47
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Potensi, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Deskripsi potensi, peluang dan ancaman yang akan dibahas terkait dengan topik penelitian meliputi aspek ekologi dan sosial ekonomi. 5.1.1 Potensi a. Profil vegetasi di kawasan CAPD dan Kelurahan Sawah Luhur Sebagian besar tipologi pesisir Kelurahan Sawah Luhur merupakan pantai lumpur, lumpur berpasir dan pantai berpasir. Berdasarkan sisa-sisa vegetasi yang dijumpai di lokasi kajian dan informasi masyarakat setempat diketahui bahwa mulai dari Kelurahan Sawah Luhur ke arah barat sampai dengan Pelabuhan Karang Hantu merupakan ekosistem mangrove yang bervegetasi cukup rapat dari jenis Api-api Avicennia marina, Aviceniaa spp, Bakau Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, tengal Ceriops decandra, Bruguiera spp, dan berembang Sonneratia spp. Total jenis tumbuhan yang ditemui di CAPD dan areal tambak sekitarnya adalah 85 jenis dengan jenis yang dominan adalah api-api (Avicennia marina), bakau (Rhizopora apiculata), dan kayu hitam Diospyros maritime (Noor 2001) Sebaran jenis vegetasi dominan di CAPD disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Sebaran vegetasi dominan di CAPD
48
Sejarah kerusakan hutan mangrove di Kelurahan Sawah Luhur diawali konversi lahan secara besar-besaran menjadi tambak udang pada awal tahun 1990an. Hal ini merupakan bagian dari euphoria pembangunan tambak udang yang terjadi hampir di seluruh pesisir utara Jawa. Di Kelurahan Sawah Luhur sendiri sampai dengan tahun 2001 masih beroperasi tiga perusahaan budidaya udang windu secara intensif. Serangan virus white spot secara besar-besaran serta faktor keamanan saat panen menjadi penyebab utama terhentinya industri budidaya udang windu tersebut.
Saat ini sebagian besar tambak udang yang ada di
Kelurahan Sawah Luhur dimanfaatkan untuk budidaya bandeng, karena bandeng lebih toleran terhadap kondisi perubahan kualitas air dan modal yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan usaha budidaya udang. Konversi ekosistem mangrove manjadi tambak telah merubah profil serta kondisi vegetasi pesisir Kelurahan Sawah Luhur. Pada umumnya mangrove yang tersisa hanya di CAPD dan beberapa koloni kecil di zona depan areal pertambakan yang berbatasan dengan jalan raya.
Berdasarkan informasi
penduduk setempat beberapa tahun setelah konversi hutan mangrove menjadi tambak terjadi suksesi alami, yaitu tumbuhnya bibit mangrove baru di dalam petakan tambak, khususnya jenis Api-api. Namun demikian petambak merasa terganggu dengan kehadiran permudaan alami mangrove tersebut karena dianggap dapat mengurangi luasan area budidaya dan menyulitkan saat pemanenan ikan. Pengamatan vegetasi di bagian barat CAPD yang dilakukan pada bulan Oktober 2009 dan teridentifikasi bahwa pada pesisir Kelurahan Sawah Luhur setidaknya terdapat empat (4) tipe/formasi vegetasi yaitu 1) Mangrove alami; 2) Mangrove kagiatan rehabiltasi, 3) Vegetasi areal pertambakan (mangrove dan tanaman pantai); dan 4) Vegetasi di sekitar desa. Ilustrasi kondisi vegetasi di Kelurahan Sawah Luhur sebelum dan sesudah konversi menjadi pertambakan berdasarkan hasil pengamatan langsung dilapangan, analisis substart dan wawancara penduduk disajikan pada Gambar 16. Formasi vegetasi di pesisir Kelurahan Sawah Luhur bagian terdepan dalam gambar bawah diberikan notasi B (berbatasan langsung dengan CAPD) atau dibagian utara yang sebagian besar jenis substratnya merupakan pantai lumpur berpasir adalah formasi mangrove yang didominasi oleh jenis api-api Avicennia
49
marina. Jenis mangrove ini tumbuh subur dengan kerapatan tinggi, dalam plot 10m x 10m dijumpai 53 tegakan jenis Api-api. Jenis mangrove lainnya sangat jarang dijumpai di zona depan, hanya beberapa batang Ceriops decandra dan Rhizophora stylosa yang dijumpai di tengah-tengah dominasi api-api.
1,2 km
900m
Keterangan: A : Formasi mangrove (alami) B : Areal rehabilitasi
C D
: Vegetasi disekitar tambak : Vegetasi disekitar desa
Gambar 16 Ilustrasi kondisi vegetasi di Kelurahan Sawah Luhur sebelum (atas) dan sesudah konversi lahan menjadi tambak (bawah) Zona di belakang zona B memiliki substrat lebih cenderung berlumpur dimana kandungan pasir menurun dratis.
Pada zona ini (zona A),
keanekaragaman jenis mengrove meningkat, mengikuti penuruan domiasi api-api. Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di lapangan antara lain Api-api Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera parvifolia, Bruguiera spp, Ceriops decandra, Rhizophora spp. dan lain-lain. Vegetasi di sekitar tambak Vegetasi disekitar tambak dinotasikan dengan zona C. Tipe vegetasi ini mengacu pada seluruh jenis tumbuhan yang dijumpai di areal pertambakan baik di dalam maupun di pematang tambak.
Beberapa jenis tumbuhan yang umum
dijumpai di dalam tambak antara lain Api-api Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata. Pada beberapa tambak terdapat tegakan Api-api
50
Avicennia marina yang telah berukuran tiang dan pohon. Bibit mangrove yang tumbuh di areal pertambakan diduga kuat berasal dari CAPD yang hanyut ke lokasi pertambakan lalu berkecambah dan tumbuh.
