174
PEMBAHASAN UMUM Selama ini, pemanfaatan moda pipa dalam transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) telah diterapkan di industri, namun hanya untuk jarak yang dekat hingga maksimal 3 km. Pengaliran CPO pada jarak dekat dilakukan pada suhu sekitar 55 oC dalam sistem pipa berinsulasi untuk mempertahankan CPO agar tetap dalam fase cair yang dapat mengalir serta untuk mencegah pembentukan fraksi stearin CPO yang mengkristal pada suhu rendah. Adanya permasalahan yang dihadapi pada kegiatan transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) dari pabrik kelapa sawit (PKS) menuju tangki timbun di industri pengolah CPO maupun di pelabuhan, telah mendorong dilakukannya penelitian ini.
Untuk itu di dalam penelitian ini telah dipelajari peluang
pengembangan moda transportasi CPO yang lebih efisien melalui penggunaan moda pipa khususnya untuk jarak tempuh yang lebih jauh, dengan melakukan kajian terhadap karakteristik dasar CPO yang akan dialirkan. Aplikasi transportasi CPO moda pipa pada jarak dekat telah dikembangkan melalui pendekatan-pendekatan empiris dengan asumsi karakteristik CPO yang tetap. Pada pengembangan transportasi moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, pendekatan empiris kurang sesuai dan kurang akurat untuk digunakan, karena variabel proses untuk pengaliran jarak jauh lebih kompleks dan melibatkan perubahan karakteristik CPO akibat pengaruh suhu, laju perubahan suhu, shear rate. Selain itu, pada jarak tempuh yang jauh, tingkat kompleksitas jalur pipa yang digunakan juga lebih tinggi.
Pendekatan teknis berdasarkan data dasar
karakteristik CPO, diharapkan dapat menghasilkan suatu teknik yang mampu mengendalikan karakteristik CPO selama pengaliran sehingga proses pengaliran pada jarak jauh dapat berlangsung secara efektif dan lebih efisien. Dengan masih terbatasnya data dasar karakteristik mutu dan sifat fisik CPO, khususnya yang terkait dengan proses pengaliran di dalam pipa, maka upaya mengumpulkan data tersebut merupakan hal yang sangat strategis untuk dilakukan.
Melalui
penggunaan data dasar yang dikumpulkan di dalam penelitian ini, maka pendekatan ilmiah untuk merancang sistem transportasi CPO moda pipa yang dapat diandalkan, akan menjadi lebih kuat.
175 Di dalam pengembangan sistem transportasi CPO moda pipa untuk jarak tempuh yang jauh, telah dilakukan kajian untuk menyusun rancangan teknik kendali untuk menjamin aliran CPO agar dapat dipertahankan di sepanjang pipa. Berdasarkan rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa khususnya pada sistem pengaliran non-isotermal, dapat disimpulkan secara umum bahwa pengaliran CPO pada jarak tempuh yang jauh memiliki potensi yang baik untuk diaplikasikan. Untuk mewujudkan transportasi CPO moda pipa, diperlukan kajian teknis yang lebih mendalam agar rancangan teknis yang dihasilkan lebih akurat dan sesuai dengan kondisi topografi, lingkungan tempat sistem pipa akan dibangun, serta kebutuhan teknis lainnya di lapangan. Terdapat beberapa fenomena menarik terkait dengan data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, yang belum dibahas pada setiap tahap penelitian. Pada bagian pembahasan umum ini, diuraikan lebih lanjut mengenai (1) tinjauan umum terhadap karakteristik CPO yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan transportasi moda pipa; (2) pengaruh pemenuhan standar mutu CPO terhadap karakteristik CPO terkait proses pengaliran; (3) penggunaan data dasar sifat fisik CPO khususnya terkait pengaruh variabel proses pengaliran (suhu, laju penurunan suhu, shear rate) di dalam penyusunan rancangan teknik kendali pengaliran CPO dalam moda pipa; serta (4) peluang optimasi lebih lanjut rancangan teknik kendali transportasi CPO moda pipa melalui pemanfaatan karakteristik CPO pada kondisi metastabil.
Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa Data dasar sifat fisik yang paling berperan di dalam perhitungan desain perpipaan adalah data densitas () serta data sifat reologinya yang mencakup indeks tingkah laku aliran (flow behavior index atau n), indeks konsistensi (concistency index atau K), dan viskositas terukur (apparent viscosity atau ) pada shear rate tertentu (Steffe dan Daubert 2006). Karena CPO merupakan materi berbasis minyak dan lemak dengan titik leleh komponen triacylglycerol yang bervariasi serta mengalami perubahan sifat fisik pada kondisi tertentu, maka data densitas dan sifat reologi yang digunakan harus sesuai dengan kondisi proses yang
176 sedang berlangsung selama pengaliran. Variabel proses pengaliran seperti suhu, laju penurunan suhu, dan shear rate yang merubah sifat reologi dan kristalisasi lemak CPO akan menentukan perhitungan kesetimbangan mekanis selama CPO dialirkan di sepanjang pipa. Menurut Ong et al. (1995), karakteristik fisik CPO dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu karakteristik fisik dasar dan karakteristik fisik empiris. Karakteristik fisik empiris CPO sangat ditentukan oleh kondisi percobaan sebelum analisis sifat fisiknya, sedangkan karakteritik fisik dasar tidak dipengaruhi oleh kondisi percobaan sebelum analisis.
Ong et al. (1995)
memasukkan viskositas sebagai salah satu karakteristik fisik dasar. Namun hasil pengujian dalam penelitian ini menunjukkan bahwa viskositas sampel CPO sangat dipengaruhi oleh kondisi perlakuan awal sampel untuk mencapai suhu analisis dan faktor shear rate sebelum pengujian, sehingga seharusnya viskositas dimasukkan sebagai salah satu karakteristik fisik empiris. Berdasarkan hasil pengujian Tahap I (Bab 2) mengenai Kajian Mutu dan Sifat Fisik Minyak Sawit Kasar, parameter sifat fisik CPO pada kisaran suhu 2555
o
C dipengaruhi oleh suhu pengukuran.
Suhu yang semakin tinggi
menghasilkan nilai CPO menurun, sedangkan sifat reologi CPO mengalami transisi dari fluida non-Newtonian pseudoplastic pada suhu 25 oC menjadi Newtonian ketika suhu lebih tinggi dari 40 oC.
Karakteristik tersebut dimiliki
sampel CPO yang statis pada suhu yang setimbang. Kajian karakteristik CPO lebih lanjut pada Tahap II (Bab 3) mengenai Pengaruh Suhu terhadap Sifat Fisik Minyak Sawit Kasar dan Tahap III (Bab 4) mengenai Kajian Sifat Reologi dan Kristalisasi CPO pada Kondisi Dinamis, telah menunjukkan bahwa perlakuan awal suhu pada sampel CPO sebelum pengukuran sifat fisiknya, akan mempengaruhi hasil pengujian sifat fisik tersebut. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, dapat diketahui secara umum bahwa walaupun suhu pengukuran yang digunakan sama, hasil analisis reologi sampel CPO pada perlakuan awal suhu yang berbeda akan menghasilkan data sifat reologi CPO yang berbeda. Perbedaan parameter sifat reologi akibat perlakuan awal sampel tersebut memberikan indikasi adanya peluang sistem pengaliran CPO yang lebih “ringan” dari sudut pandang energi yang dibutuhkan untuk pengaliran.
177 Adanya perbedaan hasil pengujian viskositas akibat perlakuan awal sebelum analisis menyebabkan perlunya standarisasi perlakuan suhu sebelum pengujian (pretreatment suhu).
Khususnya untuk sistem pengaliran CPO yang non-
isotermal, data viskositas yang digunakan sebaiknya yang paling mendekati kondisi sampel CPO selama pengaliran. Pada penelitian Tahap II dan III, telah diperoleh data parameter sifat reologi CPO pada kondisi perlakuan awal yang berbeda pada sampel CPO yang sama yaitu sampel CPO C. Perlakuan sebelum pengukuran sifat reologi CPO adalah (i) pengukuran pada kondisi standar tanpa pemanasan awal, dengan penyetimbangan di suhu pengukuran selama 30-35 menit (kondisi pengukuran standar); (ii) sampel CPO mengalami penyetimbangan suhu selama 24 jam di suhu pengukuran setelah pemanasan awal 55 oC (kondisi pengukuran untuk mensimulasikan CPO yang disimpan dalam tangki penyimpanan); (iii) sampel CPO mengalami penurunan suhu dari suhu pemanasan awal 55 oC dengan laju 1 oC/menit menuju suhu pengukuran (kondisi pengukuran yang mensimulasikan saat suhu menurun selama pengaliran); dan (iv) pada kondisi mengalir dalam pipa sirkulasi.
