoferol sebagai komponen minor yang bermanfaat bagi kesehatan manusia mengalami kerusakan karena berlangsung pada suhu tinggi. Walaupun minyak sawit yang dihasilkan memiliki penampilan warna yang menarik tetapi kandungan nilai gizinya rendah. Di lain pihak, karotenoid sangat bermanfaat sebagai pewarna alami dan provitamin A dengan nilai ekonomis yang tinggi. Untuk itu, diperlukan upaya penjumputan komponen karotenoid dari minyak sawit dengan teknik tertentu sehingga dapat meningkatkan nilai tambah minyak sawit. Peningkatan nilai tambah minyak sawit dapat dilakukan salah satunya dengan membuat konsentrat karotenoid sebagai hasil samping proses produksi minyak goreng yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Beberapa metode telah dikembangkan untuk ekstraksi dan pemekatan karotenoid dari minyak sawit antara lain, metode saponifikasi (Rahayu, 1996), metode adsorpsi (Naibaho, 1983; Masni, 2004; dan Hasanah, 2006), proses ekstraksi menggunakan pelarut (Ittah et al., 1993), destilasi molekular (Ooi et al., 1994), dan ekstraksi dengan fluida superkritik (Sulaswatty, 1998). Namun, metode tersebut belum banyak diaplikasikan dalam industri skala besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai metode penjumputan karotenoid lain yang lebih aplikatif. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan konsentrat karotenoid dari minyak sawit kasar yaitu dengan metode fraksinasi. Fraksinasi pada minyak sawit dilakukan dengan tujuan memisahkan antara
fraksi padat dan fraksi cair berdasarkan perbedaan titik beku kedua fraksi minyak tersebut. Karena karotenoid mudah mengalami kerusakan akibat suhu tinggi, kerusakan karotenoid perlu dikurangi melalui proses fraksinasi tanpa perlakuan panas. Untuk itu dilakukan fraksinasi pada suhu rendah dengan bantuan pelarut organik. Fraksinasi pada suhu rendah dilakukan berdasarkan perbedaan titik leleh dan kelarutan komponen lemak yang akan dipisahkan. Proses ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama proses kristalisasi dengan cara mengatur suhu dan tahap kedua yaitu pemisahan fraksi cair dan padat (Hamilton, 1995). Penggunaan pelarut organik dalam fraksinasi suhu rendah adalah untuk membantu pemisahan fraksi cair dan mengikat lebih banyak karotenoid sehingga dihasilkan produk konsentrat dengan konsentrasi dan recovery karotenoid yang tinggi. Jenis pelarut organik akan menentukan proses pemisahan fraksi-fraksi yang diinginkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai penggunaan pelarut organik yang tepat untuk menghasilkan fraksi dengan konsentrasi dan recovery karotenoid yang tinggi. Pada penelitian ini akan dilakukan seleksi berbagai jenis pelarut organik yang digunakan pada proses fraksinasi minyak sawit kasar (CPO). Selain itu, juga akan diamati karakteristik proses fraksinasi yang berlangsung pada suhu yang diturunkan secara bertahap.
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah mempelajari proses fraksinasi minyak sawit kasar dengan berbagai pelarut organik dan mengetahui jenis pelarut organik yang dapat menghasilkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi dan recovery karotenoid yang tinggi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh perlakuan jenis pelarut organik terhadap kandungan tokoferol pada konsentrat karotenoid yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN KELAPA SAWIT Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis Jacq.) adalah tanaman berkeping satu. Kelapa sawit termasuk genus Elais, family Palmae, kelas divisio Monocotyledonae, sub divisio Angiospermae dengan divisio Spermatophyta. Elaeis berasal dari Elaion yang berarti minyak, dalam bahasa Yunani, guinensis berasal dari Guinea (Pantai Barat Afrika), dan Jacq berasal dari nama botanis Amerika yang menemukannya, yaitu Jacquin (Lubis, 1992). Menurut Ketaren (1986), varietas kelapa sawit dibedakan berdasarkan warna kulit buah dan bentuk buah. Varietas berdasarkan warna kulit buah setelah masak yaitu varietas nigrescens berwarna merah kehitaman, varescens berwarna merah terang, dan albescens berwarna hitam. Sedangkan berdasarkan bentuk buahnya varietas kelapa sawit terdiri dari varietas dura (bentuk buah tidak teratur dan tempurung tebal), delidura (penampang bulat dan tempurung tebal), tenera (penampang bulat dan tempurung tipis), serta pisifera (penampang bulat dan inti kecil). Pohon dan tandan buah kelapa sawit ditunjukkan pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Tanaman kelapa sawit dan (b) Tandan buah kelapa sawit Buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (perikarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut perikarp, lapisan sebelah dalam disebut mesokarp atau pulp, dan lapisan paling dalam disebut endokarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm, dan embrio. Mesokarp mengandung kadar
minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endokarp tidak mengandung minyak (Pasaribu, 2004). Penampang buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2.
Perikarp Mesokarp Endosperm Endokarp Gambar 2. Penampang buah kelapa sawit
Panen kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak mesokarp maksimum dan kandungan asam lemak bebas minimum. Pembentukan minyak mulai terjadi pada buah berumur 10 minggu dan akan maksimum pada saat buah berumur 16 minggu (tua/matang). Kadar lemak akan menurun sampai umur 20 minggu. Jadi, sebaiknya panen dilakukan pada saat buah berumur 15-16 minggu karena kadar lemak sudah menurun dan tidak terjadi peningkatan asam lemak bebas (Muchtadi, 1992). Kriteria kematangan dapat dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada tiap tandan. Kenaikan jumlah buah yang rontok 5-74% menunjukkan kenaikan kandungan minyak pada mesokarp sebesar 5% dan kadar asam lemak bebas meningkat dari 0.5% menjadi 2.9% (Ketaren, 1986).
B. MINYAK SAWIT Minyak kelapa sawit berasal dari buah tanaman kelapa sawit yang didapat dengan cara mengekstraksi buah tersebut. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak yang berlainan sifatnya, yaitu Crude Palm Oil atau CPO dan Palm Kernel Oil atau PKO. CPO adalah minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit, sedangkan PKO adalah minyak yang berasal dari inti (kernel) kelapa sawit (Somaatmadja, 1981). Perbedaan kedua jenis minyak ini terletak pada kandungan asam lemaknya. Minyak inti sawit mengandung asam
kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat dalam minyak sawit (Muchtadi, 1992). Menurut Choo et al., (1989) minyak sawit kasar terdiri dari gliserida yang tersusun oleh serangkaian asam lemak. Komponen utamanya adalah trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan monogliserida. Minyak sawit kasar juga mengandung komponen minor lain seperti asam lemak bebas dan komponen non gliserida. Komponen non trigliserida pada minyak sawit kasar menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, dan mempercepat proses ketengikan minyak. Oleh karena itu, kandungan komponen non trigliserida yang terlalu tinggi pada minyak dapat mempersingkat umur simpan minyak. CPO mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol-sterol, fosfolipid dan glikolipid, terpen dan gugus hidrokarbon alifatik, serta kotoran. Komponen terbesar dari karotenoid adalah β-karoten dan α-karoten yang mencapai 90% dari total karotenoid (Ong et al., 1990). Komposisi komponen-komponen minor dalam minyak sawit secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen minor dari minyak sawit kasar (CPO) Komponen Minor Kandungan (ppm) Karotenoid
500-700
Tokoferol dan tokotrienol
600-1000
Sterol
326-527
Fosfolipid
5-130
Triterpen alkohol
40-80
Metil sterol
40-80
Squalen
200-500
Alkohol alifatik
100-200
Hidrokarbon alifatik Sumber: Choo et al., (1989)
50
Bentuk semipadat minyak sawit mentah disebabkan oleh kandungan asam lemak jenuh yang tinggi. Sekitar 50% asam lemak pada minyak sawit merupakan asam lemak jenuh dengan komponen utama asam palmitat, sekitar 40% asam lemak tidak jenuh tunggal (asam oleat) dan sekitar 10% asam lemak tidak jenuh jamak (asam linoleat). Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibandingkan jenis minyak lain. Asam palmitat yang berbentuk bebas dan berbentuk terikat sebagai monopalmitin, dipalmitin dan tripalmitin memiliki titik leleh yang relatif tinggi (di atas 60oC), sehingga pada suhu ruang senyawa tersebut berbentuk padat. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibandingkan asam palmitat yaitu 14oC (Ketaren, 1986). Ketaren (1986) menggambarkan pengolahan minyak sawit secara umum dengan beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan winterisasi (fraksinasi). Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi yaitu rendering, mechanical expression, dan solvent extraction. Tujuan utama dari proses pemurnian adalah untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. Pada umumnya minyak untuk tujuan bahan pangan dimurnikan melalui tahapan proses sebagai berikut: (1) pemisahan bahan berupa suspensi dan dispersi koloid dengan cara penguapan, degumming dan pencucian dengan asam; (2) pemisahan asam lemak bebas dengan cara netralisasi; (3) dekolorisasi dengan pemucatan; (4) deodorisasi, dan (5) pemisahan gliserida jenuh (stearin) dengan cara pendinginan (chilling). Winterisasi adalah bagian dari pemurnian minyak hasil ekstraksi. Winterisasi yaitu proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah. Pada suhu rendah, trigliserida padat tidak dapat larut dalam trigliserida cair (Ketaren, 1986).
C. FRAKSINASI 1. Fraksinasi Minyak Sawit Minyak sawit kasar berbentuk semipadat pada suhu 25oC. Minyak sawit yang disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7oC dapat terpisah menjadi fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan fraksi stearin dan olein berdasarkan titik beku kedua fraksi tersebut. Proses ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama proses kristalisasi dengan cara mengatur suhu dan tahap kedua yaitu pemisahan fraksi cair dan padat (Hamilton, 1995). Menurut Choo et al., (1989), fraksinasi minyak kelapa sawit dapat menghasilkan olein sebesar 70-80% dan stearin 20-30%. Olein merupakan triasilgliserol yang bertitik cair rendah dan mengandung asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan stearin. Olein dan stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda. Kandungan karotenoid dalam fraksi olein dapat meningkat 10-20%. Pemisahan olein dan stearin dalam minyak sawit cukup sulit karena minyak memiliki viskositas yang tinggi. Metode yang biasa digunakan dalam proses pemisahan stearin dan olein yaitu dry fractionation,
lanza
fractionation
(lipofraksinasi),
dan
fraksinasi
menggunakan pelarut. Menurut Moran dan Rajah (1994), fraksinasi kering (dry fractionation) biasa dilakukan secara semi kontinyu pada minyak yang dimurnikan. Proses ini tidak membutuhkan bahan kimia tetapi minyak dihomogenkan pada suhu 70oC sehingga kemungkinan akan terjadi kerusakan karotenoid. Dry fractionation biasanya menghasilkan olein sebanyak 70-75%. Lanza fractionation (fraksinasi deterjen) biasanya dilakukan pada minyak sawit kasar. Minyak didinginkan pada crystallizer dengan pendingin air untuk mendapatkan kristal dari gliserida dengan titik leleh tinggi. Ketika suhu yang diinginkan tercapai, massa yang mengkristal dicampur dengan larutan deterjen yang mengandung 0.5% natrium lauril sufat dan MgSO4 sebagai elektrolit. Pemisahan berlangsung dalam suspensi cair. Kemudian dilakukan sentrifugasi agar fraksi olein dan
stearin terpisah. Fraksi olein kemudian dicuci dengan air panas untuk menghilangkan sisa deterjen lalu dikeringkan dengan vaccum dryer. Olein yang diperoleh mencapai 80% (Moran dan Rajah, 1994). Solvent fractionation merupakan fraksinasi menggunakan pelarut. Proses ini relatif mahal karena terjadi penyusutan jumlah pelarut, memerlukan perlengkapan untuk recovery pelarut, membutuhkan suhu rendah, dan membutuhkan penanganan untuk mencegah bahaya pelarut yang digunakan. Pelarut yang biasanya digunakan adalah heksana atau aseton. Minyak harus dilarutkan dalam pelarut diikuti dengan pendinginan sehingga suhu yang diinginkan tercapai untuk mendapatkan kristal yang diinginkan. Proses ini biasanya digunakan untuk mendapatkan produk bernilai tinggi, seperti mentega coklat atau mendapatkan lemak tertentu berdasarkan titik cairnya (Moran dan Rajah, 1994). Pada saat penurunan suhu, fraksi stearin yang memiliki titik leleh tinggi (48-50oC) lebih mudah membeku, sedangkan fraksi olein yang memiliki titik leleh rendah (18-20oC) tetap berbentuk cair dan sebagian besar karotenoid yang larut minyak ikut terlarut ke dalam fraksi olein (Gunstone dan Noris, 1983). Fraksi olein berwarna merah sedangkan fraksi stearin berwarna kuning pucat. Warna merah pada olein disebabkan kandungan karotenoid yang terlarut di dalamnya sedangkan fraksi stearin hanya sedikit mengandung karotenoid. Tabel 2 menunjukkan kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit. Tabel 2. Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit Fraksi Minyak Sawit Kandungan Karotenoid (ppm) Crude Palm Oil
630-700
Crude Palm Olein
680-760
Crude Palm Stearin
380-540
Residual Oil from Fibre
4000-6000
Second-pressed Oil
1800-2400
Sumber: Choo et al., ( 1989)
2. Fraksinasi Kristalisasi Suhu Rendah Menurut Fogerty (1971), fraksinasi lemak yang selama ini sering digunakan yaitu dengan teknik kromatografi kolom adsopsi. Ketepatan dan keakuratan metode ini dibuktikan dengan fakta bahwa sampel dalam jumlah sedikit dapat dipisahkan secara kuantitatif sehingga metode ini jauh lebih baik dibandingkan metode klasik seperti fraksinasi kristalisasi atau distilasi. Namun, metode fraksinasi kristalisasi atau distilasi (non kromatografi) masih penting untuk dikaji karena metode ini dapat diterapkan untuk sampel dalam jumlah besar. Fraksinasi suatu lemak biasanya dilakukan untuk menghilangkan komponen minor yang tidak diinginkan dalam aplikasi minyak, misalnya penghilangan lilin pada minyak bunga matahari, pengkayaan trigliserida yang diinginkan, dan pemisahan menjadi dua atau lebih fraksi untuk aplikasi yang lebih luas seperti fraksinasi minyak sawit menjadi fraksi stearin dan olein (Gunstone dan Padley, 1997). Proses fraksinasi menurut Winarno (1997) terjadi karena adanya mekanisme dimana lemak didinginkan sehingga menyebabkan hilangnya panas dan memperlambat gerakan molekul. Jarak antar molekul menjadi lebih kecil dan akan timbul gaya tarik menarik antara molekul yang disebut gaya van der Waals. Akibat adanya gaya ini radikal-radikal asam lemak saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik tergantung jenis asam lemaknya dan terjadilah pemisahan. Tahap-tahap pembentukan kristal meliputi penjenuhan (saturation), pembentukan inti (nucleation), dan
pertumbuhan
kristal
(growth).
Bentuk
kristal
lemak
dapat
diidentifikasi menjadi tiga bentuk yaitu β (triklinik paralel), β’ (ortorombik), dan α (heksagonal). Bentuk α yang tidak stabil akan berubah menjadi β’yang lebih stabil dan beberapa saat kemudian berubah menjadi bentuk β yang lebih stabil (Winarno, 1997). Fraksinasi menggunakan pelarut yang dilakukan pada suhu rendah secara bertahap dipengaruhi oleh titik leleh komponen lemak yang ada dalam minyak. Selama fraksinasi, pada suhu yang lebih tinggi komponen lemak masih bercampur dengan pelarut sedangkan pada suhu rendah
komponen lemak yang mengandung asam lemak jenuh (titik leleh tinggi) dapat mengalami pengkristalan sehingga dengan mudah dapat dipisahkan (Moran dan Rajah, 1994). Komposisi asam lemak minyak sawit kasar beserta titik lelehnya ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi dan titik leleh asam lemak minyak sawit kasar Jenis Asam Lemak Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3)
Titik Leleh (oC)b Triasil 1,3gliserol Diasil gliserol 46.5 56.5
Komposisi Asam Lemak (%)a
Asam Bebas
0 – 0.4
44.2
0.6 – 1.7
54.4
57.0
65.5
70.5
41.1 – 47.0
62.9
65.5
72.5
77.0
3.7 – 5.6
69.6
73.0
78.0
81.0
38.2 – 43.6
16.3
5.5
51.5
35.2
6.6 – 11.9
-6.5
-13.1
-2.6
12.3
0.0 – 0.6
-12.8
-24.2
-12.3
15.7
1Monoasil gliserol 63.0
Sumber: a May (1994) b Davenport (1971) Fraksinasi kristalisasi suhu rendah tergantung pada perbedaan kelarutan antara komponen-komponen yang akan dipisahkan. Pada umumnya kelarutan karbon, asam lemak jenuh, atau tidak jenuh dalam pelarut organik menurun seiring dengan kenaikan bobot molekulnya, artinya semakin panjang rantai maka semakin rendah kelarutannya. Selain itu, jumlah ikatan rangkap juga mempengaruhi kelarutan. Asam lemak jenuh jamak lebih larut dibandingkan asam lemak tidak jenuh tunggal dan selanjutnya lebih larut dibandingkan asam lemak jenuh (Fogerty, 1971). Ikatan antarmolekul asam lemak tidak jenuh kurang kuat akibat rantai pada ikatan rangkap tidak lurus. Semakin banyak ikatan rangkap, ikatan semakin lemah sehingga titik cairnya semakin rendah (Ketaren, 1986).
D. KAROTENOID 1. Struktur dan Sifat Fisika-Kimia Karotenoid Struktur dasar karotenoid terdiri dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk oleh 40 atom C atau 8 unit isoprena dan memiliki dua buah gugus cincin. Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu: a. Golongan karotenoid yang tersusun oleh atom C dan H seperti, α-, β-, dan γ-karoten. b. Golongan oksikaroten dan xantofil yang tersusun oleh atom C, H, dan OH seperti, lutein, violaxantin, zeaxantin, dan kriptoxantin. Struktur dasar karotenoid dapat dilihat pada Gambar 3. -C=CH-CH=CH-C=CH= = = = = = = = = = = = =CH-CH=C-CH-CH-CH=CCH 1
CH 5 1
molekul pusat
CH 1 6
CH 5
Gambar 3. Struktur dasar karotenoid (Lehninger, 1982) Menurut Meyer (1966), karotenoid dibagi atas empat golongan, yaitu: (1) karotenoid hidrokarbon, C40H56 seperti α, β, dan γ karoten dan likopen; (2) xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin dan lutein; (3) asam karotenoid yang mengandung gugus karboksil; dan (4) ester xantofil asam lemak. Komponen karotenoid larut dalam pelarut non polar seperti heksana dan petroleum eter sedangkan kelompok xantofil larut dalam pelarut polar seperti alkohol (Gross, 1991). Menurut Meyer (1966) sifat fisika dan kimia karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzena, karbon disulfida dan petroleum eter, tidak larut dalam etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Sifat-sifat di atas penting untuk pemisahan karotenoid dari bahan lain.
2. Stabilitas Karotenoid Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi yang akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi, dan mangan (Walfford, 1980). Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda. Menurut Klaui dan Bauernfeind (1981), faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen
maupun
perubahan
struktur
oleh
panas.
Panas
akan
mendekomposisi karotenoid dan mengakibatkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai dengan suhu 60oC tidak mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid tetapi stereoisomer mengalami perubahan. Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh karena asam lemak tidak jenuh lebih mudah menerima radikal bebas bila dibandingkan dengan karotenoid. Dengan demikian, oksidasi pertama kali akan terjadi pada asam lemak dan karotenoid terlindungi dari oksidasi. Pada suasana asam, karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk poli cis-isomer (Chichester et al., 1970). Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430-480 nm (Fennema, 1996).
3. Karotenoid sebagai Provitamin A Karotenoid merupakan sumber vitamin A yang berasal dari tanaman dalam bentuk β-karoten (100%), α-karoten (53%), dan γ-karoten, sedangkan yang berasal dari hewan berbentuk vitamin A. Senyawa ini sering disebut anti xerophtalmia, karena kekurangan senyawa tersebut dapat menimbulkan gejala rabun mata. Selain sebagai provitamin A, βkaroten dalam minyak sawit juga dapat bermanfaat untuk mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif (Muhilal, 1991; May (1994); dan Iwasaki dan Murakoshi, 1992). Struktur β-karoten dapat dilihat pada Gambar 4.
2 3
1 4
8 6
7
12 14 15’ 13’ 11’ 9’ 7’ 11 13 15 14’ 12’ 10’ 8’
10 9
4’ 5’ 3’ 6’ 2’ 1’
5
Gambar 4. Struktur β-karoten (Fennema, 1996) Di dalam tubuh, β-karoten yang berasal dari makanan akan mengalami absorbsi selama pencernaan. Sekitar 25% dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedang 75% sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim 15, 15’ karotenoid dioksigenase (Fennema, 1996). Vitamin A dalam hati disimpan dalam bentuk retinol, sedangkan dalam darah retinol terikat pada protein spesifik disebut Retinol Binding Protein yang akan diangkut ke jaringan seperti mata, usus, dan kelenjar ludah (Winarno, 1997). Setiap 6 µg βkaroten diperkirakan mempunyai aktivitas biologis 1 µg retinol. Beberapa macam karotenoid yang penting dan berkaitan dengan gizi tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis-jenis karotenoid yang memiliki aktivitas provitamin A Jenis Karotenoid Aktivitas Provitamin A (%) α-karoten
50-54
β-karoten
100
γ-karoten
42-50
β-zeakaroten
20-40
β-karoten-5,6-mono epoksida
21
3,4 dehidro- β-karoten
75
Sumber: Linder (1991)
E. METODE EKSTRAKSI DAN PEMEKATAN KAROTENOID Berbagai cara telah dikembangkan untuk ekstraksi dan pemekatan karotenoid dari minyak sawit antara lain: metode penyabunan (Ooi et al.,
1994; Rahayu, 1996), metode adsorpsi (Naibaho, 1983), metode urea, proses ekstraksi menggunakan pelarut selektif, destilasi molekuler, transesterifikasi diikuti dengan teknik pemisahan, dan destilasi dari ester (Iwasaki dan Murakoshi, 1992).
1. Metode Penyabunan Prinsip
metode
penyabunan
adalah
memisahkan
senyawa
karotenoid yang tidak tersabunkan dengan senyawa-senyawa yang dapat disabunkan. Pemisahan selanjutnya adalah dengan melarutkan karotenoid dengan pelarut organik tetapi bahan yang tersabunkan tidak ikut terlarut. Rahayu (1996), melakukan proses transesterifikasi pada minyak sawit yang menghasilkan metil ester dengan total karoten 787.35 ppm dan tingkat pemekatan 1.15 kali. Selanjutnya setelah dilakukan proses saponifikasi dihasilkan total karotenoid 14970.09 ppm dengan kadar βkaroten 79% (tingkat pemekatan karotenoid 22 kali). Kombinasi dari transesterifikasi
dan
saponifikasi
dapat
meningkatkan
konsentrasi
karotenoid dan β-karoten sebanyak 24 kali. Metode penyabunan tidak dikembangkan lebih lanjut pada skala komersial karena prosedur pelaksanaannya cukup sulit.