Gambar 17 Mangrove yang tumbuh di dalam badan air tambak Berbeda dengan yang ada di dalam tambak, jenis tumbuhan yang dijumpai di pematang tabak merupakan jenis tumbuhan pantai terrestrial. Beberapa jenis pohon yang sesekali dijumpai di pamatang antara lain Rukem Flacourtia rukam, Waru lot Thespesia populnea, Waru laut Hibiscus tilaceus, dan Lamtoro Leucana leucochepala. Sementara untuk jenis herba dan semak yang umum dijumpai antara lain Beluntas Pluchea spp., Dalbergia spp., Sesuvium portulacum, Krokot kecil Suaeeda maritima,
dan beberapa jenis rumput.
Hal menarik yaitu
dijumpainya koloni tumbuhan kaktus (tumbuhan berduri) di beberapa pematang tambak.
Informasi penduduk setempat menyebutkan bahwa kaktus sengaja
ditanam pada saat menjamurnya usaha budidaya udang windu. Penanaman kaktus berfungsi sebagai kawat duri alami karena bentuknya yang berduri sehingga dimaksudkan dapat menghindari pencurian udang di malam hari karena besar kemungkinan pencuri akan menginjak duri kaktus dan menimbulkan efek jera sehingga mengurungkan niatnya untuk mencuri. Vegetasi di sekitar desa Analisis vegetasi di sekitar perumahan penduduk dalam Gambar 16 dinotasikan dengan zona D.
Tipe vegetasi ini mengacu pada semua jenis
tumbuhan yang dijumpai di sekitar desa. Secara sederhana, jenis tumbuhan ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (kategor)i yaitu 1) tumbuhan
51
alami dan 2) ditanam. Beberapa jenis pohon yang tumbuh alami yang paling umum dijumpai di sekitar desa antara lain Kepuh Sterculia spp., dan Beringin Ficus spp.. Sementara untuk jenis semak yang tumbuh secara alami diantaranya adalah Biduri Calatropis gigantea, Putri malu Mimosa pudica, Ki kebo Mimosa pigra.
Sementara untuk jenis tanaman budidaya antara lain kalapa Cocos
nucifera, Mengkudu Morinda citrifolia, Pisang Musa spp., Nangka Artocarpus heterophyllus, Kemiri Aleurites moluccana, Mangga Mangifera indica, Pepaya Carica papaya, Kedondong Spondias pinnata, dan beberapa jenis tanaman budidaya lainnya.
Gambar 18 Kondisi umum vegetasi di pematang tambak b. Keanekaragaman Jenis Fauna (Burung) Noor (2004) mencatat bahwa dari tahun 1996 hingga 2004 di kawasan CAPD dan sekitarnya ditemukan sekitar 108 jenis burung dari 39 famili di CPAD merupakan 7% dari jumlah jenis burung di seluruh Indonesia atau sekitar 20% dari jumlah jenis burung di Jawa. Sekitar 57 jenis burung tersebut merupakan burung air, 30% dari jumlah jenis burung air di seluruh Indonesia atau 50% dari jumlah jenis burung air di Jawa. Dari segi perlindungan, 38 jenis burung di CAPD dan kawasan penyangga sekitarnya merupakan burung yang dilindungi, satu jenis diantaranya masuk dalam kategori endangered (langka dan terancan kepunahan) IUCN, satu jenis masuk dalam ketegori vulnerable (rentan) dan tiga jenis masuk dalam CITES Appendix II.
52
c. Eksistensi Para Pemangku Kepentingan Utama (potential stake holders) Hasil kajian sosial ekonomi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan (stakeholder) yang berperan dalam kehidupan sosial ekonomi, pembuatan kesepakatan dan pengambilan keputusan, serta diduga kuat akan berperan pening dalam upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik yang berada dalam pengelolaan kawasan CAPD dalam hal ini Departemen Kehutanan maupun di luar kawasan CAPD yang masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Sawah Luhur disajikan pada Gambar 19.
Departemen Kehutanan, dengan pelaksana Seksi Wilayah II Serang
Pemerintah (Dinas Teknis)
Kawasan Cagar Alam Pulau Dua
Pemerintah Desa
Kawasan Penyangga: areal pertambakan, persawahan, pemukiman penduduk
Akademisi dan Peneliti
Sektor Swasta
Masyarakat Adat/Lokal
Gambar 19 Stakeholder pemanfaatan ekosistem mangrove di CAPD dan kawasan penyangga
Hasil identifikasi stakeholder juga memperlihatkan bahwa di sekeliling kawasan konservasi (CAPD) terdapat berbagai pemangku kepentingan lain yang juga melakukan kegiatan pengelolaan misalnya: masyarakat lokal yang memungut hasil hutan mangrove mengkonversi mangrove menjadi tambak, pemerintah daerah yang mengatur perizinan dan jual beli lahan dan departemen atau dinas
53
teknis maupun swasta yang membangun di daerah pesisir Kelurahan Sawah Luhur Keseluruhan kegiatan tersebut akan berpengaruh baik langsung maupun tidak ke dalam kawasan konservasi, oleh sebab itu, pengelolaan terpadu menjadi hal yang mutlak untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan konservasi dan pemanfaatan oleh semua pemangku kepentingan Secara khusus peran dari masing-masing stakeholder yang diilustrasikan pada Gambar 19 akan berpengaruh terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil analisis stakeholder Kelurahan Sawah Luhur No 1.
Stakeholder Pemerintah Kelurahan Sawahluhur
Peran Stakeholder Menjalankan Pemerintahan dalam bentuk pelayanan, pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat. Menjadi perpanjangan Pemerintah yang lebih tinggi dalam menjalankan program pembangunan Kelurahan Sawahluhur Koordinasi dalam pengawasan
2.
LSM Padepokan Macan Kikik
pelayanan,
Kelompok Penghijauan Pesisir
dan
Berperan seperti LSM dalam pemenuhan dan kerjasama pembangunan sarana-prasarana atau infrastruktur desa Koordinasi pengadaan infrastruktur
3.
pembinaan
sarana-prasarana
atau
Menerima pendanaan dan impelemntasi upayaupaya rehabilitasi pesisir sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim Dapat dilibatkan lebih lanjut dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
4.
Pengelola Cagar Alam Pulau Dua
Menjalankan pengelolaan Cagar Alam Pulau Dua dalam bentuk pelayanan, pembinaan dan pengawasan terhadap kelestarian Cagar Alam Pulau Dua Menjadi perpanjangan Pemerintah yang lebih tinggi dalam menjalankan program pengelolaan Cagar Alam Pulau Dua
5.