Data n dan
sampel CPO yang diperoleh pada beberapa perlakuan sebelum analisis, disajikan pada Tabel 27 dan 28.
Tabel 27 Indeks tingkah laku aliran (n) CPO pada perlakuan awal yang berbeda sebelum analisis.
Suhu (oC)
55 50 45 40 35 30 25
(i) Kondisi standar tanpa pemanasan awal, penyetimbangan suhu 30-35 menit* 1.004 f 0.931 e 0.932 e 0.786 d 0.738 c 0.673 b 0.545 a
(ii) Setelah pemanasan ke suhu 55 oC dan penyimpanan 24 jam* 0.959 e 0.947 e 0.914 d 0.842 c 0.748 b 0.712 a 0.696 a
(iii) Setelah pemanasan ke suhu 55 oC dan penurunan suhu pada laju 1 o C/menit* 0.976 a 1.029 a 1.034 a 1.008 a 0.972 a 0.951 a 1.179 b
(iv) Pada kondisi mengalir dari suhu awal 55 oC 0.961 0.904 0.915 1.021 0.667 -
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
178 Tabel 28 Viskositas terukur CPO di 400 s-1 pada perlakuan awal yang berbeda sebelum analisis.
Suhu (oC)
55 50 45 40 35 30 25
(i) (ii) Kondisi standar Setelah tanpa pemanasan pemanasan ke awal, suhu 55 oC dan penyetimbangan penyimpanan suhu 30-35 menit* 24 jam * 26.0 a 21.8 a 21.7 a 26.2 a 33.3 a 30.4 a 49.2 b 51.1 b 64.6 c 61.7 b 98.4 d 110.8 c 159.3 e 146.9 d
(iii) Setelah pemanasan ke suhu 55 oC dan penurunan suhu pada laju 1 o C/menit* 26.5 a 23.7 a 29.5 a 35.7 a 39.2 a 49.1 a 103.1 b
(iv) Pada kondisi mengalir dari suhu awal 55 oC 21.4 25.3 30.4 37.0 118.3 -
* Huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
Tabel 28 menunjukkan adanya transisi sifat fluida CPO pada suhu 55 oC bersifat sebagai fluida Newtonian, menjadi fluida yang bersifat non-Newtonian pseudoplastic pada suhu yang semakin rendah. Informasi mengenai suhu transisi sifat aliran fluida CPO (Newtonian atau non-Newtonian pseudoplastic) pada kedua metode penerapan suhu di kisaran 25-55 oC sangat penting artinya, karena mempengaruhi perhitungan sistem perpipaan yang akan didesain. Kondisi (i) dan (ii) mengalami transisi sifat fluida pada suhu di sekitar 45 o
C, sedangkan kondisi (iii) belum mengalami transisi sifat fluida hingga suhu 30
o
C. Transisi sifat fluida pada kondisi (i) dan (ii) pada suhu yang lebih tinggi
diperkirakan karena kondisi sampel yang statis sehingga interaksi molekul menjadi lebih kuat dan lebih tinggi. Sampel CPO memiliki waktu yang cukup untuk mengalami induksi kristalisasi lemak saat berada pada kondisi supercooling (di bawah titik leleh atau melting point, TM). Pada kondisi (iii) CPO cenderung tetap bersifat sebagai fluida Newtonian dengan nilai yang tidak berbeda nyata saat suhu masih menurun hingga suhu 30 o
C. Hal itu disebabkan tidak tersedianya cukup waktu pada kondisi supercooling
untuk terjadinya induksi kristalisasi lemak pada CPO, akibat masih terjadi penurunan suhu pada laju penurunan suhu tertentu. Kondisi suhu yang terus
179 menurun terjadi bila suhu pengaliran CPO di dalam pipa masih lebih tinggi dari suhu lingkungan, dan pada waktu tertentu akan terjadi kesetimbangan suhu yang menghasilkan kondisi suhu pengaliran yang isotermal. Selama suhu pengaliran masih mengalami penurunan dan belum isotermal, induksi kristalisasi belum akan terjadi hingga suhu 30 oC. Hasil pengujian Tahap III (Bab 3) pada kondisi dinamis terkontrol menunjukkan bahwa pada suhu isotermal 30 oC, induksi kristalisasi baru akan terjadi setelah waktu induksi kristalisasi (ti) selama 30 menit. Bila data (i) dan (ii) dibandingkan, proses pemanasan awal ke 55 oC pada kondisi (ii) menghasilkan n CPO yang lebih tinggi (cenderung kurang pseudoplastic) pada suhu yang sama. Hal itu terjadi karena pemanasan awal di suhu 55 oC menghilangkan atau menurunkan memori kristal lemak CPO, sehingga CPO lebih lambat mengalami proses kristalisasi dan menghasilkan n yang relatif lebih tinggi pada suhu yang sama. Kondisi dinamis saat mengalir dalam pipa sirkulasi memiliki nilai n yang hampir sama dengan perlakuan awal (i), (ii), dan (iii) pada kisaran suhu 55-40 oC, yaitu masih mempertahankan sifatnya sebagai fluida Newtonian.
