4.2
ANALISIS FISIK
4.2.1 Kesesuaian Lahan Berdasarkan Potensi Sumberdaya Alam
Kajian mengenai lahan merupakan penilaian terhadap kemampuan atau daya dukung lahan terhadap pengembangan penggunaan lahan tertentu. Suatu sistem lahan dapat dikatakan sesuai untuk pengembangan kegiatan tertentu bila kegiatan atau penggunaan lahan yang dikembangkan tersebut memiliki produktivitas optimal dengan input yang minimal.
Analisis kesesuaian lahan ini akan menjadi dasar utama dalam menentukan struktur tata ruang, terutama dalam menentukan struktur kawasan lindung dan kawasan budidaya Propinsi Papua Barat. Disamping itu, identifikasi formasi area yang sesuai untuk pengembangan penggunaan lahan tertentu tercakup pula identifikasi daerah-daerah yang seharusnya dipertahankan karena memiliki faktor pembatas tertentu sehingga akan merugikan bahkan membahayakan bila dikembangkan. Daerah-daerah seperti ini nantinya akan diusulkan pemanfaatannya sebagai kawasan lindung yang tidak dapat dibudidayakan atau dapat dibudidayakan dengan persyaratan dan ketentuan khusus dalam pengembangannya, sehingga tidak memberikan dampak yang negatif. Setiap sistem lahan yang ada di Propinsi Papua Barat dinilai berdasarkan kriteria-kriteria fisik yang dimiliki oleh masing-masing penggunaan lahan, yaitu: Tekstur tanah; Kedalaman efektif tanah; Drainase tanah; Mutu air tanah; Ketersediaan sumber air bersih; Potensi banjir dan genangan; Iklim; Ketinggian; Kemiringan lahan; Porositas tanah; Tingkat keasaman tanah lapisan atas (pH); Tingkat keracunan tanah (kejenuhan Al dan kedalaman pirit); dan Kepekaan tanah terhadap erosi.
Dari hasil identifikasi terhadap kriteria-kriteria di atas diperoleh kesesuaian lahan sebagai berikut: Kesesuaian Lahan untuk Pertambangan Minyak dan Gas Potensi minyak dan gas di daerah Papua Barat ada pada Cekungan Bintuni, Cekungan Salawati, dan Cekungan Waiponga. Cekungan Tersier Bintuni menempati tepi Timur Vogelkop dan Semenanjung Bomberai serta dibatasi oleh sesar Anjak Arguni di Timur, punggungan di Barat, plateu Ayamaru
di Utara dan sistem sesar Tarera-Aiduna di Selatan. Cekungan ini 2
melampar berarah Utara-Selatan pada wilayah seluas ±30.000 km dengan ketebalan sedimen ± 22.000 feet. Cekungan Salawati berlokasi di perairan Barat Kepala Burung, menempati tepi Utara Kerak Benua Indo-Australia dan dibatasi di Utara oleh Sesar Sorong dan di Barat Daya oleh Busur Banda. Sementara Cekungan Waiponga berada wilayah Teluk Cenderawasih, di Utara Badan Burung dan di Timur Pulau Yapen.
Kesesuaian Lahan untuk Pertambangan Mineral Potensi
pertambangan
yang
dieksplorasi
dan
dieksploitasi
di
Papua
Barat
adalah
pertambangan nikel di pulau-pulau sekitar Kepala Burung seperti Waigeo. Potensi batugamping dapat dijumpai di sekitar Pegunungan Kemum.
Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Jenis wisata pantai telah dikembangkan secara intensif di Papua Barat, terutama di wilayah Raja Ampat. Wisata surfing dan diving di terumbu karang merupakan daya tarik utama pariwisata Papua Barat.
Kesesuaian Lahan untuk Industri Perkembangan industri dapat dilakukan pada daerah datar di bagian Barat Kepala Burung, dengan akses pada pantai yang dapat dilalui oleh kapal menengah, misalnya seperti di daerah Sorong. Pemukiman Syarat utama dari pemukiman adalah daerah datar dan jalur air yang cukup. Wilayah-wilayah dengan keadaan semacam itu cukup banyak ditemukan di daerah dataran tengah di kepala burung. Daerah-daerah tersebut juga telah dikembangkan menjadi wilayah transmigrasi. Pertanian Demikian pula pertanian dapat dikembangkan pada daerah datar dengan kondisi keairan yang baik pada daerah tengah Kepala Burung. 4.2.2 Analisis Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Lindung dan Budidaya
Penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya merupakan salah satu materi utama dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi. Kawasan non-budidaya atau kawasan lindung didefinisikan sebagai wilayah yang karena sifat keadaan alamnya dan atau fungsinya diperuntukkan guna pengaturan atas air, pencegahan banjir/erosi, pencegahan intrusi air asin atau menjaga kelestarian alam fisik hayati dan/atau manfaat lainnya. Sedangkan kawasan budidaya didefinisikan sebagai wilayah yang diperuntukkan guna berbagai kegiatan kehidupan (ekonomi dan sosial) masyarakat.
Dalam kaitannya dengan Keppres No.32 tahun 1990 yang mengatur tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dipandang perlu adanya pemantapan terhadap kawasan lindung (atau kawasan non-budidaya) yang telah ada. Di dalam Keppres tersebut secara rinci, pengertian, tujuan penetapan serta kriteria kawasan lindung telah dikembangkan dan dapat diterapkan di daerah. Untuk tujuan penyusunan RTRW, pemantapan kawasan lindung dijadikan titik tolak di dalam pengembangan struktur tata ruang provinsi yang berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Setelah kawasan lindung ditetapkan sebagai limitasi atau kendala di dalam pengembangan wilayah, barulah kemudian dapat ditentukan kawasan budidaya. Penetapan kawasan budidaya ini pada dasarnya lebih menyangkut aspek kesesuaian lahan untuk dikembangkan atau dibudidayakan. Untuk menetapkannya, acuan yang telah ada selama ini adalah kriteria lokasi kawasan budidaya seperti tertulis dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah (Tim Tata Ruang Nasional-Keppres No. 57 tahun 1989).
Sehubungan dengan hal di atas, maka di dalam analisis ini dipandang perlu adanya suatu reklasifikasi terhadap kawasan lindung dan kawasan budidaya yang ditetapkan di Papua Barat agar sesuai dengan klasifikasi (baru) yang ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan RTRW serta Keppres No. 32 dan No. 33 Tahun 1990. Berdasarkan hal tersebut barulah kemudian dilakukan pendelineasian kawasan lindung dan kawasan budidaya, dengan melakukan analisis tumpang-tindih (super-impose) terhadap peta-peta yang memuat berbagai infromasi wilayah (peta tematik) yang relevan.
Mengacu pada ketentuan yang ada, berikut ini diuraikan pengertian, klasifikasi dan kriteria kawasan lindung dan kawasan budidaya yang akan dipergunakan dalam penyusunan RTRW Provinsi Papua Barat.
A.
Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna pembangunan berkelanjutan. Mengacu pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan lindung terdiri dari sub-kawasan utama:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya yang terdiri dari: -
Kawasan hutan lindung.
-
Kawasan bergambut.
-
Kawasan resapan air.
2. Kawasan perlindungan setempat: -
Sempadan pantai.
-
Sempadan sungai.
-
Kawasan sekitar mata air.
3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Alam: -
Kawasan suaka alam.
-
Pantai berhutan bakau.
-
Kawasan suaka alam laut dan perairan isinya.
-
Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
4. Kawasan rawan bencana.
Kriteria untuk pendelineasian tiap kawasan/sub-kawasan lindung di atas, secara umum didasarkan pada faktor-faktor fisik dasar. Di dalamnya tercakup lereng, jenis tanah, curah hujan.
Dasar hukum penetapan kawasan lindung adalah: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. 5. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
Penentuan kriteria kawasan lindung secara definitif diatur oleh PP Nomor 47 Tahun 1997 tentang RTRW Nasional dan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dengan mempertimbangkan kriteria teknis yang diatur oleh SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.
Di dalam PP Nomor 47 Tahun 1997 dan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dinyatakan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi umum melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Secara umum terdiri atas empat jenis kawasan utama, yaitu:
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya. b. Kawasan perlindungan setempat. c.
Kawasan suaka alam dan cagar budaya.
d. Kawasan rawan bencana alam. Secara lebih rinci, klasifikasi dan kriteria teknis masing-masing kawasan tertera pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jenis Kawasan dan Kriteria Kawasan Lindung No.
Jenis Kawasan
Kriteria
A.
Kawasan yang Memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya
1.
Kawasan Hutan Lindung
− − −
Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, atau curah hujan yang melebihi skor 175, dan/atau Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 m dpl atau lebih.
2.
Kawasan Bergambut
Tanah bergambut dengan ketebalan 3 m terdapat di bagian hulu sungai atau rawa.