Masyarakat Kelurahan Sawahluhur
Berperan dalam kegiatan pembangunan untuk keluarga pada khususnya dan Kelurahan Sawahluhur pada umumnya Menjadi peserta dalam upaya mitigasi adaptasi
54
5.1.2 Kelemahan Hasil analisis tingkat kerentanan dari lima unsur utama Pengurangan Risiko Bencana didapatkan bahwa baik kondisi sumberdaya manusia, sumber daya alam dan arah kebijakan pemerintah Kelurahan Sawah Luhur masih sangat lemah dalam mengantisipasi dampak dari perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Tingkat kerentanan enam modal utama Pengurangan Risiko Bencana Aset
Deskripsi tingkat kerentanan
Natural Capital
Berdasarkan peta topografi dan hasil simulasi kenaikan muka air laut diketahui bahwa CAPD dan tambak sekitarnya sangat rentan terjadi perubahan bentang alam berupa penggenangan akibat kenaikan muka air laut
Economic/Financial
Tingkat pendapatan rata-rata nelayan dan petambak di Kelurahan Sawah Luhur relatif rendah yaitu berkisar Rp 500.000 – Rp 1.200.000 perbulan, dengan perbandingan UMR Kota Serang adalah Rp 1.050.000
Capital
Kemampuan menabung sangat rendah dan merupakan salah satu indikasi tingkat kerentanan dimana masyarakat tidak memiliki simpanan uang maupun harta yang bisa diakses ketika bencana terjadi. Human Capital
Pendidikan masyarakat pada umumnya adalah lulusan SD dengan pengetahuan tentang kebencanaan yang masih rendah
Social Capital
Modal sosial berupa semangat gotong royong masih tinggi
Political Capital
Arah kebijakan pemerintah desa masih belum sepenuhnya mendukung pada pelestarian ekosistem
5.1.3 Peluang a.
Ketersediaan bibit mangrove untuk upaya rehabilitasi pesisir Potensi lain yang teridentifikasi selama pengamatan lapangan dilakukan
adalah kemudahan dalam memperoleh benih atau bibit mangrove untuk kegiatan penanaman di lokasi-lokasi yang terkena abrasi. Potensi benih/bibit yang paling melimpah adalah Api-api Avicennia marina dan Bakau kecil Rhizophora stylosa. Sementara untuk jenis Rhizophora mucronata, pohon induk relatif terbatas sehingga perlu dipikirkan pengadaan bibit/propagul jenis ini dari daerah lain.
55
b. Kebijakan nasional pengurangan emisi Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi hingga 26% pada tahun 2020 merupakan suatu langkah awal yang kondusif sekaligus memberikan “lampu hijau” bagi berbagai pihak untuk ikut memberikan kontribusinya dalam upaya global memerangi perubahan iklim. Gerakan nasional penghijauan dan rehabilitasi merupakan kegiatan yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai target pengurangan emisi tersebut. c. Kondisi tambak yang memungkinkan untuk penanaman Berdasarkan pengukuran di lapangan, teridentifikasi bahwa tambak-tambak di Kelurahan Sawah Luhur memiliki peluang untuk ditanami mangrove sebagai sabuk hijau pelindung desa dari proses hidrodinamika laut dan pengaruh perubahan iklim. Substrat berlumpur serta pengaruh pasang surut merupakan dua syarat utama penanaman mangrove.
Namun demikian faktor pembatas yaitu
salinitas yang terlalu tinggi di beberapa tambak. d. Kolaborasi dengan Dinas Kehutanan dan Pengelola Cagar Alam Visi dan misi dalam konservasi dan rehabilitasi merupakan upaya utama dalam mitigasi perubahan iklim.
Perlindungan CAPD oleh pengelola CAPD
merupakan upaya utama untuk mempertahankan keberadaan mangrove. 5.1.4 Ancaman Posisi yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa dengan kondisi kerapatan mangrove 450 pohon per hektar dan ketebalan sekitar 76m menjadikan CAPD merupakan benteng bagi areal pertambakan dan perumahan di sekitarnya dari potensi bahaya akibat dinamika hidro oseanografi.
Ancaman di sekitar
Kawasan Cagar Alam Pulau Dua a. Abrasi Ombak yang menggerus bagian utara Pulau Dua diduga dapat menyebabkan terjadinya penciutan luas pulau dan berkurangnya jumlah tumbuhan. Informasi verbal dari Jagawana setempat menyebutkan bahwa pada tahun 1996, di lokasi yang berdekatan dengan areal gerusan masih terdapat beberapa batang pohon yang berdiri tegak. Namun pada tahun 2000, pohon-pohon tersebut sudah tergerus karena abrasi sebagaimana disajikan pada Gambar 14.
56
b. Pengambilan kayu bakar Kegiatan pengambilan kayu bakar biasanya dilakukan oleh ibu-ibu dari desa yang berdekatan dengan kawasan. Mereka umumnya mengambil ranting-ranting pohon bakau yang sudah kering dan menebangi pohon bakau yang runtuh di luar kawasan dan di dalam kawasan Cagar Alam Pulau Dua. Kegiatan ini sebenarnya tidak boleh dilakukan di dalam suatu kawasan Cagar Alam. Petugas Jagawana juga telah memberikan pemberitahuan bahwa tidak boleh mengambil kayu bakar, akan tetapi karena alasan harga minyak tanah yang mahal membuat petugas menjadi agak sulit melarangnya. Aktivitas pengambilan kayu bakar yang terekam oleh penulis disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20 Peta abrasi di kawasan Cagar Alam Pulau Dua .