Pada suhu 40
o
C, CPO pada kondisi mengalir (kondisi iv) masih bersifat sebagai fluida
Newtonian, sedangkan kondisi (i) dan (ii) dengan sampel yang statis telah mengalami transisi sifat fluida menjadi non-Newtonian pseudoplastic.
Pada
pengujian dengan pipa sirkulasi, suhu lingkungan relatif tinggi (sekitar 35 oC), sehingga pada suhu sedikit di bawah TM CPO yaitu di bawah 39 oC, cenderung telah terjadi kondisi isotermal. Dengan kondisi suhu yang isotermal di bawah TM, pengujian pengaliran dengan pipa sirkulasi menunjukkan terjadinya induksi kristalisasi pada suhu di atas 30 oC, dengan ti tertentu. Dengan demikian, dapat dibuktikan peranan penting dari kondisi isotermal terhadap berlangsungnya induksi kristalisasi lemak CPO, yang mengakibatkan perubahan sifat reologinya. Informasi mengenai suhu saat mulai terjadi kondisi isotermal ketika CPO dialirkan dari suhu awal 55 oC, sangat ditentukan oleh suhu lingkungan sistem perpipaan. Suhu terendah yang memungkinan kondisi non-isotermal yang masih mempertahankan sifat fluida Newtonian adalah suhu 30 oC dengan maksimal sekitar 55 mPa.s, dan ti selama 30 menit.
180 CPO yang sedang mengalir dapat mulai mengalami transisi sifat fluida bila terjadi kondisi isotermal setelah suhunya di bawah 40 oC. Hasil pengamatan selama pengaliran menunjukkan bahwa selama suhu masih di pertahankan di atas TM CPO (di atas 40 oC), maka CPO pada kondisi (iv) akan relatif konstan di sekitar 37 mPa.s. Kondisi (i) dan (ii) akan memiliki yang lebih tinggi pada suhu 40 oC. Adanya perbedaan tersebut diduga karena sampel CPO pada kondisi (i) dan (ii) berada pada kondisi statis selama penyetimbangan suhu, sedangkan kondisi (iv) yang dinamis dan mengalir mengalami perlakuan shear rate tertentu. Graef et al. (2009) dan Tarabukina et al. (2009) yang menggunakan sampel RBDPO mengemukakan bahwa shear rate dapat memicu terjadinya kristalisasi primer, mempengaruhi sifat polimorfik dan pengembangan mikrostruktur, serta menentukan ukuran agregat kristal. Dengan demikian untuk suhu 40 oC, data pengujian reologi pada kondisi (i) dan (ii) kurang sesuai dengan kondisi pengaliran. Berdasarkan pembandingan data tersebut disimpulkan bahwa data sifat reologi yang sesuai digunakan di dalam perhitungan kendali pengaliran CPO dalam pipa tergantung pada suhu saat terjadi kondisi isotermal, yang ditentukan oleh fenomena penyetimbangan suhu pengaliran dengan suhu lingkungan. Data n dan CPO yang sesuai dengan kondisi pengaliran dalam pipa adalah data pada kondisi pengujian dinamis terkontrol maupun data pengujian dalam pipa sirkulasi. Hasil pengujian Tahap III (Bab 4) telah menunjukkan bahwa pada suhu di atas 40
C, CPO memiliki sifat fluida Newtonian dengan CPO dapat
o
dipertahankan konstan sekitar 37 mPa.s selama pengaliran hingga 330 menit (5.5 jam). Selanjutnya, bila suhu masih mengalami penurunan hingga suhu yang lebih rendah dari TM , maka perlu diketahui suhu saat kondisi isotermal terjadi. Bila suhu belum isotermal, belum akan terjadi induksi kristalisasi hingga suhu terendah 30 oC, namun bila kondisi isotermal telah terjadi, akan terjadi induksi kristalisasi pada suhu isotermal tersebut pada ti tertentu.
