VALUASI EKONOMI PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN TERITIP KOTA BALIKPAPAN Petrijansah Noor1 dan Helminuddin2 1
Sub Bag Penyusunan Program pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan 2 Timur. Laboratorium Ekonomi Sumberdaya Perikanan & Kelautan FPIK Unmul, Samarinda
ABSTRACT. Economic Valuation of Mangrove Forest Exploitation at Subdistrict of Teritip in Balikpapan City. The exploitation of mangrove forest by local community such as conversion of mangrove forest to fishpond area, settlement, cutting of wood for firewood and charcoal, catching of prawn, fish and crab or bivalva. The problem of this research was how many economic value of benefit, how change of total economic value for the ecosystem effect of change and how general description exploitation of natural resources in mangrove forest of Teritip Subdistrict. The purposes of this research were to determine the general condition and exploitation of natural resouces in mangrove forest area, to calculate economic value of benefit from mangrove forest ecosystem and to analyze the change of total economic value from mangrove forest ecosystem, the effect of change in mangrove forest of Teritip Subdistrict and to analyze the alternative pattern that able to give better benefit of economic and ecological point of view. Results of identification were obtained by direct benefit of exploitation of prawn and fish in fishpond, catching of fish with trap net, catching of prawn with gill net, catching of post larvae/milk fish fry with sodo. Direct Value Benefit of mangrove forest were Rp22,042,567/ha/year or Total Value of Direct Benefit were Rp5,279,182,285.55/year. Indirect Value Benefit obtained from physical benefit as a break water and biological benefit as supply of natural food with a value of Rp6,646,453,685/year. Benefit choice value was obtained by calculation value of biodiversity of mangrove ecosystem of US$15/ha/year yielded by value of Rp9,062,622/year. Benefit Existence was obtained by using method of CVM of Rp1,536,304,878/year. Total Economic Value Benefit of forest mangrove of Teritip Subdistrict were Rp13,516,791,212/year of the remaining mangrove forest of 61.35 ha. The best alternative pattern of exploitation of mangrove was indicated by value of NPV and of Net BCR. Hence to obtain the best alternative model of mangrove condition is no exploitation activity. Kata kunci: konversi, tingkat pemanfaatan, persepsi, nilai manfaat ekonomi
Wilayah pesisir memiliki peranan penting dilihat dari segi ekologis, di antaranya sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi hewan dan sebagainya (Fauzi, 2002). Interaksi manusia yang tak seimbang terhadap wilayah pesisir, jika terjadi terus-menerus akan menyebabkan penurunan potensi sumberdaya alam seperti pencegah banjir, akibat tsunami, penurunan stok produksi ikan, penurunan produksi udang yang pada akhirnya tanpa disadari merugikan masyarakat. Hutan mangrove di Kecamatan Balikpapan Timur hanya terdapat di Kelurahan 69
70
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Teritip seluas 61,35 ha. Upaya pemanfaatan terhadap hutan mangrove bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu mengkonversi hutan mangrove untuk lahan pertanian, perikanan, pengusahaan hutan atau pemukiman. Pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan berlebihan telah mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove serta mengganggu keseimbangan ekosistem yang berlangsung. Dampak penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove bagi sub sektor perikanan ditunjukkan dengan menurunnya fungsi hutan mangrove sebagai tempat memijah dan bertelur (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan, udang dan organisme lainnya. Dampak akhir yang ditimbulkan berupa penurunan produksi perikanan. Manfaat hutan mangrove sebagai sumberdaya pembangunan, baik sebagai sumberdaya ekonomi maupun ekologis telah lama dirasakan oleh masyarakat sekitar pesisir. Manfaat ekonomi yang justru sering dikedepankan, padahal fungsi ekologisnya seperti sebagai penahan banjir dan daerah asuhan bagi anak ikan dan udang (nursery ground) sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Sumberdaya alam hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang umumnya tidak secara langsung dapat dinilai dengan uang, padahal bila ditinjau dari kerusakan wilayah ini maupun hasil yang dapat diperoleh, mangrove memiliki nilai ekonomis yang sangat besar. Besarnya manfaat ekologis dan jasa perlindungan dari hutan mangrove juga tidak dapat dirasakan dengan cepat, sesungguhnya manfaat ekologis dan perlindungan inilah yang membuat nilai mangrove menjadi sangat penting. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove oleh masyarakat mencakup konversi hutan mangrove menjadi areal tambak, pemukiman, pertanian, pemanfaatan batang/ranting hingga penangkapan ikan, udang, kepiting dan kerang-kerangan telah dilakukan berpuluh tahun lamanya, bahkan masih ada manfaat bagi masyarakat secara tak langsung berupa manfaat biologis dan manfaat ekologis. Uraian di atas menunjukkan bahwa manfaat hutan mangrove bagi masyarakat tidaklah kecil, tetapi selama ini penilaian lebih ditekankan pada penggunaan langsung, sedangkan penilaian manfaat lainnya meliputi manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan dari fungsi hutan mangrove tidak mendapat banyak perhatian dan memerlukan penilaian ekonomi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah berapa besar nilai ekonomi dari manfaat ekosistem, bagaimana perubahan nilai ekonomi total ekosistem akibat perubahan dan bagaimana gambaran umum pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hutan mangrove Kelurahan Teritip. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi umum dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hutan mangrove Kelurahan Teritip, menghitung nilai ekonomi dari manfaat ekosistem hutan mangrove dan menganalisis perubahan nilai ekonomi total dari ekosistem hutan mangrove akibat perubahan di wilayah hutan mangrove Kelurahan Teritip dan menganalisis pola alternatif yang dapat memberikan manfaat yang lebih baik dari segi ekologis dan ekonomis.
Noor dan Helminuddin (2009). Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove
71
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dengan objek penelitian yaitu hutan mangrove Kelurahan Teritip, baik yang telah dikonversi menjadi areal tambak maupun yang masih belum dikonversi dengan subjek penelitian yaitu penduduk yang mata pencariannya berhubungan langsung dengan manfaat-manfaat yang diperoleh dari ekosistem hutan mangrove dan kemudian dijadikan responden pada penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pertambakan Kelurahan Teritip. Wilayah tersebut secara administratif merupakan wilayah Kelurahan Teritip, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan. Pengumpulan data di lapangan dilakukan selama satu bulan mulai tanggal 12 Juni sampai dengan 12 Juli 2005. Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan manfaat yang diambil, untuk penelitian ini digunakan dua metode, yaitu metode sensus yang menurut Kartono (1990) bila populasi berjumlah antara 10 sampai dengan 100, sampel yang diambil adalah 100% atau perhitungan secara sensus. Metode ini digunakan untuk menilai manfaat langsung dari usaha budidaya udang dan ikan di tambak serta usaha penangkapan ikan dengan belat, yang mana jumlah pembudidaya udang dan ikan di tambak yang dijadikan responden di Kelurahan Teritip hanya 69 orang dan nelayan yang menggunakan alat tangkap belat di Kelurahan Teritip hanya 2 orang. Metode accidental sampling adalah setiap unit objek penelitian atau suatu elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel, jumlah nelayan yang didapat selama satu bulan itulah yang dijadikan responden. Metode ini digunakan dengan asumsi, populasi yang dijadikan responden dapat dianggap mewakili dari penilaian manfaat. Metode ini digunakan untuk menilai manfaat langsung usaha penangkapan benur/nener serta usaha penangkapan udang dengan rengge, yang mana masing-masing ditetapkan sebanyak 5 orang responden. Data sekunder seperti keadaan umum lokasi penelitian dan perikanan diperoleh dari Kantor Perikanan dan Kelautan Kota Balikpapan, Dinas Kehutanan Kota Balikpapan, Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Kota Balikpapan, Kantor Kecamatan Balikpapan Timur dan Kantor Kelurahan Teritip, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkompeten dengan hutan mangrove serta studi literatur. Penilaian manfaat ekonomi hutan mangrove dilakukan melalui tiga tahap sebagaimana dikemukakan Paryono dkk. (1999), yaitu: 1. Identifikasi Manfaat dan Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove, bertujuan untuk memperoleh data tentang berbagai macam manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove, yaitu sebagai berikut: a. Manfaat Langsung (ML). Nilai dari manfaat langsung adalah nilai yang diperoleh dari manfaat yang langsung dapat diperoleh dari hutan mangrove, seperti perikanan, kayu bakar, wisata dan rekreasi (Bann, 1988). ML = MLPi +MLTi MLPi = Manfaat Mangsung Hasil Perikanan MLTi = Manfaat Langsung Tambak