Gambar 20 Kegiatan pengambilan kayu bakar di Cagar Alam Pualu Dua
57
a. Banjir pasang (Rob) Fenomena alam ini merupakan salah satu kendala yang dihadapi oleh masyarakat Kelurahan Sawah Luhur, terutama pada pemilik tambak. Beberapa kali pemiliki tambak harus mangalami kerugian karena air pasang ini. Kejadian terakhir terjadi pada Juni 2008 lalu, dimana air pasang masuk ke tambak udang/ikan milik masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan rusaknya beberapa pematang tambak sehingga ikan terbawa keluar tambak. a. Pengaruh penggenangan terhadap bentang alam Estimasi luasan penggenangan akibat kenaikan muka laut dilakukan dengan cara memadukan antara peta topografi dengan skenario kenaikan muka air laut setinggi 25cm, 50cm dan 100cm. Angka skenario tersebut mengacu pada IPCC (2001) estimasi kenaikan muka air laut untuk perairan Indonesia secara umum sampai dengan tahun 2100 adalah 23cm hingga 96cm. Diposaptono (2009) yang menyatakan prediksi kenaikan muka air laut di pesisir utara Kota Semarang adalah 87cm. Hasil simulasi kenaikan muka air laut per skenario menunjukkan akan terjadi perubahan kondisi bentang alam sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 21 sampai dengan Gambar 24. Tabel 8 Perubahan bentang alam CAPD dan Tambak sekitarnya pada berbagai skenario penggenanagan Tinggi kenaikan muka air laut
Areal terendam (ha)
25 cm
427.22
Tambak 427.22 ha
50 cm
545.60
100 cm
569.54
Tambak 535,60 dan CAPD (10ha) Perumahan dan jalan raya, (13 ha) CAPD (10 ha), Tambak
Tipe lahan yang terendam
5.2 Valuasi Sumberdaya Pesisir Tidak diragukan lagi bahwa ekosistem Pulau Dua memiliki kondisi ekologi yang cukup unik yaitu dominasi ekosistem mangrove, pantai berpasir serta fungsinya sebagai habitat bagi burung-burung migran. Hal ini juga dapat terlihat dari ditetapkannya ekosistem Pulau Dua sebagai Cagar Alam.
Gambar 21 Peta siatuasi CAPD dan tambak sekitarnya pada kondisi normal (citra landsat perkaman tahun 2009)
58
Gambar 22 Peta penggenanagn CAPD dan tambak sekitarnya skenario kenaikan muka laut setinggi 25cm
59
Gambar 23 Peta penggenanagn CAPD dan tambak sekitarnya skenario kenaikan muka laut setinggi 50cm
60
Gambar 24 Peta penggenanagn CAPD dan tambak sekitarnya skenario kenaikan muka laut setinggi 25, 50 dan 100cm
61
62
5.2.1 Nilai Manfaat 1. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) b. Produksi Perikanan (Budidaya dan Tangkap) Komoditas perikanan yang dibudidayakan pada di lokasi penelitian pada umumnya adalah ikan bandeng (Chanos chanos) dan sebagian kecil (0,1 %) petambak membudiayakan rumput. Panen bandeng dilakukan dua sampai tiga kali dalam setahun sedangkan untuk rumput laut dipanen lima kali dalam setahun, sehingga pendapatan harian petambak didapatkan dari hasil tangkapan alami berupa windu (Penaeus monodon), udang putih (P.merguienis); udang jari (Acetes indicus) dan kepiting bakau (Scylla cerata). Budidaya Ikan Bandeng Budidaya bandeng di Kelurahan Sawah Luhur sudah banyak dilakukan sejak tahuan 1970-an. Seiring dengan menjamurnya tambak udang pada akhir tahun 1980-an, banyak tambak-tambak di Kelurahan Sawah Luhur beralih membudidayakan udang windu baik dengan pola tradisional (tanpa input pakan buatan dan kincir air) maupun pola intensif yang dikelola oleh suatu industri besar (dengan input pakan buatan dan menggunakan kincir).
Namun demikian
merebaknya penyakit udang (white spot) membuat tambak-tambak udang tersebut merugi hingga mulai tahun 2000-an banyak petambak dan pemilik tambak memutuskan untuk beralih kembali membudidayakan bandeng dengan sistem tradisional. Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur berasumsi budidaya bandeng jauh lebih aman dibandingkan dengan udang dari sisi finansial, karena bandeng lebih toleran terhadap perubahan lingkungan dan biaya operasional jauh lebih kecil karena bandeng dapat dibudidayakan tanpa input pakan dan harga bibit ikan bandeng (nener) dua kali lipat lebih murah dari pada bibit udang (benur).
Dalam
satu siklus produksi, panen dilakukan dua hingga tiga kali. Panen secara parsial atau sedikit-sedikit tersebut dikenal dengan istilah “oyos”. Panen Oyos dilakukan agar petambak segera mendapat pendapatan guna memenuhi kebutuhan harian. Jumlah ikan bandeng yang diambil saat panen oyos berkisar 25% dari ikan yang
63
dibudidayakan sedangkan 75% lainnya akan terus dirawat hingga mencapai ukuran empat ekor bandeng dalam 1kg atau dikenal dengan istilah size 4. Perikanan Tangkap Penangkapan udang alam dilakukan dengan menggunakan bubu yang dipasang pada pintu air tambak. Metode ini sangat mengandalkan pasang surut air laut. Bubu dipasang ketika air pasang dengan posisi mulut bubu menghadap ke arah dalam tambak. Ketika air surut aliran air akan keluar masuk kedalam bubu meninggalkan tambak. Dalam satu bulan, efektif udang alam dapat dipanen untuk dijual hanya selama empat belas malam. Jenis udang yang didapat dari bubu meliputi Udang windu (Penaeus monodon), udang putih (P.merguienis), udang jari (Acetes indicus), dan jenis kepiting bakau (Scylla cerata). Rumput Laut Rumput laut di Kelurahan Sawah Luhur mulai dibudidayakan di beberapa tambak pada tahun 2007. Panen rumput laut per hektar dapat mencapai 2 ton, dipanen sebulan sekali dan dalam setahun rata-rata dapat dilakukan lima kali pemanenan. Rumput laut yang dipanen dijual kepada pedagang pengumpul di Kelurahan Kemayungan yang berjarak sekitar 5km.