3.
Kawasan Resapan Air
Daerah dengan curah hujan tinggi, struktur tanah yang mudah meresap air, dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besarbesaran.
B.
Kawasan Perlindungan Setempat
1.
Sempadan Pantai
−
− 2.
Sempadan Sungai
− −
Daratan sepanjang tepian pantai dengan lebar proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Sekurang-kurangnya 100 m di kiri dan kanan sungai besar dan 50 m di kiri dan kanan sungai yang berada di luar daerah permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 m.
3.
Kawasan Sekitar Danau, Waduk
Daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
4.
Kawasan Sekitar Mata Air
Daerah dengan jarak sekurang-kurangnya pada radius 200 m di sekitar mata air.
C.
Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya
1.
Kawasan Suaka Alam a. Cagar Alam
−
Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistemnya.
− −
Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusun. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisik yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia. Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas. Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
− − b. Suaka Margasatwa
−
Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya.
No.
Jenis Kawasan
Kriteria − − −
c. Hutan Wisata
− − −
− d. Plasma Nutfah
− − −
e. Daerah Pengungsian Satwa
− −
Memiliki keanekaragaman yang tinggi dan populasi satwa yang terbatas. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa tertentu. Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun buatan manusia. Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olahraga serta terletak di dekat pusat-pusat permukiman penduduk. Memiliki satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olah raga, dan kelestarian satwa. Mempunyai luas yang cukup dan lapangan tidak membahayakan. Areal yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah ditetapkan. Merupakan areal tempat pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut. Mempunyai luas yang cukup dan lapangan tidak membahayakan. Areal yang ditunjuk merupakan wilayah kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut. Mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa tersebut.
2.
Kawasan Suaka Alam Laut
Perairan laut, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang, dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem pesisir dan laut, seperti memiliki tutupan, keanekaragaman, dan kelimpahan karang hidup, padang lamun, dan biota laut yang tinggi atau dilindungi.
3.
Kawasan Berhutan Bakau
Kawasan di tepi pantai yang bervegetasi bakau dengan ketebalan, kerapatan, atau keanekaragaman jenis tinggi.
4.
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
Kawasan berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.
5.
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan
Kawasan di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
D.
Kawasan Rawan Bencana Alam
Kawasan yang diidentifikasi secara intensif atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan banjir.
Penetapan kawasan lindung selain didasarkan kriteria menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 dan Keppres Nomor 32 Tahun 1990, juga menggunakan beberapa nilai pertimbangan berdasarkan SK
Menteri
Pertanian
Nomor
837/Kpts/Um/11/1980.
Faktor-faktor
lingkungan
yang
dipergunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan hutan lindung adalah kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas curah hujan dalam konteks kepekaan terhadap erosi. Pertimbangan ini secara formal telah diakomodasikan ke dalam PP Nomor 47 Tahun 1997 dan Keppres Nomor 32
Tahun
1990
melalui
ketentuan
mengenai
hutan
lindung
membentuknya.
Tabel 4.2 Faktor-Faktor Penetapan Hutan Lindung
beserta
kriteria
yang
Faktor yang Berpengaruh Kelas
Lereng (%)
Jenis Tanah
1
0–8
2 3
8 – 15 15 – 25
4
25 – 40
5
> 40
Aluvial, tanah glei planosol, hidroworf kelabu, laterit air tanah Latosol Brown forest soil, non calsic brown, meditran Andosol, lateriks, grumosol, podsolik Regosol, litosol, organosol
Intensitas Hujan (mm/hari hujan) < 13,6
13,6 – 20,7 20,7 – 27,7 27,7 – 34,8 > 34,8
Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980
Tabel 4.3 Aturan Kelas Lereng Lapangan Kelas Lereng
Kisaran Persen Lereng
Keterangan
1
0–8
Datar
2
8 – 15
Landai
3
15 – 25
Agak Curam
4
25 – 40
Curam
5 > 40 Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980.
Sangat Curam
Tabel 4.4 Aturan Kelas Jenis Tanah Kelas Tanah 1 2 3 4
Kelompok Jenis
Kepekaan Terhadap Erosi
Aluvial, tanah glei planosol, hidroworf kelabu, laterit air tanah Latosol
Tidak Peka
Brown forest soil, non calsic brown, meditran Andosol, lateriks, grumosol, podsolik
Kurang Peka
Regosol, litosol, organosol 5 Sumber: SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980.
Agak Peka
Peka Sangat Peka
Tabel 4.5 Aturan Kelas Intensitas Hujan Kelas Intensitas Hujan
Kisaran Intensitas Hujan (mm/hari hujan)
Keterangan
1
< 13,6
Sangat Rendah
2
13,6 – 20,7
Rendah
3
20,7 – 27,7
Sedang
4
27,7 – 34,8
Tinggi
5 > 34,8 Sumber : SK Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980.
B.
Sangat Tinggi
Kawasan Budidaya
Kawasan budidaya merupakan kawasan di luar kawasan lindung yang kondisi fisik dan potensi sumberdaya alamnya dianggap dapat dan perlu dimanfaatkan baik bagi kepentingan produksi (kegiatan usaha) maupun pemenuhan kebutuhan permukiman. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
Kawasan budidaya merupakan kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan dengan penggunaan lahan tertentu sebagai bagian dari kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Secara umum, kawasan budidaya adalah kawasan yang apabila digunakan untuk kegiatan budidaya secara ruang dapat memberikan manfaat untuk: 1.
Meningkatkan produksi pangan dan pendayagunaan investasi;
2.
Meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
3.
Meningkatkan fungsi lindung;
4.
Meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumberdaya alam;
5.
Meningkatkan pendapatan masyarakat;
6.
Meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
7.
Meningkatkan kesempatan kerja;
8.
Meningkatkan ekspor;
9.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan budidaya terdiri dari enam kawasan/sub-kawasan sebagai berikut: 1. Kawasan Hutan Produksi. a. Kawasan Hutan Produksi Terbatas. b. Kawasan Hutan Produksi Tetap. c.
Kawasan Hutan produksi Konversi.
2. Kawasan Pertanian a. Kawasan Tanaman Pangan Lahan Basah.
b. Kawasan Tanaman Pangan Lahan Kering. c.
Kawasan Tanaman Tahunan/Perkebunan.
d. Kawasan Peternakan. e. Kawasan Perikanan. 3. Kawasan Pertambangan. 4. Kawasan Perindustrian. 5. Kawasan Pariwisata. 6. Kawasan Permukiman. Penetapan kawasan budidaya dengan klasifikasi seperti di atas pada dasarnya diarahkan dalam rangka optimasi pemanfaatan sumberdaya dan ruang untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Alokasi ruang untuk kawasan budidaya dilakukan berdasarkan kriteria kawasan sesuai dengan pemanfaatannya. Kriteria kawasan budidaya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang ditetapkan untuk berbagai usaha dan/atau kegiatan yang terdiri dari kriteria teknis sektoral dan kriteria ruang. Kriteria teknis sektoral adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang suatu kegiatan dalam kawasan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung, kesesuaian lahan dan bebas bencana alam.
Kriteria ruang adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan, menghasilkan nilai sinergi terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan pelestarian lingkungan. Kriteria ruang didasarkan pada azas-azas sebagai berikut: 1. Saling menunjang antar kegiatan, meliputi: a. Peningkatan daya guna pemanfaatan ruang serta sumberdaya yang ada di dalamnya guna perkembangan kegiatan sosial ekonomi dan budaya. b. Dorongan terhadap perkembangan kegiatan sekitarnya. 2. Kelestarian lingkungan, meliputi: a. Jaminan terhadap ketersediaan sumberdaya dalam waktu panjang. b. Jaminan terhadap kualitas lingkungan. 3. Tanggap terhadap dinamika perkembangan, meliputi: a. Peningkatan pendapatan masyarakat. b. Peningkatan pendapatan daerah dan nasional. c.
Peningkatan kesempatan kerja.
d. Peningkatan ekspor. e. Peningkatan peran serta masyarakat dan kesesuaian sosial budaya.
Kriteria bagi kawasan budidaya secara umum didasarkan pada faktor-faktor kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kegiatan budidaya tertentu. Klasifikasi dan kriteria yang ada di tiap sub-kawasan mempunyai tingkat kerincian yang sangat bervariasi. Beberapa kriteria (kecuali untuk kawasan hutan produksi dan kawasan pertanian yang didasarkan pada kondisi fisik dasar) masih bersifat sangat umum dan memerlukan penjabaran lebih lanjut untuk dapat diterapkan dalam melakukan penggarisannya di atas peta dengan skala memadai. Dilihat dari lingkup kegiatan yang akan diwadahinya, 6 sub kawasan budidaya tersebut lebih bersifat kawasan sektoral yang terikat pada kepentingan sektor-sektor bersangkutan. Oleh sebab itu, penetapan kawasan-kawasan pertambangan, industri, pariwisata, klasifikasi dan kriteria (jika telah ada) tersebut perlu disesuaikan dengan gambar yang berlaku di sektor yang bersangkutan serta kondisi daerah setempat.