2. Metode Adsorpsi Metode adsorpsi merupakan metode yang banyak diteliti terutama untuk mendapatkan karoten dari bahan pemucat (bleaching agent). Prinsip dari metode ini adalah adsorpsi (penjerapan) komponen minor oleh adsorben
dan
menarik
kembali
(desorpsi)
komponen
tersebut
menggunakan pelarut. Naibaho (1983), telah mengekstrak karoten dari tanah pemucat komersial dengan melalui tahap pelunakan tanah pemucat dan penyabunan, dan hasilnya diperoleh konsentrasi karoten mencapai 40% dari konsentrasi awal.
3. Metode Destilasi Molekuler Prinsip dari metode destilasi molekuler adalah pemisahan komponen dari suatu campuran dengan cara penguapan. Berbeda dengan destilasi biasa, destilasi molekuler tidak hanya menggunakan panas tetapi juga menggunakan kondisi vakum untuk memisahkan suatu komponen dalam campuran (Ooi et al., 1994). Hasil yang diperoleh dengan destilasi molekuler dibandingkan dengan destilasi vakum jauh lebih besar. Hal ini disebabkan kontak terhadap panas pada destilasi molekuler lebih singkat dibandingkan destilasi vakum. Ooi et al., (1994) berhasil mendapatkan konsentrat karotenoid dengan kemurnian 75% menggunakan destilasi molekuler 2 tahap dan perlakuan metanolisis pada bahan bakunya.
4. Metode Ekstraksi dengan Fluida Superkritik Metode ekstraksi fluida superkritik memanfaatkan daya pelarut dari fluida superkritik pada suhu dan tekanan di sekitar titik kritik. Cara ini sangat efektif terutama untuk mengisolasi senyawa dengan bobot molekul sedang dengan kepolaran rendah. Dengan pemisahan pada suhu rendah, maka metode ini sangat berguna untuk mengekstraksi senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan (Sulaswatty, 1998). Dibandingkan dengan pelarut lain, fluida superkritik mempunyai densitas dan viskositas yang rendah serta difusivitas yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk proses ekstraksi dan pemisahan yang cepat. Sulaswatty (1998) berhasil memekatkan karotenoid dari metil ester minyak sawit dengan teknik fluida superkritik hingga 39 kali dan rendemen karotenoid sebesar 42%.
5. Metode Ekstraksi Pelarut Metode ekstraksi pelarut merupakan salah satu metode yang cukup sederhana dibandingkan metode lain yang biasa digunakan. Proses pemisahan pada metode ekstraksi pelarut tergantung pada penggunaan jenis pelarut yang dapat memisahkan fraksi yang diinginkan. Pelarut yang umum digunakan adalah heksana, metanol, etanol, asetonitril, dan furfural.
Batasan jumlah sisa pelarut yang masih diperkenankan dalam bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Residu pelarut yang diizinkan dalam makanan Jenis Pelarut Residu (ppm) Aseton 30 Etilen Klorida 30 Etanol 30 Heksana 25 Isopropil alkohol 50 Metilen diklorida 30 Metanol 50 Sumber: Food and Drug Administration (1987) Metode ekstraksi pelarut telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu untuk mengekstrak karotenoid, antara lain Burdick dan Fletcher (1985) mengekstrak pigmen karotenoid dengan menggunakan campuran heksana-aseton-metanol (80:10:10 v/v/v). Ittah et al., (1993) mengekstrak pigmen karotenoid dari paprika
dengan menggunakan pelarut aseton.
Masni (2004) juga berhasil mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit dengan menggunakan pelarut campuran heksana-aseton (10:1 v/v) dihasilkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi 1283 µg/g dari konsentrasi karotenoid awal pada limbah serat sawit sebesar 639 µg/g. Selain itu, Hasanah (2006) juga mampu meningkatkan konsentrasi karotenoid minyak sawit kasar dari 498 μg/g menjadi 744 μg/g melalui fraksinasi menggunakan pelarut isopropanol (1:6 b/v).
F. TOKOFEROL 1. Struktur Kimia Tokoferol Tokoferol tersusun atas cincin aromatik tersubstitusi oleh metil dan rantai panjang isoprenoid sebagai rantai samping (Lehninger, 1982). Jenisjenis tokoferol antara lain α-, β-, γ, dan δ-tokoferol. Jenis tokoferol ini ditentukan oleh jumlah dan letak metil yang tersubstitusi pada cincin aromatik. Menurut Lehninger (1982), aktivitas terbesar dari keempat jenis
tokoferol ini berdasar urutannya dari aktivitas terbesar adalah α-, β-, γ, dan terendah adalah δ-tokoferol. Struktur α-tokoferol dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur α-tokoferol (Anonim, 2007d ) Adanya ikatan tidak jenuh pada struktur tokoferol menyebabkan senyawa tersebut mudah teroksidasi. Oleh karena itu, fungsi utama tokoferol adalah sebagai zat antioksidan yang sangat penting bagi tubuh. Bieri (1987) menyatakan bahwa vitamin E berperan sebagai senyawa antioksidan untuk mencegah terjadinya oksidasi lipida dari asam-asam lemak tidak jenuh dalam sel-sel tubuh. Dalam istilah lain, vitamin E disebut juga sebagai pembersih radikal bebas. Vitamin E tidak larut dalam air, larut dalam lemak, alkohol serta pelarut organik seperti aseton, kloroform, eter dan sebagainya serta minyak nabati.
2. Stabilitas Tokoferol Tokoferol stabil terhadap pengaruh asam, panas, dan alkali tetapi dapat rusak oleh oksigen dan proses oksidasi. Menurut Ball (1988), adanya ikatan tidak jenuh pada tokoferol membuatnya mudah teroksidasi. Oksidasi vitamin E dipercepat dengan adanya cahaya, panas, kondisi alkali dan adanya mineral kelumit seperti besi
(Fe3+) dan tembaga (Cu2+).
Kehadiran asam askorbat akan mencegah efek katalitik dari ion besi dan tembaga terhadap reaksi oksidasi vitamin E. Vitamin E stabil terhadap panas dan alkali dalam kondisi tanpa oksigen dan tidak dipengaruhi asam pada suhu di atas 100oC.
3. Sumber-sumber Tokoferol Menurut Lehninger (1982), tokoferol ditemukan pada minyak sayuran terutama dalam kecambah. Sumber vitamin E lainnya adalah minyak tumbuh-tumbuhan, susu, telur, daging, ikan, padi-padian, dan sayuran hijau. Menurut Draper (1970) kandungan vitamin E yang tinggi dijumpai pada jaringan-jaringan berwarna hijau gelap, masa pertengahan pertumbuhan, daun-daun hijau, dan buah-buahan berwarna. Produkproduk hewani seperti daging, ikan, unggas, dan produk-produk hewani turunan seperti susu dan telur memiliki kandungan tokoferol yang lebih rendah dibandingkan dengan produk serealia dan sayuran. Selain itu, tokoferol adalah salah satu komponen minor yang terdapat dalam minyak sawit kasar. Menurut Choo et al., (1989), kandungan tokoferol dalam minyak sawit sebesar 600-1000 ppm.
G. PELARUT ORGANIK Pelarut organik dalam penelitian ini digunakan untuk membantu melarutkan karotenoid pada saat proses fraksinasi. Menurut Rodriguez-Amaya dan Kimura (2004), pelarut yang cocok untuk ekstraksi karotenoid adalah aseton, metanol, etanol, petroleum eter, dan heksana. Gross (1991) menyatakan bahwa karotenoid larut dalam pelarut lemak seperti aseton, alkohol, dietil eter, dan kloroform. Beberapa pertimbangan yang penting dalam memilih pelarut adalah daya larutnya tinggi sehingga diperoleh senyawa yang diinginkan semaksimal mungkin dan pelarut tersebut tidak berbahaya atau tidak bersifat racun (Somaatmadja, 1981). Selain itu, pelarut yang digunakan sebaiknya tidak memiliki titik didih yang terlalu tinggi karena akan mempersulit pengambilan kembali pelarut. Pelarut yang memiliki titik didih terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan karotenoid karena karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu di atas 60oC. Aspek lain yang menjadi pertimbangan jenis pelarut yang digunakan dalam pemisahan karotenoid dan tokoferol adalah tingkat kepolaran pelarut. Pelarut polar dapat melarutkan senyawa polar sedangkan senyawa non polar
akan melarutkan senyawa yang non polar juga. Pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk pelarut polar sedangkan senyawa hidrokarbon termasuk ke dalam pelarut non polar. Seleksi pelarut dalam penelitian ini didasarkan pada tingkat kepolaran pelarut. Urutan tingkat kepolaran berdasarkan Gritter et al., (1991) adalah sebagai berikut:
Urutan Tingkat Kepolaran Pelarut ● Hidrokarbon (petroleum eter, heksana, heptana) ● Sikloheksana ● Karbon tetraklorida (CCl4) ● Benzena ● Toluena ● Metilen Klorida, Tetrahidrofuran
POLARITAS SEMAKIN NAIK
● Kloroform ● Etil eter ● Etil asetat ● Aseton ● n-Propanol ● Etanol ● Asetonitril ● Metanol ● Air
Karakteristik beberapa jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Aseton Nama lain dari aseton adalah β-ketopropane, dimethyl ketone (CH3COCH3). Aseton memiliki berat molekul 58.09 g/mol, densitas 0.79 g/cm³, titik leleh −94.9 °C (178.2 K), titik didih 56.3 °C (329.4 K), viskositas 0.32 cP pada 20 °C. Aseton memiliki karakteristik mudah menguap, higroskopik, dan mudah terbakar. Aseton juga larut dalam air,
alkohol, kloroform, eter, dan minyak (Jacob dan Scheflan, 1953). Aseton biasa digunakan sebagai solven untuk lemak, lilin, resin, nitroselulosa, selulosa asetat, dan asetil. Selain itu, aseton juga berperan sebagai agen untuk ekstraksi kandungan dari tanaman atau hewan. Apabila terjadi iritasi atau terhirup, aseton bisa menyebabkan efek hepatotoksik (kerusakan hati). Kontaminasi pada air (misal susu), atau udara (aseton bersifat volatil) dapat memicu chronic exposure. Aseton bukan komponen yang sangat toksik tapi dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit. Terkait dengan sifat melarutkan karotenoid, aseton berperan sebagai pelarut pada karotenoid dalam keadaan terikat dengan senyawa lain yang bersifat polar (Mappiratu, 1990).
2. Benzena Nama lain dari benzena adalah benzol1,3,5-cyclohexatriene dengan rumus molekul C6H6. Benzena memiliki bobot molekul 78.1121 g/mol, titik didih 80.1°C (353.2 K), titik leleh 5.5°C (278.6 K), densitas 0.8786 g/cm, viskositas 0.652 cP pada suhu 20°C, dan kelarutan dalam air 1.79 g/L (25°C). Benzena sangat larut dalam alkohol, eter, asam asetat, aseton, dan toluena. Selain itu, benzena juga larut dalam kloroform, karbon disulfida, karbon tetraklorida, dan minyak. Benzena merupakan cairan tidak berwarna, mudah terbakar, dan bersifat toksik. Penggunaan benzena antara lain sebagai pelarut dalam pembuatan kulit sintetis, lemak, minyak, resin, dan lilin (Rose dan Arthur, 1975; Jacob dan Scheflan, 1953).
3. Dietil eter Nama lain dietil eter adalah ethyl ether atau ethyl oxide. Rumus molekulnya C4H10O atau C2H5OC2H5. Dietil eter merupakan cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar. Bobot molekulnya sebesar 74.12 g/mol, densitas 0.7134 g/cm³, kelarutan dalam air 6.9 g/100 ml (20°C), titik leleh −116.3°C (156.85 K), titik didih 34.6°C (307.75 K), dan viskositas 0.224 cP(25°C) (Anonim, 2007a).
4. Etil alkohol Nama lain etil alkohol adalah etanol dengan rumus molekul CH3CH2OH. Titik didihnya pada tekanan 760 mmHg adalah 78.4oC, titik lelehnya 114.3oC, bobot molekul 46.67 g/mol, dan densitasnya 0.789 g/cm3 pada suhu 20oC. Etanol merupakan cairan tidak berwarna dan mudah menguap. Kelarutannya dalam air, eter, kloroform, dan metil alkohol tidak terbatas. Pelarut etanol mempunyai sifat desinfektan sehingga banyak digunakan dalam dunia kedokteran dan mikrobiologi (Rose dan Arthur, 1975; Jacob dan Scheflan, 1953). 5. Heksana Rumus molekul dari heksana adalah C6H14 dengan bobot molekul 86.18 g/mol. Heksana memiliki densitas 0.6548 g/ml, titik leleh −95°C (178 K), titik didih 69°C (342 K), dan viskositas sebesar 0.294 cP pada suhu 25°C (Anonim, 2007). Heksana merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, sangat mudah terbakar, dan larut dalam alkohol, aseton, eter, tetapi tidak larut dalam air. Heksana biasa digunakan sebagai solven untuk mengekstrak minyak dari biji-bijian dan sayuran seperti kacang kedelai, jagung, dan kacang tanah, pelarut untuk perekat, tinta, dan sebagai cleaning agent. Selain itu, heksana juga digunakan sebagai cairan dalam termometer suhu rendah. Sampai sejauh ini tidak ada informasi mengenai efek karsinogenik pada manusia atau hewan (Anonim, 2007c). Penggunaan pelarut heksana sebagai bahan pengekstrak karotenoid dari minyak sawit kasar didasarkan atas sifat kelarutan karotenoid. Karotenoid bersifat nonpolar dan hanya larut dalam pelarut nonpolar (Mappiratu, 1990). Heksana merupakan pelarut nonpolar dan efektif sebagai pelarut lemak dan minyak sehingga cocok untuk melarutkan karotenoid. Selain itu, dilihat dari segi toksisitasnya heksana juga kurang berbahaya secara biologis dan harganya pun relatif lebih murah dibandingkan pelarut yang lain.
6. Isopropanol Nama lain isopropanol adalah 2-propanol atau isopropil alkohol dengan rumus molekul C3H8O. Isopropanol merupakan cairan tidak berwarna dengan bobot molekul 60.10 g/mol, densitas 0.785 g/cm3, titik leleh -89°C (185 K), titik didih 82.3°C (355 K), viskositas 2.86 cP (15°C) atau 1.77 cP (30°C), dan momen dipol 1.66 D (gas). Isopropanol memiliki kelarutan yang baik dalam air, etanol, eter, toluena, dan aseton (Rose dan Arthur, 1975; Jacob dan Scheflan, 1953). Hasanah (2006) menggunakan pelarut isopropanol untuk mengekstrak karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode fraksinasi dan berhasil meningkatkan konsentrasi karotenoid minyak sawit kasar dari 498 µg/g menjadi 744µg/g.
7. Karbon tetraklorida Karbon tetraklorida memiliki rumus molekul CCl4 dengan nama lain tetra kloro metana. Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang tidak dapat terbakar, tidak dapat meledak, bau yang beraroma, dan tidak berwarna. Titik didihnya sebesar 76oC pada tekanan 760 mmHg, titik leleh sebesar -23oC, dan densitasnya 1.589 g/ml. Karakteristik lainnya yaitu larut dalam alkohol, eter, kloroform, benzena, dan petroleum eter. CCl4 biasa digunakan untuk mengekstrak lemak, karet kasar, resin dan sebagai agen pembersih. Dalam konsentrasi tinggi CCl4
dapat menyebabkan
kerusakan hati, ginjal, dan sistem saraf pusat. The American Conference of Governmental
Industrial
Hygienists
(ACGIH)
merekomendasikan
konsentrasi maksimum yang diizinkan dalam udara adalah 50 ppm (ATSDR, 2005).
8. Metanol Metanol memiliki rumus molekul CH3OH dengan nama lain hidroksimetan, metil alkohol, atau karbinol. Metanol merupakan cairan tidak berwarna dengan bobot molekul 32.04 g/mol. Densitasnya sebesar 0.7918 g/cm³, titik leleh -97°C (176 K), titik didih 64.7°C (337.8 K), dan
viskositas 0.59 mPa·s pada suhu 20°C. Metanol memiliki kelarutan yang baik dalam air, mudah terbakar, dan bersifat toksik (Rose dan Arthur, 1975; Jacob dan Scheflan, 1953).
9. Petroleum eter Nama lain dari petroleum eter adalah benzine, ligroine, dan naphtha petroleum. Petroleum eter merupakan senyawa hidrokarbon berupa cairan tidak berwarna dengan bobot molekul 80-90 g/mol. Titik lelehnya sebesar < -73°C, titik didihnya 20-75°C, dan densitasnya sebesar 0.625-0.660g/cm³. Petroleum eter banyak digunakan sebagai pelarut lemak, minyak, dan ekstraksi parfum. Petroleum eter termasuk senyawa yang sangat mudah terbakar (Rose dan Arthur, 1975; Jacob dan Scheflan, 1953).
10. Toluena Dalam penelitian di laboratorium, toluena sering digunakan sebagai pengganti benzena karena memiliki karakteristik yang hampir sama tetapi toluena bersifat kurang toksik. Toluena memiliki rumus formula C7H8 berupa cairan tidak berwarna dengan bobot molekul 92.14 g/mol. Densitas toluena sebesar 0,8669 g/cm3, titik leleh -93oC, dan titik didih 110.6oC. Toluena larut dalam aseton, etanol, heksana, dan diklorometan (Anonim, 2007b).
III. METODOLOGI PENELITIAN
C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional, Jakarta dan berbagai jenis pelarut yaitu aseton, benzena, dietil eter, etanol, heksana, isopropanol, karbon tetraklorida, metanol, petroleum eter, dan toluena. Sedangkan bahan lain yang digunakan yaitu standar tokoferol murni, NaOH, Na2S2O3, KI, alkohol, 2.2-bipiridin, FeCl3.6H2O, gas nitrogen, dan bahan kimia lainnya untuk analisis. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah spektrofotometer UVVis, Gas Chromatography (GC), neraca analitik, vorteks, tabung reaksi bertutup, inkubator suhu rendah yang dapat diatur suhunya, dan peralatan gelas lainnya. D. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu karakterisasi bahan baku CPO dan seleksi pelarut organik (selanjutnya disebut pelarut) dengan metode fraksinasi. Karakterisasi CPO meliputi penentuan konsentrasi karotenoid, kadar air, asam lemak bebas sebagai asam palmitat, bilangan iod, kadar tokoferol, dan komposisi asam lemak. Tahap seleksi pelarut dilakukan untuk mengetahui jenis pelarut yang mampu menghasilkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi dan recovery karotenoid yang tinggi. Seleksi pelarut dibagi menjadi dua tahap yaitu seleksi pelarut tahap 1 dan tahap 2. Seleksi pelarut tahap 1 dilakukan untuk mengetahui proses fraksinasi CPO dengan 10 jenis pelarut yang berbeda pada suhu fraksinasi yang diturunkan secara bertahap mulai dari suhu 27oC, 20oC, 15oC, dan seterusnya sampai terbentuk pemisahan fraksi cair dan fraksi padat maksimal. Pemisahan fraksi maksimal ditentukan berdasarkan terbentuknya fraksi padat mencapai volume setara berat CPO awal yaitu 2 gram. Seleksi pelarut tahap 2 merupakan kelanjutan dari seleksi pelarut tahap 1. Pelarut-pelarut yang mampu menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid cukup tinggi dari
tahap 1 diseleksi kembali pada suhu fraksinasi yang diturunkan secara bertahap mulai dari suhu 27, 20, 15, 10, 5, 0, -10, dan -20oC. Suhu fraksinasi diturunkan sampai pada suhu dimana sampel mengendap semua atau membeku. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat dilakukan pada setiap tingkatan suhu.
1. Karakterisasi Bahan Baku CPO Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui kualitas CPO yang mengacu pada syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 012901-1992 dan sumber lain yang menetapkan spesisifikasi mutu minyak sawit. Analisis bahan baku CPO meliputi penentuan konsentrasi karotenoid dengan metode spektrofotometri (Apriyantono et al., 1989), analisis kadar air (SNI 01-3555, 1998), penentuan asam lemak bebas sebagai asam palmitat (SNI 01-0019, 1995), bilangan iod metode Hanus (Apriyantono et al., 1989), kadar tokoferol (Wong et al., 1988), dan komposisi asam lemak dengan Gas Chromatography (AOAC, 1995).
2. Seleksi Pelarut a. Seleksi pelarut tahap 1 Pelarut-pelarut yang diseleksi pada tahap 1 adalah aseton, benzena, etanol, dietil eter, heksana, isopropanol, karbon tetraklorida, metanol, petroleum eter, dan toluena. Perbandingan CPO terhadap pelarut yang digunakan adalah 1:4 (b/v) dengan bobot CPO 2 gram dan volume pelarut 8 ml. CPO ditimbang ke dalam tabung reaksi bertutup yang dibungkus dengan alumunium foil. Ke dalamnya lalu ditambahkan sejumlah pelarut dan divorteks selama 90 detik agar terjadi pencampuran yang baik antara karotenoid dengan pelarut. Setelah dikocok dengan vorteks, sampel disimpan pada suhu fraksinasi tertentu secara bertahap mulai dari suhu kamar (27oC), 20oC, 15oC dan seterusnya sampai fraksi padat yang terbentuk sudah terpisah kembali mencapai volume CPO awal yaitu setara dengan berat CPO 2
gram. Sampel dipindahkan ke suhu berikutnya apabila pada selang waktu 24 jam tidak ada penambahan fraksi padat yang terbentuk. Pemisahan fraksi dilakukan pada suhu ketika fraksi padat yang terbentuk setara dengan volume CPO awal. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat pada penelitian ini terjadi secara alami, artinya fraksi padat akan mengendap di bagian bawah dan fraksi cair berada di atasnya. Oleh karena itu, fraksi cair dapat diambil secara langsung menggunakan pipet lalu dipindahkan pada tabung baru yang terbungkus alumunium foil dan ditimbang beratnya. Fraksi padat yang sudah terpisah dari fraksi cair juga ditimbang beratnya. Fraksi cair yang telah dipisahkan lalu dihembus dengan gas N2 untuk menghilangkan pelarutnya. Setiap selang waktu 10 menit sampel ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap untuk memastikan pelarut sudah menguap semua dan hanya menyisakan residu dalam jumlah sangat kecil. Setelah bobot sampel tetap, penghembusan N2 dihentikan
dan
konsentrat
karotenoid
diukur
konsentrasi
karotenoidnya. Konsentrasi karotenoid ditentukan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm (Apriyantono et al., 1989). Pelarut yang mampu menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid cukup tinggi serta memiliki karakteristik pemisahan yang baik merupakan pelarut yang dipilih untuk diseleksi kembali pada tahap 2. Karakteristik pemisahan ditentukan berdasarkan kondisi fraksi cair dan fraksi padat yang terbentuk. Diagram alir seleksi pelarut tahap 1 ditunjukkan pada Gambar 6.