Dengan demikian,
terjadinya proses pengaliran yang isotermal perlu diperhitungkan secara detail, terutama terkait dengan suhu lingkungan, T suhu yang terjadi, dan ketebalan insulasi yang digunakan dalam sistem pipa.
181 Pentingnya Pemenuhan Standar Mutu CPO terhadap Karakteristik CPO Terkait Proses Pengaliran
Hasil pengujian mutu dan sifat fisik lima sampel CPO yang digunakan dalam penelitian Tahap I (Bab 2) mengenai Kajian Mutu dan Sifat Fisik CPO secara umum menunjukkan adanya variasi produk CPO yang dihasilkan produsen CPO di Indonesia. Dengan karakter komposisi asam lemak di dalam sampel CPO yang relatif sama dan memenuhi kisaran bilangan Iod yang dipersyaratkan dalam SNI 50-55 mg/100 g sampel, ternyata terdapat variasi sifat fisik CPO khususnya pada kondisi pengukuran di suhu 25 oC. Variasi sifat fisik pada sampel CPO tersebut akan menghasilkan perbedaan dalam perhitungan serta penerapan rekayasa proses dan penanganan CPO selanjutnya. Berdasarkan pengujian korelasi Pearson (two-tailed) antara sifat fisik CPO dengan atribut mutunya (Lampiran 11), terdapat korelasi yang nyata antara indeks tingkah laku aliran (n) sampel CPO pada suhu 25 oC (n25) dengan bilangan iod (BI), dan antara viskositas terukur () pada suhu 25 oC (25) dengan
BI.
Terdapat dua persamaan regresi linier yang dapat digunakan untuk memprediksi sifat reologi CPO berdasarkan data mutu BI (Persamaan 7 dan 8). BI merupakan atribut mutu yang sangat menentukan sifat fisik CPO, khususnya pada parameter sifat reologi n dan .
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk
penanganan CPO pada suhu 25 oC (atau pada suhu kamar), maka perbedaan nilai BI pada sampel CPO akan menghasilkan sifat reologi yang berbeda, yang mengakibatkan teknik penanganannya selama pengaliran juga akan berbeda. Variasi sifat fisik CPO pada suhu 25 oC ternyata tidak terjadi pada saat CPO dipanaskan di suhu 55 oC, yang merupakan suhu yang direkomendasikan dalam CAC/RCP 36 (CAC 2005) untuk proses pengaliran.
Pada suhu 55 oC, terjadi
perubahan sifat fisik CPO dibandingkan sifat fisiknya pada suhu 25 oC, dimana dan SFC CPO mengalami penurunan.
Sifat fluida CPO juga mengalami
perubahan dengan nilai n sampel CPO meningkat mendekati 1 dan nilai K yang mendekati 0 pada sampel CPO bersuhu 55 oC, yang menunjukkan bahwa CPO telah mengalami perubahan sifat fluida dari fluida non-Newtonian pseudoplastic pada suhu 25 oC menjadi fluida Newtonian pada suhu 55 oC.