72
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
b. Manfaat Tidak Langsung (MTL). Adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2002). Manfaat ini diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai, penyedia bahan pakan organik bagi udang. MTL = MTLe + MTLb MTLe = manfaat tidak langsung ekologis sebagai penahan pantai MTLb = manfaat tidak langsung biologis sebagai penyedia pakan alami
Manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove berupa penyedia pakan organik bagi udang didekati dengan menggunakan model regresi luas hutan mangrove dan produksi udang (Naamin, 1984), sebagai berikut: Y = 16,286 + 0,0003536 X. Y = produksi udang (kg). X = luas hutan mangrove (ha) Estimasi manfaat penahan abrasi pantai didekati dengan pembangunan pemecah gelombang (break water), bila tidak ada ekosistem hutan mangrove dan manfaat pasar didekati dengan perolehan keuntungan. c. Manfaat Pilihan (MP). Yaitu nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang atau individu untuk membayar demi kelestarian sumberdaya, bagi pemanfaatan dimasa depan (Fahrudin 1996). Manfaat pilihan dalam penelitian ini didekati dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di Indonesia yaitu sebesar US$1.500/km2/tahun atau US$15/ha/thn (Ruitenbeek, 1994). MP = MPb, yang mana MPb = manfaat pilihan biodiversity. d. Manfaat Eksistensi (Keberadaan) (ME). Paryono dkk. (1999) mendefinisikan manfaat keberadaan yaitu manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan hutan mangrove, setelah manfaat lainnya dihilangkan dari analisis. Teknik pendekatan yang dilakukan dengan interview menggunakan kuesioner terhadap responden, dengan menanyakan keinginan untuk membayar (willingness to pay) dalam mempertahankan asset lingkungan (Maryadi, 1998). Formulasinya adalah sebagai berikut: n
ME = (MEi)/n i=1
MEi = manfaat eksistensi dari responden ke-i. n = jumlah contoh atau responden. 2. Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi kedalam nilai uang (rupiah). Beberapa teknik kuantifikasi yang digunakan adalah: a. Nilai Pasar. Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditas-komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang diteliti, misalnya ikan, tambak dan sebagainya. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan nilai uang bagi manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove.
Noor dan Helminuddin (2009). Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove
73
b. Harga Tidak Langsung. Pendekatan ini digunakan bila mekanisme harga gagal memberikan nilai pada komoditas ekosistem yang diteliti, yaitu untuk manfaat dan fungsi tidak langsung (indirect use value). c. Metode Penilaian Kontingensi. Nilai keinginan membayar dari masyarakat dapat diketahui melalui pendekatan Metode Penilaian Kontingensi (Contingent Valuation Method atau CVM). Pendekatan ini disebut "contingent" (tergantung kondisi), karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung dari hipotesis yang dibangun. Pendekatan CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay) dari sekelompok masyarakat, dalam hal ini dari nelayan, pembudidaya udang dan ikan di tambak dan masyarakat di sekitar hutan mangrove dan keinginan menerima (willingness to accept) dari kerusakan lingkungan hutan mangrove (Fauzi, 2002). Wawancara langsung dengan responden dilakukan dengan bantuan kuisioner maupun panduan pertanyaan, untuk memperoleh nilai keinginan membayar responden terhadap ekosistem hutan mangrove. d. Nilai Manfaat Ekonomi Total (NMET). Merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi dari ekosistem hutan mangrove yang diteliti dan dirumuskan sebagai: NMET = NML +NMTL + NMP + NMK NML = Nilai Manfaat Langsung. NMTL = Nilai Manfaat Tidak Langsung. NMP = Nilai Manfaat Pilihan. NMK = Nilai Manfaat Keberadaan. 3. Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. Berdasarkan nilai manfaat ekonomi ekosistem hutan mangrove tersebut, dilakukan analisis terhadap beberapa alternatif pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. Beberapa alternatif pemanfaatan itu terdiri atas kondisi sebelum adanya pemanfaatan tambak, kondisi aktual saat penelitian dan kondisi pemanfaatan mangrove untuk areal pertambakan seluruhnya dengan melakukan investasi. Evaluasi pemanfaatan ekosistem hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan analisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis). Asumsi yang digunakan yaitu: a. Produksi kayu tetap karena usaha untuk memelihara hutan dan mengurangi kegiatan pemanfaatan kayu mangrove. b. Produksi udang dan ikan tetap karena adanya usaha untuk melestarikan hutan. c. Pertambakan tetap karena adanya usaha untuk mempertahankan kondisi hutan yang baik. d. Jenis pemanfaatan hutan mangrove tetap dan dikonversi menjadi satuan luasan. e. Analisis biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove dilakukan pada kondisi awal sebelum dikonversi dan sesudah dikonversi adalah sesuai dengan kondisi sekarang. f. Kehilangan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan akibat konversi hutan mangrove menjadi biaya kehilangan bagi pemanfaatan hutan mangrove. g. Jangka waktu analisis adalah sepuluh tahun, dengan pertimbangan waktu yang diperlukan oleh ekosistem hutan mangrove sehingga dapat dimanfaatkan kembali dan penjarangan dalam rangka pemeliharaan peremajaan alam pada hutan mangrove untuk bahan pancang atau chip dilakukan pada umur 10 tahun (Meilani, 1996).
74
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
h. Discount rate (r) dalam analisis CBA yang dipakai adalah 15% berdasarkan biaya oportunitas (opportunity cost) dari investasi yang bebas resiko (Fahrudin, l996). Kriteria evaluasi kebijakan yang digunakan adalah Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value atau NPV). Nilai Manfaat Bersih Sekarang menurut Gray dkk. (2002) adalah selisih Present Value arus benefit dengan arus biaya dengan rumus sebagai berikut: n
NPV =
t=0
(Bt – Ct )(1 + i ) t
Bt = manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan hutan mangrove. Ct = biaya yang dikeluarkan dari pemanfaatan ekosistem mangrove. t = kurun waktu penilaian (10 tahun). i = tingkat suku bunga yang berlaku pada saat penelitian. 1 = konstanta.
Kriteria penilaian pemanfaatan sumberdaya layak dikembangkan dari segi ekonomi jika NPV > 0. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Kelurahan Teritip telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan terutama pertambakan dan penangkapan ikan. Hutan mangrove di wilayah Teritip memiliki beberapa fungsi utama yaitu: a. Daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) bagi berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan biota laut lainnya, sehingga sangat mendukung produksi perikanan di wilayah pantai. b. Pelindung wilayah pantai dan pemukiman dari gelombang, arus pasang, angin badai, pencegah abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimen dan bahan pencemar. c. Penghasil sejumlah detritus dari daun dan pohon mangrove yang berguna sebagai sumber makanan untuk biota pantai. Fungsi utama mangrove seperti dijelaskan di atas, sangat berperan bagi kehidupan manusia maupun organisme lainnya dalam suatu ekosistem, maka perlu dilakukan penilaian manfaat mangrove tersebut dalam sudut pandang ekonomi, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat untuk terus berupaya melestarikannya. Rincian manfaat hutan mangrove yang berhasil diidentifikasi baik secara survei dan observasi lapangan maupun studi literatur adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Langsung (Direct Use Value). Kehidupan masyarakat Kelurahan Teritip memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya alam pesisir hutan mangrove. Hal ini dapat dilihat dari data jumlah penduduk yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai pembudidaya udang dan ikan di tambak serta nelayan atau yang bermata pencarian selain usaha perikanan tetapi memiliki pekerjaan sampingan di usaha perikanan seperti penangkap benur dan nener. Hasil