CPO
Pelarut
Pencampuran CPO dan pelarut dengan nisbah 1: 4 (% b/v)
Divorteks selama 90 detik
Inkubasi sampai pemisahan maksimal (terbentuknya fraksi padat mencapai volume setara berat CPO awal yaitu 2 gram) Pemisahan fraksi
Fraksi padat
Fraksi cair Penghilangan pelarut dengan gas N2 Penimbangan fraksi cair setiap selang waktu 10 menit sampai bobotnya tetap
Konsentrat karotenoid Penentuan konsentrasi karotenoid dengan spektrofotometer Pelarut terpilih Gambar 6. Diagram alir seleksi pelarut tahap 1
b. Seleksi pelarut tahap 2 Seleksi pelarut tahap 2 merupakan modifikasi dari seleksi pelarut tahap 1. Pada tahap ini fraksinasi dilakukan dengan perlakuan suhu rendah yang diturunkan secara bertahap. Suhu fraksinasi diturunkan sampai suhu dimana sampel mengendap semua atau membeku. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat dilakukan pada setiap tingkatan suhu.
Pelarut yang digunakan pada tahap ini adalah pelarut-pelarut dari seleksi tahap 1 yang mampu menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid yang cukup tinggi dan memiliki karakteristik pemisahan yang baik. Karakteristik pemisahan yang baik dilihat dari fraksi cair yang berwarna jingga dan fraksi padat yang berwarna kuning pucat. Warna jingga pada fraksi cair menunjukkan bahwa pelarut mampu melarutkan karotenoid dengan baik. Perbandingan CPO terhadap pelarut yang digunakan adalah 1:4 (b/v) dengan bobot CPO 2 gram dan volume pelarut 8 ml. CPO dan pelarut divorteks selama 90 detik agar terjadi pencampuran yang baik antara karotenoid dengan pelarut. Campuran antara CPO dengan pelarut lalu diinkubasi pada suhu tertentu secara bertahap sehingga terjadi pemisahan antara fraksi padat dengan fraksi cair. Suhu yang diterapkan pada tahap ini dimulai dari suhu kamar (27oC), selanjutnya diturunkan secara bertahap ke suhu 20, 15, 10, 5, 0, -10, dan -20oC. Lamanya fraksinasi pada setiap suhu ditentukan berdasarkan fraksi padat yang terbentuk. Apabila fraksi padat yang terbentuk tidak bertambah lagi pada suhu tersebut dalam selang waktu 24 jam maka proses fraksinasi dipindahkan ke suhu yang lebih rendah agar fraksi padat yang terbentuk bertambah. Pada setiap tingkatan suhu fraksi cair yang terbentuk dipisahkan dari fraksi padatnya lalu diuapkan pelarutnya dengan gas nitrogen sehingga diperoleh konsentrat karotenoid dari setiap tingkatan suhu. Konsentrat karotenoid ditentukan konsentrasinya dengan metode Apriyantono et al., (1989) pada panjang gelombang 446 nm. PORIM (1995) telah menguji bahwa karotenoid minyak sawit yang dilarutkan pada heksana mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 446 nm. Diagram alir seleksi pelarut tahap 2 ditunjukkan pada Gambar 7.
CPO
Pelarut
Pencampuran CPO/pelarut dengan nisbah 1: 4 (% b/v) Divorteks selama 90 detik Inkubasi suhu 27oC* Fraksi padat
Pemisahan fraksi I
Fraksi cair
Inkubasi suhu 20oC* Fraksi padat
Pemisahan fraksi II
Analisis karotenoid Fraksi cair
Inkubasi suhu 15oC*
Fraksi padat
Pemisahan fraksi III
Pemisahan fraksi IV
Fraksi cair
Pemisahan fraksi V
Fraksi cair
Pemisahan fraksi VI
Fraksi cair
Pemisahan fraksi VII
Fraksi cair
Pemisahan fraksi VIII
Konsentrat VI Analisis karotenoid
Fraksi cair
Inkubasi suhu -20oC* Fraksi padat
Konsentrat V Analisis karotenoid
Inkubasi suhu -10oC* Fraksi padat
Konsentrat IV Analisis karotenoid
Inkubasi suhu 0oC*
Fraksi padat
Konsentrat III Analisis karotenoid
Inkubasi suhu 5oC*
Fraksi padat
Konsentrat II Analisis karotenoid
Inkubasi suhu 10oC*
Fraksi padat
Konsentrat I
Konsentrat VII Analisis karotenoid
Fraksi cair
Konsentrat VIII Analisis karotenoid dan tokoferol
Keterangan: *(endapan tidak bertambah lagi dalam selang waktu 24 jam) Gambar 7. Diagram alir seleksi pelarut tahap 2
E. METODE PENGAMATAN i. Analisis Kandungan Karotenoid (Apriyantono et al., 1989) Analisis kandungan karotenoid di dalam ekstrak dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: ekstrak karotenoid ditimbang sebanyak 0.5 gram lalu diencerkan di dalam labu takar 25 ml dengan pelarut heksana. Ekstrak yang sudah diencerkan diambil sebanyak 2 ml ke dalam labu takar 10 ml lalu diencerkan kembali dengan pelarut heksana dan selanjutnya diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. Konsentrasi
karotenoid 1%
menggunakan nilai E
dalam
sampel
minyak
sawit
dihitung
(1 cm) = 2611, yaitu absorbansi dari 1% larutan
karotenoid dari minyak sawit (10 mg/ml atau μg/μl) pada panjang gelombang 446 nm menggunakan kuvet 1 cm dengan pelarut heksana. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Konsentrasi Karotenoid (ppm) = Keterangan : A
10 x A x fp x V x 1000 E1% 1cm x B
= nilai serapan sampel
fp
= faktor pengenceran
V
= volume sampel yang diukur (ml)
B
= bobot sampel yang dianalisis (g)
E1% 1 cm = koefisien absorbansi
ii. Rumus Perhitungan Karakter Proses Fraksinasi CPO a) Recovery karotenoid Recovery Karotenoid = total karotenoid konsentrat x 100% total karotenoid CPO awal Total Karotenoid = konsentrasi karotenoid (µg/g) x bobot sampel (g) b) Tingkat pemekatan karotenoid konsentrasi karotenoid konsentrat (ppm) Tingkat Pemekatan Karotenoid = konsentrasi karotenoid CPO awal (ppm)
c) Rendemen fraksi cair Rendemen Fraksi Cair = bobot konsentrat karotenoid (g) x 100% bobot CPO awal (g) d) Rendemen fraksi padat Rendemen Fraksi Padat =
bobot fraksi padat (g) x 100% bobot CPO awal (g)
iii. Kadar Air, Metode Oven (SNI 01-3555, 1998 ) Cawan alumunium dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105oC selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Lalu bobotnya ditimbang dan dicatat. Setelah itu, sampel minyak ditimbang sebanyak 5 gram pada cawan alumunium yang telah dikeringkan dan selanjutnya dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 30 menit. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Cawan alumunium yang berisi sampel minyak lalu ditimbang. Pemanasan dan penimbangan diulangi sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air dinyatakan sebagai persen bobot per bobot, dihitung sampai dua desimal dengan rumus: Kadar Air =
m1-m2 m1 x 100%
Keterangan: m1 = bobot sampel awal (g) m2 = bobot sampel setelah pengeringan (g)
iv. Penentuan Asam Lemak Bebas sebagai Asam Palmitat (SNI 01-0019, 1995) Sampel minyak ditimbang sebanyak 2 gram dalam erlenmeyer 250 ml. Lalu ditambahkan alkohol 95% dan dipanaskan sampai mendidih dalam penangas air sambil diaduk. Setelah itu, diteteskan indikator penolpthalein 1% sebanyak 1-2 tetes. Kemudian campuran tersebut dititrasi dalam keadaan panas dengan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah muda yang tidak berubah selama 10 detik. Asam lemak bebas dihitung sebagai asam palmitat dengan rumus sebagai berikut: Asam Lemak Bebas (%) =
(titer sampel - titer blanko) x normalitas NaOH x BM asam palmitat
10 x berat sampel (g)
v. Bilangan Iod, Metode Hanus (Apriyantono et al., 1989) Sampel minyak ditimbang sebanyak 0.5 g dalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 10 ml kloroform dan 25 ml pereaksi hanus. Campuran tersebut kemudian didiamkan di ruang gelap selama 1 jam. Setelah 1 jam, ke dalamnya ditambahkan kalium iodida (KI) 15% dan dikocok. Lalu campuran tersebut dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N hingga warna hampir hilang. Selanjutnya ditambahkan indikator pati 1% sebanyak 2 tetes ke dalam sampel dan dititrasi kembali sampai warna biru yang terbentuk hilang. Bilangan iod dihitung dengan rumus sebagai berikut: Bilangan Iod =
(titer blanko - titer sampel) x normalitas Na2SO3 x (1/10) BM Iod berat sampel (g)
vi. Analisis Tokoferol (Wong et al., 1988) Sampel ditimbang dengan tepat sebanyak 200 ± 10 mg ke dalam labu takar 10 ml, lalu ditambahkan 5 ml toluena untuk melarutkan sampel. Kemudian ditambahkan 3.5 ml 2.2-bipiridin (00.7 % b/v dalam etanol 95%) dan 0.5 ml FeCl3.6H2O (0.2% b/v dalam etanol 95%) dan ditepatkan dengan etanol 95% sampai volume total 10 ml (kira-kira 1 ml). Setelah didiamkan selama 1 menit dalam ruang gelap, absorbansinya diukur pada panjang gelombang 520 nm. Larutan blanko dibuat seperti prosedur di atas tetapi tanpa sampel. Absorbansi blanko diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sama. Penentuan kadar tokoferol sampel dilakukan berdasarkan kurva standar. Persamaan regresi kurva standar diperoleh dengan prosedur yang sama seperti pengerjaan sampel dengan 0-240 µg α-tokoferol murni dalam 10 ml toluena. Persamaan garis pada kurva standar adalah y = bx + a, dimana y = absorbansi dan x = konsentrasi (µg). Total tokoferol dihitung dengan perhitungan sebagai berikut: y = bx + a (Asampel-Ablanko) = bx + a x = (Asampel-Ablanko) - a b Asampel-Ablanko) – a Total Tokoferol (µg/g) = b x bobot sampel (g)
vii. Penetapan Komposisi Asam Lemak (AOAC, 1995) Contoh yang akan dianalisis asam lemaknya ditimbang dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan larutan standar internal 1.0 mg/ml sebanyak 0.5 ml. Ke dalam campuran tersebut selanjutnya ditambahkan 1.5 ml NaOH metanolik 0.5 N, dihembus dengan gas nitrogen, ditutup rapat, kemudian dikocok. Campuran ini selanjutnya dipanaskan dalam penangas air yang mendidih (suhu air sekitar 100oC) selama 5 menit, diikuti dengan pendinginan sampai suhu campuran berada pada kisaran suhu 30-40oC. Pereaksi BF3-metanol 14% (b/v) segera ditambahkan ke dalam campuran, dialiri gas nitrogen dan ditutup rapat, kemudian dipanaskan kembali dalam penangas air mendidih selama 30 menit. Campuran didinginkan kemudian ditambahkan 1 ml heksana, dialiri gas nitrogen, ditutup rapat dan dikocok selama 30 detik. Campuran yang dihasilkan selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh, dihembus gas nitrogen, ditutup rapat dan dikocok. Lapisan heksana dipindahkan ke dalam vial, fase metanol-air diekstrak kembali dengan 1 ml heksana dan hasil ekstraksi digabungkan serta disaring dengan Na2SO4 anhidrat dan dipekatkan dengan gas nitrogen sampai diperoleh volume sekitar 1 ml. Metil ester asam lemak yang telah dibebaskan dari kandungan air dengan Na2SO4 anhidrat dan telah dipekatkan dengan gas nitrogen, sebanyak 1 μl disuntikkan ke alat kromatografi gas. Alat kromatografi dilengkapi dengan FID, integrator chromatopac C-R6 dan kolom kapiler DB-23 (30 m x 0.25 mm: J & W Scientific, Folson, CA). Suhu injektor diatur 250oC dan suhu detektornya 260oC. Suhu awal kolom 140oC yang dipertahankan selama 6 menit dengan laju kenaikan suhu 30oC/menit. Suhu akhir kolom diatur 230oC dan dipertahankan selama 25 menit. Gas pembawa yang digunakan adalah gas helium dengan tekanan 1 kg/cm2 dan detektor FID. Tekanan gas hidrogen dan tekanan udara diatur sampai 0.5 kg/cm2. Kromatogram yang diperoleh digunakan untuk menentukan persentase komposisi asam lemak menggunakan persamaan :
a. Penentuan respon faktor (Rf) standar asam lemak: Rf
=
mg asam lemak X area standar internal mg standar internal x area asam lemak
b. Penentuan kadar asam lemak sampel Konsentrasi Asam Lemak (mg/g) =
WSI . x Rf x area X W minyak Area SI
Keterangan : WSI
= bobot asam lemak standar internal (SI) yang ditambahkan (mg)
Wminyak = bobot minyak yang dimetilasi (g) c. Penentuan persen asam lemak luas area puncak asam lemak. Persen Asam Lemak = luas total puncak asam lemak
F. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas satu taraf perlakuan dengan dua kali ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah jenis pelarut yang dilihat pengaruhnya terhadap konsentrasi dan recovery karotenoid. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji One Way ANOVA dari program statistik SPSS 11.0. Jika berdasarkan uji F terdapat pengaruh perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji beda nyata jarak berganda Duncan. Model matematika dari rancangan tersebut adalah: Yij = µ + τi + εij Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada perlakuan i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah populasi τi = pengaruh perlakuan ke-i εij = pengaruh acak akibat perlakuan ke-i dalam ulangan ke-j
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU CPO Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar atau CPO yang diperoleh dari dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta. CPO dipilih sebagai bahan baku dengan harapan kandungan karotenoidnya cukup tinggi karena belum mengalami proses pemurnian minyak. Proses pemurnian minyak seperti tahap pemucatan (bleaching) biasanya berlangsung pada suhu tinggi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan karotenoid. Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui kualitas CPO yang digunakan mengacu pada syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-1992 dan sumber lain yang menetapkan spesifikasi mutu minyak sawit. Pada penelitian ini bahan baku CPO dianalisis mutunya pada parameter mutu warna, kadar air, asam lemak bebas, bilangan iod, total karotenoid, dan total tokoferol (Tabel 6). Tabel 6. Spesifikasi mutu minyak sawit dan hasil analisis bahan baku CPO No. Karakteristik Satuan Persyaratan SNI Hasil Analisis 1.
Warna a
-
2.
Kadar air (b/b) a
%
3.
Asam Lemak Bebas (sebagai asam palmitat) a Bilangan Iod b
%
4.
Kuning jingga Kuning jingga sampai kemerah- sampai kemerahmerahan merahan maks. 0.45 0.10 maks. 5.0
1.91
48-56
47.14
g Iod/100g
5.
Total Karoten c
ppm
500-700
492.97
6.
Total Tokoferol c
ppm
600-1000
1104.09
Sumber: a SNI 01-2901-1992 b Sonntag (1979) c Choo et al., (1989)
1. Warna Warna CPO yang digunakan sebagai bahan baku penelitian diuji secara visual setelah CPO terlebih dahulu dikocok. Berdasarkan pengamatan, CPO yang berasal dari PT Sinar Meadow berwarna jingga berbentuk cair agak mengental. Hal ini sesuai dengan syarat mutu dalam SNI 01-2901-1992 yang menyebutkan bahwa warna minyak sawit adalah kuning jingga sampai kemerah-merahan. Warna jingga kemerahan pada minyak sawit berasal dari pigmen karotenoid yang terkandung cukup tinggi dalam minyak sawit yaitu 500-700 ppm (Choo et al., 1989).
2. Kadar Air Kadar air adalah jumlah air yang terkandung dalam minyak yang menentukan mutu sampel minyak. Semakin rendah kadar air, maka kualitas minyak tersebut semakin baik. Hal ini dikarenakan, adanya air dalam minyak dapat memicu reaksi hidrolisis yang menyebabkan penurunan mutu minyak (Sudarmadji et al., 1996). Reaksi hidrolisis menyebabkan pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam, dan enzim. Minyak yang terhidrolisis titik asapnya menurun dan makanan yang digoreng akan menjadi coklat (Winarno, 1997). Asam lemak bebas yang terbentuk dari hasil hidrolisis minyak menimbulkan rasa dan bau yang tidak enak terutama asam lemak rantai pendek seperti asam butirat dan kaproat. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven berdasarkan prosedur dalam SNI 01-3555-1998. Kadar air CPO yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.10% (Lampiran 1). Nilai kadar air ini masih berada di bawah nilai kadar air dalam syarat mutu SNI 01-2901-1992 yaitu maksimum 0.45%. Dengan demikian, bahan baku CPO yang digunakan dalam penelitian dapat dikategorikan bermutu baik sesuai dengan syarat mutu SNI 01-2901-1992.
3. Asam Lemak Bebas sebagai Asam Palmitat Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak yang berasal dari proses hidrolisis minyak atau karena proses pengolahan yang kurang baik. Menurut Sudarmadji et al., (1996), bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam ditentukan dengan reaksi penyabunan yaitu dengan cara mereaksikan minyak atau lemak dengan basa seperti KOH atau NaOH. Bilangan asam yang tinggi menunjukkan kandungan asam lemak bebas dalam minyak yang tinggi. Semakin tinggi bilangan asam, semakin rendah kualitas minyak. Pengukuran kadar asam lemak pada CPO dihitung sebagai asam palmitat karena merupakan asam lemak yang paling dominan pada CPO. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa nilai asam lemak bebas bahan baku CPO pada penelitian ini adalah sebesar 1.91% (Lampiran 2). Nilai asam lemak bebas sampel masih berada di bawah nilai asam lemak bebas yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-1992, yaitu maksimum 5%. Dengan demikian, kualitas sampel CPO yang digunakan masih memenuhi persyaratan karena nilai asam lemak bebasnya rendah.
4. Bilangan Iod Bilangan iod merupakan parameter yang digunakan untuk menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram minyak atau lemak (Sudarmadji et al., 1996). Prinsip pengukuran bilangan iod yaitu mengukur jumlah gliserida tidak jenuh lemak atau minyak yang mempunyai kemampuan mengabsorbsi sejumlah iod, khususnya apabila dibantu oleh suatu carrier seperti iodin klorida atau iodin bromida membentuk suatu senyawa jenuh. Jumlah iod yang terabsorbsi menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak. Semakin banyak iod yang diserap, semakin banyak ikatan
rangkap sehingga semakin tidak jenuh minyak tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh nilai bilangan iod sampel CPO sebesar 47.14 g iod/100 g minyak (Lampiran 3). Nilai ini masih mendekati kisaran nilai bilangan iod minyak sawit pada umumnya yaitu 48-56 (Sonntag, 1979).
5. Total Karoten Total karoten merupakan nilai konsentrasi kandungan karotenoid tiap satu gram minyak. Nilai konsentrasi karotenoid ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm (Apriyantono et al., 1989). Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai total karoten CPO sebesar 492.97 ppm (Lampiran 4). Nilai ini masih berada di bawah nilai yang dinyatakan dalam Choo et al., (1989) yaitu 500-700 ppm. Nilai konsentrasi karotenoid dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lamanya penyimpanan setelah pengambilan sampel dari PT Sinar Meadow sehingga terjadi penurunan nilai konsentrasi karotenoid. Selama penyimpanan adanya faktor-faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, dan adanya oksigen berpengaruh terhadap kandungan karotenoid di dalam CPO. Selain itu, varietas kelapa sawit juga akan mempengaruhi kandungan karoten karena dengan varietas yang berbeda maka kandungan karotennya juga tidak sama. Apabila dibandingkan dengan sumber lain yaitu Ketaren (1986) nilai total karoten sampel masih berada dalam kisaran yang ditetapkan yaitu 200-800 ppm.
6. Total Tokoferol Selain karotenoid, minyak sawit juga memiliki kandungan tokoferol yang cukup tinggi yaitu 600-1000 ppm (Choo et al., 1989). Konsentrasi tokoferol diperoleh berdasarkan persamaan kurva standar tokoferol murni yaitu y = 0.0034x – 0.0215 (Lampiran 5). Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kadar tokoferol pada sampel minyak sawit yaitu 1104.09 ppm (Lampiran 6). Nilai ini sedikit lebih tinggi dari kisaran nilai yang dinyatakan dalam Choo et al., (1989).
7. Komposisi Asam Lemak Komposisi minyak sawit kasar atau CPO terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Komposisi asam lemak dalam
CPO
dianalisis
dengan
menggunakan
instrumen
Gas
Chromatography (lampiran 7). Nilai RF (Respon Factor) dan jumlah asam lemak pada CPO dapat dilihat pada lampiran 8, 9, 10 dan 11. Komposisi asam lemak CPO hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi asam lemak CPO Jenis Asam Lemak Asam kaprat (C10:0)
Komposisi Asam Lemak (%) a -
Komposisi Asam Lemak Hasil Analisis (%) 0.06
Asam laurat (C12:0)
0.0– 0.4
0.0
Asam miristat (C14:0)
0.6 – 1.7
0.81
Asam palmitat (C16:0)
41.1 – 47.0
34.47
3.7 – 5.6
2.13
Asam oleat (C18:1 n-9)
38.2 – 43.6
34.56
Asam linoleat (C18:2 n-6)
6.6 – 11.9
11.86
Asam α-linolenat (C18:3 n-3)
0.0 – 0.6
0.45
Asam stearat (C18:0)
a
Sumber: May (1994) Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa komposisi asam lemak CPO hasil analisis memenuhi komposisi asam lemak CPO pada umumnya. Namun, ada beberapa asam lemak dengan komposisi kurang dari standar yang telah ditentukan di antaranya asam lemak palmitat, stearat, dan oleat. Asam palmitat hasil analisis memiliki komposisi sebesar 34.47% sedangkan komposisi asam palmitat pada umumnya berkisar antara 41.147.0%. Komposisi asam stearat yang telah ditentukan sebesar 3.7-5.6% tetapi hasil analisis bahan baku CPO yang diperoleh hanya sebesar 2.13%. Begitu juga dengan komposisi asam lemak oleat, biasanya berkisar antara 38.2-43.6% tetapi hasil analisis yang diperoleh lebih rendah yaitu 34.56%. Selain itu juga ditemukan asam kaprat sebesar 0.06%. Asam lemak ini tidak biasa ditemukan dalam CPO.