Untuk kawasan industri, Keppres No. 53 Tahun 1989, Keppres No. 33 Tahun
1990, dan
Keppres No. 41 Tahun 1996 dapat dijadikan acuan yang lebih rinci bagi penetapan lokasinya. Berdasarkan ketentuan yang ada, penentuan lokasi kawasan industri lebih didasarkan pada pertimbangan/kriteria spasial daripada kriteria teknis internalnya. Dalam hal ini, lokasi kawasan industri dipandang dalam kaitannya dengan kegiatan lain (misalnya tidak mengurangi areal pertanian atau tidak mengganggu hutan lindung dan hutan produksi), serta adanya dukungan prasarana utama (air baku, energi, pembuangan limbah). Sesuai dengan tingkat kerincian RTRW (skala 1:250.000), maka luas terkecil kawasan industri yang dapat dipetakan adalah 625 Ha.
Penetapan kawasan pertambangan terutama didasarkan pada potensi bahan tambang atau sumberdaya mineral yang dianggap bernilai tinggi. Dalam kaitan ini, pendelineasiannya sebagai suatu kawasan perlu dikaitkan dengan kebijaksanaan tata ruang sektor pertambangan (dan energi) yang berlaku. Pada tingkat konseptual dikenal adanya wilayah dan zona pertambangan dan energi, yang kemudian dijabarkan pada tingkat operasional dengan hierarki sebagai berikut: a. Kawasan pertambangan. b. Peruntukan lahan pertambangan. c.
Dalam
Lokasi usaha produksi.
rangka
pertambangan
penyusunan didasarkan
RTRW
potensi
Papua
Barat,
(ketersediaan
arahan
cadangan)
pengembangan mineral
strategis
kawasan utama.
Pendelineasiannya sebagai suatu kawasan tidak didasarkan pada seluruh areal kuasa usaha pertambangan atau kontrak karya yang pada umumnya relatif luas dan mungkin saja mencakup kawasan dengan fungsi lindung. Kawasan pertambangan ini dibatasi hanya pada lokasi eksplorasi, eksploitasi dan produksi serta sarana-prasarana pendukung yang langsung terkait dengan kegiatan pertambangan (yang dinyatakan dalam bentuk kawasan lindung) dijadikan
limitasinya. Untuk mineral golongan C yang lokasinya relatif tersebar pada semua kabupaten, arahannya perlu dilakukan pada hierarki rencana yang lebih rinci.
Kawasan pariwisata sebagai satuan wilayah yang diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata dalam RTRW pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Wilayah Pengembangan Pariwisata (WPP) dan Kawasan Wisata (KW) yang telah diarahkan secara makro dalam RIPPD. Dikaitkan dengan cakupan wilayah pengembangan kegiatannya, kawasan pariwisata perlu dibedakan dan dijabarkan lagi dalam bentuk: a. Kawasan Pariwisata Murni, sebagai kawasan yang seluruhnya diperuntukkan bagi pengembangan kepariwisataan (objek, sarana-prasarana pendukungnya). b. Kawasan Pariwisata Terbuka, sebagai kawasan yang meskipun dapat mencakup wilayah
yang
lebih
luas
(dengan
kegiatan
lain
yang
beragam),
bobot
pengembangannya diarahkan pada kegiatan pariwisata. c.
Pengembangan kawasan permukiman perlu dibedakan menurut karakteristiknya: • Permukiman kota. • Permukiman pedesaan.
Permukiman kota pendelineasiannya didasarkan pada penetapan batas wilayah kota (jika telah ditetapkan, sesuai dengan Permendagri No. 7 Tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia serta Instruksi Pelaksanaannya). Sesuai dengan tingkat kerincian RTRW (skala 1:250.000), maka kawasan permukiman kota dianggap sebagai satuan wilayah dengan fungsi utama permukiman serta sarana-prasarana pendukungnya, tanpa merinci jenis pemanfaatan ruangnya lebih lanjut. Untuk kota-kota Provinsi Papua Barat yang telah disusun rencana tata ruang kotanya, maka batas kawasan permukiman kota adalah sesuai dengan yang dinyatakan dalam rencana tersebut, yang dapat mencakup kawasan kota eksisting serta wilayah pengembangannya. Bagi kota-kota yang mempunyai status kotamadya batas ini akan sama dengan batas kotamadya.
Bagi kota-kota lainnya (ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan) cakupan wilayahnya dapat ditentukan berdasarkan kriteria sesuai dengan ketentuan Pemendagri No. 7 Tahun 1986. Untuk kawasan permukiman pedesaan, pendelineasiannya didasarkan pada perkampungan eksisting (pengelompokkan bangunan tempat tinggal yang dimukimi secara tetap) yang tidak berada di luar batas administratif kota, beserta kemungkinan perluasannya pada masa yang akan datang.
Secara rinci, klasifikasi dan kriteria kawasan budidaya tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.
Tabel 4.6 Klasifikasi dan Kriteria Kawasan Budidaya Fungsi Kawasan Hutan Produksi Tetap
Kawasan Hutan Produksi Terbatas
Kawasan Hutan Produksi Konversi
Kriteria
Keterangan
Kawasan hutan dengan faktor-faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980). Kawasan hutan dengan faktor-faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang mempunyai skor 125-174, di luar hutan suaka alam, hutan wisata, dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683/KPTS/Um/11/1980). Kawasan hutan dengan faktor-faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang mempunyai skor < 124, di luar hutan suaka alam, hutan wisata, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980).
Arahan pengembangan hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi konversi: • Kategori hutan. • Hasil analisis fisik dengan mempertimbangkan adanya wilayah limitasi, sesuai dengan kriteria dalam Keppres No. 32/1990 bagi kawasan lindung.
Kawasan pertanian lahan basah adalah kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman lahan basah dimana pengairannya dapat diperoleh baik secara alamiah maupun teknis secara menahun. Arahan pengembangan kawasan pertanian lahan basah didasarkan pada potensi dan kesesuaian lahan dengan dukungan jaringan irigasi. Kawasan pertanian lahan kering adalah kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman lahan kering seperti palawija, hortikultura, atau tanaman pangan lain. Pemetaannya dalam skala 1:10.000 hanya dilakukan dalam kawasan pertanian lahan kering, yang didalamnya dapat pula terdiri atas kawasan pertanian lahan basah. Kawasan pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman tahunan/perkebunan yang menghasilkan bahan pangan dan bahan baku bagi industri. Arahan pengembangan kawasan tanaman tahunan dan perkebunan didasarkan pada potensi pengembangan perkebunan, selain kesesuaian lahan hasil analisis. -
Kawasan Pertanian Lahan Basah
• • • •
Ketinggian < 1000 m dpl. Kemiringan lereng < 40%. Kedalaman efektif tanah > 30 cm. Terdapat sistem irigasi (teknis, setengah teknis dan sederhana).
Kawasan Pertanian Lahan Kering
• • •
Ketinggian < 1000 m dpl. Kemiringan lereng < 40%. Kedalaman efektif tanah > 30 cm.
Kawasan Tanaman Tahunan/ Perkebunan
• • •
Ketinggian < 2000 m dpl. Kemiringan lereng < 40%. Kedalaman efektif tanah > 30 cm.
Kawasan Peternakan
• • •
Kawasan Perikanan
• •
Ketinggian > 1000 m dpl. Kemiringan lereng > 15%. Jenis tanah/iklim sesuai dengan padang rumput. Kemiringan lereng < 8%. Persediaan air permukaan cukup.
Dalam rangka memberikan arahan bagi pengembangan kawasan budidaya, kawasan ini mencakup hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas yang telah ditetapkan seperti di atas, setelah dikurangi areal yang potensial untuk kegiatan budidaya yang bersifat lebih intensif. Arahan pengembangan hutan produksi terbatas diarahkan pada hasil analisis fisik dengan mempertimbangkan adanya wilayah limitasi sesuai dengan kriteria dalam Keppres No. 32/1990 bagi kawasan lindung
Fungsi Kawasan Permukiman
Kriteria • • • • •
Kemiringan lereng < 15%. Ketersediaan air terjamin. Aksesibilitas yang baik. Tidak berada pada daerah rawan bencana. Berada dekat dengan pusat kegiatan.