Noor dan Helminuddin (2009). Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove
75
identifikasi terhadap berbagai manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Kelurahan Teritip menunjukkan bahwa pada saat ini kegiatan utama pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat meliputi pemanfaatan hasil hutan dan pemanfaatan hasil perikanan. Upaya pemanfaatan hutan mangrove di Kelurahan Teritip hanya berupa pemanfaatan daun nipah (Nypa fruticans) sebagai bahan baku pembuatan atap rumbia. Usaha pembuatan atap rumbia dari daun nipah di Kelurahan Teritip hanya ditemukan 1 orang saja dan usaha itu sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke usaha pekarangan berupa tanaman sayuran. Usaha pemanfaatan daun nipah pada penelitian ini, karena tidak adanya data luas hutan nipah di Kelurahan Teritip, maka perhitungan manfaat langsung dari pencari daun nipah dikeluarkan dari perhitungan. Pemanfaatan hutan mangrove untuk usaha perikanan yang banyak dilakukan oleh masyarakat teritip di wilayah pesisir yaitu sebagai pembudidaya udang dan ikan di tambak dan usaha penangkapan ikan, udang serta benur/nener dengan alat tangkap belat, rengge dan sodo. Total Nilai Manfaat Langsung dari pemanfaatan hutan mangrove di Kelurahan Teritip berdasarkan identifikasi manfaat Rp22.042.567/thn atau Total Manfaat Langsung sebesar Rp1.782.879,25/ha/thn. 2. Manfaat Tak Langsung (Indirect Use Value). Ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Kelurahan Teritip berdasarkan identifikasi, memiliki dua Manfaat Tak Langsung, yaitu pertama sebagai manfaat fisik penahan gelombang/abrasi, dalam hal ini mangrove berfungsi sebagai penahan gelombang/ abrasi atau berupa break water dan kedua sebagai manfaat biologis penyedia pakan organik bagi udang/ikan. Pada penelitian ini serasah dari guguran daun mangrove diasumsikan sebagai pakan alami bagi organisme yang berlindung dan mencari makan di wilayah hutan mangrove itu sendiri. Metode perhitungan yang digunakan dalam penilaian manfaat tak langsung pada penelitian ini adalah metode substitusi. Total nilai manfaat tak langsung hutan mangrove kelurahan teritip adalah sebesar Rp6.646.452.615,40. Deskripsi nilai manfaat tak langsung dari hutan mangrove di Kelurahan Teritip, baik sebagai manfaat fisik penahan gelombang/abrasi maupun manfaat biologis penyedia pakan organik bagi organisme ikan, udang, kepiting dan organisme lainnya adalah sebagai berikut: 2.1. Manfaat Fisik Penahan Gelombang/Abrasi. Pendekatan manfaat sebagai penahan abrasi/pemecah gelombang (break water) dilakukan dengan pendekatan pembangunan pemecah gelombang bila ekosistem hutan mangrove sudah mengalami degradasi relatif parah. Nilai pemecah gelombang diasumsikan sama dengan estimasi pada penelitian Analisis Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Batu Ampar, Kabupaten Pontianak yang dilakukan oleh Salmah Aprilwati pada tahun 2001, yaitu biaya pembangunan pemecah gelombang dengan ukuran 1x11x2,5 m (PxLxT) dengan umur teknis 10 tahun sebesar Rp4.153.880. Panjang garis pantai Kelurahan Teritip adalah 16 km. Total biaya pembangunan break water dengan panjang garis pantai Kelurahan Teritip sepanjang 16.000 m adalah Rp66.462.080.000 untuk ketahanan 10 tahun atau biaya yang harus
76
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
dikeluarkan untuk manfaat fisik penahan gelombang/abrasi per tahun adalah Rp6.646.208.000. Peta sebaran mangrove di Kelurahan Teritip berdasarkan foto udara yang dilakukan oleh Mitra Pesisir pada tahun 2002 dan peta yang dibuat oleh Aliansi Masyarakat Nelayan (AMN) Kalimantan Timur memperlihatkan garis pantai Kelurahan Teritip yang mengalami degradasi cukup parah, yang mana ketebalan mangrove sebagai green belt sudah sangat tipis. Hasil survei di lapangan, jumlah mangrove yang tertinggal dengan tingkat kerapatan sangat jarang yaitu sepanjang 1.000 m dengan kondisi aktual di lokasi tersebut untuk mensubstitusikan kerugian yang diderita dengan rusaknya hutan mangrove sepanjang 1.000 m, maka Pemerintah Kota Balikpapan harus membangun pemecah gelombang di Kelurahan Teritip dengan nilai proyek sebesar Rp415.388.000. 