B. SELEKSI PELARUT 1. Seleksi Pelarut Tahap 1 Seleksi pelarut tahap 1 dilakukan untuk memilih pelarut-pelarut yang dapat melarutkan karotenoid dengan baik sehingga diperoleh konsentrat karotenoid dengan konsentrasi dan recovery karotenoid yang tinggi. Terdapat 10 jenis pelarut yang digunakan yaitu aseton, benzena, dietil eter, etanol, heksana, isopropanol, karbon tetraklorida, metanol, petroleum eter, dan toluena. Pelarut-pelarut ini dipilih dengan pertimbangan bahwa 10 jenis pelarut ini termasuk dalam pelarut lemak dan biasa digunakan dalam ekstraksi karotenoid. Menurut Rodriguez-Amaya dan Kimura (2004), pelarut yang cocok untuk ekstraksi karotenoid adalah aseton, metanol, etanol, petroleum eter, dan heksana. Sedangkan, menurut Shahidi dan Wanasundara (2002), pelarut yang biasa digunakan untuk mengekstrak lemak adalah golongan alkohol (metanol, etanol, isopropanol, n-butanol), aseton, asetonitril, eter (dietil eter, isopropil eter, dioksan, tetrahidrofuran), halokarbon (kloroform, diklorometan), hidrokarbon (heksana, benzena, sikloheksan, isooktan) atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Karotenoid termasuk senyawa yang larut dalam lemak dan pelarut lemak (Gross, 1991). Pelarut-pelarut ini diharapkan memiliki daya larut yang baik terhadap karotenoid. Menurut Stahl (1969), tingkat kepolaran pelarut juga berpengaruh terhadap daya larut. Pelarut polar akan dapat melarutkan senyawa yang polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. Sepuluh jenis pelarut ini merupakan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda sehingga dapat mewakili range tingkat kepolaran pelarut. Berdasarkan deret eluotropi (Gritter et al., 1991), urutan pelarut-pelarut yang digunakan dalam penelitian berdasarkan tingkat kepolaran dari yang paling rendah ke tingkat kepolaran paling tinggi adalah sebagai berikut:
Petroleum eter, Heksana Karbon tetraklorida Benzena Toluena Dietil eter
Kepolaran Semakin Meningkat
Aseton Isopropanol Etanol Metanol Pada penelitian ini dilakukan fraksinasi CPO dengan bantuan pelarut untuk mendapatkan karotenoid semaksimal mungkin pada fraksi cair. Fraksinasi CPO dilakukan dalam tabung reaksi bertutup untuk mencegah penguapan pelarut karena beberapa pelarut yang digunakan memiliki titik didih yang rendah. Pelarut yang mudah menguap di antaranya adalah petroleum eter (titik didih 20-75oC) dan dietil eter (titik didih 34.6oC). Tabung reaksi bertutup dibungkus dengan alumunium foil untuk mengurangi pengaruh cahaya sebagai salah satu akselerator terjadinya oksidasi pada minyak (Ketaren, 1986). Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat dilakukan berdasarkan volume fraksi padat yang terbentuk. Apabila fraksi padat sudah terpisah kembali seperti volume CPO awal yaitu setara dengan berat CPO 2 gram maka dilakukan pemisahan fraksi. Pada kondisi ini diasumsikan bahwa seluruh lemak telah mengendap, sedangkan karotenoidnya terlarut di dalam fraksi cair. Sampel CPO sebanyak 2 gram dilarutkan dalam pelarut yang berbeda dengan volume pelarut masing-masing 8 ml. Perbandingan CPO terhadap pelarut sebesar 1:4 (b/v) mengacu pada penelitian pendahuluan dengan pelarut heksana yang dilakukan oleh Kuswardhani (2007). Jumlah pelarut yang digunakan cukup banyak agar diperoleh senyawa karotenoid semaksimal mungkin. Berdasarkan Suryandari (1981), semakin besar volume pelarut yang digunakan dibandingkan jumlah bahan yang
dipisahkan maka konsentrasi ekstrak yang dihasilkan juga semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin besar volume pelarut yang ditambahkan maka semakin besar kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan sehingga semakin banyak komponen bahan yang dapat dipisahkan oleh pelarut. Setelah CPO ditambah dengan pelarut, campuran CPO dengan pelarut divorteks selama 90 detik. Tujuan proses vorteks adalah untuk memberikan kesempatan kontak antara bahan dengan pelarut lebih sempurna sehingga komponen yang terekstrak ke fraksi cair akan lebih tinggi.
a. Kelarutan CPO dalam pelarut pada suhu kamar Berdasarkan hasil pengamatan, setelah campuran CPO terhadap pelarut diinkubasi pada suhu kamar (27oC), setiap pelarut memberikan karakteristik pemisahan yang berbeda-beda. Kelarutan CPO dalam berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) pada suhu kamar ditunjukkan pada Tabel 8 dan Gambar 8. Tabel 8. Kelarutan CPO dalam berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) pada suhu kamar Jenis Pelarut Kelarutan Heksana Petroleum eter Benzena Toluena Karbon tetraklorida Dietil eter Aseton Isopropanol Etanol Metanol
Larut sempurna (tidak ada pemisahan) Larut sempurna (tidak ada pemisahan) Larut sempurna (tidak ada pemisahan) Larut sempurna (tidak ada pemisahan) Larut sempurna (tidak ada pemisahan) Larut sempurna (tidak ada pemisahan) Terjadi pemisahan (warna fraksi padat kuning pucat, warna fraksi cair jingga jernih) Terjadi pemisahan (warna fraksi padat kuning agak naik, ada fraksi cair di bagian paling bawah berwarna jingga) Terjadi pemisahan (warna fraksi cair kuning, fraksi padat jingga, dan ada fraksi padat tipis di bagian atas fraksi cair) Terjadi pemisahan (warna fraksi cair kuning pucat, fraksi padat jingga)
Heksana
Dietil Eter
Petroleum Eter
Aseton
Benzena
Toluena
Isopropanol
Etanol
Karbon Tetraklorida
Metanol
Gambar 8. Kelarutan CPO dalam berbagai jenis pelarut pada suhu kamar
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa pada perbandingan CPO terhadap pelarut 1:4 b/v dengan pelarut heksana, petroleum eter, benzena, toluena, karbon tetraklorida, dan dietil eter, sampel CPO larut sempurna. Berdasarkan urutan tingkat kepolaran pelarut dalam Gritter et al., (1991) dapat diketahui bahwa pelarut heksana, petroleum eter, benzena, toluena, karbon tetraklorida, dan dietil eter memiliki sifat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan aseton, etanol, isopropanol, dan metanol sehingga dapat dikategorikan termasuk pelarut non polar. Tingkat kepolaran juga dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektriknya. Pelarut non polar memiliki konstanta dielektrik yang rendah, sebaliknya pelarut polar memiliki konstanta dielektrik yang tinggi. Heksana termasuk pelarut non polar memiliki konstanta dielektrik 1.890, benzena 2.274, toluena 2.379, karbon tetraklorida 2.228, dan etil eter 4.335. Etanol dan metanol termasuk pelarut polar dengan konstanta dielektrik 24.30 dan 32.63. Sedangkan aseton dan isopropanol termasuk pelarut semi polar dengan konstanta dielektrik 20.7 dan 18.3 (Weast dan Astle, 1982). Minyak sawit kasar tersusun oleh sebagian besar senyawa trigliserida (Choo et al., 1989). Senyawa trigliserida yang bersifat non polar akan larut dalam senyawa non polar juga sehingga dengan pelarut heksana, petroleum eter, benzena, toluena, karbon tetraklorida,
dan dietil eter yang bersifat lebih non polar dibandingkan pelarut lain, CPO larut sempurna dan tidak terjadi pemisahan pada suhu kamar. Sementara itu, pelarut aseton, etanol, isopropanol, dan metanol bersifat lebih polar sehingga tidak mampu melarutkan CPO secara sempurna pada suhu kamar. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa fraksinasi dengan pelarut aseton dan isopropanol, menunjukkan adanya pemisahan fraksi menjadi dua yaitu fraksi padat yang berwarna kuning di bagian bawah dan fraksi cair berwarna jingga di atasnya. Sedangkan, pada pelarut etanol dan metanol fraksi padatnya berwarna jingga di bagian bawah dan fraksi cairnya berwarna kuning jernih. Warna fraksi padat dan fraksi cair yang berbeda antara aseton dan isopropanol dengan etanol dan metanol disebabkan oleh perbedaan kemampuan pelarut tersebut dalam melarutkan karotenoid. Aseton dan isopropanol termasuk pelarut semi polar dan kepolarannya lebih rendah dibandingkan etanol dan metanol sehingga mampu melarutkan karotenoid yang bersifat non polar. Oleh karena itulah, fraksi padatnya berwarna kuning dan fraksi cairnya berwarna jingga, artinya terjadi pelarutan karotenoid dalam pelarut. Sedangkan etanol dan metanol termasuk pelarut polar dimana urutan tingkat kepolarannya mendekati tingkat kepolaran air. Hal ini menyebabkan kemampuannya dalam melarutkan karotenoid kurang baik sehingga fraksi padat yang terbentuk masih berwarna jingga seperti warna CPO awal dan fraksi cairnya berwarna kuning jernih. Fraksi padat yang berwarna jingga menunjukkan bahwa masih banyak karotenoid yang tertinggal di fraksi padat dan tidak terlarut pada fraksi cair.
b. Karakteristik fraksinasi CPO dalam pelarut pada penurunan suhu secara bertahap Sampel dengan pelarut aseton, isopropanol, etanol, dan metanol mengalami pemisahan fraksi padat dan fraksi cair pada suhu kamar karena fraksi padat yang terbentuk sudah maksimal yaitu setara dengan
volume CPO awal (2 gram). Sedangkan untuk meningkatkan jumlah fraksi padat pada pelarut heksana, petroleum eter, benzena, toluena, karbon tetraklorida, dan dietil eter maka fraksinasi dilanjutkan pada kondisi penyimpanan suhu lebih rendah dari suhu kamar sampai diperoleh volume fraksi padat maksimal (kembali seperti volume CPO awal). Teknis penyimpanan sampel yaitu diurutkan mulai dari suhu kamar lalu dipindahkan ke suhu-suhu yang lebih rendah (20, 15, 10, 5, 0oC dan seterusnya) hingga pada suhu tertentu fraksi padat yang terbentuk mencapai jumlah maksimal. Melalui penerapan suhu fraksinasi yang lebih rendah diharapkan agar lemak yang belum mengendap pada suhu kamar karena titik bekunya lebih rendah, dapat mengendap (membeku) pada suhu yang lebih rendah. Hasil pemisahan pada kondisi ini ditunjukkan pada Tabel 9 dan Gambar 9. Tabel 9. Karakteristik pemisahan fraksi pada CPO dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) pada suhu rendah Jenis Suhu Akhir Waktu Keadaan Keadaan Pelarut Fraksinasi Fraksinasi Fraksi Padat Fraksi Cair o ( C) 10
(hari) 16
0
21
-20
Warna kuning pucat
Warna jingga jernih
25
Warna kuning pucat Warna jingga
0
21
Warna jingga
Heksana
10
16
Karbon Tetraklorida
-20
23
Warna kuning pucat Bentuk tidak padat dan berada di bagian atas fraksi cair sehingga sulit untuk dipisahkan
Warna jingga jernih Warna jingga agak keruh. Warna jingga dan membeku pada suhu di bawah 0oC Warna jingga jernih Warna jingga
Petroleum Eter Dietil Eter Toluena
Benzena
Keterangan: Dari kiri ke kanan: petroleum eter, dietil eter, toluena, benzena, heksana, dan karbon tetraklorida
Gambar 9. Kelarutan CPO dalam berbagai jenis pelarut pada suhu rendah Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 9 diketahui bahwa fraksinasi CPO dengan pelarut heksana, petroleum eter, dietil eter, dan karbon tetraklorida menghasilkan fraksi padat yang berwarna kuning pucat sedangkan fraksi cairnya berwarna jingga. Hal ini mengindikasikan bahwa keempat pelarut tersebut mampu melarutkan karotenoid. Sedangkan untuk pelarut karbon tetraklorida, pemisahan yang terjadi berbeda dengan pelarut yang lain karena fraksi padat yang dihasilkan berada di bagian atas fraksi cair sehingga menyulitkan pemisahan. Hal ini disebabkan nilai densitas karbon tetraklorida yang lebih besar dibandingkan nilai densitas minyak sawit sehingga fraksi padat berupa minyak sawit yang lebih ringan berada di atas pelarutnya. Berdasarkan Basiron (1996), nilai densitas minyak sawit adalah 0.889 g/cm3. Sedangkan densitas karbon tetraklorida adalah 1.589 g/cm3. Hasil fraksinasi CPO dengan pelarut benzena dan toluena pada Tabel 9 menunjukkan bahwa fraksi cairnya berwarna jingga dan fraksi padatnya juga berwarna jingga. Warna jingga pada fraksi padat menunjukkan bahwa karotenoid belum terpisah secara optimal.
c. Konsentrasi karotenoid dalam fraksi cair dengan berbagai pelarut Setelah dilakukan pemisahan, fraksi cair yang terbentuk diuapkan pelarutnya dengan gas N2 sehingga diperoleh konsentrat karotenoid untuk
selanjutnya
diukur
konsentrasinya
menggunakan
spektrofotometer. Konsentrasi karotenoid hasil fraksinasi dengan berbagai pelarut dapat dilihat pada Gambar 10 dengan data selengkapnya pada Lampiran 12.
Konsentrasi Karotenoid (ppm)
700,00 590.90
600,00 500,00 409.95
429.80
462.94
497.08
519.16 526.89 528.37
400,00 324.92 300,00 200,00
129.62
100,00
ue na to l
n as et o
op an ol be nz en a di et il ete r he ks an pe a t ro leu m ete r
CC l4
iso pr
et an ol
m et an ol
0,00
Jenis Pelarut
Gambar 10. Histogram konsentrasi karotenoid hasil fraksinasi CPO dengan berbagai pelarut pada perbandingan 1:4 b/v Berdasarkan Gambar 10 dan Lampiran 12 dapat diketahui bahwa dengan konsentrasi karotenoid CPO sebesar 505.54 ppm peningkatan konsentrasi karotenoid hanya terjadi pada sampel dengan pelarut heksana, petroleum eter, aseton, dan toluena. Peningkatan konsentrasi karotenoid pada sampel dengan pelarut-pelarut tersebut tidak begitu signifikan sehingga tingkat pemekatan yang dihasilkan sangat kecil. Sama halnya pada pelarut benzena, dietil eter, isopropanol, karbon tetraklorida, metanol, dan etanol, fraksi cair yang dihasilkan tidak mengalami
peningkatan
konsentrasinya
menurun.
konsentrasi Konsentrasi
karotenoid karotenoid
tetapi yang
justru tidak
mengalami peningkatan kemungkinan besar disebabkan masih terdapat banyak komponen lemak yang terlarut ke fraksi cair dan senyawa yang ikut terekstrak ke fraksi cair tidak hanya karotenoid. Pemisahan fraksi padat dan cair dilakukan setelah diperoleh volume fraksi padat
maksimal (kembali seperti volume CPO awal). Volume fraksi padat yang sudah kembali seperti volume CPO awal bukan berarti hanya terdapat lemak dalam fraksi padat. Namun, terdapat pelarut dan karotenoid yang terperangkap dalam fraksi padat karena ikut membeku pada kondisi suhu rendah. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi karotenoid yang dihasilkan kecil dan cenderung menurun. Etanol dan metanol menghasilkan konsentrat dengan kandungan karotenoid paling rendah di antara pelarut lainnya yaitu 324.92 ppm dan 129.62 ppm. Etanol dan metanol telah digunakan oleh para peneliti sebelumnya sebagai pelarut karotenoid tetapi dikombinasikan dengan pelarut lain. Burdick dan Fletcher (1985) menggunakan campuran heksana-aseton-metanol (80:10:10 v/v/v) untuk mengekstrak pigmen karotenoid dari alfalfa. Masni (2004), mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit dengan pelarut kombinasi heksana/etanol (4:3 v/v). Konsentrasi karotenoid yang diperoleh tidak mengalami peningkatan, dari konsentrat karotenoid awal limbah serat sawit 638.67 µg/g hanya diperoleh konsentrasi karotenoid pada konsentrat sebesar 18.12 µg/g. Etanol dan metanol termasuk senyawa alkohol yang bersifat polar. Sedangkan karotenoid merupakan senyawa yang larut dalam pelarut non polar seperti petroleum eter atau heksana (Gross, 1991) sehingga kelarutannya kurang baik pada pelarut etanol dan metanol. Molekul dalam pelarut polar berinteraksi membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Solut (zat yang dilarutkan) akan larut apabila dapat memecah ikatan hidrogen dan menggantinya dengan ikatan yang kekuatannya sama (Mullin, 1993). Karotenoid memiliki ikatan van der Waals yang lemah dan tidak mampu membentuk ikatan yang kuat dengan molekul pelarut sehingga kelarutannya rendah. Pada Tabel 8. dapat dilihat bahwa warna fraksi cair yang dihasilkan pada pelarut etanol dan metanol berwarna kuning dan fraksi padatnya berwarna jingga. Hal ini menunjukkan bahwa komponen karotenoidnya masih banyak yang tertinggal di dalam fraksi padatnya dan hanya sedikit yang terlarut dalam fraksi cairnya.
Pelarut karbon tetraklorida menghasilkan konsentrat dengan konsentrasi karotenoid yang rendah yaitu 409.95 ppm. Fraksi padat hasil fraksinasi dengan pelarut karbon tetraklorida berada di bagian atas fraksi cair sehingga menyulitkan proses pemisahan. Ketika fraksi cair dipisahkan banyak fraksi padat yang ikut terambil. Adanya senyawa-senyawa lain selain karotenoid seperti asam lemak yang terikut ke dalam fraksi cair menyebabkan konsentrasi karotenoid menurun. Benzena juga menghasilkan konsentrat dengan konsentrasi karotenoid yang rendah. Benzena adalah salah satu pelarut yang sering digunakan untuk melarutkan lemak (Shahidi dan Wanasundara, 2002). Kemampuan
benzena
untuk
melarutkan
lemak
menyebabkan
komponen lemak selain karotenoid juga ikut terekstrak ke fraksi cair dan karotenoid masih banyak yang tertinggal di fraksi padat. Hal ini menyebabkan konsentrasi karotenoid dalam pelarut benzena menjadi rendah. Pada tahap 1 ini pelarut toluena menghasilkan konsentrasi karotenoid yang paling tinggi di antara pelarut yang lain yaitu 590.90 ppm. Tingginya konsentrasi karotenoid disebabkan oleh fraksinasi yang dilakukan sampai suhu lebih rendah dari -10oC yaitu -20oC. Fraksinasi yang dilakukan pada suhu rendah akan menyebabkan gliserida yang memiliki asam-asam lemak jenuh (tidak mempunyai ikatan rangkap) membentuk kristal. Selama fraksinasi, gliserida yang mempunyai titik leleh tinggi dapat dikristalisasi karena pada suhu rendah (di bawah titik lelehnya) gliserida tersebut akan segera mengendap. Kristal yang terbentuk mempunyai titik leleh tinggi sedangkan fraksi cairnya memiliki titik leleh lebih rendah (Stevenson et al., 1993). Setelah diketahui konsentrasi karotenoid maka dapat ditentukan recovery karotenoid dari setiap perlakuan pelarut seperti tersaji pada Gambar 11.
90.00
Recovery Karotenoid (%)
80.00
77.09
76.08
78.89
80.12
82.04
82.15
67.73
70.00 60.00 50.00
44.88
40.00 30.00 20.00 10.00
10.27 1.67
a to lu en
be nz en
et er
pe a tro le um et er
Jenis Pelarut
di et il
an a he ks
eto n as
CC l4
pr op an ol
iso
et an ol
m
et an ol
0.00
Gambar 11. Histogram recovery karotenoid hasil fraksinasi CPO dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Dari Gambar 11 terlihat bahwa metanol dan etanol menghasilkan recovery karotenoid paling rendah di antara pelarut yang lain. Rendahnya nilai recovery karotenoid pada metanol dan etanol juga dapat dilihat dari berat konsentrat yang diperoleh yaitu hanya 0.1336 dan 0.3235 gram. Selanjutnya nilai recovery semakin meningkat dengan urutan pelarut isopropanol, karbon tetraklorida, aseton, heksana, dietil eter, benzena, petroleum eter, dan toluena. Recovery karotenoid semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya berat konsentrat yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 12. Menurut Shahidi dan Wanasundara (2002) pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida, aseton, heksana, dietil eter, benzena, petroleum eter, dan toluena termasuk pelarut yang sering digunakan untuk melarutkan lemak. Karotenoid termasuk senyawa yang larut dalam lemak dan minyak serta larut dalam pelarut non polar (Belitz dan Grosch, 1999). Oleh karena itu, dengan pelarut-pelarut yang dapat melarutkan lemak dan bersifat non polar dapat dihasilkan fraksi cair cukup banyak sehingga nilai recovery karotenoid pun meningkat.
Namun, hal ini tidak selalu diiringi dengan peningkatan konsentrasi karotenoidnya. Pada pelarut benzena dan dietil eter misalnya, walaupun recovery-nya cukup tinggi yaitu 78.89% dan 80.12%, namun konsentrasi karotenoidnya rendah sebesar 497.08 ppm dan 462.94 ppm. Hal ini disebabkan masih banyaknya asam-asam lemak dan senyawa lain selain karotenoid yang ikut terbawa dalam fraksi cair. Hasil analisis ragam (Lampiran 13 dan 14) menunjukkan bahwa perlakuan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap nilai konsentrasi dan recovery karotenoid dengan nilai probabilitas (Sig.) < 0.05. Pada tahap ini nilai konsentrasi karotenoid yang dihasilkan belum maksimal. Oleh karena itu, dilakukan seleksi pelarut tahap 2 dengan perbaikan metode sehingga diharapkan konsentrasi karotenoid dan recovery karotenoid lebih meningkat. Perbaikan metode yang dilakukan yaitu dalam penentuan lama fraksinasi. Lamanya fraksinasi pada setiap suhu ditentukan berdasarkan banyaknya fraksi padat yang terbentuk. Apabila fraksi padat yang terbentuk tidak bertambah lagi pada suhu tersebut dalam selang waktu 24 jam maka proses fraksinasi dipindahkan ke suhu yang lebih rendah agar fraksi padat yang terbentuk bertambah. Fraksinasi dihentikan apabila sampel sudah mengendap semua atau membeku. Pelarut-pelarut yang diuji pada tahap selanjutnya adalah pelarutpelarut yang menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid cukup tinggi. Pelarut-pelarut yang dilanjutkan pada tahap 2 adalah pelarut yang ada pada subset 5, 6, dan 7 (Lampiran 15). Pelarut-pelarut tersebut adalah aseton, heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, dan toluena. Hasil analisis beda Duncan (Lampiran 16) menunjukkan bahwa nilai recovery karotenoid dari keenam pelarut ini tidak berbeda nyata.