Keterangan Kawasan ini mencakup kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Untuk ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan, kawasannya disesuaikan dengan batas wilayah pengembangan kota (bagi kota yang telah memiliki rencana kota) atau mempunyai kesesuaian lahan untuk pengembangan kota (sesuai dengan kriteria Permendagri No. 7/1986 dan Instruksi Mendagri No. 34/1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota). Untuk permukiman pedesaan, keberadaan saat ini menjadi dasar untuk mempertimbangkan perluasannya.
Kawasan Pertambangan Kawasan Pariwisata
Mempunyai potensi bahan tambang
Memiliki keindahan dan panorama alam. • Memiliki kebudayaan yang bernilai tinggi. • Memiliki bangunan sejarah. Sumber: Hasil Analisis, 2007. •
Tabel 4.7 Kriteria Kawasan Budidaya Pesisir No
Kawasan
1.
Perikanan Tangkap
2.
Perikanan Budidaya
Kriteria 1. Jauh dari areal budidaya. 2. Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut sama seperti yang disebutkan pada bagian sebelumnya, yaitu berdasarkan atas tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang ditentukan. 3. Keberadaan Front (dalam bahasa Jepang disebut “Siome”). Front (Siome) adalah pertemuan dua massa air yang berbeda karakteristiknya. Di kawasan pesisir, front ini sering ditemui di daerah muara sungai atau diperairan teluk atau selat. 4. Merupakan daerah “Up-Welling” daerah yang kaya dengan unsur hara dan tempat berkumpulnya berbagai jenis ikan. 5. Karakteristik fisik perairan yang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh untuk pengoperasiaan jaring dogol diperlukan dasar perairan yang landai dengan substrak pasir atau lumpur. 6. Pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan perikanan di pantai dilaksanakan dengan tidak mengubah kondisi pantai, untuk menghindari proses erosi maupun sedimentasi. 7. Jauh dari spawning ground dan nursery ground. 1. Terlindung dari gelombang dan angin. Menghindari terjadinya kerusakan pada kegiatan atau usaha budidaya yang berasal dari gelombang dan arus yang besar. 2. Jauh dari permukimkan dan industri. Limbah atau pencemaran yang berasal dari rumah tangga dan industri dapat mengakibatkan kerusakan perairan dan kegagalan usaha budidaya. 3. Jauh dari muara sungai. Muara sungai juga sangat mempengaruhi budidaya laut dengan adanya proses sedimentasi akibat aktifitas di daerah atas ( Up-land ) seperti penebangan hutan, pertanian, permukiman dan industri yang dekat bantaran sungai. Kondisi ini menjadi kompleks karena daerah muara sungai secara oseanografi sangat dipengaruhi oleh air laut. Akibatnya, kondisi perairan, biota dan ekosistemnya memiliki karakteristik yang khas. Dengan demikian kegiatan budidaya laut tidak mungkin dilakukan di daerah ini. 4. Kualitas air baik. Kualitas ini mengindikasikan kelayakan kondisi perairan yang dapat dijadikan lokasi budidaya laut. Kelayakan kondisi perairan ini dapat diukur dari parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter Fisika ; Kecerahan; Parameter Kimia : Disolved Oxygen (DO), Chemical Oxygen Demand (COD), Kandungan Organik (Organic Matter), Biolocal Oxygen Demand (BOD), Kandungan Klorofil dan Parameter Biologi : Plankton. 5. Keamanan. Problem yang dihadapi nelayan dan pengusaha budidaya laut sekarang ini adalah kegiatan pencurian yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan kerugian dari nelayan dan pengusaha tersebut. Jaminan keamanan merupakan faktor yang mendukung keberhasilan budidaya.
No 3.
Kawasan
Kriteria
Kawasan Pariwisata
1. Berjarak aman dari kawasan perikanan dan pertambangan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan-kawasan tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan pariwisata atau sebaliknya. 2. Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. 3. Sirkulasi massa air di kawasan perlu lancar. Sumber: Hasil Analisis, 2007.
Tabel 4.8 Kesesuaian Penggunaan Lahan untuk Pertanian Berdasarkan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan
Suhu
Curah Hujan
Karakteristik Lahan Kedalaman Lereng Efektif
Bahaya Erosi
Pertanian Lahan Basah 24-29 >1500 >50 <3 SR S1 S2 29-32 1200-1500 40-50 3-5 R S S3 >32, <22 800-1200 24-40 5-8 Td Td 20-25 Td B N1 >8 SB N2 >33, <18 <1000 <20 Pertanian Lahan Kering S1 25-32 2500-5000 >75 <3 SR S2 >32, <32 >5000, <2200 50-75 3-8 R S3 20-22 1000-1500 30-50 8-15 S N1 Td Td <30 15-25 B N2 <20 <1000 <30 >25 SB Pertanian Tanaman Tahunan S1 25-30 1500-2000 >150 <8 SR S2 >30, <25 >2000, <1000 100-150 8-15 R S3 Td >2250, <1000 75-100 15-30 S N1 Td Td 50-75 30-50 B N2 >35, <21 >2500, <1000 <50 >50 SB Keterangan: Td : Tidak Berlaku. SR : Sangat Rentan, R: Rentan, S: Sedang, B: Bahaya, SB: Sangat Bahaya. S1 : Sangat Sesuai, S2: Sesuai, S3: Sesuai Marginal. N1 : Tidak Sesuai Saat Ini, N2: Tidak Sesuai Selamanya. F0 dst : Banjir semakin berbahaya sesuai dengan tingkatan angka.
Bahaya Banjir
F0-F1 F2 F3 F4 F4
F0 F1 F2 F3 F4
F0 F1 F2 F3 F4
Tabel 4.9 Pengharkatan Parameter Lahan untuk Kawasan Industri No. 1
2
Parameter Kemiringan lereng: -Datar ( 0-8%). -Miring ( 8-15%). -Sangat miring ( 15-25%). -Curam ( >25%). Penggunaan Lahan: -Lahan kosong. -Pertanian lahan kering. -Tambak/kolam. -Hutan. -Permukiman. -Pertanian lahan basah.
Harkat 3 2 1 0 3 2 1 -1 -2 -3
Bobot
3
5
Nilai (harkat x bobot) 9 6 3 0 15 10 5 -5 -10 -15
No.
Parameter
Harkat
3
Sumber air: a. Kualitas air: -Tidak asin (0-1000mmohs). -Aagak tidak asin (1000-2000mmohs). -Payau (2000-3000mmohs). -Asin (>3000mmohs). b. Ketersediaan air: -Besar (kedalaman <7m, penyebaran luas). -Sedang (kedalaman 7-20m, setempat). -Kecil (kedalaman >20m, setempat). -Langka.
3 2 1 0
Bobot
Nilai (harkat x bobot)
3 2 1 0
1
3
3 1 2 1 0
2 1 0
4
Kerawanan bencana: a. Bahaya erosi: -Sangat ringan-tanpa erosi. -Ringan. -Sedang. -berat-sangat berat. b. Bahaya banjir: -Tidak pernah. -Tidak mudah (tergenang <1 bulan). -Agak mudah (tergenang 1-4 bulan). -Mudah (tergenang >4 bulan). c. Gerakan massa: -Stabil. -Agak stabil. -Kurang stabil. -Tidak stabil. Sumber: Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatik.
0 -1 -2 -3 0 -1 -2 -3 0 -1 -2 -3
1
0 -1 -2 -3 0 -1 -2 -3
1
0 -1 -2 -3
1
Tabel 4.10 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Permukiman Kualitas Parameter Lahan Topografi/ Kemiringan Lereng (%). Tanah/ 2 Daya Dukung Tanah (kg/cm ). Kedalaman Batuan (cm). Batuan Lunak. Batuan Keras. Pengatusan Permukaan.
S1 0-3
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 N1 3-8 8-15 15-30
N2 >30
1,5
1,3-1,5
1,2-1,3
1,1-1,2
1,1
50-100 100-150 Baik
<50 <100 Sedang
Jelek
Tingkat Erosi.
>100 >150 Sangat baik Tanpa
Ringan
Ringansedang
Sedangberat
Kedalaman Air Tanah.
1,5-10
10-20/ 0,75-1,5 Jarang
>20/ 0,5-0,75 Sering
<0,5
outrock Sangat jelek Beratsangat berat Berawa
Sangat jarang
Sangat sering
Bahaya Banjir.
Tanpa/ Sangat jarang Sumber: Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatik.