2.2. Manfaat Biologis Sebagai Penyedia Pakan Organik. Guguran daun atau serasah dari tumbuhan mangrove bila jatuh ke dasar lumpur akan menjadi makanan bagi organisme ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan maupun organisme lainnya, baik secara langsung maupun melalui mekanisme penguraian. Makanan yang dihasilkan dari guguran atau serasah tumbuhan mangrove ini dikatakan sebagai pakan organik atau pakan alami bagi organisme yang mendiami habitat di sekitar mangrove. Penaksiran nilai manfaat tak langsung sebagai regulator kestabilan siklus makanan di ekosistem mangrove didekati dengan menggunakan metode regresi luas hutan mangrove dan jumlah produksi udang (Naamin, 1984). Kebutuhan pakan/kg udang sebesar 1,5 kg dengan harga beli pakan Rp10.000/kg, sehingga nilai manfaat hutan mangrove sebagai penyedia pakan organik sebesar Rp244.615,40/tahun. Pada usaha budidaya udang dan ikan di tambak dengan pola tradisional, yang mana usaha ini sangat mengandalkan kondisi alam seperti pasang surut, kesuburan tanah dan kebutuhan pakan bagi udang dan ikan bandeng hanya mengandalkan pakan organik/alami sebagai substitusi pengganti pakan buatan pabrik. Ketersediaan pakan alami akan terpenuhi bila keberadaan hutan mangrove terjaga, sehingga dapat memberikan manfaat tak langsung berupa penyedia pakan organik/alami bagi ikan dan udang, berarti keberhasilan usaha budidaya udang dan ikan di tambak dengan pola tradisional ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan hutan mangrove di sekitarnya. 3. Manfaat Pilihan (Option Value). Manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Teritip didekati dengan menggunakan nilai manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity). Manfaat pilihan ini adalah nilai dari keanekaragaman hayati yang diperoleh dari keberadaan hutan mangrove itu sendiri. Ruitenbeek (1994) mengemukakan, bahwa nilai biodiversity hutan mangrove di wilayah pesisir Indonesia adalah US$1.500/km2/tahun atau US$15/ha/tahun. Nilai sekarang dari manfaat tersebut dihitung berdasarkan fluktuasi kurs dollar Amerika terhadap rupiah pada saat penelitian berlangsung. Nilai tengah kurs dollar AS pada tanggal pelaksanaan penelitian 12 Juni–12 Juli 2005 adalah Rp9.848/US$, maka nilai manfaat pilihan dari total luas hutan mangrove yang tersisa yaitu 61,35 ha adalah sebesar Rp147.720/ha/tahun atau total nilai manfaat pilihan sebesar Rp9.062.622/tahun.
Noor dan Helminuddin (2009). Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove
77
4. Manfaat Keberadaan (Existence Value). Nilai manfaat keberadaan ekosistem hutan mangrove di pesisir Kelurahan Teritip dihitung dengan menggunakan Metode Penilaian Kontingensi (Contingent Valuation Methode). Metode ini diterapkan kepada seluruh responden yaitu kepada 69 orang pembudidaya udang dan ikan di tambak, 5 orang nelayan rengge udang, 2 orang nelayan belat dan 5 orang nelayan pencari benur/nener. 5. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove. Hasil identifikasi seluruh manfaat dari ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Kelurahan Teritip, kemudian dilakukan perhitungan terhadap seluruh manfaat tersebut, maka diperoleh rekapitulasi hasil estimasi dari nilai ekonomi total mangrove. Manfaat tersebut terdiri dari Manfaat Langsung (ML), Manfaat Tak Langsung (MTL), Manfaat Pilihan (MP) dan Manfaat Keberadaan (MK) dan hasil penjumlahan keempat manfaat tersebut merupakan Nilai Manfaat Ekonomi Total (NMET). NMET dari ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir Teritip dengan luas total baik yang telah dikonversi untuk tambak (201,65 ha) maupun yang masih tersisa (61,35 ha) adalah Rp7.735.507.672,94/tahun atau rata-rata Rp29.412.576,70/tahun. NMET tersebut bila dipersentasekan, maka NMTL yang menduduki urutan pertama adalah sebesar 85,92%, hal ini menunjukkan betapa besarnya MTL yang dapat berdampak kepada kehidupan masyarakat maupun ekosistem/lingkungan, bila mangrove mengalami degradasi dan kepunahan. Fungsi fisik mangrove bila mengalami degradasi akan berdampak pada abrasi yang dapat merusak lingkungan usaha budidaya tambak yang berdekatan dengan pantai, bahkan sampai pada pemukiman penduduk serta hilangnya sumber pakan alami bagi organisme yang berlindung dan mencari makan di wilayah hutan bakau dan akan berdampak pula pada mata pencarian sebagian