182 Tidak terdapat korelasi yang nyata antara parameter sifat fisik CPO pada suhu 55 oC dengan atribut mutu CPO (KAK, ALB, dan BI). Proses pemanasan dan peningkatan suhu sampel CPO ke 55 oC juga menyebabkan sifat fisik CPO menjadi tidak berbeda nyata antar sampel. Hal itu terjadi karena sampel CPO yang mengalami pemanasan ke suhu 55 oC, akan mengalami pelelehan fraksi stearinnya sehingga menghasilkan parameter sifat fisik yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemenuhan spesifikasi standar mutu BI oleh sampel CPO akan pengaruh pada sifat fisik CPO pada suhu yang rendah (25 oC), sedangkan pada suhu yang tinggi (55 oC) sifat reologi semua sampel CPO akan sama, walaupun memiliki BI yang berbeda nyata pada kisaran 50-55 g iod/100 g sampel. Hasil penelitian Pengaruh Suhu terhadap Sifat Fisik CPO yang dilakukan pada penelitian Tahap II (Bab 3), mengungkap bahwa sampel CPO mengalami transisi sifat aliran fluida yang pada suhu 25-40 o
C bersifat non-Newtonian pseudoplastic, menjadi Newtonian pada suhu di atas
40 oC. Dengan demikian, selama sampel CPO memenuhi spesifikasi standar mutu BI sebesar 50-55 g iod/100 g sampel, maka perbedaan BI tersebut dapat diabaikan pada proses pengaliran CPO di suhu yang tinggi. Kajian lebih lanjut pada penelitian Tahap II (Bab 3), memperkuat kesimpulan mengenai pentingnya pemenuhan spesifikasi standar BI pada sampel CPO yang akan dialirkan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa BI memiliki korelasi yang erat dengan nilai energi aktivasi (Ea) pada perubahan CPO akibat suhu (korelasi Pearson nyata pada P<0.05). Ea ditentukan dengan persamaan Arrhenius pada kisaran suhu 25-55 oC dan shear rate tertentu.
Walaupun
kisaran BI sampel CPO telah dibatasi oleh SNI pada kisaran 50-55 g/100 g sampel, akan tetapi kisaran BI yang sempit tersebut menghasilkan nilai Ea yang berbeda.
Berdasarkan data sampel CPO, dapat disusun suatu persamaan
matematika yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai Ea sampel CPO tertentu berdasarkan BI-nya pada shear rate tertentu (Persamaan 13 dan 14). Saat CPO mengalami perubahan suhu pada kisaran 25-55 oC di shear rate tertentu, CPO dengan BI yang semakin kecil memiliki Ea yang semakin besar, sehingga semakin mudah mengalami perubahan . Hal tersebut terkait dengan proporsi
183 kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh di dalam sampel CPO (Basiron 2005) dan komponen utama asam lemak di dalamnya (Kim et al. 2009). Korelasi antara BI dengan Ea tersebut menunjukkan bahwa saat terjadi perubahan suhu, derajat kemudahan suatu sampel CPO untuk mengalami perubahan sangat ditentukan oleh BI sampel CPO tersebut walaupun berada pada kisaran BI yang sempit (50-55 g/100 g sampel) sesuai spesifikasi standar SNI. BI yang semakin rendah akan lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan nilai n yang dimiliki suatu sampel sampel CPO bukan hanya ditentukan oleh suhu yang diterapkan pada sampel, tetapi ditentukan juga oleh BI-nya.
Peluang Penggunaan Kondisi Metastabil CPO dalam Rancangan Teknik Kendali Transportasi CPO Moda Pipa
Berdasarkan hasil penelitian Tahap III (Bab 4), pada kondisi pengaliran non-isotermal dapat dirancang sistem pengaliran yang mengalami penurunan suhu hingga suhu di bawah TM dengan sifat fluida yang masih mudah ditangani ( relatif tetap rendah, sifat fluida Newtonian) karena berada pada kondisi metastabil (metastable state). Pada laju penurunan suhu maksimal 0.1 oC/menit dan shear rate maksimal 400 s-1, induksi kristalisasi belum akan terjadi saat pengaliran berlangsung hingga suhu 30 oC selama tidak terjadi kondisi isotermal. Nilai maksimal pada kondisi tersebut adalah sekitar 60 mPa.s dengan sifat fluida Newtonian.