Budidaya bandeng dan
rumput laut dalam satu petak tambak memberikan dampak yang saling menguntungkan karena bandeng akan membersihkan rumput laut dari alga-alga yang menempel dengan cara memakannya sedangkan rumput laut pada siang hari dapat berfotosintesis dan menghasilkan oksigen terlarut di air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bandeng dan fauna akuatik lainnya. Pada perhitungan valuasi ekonomi, nilai budidaya rumput laut tidak dimasukkan ke dalam perhitungan, karena secara general tidak secara signifikan berpengaruh terhadap sebagian besar pendapatan petambak di Kelurahan Sawah Luhur karena baru sekitar 1% saja dari total petambak yang membudidayakan rumput laut. Padahal bila dilihat dari pendapatan yang dihasilkan cukup besar yaitu pendapatan kotor dapat mencapai Rp 17.500.000/tahun/hektar atau berkisar Rp 1.450.000 /bulan/hektar..
64
Tabel 9 Biaya Produksi dan Pendapatan Kotor Budidaya Perikanan dan Perikanan Tangkap di CAPD dan Tambak sekitarnya
Budidaya bandeng
270
Frekuensi panen pertahun (kali) 2,6
Kepiting bakau (Scylla cerata) Udang windu (Penaeus monodon), Udang jari (Acetes indicus) & udang putih
1 0,5 2
168 168 168
Pendapatan Kotor
Panen (kg/ha/panen)
Harga(Rp)
Pendapatan kotor (Rp/ tahun/hektar)
11.000
7.722.000
30.000 55.000 21.500
5.040.000 4.620.000 7.224.000
Pendapatan Kotor budidaya bandeng & perikanan tangkap
24.606.000
Biaya Produksi budidaya bandeng Biaya (Rp)/ ha/ siklus variable costs Upah kerja : ([Gross income-modal]/3) * 2,6 (Pekerja mendapat upah 1/3 dari keuntungan yang didapat) Agro input (benih ikan, pupuk, pakan) Perlengkapan fixed costs Sewa tambak PBB Pondok Total Biaya Produksi Budidaya Bandeng & biaya operasional tangkapan alami Pendapatan bersih per tahun (Rp)/ha
([7.722.000-4.594.500]/3) = 1.042.500
Biaya (Rp)/ ha/ tahun 400.961
1.042.500
1.246.500 46.000
3.246.500 96.000
384.615 20.000 76.923 3.997.538
1.000.000 52.000 200.000 11.265.000 13.341.000
c. Nilai Tegakan Kayu Mangrove Perkiraan nilai tegakan mangrove diperoleh dari transfer nilai dari pemanfaatan tegakan kayu sebagai kayu bakar.
Tidak digunakannya sebagai
bahan bangunan karena pasti membutuhkan volume yang besar sehingga tidak bisa dilakukan mengingat ketatnya penjaagaan Cagar Alam jika untuk pemanfaatan dalam skala besar. Walaupun demikian tetap saja pencurian kayu baik hanya berupa kayu kering maupun penebangan ranting vegetasi yang masih hidup sering dilakukan di dalam kawasan terutama oleh ibu-ibu dengan alasan untuk dijadikan kayu bakar. Polisi jagawana sulit untuk melarang dengan kasar karena alasan rasa iba, namun hal tersebut dapat disiasati bahwa tidak boleh menebang namun bisa mengambil dahan-dahan kayu/ pohon yang sudah mati dan kering.
65
Kepadatan rata-rata mangrove di dalam kawasan CAPD dihitung dengan menggunakan transek dengan ukuran 20x20m, sehingga didapatkan jumlah mangrove adalah 430 individu per hektar. Penampang melintang rata-rata dari mangrove yang ada di semua transek pengamatan adalah 231,12cm2 dengan ketinggian rata-rata dari pohon adalah 881,73cm. Volume kayu dihitung dengan cara mengalikan luas penampang melintang rata-rata dengan tinggi rata-rata, dikalikan kepadatan pohon per hektar. Volume kayu = (Luas penampang melintang rata-rata) x (tinggi rata-rata) x (kepadatan pohon per hektar) Didapatkan nilai volume kayu 87, 63m3 untuk setiap hektar mangrove. Hasil interpretasi citra didapatkan bahwa luas mangrove di Cagar Alam Pulau Dua 28,6 hektar, sehingga total potensi volume kayu yang dapat diusahakan adalah sebanyak 2.506 m3.
Untuk mendapatkan kekonsistenan dalam penghitungan
digunakan satuan waktu selama satu tahun. Jika diasumsikan kayu mangrove baru dapat dipanen setelah sepuluh tahun, maka nilai total volume kayu per hektar dibagi sepuluh tahun. Harga kayu bakar rata-rata di Kelurahan Sawah Luhur adalah Rp.25.000/m3. Mangrove digunakan untuk tujuan subsisten dan tidak dijual secara komersial sehingga upah bayangan untuk mengumpulkan kayu bakau tidak termasuk dalam penghitungan. Total Nilai Ekonomi Manfaat Langsung (Direct Use Value) Valuasi ekonomi produk perikanan budidaya dan tangkapan alami bandeng mencakup baik variabel dan biaya tetap sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Biaya variabel dalam penelitian ini mencakup biaya tenaga agro input yaitu bibit, pakan, pupuk, pestisida, biaya peralatan, yang meliputi pemeliharaan dan pembaruan peralatan. Sedangkan biaya tetap (fixed cost) mencakup sewa tambak, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan setiap tahunnya kepada pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pajak dan biaya penyusutan lahan (Menkveld and Firmenich 2009). Penghitungan total Nilai Pendapatan Bersih Net Present Value (NPV) dari manfaat ekosistem mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya dari semua produk akuakultur dan tangkapan alami rata-rata tahunan serta potensi tegakan kayu disajikan pada Tabel 10.