nelayan yang sangat bergantung pada kondisi fisik hutan mangrove. Urutan kedua ditempati oleh ML sebesar 9,33% yang menunjukkan, bahwa MK ekosistem mangrove tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat lokal maupun luar wilayah Kelurahan Teritip, baik berupa usaha budidaya udang dan ikan di tambak maupun usaha penangkapan udang dan ikan. MK sebesar 4,63% dan MP sebesar 0,12% masing-masing menempati urutan ketiga dan keempat. Kedua manfaat ini memberikan kontribusi nilai yang relatif kecil dan harus menjadi perhatian bagi pemangku kepentingan untuk berupaya melakukan kegiatan rehabilitasi dan konservasi untuk kelestariannya. Besaran nilai hutan mangrove yang diperoleh melalui estimasi perhitungan ini tidak menutup kemungkinan akan mengalami perubahan, karena adanya dinamika sumberdaya mangrove dalam waktu tertentu serta adanya pemanfaatan tambahan oleh masyarakat terhadap keberadaan mangrove seperti: a. Pemanfaatan mangrove untuk tujuan ekowisata. b. Pemanfaatan satwa yang hidup di mangrove untuk tujuan komersil (burung, reptil, kera). c. Pemanfatan kawasan mangrove sebagai fishing ground untuk jenis kerang, kepiting dan ikan lainnya. d. Pemanfaatan buah mangrove untuk makanan tambahan, misalnya dijadikan keripik dan dodol.
78
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
e. Pemanfaatan kayu mangrove untuk bahan bangunan dan kayu bakar. f. Pemanfaatan bibit mangrove untuk tujuan komersil. g. Pemanfaatan nipah untuk atap, gula aren dan buahnya untuk konsumsi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil identifikasi di lokasi penelitian diperoleh 4 manfaat hutan mangrove, yaitu Manfaat Langsung yang meliputi pemanfaatan usaha budidaya udang dan ikan di tambak dengan sistem polikultur, usaha penangkapan ikan dengan belat, usaha penangkapan udang dengan rengge dogol, usaha penangkapan benur/nener dan usaha pembuatan atap dari daun nipah (Nypa fruticans), tetapi dikarenakan keterbatasan data luas hutan nipah, maka usaha pemanfaatan daun nipah tidak dapat dimasukan ke dalam perhitungan valuasi ekonomi, sedangkan pemanfaatan seperti kayu bakar, pembuatan arang maupun nelayan kepiting bakau tidak ada. Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove di Kelurahan Teritip adalah Rp22.042.567/ha/tahun dengan Total Nilai Manfaat Langsung adalah Rp5.279.182.285,55/tahun. Manfaat Tak Langsung meliputi manfaat fisik penahan gelombang/abrasi, manfaat biologis penyedia pakan dengan total nilai sebesar Rp6.646.453.685/tahun. Manfaat Pilihan diperoleh dengan menghitung nilai biodiversity atau keanekaragaman hayati dari ekosistem mangrove sebesar US$15/ha/tahun dengan total nilai sebesar Rp9.062.622/tahun. Manfaat Keberadaan diperoleh dengan menggunakan metode Penilaian Kontingensi (Contingent Value Method/CVM) dengan total nilai sebesar Rp1.536.304.878/tahun. Nilai manfaat total eksositem mangrove diperoleh dari menjumlahkan keempat manfaat hutan mangrove, yaitu Rp13.516.791.212/tahun dari luas mangrove tersisa di Kelurahan Teritip seluas 61,35 ha. Manfaat terbesar diperoleh dari Manfaat Tak Langsung hutan mangrove berupa manfaat fisik penahan gelombang/abrasi dan manfaat biologis penyedia pakan alami yang dapat dirasakan secara tak langsung oleh masyarakat 85,92%, kemudian diikuti oleh Manfaat Langsung yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat dari usaha tambak, usaha penangkapan ikan/udang dan benur/nener sebesar sebesar 9,33%, Manfaat Keberadaan sebesar 4,63% dan Manfaat Pilihan sebesar 0,12%. Pola pemanfaatan mangrove yang terbaik diindikasikan oleh nilai NPV dan Net BCR yang relatif besar berasal dari nilai total manfaat mangrove. Alternatif model terbaik adalah alternatif pemanfaatan ke-1 yaitu luas mangrove pada kondisi belum ada pemanfaatan konversi areal tambak. Nilai NPV dari pemanfaatan mangrove pada skenario ini sebesar Rp36.786.936.253 per 10 tahun, sedangkan Nilai Net Benefit Cost Ratio sebesar 11,43. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove dalam sistem pertambakan dapat dipertahankan dengan mengadopsi usaha pertambakan model Empang Parit sebagaimana di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Produksi tambak ini berdasarkan hasil penelitian lebih besar dibandingkan sistem monokultur dan polikultur tradisional.