2. Seleksi Pelarut Tahap 2 Seleksi pelarut tahap 2 merupakan kelanjutan dari seleksi pelarut tahap 1. Pada tahap ini fraksinasi dilakukan dengan perlakuan suhu rendah
secara bertahap. Pelarut yang digunakan pada tahap ini adalah pelarutpelarut yang terpilih dari seleksi tahap 1 yaitu aseton, heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, dan toluena. Perbandingan CPO terhadap pelarut yang digunakan sama seperti pada tahap 1 yaitu 1:4 (b/v) dan divorteks selama 90 detik. Campuran antara CPO dengan pelarut lalu diinkubasi pada suhu tertentu lalu diturunkan secara bertahap sehingga terjadi penambahan fraksi padat. Suhu yang diterapkan pada tahap ini dimulai dari suhu kamar (27oC), selanjutnya diturunkan secara bertahap ke suhu 20, 15, 10, 5, 0, -10, dan -20oC. Lamanya fraksinasi di setiap suhu ditentukan berdasarkan banyaknya fraksi padat yang terbentuk. Apabila fraksi padat yang terbentuk tidak bertambah lagi dalam selang waktu 24 jam pada suhu tersebut maka proses fraksinasi dipindahkan ke suhu yang lebih rendah agar fraksi padatnya bertambah. Proses fraksinasi dihentikan apabila pada suhu tersebut sampel mengendap semua atau membeku. Berbeda dengan seleksi pelarut tahap 1 yang hanya mengukur konsentrasi karotenoid konsentrat pada suhu akhir fraksinasi, pada seleksi tahap 2 konsentrasi karotenoid konsentrat diukur pada setiap tingkatan suhu. Pada setiap tingkatan suhu fraksi cair yang terbentuk dipisahkan dari fraksi padat lalu diuapkan pelarutnya dengan gas N2. Konsentrat karotenoid ditentukan konsentrasinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm (Apriyantono et al., 1989). Karakteristik fraksinasi, pengaruh suhu fraksinasi, dan pengaruh jenis pelarut dibahas dalam uraian berikut ini:
a. Karakteristik fraksinasi CPO dalam berbagai pelarut pada penurunan suhu secara bertahap Pengamatan secara visual terhadap hasil fraksinasi dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 12. Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa kondisi fraksi padat dan fraksi cair serta waktu fraksinasi berbeda-beda untuk masing-masing sampel.
Tabel 10. Karakteristik fraksinasi CPO dalam pelarut dengan penurunan suhu secara bertahap pada suhu akhir fraksinasi Jenis Pelarut
Suhu Akhir Fraksinasi (oC) -20
Waktu Fraksinasi (hari) 25
-20
25
0
21
Toluena
-10
23
Benzena
0
21
-20
25
Petroleum Eter Heksana
Dietil Eter
Aseton
Keadaan Fraksi Padat Fraksi padat berwarna kuning, bentuk kristal cukup kompak Fraksi padat berwarna kuning, bentuk kristal cukup kompak Fraksi padat terbagi 2: 1. Warna kuning kompak 2. Warna agak jingga mudah buyar Fraksi padat berwarna jingga, sulit dipisahkan karena mudah buyar Fraksi padat berwarna jingga, sulit dipisahkan karena mudah buyar Fraksi padat terbagi 2: 1. Warna kuning kompak 2. Warna agak jingga mudah buyar
Keadaan Fraksi Cair Fraksi cair berwarna jingga jernih Fraksi cair berwarna jingga jernih Fraksi cair berwarna jingga jernih
Fraksi cair berwarna jingga agak keruh Fraksi cair berwarna jingga agak keruh Fraksi cair berwarna jingga jernih
Keterangan: Dari kiri ke kanan: petroleum eter, heksana, dietil eter, toluena, benzena, dan aseton
Gambar 12. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat pada suhu fraksinasi 10oC
Sampel dengan pelarut aseton telah mengalami pemisahan fraksi padat dengan fraksi cair pada suhu kamar (lampiran 17a). Sampel dengan pelarut dietil eter, heksana, dan petroleum eter mulai mengalami pemisahan pada suhu 20oC (lampiran 17b, 17c, dan 17d). Akan tetapi fraksi padat yang terbentuk sangat sedikit dan baru berupa lapisan tipis di dasar tabung sehingga pada suhu ini belum dilakukan pemisahan fraksi. Fraksi padat yang terbentuk dengan pelarut-pelarut ini semakin bertambah seiring dengan penurunan suhu. Fraksi padat yang terbentuk pada sampel dengan pelarut dietil eter berwarna kuning dan terbagi menjadi dua bagian. Fraksi padat pertama berbentuk kristal yang cukup kompak dan fraksi padat di atasnya mudah buyar. Adanya bagian fraksi padat yang mudah buyar menyulitkan pada waktu dilakukan pemisahan antara fraksi padat dengan fraksi cairnya. Berbeda dengan aseton dan dietil eter sampel dengan pelarut heksana dan petroleum eter memiliki kristal yang cukup kompak dan padat sehingga pemisahan fraksi tidak terlalu sulit. Sampel dengan pelarut toluena dan benzena mulai mengalami pemisahan pada suhu 5oC (lampiran 17e dan 17f). Pada suhu ini fraksi padat yang terbentuk masih sangat sedikit. Warna fraksi padat jingga dan tidak kompak sehingga mudah buyar pada waktu pemisahan. Warna jingga pada fraksi padat menunjukkan bahwa karotenoid masih banyak yang tertinggal pada fraksi padat. Pemisahan fraksi pada sampel dengan pelarut toluena dan benzena cukup sulit karena fraksi padat yang terbentuk mudah buyar sehingga fraksi padat yang terpisah tidak optimal.
b. Pengaruh penurunan suhu fraksinasi secara bertahap Fraksinasi pada suhu rendah dipengaruhi oleh perbedaan kelarutan antara komponen-komponen yang terkandung dalam sampel itu sendiri. Pada umumnya kelarutan karbon, asam lemak jenuhnormal, atau asam lemak tidak jenuh dalam pelarut organik menurun seiring dengan kenaikan bobot molekulnya, artinya semakin panjang
rantai semakin rendah kelarutannya. Kelarutan asam lemak juga dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap. Asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap banyak lebih larut dibandingkan asam lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak jenuh. Selain itu, titik leleh juga mempengaruhi kelarutan asam lemak. Pada titik leleh yang semakin tinggi maka kelarutan lemak semakin rendah dan sebaliknya (Fogerty, 1971). Suhu yang diterapkan dalam penelitian ini dimulai dari suhu kamar (27oC), selanjutnya diturunkan secara bertahap ke suhu 20, 15, 10, 5, 0, -10, dan -20oC. Perlakuan suhu memberikan pengaruh terhadap beberapa karakteristik pemisahan yaitu rendemen fraksi cair dan fraksi padat, berat konsentrat, konsentrasi karotenoid, recovery karotenoid, dan tingkat pemekatan karotenoid. (1) Rendemen fraksi cair dan fraksi padat Penelitian yang dilakukan oleh Sesridha (2000) mengenai kajian pengaruh suhu dan lama fraksinasi terhadap komposisi dan sifat fisiko-kimia fraksi olein dari minyak kelapa sawit menunjukkan bahwa suhu berpengaruh nyata terhadap perolehan fraksi olein (cair) dan stearin (padat). Pada suhu yang lebih tinggi gliserida pada minyak sawit masih bercampur dengan pelarut. Adanya penurunan suhu menyebabkan gliserida yang memiliki asam-asam lemak jenuh akan mengalami kristalisasi (Stevenson et al., 1993). Dengan semakin menurunnya tingkatan suhu maka gliserida yang mengkristal semakin bertambah. Hal ini terjadi karena gliserida-gliserida dalam CPO mengikat asam-asam lemak dengan titik leleh yang berbeda-beda sehingga mengkristal pada suhu yang berbeda pula. Rendemen fraksi cair adalah persen perolehan kembali fraksi cair yang sudah diuapkan pelarutnya dari berat CPO awal. Rendemen fraksi cair hasil fraksinasi CPO dengan pelarut dapat dilihat pada Gambar 13.
100.00
27oC
90.00 80.00
20oC
70.00
15oC
Rendemen 60.00 Fraksi Cair 50.00 (%)
10 5oC
40.00 30.00
0oC
20.00
-10oC
10.00
-20oC
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Benzena Eter
Toluena
Jenis Pelarut
Gambar 13. Histogram rendemen fraksi cair hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Rendemen fraksi padat adalah persen perolehan kembali fraksi padat dari berat CPO awal. Rendemen fraksi padat diperoleh dengan perhitungan seratus persen dikurangi rendemen fraksi cair. Rendemen fraksi padat hasil perhitungan dapat dilihat pada Gambar 14. 100.00
27oC
90.00 80.00
20oC
70.00
15oC
Rendemen 60.00 Fraksi Padat Hasil Perhitungan 50.00 (%) 40.00
10oC 5oC
30.00
0oC
20.00
-10oC
10.00
-20oC
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Benzena Toluena Eter
Jenis Pelarut
Gambar 14. Histogram rendemen fraksi padat perhitungan hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v)
Rendemen
fraksi
padat
hasil
perhitungan
tidak
menggambarkan perolehan kembali fraksi padat yang sebenarnya karena fraksi padat yang terbentuk pada fraksinasi CPO masih memerangkap pelarut sehingga bobotnya lebih besar dari bobot CPO awal. Hal ini menyebabkan rendemen fraksi padat hasil pengukuran langsung jumlahnya lebih tinggi (lebih dari 100%) dibandingkan rendemen fraksi padat hasil perhitungan. Rendemen fraksi padat pengukuran langsung diperoleh dari perhitungan bobot fraksi padat dibagi bobot CPO awal dikali 100%. Histogram rendemen fraksi padat hasil pengukuran langsung dapat dilihat pada Gambar 15. 300
Rendemen Fraksi Padat Pengukuran Langsung (%)
27oC
250
20oC
200
15oC 10oC
150 5oC 100
0oC -10oC
50
-20oC
0 Aseton
Petroleum Heksana Eter
Dietil Eter
Benzena
Toluena
Jenis Pelarut
Gambar 15. Histogram rendemen fraksi padat pengukuran langsung hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Berdasarkan Gambar 13 rendemen fraksi cair hasil fraksinasi CPO dengan beberapa pelarut cenderung menurun dengan adanya penurunan suhu. Sebaliknya, rendemen fraksi padatnya cenderung meningkat dengan adanya penurunan suhu (Gambar 14). Data lebih lengkap mengenai rendemen fraksi padat dan rendemen fraksi cair pada tiap suhu fraksinasi dapat dilihat pada Lampiran 18. Fraksinasi CPO dengan dietil eter pada penurunan suhu 5oC menjadi 0oC rendemen fraksi cairnya justru meningkat dan
rendemen fraksi padatnya turun. Hal ini terjadi karena bentuk kristal yang dihasilkan halus dan ada bagian fraksi padat yang mudah buyar sehingga kondisi pemisahan tidak optimal. Fraksi padat yang mudah buyar akan kembali bercampur dengan fraksi cair dengan adanya sedikit kenaikan suhu. Hal ini juga terjadi pada sampel dengan pelarut aseton. Pada penurunan suhu 0oC menjadi 10oC terjadi penurunan rendemen fraksi padat karena adanya kristal halus yang terbentuk dan mudah buyar. Menurut Fogerty (1971), pada saat bekerja dengan kondisi suhu rendah faktor penting yang harus diperhatikan adalah mencegah perubahan suhu dan kondensasi kelembaban. Dari histogram pada Gambar 13 dan 14 juga dapat dilihat bahwa pada pelarut heksana dan petroleum eter, fraksinasi di atas suhu -10oC laju kristalisasi (pembentukan fraksi padatnya) berlangsung lambat. Peningkatan rendemen fraksi padat dan pengurangan fraksi cair terjadi secara signifikan pada penurunan suhu 0oC menjadi -10oC. Perbandingan CPO terhadap pelarut yang diterapkan pada penelitian adalah 1:4 (b/v). Jumlah pelarut yang digunakan lebih banyak dari zat yang dilarutkan sehingga titik leleh dari pelarut pengaruhnya cukup besar terhadap titik leleh asam-asam lemak yang ada pada CPO. Oleh karena itu, diperlukan suhu yang lebih rendah untuk mengendapkan gliserida yang terdapat pada CPO. Pada pelarut benzena perubahan rendemen fraksi cair dan fraksi padat tidak terlalu signifikan karena proses fraksinasi hanya berlangsung pada dua tingkatan suhu yaitu 5oC dan 0oC. Pada suhu ini belum banyak gliserida yang mengalami pengkristalan sehingga rendemen fraksi padatnya rendah dan rendemen fraksi cairnya masih tinggi. Selain itu, pada suhu di bawah 0oC sampel dengan pelarut benzena sudah mengalami pembekuan sehingga tidak bisa dilakukan pemisahan dan fraksinasi tidak diteruskan ke suhu berikutnya yang lebih rendah. Pembekuan ini terjadi karena
pengaruh titik leleh dari benzena yang tinggi yaitu 5.5oC sehingga pada suhu di bawah titik lelehnya benzena akan segera membeku. (2) Berat konsentrat Konsentrat dalam penelitian ini merupakan produk hasil pemisahan pelarut dari fraksi cair yang diharapkan kandungan karotenoidnya tinggi. Pelarut diharapkan dapat mengekstrak sebanyak mungkin karotenoid dari CPO, tanpa terlalu banyak melarutkan lemak di dalam fraksi cairnya. Pelarut yang masih bercampur dengan fraksi cair selanjutnya diuapkan sehingga diperoleh fraksi cair yang bebas pelarut dalam hal ini disebut konsentrat
karotenoid.
Kemungkinan
konsentrat
masih
mengandung komponen lain selain karotenoid, karena pada saat fraksinasi CPO ada komponen lain yang ikut terekstrak ke fraksi cair. Misalnya komponen tokoferol atau komponen asam-asam lemak yang menyusun CPO. Untuk mempercepat penguapan pelarut, fraksi cair dihembus dengan gas N2 yang bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan pelarut maupun sampel. Penurunan suhu menyebabkan fraksi cair yang dihasilkan semakin berkurang dan fraksi padatnya semakin bertambah. Hal inilah yang mengakibatkan berat konsentrat menurun. Semakin rendah suhu, gliserida-gliserida pada CPO semakin banyak yang mengalami pengkristalan sehingga komponen lemak yang terlarut pada pelarut semakin berkurang. Oleh karena itu, fraksi cair yang dihasilkan setelah pengambilan pelarut menjadi semakin rendah. Gambar 16 menunjukkan pengaruh suhu terhadap berat konsentrat yang dihasilkan oleh masing-masing pelarut. Berat konsentrat sebanding dengan rendemen fraksi cair, artinya semakin banyak fraksi cair maka berat konsentrat yang dihasilkan juga semakin tinggi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.
2.00 1.80
27oC
1.60
20oC
1.40
15oC
Berat Konsentrat 1.20 1.00 (g)
10oC
0.80
5oC
0.60
0oC
0.40
-10oC
0.20
-20oC
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Benzena Toluena Eter
Jenis Pelarut
Gambar 16. Histogram berat konsentrat hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Dari histogram pada Gambar 16 dapat diketahui bahwa secara umum berat konsentrat yang dihasilkan pada beberapa pelarut tersebut semakin berkurang seiring dengan adanya penurunan suhu. Namun pada penurunan suhu 0oC menjadi -10oC berat konsentrat hasil fraksinasi dengan pelarut aseton justru mengalami peningkatan. Hal yang sama terjadi pada sampel dengan pelarut dietil eter pada penurunan suhu 5oC menjadi 0oC. Penyimpangan ini kemungkinan disebabkan terbentuknya kristal yang mudah buyar sehingga belum mengendap secara sempurna. Kondisi ini menyebabkan sulitnya pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair sehingga sebagian dari fraksi padat ikut tercampur dengan fraksi cair dan pada akhirnya mempengaruhi berat konsentrat yang diperoleh. Pada suhu fraksinasi 10oC, 5oC, dan 0oC tidak terjadi pengurangan berat konsentrat yang signifikan. Pengurangan berat konsentrat yang cukup signifikan baru terjadi pada perubahan suhu fraksinasi dari 0oC, -10oC, dan -20oC. Berat konsentrat yang cenderung tetap pada suhu-suhu awal fraksinasi menunjukkan bahwa laju pengkristalan gliserida pada CPO lambat sehingga
kristal-kristal yang terbentuk tidak banyak bertambah walaupun ada penurunan suhu. Balfas (1991) melakukan penelitian mengenai fraksinasi asam lemak dari minyak sawit dengan kristalisasi menggunakan pelarut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada suhu di atas 10oC yaitu 15oC dan 20oC laju kristalisasi lambat sehingga proses pemisahan tidak efisien. Proses fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan
secara
bertahap
dalam
waktu
tertentu
artinya
pendinginan tidak dilakukan secara langsung pada satu suhu tertentu tetapi bertahap mulai dari suhu tinggi ke suhu yang lebih rendah. Penurunan suhu secara bertahap dengan waktu agak lama akan memperlambat pembentukan kristal yang disebabkan oleh penurunan energi potensial yang tidak secara tiba-tiba (Bailey, 1994). Berat konsentrat yang dihasilkan masih cukup banyak karena masih banyak komponen-komponen lemak pada CPO yang larut dalam pelarut dan belum mengalami pengkristalan. Pengaruh suhu terhadap berat konsentrat yang dihasilkan oleh pelarut benzena tidak terlalu signifikan karena suhu fraksinasi yang hanya berlangsung pada dua tingkat suhu yaitu 5oC dan 0oC. Pengkristalan asam-asam lemak pada CPO belum optimal sehingga berat konsentrat masih cukup tinggi (1.6088 g) karena masih banyak asam-asam lemak yang terlarut dalam pelarut benzena. Hal yang sama terjadi pada toluena. Walaupun terjadi penurunan, berat konsentrat akhir masih cukup tinggi yaitu 1.4825 g. (3) Konsentrasi dan recovery karotenoid Konsentrat yang dihasilkan dari masing-masing pelarut diukur konsentrasi karotenoidnya pada setiap suhu fraksinasi. Histogram pada Gambar 17 menunjukkan pengaruh suhu terhadap konsentrasi karotenoid dari masing-masing pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi CPO. Dari histogram tersebut dapat dilihat bahwa dengan adanya penurunan suhu nilai konsentrasi karotenoid sampel cenderung meningkat.
2000.00
Konsentrasi Karotenoid (ppm)
1800.00
27oC
1600.00
20oC
1400.00
15oC
1200.00
10oC
1000.00 800.00
5oC
600.00
0oC
400.00
-10oC
200.00
-20oC
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Benzena Toluena Eter
Jenis Pelarut
Gambar 17. Histogram konsentrasi karotenoid konsentrat hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Pada suhu-suhu awal fraksinasi sampel dengan pelarut aseton tidak mengalami peningkatan konsentrasi karotenoid yang signifikan. Konsentrasi karotenoid pada suhu 20oC dan 15oC justru menurun dari konsentrasi sebelumnya dan baru meningkat seiring dengan penurunan suhu yaitu 10oC, 5oC, 0oC, -10oC, dan -20oC. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu-suhu awal fraksinasi belum semua komponen lemak dalam CPO mengalami pengkristalan dan masih
banyak
yang
terlarut
dalam
fraksi
cair
sehingga
mempengaruhi konsentrasi karotenoid dalam fraksi cair. Pada suhu rendah gliserida pada CPO yang memiliki asam-asam lemak jenuh dengan titik leleh tinggi akan lebih dahulu mengendap dari pada asam lemak tidak jenuh sehingga kandungan komponen-komponen lemak dalam fraksi cair semakin berkurang dan konsentrasi karotenoidnya meningkat. Peningkatan konsentrasi karotenoid sampel dengan pelarut aseton cukup signifikan terjadi pada penurunan suhu -10oC menjadi -20oC. Nilai konsentrasi meningkat dari 840.29 ppm menjadi 1762.92 ppm. Suhu fraksinasi yang semakin rendah menyebabkan semakin banyak komponen asam lemak yang
mengendap sehingga komponen asam lemak di dalam fraksi cair berkurang dan konsentrasi karotenoidnya meningkat. Peningkatan konsentrasi karotenoid cukup signifikan karena rentang penurunan suhu fraksinasi cukup lebar (10oC) sehingga laju kristalisasi komponen asam lemak lebih cepat. Konsentrasi karotenoid pada sampel dengan pelarut heksana dan petroleum eter memberikan kecenderungan yang sama. Proses pemisahan pada sampel dengan pelarut heksana dan petroleum eter mulai terjadi pada suhu 10oC. Pada penurunan suhu berikutnya yaitu 5oC dan 0oC, konsentrasi karotenoid cenderung stabil, artinya tidak ada peningkatan yang signifikan. Nilai konsentrasi karotenoid pada masing-masing tingkatan suhu dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 19. Peningkatan konsentrasi karotenoid yang cukup signifikan untuk sampel dengan pelarut heksana dan petroleum eter terjadi pada penurunan suhu fraksinasi dari 0oC menjadi -10oC dan terus meningkat pada suhu fraksinasi -20oC yaitu 769.33 ppm untuk pelarut heksana dan 776.65 ppm untuk pelarut petroleum eter. Peningkatan konsentrasi karotenoid untuk sampel dengan pelarut heksana dan petroleum eter tidak setinggi sampel dengan pelarut aseton pada penurunan suhu fraksinasi yang sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tingkat kepolaran pelarut antara heksana, petroleum eter, dan aseton. Aseton, heksana, dan petroleum eter memiliki titik leleh yang berbeda dengan komponen lemak yang terlarut di dalamnya. Komponen lemak akan mengalami penurunan titik leleh karena dipengaruhi titik leleh pelarut yang sangat rendah yaitu aseton 94.9oC, heksana -95°C, dan petroleum eter <-73°C. Namun, karena aseton bersifat semipolar sedangkan komponen lemak dalam minyak bersifat non polar maka kelarutan komponen lemak dalam aseton rendah sehingga hanya sebagian kecil komponen lemak yang titik lelehnya terpengaruh oleh titik leleh aseton. Dengan
demikian sebagian besar komponen lemak akan mudah membeku sehingga terjadi peningkatan konsentrasi karotenoid pada fraksi cair. Sedangkan heksana dan petroleum eter bersifat non polar sehingga kelarutan komponen lemak dalam heksana dan petroleum eter lebih besar dibandingkan kelarutannya dalam aseton. Dengan demikian
sebagian
besar
komponen
lemak
titik
lelehnya
terpengaruh oleh titik leleh heksana dan petroleum eter sehingga dibutuhkan suhu fraksinasi yang lebih rendah untuk mengendapkan komponen lemak dalam CPO. Dengan pelarut dietil eter, benzena, dan toluena, konsentrasi karotenoid tidak mengalami peningkatan yang signifikan pada setiap penurunan suhu fraksinasi. Seperti telah dijelaskan pada subbab a mengenai kondisi fraksi padat dan fraksi cair hasil fraksinasi CPO yang diamati secara visual diketahui bahwa pada sampel dengan pelarut dietil eter, fraksi padat yang terbentuk terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian fraksi padat berwarna kuning dan di atasnya terdapat fraksi padat yang berwarna jingga dan mudah buyar. Fraksi padat yang mudah buyar menyebabkan pemisahan tidak optimal karena fraksi padat dapat bercampur kembali dengan fraksi cair. Sama halnya dengan dietil eter, sampel dengan pelarut benzena dan toluena menghasilkan fraksi padat yang berwarna jingga secara keseluruhan dengan bentuk kristal halus dan mudah buyar. Menurut Tirtaux (1989), kristal yang terlalu halus dan kecil dapat mengakibatkan pemisahan yang tidak efisien. Hal ini akan mempengaruhi konsentrasi karotenoid karena komponen lemak pada CPO banyak yang ikut terlarut ke dalam fraksi cair. Warna jingga pada fraksi padat juga menunjukkan bahwa masih banyak karotenoid yang terperangkap pada fraksi padat dan ikut mengendap. Recovery
karotenoid
merupakan
perolehan
kembali
karotenoid dari jumlah karotenoid yang terkandung pada CPO awal
setelah
mengalami
proses
fraksinasi.