Berdasarkan klasifkasi dan kriteria kawasan non-budidaya (lindung) dan kawasan budidaya yang selama ini telah dipergunakan di daerah, sebenarnya dapat dilakukan kalsifikasi kembali (re-klasifikasi) ke dalam klasifikasi yang berlaku secara nasional. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan hasil komparasi terhadap pengertian dan kriteria yang dipergunakan.
a. Analisis Tumpang-Tindih terhadap Rencana Tata Ruang/Sektoral yang telah ada dalam proses penyusunan RTRW Papua Barat, keberadaaan rencana-rencana tata ruang/sektoral yang telah disusun di daerah menjadi salah satu pertimbangan. Untuk melihat kedudukan rencana-rencana yang disusun secara parsial tersebut dalam wilayah Papua Barat secara utuh, dilakukan tumpang tindih terhadap peta-peta produk masing-masing rencana. Dengan analisis tumpang-tindih ini, pada tahap awal diharapkan dapat teridentifikasi tumpang-tindih antar rencana yang pada dasarnya mengindikasikan permasalahan bentrokan kepentingan antar sektor. b. Analisis Tumpang-Tindih untuk Pemantapan Kawasan Lindung. Pendelineasian kawasan lindung yang dilakukan dalam rangka penyusunan RTRW pada dasarnya tidaklah menentukan kawasan lindung tetapi lebih bersifat memantapkan kawasan lindung yang telah ada selama ini dengan mempergunakan klasifikasi dan kriteria yang bersifat lebih menyeluruh. Pemantapan kawasan lindung ini disajikan dalam bentuk peta wilayah provinsi dengan tingkat ketelitian 1:250.000.
Berdasarkan kriteria yang ada, untuk menghasilkan peta pemantapan kawasan lindung, diperlukan masukan-masukan informasi berupa peta-peta tematik dengan skala yang relevan yang terutama memuat infromasi fisik dasar wilayah mengenai: a. Ketinggian. b. Kelerengan. c.
Iklim (curah hujan).
d. Hidrologi (sungai, danau, sumber air). e. Kawasan rawan bencana alam. f.
Keberadaan flora dan fauna.
Peta-peta yang memuat informasi fisik dasar wilayah tersebut kemudian dilakukan analisis tumpang-tindih (super-impose).
c.
Analisis Tumpang-Tindih untuk Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya. Setelah kawasan lindung telah dapat ditentukan dan dimantapkan, kemudian perlu ditentukan arahan pengembangan kawasan budidaya. Dalam kaitan ini, jelas bahwa kawasan lindung dipandang sebagai limitasi bagi pengembangan kawasan budidaya. Untuk memberi arahan Kawasan Budidaya, dasar pertimbangan utama yang dipergunakan adalah faktor ‘kesesuaian lahan’ (land suistainability) untuk dikembangkan. Selain itu, rencanarencana (tata ruang) yang telah ada perlu pula dijadikan salah satu dasar pertimbangan. Hal ini karena pada dasarnya rencana-rencana tersebut sudah menunjukkan ada komitmen sektor untuk mengembangkan suatu kawasan (kawasan sektoral) meskipun seringkali belum/tidak mempertimbangkan kemungkinan konfliknya dengan kawasan lain.
Seperti halnya dalam analisis untuk pemantapan kawasan lindung, untuk memberi arahan bagi pengembangan kawasan budidaya dipergunakan juga analisis tumpang-tindih terhadap berbagai peta tematik. Ini dilakukan setelah kawasan lindung dipandang sebagai limitasi dan kendala bagi pengembangan kegiatan budidaya. Selain peta-peta yang memuat kondisi fisik dasar, peta tematik lain yang ditumpang-tindihkan adalah peta kesesuaian lahan yang mengindikasikan kemungkinan pengembangan lahan untuk berbagai kegiatan pertanian.
d. Identifikasi Wilayah-Wilayah Prioritas. Untuk menunjang pengembangan sektor-sektor strategis perlu diidentifikasi kawasankawasan strategis yang menunjuk pada lokasi dimana sektor strategis tersebut akan dikembangkan. Kawasan tersebut perlu segera mendapat dukungan penataan ruang agar mengakomodasikan perkembangan sektor dan sekaligus dapat mamacu perkembangan wilayah yang lebih luas. Di samping kawasan strategis terdapat pula kawasan terpencil, dan kawasan kritis yang lebih menekankan kepentingan penanganan segera terhadap masalah kritis yang ada di daerah. Ketiga jenis kawasan itu tercakup dalam wilayah-wilayah prioritas yang perlu segera mendapat perhatian dalam penataan ruang.
Kawasan strategis ditentukan dengan kriteria-kriteria: a. Pengembangannya tidak hanya mempunyai dampak lokal, tetapi juga dalam lingkup regional bahkan, nasional. b. Pengembangan sarana-prasarana di atasnya akan membutuhkan lahan dalam skala besar. c.
Sektor yang akan dikembangkan di atasnya mempunyai prioritas tinggi dalam skala besar.
d. Pengembangannya mempunyai prospek ekonomi yang cerah atau untuk memacu daerah miskin/kritis dan terbelakang. e. Adanya dukungan minat kecenderungan investasi swasta dan pemerintah yang cukup tinggi.
C. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Pertanian dalam arti luas merupakan salah satu sektor utama dalam pengembangan wilayah Papua Barat. Oleh karenanya, analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian dilakukan untuk menentukan arahan pengembangan pertanian selama jangka waktu perencanaan. Pada analisis ini dilakukan berdasarkan pertimbangan fisik lingkungan wilayah studi dengan mempertimbangkan persyaratan minimal dalam pengelolaan penggunaan lahan dan tingkat pengelolaan yang sudah dilakukan di wilayah studi. Pertimbangan sekilas dilakukan dengan
asumsi penggunaan lahan oleh masyarakat setempat di wilayah studi tanpa menggunakan teknologi dan pengetahuan tertentu dalam pengembangan usaha taninya. Implikasi dari asumsi ini adalah kemampuan lahan di wilayah studi akan meningkat jika dilakukan beberapa perbaikan dan pengembangan pada faktor-faktor produksi (teknik dan teknologi pengolahan lahan, pemupukan, pelatihan dan penyuluhan, serta modal usaha tani), sektor hulu usaha tani (penyediaan saprotan), sektor hilir usaha tani (pengolahan pasca panen, pemasaran) dan aspek pendukung pengembangannya (kelembagaan penyuluhan, kebijaksanaan pemerintah, dan lain-lain). Dengan adanya perbaikan dan pengembangan secara terencana dan terkoordinasi antar aspek yang berkaitan, maka faktor-faktor penghambat pengembangan usaha tani dapat diatasi sehingga pengembangan wilayah studi secara umum dapat dilakukan dengan dukungan sektor pertaniannya (agribisnis) yang maju.
Stratifikasi hasil evaluasi lahan disesuaikan dengan kedalaman data yang tersedia yaitu pada tingkat subkelas dengan disertai pencantuman faktor pembatas masing-masing kelas: 1 → Sesuai (S). 2 → Sesuai bersyarat (CS). 3 → Tidak bersyarat (N).
Kualitas lahan yang dipertimbangkan dalan kesesuaian lahan diantaranya sebagai berikut: a. Tipe Iklim (i). b. Elevasi (k). c.
Media perakaran (r).
d. Terrain (s). e. Temperatur udara (t). f.
Ketersediaan air (w).
g. Toksisitas (x).
Setiap kualitas lahan tersebut ditentukan oleh karakteristik-karakteristik penciri masing-masing dan dapat menjadi pembatas dalam pengembangan jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan.
Tipe penggunaan lahan yang dinilai pada analisis ini merupakan penggunaan lahan yang sesuai dengan zona agroekologi tanaman yaitu tanaman pada dataran rendah (< 700 m dpl) dan iklim basah (curah hujan + 2000 mm/tahun dengan bulan basah sepanjang tahun). Tipe penggunaan lahan tersebut adalah tanaman pakan ternak (rerumputan dan pepohonan), tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman pangan (kacang-kacangan, serealia, dan umbi-umbian), tanaman tahunan dan perkebunan.
Kesesuaian pada Satuan Peta Tanah (SPT) di Papua Barat diuraikan sebagai berikut (lihat peta masing-masing kelompok komoditas dengan memperhatikan pembagian ketinggian lahan dan iklim): 1. Kelompok Tanaman Pakan Ternak Jenis Pohon-Pohonan. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 9, 10, 12, 13, 14, 21, 22, 25, 26, 28, 29, 38, 39, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 2. Kelompok Tanaman Pakan Ternak Jenis Rumpu-Rumputan. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 38, 39, 46 dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 3. Kelompok Tanaman Sayur-Sayuran Dataran Rendah Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, dan 46. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 4. Kelompok Tanaman Sayur-Sayuran Dataran Rendah Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, dan 46. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 5. Kelompok Tanaman Sayur-Sayuran Dataran Tinggi Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, dan 46. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 6. Kelompok Tanaman Sayur-Sayuran Dataran Tinggi Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, dan 46. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini.