66
Tabel 10 Total Nilai Ekonomi Manfaat Langsung Mangrove di CAPD dan Tambak Unit Budidaya bandeng & Perikanan tangkap Tegakan kayu Total
Nilai Pendapatan Bersih (NPV) (Rp/ha/tahun) 13.341.000 2.190.694 15.531.694
3. Nilai Manfaat Tidak Langsung (In Direct Use Value)
a. Pelindung Pantai dari Abrasi Penilaian nilai manfaat tidak langsung dari fungsi mangrove dalam meredam abrasi pantai dihitung melalui pendekatan replacement cost dengan mengkuantifikasi biaya yang harus dikeluarkan jika harus menggunakan pendekatan hard enginering seperti tembok laut (sea wall) ataupun pemecah obak (break water).
Penanggulangan abrasi pantai tentu sangat tergantung dari
karakteristik hidrooseanografi dari gelombang maupun arus menyusur pantai itu sendiri, bisa jadi tidak hanya cukup dengan keberadaan mangrove saja untuk menanggulangi abrasi, kemungkinan harus menggunakan dua pendekatan hard enginering dengan keberadaan mangrove juga dapat dilakukan. Akar mangrove yang mencuat dan berada di atas permukaan substart dapat mengikat atau menjebak sedimen (sediment trap) sehingga menambah luasan daratan. Morfologi perakaran, dan batang mangrove yang kokoh dapat meredam hempasan gelombang dan gerusan air laut.
Menurut Aprilwati (2001) untuk
membangun breakwater berukuran 1x10mx 2m dengan penyusutan 7.16 % pertahun adalah Rp. 4.462.013, 81. Sehingga jika membangun pelindung pantai di Kelurahan Sawah Luhur sepanjang 3,5km guna menghadapi abrasi dengan umur ketahanan selama 10 tahun diperlukan biaya sebesar Rp. 1.216.912.857, sedangkan untuk panjang pantai 1000m (1km) dibutuhkan biaya Rp 405.637.619
b. Penyerap Karbon Estimasi cadangan karbon pada vegetasi mangrove di CAPD digunakan referensi digunakan acuan penelitian Donate (2011) pada berbagai ekosistem mangrove di Indo Pasifik. Donate (2011) menghitung stok karbon pada ekosistem mangrove above dan below ground (pohon, understorey, serasah, nekromasa) didapatkan nilai 1023 Mg karbon (C) per hektar.
Hasil interpretasi citra
67
didapatkan luasan vegetasi mangrove di CAPD 28,6 hektar sehingga dapat diestimasi total cadangan karbon di CAPD adalah 29.258 Mg karbon. Terdapat harga yang sangat bervariasi mengenai harga karbon yang diperdagangkan di pasar voluntary market saat ini, mulai dari USD 0,1/Ton yang diperdagangkan oleh Chicago Market Exchange, hingga sekitar USD 31/ton untuk karbon yang diperdagangkan di voluntary market Australia. Di pasar volutary Selandia
Baru
sendiri
harganya
adalah
(http://www.carbonfarming .org.nz/).
sekitar
USD
17/Ton
karbon
Berdasarkan informasi tersebut maka
pendugaan nilai pasar stok karbon di CAPD, menggunakan asumsi bahwa harga karbon di pasar voluntary adalah sekitar USD 15/Ton, sehingga harga cadangan total karbon CAPD adalah sekitar USD 438.867 atau setara dengan Rp. 3.949.803.000 (kurs 1 USD setara dengan Rp 9000). Estimasi umur mangrove di CAPD dari tahun 1972 (mulai ditanam atau tumbuh secara alami) hingga dengan saat pengukuran (2009) adalah 37 tahun. Sehingga nilai moneter potensi penyerapan karbon pertahun hasil perhitungan cadangan karbon dibagi umur pohon, didapatkan nilai 27,65 Mg karbon (C) per hektar/ tahun. Nilai uang dari cadangan karbon tersebut per hektar/tahun adalah 414,75 USD atau setara dengan Rp 3.732.750/hektar/tahun Tabel 11 Nilai Manfaat Tidak Langsung Jasa Lingkungan Mangrove di CAPD dan Tambak Sekitarnya Jasa lingkungan
Metode penghitungan
Kontrol abrasi
replacement cost
Penyerap karbon Total
factor income
Nilai ekonomi (Rp/ha) 405.637.619
3.732.750 409.370.369
5.2.2 Nilai Bukan Pemanfaatan (Non Use Value) 1. Manfaat Pilihan Penghitungan nilai manfaat berupa kenakeragaman hayati mengacu pada Ruitenbeek (1991) yang melakukan penelitian di Teluk Bintuni, Papua diketahui bahwa manfaat pilihan untuk mangrove di Indonesia nilainya adalah 15 USD per hektar atau setara dengan Rp.135.000.
Hasil interpretasi citra mendapatkan
bahwa luasan mangrove di CAPD seluas 28,6 hektar sehingga manfaat pilihan
68
yang adalah sebesar 429 USD (dengan kurs 1USD setara dengan Rp 9000) didapatkan nilai Rp. 3.861.000. 2. Manfaat Warisan dan Keberadaan Penghitungan nilai keberadaan dilakukan melalui wawancara responden berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat umur dan pendidikan dengan menggunakan nilai kesanggupan untuk membayar (Willingness to Pay/ WTP). Pada umumnya responden menghargai keberadaan CAPD sebagai pelindung tambak dari abrasi pantai dan melimpahnya biota bernilai ekonomis dengan adanya keberadaan ekosistem mangrove (CAPD). Sebagian kecil responden yang tidak berinteraksi langsung secara keseharian dan mata pencaharian dengan CAPD menganggap keberadaan CAPD sari sisi nilai budaya dan agama, yaitu dengan adanya keberadaan makam tokoh yang dianggap keramat yang berada di kawasan CAPD. Tingkat pendapatan responden bervariasi mulai dari Rp 300.000/ bulan hingga 5.200.000/ bulan, sehingga digunakan nilai median dari kesanggupan membayar yaitu Rp 550.000/hektar/tahun. Dengan luasan mangrove yang ada di CAPD seluas 28,6ha, maka didapatkan nilai manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp. 15.730.000/ hektar/ tahun 5.2.3 Total Nilai Ekonomi Total Nilai Ekonomi ekosistem mangrove di Kelurahan Sawah Luhur mencakup Cagar Alam Pulau Dua dan areal pertambakan di sekitarnya dihitung dengan menggabung nilai pemnafaatan (use value) dan nilai non pemenfaatan (non use value) sehingga didapatkan nilai dapat dilihat pada Tabel 12.