Recovery
karotenoid
cenderung menurun dengan adanya penurunan suhu karena semakin rendah suhu, komponen lemak dalam CPO semakin banyak yang mengkristal. Pada saat pembentukan kristal ini ada sebagian karotenoid yang terperangkap dalam kristal lemak sehingga kelarutannya dalam fraksi cair menjadi berkurang. Penurunan recovery karotenoid sebanding dengan berkurangnya berat konsentrat pada setiap tingkatan suhu. Semakin rendah berat konsentrat maka semakin sedikit kandungan total karotenoidnya, sebaliknya semakin tinggi berat konsentrat kandungan total karotenoidnya semakin meningkat. Histogram pada Gambar 18 menunjukkan pengaruh suhu terhadap recovery karotenoid konsentrat hasil fraksinasi CPO dengan berbagai pelarut pada perlakuan suhu rendah secara bertahap. 100.00
Recovery Karotenoid (%)
90.00
27oC
80.00
20oC
70.00
15oC
60.00
10oC
50.00 40.00
5oC
30.00
0oC
20.00
-10oC
10.00
-20oC
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Benzena Toluena Eter
Jenis Pelarut
Gambar 18. Histogram recovery karotenoid konsentrat hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Dari histogram tersebut dapat dilihat bahwa recovery karotenoid cenderung menurun seiring dengan penurunan suhu. Namun, pada sampel dengan pelarut aseton dan dietil eter terjadi penyimpangan. Recovery karotenoid pada sampel dengan pelarut
aseton justru meningkat pada penurunan suhu 0oC ke -10oC. Sedangkan recovery karotenoid sampel dengan pelarut dietil eter kembali meningkat ketika suhu diturunkan dari 5oC ke 0oC. Penyimpangan ini terjadi karena terbentuknya kristal halus yang mudah buyar sehingga pemisahan menjadi tidak efisien akibatnya sebagian fraksi cair ikut bercampur dengan fraksi padat. Hal ini menyebabkan berat konsentrat meningkat (Gambar 16) dan recovery
karotenoidnya
pun
mengalami
peningkatan
pada
penurunan suhu tersebut. Penurunan recovery karotenoid karena adanya penurunan suhu dipengaruhi oleh banyaknya pelarut yang ikut mengendap dengan fraksi padat. Berdasarkan Lampiran 20 dapat diketahui bahwa rata-rata bobot pelarut yang teruapkan semakin berkurang dengan semakin rendahnya suhu. Misalnya, pada pelarut aseton, dengan volume pelarut 8 ml, maka pelarut aseton yang seharusnya teruapkan adalah 6.3200 gram tetapi pada suhu fraksinasi -20oC aseton yang teruapkan hanya 3.9270 gram. Pelarut yang seharusnya mampu mengikat karotenoid dalam bentuk fraksi cair justru sebagian ikut terperangkap dalam komponen-komponen lemak pada fraksi padat sehingga pengikatan terhadap karotenoid menjadi tidak optimal. Hal ini menyebabkan recovery karotenoid pun ikut berkurang seiring dengan penurunan suhu. (4) Tingkat pemekatan karotenoid Tingkat pemekatan karotenoid dihitung sebagai perbandingan konsentrasi karotenoid konsentrat dengan konsentrasi karotenoid awal CPO. Histogram pada Gambar 19 menunjukkan pengaruh suhu terhadap tingkat pemekatan karotenoid pada berbagai jenis pelarut.
Tingkat
karotenoid
produk
karotenoid
pada
pemekatan
sebanding
konsentrat, konsentrat
semakin
maka
dengan
konsentrasi
tinggi
konsentrasi
semakin
tinggi
tingkat
pemekatannya. Berdasarkan Gambar 19, pemekatan karotenoid cenderung meningkat dengan adanya penurunan suhu.
4.00
27oC
3.50
20oC
3.00
15oC
Tingkat Pemekatan 2.50 Karotenoid 2.00 (kali)
10oC 5oC
1.50
0oC
1.00
-10oC
0.50
-20oC
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Benzena Eter
Toluena
Jenis Pelarut
Gambar 19. Histogram tingkat pemekatan karotenoid hasil fraksinasi CPO pada penurunan suhu secara bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) c. Pengaruh jenis pelarut Pelarut aseton, heksana, petroleum eter, benzena, dan toluena yang digunakan dalam tahap 2 ini memiliki tingkat kepolaran yang berbeda. Hal ini akan mempengaruhi daya larutnya terhadap senyawa karotenoid
yang
diinginkan.
Titik
leleh
pelarut
juga
akan
mempengaruhi proses pengkristalan komponen lemak CPO pada saat fraksinasi dilakukan pada suhu rendah secara bertahap. Asam-asam lemak pada CPO memiliki titik leleh yang berbeda dengan pelarut sehingga dengan adanya intersolubilitas atau kelarutan antara pelarut dengan komponen lemak CPO maka titik leleh pelarut akan mempengaruhi titik leleh masing-masing asam lemak yang menyusun komponen lemak pada CPO. Proses kelarutan pada zat terlarut (solut) terjadi dalam tiga tahap yaitu zat terlarut terpisah satu sama lain, pelarut dapat memisahkan molekul zat terlarut yang dilarutkan, selanjutnya zat terlarut dan pelarut dapat berinteraksi membentuk larutan. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan karotenoid harus mampu melarutkan karotenoid secara spontan, artinya tidak menggunakan suhu tinggi karena pada suhu tinggi karotenoid sangat mudah terdegradasi. Reaksi pelarutan
spontan dapat terjadi jika interaksi solut dengan pelarut sama kuat. Solut dan pelarut keduanya polar atau keduanya non polar (Casiday dan Frey, 2001). Perbedaan
sifat
pelarut
dalam
melarutkan
karotenoid
berpengaruh terhadap karakter proses fraksinasi CPO pada suhu rendah secara bertahap. Pengaruh pelarut terhadap beberapa karakter proses fraksinasi CPO dapat dilihat berdasarkan berat konsentrat yang dihasilkan, konsentrasi, recovery, dan tingkat pemekatan karotenoid serta kadar total tokoferol pada suhu fraksinasi terendah (suhu akhir fraksinasi).
(1) Berat konsentrat Histogram pada Gambar 20 menunjukkan pengaruh jenis pelarut terhadap berat konsentrat pada suhu akhir fraksinasi. 1.80
1.61 d
1.60
1.45 c
1.46 c
1.40 1.20
Berat Konsentrat 1.00 (g)
0.80 b
0.80
0.86 b
0.60 0.40 0.20
0.16 a
0.00 Aseton
Petroleum Heksana Dietil Eter Toluena Eter
Benzena
Jenis Pelarut Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Gambar 20. Histogram berat konsentrat hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Berdasarkan histogram di atas dapat dilihat bahwa berat konsentrat hasil fraksinasi CPO cenderung tinggi pada sampel dengan pelarut-pelarut yang bersifat non polar. Pelarut-pelarut
yang bersifat non polar seperti heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, dan toluena, selain mempunyai daya larut yang baik terhadap senyawa karotenoid, pelarut-pelarut ini juga memiliki daya larut yang baik terhadap komponen lemak selain karotenoid dalam CPO. Oleh karena itu, fraksi cair yang dihasilkan masih cukup tinggi walaupun sudah ada penurunan suhu. Tingginya berat konsentrat juga dipengaruhi oleh pembentukan kristal yang terjadi pada setiap penurunan suhu. Misalnya, pada pelarut benzena dan toluena, laju kristalisasi cenderung lambat sehingga rendemen fraksi padat yang terbentuk cenderung kecil seperti dapat dilihat pada Gambar 14. Semakin kecil rendemen fraksi padat maka berat konsentrat akan semakin tinggi sehingga konsentrat yang dihasilkan pada suhu akhir fraksinasi beratnya masih tinggi. Berbeda dengan pelarut-pelarut lain yang bersifat non polar. Aseton bersifat semipolar sehingga memiliki daya larut terhadap CPO yang tidak terlalu tinggi. Dengan semakin rendah suhu fraksinasi, fraksi padat yang terbentuk semakin bertambah sehingga fraksi cairnya semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan berat konsentrat pada suhu akhir fraksinasi menjadi sangat kecil. Aseton memiliki titik leleh yang berbeda dengan komponen lemak yang terlarut di dalamnya. Komponen lemak akan mengalami penurunan titik leleh karena dipengaruhi aseton yang memiliki titik leleh sangat rendah yaitu -94.9oC. Namun, karena aseton bersifat semipolar sedangkan komponen lemak dalam minyak bersifat non polar maka pengaruh intersolubilitas tidak terlalu besar. Artinya, kelarutan komponen lemak dalam aseton rendah sehingga hanya sebagian kecil komponen lemak yang titik lelehnya terpengaruh oleh titik leleh aseton. Dengan demikian sebagian besar komponen lemak akan mudah membeku. Hasil analisis ragam (Lampiran 21) menunjukkan bahwa jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap berat konsentrat
karotenoid (Sig<0.05). Berdasarkan uji beda Duncan (Lampiran 22), berat konsentrat aseton berbeda nyata dengan pelarut lainnya.
(2) Konsentrasi karotenoid Histogram pada Gambar 21 menunjukkan pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid pada suhu akhir fraksinasi. Konsentrasi karotenoid terendah dihasilkan oleh sampel dengan pelarut benzena yaitu 462.98 ppm pada suhu fraksinasi 0oC. Selanjutnya diikuti oleh sampel dengan pelarut dietil eter dan toluena menghasilkan konsentrasi karotenoid sebesar 519.58 ppm (0oC) dan 520.90 ppm (-10oC). Heksana dan petroleum eter mampu menghasilkan konsentrasi karotenoid sebesar 769.33 ppm dan 776.65 ppm pada suhu fraksinasi -20oC lebih tinggi dibandingkan pelarut benzena, dietil eter, dan toluena. Konsentrasi tertinggi dihasilkan oleh sampel dengan pelarut aseton yaitu 1762.92 ppm pada suhu fraksinasi -20oC. 2000 1762.92 d
1800 1600 1400
Konsentrasi Karotenoid (ppm)
1200 1000 769.33 c
800 600
462.98 a
519.58 b
776.65 c
520.90 b
400 200 0
Benzena Dietil Eter Toluena Heksana Petroleum Aseton Eter Jenis Pelarut Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Gambar 21. Histogram konsentrasi karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v)
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 23) nilai probabilitas (Sig.) <0.05. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap konsentrasi karotenoid produk konsentrat akhir. Berdasarkan uji beda Duncan (Lampiran 24) konsentrasi karotenoid tertinggi dihasilkan oleh sampel dengan pelarut aseton yang berbeda nyata dengan pelarut lainnya. Aseton
sebagai
pelarut
karotenoid
telah
digunakan
sebelumnya oleh Masni (2004) untuk mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit yang dikombinasikan dengan pelarut heksana. Hasil penelitian Masni (2004) menunjukkan bahwa dengan campuran
heksana/aseton
(10:1
v/v)
dihasilkan
konsentrat
karotenoid dengan konsentrasi 1283 µg/g dari konsentrasi karotenoid awal pada limbah serat sawit sebesar 639 µg/g. Sedangkan pada kondisi optimum yaitu perbandingan serat sawit/pelarut (1:20 b/v), tingkat pengulangan ekstraksi 4 kali, dan waktu ekstraksi 30 menit diperoleh konsentrasi karotenoid sebesar 1825 µg/g. Pada penelitian ini pelarut aseton digunakan tanpa dikombinasikan
dengan
pelarut
lain.
Hasilnya
diperoleh
konsentrasi karotenoid sebesar 1762.92 µg/g dari konsentrasi karotenoid awal CPO sebesar 492.97 µg/g terlihat peningkatan konsentrasi
sedikit
lebih
besar
dari
hasil
penelitian
ini
dibandingkan dengan penelitian Masni (2004). Secara umum CPO terdiri dari komponen utama trigliserida dan karotenoid. Trigliserida diduga lebih bersifat non polar dari pada komponen karotenoid. Karotenoid dibagi menjadi empat golongan, dua di antaranya adalah karotenoid hidrokarbon dan xantofil yang mengandung oksigen dan hidroksil yang bersifat lebih polar. Untuk melarutkan senyawa karotenoid yang bersifat lebih polar dari pada trigliserida sebaiknya digunakan pelarut dengan kepolaran yang hampir sama dengan karotenoid yaitu pelarut yang bersifat semipolar contohnya isopropanol (Hasanah, 2006).
Aseton termasuk ke dalam pelarut semi polar dengan nilai konstanta dielektrik 20.7 (Weast dan Astle, 1983). Aseton memiliki interaksi lemah dan zat yang dilarutkan yaitu karotenoid juga memiliki interaksi van der Waals yang lemah, maka karotenoid akan larut membentuk ikatan van der Waals dengan molekul pelarut aseton. Karena karotenoid memiliki kelarutan yang baik dalam aseton maka konsentrasinya meningkat. Konsentrasi karotenoid pada sampel dengan pelarut aseton yaitu 1762.92 ppm pada suhu fraksinasi -20oC. Konsentrasi ini merupakan nilai tertinggi di antara pelarut-pelarut lainnya. Aseton yang bersifat semi polar juga memberikan keuntungan dalam proses pemisahan fraksi padat dengan fraksi cair. Trigliserida yang bersifat lebih non polar dari pada karotenoid memiliki kelarutan yang rendah dalam aseton sehingga tidak banyak terlarut dalam fraksi cair dan tidak mempengaruhi konsentrasi karotenoid dalam fraksi cair. Heksana dan petroleum eter menghasilkan konsentrasi karotenoid yang tidak berbeda jauh yaitu 769.33 ppm dan 776.65 ppm. Hal ini dikarenakan kedua pelarut memiliki tingkat kepolaran yang sama yaitu berada pada deretan paling atas pada deret eluotropi tingkat kepolaran pelarut (Gritter et al., 1991). Heksana dan petroleum eter bersifat non polar sehingga mampu melarutkan karotenoid yang juga bersifat non polar. Selain itu, sampel dengan pelarut heksana dan petroleum eter juga memiliki karakteristik pemisahan yang baik. Kristal yang terbentuk cukup kompak sehingga memudahkan pemisahan fraksi cair dan fraksi padat. Fraksi cair yang berwarna jingga menunjukkan bahwa karotenoid terlarut dengan baik pada pelarut heksana dan petroleum eter. Sedangkan fraksi padatnya berwarna kuning artinya kandungan karotenoidnya rendah. Oleh karena itu, konsentrasi karotenoid konsentrat yang dihasilkan cukup tinggi. Benzena
menghasilkan
konsentrat
dengan
konsentrasi
karotenoid paling rendah di antara pelarut lainnya. Walaupun
benzena bersifat non polar dan karotenoid juga bersifat non polar tetapi karakteristik pemisahannya kurang baik karena sampel dengan pelarut benzena hanya melalui proses fraksinasi pada dua tahap suhu yaitu 5oC dan 0oC. Hal ini terjadi karena benzena memiliki titik leleh yang tinggi yaitu 5.5oC. Pada suhu 5oC dan 0oC masih banyak komponen-komponen lemak CPO yang belum mengalami pengkristalan sehingga banyak yang ikut terlarut dalam fraksi cair dan berpengaruh terhadap nilai konsentrasi karotenoid. Bentuk kristal yang halus dan mudah buyar juga ikut mempengaruhi karena pemisahan fraksi yang terjadi menjadi tidak efisien. Konsentrasi karotenoid pada sampel dengan pelarut dietil eter tidak mengalami banyak peningkatan dari konsentrasi CPO awal. Kristal yang terbentuk pada sampel dengan pelarut dietil eter berupa kristal halus yang mudah buyar sehingga menyulitkan pemisahan. Sebagian dari fraksi padat yang terbentuk berwarna jingga menunjukkan bahwa masih banyak karotenoid yang tertinggal dalam fraksi padat sehingga mempengaruhi nilai konsentrasi karotenoid dalam fraksi cair. Sama halnya dengan dietil eter, toluena juga memiliki karakteristik pemisahan yang kurang baik. Kristal yang terbentuk berwarna jingga dan mudah buyar sehingga mudah bercampur kembali dengan fraksi cair pada saat dilakukan pemisahan fraksi.
(3) Recovery karotenoid Pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid pada suhu akhir fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan histogram pada Gambar 22 dapat diketahui bahwa recovery karotenoid cenderung menurun dengan semakin rendahnya tingkat kepolaran pelarut. Sampel dengan pelarut aseton memiliki recovery paling kecil diantara pelarut-pelarut lainnya karena fraksinasi berlangsung sampai suhu -20oC. Hal ini menyebabkan terjadinya
kristalisasi komponen lemak atau terbentuknya fraksi padat cukup tinggi sehingga karotenoid banyak yang terperangkap dalam fraksi padat. 90 80
76.7 a
76.04 a
74.84 a,b 68.94 b,c
70
64.54 c
Recovery 60 Karotenoid 50 (%) 40 28.58 d
30 20 10 0 Toluena Dietil Eter Benzena
Heksana Petroleum Aseton Eter Jenis Pelarut
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Gambar 22. Histogram recovery karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Hasil analisis ragam pada Lampiran 25, menunjukkan bahwa pengaruh jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap recovery karotenoid dengan nilai probabilitas <0.05. Berdasarkan uji beda Duncan (Lampiran 26) nilai recovery karotenoid pada sampel dengan pelarut aseton berbeda nyata dengan pelarut lainnya.
(4) Tingkat pemekatan karotenoid Pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan karotenoid dapat dilihat pada Gambar 23. Berdasarkan histogram tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pemekatan karotenoid paling tinggi diperoleh pada sampel dengan pelarut aseton sebesar 3.58 kali dan paling rendah pada sampel dengan pelarut benzena sebesar 0.94 kali. Hasil analisis ragam (Lampiran 27) menunjukkan bahwa jenis
pelarut berpengaruh nyata terhadap tingkat pemekatan karotenoid (Sig<0.05). Berdasarkan uji beda Duncan (Lampiran 28), tingkat pemekatan pada sampel dengan pelarut aseton berbeda nyata dengan pelarut lainnya. 4.00
3.58 a 3.50 3.00
Tingkat Pemekatan Karotenoid (kali)
2.50 2.00
1.58 b
1.56 b
1.50
1.06 c
1.05 c
Toluena
Dietil Eter
1.00
0.94 d
0.50 0.00 Aseton
Petroleum Eter
Heksana
Benzena
Jenis Pelarut Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Gambar 23. Histogram tingkat pemekatan karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Beberapa penelitian sebelumnya telah berhasil memekatkan karotenoid dengan berbagai metode dan hasil pemekatan yang berbeda. Hasanah (2006), berhasil memperoleh konsentrat karotenoid dengan metode ekstraksi pelarut diikuti dengan pemisahan menggunakan kromatografi kolom adsorpsi. Proses fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh Hasanah (2006). Namun terdapat perbedaan yaitu pada penelitian Hasanah, fraksinasi dilakukan pada suhu kamar sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada suhu rendah yang diturunkan secara bertahap. Berdasarkan penelitian Hasanah (2006), fraksinasi dengan menggunakan pelarut isopropanol
mampu meningkatkan konsentrasi karotenoid dari 498 ppm menjadi 744 ppm. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Hasanah (2006), hasil penelitian ini mengalami peningkatan konsentrasi lebih besar. Fraksinasi CPO dengan pelarut aseton yang berlangsung pada suhu rendah secara bertahap sampai suhu -20oC menghasilkan konsentrasi karotenoid sebesar 1762.92, recovery karotenoid 28.58%, dan tingkat pemekatan karotenoid 3.58 kali. Pada penelitian Hasanah (2006), konsentrat karotenoid dari hasil fraksinasi dengan pelarut kembali dipekatkan dengan menggunakan
kromatografi
kolom
adsorpsi
dan
diperoleh
konsentrasi karotenoid 7538 µg/g (tingkat pemekatan 15 kali) dan recovery karotenoid 48.45%. Sulaswatty (1998) juga berhasil memekatkan karotenoid dari metil ester minyak sawit dengan teknik fluida superkritik hingga 39 kali dan rendemen karotenoid sebesar 42%. Latip et al., (2001) juga melakukan pemekatan karotenoid dari CPO dengan metode adsorpsi menggunakan adsorben sintetis (polimer) yang diikuti dengan ekstraksi pelarut. CPO dilarutkan ke dalam isopropanol pada suhu yang berbeda yaitu 40oC, 55oC, dan 80oC dengan perlakuan waktu 0.5, 1.0, 2.0, dan 2.5 jam. Setelah dilakukan proses adsorpsi, karoten diekstrak menggunakan heksana. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi karotenoid menjadi 20000 ppm atau meningkat sekitar 33.3 kali. Recovery karotenoid diperoleh sebesar 16-74% tergantung pada kondisi proses. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian-penelitian tersebut, tingkat pemekatan karotenoid yang diperoleh pada penelitian ini masih cukup rendah sehingga perlu adanya perbaikan kondisi fraksinasi. Hasil kajian karakter proses fraksinasi CPO dengan berbagai pelarut organik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa untuk
mendapatkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi tinggi pelarut yang cocok adalah pelarut dengan tingkat kepolaran yang tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi (semi polar). Apabila digunakan pelarut yang tingkat kepolarannya rendah maka selain melarutkan karotenoid, komponen lemak selain karotenoid juga ikut terlarut. Pelarut aseton termasuk ke dalam pelarut semi polar. Namun, titik leleh aseton yang sangat rendah (-94.9oC) cukup berpengaruh terhadap kristalisasi komponen lemak selama proses pemisahan fraksi padat dan cair. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut karena peningkatan pemekatan kemungkinan masih bisa terjadi apabila fraksinasi dilakukan pada suhu yang lebih rendah daripada suhu fraksinasi yang dilakukan dalam penelitian ini.
(5) Kadar tokoferol dalam konsentrat Selain kandungan karotenoidnya yang tinggi, minyak sawit juga mengandung komponen tokoferol. Komponen tokoferol merupakan antioksidan alami yang memiliki aktivitas vitamin E. Kombinasi vitamin E dan karotenoid dilaporkan mampu bertindak sebagai pemusnah radikal bebas (Anwar, 2002). Oleh karena itu, selain mengetahui kandungan karotenoidnya maka perlu dilakukan juga analisis kandungan tokoferol dalam konsentrat. Kadar tokoferol dalam konsentrat dihitung berdasarkan kurva standar tokoferol. Standar adalah suatu bahan yang mempunyai kemurnian yang sangat tinggi, biasanya lebih dari 70% dari komponen yang diinginkan. Kurva standar tokoferol dalam penelitian ini memiliki persamaan garis y = 0.0034x – 0.0215. Nilai y menunjukkan absorbansi dan x menunjukkan konsentrasi tokoferol setiap 1 gram sampel. Nilai konsentrasi tokoferol dalam setiap gram konsentrat hasil fraksinasi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 24.