7. Kelompok Tanaman Buah-Buahan Dataran Rendah Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 8. Kelompok Tanaman Buah-Buahan Dataran Rendah Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 9. Kelompok Tanaman Buah-Buahan Dataran Tinggi Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 10. Kelompok Tanaman Buah-Buahan Dataran Tinggi Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 11. Kelompok Tanaman Kacang-Kacangan Dataran Rendah Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, 46, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 12. Kelompok Tanaman Kacang-Kacangan Dataran Rendah Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, 46, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 13. Kelompok Tanaman Serelia Dataran Rendah Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, 46, dan 52. Sedangkan pada sebagian
SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 14. Kelompok Tanaman Serelia Dataran Tinggi Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 38, 46, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 15. Kelompok Tanaman Umbi-Umbian Dataran Rendah Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 38, 39, 46, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, dan 23. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 16. Kelompok Tanaman Semusim/Perkebunan Dataran Rendah Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 17. Kelompok Tanaman Tahunan/Perkebunan Dataran Rendah Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 18. Kelompok Tanaman Tahunan/Perkebunan Dataran Rendah Iklim Kering. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini. 19. Kelompok Tanaman Tahunan/Perkebunan Dataran Tinggi Iklim Basah. Kelompok tanaman ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 32, dan 52. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 2, 3, 4, 7, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 27, 38, 39, dan 46. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini.
20. Perikanan Air Payau. Perikanan air payau ini sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan di Papua Barat pada SPT 2, 4, 5, 6, 7, 15, 16, dan 17. Sedangkan pada sebagian SPT yang memiliki kelas kesesuaian berbeda dan terdapat bagian lahan yang tidak sesuai pada SPT 1, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 18. Lahan lainnya, tidak sesuai bagi pengembangan kelompok tanaman ini.
Untuk satuan lahan sesuai bersyarat, terdapat beberapa faktor pembatas yang dapat diupayakan diatasi dengan meningkatkan tingkat pengelolaan usaha ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu dengan adanya peningkatan teknik dan input produksi. Dengan demikian, diharapkan faktor pembatas tersebut dapat diatasi, kecuali pada lahan dengan faktor pembatas yang bersifat tetap (tekstur, kedalaman efektif, singkapan batuan dan lainnya) atau membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Secara garis besar, faktor pembatas pemanfaatan lahan untuk pengembangan komoditas pertanian, perikanan, perkebunan, ataupun tanaman tahunan (tidak termasuk kawasan yang sudah ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, suaka alam, cagar alam, taman nasional, hutan wisata) adalah: 1. Fakor bentuk wilayah dan kelerengan lahan (s) pada sebagian lahan, terutama di Kabupaten Manokwari, Kaimana, Teluk Wondama, Fak-Fak, Sorong dan Raja Ampat. 2. Pemanfaatan lahan pada lahan dengan faktor pembatas ini berpotensi meningkatkan degradasi lahan dan bahaya alam lainnya. Secara ekonomis, untuk penggunaan lahan saat ini dengan tingkat usaha tani tradisional atau lebih dari itu dalam jangka waktu pendek akan menghasilkan produksi pertanian yang baik, tetapi seiring dengan intensitas penggunaan dan pengelolaan lahannya cenderung akan mengalami penurunan produktivitas lahannya dan meningkatnya ancaman degradasi lahan/bahaya alam lainnya. Potensi degradasi lahan tersebut juga akan semakin meningkat apabila hutan yang berada pada lahan yang mempunyai karakteristik berlerang terjal ini dijadikan penggunaan lahan lain (dikonversi) atau dijadikan areal penebangan hutan produksi. 3. Faktor media perakaran (r) sebagian besar menjadi kendala pengembangan pertumbuhan tanaman karena adanya gambut dan setengah matang atau belum matang, drainase terhambat, tekstur kasar, sebagian ada yang kedalaman efektif dangkal. 4. Faktor toksisitas (x) sebagian besar terdapat pada lahan yang mengandung bahan organik yang tebal dan belum matang. Pada umumnya terdapat pada lahan-lahan gambut. Sebagian besar terletak di Kabupaten Teluk Bintuni. 5. Faktor ketersediaan air (w) dan hidrologi (h) ditemukan pada lahan dataran rendah. Faktor ini menghambat pengembangan tambak.
Berdasarkan kesesuaian lahan terpilih di atas dengan memperhatikan pembagian wilayah dataran rendah atau tinggi dan iklim basah atau kering, disusun arahan penggunaan lahan. Untuk aplikasi dan teknis di lapangan, lahan dan penggunaan lahan yang direkomendasikan perlu dikaji lebih lanjut agar dapat diketahui tingkat kesesuaiannya pada skala yang lebih detil dan teknis.
D. Analisis Lokasi dan Kapasitas Sumberdaya Alam Berdasarkan kondisi fisik dan lingkungan, Provinsi Papua Barat sebagian besar merupakan daerah dataran rendah. Sisanya 40 persen adalah daerah dengan kemiringan 40-60% hingga pegunungan.
Perut bumi wilayah Papua Barat terbilang kaya akan bahan tambang dan galian. Seperti halnya di Teluk Wondama, hampir seluruh kawasannya mengandung gas alam cair (LNG). Cadangan yang dimiliki diperkirakan bernilai triliunan kaki kubik (TCF) dan kandungan minyak bumi yang diperkirakan hingga ratusan juta ton. Sentra pemanfaatan LNG berada di Kampung Tanah Merah, Distrik Babo, sedangkan konsentrasi pengambilan minyak bumi berlokasi di Distrik Muskona Selatan. Di samping itu, wilayah Papua Barat juga memiliki cadangan batu bara dengan kandungan jutaan ton di Distrik Bintuni, Tembuni, Babo, dan Arandai. Potensi bahan tambang lainnya adalah adanya bahan tambang berupa Mika, Maskovit, Kuarsa dan Pragmatis dengan potensi yang cukup besar.
b. Bahan Galian Logam Papua Barat memiliki prospek pertambangan sumberdaya mineral yang sangat besar. Khusus untuk bahan galian logam, terdapat 12 daerah prospek pertambangan bahan galian logam yang termasuk dalam wilayah Provinsi Papua Barat. Bahan galian logam yang dideskripsikan masih merupakan potensi dan belum cadangan. Untuk itu, daerah-daerah prospek bahan galian logam di wilayah Papua Barat tersebut perlu diinventarisasi detail untuk mengetahui cadangan logam yang tersedia. Cadangan bahan tambang logam tersebut akan menentukan apakah prospeknya ekonomis, sub ekonomis atau kandungan rendah.
Tabel 4.11 Persebaran Daerah Prospek Bahan Galian Logam di Papua Barat No.
Daerah Prospek
1.
Daerah Prospek Kupai.
2.
Daerah Prospek Etna.
Lokasi
Jenis Bahan Galian
3,5 km sebelah Utara Kiruru-Teluk Etna.
Logam Tembaga kadar rendah.
4.5 km Tenggara Desa Kiruru-
Emas,
Teluk Etna.
ekonomis. dengan
kadar
sub
3.
Daerah Prospek Wawa.
Berdampingan Etna.
Prospek
Logam Tembaga Emas kadar tinggi.
dan
4.
Daerah Prospek Wati.
8 km sebelah Timur Desa KiruruTeluk Etna.
Batu Pasir Kwarsa.
5.
Daerah Prospek Pariri.
Sebelah Barat Teluk Etna.
Logam Pb dan Zn.
6.
Daerah Prospek Pariri Timur.
Sebelah Selatan Desa Kiruru-Teluk
Logam Au, Pb, dan Zn.
7.
Daerah Prospek Moyo.
20 Km Barat Laut Teluk Etna.
8.
Daerah Prospek Etahima.
20 km Timur Laut Desa Kiruru.
Sedimen Kwarsa.
9.
Daerah Prosepk Bama.
16,5 km Timur Laut Kiruru.
Logam Emas.
10.
Daerah Prospek Marasin.
15 km Timur Laut Teluk Etna.
Logam Pb dan Zn.
11.
Daerah Prospek Kalisuthe dan West Delta,.
150 km Timur Laut Kota Sorong Distrik Sausapor.
Bijih Emas.
12.
Endapan Nikel Pulau Gag.
160 km dari Sorong Pulau Gag
Endapan Logam Nikel.
Etna. Batuan Marmer.
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Jayapura (2004).
Jenis sumberdaya tambang yang ada tersebar di 6 kabupaten di Provinsi Papua Barat, yaitu: 1. Potensi tambang
di Kabupaten Manokwari adalah Timah Hitam, Bismarck, Chrom,
Stronsium, Tembaga, Zirkon. 2. Kabupaten Teluk Bintuni: Tantaium, Zircon, dan mengandung unsur tanah jarang. 3. Kabupaten Teluk Wondama: Emas dan Tembaga. 4. Kabupaten Kaimana: Tembaga. 5. Kabupaten Fak-Fak: tidak ada potensi tambang. 6. Kabupaten Sorong Selatan: tidak terdapat potensi tambang. 7. Kabupaten Sorong: Perak, Seng, Timah Hitam. 8. Kabupaten Raja Ampat: Nikel, Mangan, Besi, Tembaga, Kobalt. 9. Kota Sorong: tidak ada potensi tambang.