Noor dan Helminuddin (2009). Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove
79
Saran Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam vital dalam kehidupan di wilayah pesisir memiliki nilai manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat jika pengelolaannya berdasarkan aspek kelestarian dan konservasi, tetapi jika pengelolaanya hanya bersifat eksploitatif dan semata-mata berorientasi pada profit akan berdampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem mangrove itu sendiri yang memiliki keterkaitan yang sangat erat terhadap keseimbangan ekosistem lainnya, oleh karena itu dapat dipertimbangkan beberapa saran berikut: Perlu peranan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan unsur perencanaan dapat mencarikan alternatif pengelolaan terbaik dan diiringi monitoring yang ketat tentang pengelolaan hutan mangrove. Alternatif terbaik diindikasikan oleh adanya manfaat yang besar dari usaha pemanfaatan, tetapi tidak merusak kelestarian mangrove itu sendiri. Perlunya pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat pesisir keseluruhan yang bermukim di kawasan hutan mangrove, untuk diberikan berbagai informasi dan keahlian dalam upaya pemanfaatan hutan mangrove yang ada dan upaya rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove dari tahap pencarian bibit hingga penanaman dan pemeliharaan, selain itu disosialisasikan pula berbagai peraturan yang mengikat tentang pengelolaan hutan mangrove secara lestari dari sisi ekologi dan ekonomi. Upaya rehabilitasi dan konservasi wilayah pesisir Kelurahan Teritip sebaiknya dilakukan secara bertahap dimulai dari kawasan mangrove yang mengalami degradasi secara faktual terutama wilayah pesisir Lingkungan Aji Raden. Adanya hambatan pada penelitian ini yaitu berupa tidak tersedianya data luas hutan nipah (Nypa fruticans), jumlah pasti berupa data sekunder nelayan penangkap benur/nener dan nelayan rengge udang di Kelurahan Teritip, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. DAFTAR PUSTAKA Bann, C. 1998. The Economic Valuation of Mangroves. A Manual for Researchers. Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA), Singapore. Fahrudin, A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jabar. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir & Lautan, Universitas Diponegoro, Semarang. Gray, C.; P. Simanjuntak; L.K. Sabur; P.F.L. Maspaitella dan R.C.G. Varley. 2002. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kartono, K. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju, Bogor. Maryadi. 1998. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove untuk Berbagai Macam Kegiatan Pertanian di Pesisir Pantai Timur Kecamatan Tulung Selapan, Provinsi Sumatera Selatan. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Meilani, M. M. 1996. Studi Pola Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Usaha Perikanan (Studi Kasus di Desa Mayangan, Kecamatan Pamanukan, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Skripsi Sarjana Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
80
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009
Naamin, N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jrebung (Pennaeus merguiensis De Mann) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi Doktor Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Paryono, T.J.; T. Kusumastanto; R. Dahuri dan D.G. Bengen. 1999. Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jateng. Jurnal Pesisir dan Lautan 3. Ruitenbeek, H.J. 1994. Modelling Economy-Ecology Linkages in Mangroves: Economic Evidence for Promoting Conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Elsevier Science Report, Canada.