1400 1210 b
1200 1060 a,b 928 a
1000
Konsentrasi Tokoferol (ppm)
1062 a,b
1071 a,b
1104 a,b
980 a
800 600 400 200 0 Aseton
Toluena
Benzena Dietil Eter Petroleum Eter
CPO
Heksana
Jenis Pelarut
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Gambar 24. Histogram kadar tokoferol konsentrat hasil fraksinasi CPO pada suhu akhir fraksinasi dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Gambar 24 menunjukkan pengaruh jenis pelarut terhadap kadar
tokoferol
dalam
produk
akhir
konsentrat.
Apabila
dibandingkan, nilai kandungan tokoferol pada masing-masing konsentrat dengan perlakuan jenis pelarut yang berbeda tidak berbeda jauh dengan kadar tokoferol pada bahan baku CPO. Konsentrat hasil fraksinasi dengan pelarut aseton, toluena, benzena, dietil eter, dan petroleum eter nilai konsentrasi tokoferolnya lebih kecil dibandingkan dengan bahan baku CPO awal. Sedangkan dengan perlakuan pelarut heksana nilai konsentrasi tokoferol yang diperoleh sedikit lebih besar. Namun, berdasarkan analisis ragam (Lampiran 29) perlakuan jenis pelarut ini tidak berpengaruh nyata terhadap kadar tokoferol dalam konsentrat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan konsentrasi tokoferol setelah dilakukan fraksinasi CPO pada suhu rendah secara bertahap dengan pelarut yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis kadar tokoferol dalam konsentrat, tidak terjadinya perubahan yang nyata pada
konsentrasi tokoferol mengindikasikan bahwa tokoferol tidak dipengaruhi keadaannya walaupun dilarutkan pada pelarut yang berbeda. Tokoferol tetap terdistribusi secara merata pada seluruh bagian sampel baik pada fraksi cair maupun fraksi padat. Kondisi ini diduga karena titik beku tokoferol yang tinggi dan stabilitas suhunya yang sangat baik. Komponen α-tokoferol memiliki titik leleh 2.5oC-3.5oC (Anonim, 2007d). Tokoferol bersifat tidak larut air, larut dalam lemak, alkohol serta pelarut organik seperti aseton, kloroform, eter dan sebagainya serta minyak nabati (Ball, 1988). Menurut Andarwulan dan Koswara (1989), tokoferol berbentuk minyak kental berwarna kuning sampai kuning pucat. Ball (1988) juga mendeskripsikan tokoferol murni berbentuk minyak kental dan berwarna kuning pucat. Kemungkinan komponen tokoferol larut ke dalam pelarut tetapi sebagian besar tertinggal di fraksi padat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Mutu bahan baku CPO yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi spesifikasi mutu CPO yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2901-1992. CPO memiliki kelarutan sempurna dengan pelarut heksana, petroleum eter, benzena, toluena, karbon tetraklorida, dan dietil eter pada perbandingan 1:4 b/v di suhu kamar (27oC). Sedangkan dengan pelarut aseton, isopropanol, metanol, dan etanol CPO terpisah menjadi fraksi padat dan fraksi cair pada suhu kamar (27oC). Pada seleksi pelarut tahap 1, pelarut-pelarut yang menghasilkan konsentrasi dan recovery karotenoid cukup tinggi adalah aseton, heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, dan toluena. Konsentrasi dan recovery karotenoid sampel dengan pelarut aseton sebesar 528.37 ppm (76.08%), heksana 519.16 ppm (77.09%), petroleum eter 526.89 ppm (82.04%), dietil eter 497.08 ppm (78.89%), benzena 462.94 ppm (80.12%), dan toluena 590.90 ppm (82.015%). Pelarut-pelarut ini dinyatakan lolos seleksi pelarut tahap 1 dan selanjutnya diseleksi kembali pada seleksi pelarut tahap 2. Sedangkan pelarut-pelarut yang tidak lolos seleksi tahap 1 adalah etanol, metanol, isopropanol, dan karbon tetraklorida. Konsentrasi karotenoid paling tinggi dihasilkan oleh pelarut toluena yaitu 590.90 ppm dengan recovery karotenoid 82.15% pada suhu fraksinasi -20oC. Tingkat pemekatan yang diperoleh untuk masing-masing sampel pada seleksi tahap 1 masih sangat kecil. Perlakuan suhu rendah secara bertahap mulai dari suhu 27, 20, 15, 10, 5, 0, -10, hingga -20oC pada seleksi pelarut tahap 2 berpengaruh terhadap rendemen fraksi cair, berat konsentrat, konsentrasi karotenoid, recovery karotenoid, dan tingkat pemekatan. Semakin rendah suhu, rendemen fraksi padat, konsentrasi karotenoid, dan tingkat pemekatan karotenoid semakin meningkat. Sebaliknya, semakin rendah suhu, rendemen fraksi cair, berat konsentrat, dan recovery karotenoid semakin menurun. Fraksi padat yang terbentuk pada sampel dengan pelarut heksana, petroleum eter, dan aseton berbentuk kristal padat cukup kompak sehingga pemisahan fraksi padat dan
fraksi cair lebih mudah. Sedangkan, fraksi padat yang terbentuk pada sampel dengan pelarut dietil eter, benzena, dan toluena berbentuk kristal halus dan mudah buyar sehingga menyulitkan proses pemisahan fraksi padat dan fraksi cair. Jenis pelarut aseton, benzena, dietil eter, heksana, petroleum eter, dan toluena berpengaruh nyata terhadap berat konsentrat, konsentrasi karotenoid, recovery karotenoid, dan tingkat pemekatan karotenoid. Pelarut aseton yang bersifat semi polar menghasilkan konsentrasi dan tingkat pemekatan karotenoid paling tinggi tetapi berat konsentrat dan recovery karotenoidnya paling rendah. Aseton memiliki daya larut yang baik terhadap karotenoid dan lebih sedikit melarutkan komponen-kompoenen lemak CPO. Heksana dan petroleum eter bersifat non polar dengan fraksi padat berupa kristal padat (kompak) menghasilkan konsentrasi karotenoid dan tingkat pemekatan cukup tinggi. Sedangkan benzena, dietil eter, dan toluena juga bersifat non polar dengan fraksi padat berupa kristal halus mudah buyar menghasilkan konsentrasi dan tingkat pemekatan karotenoid rendah. Hasil seleksi pelarut tahap 2 menunjukkan bahwa sampel dengan pelarut aseton memiliki konsentrasi karotenoid tertinggi yaitu 1762.92 ppm dan tingkat pemekatan 3.58 kali pada suhu fraksinasi -20oC. Tetapi recovery karotenoidnya masih sangat rendah yaitu 28.58%. Konsentrasi karotenoid paling rendah dihasilkan oleh pelarut benzena yaitu 462.98 ppm dengan recovery karotenoid 74.84% pada suhu fraksinasi -20oC. Sedangkan untuk kadar tokoferol, jenis pelarut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kadar tokoferol dalam konsentrat karotenoid.
B. SARAN Pelarut yang digunakan pada fraksinasi CPO untuk mendapatkan konsentrat karotenoid sebaiknya memiliki tingkat kepolaran yang tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi (semi polar), karena apabila digunakan pelarut yang tingkat kepolarannya rendah maka komponen lemak selain karotenoid juga ikut terlarut. Sedangkan apabila digunakan pelarut yang tingkat kepolarannya
tinggi (polar) maka pelarut akan sulit melarutkan karotenoid yang cenderung bersifat non polar. Pelarut aseton dengan perbandingan CPO terhadap pelarut 1:4 b/v menghasilkan konsentrasi dan tingkat pemekatan karotenoid paling tinggi tetapi recovery karotenoidnya masih sangat rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian optimasi perbandingan CPO dan pelarut atau melakukan ekstraksi ulang terhadap fraksi padat. Pemisahan fraksi cair dan fraksi padat dapat dilakukan menggunakan sentrifugasi dingin sehingga karotenoid yang masih terperangkap di dalam fraksi padat dapat terekstrak secara optimal sehingga recovery karotenoid dapat ditingkatkan. Selain itu, agar tetap diperoleh konsentrasi karotenoid yang tinggi dan recovery karotenoidnya dapat meningkat,
bisa
dilakukan
kombinasi
pengunaan pelarut antara aseton yang menghasilkan konsentrasi karotenoid tinggi dengan pelarut heksana yang menghasilkan recovery karotenoid cukup tinggi, harganya lebih murah dari pelarut lain, dan memiliki karakteristik pemisahan yang baik. Untuk meningkatkan pemekatan karotenoid, fraksinasi bisa dilakukan pada suhu yang lebih rendah daripada suhu fraksinasi dalam penelitian ini karena profil pemekatan menunjukkan semakin meningkat dengan semakin rendahnya suhu. Pengembangan produk untuk konsentrat karotenoid yang dihasilkan salah satunya dengan melakukan mikroenkapsulasi sehingga diperoleh produk enkapsulat karotenoid yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut sebagai food ingredient atau pewarna alami karena penanganannya menjadi lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan, N dan Sutrisno K. 1989. Kimia Vitamin. Rajawali Press, Jakarta. Anonim, 2007a. Diethyl Ether. http://www.wikipedia.org/wiki/diethyl ether. [26 April 2007]. Anonim, 2007b. Toluene. http://en.wikipedia.org/wiki/Main_Page.[ 12 Juni 2007] Anonim, 2007c. Hexane. http://en.wikipedia.org/wiki/Hexane. [14 Juli 2007] Anonim,2007d. Vitamin E - Structure and Chemistry. http://www.uic.edu/Vitamin E Chemistry.htm. [26 November 2007] Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). 2005. Toxicological Profile for Carbon Tetrachloride (Update). Department of Public Health and Human Services, Public Health Service, Atlanta. Anwar, F. 2002. Minyak Sawit Bikin Jantung Sehat dan Awet Muda. http://www.kompas cyber media.co.id. [5 April 2007] AOAC. 1995 . Official Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto, 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Badan Pusat Statistik, 2005. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. http://www.bps.go.id/sector/agri/kebun/table 3.shtm. [21 September 2007] Bailey, A.E., 1994. Melting and Solidification of Fats. Interscience Publ., Inc., New York. Ball, G.F.M. 1988. Fat Soluble Vitamins Assay in Food Analysis. Elsevier Science Publish. Co. Inc., New York. Basiron, Y. 1996. Palm Oil. Di dalam Y.H Hui (ed). Edible Oil and Fat Products: Oil and Oilseeds. A Wiley-Interscience Publication John Wiley and Sons Inc., New York. Belitz, H.D dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, New York. Bieri, J.G. 1987. Vitamin E. Di dalam R.E Olson dan H.P Broquist (eds). Vitamin. PT.Gramedia, Jakarta.
Burdick, D dan D. Fletcher. 1985. Carotene-xanthophyll in field-wilted and dehydrated alfafa and coastal bermuda grass. J. Agric Foof Chem. 33 (2):235-238. Casiday, R dan R. Frey. 2001. Nutrients and Solubility. Department of Chemistry Washington University St. Louis, MO 63130. Chichester, C.D. dan Mc. Feeters. 1970. Pigment degeneration during processing and storage. Di dalam A.C. Hulme (ed). Biochem of Fruits and Vegetable. Food Sci. & Techn Vol. I, London. Choo Y.M., S.C. Yap, A.S.H. Ong, C.K. Ooi and S.H. Gog 1989. Palm oil carotenoid: chemistry and technology. Proc. Of Int. Palm Oil Conf. PORIM, Kuala Lumpur. Davenport, J.B. 1971. Physical Chemistry of Lipids. Di dalam A.R. Johnson dan J.B. Davenport (eds). Biochemistry and Methodology of Lipids. WilleyInterscience, New York. Draper, H.H. 1970. The Tocopherol. Di dalam R.A Morton (ed). Fat Soluble Vitamins. Biochemistry Dept, Johnston Laboratories, University of Liverpool. FDA. 1987. Food Drug Administration Advisory Committee on Protocols for Safety Evaluations : Panel on Reproduction Report on Reproduction Studies in The Safety Evaluation of Food Additive and Pesticide Residues, Toxicology and Applied Pharmacology. 16:264. Fennema O.R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc., New York. Fogerty, A.C. 1971. Nonchromatographic Methods for the Separation and Analysis of Lipids. Di dalam A.R. Johnson dan J.B. Davenport (eds). Biochemistry and Methodology of Lipids. Willey-Interscience, New York. Gritter, R.J., J.M. Bobbit, dan A. B. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. Terjemahan. Kosasih Padmawinata. ITB, Bandung. Gross J., 1991. Pigments in Vegetables, Chlorophyls and Carotenoids. Van Nostrand Reinhold, New York. Gunstone, F. D dan F. B Padley. 1997. Lipids Technologies and Applications. Marcel Dekker Inc., New York. Gunstone, F. D dan F.A Norris. 1983. Lipids in Foods Chemistry, Biochemistry and Technology, Pergamon Press, Oxford. Hamilton, R.I. 1995. Development in Oil and Fats. Chapman and Hall, New York.
Hasanah, U. 2006. Proses Produksi Konsentrat Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Kolom Kromatografi Adsorpsi. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Indonesian Palm Oil Commission. 2005. Indonesian Palm Oil Statistic 2005. IPOC, Jakarta. Ittah, Y., J. Kanner, R. Granit. 1993. Hydrolysis study of carotenoid pigments of paprica by HPLC photodiode detection. J. Agric Food Chem. 41(6):899901. Iwasaki R. and M. Murakoshi., 1992. Palm oil yields carotene for word markets oleochemicals. Inform, 3(2) : 210 – 217. Jacobs, M. B and L. Scheflan. 1953. The Handbook of Solvents. D. Van Nostrand Company, Inc. New York. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta. Klaui, H. dan Bauerfeind, J.C. 1981. Carotenoid as Food Colors. Di dalam J. C. Bauernfeind, (ed). Carotenoids As Colorants and Vitamin A Precursor. Academic Press, New York. Kuswardhani, D.S. 2007. Profil Pemekatan Karotenoid dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Fraksinasi Bertahap. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Lubis, A.U., 1992. Kelapa Sawit di Indonesia, Sugraf Offset, Marihat, India. Latip, R.A., B.S. Baharin, Y.B. Che Man, dan R.A. Rahman. 2001. Effect of adsorption and solvent extraction process on the percentage of carotene extracted from crude palm oil. J Am Oil Chem Soc. 78: (83-87). Lehninger, A.L.1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Worth Publ. Inc., New York. Terjemahan. M. Thenawijaya. 1993. Penerbit Erlangga, Jakarta. Linder, 1991. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical Applications. Edisi kedua. Pretice-Hall International, Inc., California. Mappiratu. 1990. Produksi β-Karoten pada Limbah Cair Tapioka dengan Kapang Oncom Merah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Masni. 2004. Kajian Pemanfaatan Limbah Serat Sawit sebagai Sumber Karotenoid. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. May, C.Y. 1994. Palm oil carotenoids food and nutrition. Food and Nutrition Bulletin 15(2):130-136.
Meyer, L.H. 1966. Food Chemistry, 4th Edition. Reinhold Publishing Corp., New York. Moran, D. P. J. and K.K. Rajah. 1994. Fats in Food Products. Chapman & Hall, New York. Muchtadi, T. R. 1992. Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit (Elaeis Guineesis, Jacq.) dalam Rangka Optimalisasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. Muchtadi, T. R. 1996. Peranan Teknologi Pangan dalam Peningkatan Nilai Tambah Produksi Minyak Sawit Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, Bogor. Muhilal. 1991. Minyak sawit suatu produk nabati untuk penanggulangan atherosclerosis dan penundaan proses penuaan. Prosiding Seminar Nilai Tambah Minyak Kelapa Sawit untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan. Jakarta. Mullin, J.W. 1993. Crystallization. Reed Educational and Professional Publishing, Ltd. London. Murni, S. 1983. Vitamin. Diktat Kuliah Bagian Ilmu Gizi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Naibaho, P.M. 1983. Pemisahan Karoten (Provitamin A) Palm Oil dengan Metode Adsorpsi . Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Ong, A.S.H., Choo, Y.M., and Ooi, C.K.1990. Development in palm oil. Di dalam Hamilton R.J. (Ed.), Development in Oil and Fats. Blackie Academic Profesional. Ooi, C.K., Y.M. Choo, S.C.Yap, Y. Basiron and A.S.H. Ong. 1994. Recovery of carotenoids from palm oil. J.Am. Oil Chem Soc. 71(4): 423-436. Pasaribu, N. 2004. Minyak Buah Kelapa Sawit. Repository Universitas Sumatera Utara. PORIM. 1995. PORIM Test Methods. Palm Oil Research Institute of Malaysia, Kuala Lumpur. Rahayu, S.D.T. 1996. Teknik Pemekatan β-karoten Minyak Sawit Kasar dengan Transesterifikasi dan Saponifikasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Rodriguez-Amaya, D.B dan M. Kimura. 2004. Harvest Plus Handbook for Carotenoid Analysis. IFPRI dan CIAT, Washington DC.
Rose, E dan Arthur. 1975. The Condensed Chemical Dictionary. Chapman and Hall, Ltd., London. Sesridha, L. 2000. Kajian Pengaruh Suhu dan Lama Fraksinasi terhadap Komposisi dan Sifat Fisiko-Kimia Fraksi Olein dari Minyak Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Minyak Pelumas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Shahidi, F dan P.K.J.P.D Wanasundara. 2002. Extraction and Analisis of Lipids. Di dalam CC. Akoh dan D.B. Min. Food Lipids, Chemistry Nutrition, and Biotechnology, Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York. Somaatmadja, D. 1981. Minyak Sawit untuk Persediaan Minyak Makan di Indonesia. Departemen Perindustrian, Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Bogor. Sonntag, N.O.V. 1979. Composition and Characteristics of Individual Fats and Oils. Di dalam D. Swern (ed). Baileys Industrial Oil and Fat Product Vol 1. Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York. Stahl, E. 1969. Thin Layer Chromatography. A Laboratory Handbook. 2nd. Springer-Verlag, New York. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1992. Minyak Kelapa Sawit. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-2901-1992). Standar Nasional Indonesia (SNI). 1995. Crude Palm Stearin. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-0019-1995). Standar Nasional Indonesia (SNI). 1998. Cara Uji Minyak dan Lemak. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. (SNI 01-3555-1998). Stevenson, D.E, A.S Roger dan H.F Richard. 1993. Glycerolysis of tallow with immobilized lipase. Biotechnology. Volume 15 (10):1043-1048. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sulaswatty, A. 1998. Karakteristik Pemekatan β-Karoten Minyak Sawit dengan Teknik Fluida CO2 Superkritik. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan Cara Solvent Extraction, BPIHP, Bogor.