Jenis potensi tambang tersebut berbeda karena sifat geologi, lapisan batuan yang berbeda sehingga potensi dan kandungan yang ada disuatu wilayah menjadi tidak sama. Sedangkan untuk potensi mineral non logam dapat diamati pada peta.
Jenis mineral logam yang ada tersebar di 9 kabupaten yaitu: 1. Potensi tambang di Kabupaten Manokwari adalah Mika, Batu Bara, dan Marmer. 2. Kabupaten Teluk Bintuni: Batu Bara, Marmer. 3. Kabupaten Teluk Wondama: Marmer, yang tersebar di 3 titik lokasi. 4. Kabupaten Kaimana: Granit, Marmer, Kaolin. 5. Kabupaten Fak-Fak: Granit. 6. Kabupaten Sorong Selatan: Phospat. 7. Kabupaten Sorong: Marmer. 8. Kabupaten Raja Ampat 9. Kota Sorong: Pasir Kuarsa.
Lokasi –lokasi potensi mineral logam terletak pada wilayah kawasan lindung sehingga perlu kehati-hatian dalam strategi eksplorasi dan pemanfaatan potensi tambang tersebut.
c. Bahan Galian Batubara Persebaran daerah potensial batubara umumnya berada di Selatan Kepala Burung (Papua Barat). Penyebaran lokasi-lokasi prospek batubara tersebut berkaitan dengan proses pembentukan dan kondisi spesifik fisiografi lahan. Tabel 4.12 Persebaran Daerah Potensi Batubara di Papua Barat No. 1.
Daerah/Lokasi
Posisi lokasi/
Jenis/Warna
Kedudukan Lapisan
Potensi/Cadangan Tebal Lapisan (cm)
Daerah Horna o
o
Coklat Kehitaman,
38 - 82
o
o
KusamMengkilat
26 – 39
o
o
Kusam-
56 – 76
Sungai Tohu
N 100 E/10
Bukit Hitu
N 100 E/15
Sungai Temok
N 140 E/23
Mengkilat Sungai Titeng
N 125o E/15o
Mengkilat
50 – 70
Sungai Roga
N 65o E/75o
Mengkilat
22 – 60
Cadangan Batubara Horna (hipotetik) 2.
400
o
o
Hitam Mengkilat
160
o
o
Hitam Mengkilat
106 - 220
133 32’58 BT – 01 36’ 38”LS/N 120o E/34o
Hitam Mengkilat
100
Sungai Titoko
133 33’55” BT - 01 o o 37’26” LS/ N 120 E/30
Sungai Titoku
133 33’ 52” BT – 01 o o 37’ 09” LS/N 125 E/07
Sungai Cicwa
o
o
Cadangan Batubara Igomo (hipotetik) 3.
4,5 juta ton
Daerah Igomo
20 juta ton
Daerah Salawati
(131o01’40” - 131o10’30” BT dan 01o00’ – 01o06’ LS)
Di Tepi Pantai
N 284o E/75o
Hitam
165
No.
Daerah/Lokasi
Posisi lokasi/ Kedudukan Lapisan
Desa Kelobo Di Tepi Waiboe
Sungai
Di Dekat Sungai
Jenis/Warna
Potensi/Cadangan Tebal Lapisan (cm)
Kecoklatan o
o
N 330 E/9
N 270o E/70o
Waiboe
Hitam Kecoklatan
Sulit ditentukan
Hitam
1000
Kecoklatan o
Warir
o
N 275 E/15
Hitam
6.720
Kecoklatan o
o
Sungai Wailen
N 228 E/30
Di Dekat Dermaga
N 260o E/25o
Desa Kelobo
Hitam Kecoklatan
25
Hitam
230
Kecoklatan
Di Lokasi S14
N 250 E/70
o
o
Hitam Kecoklatan
1.680
Pulau Reef (S9)
N 210 E/30
o
o
Hitam Kecoklatan
Belum ditentukan
Cadangan Batubara Salawati (hipotetik)
Utara 10,92 juta ton Selatan 23,4 juta ton
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Jayapura (2004).
Kualitas batubara pada ketiga wilayah potensial tersebut tergolong batubara hitam kecoklatan, kusam dan rapuh sehingga mengotori tangan. Batubara tersebut umumnya masih muda karena struktur kayu masih tampak. Menurut Diesel (1984) dalam Dinas Pertambangan dan Energi Jayapura (2004), bahwa jenis batubara yang terdapat di wilayah Salawati tergolong Fusain. Berdasarkan hasil uji laboratorium dengan Metode Air Dies Basis (ADB), kualitas batubara yang terdapat di ketiga wilayah potensial tersebut disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 4.13 Kualitas Batubara yang Terdapat di Tiga Daerah Potensial di Papua Barat No.
Nilai Kisaran/Daerah Sumber Batubara
Parameter Kualitas
Horna
Igomo
Salawati
1.
Nilai Kalor (kal/gram)
7003
7003
5457,5
2.
Kadar air rata-rata (%)
6,8
6,8
12,65
3.
Kadar abu rata-rata (%)
3,4
3,4
14,15
4.
Kadar belerang (%)
0,94
0,94
0,37
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Jayapura (2004). Berdasarkan pada pertimbangan berbagai faktor seperti daerah sumber yang umumnya di sungai dan rawa, kedudukan lapisan yang hampir tegak, menyebar di pesisir pantai/teluk dan kualitas batu bara yang tergolong dalam brown coal serta cadangannya yang cukup besar, sumberdaya tersebut potensial untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif. Bentuk pemanfaatannya adalah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap mini yang mampu mensuplai listrik di sekitarnya.
d. Sumberdaya Minyak dan Gas Bumi Daerah pertambangan minyak dan gas bumi yang telah dikenal memiliki cadangan yang sangat besar adalah daerah Sele-Klamono-Salawati Kabupaten Sorong dan daerah Babo Kabupaten Teluk Bintuni. Di Sele, Klamono dan Salawati, kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi telah berlangsung lama. Tempat pengolahaan hasil terutama industri Gas Alam (LPG) berada di Arar Sorong. Bahan baku diperoleh dari sumur-sumur yang menyebar di tiga lokasi utama tersebut. Bentuk perusahaan yang mengelola adalah perusahaan patungan modal dalam negeri dan modal asing. Kegiatan pertambangan gas alam terbesar juga di Teluk Bintuni (Babo) oleh perusahaan asing (PMDA) yang saat ini sedang dalam taraf konstruksi. Potensi cadangan Minyak Bumi pada daerah tersebut sebesar 20 TB da Gas 13 TCF. Sementara di daerah Raja Ampat, Sorong Selatan, dan Manokwari, yang juga merupakan daerah prospek pertambangan minyak dan gas alam, kegiatannya masih dalam taraf eksplorasi.
Daerah prospek lain yang memiliki potensi minyak dan gas alam adalah daerah Kaimana. Di wilayah ini, kegiatan pertambangan masih dalam taraf Seismik Tipe-D. (Atlas Kaimana, 2005). Daerah-daerah yang secara geologi memiliki cekungan tempat menampung rembesan minyak dan gas alam adalah muara Teluk Arguni dan Teluk Besari.
Potensi di laut lepas sekitar perairan Raja Ampat-Sorong Selatan dapat dikatakan sangat besar. Di Perairan Barat Fak-Fak, masih terdapat cekungan minyak dan gas bumi yang sampai saat ini belum ditemukan. Perlu banyak melakukan penelitian awal untuk mengidentifikasi cadangan gas dan minyak bumi karena 2 tambang migas ini menjadi penting dalam kinerja untuk menciptakan bahan bakar bagi kelangsungan hidup manusia.
Gambar 4.1 Potensi Hidrokarbon di Papua Barat 4.2.3 Analisis Daya Dukung dan Kemampuan Lahan A.