69
Tabel 12 Total Nilai Ekonomi Mangrove di CAPD dan Tambak Sekitarnya Lokasi
Pemanfaatan 1.Nilai Manfaat (Use Value) Manfaat Budidaya bandeng & perikanan langsung tangkap Tegakan kayu Manfaat Tidak Kontrol abrasi Langsung Penyerap karbon 2. Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) Nilai pilihan Keanekaragaman hayati Konservasi habitat burung migran Nilai Warisan Budaya dan agama dan Keberadaan Total
Areal tambak CAPD CAPD CAPD
Nilai ekonomi (Rp/hektar/tahun)
13.341.000 2.190.694 405.637.619 3.732.750 135.000 550.000 425.587.063
5.3 Pengaruh Penggenangan terhadap Total Nilai Ekonomi Prediksi kenaikan muka laut pada penelitian ini menggunakan kisaran nilai yang telah ditetapkan oleh IPCC yaitu pada tahun 2100 diperkiraan kenaikan muka air laut yang terjadi di Indonesia berkisar anatara 80-100cm.
Pada
penelitian ini prediksi penggenangan lahan akibat kenaikan muka air laut dihitung dengan menggunakan skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm sebagaimana disajikan pada Gambar 16 sampai dengan Gambar 20 di bawah ini. Nilai kerugina ekonomi dihitung dengan mengalikan luasan areal yang tergennag dengan nilai TEV masih-masing jenis pemanfaatan lahan tersebut apakah berupa tambak atau CAPD. Tabel 13 Total Nilai Kerugian per Skenario Kenaikan Muka Air LautEkonomi Tinggi kenaikan muka air laut
Areal Terendam (ha)
25 cm
427,22
Tambak
5.699.542.020
50 cm
545,60
11,261,056,639.79
100 cm
569,54
Tambak (535,60) dan CAPD (10ha) Perumahan dan jalan raya (13 ha) dan CAPD (10 ha) & tambak
Tipe lahan yang terendam
Jumlah kerugian
> 17.145.439.600
70
5.4
Strategi Pengelolaan Ekosistem Pesisir Metode perencanaan secara ekologis atau dikenal dengan ecological
planning methode merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai penatagunaan lahan. Selain aspek biofisik dan sosiokultur juga akan dimasukkan aspek tingkat kerentanan ekosistem maupun sosial
masyarakat
terhadap
prediksi
dampak
perubahan
iklim
juga
mempertimbangkan potensi ancaman bahaya (hazard) sampingan yang mungkin akan muncul akibat penggenangan daratan akibat kenaikan muka air laut. Hasil analisis stakeholder akan digunakan untuk menentukan aktor yang akan terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan ekosistem pesisir serta peran dalam kegiatan sebagaiaman. Dari hasil analisis tabel di atas, beberap aktor yang memegang peran penting dalam pengelolaan yaitu Pemerintah Kelurahan Sawahluhur, Kelompok Penghijauan Pesisir, Pengelola CAPD, Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur, Nelayan, Petambak. Tabel 14 Analisis stakholder dan potensi keterlibatan dalam kegiatan Peran No
Stakeholder
1.
Pemerintah Kelurahan Sawahluhur LSM Padepokan Macan Kikik Kelompok Penghijauan Pesisir Pengelola CAPD Masyarakat Kelurahan Sawahluhur Nelayan Petambak
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kuat
Lemah
Langsung
Tidak Langsung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Model pengelolaan ekosistem pesisir yang dikembangkan menggunakan pendekatan ekologi dan sosial atau dikenal dengan ecological planning method, merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kawasan, untuk membantu memahami kekompleksan informasi biofisik dan sosial yang dikaji dalam penelitian ini, maka digunakan alat analisis SWOT seperti berikut.
71
Tabel 15 Hasil analisis SWOT terhadap kenaikan muka laut
STRENGHTS Modal sumberdaya alam : Keberadaan CAPD Ketersediaan bibit mangrove Keanekaragaman jenis burung yang tinggi
OPPORTUNITIES Kebijakan nasional pengurangan emisi Kolaborasi dengan Dinas Kehutanan dan Pengelola Cagar Alam Kondisi tambak yang memungkinkan untuk penanaman Modal sosial berupa semangat gotong royong masyarakat yang masih kuat
WEAKNES Modal Finansial : masuk dalam kategori desa miskin Modal Sumberdaya Manusia: kapasitas adaptasi terhadap kenaikan muka air laut masih sangat rendah Modal Politik : belum ada kebijakan lokal untuk mengantisipasi kenaikan mukalaut
THREATS Abrasi Pengambilan Kayu Bakar Banjir Rob Kenaikan Muka Laut
Hasil pengkajian informasi biofisik dan sosial ekonomi tersebut diatas dapat diketahui bahwa kawasan pertambakan CAPD seluas 515 ha memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada kawasan konservasi CAPD. Kerusakan kawasan CAPD bisa berdampak langsung pada kondisi sosial ekonomi Serang dan disekitarnya dan memiliki dampak tidak langsung pada kondisi ekologi secara global. Saat ini CAPD menghadapi ancaman yang sangat nyata berupa hilangnya lahan akibat kenaikan muka laut, oleh sebab itu fokus strategi pengelolaan ekosistem pertambakan CAPD dilakukan dengan menjadikan CAPD sebagai prioritas, sedang strategi dan komponen lain sebagai pendukung. Strategi yang dikembangkan harus ditekankan pada upaya menurunkan tingkat ancaman dan mengurangi kelemahan.
Berdasarkan hasil analisis SWOT di atas diperoleh
indikasi strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur sebagai berikut: 1. Menurunkan tingkat ancaman: Fokus strategi adalah upaya-upaya mengurangi kejadian abrasi dengan mempertahankan garis pantai saat ini.