Tirtaux, A. 1990. Dry fractionation : a Technology and an Art. Di dalam D.R. Erickson (ed). Edible Fats and Oils Processing-Basic Prinsiples and Modern Practices. World Conference Proceedings. J. Am. Oil Chem Soc., Champaign Illinois. Walfford, J. 1980. Development in Food Colours. Applied Science Publisher Ltd., London. Weast, R.C dan M.J Astle. 1982. Handbook Chemistry and Physics 63rd edition. CRC Press Inc, Florida. Weiss, T.J. 1983. Foods Oils and Their Uses. AVI Publishing Company, Inc., Weastport, Connecticut. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wong, M.L., R.E Tims, dan E.M. Goh. 1988. Colorimetric determination of total tocopherol in palm oil, olein, and stearin. J. Am. Oil Chem Soc. 65 (2).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil analisis kadar air sampel minyak sawit kasar (CPO) Ulangan 1 2
Berat Sampel + Cawan (g)
Berat cawan (g)
Berat sampel (g)
Berat Sampel Setelah Dioven (g)
6.4702 6.6831 6.5589 6.4720
5.0385 11.5038 5.0067 11.6854 5.0283 11.5828 5.0147 11.4818 Rata-rata Kadar Air (%)
5.0336 5.0023 5.0239 5.0098
Kadar Air (%) 0.10 0.09 0.09 0.10
Rata-rata Kadar Air (%) 0.10 0.10 0.10
Lampiran 2. Hasil analisis asam lemak bebas sampel minyak sawit kasar (CPO) Ulangan 1 2
Berat sampel (g)
Meniskus (ml) Awal
Akhir
Volume NaOH
Blanko
1.85 2.05 0.20 2.05 2.25 0.20 Rata-rata Volume NaOH Blanko 0.20 1 2.0183 0.50 14.90 14.40 2 2.0214 1.00 16.60 15.60 3 2.0248 0.00 15.20 15.20 4 2.0012 0.00 15.25 15.25 Rata-rata Nilai Asam Lemak Bebas
Volume NaOH-Blanko (ml)
Nilai ALB (%)
14.18 15.38 14.98 15.03
1.82 1.97 1.92 1.95 1.91
Lampiran 3. Hasil analisis bilangan iod sampel minyak sawit kasar (CPO) Ulangan 1 2
Berat sampel (g) Blanko
Meniskus (ml) Awal
Akhir
Volume Na2S2O3 terpakai (ml)
1.85 2.05 46.55 2.05 2.25 43.80 Rata-rata Volume Na2S2O3 Blanko 45.28 1 0.5036 0.00 27.95 27.95 2 0.5067 0.00 27.05 27.05 Rata-rata Nilai Asam Lemak Bebas
Volume Blanko Na2S2O3 (ml)
18.60 19.50
Nilai Bilangan Iod (g Iod/100g)
46.17 48.10 47.14
Lampiran 4. Hasil analisis total karoten sampel minyak sawit kasar (CPO) Ulangan 1
Berat Sampel (g) 0.5374
Absorbansi 1 2
[Karoten]
0.562
0.554
502.78
495.62
Rata-rata [Karoten] (ppm) 499.20
2
0.5393
0.548
0.544
488.53
484.96
486.74
1
2
Rata-rata Total Karoten
492.97
Lampiran 5. Kurva standar tokoferol Kurva Standar Tokoferol Murni 0,7 y = 0,0034x - 0,0215 R2 = 0,9992
0,6
Absorbansi
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
Konsentrasi (ug/g)
Lampiran 6. Hasil analisis total tokoferol sampel minyak sawit kasar (CPO) Ulangan
Berat Sampel (mg)
Blanko 1 2
Absorbansi
Asampel-Ablanko
[Tokoferol] (ppm)
Rata-rata [Tokoferol] (ppm)
0.053
200.1
0.801
0.748
1131.05
200.0
0.764
0.711
1077.21
200.2
0.798
0.745
1126.08
200.2
0.768
0.715
1082.01
Rata-rata Konsentrasi Tokoferol
1104.13 1104.04 1104.09
Lampiran 7. Kromatogram Gas Chromatography CPO (Ulangan 1)
Lampiran 8. Kromatogram Gas Chromatography CPO (Ulangan 2)
Lampiran 9. Nilai RF asam lemak Jenis Asam Lemak C 8:0 C 10:0 C 12:0 C 13:0 C 14:0 C 14:1 C 15:0 C 16:0 C 16:1 C 18:0 C 18:1 C 18:2 C 18:3 C 20:0 C 20:1 C 22:0 C 22:1
Area Asam Lemak 1424 2892 5960 2652 2563 1425 1437 10155 4836 6575 16304 7464 2545 859 1028 1071 1320
Konsentrasi SI (%w/w) 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2
Konsentrasi Asam Lemak (%w/w) 1.9 3.2 6.6 3.2 3.2 1.9 1.9 13 6.4 6.5 22.2 13 6.4 1.9 1.9 1.9 1.9
Area SI
RF
2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416 2416
1.01 0.84 0.84 0.91 0.94 1.01 1.00 0.97 1.00 0.75 1.03 1.31 1.90 1.67 1.40 1.34 1.09
Lampiran 10. Jumlah asam lemak CPO (Ulangan 1) Jenis Asam Lemak C 14:0 C 16:0 C 18:0 C 18:1 C 18:2 C 18:3
Area Asam Lemak 276 11557 1043 11460 3108 80
Area SI
mg SI
Wsampel (g)
355 355 355 355 355 355
1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19
0.1138 0.1138 0.1138 0.1138 0.1138 0.1138
mg Asam Lemak/100 g 764.2 33021.2 2304.2 34769.5 11993.0 447.7
%Asam Lemak/Total Asam Lemak 0.92 39.64 2.77 41.74 14.40 0.54
Lampiran 11. Jumlah asam lemak CPO (Ulangan 2) Jenis Asam Lemak C 10:0 C 14:0 C 16:0 C 18:0 C 18:1 C 18:2 C 18:3
Area Asam Lemak 61 398 16171 1142 14562 3912 102
Area SI
mg SI
Wsampel (g)
349 349 349 349 349 349 349
1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19
0.1489 0.1489 0.1489 0.1489 0.1489 0.1489 0.1489
mg Asam Lemak/100 g 117.3 856.7 35919.9 1961.3 34346.7 11735.4 443.8
%Asam Lemak/Total Asam Lemak 0.14 1.00 42.07 2.30 40.23 13.74 0.52
Lampiran 12. Konsentrasi dan recovery karotenoid hasil fraksinasi CPO pada suhu rendah yang diturunkan secara bertahap dengan berbagai pelarut Jenis Pelarut
Suhu Pemisahan (oC)
Lama Penyimpanan (Hari)
[Karotenoid] (µg/g) U1 U2
Ratarata
Berat Konsentrat (g) U1 U2
Aseton
Suhu Kamar
1
555.25
501.50
528.37
77.34
74.82
76.08
1.4219
Isopropanol
Suhu Kamar
1
430.27
429.34
429.80
49.26
40.49
44.88
Metanol
Suhu Kamar
1
124.28
134.97
129.62
1.64
1.71
Etanol
Suhu Kamar
1
299.48
350.36
324.92
6.17
Heksana
10
1
519.60
518.71
519.16
PE
10
1
528.84
524.94
Dietil Eter
0
2
500.02
Benzena
0
2
CCl4
> -10
Toluena
> -10
Ratarata
Recovery (%) U1 U2
Pemekatan Ratarata
U1
U2
Ratarata
1.5509
1.4864
1.10
0.99
1.05
1.2090
0.9695
1.0893
0.85
0.85
0.85
1.67
0.1354
0.1318
0.1336
0.25
0.27
0.26
14.38
10.27
0.2224
0.4245
0.3235
0.59
0.69
0.64
80.82
73.35
77.09
1.5795
1.4665
1.5230
1.04
1.03
1.03
526.89
83.19
80.90
82.04
1.6267
1.6705
1.6486
1.05
1.04
1.04
494.14
497.08
77.21
80.57
78.89
1.6095
1.6629
1.6362
0.99
0.98
0.98
467.75
458.14
462.94
81.42
78.81
80.12
1.8370
1.7492
1.7931
0.93
0.91
0.92
2
407.73
412.17
409.95
65.79
69.66
67.73
1.6995
1.7553
1.7274
0.81
0.82
0.81
2
585.14
596.66
590.90
77.39
86.90
82.15
1.3887
1.5179
1.4533
1.16
1.18
1.17
Lampiran 13. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid fraksi cair minyak sawit ANOVA karoten (ppm)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 317450,9 2944,661 320395,5
df 9 10 19
Mean Square 35272,319 294,466
F 119,784
Sig. ,000
Lampiran 14. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid fraksi cair minyak sawit ANOVA recovery (%)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 16902,063 167,618 17069,681
df 9 10 19
Mean Square 1878,007 16,762
F 112,041
Sig. ,000
Lampiran 15. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid fraksi cair minyak sawit karoten (ppm) Duncan
a
pelarut metanol etanol CCl4 isoprop benzena DE heksan PE aseton toluena Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 129,6250
2
Subset for alpha = .05 4 5
3
6
7
324,9200 409,9500 429,8000
1,000
1,000
429,8000 462,9450
,274
,082
462,9450 497,0800
,075
497,0800 519,1550 526,8900 528,3749 ,120
590,9000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 16. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap perolehan kembali karotenoid fraksi cair minyak sawit recovery (%) Duncan
a
pelarut metanol etanol isoprop CCl4 aseton heksan DE benzena PE toluena Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 1,6750 10,2750
Subset for alpha = .05 2 3
4
44,8750 67,7250 76,0800 77,0850
,062
1,000
,054
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
76,0800 77,0850 78,8900 80,1150 82,0450 82,1450 ,205
Lampiran 17a. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut aseton Suhu Pemisahan (oC) 27
20
15
10
Waktu Pemisahan
Kondisi Sampel Fraksi Cair
H1-H3
Warna jingga jernih
H7 H1-H2 H3
Dipisahkan dari fraksi padatnya. Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya.
H1 H2 H3
Warna jingga jernih
H1
Warna jingga jernih
Dipisahkan dari fraksi padatnya.
H2
5
0
H3 H1
Dipisahkan dari fraksi padatnya. Warna jingga jernih
H2
Dipisahkan dari fraksi padatnya
H1
Warna jingga jernih
H2 H3 H1
Dipisahkan dari fraksi padatnya
-10 -20
H2 H1
Dipisahkan dari fraksi padatnya Dipisahkan dari
H2
Dipisahkan dari fraksi padatnya
Fraksi Padat Fraksi padat berwarna kuning memisah sampai pada batas volume CPO awal, sebagian menempel di dinding tabung Tidak bertambah lagi Bertambah Tidak bertambah lagi Tidak ada penambahan Ada endapan2 kecil terapung - Tidak ada penambahan - Endapan terbagi 2: 1. kuning = padat 2. jingga = mudah buyar Muncul droplet2 lemak kecil2 terapung Droplet lemak mengendap, warna endapan kuning dan jingga, sebagian besar jingga Tidak bertambah lagi Bertambah,warna endapan kuning Tidak bertambah lagi Bertambah nempel di dinding tabung Endapan di dinding tabung mengendap Tidak bertambah lagi Bertambah menempel di dinding tabung Tidak bertambah lagi Tidak ada penambahan yang signifikan
Lampiran 17b. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut dietil eter Suhu Pemisahan (oC) 27
Waktu Pemisahan
20
H1-H4 H5
15
H1 H2
Warna jingga jernih
H3
Dipisahkan dari fraksi padatnya
10
H1
Warna jingga jernih
5
H2 H3 H1 H2 H1
0
H1-H7
H2 H3 -5
Kondisi Sampel Fraksi Cair
Fraksi Padat
Larut sempurna Warna jingga jernih
Tidak ada endapan Tidak ada endapan Ada endapan sedikit sekali di dasar tabung Bertambah Endapan terbagi 2: 1.Warna Kuning cukup kompak 2.Endapan mudah buyar Bertambah, tapi endapan paling atas mudah buyar. Endapan mudah buyar.
Dipisahkan dari fraksi padatnya Bertambah Tidak ada penambahan Bertambah, tapi berkabut dan mudah buyar pada saat akan dipisahkan Tidak ada penambahan Dipisahkan dari fraksi padatnya Tidak ada penambahan MENGENDAP SEMUA Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih
Lampiran 17c. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut heksana Suhu Pemisahan (oC) 27
Waktu Pemisahan
20
H3
15 10
H1-H3 H1
5
H2 H3 H1-H4 H5 H1-H2
Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih
H3 H1 H2 H1 H2
Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya
0 -10 -20
H1-H7
Kondisi Sampel Fraksi Cair Larut sempurna Warna jingga jernih
Fraksi Padat Tidak ada endapan Endapan kuning sangat sedikit di dasar tabung Tidak ada penambahan Endapan bertambah menempel di dinding tabung Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Bertambah sedikit menempel di dinding tabung Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan
Lampiran 17d. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut petroleum eter Suhu Pemisahan (oC) 27
Waktu Pemisahan
20
H3
15 10
H1-H3 H1
5
H2 H3 H1-H4 H5 H1-H2
Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih
H3 H1 H2 H1 H2
Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga jernih Dipisahkan dari fraksi padatnya
0 -10 -20
H1-H7
Kondisi Sampel Fraksi Cair
Fraksi Padat
Larut sempurna Warna jingga jernih
Tidak ada endapan Endapan kuning sangat sedikit di dasar tabung Tidak ada penambahan Endapan bertambah menempel di dinding tabung Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Bertambah sedikit menempel di dinding tabung Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan Tidak ada penambahan
Lampiran 17e. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut benzena Suhu Pemisahan (oC) 27, 20, 15, 10 5
Waktu Pemisahan
H1-H4 H5
0
H1-H2 H3
-5
Kondisi Sampel Fraksi Cair
Fraksi Padat
Larut semua warna jingga jernih
Tidak ada endapan
Warna jingga agak keruh
Endapan tipis warna jingga, mudah buyar (tidak padat) Tidak ada penambahn endapan
Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga agak keruh Dipisahkan dari fraksi padatnya BEKU
- Endapan jingga - Sulit memisahkan karena endapan mudah buyar Tidak ada penambahan endapan yang signifikan
Lampiran 17f. Deskripsi pengamatan secara visual hasil fraksinasi CPO dengan pelarut toluena Suhu Pemisahan (oC) 27, 20, 15, 10, 5, 0 5
Kondisi Sampel
Waktu Pemisahan
H1-H4 H5
0
H1-H2 H3
-10
Fraksi Cair Larut semua warna jingga jernih
Tidak ada endapan
Warna jingga agak keruh
Endapan tipis warna jingga, mudah buyar (tidak padat) Tidak ada penambahn endapan
Dipisahkan dari fraksi padatnya Warna jingga agak keruh Dipisahkan dari fraksi padatnya
H1 H2
Fraksi Padat
Dipisahkan dari fraksi padatnya
- Endapan jingga - Sulit memisahkan karena endapan mudah buyar Tidak ada penambahan endapan yang signifikan Endapan bertambah sedikit tapi mudah buyar (tidak padat) Tidak ada penambahan endapan yang signifikan
Lampiran 18. Rendemen fraksi padat dan fraksi cair hasil fraksinasi CPO pada suhu bertahap dengan berbagai pelarut (perbandingan 1:4 b/v) Jenis Pelarut Aseton
Dietil Eter
Heksan
Petroleum Eter
Benzena Toluena
Suhu Fraksinasi (oC) 27 20 15 10 5 0 -10 -20 15 10 5 0 10 5 0 -10 -20 10 5 0 -10 -20 5 0 5 0 -10
Rendemen Fraksi Padat (%) 14.02 26.72 35.60 49.78 77.43 81.53 76.80 92.01 10.71 31.41 34.21 27.88 7.63 18.46 19.10 49.58 58.25 7.95 21.47 21.68 45.98 62.44 10.27 20.27 11.91 17.68 27.3
Rendemen Fraksi cair (%) 85.98 73.28 64.40 50.22 22.57 18.47 23.20 7.99 88.29 68.59 65.79 72.12 92.37 81.54 80.90 50.42 41.75 92.05 78.53 78.32 54.02 37.56 89.73 79.73 88.09 82.32 72.57
Lampiran 19. Konsentrasi dan recovery hasil fraksinasi suhu bertahap dengan berbagai pelarut Jenis Pelarut
Aseton
Suhu Pemisahan (oC)
Lama Penyimpanan (Hari)
[Karotenoid] (µg/g) U1
U2
Rata-rata
Recovery (%) U1 U2
Ratarata
Berat Konsentrat (g) U1
U2
Rata-rata
Pemekatan U1
U2
Ratarata
27
7
540.33
531.64
535.99
93.91
93.04
93.48
1.7551
1.7370
1.7461
1.10
1.08
1.09
20
3
485.05
482.18
483.62
72.59
71.19
71.89
1.4863
1.4565
1.4714
0.98
0.98
0.98
15
3
484.14
499.12
491.63
61.30
67.20
64.25
1.2500
1.3400
1.2950
0.98
1.01
1.00
10
3
570.74
566.72
568.73
51.29
64.54
57.91
1.1271
0.8955
1.0113
1.15
1.16
1.15
5
2
688.37
718.24
703.31
34.38
29.90
31.14
0.4996
0.4135
0.4566
1.40
1.46
1.43
0
3
809.90
851.02
830.46
28.18
34.15
31.17
0.3467
0.4000
0.3734
1.64
1.73
1.68
-10
2
840.29
840.29
840.29
39.54
39.54
39.54
0.4690
0.4690
0.4690
1.70
1.70
1.70
-20
2
1762.92
1762.92
1762.92
28.58
28.58
28.58
0.1621
0.1621
0.1621
3.58
3.58
3.58
15
3
472.44
483.04
477.74
91.82
91.68
91.75
1.8193
1.7816
1.8005
0.96
0.98
0.97
10
3
484.48
484.48
484.48
71.48
71.48
71.48
1.3802
1.3802
1.3802
0.98
0.00
0.98
5
2
512.96
500.49
506.72
66.95
68.26
67.61
1.3005
1.3610
1.3308
1.04
1.02
1.03
0
3
514.84
524.32
519.58
73.08
78.99
76.04
1.4096
1.4895
1.4496
1.04
1.06
1.05
10
3
508.06
527.22
517.64
95.24
98.75
96.99
1.8534
1.8530
1.8532
1.03
1.07
1.05
5
5
507.26
498.74
504.88
84.40
82.63
83.52
1.6528
1.6331
1.6430
1.03
1.02
1.02
0
3
510.08
509.05
509.56
84.71
82.52
83.62
1.6615
1.5983
1.6299
1.03
1.03
1.03
-10
2
617.84
648.68
678.26
73.35
67.35
69.35
1.0590
0.9720
1.0155
1.36
1.39
1.38
-20
2
744.34
794.33
769.33
71.30
66.59
68.94
0.9240
0.8021
0.8631
1.51
1.61
1.56
Petroleum
10
3
529.08
521.68
525.38
97.54
98.66
98.10
1.8298
1.8862
1.8580
1.07
1.06
1.07
Eter
5
5
520.44
526.03
523.24
84.41
82.27
83.34
1.6164
1.5441
1.5803
1.06
1.07
1.06
0
3
525.12
517.77
521.44
82.83
82.85
82.84
1.5642
1.5938
1.5790
1.07
1.05
1.06
-10
2
676.41
673.67
675.04
74.36
73.58
73.97
1.0910
1.0858
1.0884
1.37
1.37
1.37
-20
2
776.65
776.65
776.65
64.54
64.54
64.54
0.7997
0.7997
0.7997
1.58
1.58
1.58
5
5
504.10
485.73
494.91
90.81
89.32
90.06
1.7845
1.8332
1.8089
1.02
0.99
1.00
0
3
479.53
446.42
462.98
76.60
73.09
74.84
1.5946
1.623
1.6088
0.97
0.91
0.94
5
5
500.38
465.32
482.85
89.94
82.67
86.30
1.8100
1.7700
1.7900
1.02
0.94
0.98
0
3
487.42
498.93
493.17
80.39
84.34
82.37
1.6600
1.6800
1.6700
0.99
1.01
1.00
-10
2
512.26
529.54
520.90
74.38
79.02
76.70
1.4347
1.4825
1.4586
1.07
1.06
Dietil Eter
Heksan
Benzena Toluena
1.04
Lampiran 20. Berat fraksi cair dan padat hasil fraksinasi suhu rendah secara bertahap Jenis Pelarut
Suhu Pemisahan (oC)
Ulangan
Bobot Fraksi Cair (gram)
27
1
7.1601
20 15 10 Aseton 5 0 -10 -20 15 10 5 Dietil Eter 0
2
6.8541
1
5.808
2
5.5279
1
5.5838
2
5.9415
1
5.316
2
4.4756
1
3.1874
2
3.1394
1
2.833
2
3.4254
1
4.0891
2
4.0891
1
2.7726
2
2.7726
1
5.6105
2
5.7402
1
3.5337
2
3.5337
1
4.4492
2
3.8069
1
5.0957
2 -5
5.2519
Rata-rata Bobot F.Cair (gram)
Bobot Fraksi Padat (gram)
Rata-rata Bobot F.Padat (gram)
1.0363 7.0071
1.2002 2.0315 2.1399 3.138 4.6431 5.9554 4.1441 4.0539
4.1441
1.1085 1.6021 2.3722 2.0241
5.1738
1.6756 MENGENDAP SEMUA
4.3845
6.3200
2.7259
2.7069
3.0254
2.7559
3.6201
3.6201
3.927
3.9270
3.9586
3.8749
2.1535 1.6021
2.7642 4.1281
3.5801
3.7912 1.2150
1.6021 3.5337
4.4677
3.927 4.0539
1.3214 5.6754
4.6015
3.6201
4.0539 2.7726
4.1966
2.4863 4.8119
4.1441 4.0891
4.0714
2.6878 4.7746
5.219 3.1292
5.2611
5.1889 2.8591
4.9061 3.1634
5.1171
4.3338 2.2820
2.5801 4.8958
Bobot pelarut Sebenarnya (gram)
4.3217 2.0083
2.4241 5.7627
Rata-rata Bobot Pelarut teruapkan (gram)
5.4050 1.1183
1.9851 5.6680
Bobot Pelarut yang teruapkan (gram)
2.1535
2.1535
3.1487 2.5682 1.8499
2.4459
2.7973
3.6861 3.7624
3.7243
5.7072
Lampiran 20. Berat fraksi cair dan padat hasil fraksinasi suhu rendah secara bertahap (lanjutan) 10 5 Petroleum Eter
0 -10
6.1846
2
6.3314
1
5.2497
2
4.7276
1
2.8209
2
5.4984
1
4.9454
2
4.7555
-20
1
3.5748
10
1
6.4508
2
6.5324
1
6.2657
5 0 Heksan -10 -20 5
Benzena
1
0
2
6.1365
1
6.1989
2
6.006
1
5.0089
2
4.2989
1
4.8286
2
4.5878
1
8.077
2
7.8241
1
6.5281
2
7.6796
0.6461 6.2580
0.8583 4.9887
Toluena
0 -10
1.0955
4.1597
0.7695
3.5748
2.1537 3.3331
1.19935
0.5035
3.3331
0.932
0.55785
1.0916 2.5178 2.6552
2.3903
0.4514 1.1053
2.7751
3.7621 2.7751
4.6794
4.6384
4.5034
4.5582
4.4077
4.4726
5.2384
3.3269
3.6384
3.7857
3.8452
6.2925 0.5140
1.7830 7.1039
3.6697
3.9046 2.5835
0.5766 7.9506
2.5807
3.9499
2.5118 4.7082
3.9046
4.5374 0.95985
2.2628 4.6539
5.28
4.6129 0.91045
0.8281 6.1025
3.4084
4.5974
0.8889 6.2011
3.1835
3.8544 2.14415
0.6122 6.4916
4.4000
1.2567
2.1346 4.8505
4.4452 3.6333
0.9769
1.6292
-5 5
0.6306
4.3548 0.63835
5.9909
6.1417
4.9335 1.4442
6.0566
5.4951
7.0288
MENGENDAP SEMUA 1
7.6933
2
7.3182
1
6.9735
2
8.0116
1
6.0611
2
6.3567
0.6825 7.5058
0.7478
5.8833 0.7152
1.4737 7.4926
0.6861 2.0006
5.7149
5.3135 1.0799
2.3971 6.2089
5.5465 6.3316
5.8226
4.6264 2.1989
4.8742
4.7503
6.9352
Lampiran 21. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap berat konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ANOVA Berat konsentratkarotenoid (gram)
Between Groups
Sum of Squares 3,049
Within Groups Total
df 5
Mean Square ,610
,012
6
,002
3,061
11
F 300,691
Sig. ,000
Lampiran 22.Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap berat konsentrat pada suhu akhir fraksinasi Berat konsentrat karotenoid (gram) Duncan
a
Subset for alpha = .05 pelarut Aseton
N 2
1 ,1621
2
3
4
Petroleum Eter
2
,7998
Heksana
2
,8631
Dietil Eter
2
1,4495
Toluena
2
1,4586
Benzena
2
Sig.
1,6088 1,000
,210
,847
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 23. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ANOVA Konsentrasi karotenoid (ppm)
Between Groups
Sum of Squares 2397586
Within Groups Total
df 5
Mean Square 479517,227
1991,870
6
331,978
2399578
11
F 1444,423
Sig. ,000
Lampiran 24. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi konsentrasi karotenoid (ppm) Duncan
a
pelarut Benzena Dietil Eter Toluena Heksana Petroleum Eter Aseton Sig.
N 2 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 2 3
1 462,9750
4
519,5800 520,9000 769,3350 776,6500 1,000
,945
,702
1762,9200 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 25. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap recoverykarotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ANOVA Recovery karotenoid (%)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3395,511
df 5
Mean Square 679,102
45,481
6
7,580
3440,991
11
F 89,589
Sig. ,000
Lampiran 26. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap recovery karotenoid dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi recovery karotenoid (%) Duncan
a
Subset for alpha = .05 pelarut Aseton
N 2
1 28,5800
2
3
4
Petroleum Eter
2
64,5400
Heksana
2
68,9450
Benzena
2
Dietil Eter
2
76,0350
Toluena
2
76,7000
Sig.
68,9450 74,8450
1,000
,161
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
,076
74,8450
,538
Lampiran 27. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan karotenoid konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ANOVA tingkat pemekatan (kali)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 9,906 ,007 9,913
df 5 6 11
Mean Square 1,981 ,001
F 1595,593
Sig. ,000
Lampiran 28. Hasil analisis beda duncan pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan karotenoid pada suhu akhir fraksinasi tingkat pemekatan (kali) Duncan
a
pelarut Benzena Dietil Eter Toluena Heksana Petroleum Eter Aseton Sig.
N 2 2 2 2 2 2
1 ,9400
Subset for alpha = .05 2 3
4
1,0500 1,0550 1,5600 1,5800 1,000
,892
,591
3,5800 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 29. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap konsentrasi tokoferol dalam konsentrat pada suhu akhir fraksinasi ANOVA konsentrasi tokoferol
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 96677,708 34635,767 131313.5
df 6 7 13
Mean Square 16112,951 4947,967
F 3,256
Sig. ,074