Bentang Alam
Provinsi Papua Barat memiliki morfologi terjal di bagian Utara di Kepala Burung dan di Selatan pada bagian Leher Burung, dengan daerah paling tinggi memiliki elevasi 3731 mdpl. Daerah terjal mengikuti garis pantai di bagian Utara, sedangkan daerah landai berada di bagian Selatannya. Pulau-pulau di Provinsi Papua Barat umumnya merupakan pulau yang terjal dengan variasi ketinggian sekitar 0-750 mdpl. Kemiringan lereng Provinsi Papua Barat bervariasi antara 0°-35°. Beberapa tempat memiliki keterjalan sangat tinggi mendekati tegak. Namun umumnya daerah berada pada kemiringan 0°-11°. Satuan geomorfologi Papua Barat terbagi menjadi beberapa satuan, yaitu Pegunungan Utara (Tinggian Kemum), Dataran Tengah, Pegunungan Lipatan Leher Burung, Perbukitan Selatan, serta morfologi kepulauan sekitarnya. Pegununungan Utara merupakan daerah perbukitan yang paling luas di Papua Barat, terletak di Selatan Manokwari dan membentang dengan arah relatif Barat Timur serta menerus hingga Pulau Waigeo. Dataran Tengah merupakan daerah hilir sungai dari Pegunungan Utara, di daerah Klamono, Saga, Aroba, membentang relatif juga Barat-Timur serta terdapat di antara wilayah pegunungan lipatan di Selatan. Pegunungan lipatan pada Leher Burung (Kaimana, Barat dan Selatan Nabire) merupakan zona perbukitan dengan tekstur kasar dan memiliki pola melengkung mengikuti bentuk Leher Burung Papua Barat. Sementara
geomorfologi daerah Pegunungan Selatan (Fak-Fak, Werbuam) merupakan sistem lipatan yang sama dengan Leher Burung. Daerah kepulauan sekitar Papua Barat pada sisi Selatan umumnya merupakan daerah zona perlipatan, sementara pada sisi Utara adalah daerah akibat tumbukan lempeng pasifik dan marjin Australia dan merupakan daerah batuan keras dengan morfologi berupa perbukitan.
Gambar 4.2 Elevasi Provinsi Papua Barat B.
Batuan dan Tanah
Material penyusun Provinsi Papua Barat bervariasi dari batuan berumur Paleozoikum hingga endapan sungai Kuarter. Sementara itu pada daerah lepas pantai terdapat beragam batuan yang merupakan kesatuan Cekungan Bintuni dan Cekungan Salawati yang merupakan daerah dengan prospek minyak dan gas.
Secara geologi teknik batuan daerah Papua Barat terbagi menjadi empat wilayah batuan. Pada bagian paling Utara terdiri dari batuan dasar samudera (seri ofiolit, metamorf, ultrabasa) yang saat ini merupakan daerah penambangan Nikel yang intensif di sekitar Waigeo dan Manokwari. Lebih ke Selatan dari Manokwari, pada tinggian Kemum merupakan batuan yang terdiri dari batuan tertua di Papua dan batuan-batuan yang telah termetamorfkan kuat. Daerah dataran tengah merupakan daerah yang ditutupi secara umum oleh endapan aluvial dan rawa, serta batuan berumur muda yang menutupi sistem perlipatan Lenguru (Pegunungan Selatan dan Leher Burung). Pada daerah Perlipatan Lenguru (Leher Burung, dan Pegunungan Selatan)
terdiri dari batuan sedimen dari sistem Marjin Australia yang mengalami perlipatan intensif dan dibatasi oleh patahan-patahan utama.
Gambar 4.3 Kemiringan Lereng Provinsi Papua Barat (Warna semakin merah menunjukkan kemiringan lereng semakin terjal)
Gambar 4.4 Peta Geologi Daratan Papua Barat Tanah penyusun provinsi ini secara geologi merupakan tanah residual yang sama dengan batuan asalnya, kecuali pada endapan-endapan sungai. Karakter tanah daerah ini merupakan tanah (warna), (ukuran), (kekerasan), (plastisitas), (konsistensi). C.
Struktur Geologi
Secara geologi, wilayah Papua Barat memiliki struktur yang cukup kompleks dengan kelurusan umum berarah Barat-Timur (Demikian rapatnya jarak antar struktur geologi pada daerah ini sehingga secara umum menyebabkan kegempaan yang intensif. Namun pada sisi lain keadaan ini menjadi perangkap bagi potensi minyak bumi dan gas sehingga potensi tersebut dapat terperangkap dalam cekungan di lepas pantai Provinsi Papua Barat.
Papua Barat merupakan daerah tumbukan antara Lempeng Pasifik dari Utara-Timur Laut dengan Lempeng Indo-Australia dari Selatan. Tipe tumbukan yang terjadi adalah tipe kolisi, dengan kedua lempeng tidak ada yang turun ke dalam bumi. Sehingga sebagai akibatnya terjadi pensuguan,
pensesaran
intensif
yang dikenal sebagai Sesar
Sorong. Zona
Patahan/Sesar Sorong tersebut merupakan bagian batas antara marjin kontinental Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik. Pada bagian di Utara Papua, dilepas pantai di Utara Biak, bentuk tumbukan merupakan zona subduksi, yang berbeda dengan tipe kolisi. Pada zona subduksi tersebut Lempeng Samudera Pasifik menunjam di bawah Lempeng Samudera Pasifik yang lain.
Gambar 4.5 Provinsi Tektonik dan Kelurusan Struktur Geologi Papua Barat
Kecepatan tumbukan antara kedua lempeng di Papua Barat merupakan daerah yang tergolong aktif. Lempeng Pasifik menumbuk dengan arah Barat-Daya dengan kecepatan ±10 cm/tahun. Sedangkan Marjin Australia menumbuk ke arah Utara dengan kecepatan ±7 cm/tahun. Keadaan tektonik semacam ini tergolong sebagai tektonik aktif, yang terwujud secara nyata dengan adanya bentuk leher burung dan kepala burung yang nampak berbeda dibandingkan bentuk badan burung di Papua. Struktur pada tiap-tiap bagian memiliki ciri yang khas. 1. Kepala Burung. Bagian ini didominasi oleh struktur yang berarah Barat-Barat Laut. Sabuk struktur ini dikenal dengan New Guinea Mobile Belt, zona dengan luas 300 km membentuk sabuk, yang menghubungkan Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) dan Papua New Guinea. New Guinea Mobile Belt diakhiri oleh sesar strike-slip (patahan mendatar) yang berarah Timur-Barat, yaitu zona sesar Tarera-Aiduna di bagian Leher Burung. 2. Leher Burung. Struktur pada leher burung didominasi oleh lipatan yang mempunyai arah Utara-Barat Laut, yang dikenal dengan Sabuk Lipatan Lenguru. Sabuk lipatan ini berakhir di Tinggian Kemum di daerah Kepala Burung.
D.
Hidrogeologi
Kondisi air bawah permukaan di wilayah Papua Barat pada umumnya wilayah pegunungan merupakan daerah air tanah langka. Sementara daerah dataran terdiri dari daerah dengan produktivitas akifer kecil dan setempat akifer produktif. Dengan demikian potensi air bawah
tanah Papua Barat terkonsentrasi di dataran tengah, yang juga merupakan daerah aliran sungai utama.
Gambar 4.6 Hidrogeologi Papua Barat
Gamabr 4.7 Peta DAS Provinsi Papua Barat
E.
Kebencanaan
1. Kegempaan dan Tsunami Sebaran zona kerawanan bencana Papua Barat dengan nampak variasi zona dari zona sangat rawan (1) hingga menengah (3 dan 4). Umumnya daerah patahan aktif Sesar Sorong merupakan zona yang sangat rawan. Nampak pada gambar, wilayah Nabire dan sisi Baratnya, Manokwari merupakan daerah yang cukup rawan gempa. Sebaran zona kegempaan yang umum adalah zona 2 yang merupakan daerah rawan gempa. Sehingga secara umum wilayah Papua Barat rawan terhadap gempa bumi. Sementara itu potensi tsunami dapat terjadi dari wilayah gempa yang aktif di sisi BaratDaya Papua Barat seperti pada Daerah Seram, Aru, yang akan dapat mengenai wilayah Barat Daya Pantai Papua Barat. Demikian pula sesar-sesar geser di daerah Selatan Biak dapat menimbulkan potensi tsunami yang dapat mengenai daerah Teluk Cendrawasih. Potensi gempa besar pada zona Subduksi di Utara Papua juga memiliki peluang untuk menimbulkan gempa di sekitar Pantai Utara Papua Barat.
Gambar 4.8 Zona Kegempaan Papua Barat. (Zona 1 Paling Rawan Gempa, sedangkan Zona 6 Paling Aman dari Gempa)
2. Longsor Berdasarkan peta kemiringan lereng, maka terlihat zona-zona kerawanan longsor di Wilayah Papua Barat. Daerah rawan longsor umumnya juga merupakan daerah pegunungan yang terjal. Tinggian Kemum, dan Sabuk Lenguru merupakan daerah yang relatif rawan longsor di Papua Barat. Sementara daerah dataran tengah merupakan daerah yang relatif aman terhadap bahaya longsoran.
3. Banjir Zona kerawanan banjir Papua Barat sangat berhubungan dengan wilayah dataran rendah di sekitar Dataran Tengah. sungai-sungai mengalir secara intensif di dataran tengah yang menyebabkan daerah ini rawan mengalami banjir dan sedimentasi (pendangkalan sungai, dan pantai).
Gambar 4.9 Zona Kerentanan Longsor Papua Barat