Kondisi
metastabil
tersebut
dapat
dimanfaatkan
karena
memungkinkan pengaliran CPO dapat berlangsung pada suhu yang lebih rendah dari TM.
Untuk itu kajian lebih lanjut mengenai faktor kendali untuk
mempertahankan kondisi metastabil CPO perlu dilakukan. Suhu pengaliran minimal yang cukup rendah tersebut sebenarnya berpotensi untuk digunakan pada pengaliran CPO untuk jarak tempuh yang jauh. Akan tetapi, pada pengaliran hingga suhu lebih rendah dari TM, terjadi kondisi supercooling yang menjadi driving force kristalisasi khususnya bila terjadi kondisi isotermal. Untuk mencegah terjadinya kondisi isotermal pada kisaran suhu di antara TM dan suhu minimal pengaliran 30 oC, teknik kendali suhu dalam sistem perpipaan harus dilakukan secara detail dengan memperhitungkan
184 perhitungan pindah panas yang terjadi selama pengaliran. Bila suhu tidak lagi mengalami penurunan, terjadi kondisi isotermal yang menginduksi kristalisasi lemak, sehingga meningkat drastis dan CPO mengalami perubahan sifat fluida menjadi non-Newtonian pseudoplastic. Terjadinya perubahan sifat reologi CPO tersebut akan mempengaruhi kesetimbangan sistem pengaliran CPO dalam pipa, hingga akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pipa.
Simpulan
Data dasar sifat fisik yang paling berperan di dalam perhitungan desain perpipaan adalah data densitas () serta data sifat reologinya. CPO pada suhu 55 o
C bersifat sebagai fluida Newtonian, dan menjadi fluida yang bersifat non-
Newtonian pseudoplastic pada suhu yang semakin rendah. Suhu transisi sifat reologi CPO sangat mempengaruhi perhitungan sistem perpipaan yang akan didesain.
Transisi sifat fluida pada kondisi pengukuran yang statis menghasilkan
viskositas terukur () yang
lebih tinggi.
Pada kondisi sampel CPO yang
mengalami penurunan suhu, CPO cenderung tetap bersifat sebagai fluida Newtonian dengan nilai yang relatif rendah (maksimal 60 mPa.s) saat suhu masih menurun hingga suhu 30 oC. Selama suhu pengaliran masih mengalami penurunan dan belum isotermal, induksi kristalisasi belum akan terjadi hingga suhu 30 oC, dan induksi kristalisasi baru akan terjadi setelah waktu induksi kristalisasi (ti) selama 30 menit.
Terjadinya kondisi isotermal menentukan
berlangsungnya induksi kristalisasi lemak CPO, yang mengakibatkan perubahan sifat reologinya. Suhu dan waktu saat mulai terjadi kondisi isotermal ketika CPO dialirkan dari suhu awal 55 oC, sangat ditentukan oleh suhu lingkungan sistem perpipaan. Dengan demikian, dalam pengembangan rancangan teknis pipa untuk transporatsi CPO, waktu dan suhu saat terjadinya proses pengaliran yang isotermal perlu diperhitungkan secara detail, dengan memperhitungkan suhu lingkungan, T suhu yang terjadi, dan ketebalan insulasi yang digunakan dalam sistem pipa. Pemenuhan spesifikasi standar BI sangat menentukan sifat fisik CPO, khususnya pada parameter sifat reologi n dan . Sampel CPO akan mengalami
185 transisi sifat aliran fluida, yaitu pada suhu 25-40 oC bersifat non-Newtonian pseudoplastic, dan suhu di atas 40 oC menjadi bersifat Newtonian. Selama sampel CPO memenuhi spesifikasi standar mutu BI sebesar 50-55 g iod/100 g sampel, maka perbedaan BI dapat diabaikan pada proses pengaliran CPO di suhu yang tinggi. BI juga menentukan nilai energi aktivasi (Ea) sampel CPO.
Derajat
kemudahan suatu sampel CPO untuk mengalami perubahan sangat ditentukan oleh BI sampel CPO tersebut walaupun berada pada kisaran BI yang sempit (5055 g/100 g sampel) sesuai spesifikasi standar SNI.