Terdapat dua pilihan yang bisa
dilakukan yaitu dengan hard engineering (rekayasa fisik) berupa pemasangan tanggul laut dan soft engineering (rekayasa biologi) dengan penanaman mangrove. Pilihan soft engineering sebaiknya dilakukan sehingga diperoleh biaya investasi dan perawatan yang lebih murah. Disamping itu, ekosistem
72
mangrove yang terbentuk akan memberikan dampak ekologis yang lebih baik bagi lingkungan lokal maupun globa (Leatherman 2001). 2.
Menurunkan tingkat kelemahan: Fokus strategi adalah dengan mengupayakan peningkatan kapasitas finansial, sumberdaya manusia, dan politik masyarakat agar mengarus-utamakan upaya adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan sehari-hari.
Mata-pencaharian
masyarakat, terutama perikanan agar diperkuat dengan dukungan finansial dan teknis sehingga bisa mengubah pola budidaya pertambakan konvensional saat ini menjadi model silvofishery.
Pertambakan silvofishery akan
memberikan dampak ganda yaitu manfaat ekonomi berupa hasil panen dan manfaat fisik berupa pertahanan garis pantai. Hal ini dapat terwujud dengan kondisi politik lokal yang kodusif antara lain dengan penerapan secara ketat peraturan sabuk hijau nasional yang diadopsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten tahun 2011. Berdasarkan RTRW tersebut diketahui bahwa lebar green belt Provinsi Banten adalah berkisar antara 78117 m mengacu pada Kepres No. 32/1990. Berdasarkan dua strategi prioritas diatas, pengelolaan ekosistem mangrove dan pertambakan CAPD dalam upaya menghadapi kenaikan muka laut dapat dijabarkan dalam 2 model skenario seperti sebagai berikut:
Skenario 1 LAUT Green Belt yang ada < 100 meter 100 meter
Tambak ditanam Mangrove 100 %
Tambak ditanam sehingga lebar green belt 100m
Gambar 25 Skenario 1 pengembangan green belt 100m secara intensif Pada skenario 1 diketahui bahwa lebar green belt yang ada saat ini kurang dari 100m, sehingga pembuatan green belt yang dilakukan dengan menanam secara intensif petakan tambak dengan mangrove sehingga didapatkan lebar green belt 100m.
73
Skenario 2 LAUT GREEN BELT 100 meter
Tambak (40 %)
PENANAMAN MANGROVE 60 %
Gambar 26 Skenario 2 kombinasi green belt dan tambak silvofishery
Pada skenario 2 dikarenakan saat ini status kepemilikan lahan tambak didaerah sabuk hijau telah bersertifikat, maka langkah pembentukan sabuk hijau dapat dilakukan dengan memadukan langsung antara areal tambak dengan penanaman mangrove dengan proporsi 60% mangrove dan 40% areal tambak yang masih dapat dibudidayakan. Berdasarkan wawancara dengan petambak, skenario 2 yang paling disukai atau dikenal dengan istilah tambak silvofishery. Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo’ yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sesuai dengan konsep keterpaduan antara hutan dan perikanan, maka sistem ini akan serta merta ikut menciptakan atau mempertahankan jalur hijau (mangrove) pinggir pantai. Teknologi yang diterapkan pada model tambak ini sepatutnya menerapkan sistem tambak ekstensif (tradisional) berteknologi sederhana, disesuaikan dengan daya dukung kawasan mangrove yang, saat ini, hanya mampu menopang kebutuhan tersebut. Hal ini dikarenakan kawasan mangrove tidak cocok untuk sistem budidaya intensif dikarenakan faktor elevasi (kontur) yang tidak sesuai untuk sistem drainase, kandungan bahan organik yang tinggi serta keberadaan tanah sulfat masam atau pyrit. Namun, sistem tradisional yang diterapkan, jika menggunakan kaidah budidaya yang baik, akan mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi dan berharga lebih mahal akibat proses produksi yang
74
meniadakan bahan berbahaya serta dengan memperhatikan faktor lingkungan. Di sisi lain, konsep tambak ini dapat diintegrasikan dengan pengembangan ekonomi lainnya seperti ekowisata, pelestarian keaneka ragaman hayati, serta peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam. Sehingga model tambak sylvofishery dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara langsung. Beberapa
keuntungan
yang
dapat
diperoleh
dengan
menerapkan
silvofishery, yaitu: a.
Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akarakar mangrove dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove
b.
Petambak dapat mengunakan daun tanaman mangrove sebagai pakan ternak, terutama kambing (ternak ini sebaiknya dikandangkan agar bibit mangrove yang masih muda tidak mati dimakan kambing)
c.
Keanekaragaman hayati akan meningkat (termasuk bibit ikan alami dan kepiting) dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan.
d.
Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan
e.
Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat (sequester) CO2 dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut.
f.
Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan
g.
Dalam pengembangannya, tambak silvofishery telah banyak dimodifikasi, namun secara umum terdapat (tiga) model tambak silvofishery, yaitu: model empang parit, komplangan, dan jalur (Gambar 27).
75
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 27 Silvofishery: (a) empang parit, (b) komplangan, (c) jalur, (d) tanggul Sumber : PMD Mahakam & Fakultas Perikanan UNMUL, 2009 Pengembangan
sistem
tambak
sylvofishery
tidak
hanya
akan
menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, akan tetapi juga sejalan dengan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan jalur hijau, sehingga mampu menghindari konflik dengan pemerintah daerah setempat. Kebijakan Pemerintah RI mengenai pengelolaan sabuk hijau (green belt) yang terkait dengan pengembangan tambak di wilayah pesisir telah dimulai sejak tahun 1975 dengan dikeluarkannnya SK Dirjen Perikanan No H.I/4/2/18/1975 tentang lebar green belt selebar 400m yang didasarkan dari rata rata perbedaan pasang tertinggi dan surut. SK Dirjen Kehutanan No 60/KPTS/DJ/I/1978 tentang tambak silvofishery dimana mengharuskan adanya sabuk hijau selebar 10m di sepanjang sungai dan lebar 50m di sepanjang pantai.
76
Peraturan lainnya yang sangat relevan dengan pengambangan tambak dan konservasi mangrove adalah :
Kepres No 32 Tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 mengenai perlindungan sumberdaya hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove.