39
4 PEMODELAN SISTEM 4.1 Analisis Kebutuhan Tahapan
analisis
kebutuhan dilakukan untuk
mendukung proses
identifikasi permasalahan yang terjadi pada sistem produksi industri pangan terkait dengan kelemahan fungsi PPIC yang menjadi kegiatan utama industri pangan dalam berproduksi. Industri pangan merupakan agroindustri yang memanfaatkan input bahan baku tergantung dari alam (pertanian, peternakan, kelautan). Industri pangan khususnya industri makanan di Indonesia memiliki peluang perkembangan industri yang cukup besar. Hal ini terlihat dari peningkatan persentase rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi makanan pada tahun 2006 mencapai 53.01% dan terus meningkat, disamping juga memiliki angka terbesar dalam hal penjualan, tenaga kerja dan kapasitas produksi. Peningkatan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi makanan masyarakat Indonesia didukung karena menu makanan masyarakat Indonesia yang terus berkembang. Saat ini, preferensi konsumen cenderung mengarah kepada bahan makanan setengah jadi (ready cook) yang cepat olah dan cepat saji. Hal ini tampak jelas dari fenomena masyarakat perkotaan dengan budaya makan mie, sohun, bihun, bubur cereal, cornflakes dan cococrunch terutama untuk sarapan pagi. Budaya makan masyarakat perkotaan ini bahkan telah mulai meluas ke pedesaan dan bahkan ke desa terpencil. Industri pangan berbasis tepung terigu merupakan industri pangan dengan pertumbuhan cukup pesat dikarenakan adanya peningkatan kesadaran bahwa tepung terigu adalah makanan yang sehat dan bergizi serta peningkatan kesadaran makanan berbasis tepung terigu sebagai alternatif diversifikasi pangan. Makanan berbasis gandum atau tepung terigu telah menjadi makanan pokok banyak negara. Ketersediaannya yang melimpah di pasaran dunia, proteinnya yang tinggi, harganya yang relatif tidak mahal dan pengolahannya yang praktis mudah telah menjadikan makanan berbasis tepung terigu merambah cepat ke berbagai negara. Gambar berikut adalah diagram yang menggambarkan lingkungan sistem produksi industri pangan secara makro untuk membantu pemahaman mengenai permasalahan terkait dalam sistem serta faktor-faktor eksternal sistem yang juga
40
dapat mempengaruhi permasalahan sistem produksi industri pangan. Pada gambar tersebut terlihat keterkaitan PPIC pada sistem pangan serta faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan (supply) dan permintaan (demand)
pada
perusahaan pangan. Dalam menjalankan kegiatan produksinya, industri pangan akan melakukan proses transformasi input produksi menjadi output produk pangan dalam suatu sistem yang dinamakan internal sistem produksi. Kegiatan industri ini dilakukan untuk memenuhi tujuan industri pangan untuk mendapatkan keuntungan berdasarkan nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan sistem produksi sesuai dengan permintaan konsumen. Berdasarkan permintaan konsumen, PPIC akan
merencanakan kegiatan
produksi dan mengendalikan
kegiatan produksi dengan memanfaatkan input-input produksi sehingga proses transformasi dapat memberikan nilai tambah maksimum untuk mendukung keberlangsungan perusahaan pangan. Dibutuhkan peran PPIC pada perusahaan pangan di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas industri pangan. Ketersediaan input produksi industri pangan khususnya bahan baku agroindustri yang memiliki karakteristik perishable dan musiman dapat mengganggu sistem produksi industri pangan dalam menjalankan kegiatan produksinya. Karakteristik bahan baku yang perishable dan musiman akan mempengaruhi ketersediaan sistem produksi pangan untuk keberlangsungan dan kelancaran berproduksi. Kegiatan berproduksi juga membutuhkan kegiatan produksi yang melibatkan banyak input produksi (bahan baku, tenaga kerja, mesin, energi, metode, informasi dan lingkungan) yang akan saling berinteraksi. Interaksi antar input produksi yang terjadi selama proses produksi berlangsung dapat menyebabkan terjadinya penurunan efisiensi produksi. Penurunan efisiensi produksi dalam kegiatan internal sistem produksi ini akan makin bertambah bila terjadi gangguan dengan adanya input produksi yang tidak berfungsi secara maksimal (misalnya terjadi kerusakan mesin, kesalahan operator produksi atau terputusnya aliran listrik). Kondisi ketersediaan input produksi yang rawan gangguan,kegiatan internal sistem produksi yang juga rawan gangguan juga ditambah dengan adanya permintaan yang tidak pasti menjadi permasalahan bagi perusahaan pangan.
41
42
Adanya gangguan sistem produksi pada industri pangan menyebabkan penurunan efisiensi dan produktivitas industri pangan. PPIC seharusnya memiliki model-model keputusan yang cukup handal untuk meningkatkan perannya dalam merencanakan dan mengendalikan kegiatan produksi dan persediaan yang dimiliki. Sayangnya, model PPIC konvensional belum dapat mengendalikan gangguan-gangguan sistem produksi dengan hasil yang memuaskan. PPIC yang berfungsi intelijen dan adaptif diharapkan dapat mengendalikan gangguan supply, gangguan demand dan gangguan internal sistem produksi pada industri pangan serta meningkatkan performansi sistem produksi industri pangan. Dibutuhkan pengembangan model PPIC yang dapat meningkatkan keefektifan fungsi PPIC serta dapat mengendalikan gangguan sistem produksi yang terjadi pada industri pangan. Untuk memenuhi sasaran perusahaan pangan ataupun industri pangan, dibutuhkan perbaikan model-model keputusan yang digunakan dalam fungsi perencanaan produksi dan pengendalian persediaan (PPIC) pada industri pangan. PPIC pada industri pangan akan mendukung kegiatan sistem produksi industri pangan untuk merencanakan kegiatan produksi dan mengendalikan persediaan perusahaan pangan dengan efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi yang tinggi dalam berproduksi merupakan prasyarat diperolehnya produktivitas yang tinggi. Apabila perusahaan pangan memiliki model-model pendukung keputusan kegiatan perencanaan produksi dan pengendalian persediaan yang cukup handal, diharapkan mendukung tujuan perusahaan pangan untuk memperoleh efektivitas dan efisiensi perusahaan pangan dalam berproduksi. Pada tahap analisis kebutuhan sistem intelijen PPIC adaptif pada industri pangan berikutnya dilakukan identifikasi kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem untuk menjadi dasar pertimbangan dalam pemahaman sistem yang dikaji (Hartrisari, 2007). Pelaku sistem terkait kegiatan PPIC pada industri pangan meliputi pemasok dan konsumen serta departemen terkait kegiatan PPIC pada perusahaan pangan (meliputi departemen PPIC, departemen Penjualan dan Pemasaran, departemen Produksi, departemen Pembelian, departemen Distribusi serta departemen Gudang).
Bahasan lebih lanjut mengenai kegiatan dan
43
kebutuhan aliran informasi untuk para pelaku sistem secara lebih spesifik akan disampaikan pada bab Rancang Bangun Sistem. 4.2 Identifikasi Sistem Tahapan identifikasi sistem dilakukan untuk menjelaskan rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Berdasarkan analisis kebutuhan dan identifikasi permasalahan yang terjadi pada industri pangan dilakukan proses identifikasi sistem PPIC pada industri pangan serta identifikasi gangguan yang terjadi pada sistem produksi industri pangan.
4.2.1 Kegiatan PPIC pada Industri Pangan Aplikasi model PPIC konvensional pada industri memiliki model-model keputusan Demand Management, Master Production Scheduling, Material Requirment Planning, Inventory Control dan Scheduling yang bertujuan antara lain untuk : 1.
Merencanakan dan mengendalikan input produksi pada suatu industri seefisien mungkin untuk menghasilkan output produksi yang sesuai dengan permintaan pasar
2.
Mengefektifkan sistem produksi
3.
Memenuhi kebutuhan demand
dalam rangka meningkatkan kepuasan
pelanggan 4.
Minimasi penyimpangan
5.
Mengefisienkan input sistem produksi dengan cara meminimasi pemborosan dalam rangka minimasi biaya produksi Kegiatan PPIC pada industri pangan dimulai dengan kegiatan prakiraan
permintaan yang menjadi dasar kegiatan perencanaan produksi dan pengendalian produksi berikutnya yaitu kegiatan penjadwalan induk produksi, perencanaan dan pengendalian persediaan bahan baku, penentuan urutan job / lot produksi serta penentuan rute pengiriman produk jadi.
44
Untuk menjalankan fungsi PPIC dibutuhkan input produksi berupa bahan baku, tenaga kerja, mesin, metode, lingkungan kerja, informasi dan
energi.
Dengan adanya sistem pendukung keputusan PPIC Adaptif, diharapkan output berupa : permintaan konsumen yang terpenuhi, aliran material rantai pemasok yang lancar, penggunaan sumber daya yang optimum, kapasitas produksi mencukupi, waktu penyelesaian produksi (manufacturing lead time) yang minimum, biaya persediaan minimum, serta pengiriman produk jadi sesuai dengan kebutuhan pemesanan. Tujuan dilakukannya kegiatan PPIC adalah untuk dapat melakukan perencanaan produksi dan persediaan dengan menggunakan model keputusan yang tersedia sehingga didapatkan penyimpangan yang minimum antara perencanaan dengan kondisi aktual. Adanya input sistem produksi yang tidak terkendali seperti fluktuasi jumlah permintaan pelanggan, ketidaktersediaan bahan baku, ketidaktersediaan pasokan energi, ketidakhadiran operator produksi, kerusakan mesin membutuhkan adanya mekanisme pengendalian untuk mengatur supaya sistem produksi dapat kembali stabil dengan didapatkannya penyimpangan antara perencanaan dan aktual produksi yang minimum. Permasalahan yang harus dihadapi dalam PPIC antara lain adalah : penyesuaian apa (dilakukan pada level sistem manufaktur), berapa banyak, kapan, siapa serta bagaimana penyesuaian harus dilakukan. Berikut adalah beberapa poin hasil identifikasi sistem untuk memperjelas bahasan sistem PPIC pada industri pangan : 1.
Kegiatan PPIC yang dilakukan pada industri pangan adalah kegiatan manajemen produksi dan pengendalian persediaan yang bersifat jangka menengah dan jangka pendek dimana tiap perusahaan pangan dapat memiliki horisan waktu yang berbeda.
2.
Kegiatan PPIC yang dimaksud hanya meliputi kegiatan perencanaan produksi dan pengendalian persediaan dengan menggunakan model-model keputusan yang sifatnya heuristik yang umumnya sudah didukung fasilitas komputer menggunakan program aplikasi Microsoft Excell, bahkan untuk industri pangan dengan kondisi tingkat kerumitan yang sudah cukup tinggi, sudah menggunakan program aplikasi ERP (SAP/R3) dan sudah
45
memiliki Local Area Network (LAN) sehingga bisa bertukar informasi melalui internet diantara pengambil keputusan. 3.
Industri pangan yang telah menerapkan PPIC di perusahaannya adalah perusahaan yang berskala menengah dan atas saja, terutama untuk industri pangan yang memang telah memiliki permintaan yang perlu dikelola dengan dengan baik.
4.
Kegiatan PPIC dan model keputusan yang digunakan oleh industri pangan meliputi kegiatan Demand Management, Master Production Planning, Material Requirement Planning, Final Assembly Scheduling, Production Activity Control dan Purchase Planning & Control.
5.
Kegiatan PPIC dan model keputusan yang digunakan adalah sesuai dengan karakteristik industri pangan yang proses produksinya bersifat process industries berbeda dengan industri manufaktur yang bersifat diskrit.
6.
Terdapat perbedaan strategi untuk merespon kebutuhan pelanggan. Strategi ini disesuaikan dengan umur simpan produk jadi untuk industri pangan terkait. Sebagai contoh, untuk industri penghasil mie instant dan biskuit misalnya, karena produk jadinya memiliki umur simpan berkisar antara 9 bulan – 2 tahun, maka sesuai untuk menerapkan strategi make to stock. Berbeda halnya dengan industri penghasil roti, dikarenakan produk jadinya memiliki umur simpan yang relatif pendek (dalam hitungan hari), maka sesuai untuk menerapkan strategi make to order. Perbedaan kebijakan strategi ini, berdampak pada kebijakan produksi dan kebijakan persediaan yang diterapkan dalam kegiatan PPIC industri terkait.
7.
Untuk Industri pangan berbasis tepung terigu khususnya industri roti, PPIC yang diterapkan juga harus dapat mempertimbangkan karakteristik bahan bakunya yaitu gandum dan tepung terigu. Untuk memenuhi tujuan PPIC dibutuhkan pemanfaatan pengetahuan
mengenai gangguan-gangguan sistem produksi yang terjadi sehingga fungsi PPIC bertambah dengan adanya kemampuan untuk mengendalikan gangguan sistem produksi yang terjadi. Fungsi PPIC untuk mengendalikan gangguan sistem produksi juga sebaiknya mempertimbangkan penyimpangan antara perencanaan
46
dan aktual produksi yang terjadi (berikutnya akan disebut sebagai variansi) sebagai informasi untuk memberikan penyesuaian-penyesuaian untuk kebutuhan perencanaan produksi berikutnya. Penyesuaian yang mungkin dilakukan untuk mendukung model keputusan PPIC adalah berupa persediaan pengaman bahan baku dan persediaan pengaman produk jadi (safety stock) yang berubah sesuai dengan kondisi aktual yang terjadi. Tambahan kemampuan PPIC untuk memberikan rekomendasi tindakan berdasarkan gangguan operasional yang terjadi serta kemampuan untuk memberikan penyesuaian persediaan pengaman akan meningkatkan fungsi PPIC menjadi PPIC Adaptif. Fungsi PPIC pada industri pangan dengan
berbagai gangguan sistem
produksi yang dihadapi dan membutuhkan aksi pengendalian akan menjadi obyek penelitian disertasi ini. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dilakukan identifikasi gangguan sistem produksi yang terjadi pada industri pangan. 4.2.2 Identifikasi Gangguan Sistem Produksi Industri Pangan Berdasarkan studi lapangan pada beberapa industri pangan berbasis tepung terigu, diketahui gangguan-gangguan yang terjadi pada industri pangan, yang akan dikelompokkan menjadi : Tabel 1 Gangguan internal dan eksternal sistem produksi industri pangan. Gangguan Internal (Internal Sistem Gangguan Eksternal (Supply & Produksi) Demand) adalah gangguan yang timbul dikarenakan adalah gangguan yang timbul dikarenakan faktor-faktor internal perusahaan
faktor-faktor
yang
berasal
dari
luar
perusahaan Contoh :
Contoh :
a. Ketidaktersediaan kapasitas produksi a. Pasokan bahan baku melebihi batas dikarenakan ketidaktersediaan input
maksimum
energi untuk produksi (antara lain
ataupun
listrik dan air) , input jam kerja mesin,
pemasok) yang menyebabkan posisi
jam
kelebihan persediaan.
kerja
manusia
dan
ketidaktersediaan bahan baku. b. Terhambatnya atau terhentinya proses
(dikarenakan kebijakan
kesalahan
sepihak
oleh
b. Pasokan bahan baku yang kurang dari order
berdasarkan
planning
47
Gangguan Internal (Internal Sistem Produksi) produksi dikarenakan keterbatasan input
produksi
Gangguan Eksternal (Supply & Demand) dikarenakan permasalahan pemasok
(mesin/peralatan
yang menyebabkan posisi kekurangan
produksi, bahan baku dan pendukung
bahan baku.
produksi, tenaga kerja, fasilitas dan c. Kenaikan harga bahan baku yang lingkungan kerja).
melambung
1. Human error : kesalahan planning ,
pengurangan ukuran pemesanan bahan
kesalahan penyampaian informasi, kesalahan
pencatatan
baku dibandingkan kondisi normal.
data, d. Adanya peraturan pemerintah yang
kesalahan perhitungan, kesalahan set
up
mempengaruhi biaya input produksi.
mesin, e. Pihak
kecerobohan/kelalaian
operator
pemasok
merubah
kebijakan/hubungan kerjasama dengan
dalam produksi
pihak perusahaan.
2. Kerusakan mesin karena batasan f. umur pakai.
Perubahan
selera
konsumen
mempengaruhi demand berubah.
3. Kebutuhan set up dan penggantian g. Issue karena pemakaian. 4. Kerusakan
menyebabkan
bahan
negatif/positif
tentang
produk/perusahaan baku
karena
citra
menyebabkan
perubahan pola permintaan.
keterbatasan umur simpan atau h. Hambatan pasokan bahan baku import kesalahan penanganan.
dikarenakan
5. Ketidaktersediaan mesin, tenaga
adanya
perubahan
kebijakan pemerintah.
kerja, bahan baku dan energi sesuai i.
Hambatan pasokan bahan baku lokal,
dengan
misal karena bencana alam (antara lain
kebutuhan
karena
perencanaan yang kuran baik.
banjir
dan
infrastruktur
gempa),
cross
terganggu
traffic,
(jembatan
putus). j.
Pabrik
pemasok
tutup/terhenti
sementara produknya. k. Pasokan bahan baku pada pabrik pemasok terganggu disebabkan karena kualitas & kuantitas tidak sesuai dikarenakan misalnya : bencana alam, gangguan
alam
atau
perubahan
peraturan/kebijakan pemerintah.
48
Selain gangguan-gangguan pasokan (supply), permintaan (demand) dan internal sistem produksi yang telah teridentifikasi seperti yang tertera pada tabel diatas, berikut ini adalah sumber-sumber gangguan yang menyebabkan terjadinya supply dan demand : 1.
Perubahan
Peraturan/kebijakan
pemerintah
yang
mempengaruhi
kebijakan pemasok/ kebijakan perusahaan. 2.
Issue positif/negatif tentang produk dapat mempengaruhi permintaan produk.
3.
Perubahan kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan produksi antara lain : batch produksi, kebijakan penyimpanan/inventory, shift produksi atau jam produksi, prosedur pengendalian kualitas yang diterapkan, kegiatan pemeliharaan (maintenance) pabrik, perubahan teknologi produksi : pergantian mesin, penambahan mesin, perubahan variant item produksi, perubahan waktu pengiriman ataupun kebijakan produksi tentang industri (antara lain mengenai tenaga kerja dan lingkungan.
4.
Perubahan selera/gaya hidup masyarakat konsumen mempengaruhi permintaan produk.
5.
Terjadinya gangguan alam yang mempengaruhi penyediaan bahan baku ke pemasok (supplier).
6.
Terjadinya gangguan produksi pada sistem produksi pemasok.
Mempertimbangkan hal-hal yang dapat menurunkan fungsi PPIC pada industri pangan dibutuhkan pengembangan model PPIC dengan memasukkan model-model keputusan yang cukup handal dan dapat mengendalikan gangguan sistem produksi. Hasil pengembangan model PPIC ini yang akan disebut dengan Model PPIC Adaptif Industri Pangan. Berikutnya, Sistem Informasi Pendukung Keputusan Intelijen/ Intelligent Decision Support System (IDSS) menjadi teknologi yang membantu untuk mendapatkan pengetahuan bagi pengambil keputusan secara tepat, pada waktu yang tepat dalam representasi yang tepat dengan biaya yang tepat. Sistem Pendukung Keputusan Intelijen PPIC Adaptif pada Industri Pangan menjadi jawaban permasalahan kebutuhan sistem PPIC
49
industri pangan yang intelijen dan adaptif untuk mendukung produktivitas industri pangan. Berikut ini adalah diagram input output sistem untuk mendukung diperolehnya Sistem Pendukung Keputusan Intelijen PPIC Adaptif Industri Pangan yang dapat meminimasi penyimpangan yang terjadi serta mengendalikan gangguan pada sistem produksi industri pangan.
50
4.3 Pengembangan Model PPIC Industri Pangan Model PPIC menurut Fogarty (1992) menjadi modal awal untuk dikembangkan dalam penelitian ini. Untuk menjalankan sistem produksinya, perusahaan melakukan fungsi PPIC sesuai dengan subsistem PPIC pada model PPIC yang dikembangkan oleh Fogarty. Model PPIC Adaptif ini dikembangkan atas dasar kondisi operasional sistem produksi yang terjadi pada industri pangan dengan karakteristik sebagai berikut : a. Industri pangan merupakan industri dengan skala menengah – atas yang telah menerapkan model keputusan PPIC,
minimum
menggunakan model-model heuristik dengan bantuan komputer untuk membantu melakukan perhitungan. b. Industri pangan menghasilkan produk-produk yang merupakan produk yang ditawarkan oleh outlet-outlet pasar modern maupun pasar konvensional secara regular yang merupakan produk titip jual serta produk yang merupakan pesanan pasti pelanggan (fixed order). c. Produk jadi yang dihasilkan memiliki umur simpan yang sangat beragam dalam umur simpan (hari-an, minggu-an, bulan-an hingga tahun-an), bervariasi dalam kualitas dan membutuhkan metode penyimpanan yang khusus d. Industri pangan menggunakan bahan baku agroindustri yang sangat beragam dalam umur simpan (hari-an hingga bulan-an), bervariasi dalam kualitas dan membutuhkan metode penyimpanan yang khusus untuk tetap terjaga kualitasnya. Untuk meningkatkan keandalan sistem PPIC yang dijalankan oleh perusahaan industri pangan, dikembangkan model PPIC Industri Pangan dengan model-model keputusan sebagai berikut : 1.
Model
Prakiraan
Permintaan/Demand
Management
dengan
kriteria
performansi adalah minimasi error, menggunakan metode Analytical Neural Network (ANN).
51
Metode ANN memiliki performansi yang unggul dalam memperkirakan permintaan berdasarkan pola data penjualan masa lalu dengan menghasilkan nilai kesalahan (misalnya kriteria Mean Square Error) hasil pengujian yang sangat kecil dibandingkan metode perkiraan permintaan yang lainnya (antara lain metode Dekomposisi, metode Exponential Smoothing dan Moving Average) 2.
Model Penjadwalan Induk Produksi / Master Production Scheduling (MPS) dengan kriteria minimasi biaya produksi dan maksimasi utilisasi produksi menggunakan metode Fuzzy Multi Objective Linear Programming. Ketersediaan bahan baku agroindustri yang bersifat tidak pasti dalam kuantitas dan kualitas serta kemungkinan terjadinya gangguan internal produksi menyebabkan adanya toleransi dalam pemakaian bahan baku, waktu penyelesaian produksi dan biaya produksi.
3.
Model Perencanaan Persediaan Bahan Baku dengan kriteria minimasi biaya persediaan menggunakan metode Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning / MRP) berdasarkan teknik penentuan lot Economic Order Quantity (EOQ) serta mempertimbangkan adanya persediaan pengaman (safety stock).
4.
Model Pengendalian Persediaan Bahan Baku berdasarkan pendekatan Continuous Review System Probabilistic dengan mempertimbangkan kualitas bahan baku agroindustri yang bervariasi. Dalam aplikasinya, diusulkan untuk dilakukan perhitungan Stock Opname persediaan bahan baku dan produk jadi secara periodik dan menambahkan persediaan pengaman (safety stock) bahan baku untuk mengantisipasi adanya ketidakpastian.
5.
Model Penentuan Urutan Job Produksi / Scheduling dengan menggunakan metode Penjadwalan Flowshop-Genetic Algorithm
6.
Model Penentuan Rute Pengiriman berdasarkan metode Travelling Salesman Problem-Genetic Algorithm(TSPGA) Metode Genetic Algorithm merupakan metode meta-heuristic yang direkomendasikan untuk diaplikasikan pada masalah praktis yang berfokus pada pencarian parameter-parameter optimal. Untuk itu, dalam penentuan urutan pengerjaan item produk pada industri pangan serta penentuan jalur
52
distribusi untuk distributor atau konsumen akan digunakan metode Genetic Algorithm untuk mendapatkan performansi output model yang mendekati optimal. Keterkaitan antar model keputusan
PPIC adalah sesuai dengan gambar
berikut.
1. PRAKIRAAN PERMINTAAN : Artificial Neural Network
Jk Pendek
2. PENJADWALAN INDUK PRODUKSI : Fuzzy Multi Objective Linier Programming
Jk Menengah
3. PERENCANAAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU : Material Requirement Planning (MRP) berdasarkan Receipt - Lotting : EOQ dan perjanjian dgn supplier
4. PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU : Continuous Review System Probabilistic : - EOQ - Reorder Point
5. PENENTUAN URUTAN JOB PRODUKSI : Flow Shop Genetic Algorithm
6. Penentuan Rute Pengiriman : Travelling Salesman Problem Genetic Algorithm
Gambar 10 Model PPIC pada industri pangan.
Penjelasan mengenai masing-masing model diuraikan dalam pembahasan detil berikut ini. 4.3.1 Model Keputusan Prakiraan Permintaan : Jaringan Saraf Tiruan (JST) Metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan metode yang dapat diaplikasikan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi di masa mendatang berdasarkan pola kejadian yang terjadi di masa lampau dikarenakan kemampuan JST untuk mengingat dan membuat generalisasi pola data yang telah dipelajarinya. Performansi dari pemanfaatan JST dalam prakiraan permintaan
53
ditentukan oleh kesesuaian pemanfaatan arsitektur jaringan, algoritma dan parameter pembelajaran serta fungsi aktivasi dengan pola data input yang diberikan. Apabila pemanfaatannya sesuai, JST memberikan performansi yang sangat efektif dalam prakiraan permintaan, jauh lebih akurat dibandingkan metode prakiraan permintaan lainnya. Flowchart tahapan yang dilakukan dalam perhitungan JST dapat dilihat pada gambar 11 berikut ini.
Mulai
Data penjualan produk jangka pendek Data penjualan produk jangka menengah
Normalisasi data
Penetapan dan Simulasi Struktur Jaringan: -Jumlah input -Jumlah Output - Jumlah data pelatihan -Jumlah data pengujian - Jumlah lapisan tersembunyi dan jumlah neuron tiap lapisan - Fungsi aktivasi untuk setiap lapisan - Target MSE yang diinginkan
Nilai bobot parameter
Pelatihan JST
Memuaskan?
Tidak
Perbaikan nilai Bobot Parameter
Ya Pengujian JST
Memuaskan?
Tidak
Ya Tentukan jumlah data prakiraan permintaan
Memuaskan?
Evaluasi hasil Prakiraan permintaan
Jalankan Prakiraan Permintaan berdasarkan JST
Selesai
Gambar 11 Flowchart model Prakiraan Permintaan menggunakan JST.
54
Untuk melakukan prakiraan permintaan (forecasting), tahapan yang awal yang harus dilakukan adalah melakukan plot data permintaan masa lalu untuk menganalisis pola data masa lalu, sehingga berikutnya dapat dilakukan pemilihan alternatif metode prakiraan permintaan yang sesuai untuk pola data masa lalu tersebut. Berikutnya akan dilakukan pengujian berdasarkan alternatif metode tersebut dengan melakukan perhitungan nilai kesalahan (error) untuk semua alternatif metode terpilih. Metode dengan akurasi terbaik (MAE, MSE atau MAPE terkecil) akan terpilih menjadi metode yang akan digunakan untuk melakukan prakiraan permintaan. Untuk memulai simulasi JST maka perlu ditetapkan fungsi aktivasi dari lapisan masukan ke lapisan tersembunyi maupun dari lapisan tersembunyi ke lapisan keluaran. Pada penelitian dicobakan berbagai macam fungsi aktivasi dari lapisan masukan ke lapisan tersembunyi yaitu fungsi sigmoid biner yang dalam pemrograman Matlab ditulis ”logsig” fungsi sigmoid bipolar dalam matlab ditulis dengan ”tansig” dan fungsi identitas dalam Matlab ditulis dengan ”purelin”. Tahap awal dilakukan dengan paradigma pembelajaran pola data yang ada. Model JST yang akan digunakan harus mempunyai kemampuan untuk membandingkan nilai keluaran yang dihasilkan dengan nilai yang diharapkan. Kemampuan membandingkan tersebut digunakan untuk mengestimasi nilai koreksi kesalahan (yang biasa digunakan adalah Mean Square Error (MSE)) yang digunakan sebagai alat kontrol keberlangsungan proses simulasi yang dilakukan JST. Proses simulasi ini akan dihentikan jika nilai kesalahan yang diperoleh dari perbandingan nilai output antara yang diinginkan dan yang dihasilkan mencapai perbedaan paling minimal. Bila model JST telah mendapatkan nilai MSE minimum maka struktur JST yang terbentuk siap diimplementasikan. Pada penelitian ini akan dilakukan perkiraan permintaan untuk kebutuhan perencanaan jangka pendek untuk perhitungan jadwal induk produksi serta prakiraan permintaan untuk kebutuhan perencanaan jangka menengah untuk perhitungan perencanaan kebutuhan bahan baku. Mula-mula dilakukan pembentukan pola data meliputi 7 input yaitu x1, x2 hingga x7 sekaligus input target untuk tiap pola sebanyak 40 pola data. Pola data
55
ini dibentuk
berdasarkan data masa lalu penjualan produk roti. Penentuan
sejumlah 7 input data didasarkan atas dasar bahwa riwayat data penjualan produk roti dalam periode hari-an yang menunjukkan pola data trend dan musiman. Sebagai parameter dalam proses training dan testing JST akan digunakan fungsi aktivasi sigmoid biner (fungsi ‘logsig’) untuk aktivasi dari input layer ke hidden layer (dengan sejumlah neuron) juga aktivasi dari hidden layer ke satu output layer (dengan fungsi ‘logsig’). Fungsi aktivasi sigmoid biner merupakan fungsi aktivasi yang banyak diaplikasikan untuk memudahkan jaringan dalam proses pembelajaran pola data penjualan. Setelah dilakukan proses normalisasi data, berikutnya ditentukan parameter pembelajaran (learning) dengan kisaran 0 – 1, sasaran kesalahan serta penentuan jumlah epoch sebagai kriteria pemberhentian proses pencarian. Penentuan parameter jaringan JST ini dilakukan berdasarkan trial-error yang membutuhkan usaha dan waktu yang cukup lama, sebagai tanda bahwa sistem sudah mengenali pola data. Untuk mempercepat proses pembelajaran oleh JST, juga dapat dilakukan modifikasi terhadap standar backpropagation dengan menambahkan fungsi penurunan gradient dengan momentum pada arah penurunan tercepat berdasarkan algoritma conjugate dengan metode pencarian Powel Beale (fungsi ‘traincgb’) . Proses pelatihan, pengujian dan prakiraan permintaan berdasarkan metode JST dengan bantuan software Matlab membutuhkan dukungan rancangan program untuk eksekusi. Dalam penelitian ini, digunakan sejumlah 15 neuron dengan parameter pembelajaran lr sebesar 0.1 dengan kriteria pemberhentian proses pencarian dibatasi apabila sasaran kesalahan sebesar 0.0001 dan jumlah epoch sebesar 500 sudah terpenuhi. Dalam penulisan arsitektur jaringan dituliskan : net=newff(minmax (P),[15,1], {'logsig','logsig'},'traincgb') net.trainParam.lr=0.1; net.trainParam.epochs=500; net.trainParam.goal=0.0001;
56
Berikutnya dilakukan program pengujian dengan menggunakan hasil pembentukan pola data yang berbeda sebagai data input dan data target dalam proses testing. Konfigurasi jaringan dan parameter yang digunakan adalah sama dengan parameter yang digunakan pada program pelatihan dengan menggunakan sejumlah 25 pola data.dengan jumlah variabel input yang sama (y1, y2 hingga y7) dan data target. Setelah sasaran tercapai pada program pengujian, dilakukan proses peramalan dengan melakukan simulasi yang dilakukan oleh jaringan berdasarkan bobot jaringan yang dimiliki dengan memasukan input pola data baru, namun tidak diberikan input data target. Listing program JST menggunakan software matlab versi pelajar dan hasil perhitungan prakiraan permintaan dapat dilihat pada lampiran 3 dan lampiran 4. 4.3.2 Model Keputusan Penjadwalan Induk Produksi : Fuzzy Multi Objective Linier Programming Ketersediaan bahan baku agroindustri yang bersifat tidak pasti dalam kuantitas dan kualitas serta kemungkinan terjadinya gangguan internal produksi menyebabkan adanya toleransi dalam pemakaian bahan baku, waktu penyelesaian produksi dan biaya produksi. Menurut Mula, et.al. (2006), teknik optimasi dengan mempertimbangkan angka fuzzy adalah sesuai dengan kondisi ketidakpastian dalam kegiatan perencanaan produksi. Untuk itu, penggunaan teknik optimasi Fuzzy Multi Objective Linear Programming dalam penjadwalan induk produksi akan menjadi model keputusan PPIC yang cukup handal pada industri pangan. Berdasarkan masukan data berikutnya dilakukan perhitungan nilai fuzzy untuk atribut biaya produksi, utilitas produksi, waktu produksi, serta bahan baku. Perhitungan angka fuzzy dan optimasi programa linier mengikuti model penelitian yang dirujuk (Vasant, 2004), yaitu menggunakan kurva-S termodifikasi. Dalam perhitungan awal, dilakukan percobaan untuk berbagai nilai variabel fungsi keanggotaan µbi dengan kisaran 0.001 hingga 0.999 untuk nilai parameter kurva-S termodifikasi yaitu konstanta B, C dan α terpilih. Sesuai dengan hasil perhitungan angka fuzzy untuk tiap variabel, kemudian dikembangkan teknik optimasi Fuzzy Multi Objective Linear Programming untuk mendapatkan hasil perencanaan jumlah produksi item roti.
57
Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil penjadwalan induk produksi dengan menggunakan metode Fuzzy Multi Objective Linear Programming.
- Data Permintaan - Data Produk dan Receipt Produk - Data Proses Produksi , Stasiun Kerja dan Waktu Produksi - Data Biaya Produksi
Pengembangan Model Optimasi
Penentuan Nilai Fungsi Keanggotaan
Perhitungan angka fuzzy
Perhitungan Optimasi
Performansi Tercapai ?
Tidak
Ya
Analisis Hasil
Rencana Induk Produksi
Gambar 12 Tahapan perhitungan Penjadwalan Induk Produksi berdasarkan Fuzzy Multi Objective Linear Programming.
58
Berikut ini adalah model matematis Penjadwalan Induk Produksi untuk menentukan jumlah produksi produk ke i untuk setiap periode j. Model Fuzzy Multi Objective Linier Programming digunakan akan memanfaatkan masukan data hasil prakiraan permintaan item produk roti jangka pendek. Fungsi tujuan yang digunakan adalah sbb : 1. Minimasi Biaya Produksi 2. Maksimasi Utilisasi Produksi Dengan fungsi pembatas : 1. Kapasitas produksi ≤ kapasitas produksi maksimum 2. Jumlah total produksi ≥ permintaan item produk – inventory item produk 3. Pemakaian bahan baku ≤ persediaan bahan baku untuk tiap item bahan baku (pareto) 4. Item produksi yang dihasilkan untuk tiap item produk jadi ≥ 0 Fungsi tujuan dan fungsi pembatas untuk model penjadwalan induk produksi dapat dituliskan dalam model matematis sebagai berikut.
Fungsi Tujuan : 1. Minimasi Total Biaya Produksi ; meliputi : biaya bahan baku (RM), biaya tenaga kerja, biaya pemakaian mesin/fasilitas produksi dan biaya pemakaian energi n
(1) Min
~ Z 1 CiXn .......................................................................(12) i 1
~ C = biaya produksi 2. Maksimasi Total Utilitasi Produksi = (2) Max
JamPemakaianFasilita s Pr oduksi
~ Z 2 UX .................................................................................(13)
59
Fasilitas Produksi 1 : U1 = a11x1 + a12x2 + …a1nxn Fasilitas Produksi 2 : U2 = a21x1 + a22x2 + …a2nxn …..
Fasilitas Produksi m : Um = am1x1 + am2x2 + …amnxn
Fungsi Pembatas : ~ 1. Kendala Kapasitas produksi: AX B ............................................(14)
Fasilitas Produksi 1 : a11x1 + a12x2 + …a1nxn = b1 Fasilitas Produksi 2 : a21x1 + a22x2 + …a2nxn = b2 .....
Fasilitas Produksi m : am1x1 + am2x2 + …amnxn = bm ~
2. Kendala Total Produksi : X ≥ D - IFG.......................................(15) ~ X1 ≥ D1 - I1FG ~ X2 ≥ D2 - I2FG ….
~
Xn ≥ Dn - InFG Dimana : X = variabel item Produk Jadi ~ D = Demand (Hasil Prakiraan Permintaan JST) + Fix Order
IFG = Persediaan produk jadi
60
3.Kendala Pemakaian bahan baku (RM) :
~ ~ MX I RMm .................................................................................(16) RM1 : m11x1 + m12x2 + … + m1nxn ≤
~ I RM 1
RM2 : mm1x1 + m22x2 + … + m2nxn ≤
~ I RM 2 ....
RMm : mm1x1 + mm2x2 + … + mmnxn ≤
~ I RMm
4 Kendala Non negatif : X 0 .................................................................(17) 4.3.3 Model Keputusan Perencanaan Persediaan Bahan Baku
: Material
Requirement Planning (MRP) Untuk mendukung hasil penjadwalan induk produksi, diperlukan Material Requirement Planning yaitu suatu sistem untuk mengatur agar bahan baku yang diperlukandapat tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat. Sistem MRP yang dilakukan umumnya digunakan untuk industri manufaktur dengan karakteristik proses produksi yang bertipe diskrit dan produk yang memiliki struktur berjenjang. Struktur produk berjenjang memiliki tingkatan (level) pembentuk produk karena dapat diurai menjadi komponen-komponen pembentuk produk (sebutan untuk struktur produk pada industri manufaktur adalah Bill Of Material). Hal ini berbeda dengan yang berlangsung pada industri pangan dengan karakteristik proses produksi yang bertipe kontinyu dan struktur produk tidak berjenjang, struktur produknya sering disebut dengan sebutan recipe. Dengan kondisi tersebut diatas, umumnya proses MRP pada industri manufaktur dilakukan dengan memanfaatkan masukan hasil penjadwalan induk produksi (Master Production Schedule) sebagai dasar untuk melakukan perencanaan kebutuhan bahan baku. Pada industri pangan, hal ini kurang sesuai, untuk itu diusulkan pengendalian persediaan dengan menggunakan pendekatan Continuous Review System khususnya untuk item bahan baku kelas A yang menjadi prioritas perusahaan dalam mengatur persediaan bahan baku. Apalagi
61
mempertimbangkan karakteristik bahan baku agroindustri yang mudah rusak dan bervariasi dalam kuantitas dan kualitas. Dalam penelitian ini, diusulkan penggunaan model Perencanaan Persediaan Bahan Baku berdasarkan pendekatan MRP yang memanfaatkan output prakiraan permintaan jangka menengah, dikarenakan supplier bahan baku tidak bersedia menerima pesanan bahan baku dalam periode jangka pendek karena mereka juga dibatasi oleh kendala ketersediaan bahan baku hasil alam yang tidak menentu. Untuk mengendalikan persediaan bahan baku, diusulkan penggunaan model Pengendalian Persediaan Bahan Baku yang telah mempertimbangkan hasil pemeriksaan persediaan secara kontinu (Continuous Review System) dengan output Stock Opname untuk item bahan baku kelas A. Dalam perhitungan MRP, dilakukan fase Netting yaitu perhitungan kebutuhan bersih (Net Requirement) setelah mempertimbangkan data kebutuhan kotor (Gross Requirement), data bahan baku yang tersedia (Inventory). Berikutnya akan dilakukan fase Lotting (sudah dilakukan pada perhitungan EOQ). Apabila Net Requirement mencapai titik safety stock, maka akan dilakukan Planned Order Receipt. Fase time offsetting akan dilakukan dengan mempertimbangkan data waktu ancang-ancang (lead time) dengan menentukan Planned Order Release.
Teknik Lot Sizing Lot sizing (penentuan ukuran lot) merupakan tahapan yang dilakukan dalam perhitungan MRP. Pada tahapan ini digunakan algoritma untuk mencari jumlah pesanan yang optimal berdasarkan pertimbangan biaya pesan dan biaya simpan dengan menggunakan rumus Economic Order Quantity (EOQ). Rumus untuk manentukan jumlah EOQ adalah :
Q
2 DS ...........................................................................................(18) H
Dimana : Q
= jumlah barang setiap pemesanan
62
D
= jumlah permintaan dalam periode N
S
= biaya pesan
H
= biaya simpan dalam periode N
Contoh perhitungan ukuran pemesanan ekonomis dapat dilihat pada Lampiran 4
4.3.4 Model Penentuan Urutan Job Produksi : Penjadwalan Flow Shop Genetic Algorithm Pada model penentuan urutan job produksi berdasarkan algoritma genetika, kromosom diartikan sebagai urutan-urutan operasi yang dikerjakan mulai dari awal sampai akhir. Setiap gen dalam kromosom tersebut menunjukkan sebuah operasi dari urutan pekerjaan. Susunan yang berbeda dalam suatu kromosom menunjukkan hasil yang berbeda pula. Dalam model ini digunakan fungsi fitness adalah minimasi waktu penyelesaian job produksi (makespan). Model penentuan urutan job produksi menggunakan algoritma genetika mempunyai prosedur sebagai berikut : a.
Membentuk populasi yang berasal dari kromosom induk. Sebuah populasi awal akan terdiri dari sejumlah kromosom. Kromosom ini terbentuk dengan menukar posisi kromosom ke-k dengan ke-k+1.
b.
Menghitung fungsi fitness dari setiap kromosom.
c.
Seleksi, yaitu mengurutkan kromosom berdasarkan susunan kromosom terbaik berdasarkan fungsi tujuannya.
d.
Kawin silang (Crossover).
e.
Mutasi Proses mutasi ini secara acak mengubah gen-gen yang ada di dalam susunan kromosom, sesuai dengan nilai probabilitas yang ditentukan. Nilai probabilitas ini umumnya bernilai kecil. Proses mutasi ini memberikan pencarian yang dilakukan secara acak, untuk memastikan kemungkinan yang layak juga.
f.
Pengulangan Proses diatas diulangi kembali sampai mencapai kriteria pemberhentian tertentu (setelah n kali percobaan), semakin banyak percobaan yang
63
dihasilkan semakin baik hasil yang diperoleh. Hanya dengan kromosom dengan hasil yang terbaik yang dapat bertahan sampai pengulangan terakhir dilakukan. g.
Menciptakan populasi baru dari kromosom terbaik Dari kromosom terbaik dibuat populasi baru dimana populasi baru ini berasal dari kromosom terbaik. Populasi baru ini didapat dengan menukar sub kromosom ke-k dengan sub kromosom dengan ke-k+1. Dari k kromosom terbaru tersebut dipilih kromosom terbaik berdasarkan fungsi tujuannya.
4.3.5 Model Penentuan Rute Pengiriman : Travelling Salesman Problem Genetic Algorithm Tahapan prosedur yang dilakukan dalam model ini sama dengan tahapan prosedur model penjadwalan flowshop. Perbedaannya adalah kromosom yang terbentuk merupakan kumpulan gen yang terdiri dari node-node outlet yang akan dilayani untuk dipenuhi kebutuhan distribusinya. 4.4 Model Pengendalian Gangguan Model PPIC yang telah mempertimbangkan karakteristik sistem produksi pada industri pangan memiliki model keputusan seperti yang telah disampaikan pada bahasan tersebut diatas akan dikembangkan lebih lanjut menjadi model PPIC Adaptif Pada Industri Pangan dengan mengintegrasikan model pengendalian gangguan dengan model PPIC yang telah dikembangkan. Model Pengendalian Gangguan berfungsi untuk : 1.
Memberikan rekomendasi aksi pengendalian atas gangguan sistem produksi yang terjadi (Sub Model Aksi Pengendalian).
2.
Memberikan rekomendasi kebijakan lanjutan aksi pengendalian gangguan (Sub Model Kebijakan Lanjutan Pengendalian Gangguan).
3.
Memberikan rekomendasi perubahan nilai persediaan pengaman untuk bahan baku dan perubahan nilai % persediaan pengaman untuk produk jadi dengan mempertimbangkan gangguan sistem produksi yang terjadi. (Sub Model Toleransi Persediaan).
64
Kerangka Pemikiran mengenai Model Pengendalian Gangguan secara global dan keterkaitan antar Sub Model Pengendalian Gangguan dapat dilihat pada gambar berikut :
PPIC Normal
Gangguan
MODEL PENGENDALIAN GANGGUAN Sub Model 1 : Aksi Pengendalian Gangguan Sub Model 2 : Kebijakan Lanjutan Pengendalian Gangguan Sub Model 3 : Toleransi Persediaan
PPIC Adaptif
Gambar 13 Kerangka pemikiran model pengendalian gangguan.
65
66
Penjelasan untuk masing-masing sub model Pengendalian Gangguan sesuai dengan uraian sebagai berikut. 4.4.1
Sub Model Aksi Pengendalian Gangguan
Setiap gangguan yang terjadi dan aksi pengendalian gangguan yang dilakukan akan diinventarisir dalam suatu basis data dengan nama keyword yang diinput, sehingga bila suatu saat terjadi gangguan, maka untuk mengendalikannya, apabila gangguan yang terjadi pernah tersimpan dalam database, dapat dipanggil dengan membuka keyword terkait. Dengan memanggil keyword tersebut, dapat diketahui gangguan-gangguan dengan keyword terkait yang pernah terjadi serta aksi pengendalian gangguan yang dilakukan. 4.4.2 Sub Model Kebijakan Lanjutan Secara periodik, sesuai dengan kebutuhan masing-masing industri pangan, hasil inventarisir gangguan dan aksi pengendalian gangguan yang terjadi dapat dianalisis berdasarkan rekapitulasinya untuk kebutuhan rencana kebijakan lanjutan oleh pihak perusahaan.Tahap ini dilakukan setelah dilakukan aksi pengendalian gangguan. Tujuan adanya rancang bangun sub model ini adalah untuk merekomendasikan rencana kebijakan berikutnya yang harus dilakukan oleh staf PPIC ataupun staf diluar PPIC dengan mempertimbangkan sumber gangguan yang terjadi berdasarkan rekapitulasi hasil perhitungan nilai gangguan. Sub model Kebijakan Lanjutan Pengendalian Gangguan, kerangka pemikirannya diperjelas pada gambar berikut:
67
68
Untuk penentuan rekomendasi kebijakan lanjutan, dilakukan perhitungan Nilai Gangguan berdasarkan faktor frekuensi, faktor keparahan gangguan dan faktor dampak gangguan dengan skala tertentu sebagai berikut : Tabel 2 Faktor Penilaian Gangguan Skala
Frekuensi Gangguan
Keparahan Gangguan
1
Jarang
Ringan
2
Sering
Parah
3
Sangat Sering
Sangat Parah
Dampak Gangguan Kurang Berpotensi Mengganggu Berpotensi Mengganggu Sangat Berpotensi Mengganggu
Penentuan rekomendasi kebijakan lanjutan didasarkan atas model pohon keputusan yang terbentuk dengan menggunakan teknik klasifikasi yang merupakan bagian dari pendekatan Data Mining. Pohon keputusan dan aturan keputusan yang terbentuk adalah sebagai berikut :
FREKUENSI Sangat Sering
Sering
Tidak
TINGKAT KEPARAHAN
Sangat Parah
DAMPAK GANGGUAN Sangat Berpotensi
Ya
Gambar 16
Berpotensi
Ya
Jarang
Tidak
Parah
Ringan
Ya
Tidak
Kurang Berpotensi
Tidak
Pohon keputusan penentuan perlunya kebijakan lanjutan pengendalian gangguan.
69
Untuk memperjelas gambar pohon keputusan di atas, dibuat tabel yang berisi aturan keputusan untuk menentukan diperlukannya kebijakan lanjutan pengendalian gangguan atau tidak. Tabel 3 Aturan keputusan penentuan kebijakan lanjutan pengendalian gangguan No 1 2 3 4 5
Aturan Keputusan Jika frekuensi jarang atau frekuensi sering maka tidak perlu dilakukan kebijakan lanjutan Jika frekuensi sangat sering dan tingkat keparahan ringan maka tidak perlu dilakukan kebijakan lanjutan Jika frekuensi sangat sering dan tingkat keparahan biasa maka perlu dilakukan kebijakan lanjutan Jika frekuensi sangat sering dan tingkat keparahan sangat parah dan dampak gangguan tidak berpotensi maka tidak perlu dilakukan kebijakan lanjutan Jika frekuensi sangat sering dan tingkat keparahan sangat parah dan dampak gangguan sangat berpotensi maka perlu dilakukan kebijakan lanjutan
Tabel 4 Pelaksana kebijakan lanjutan pengendalian gangguan berdasarkan sumber gangguan. Apabila direkomendasikan dilakukan Kebijakan Lanjutan Pelaksana Kebijakan Pemeriksaan Sumber Gangguan : Kode Sumber Lanjutan Supply : S Divisi SCM Internal Sistem Produksi – Raw Material : ISP-1 Divisi PPIC Internal Sistem Produksi – Mesin : ISP-2 Divisi Maintenance Internal Sistem Produksi - Operator : ISP-3 Divisi Produksi Internal Sistem Produksi - Energi : ISP-4 Manager Pabrik Internal Sistem Produksi – Kebijakan/Teknologi/Budaya/Lingkungan : ISP-5 General Manager Divisi Penjualan dan Demand : D Pemasaran
70
4.4.3
Sub Model Toleransi Persediaan
Sub model ini berisi rancang bangun model pengendalian gangguan yang berfungsi untuk memperbaharui / meng-update nilai safety stock sebagai fungsi persediaan pengaman berdasarkan pertimbangan bahwa bahan baku pada industri pangan adalah bahan baku yang potensi menimbulkan gangguan karena karakteristiknya yang perishable, musiman dan bulky. Penentuan Persediaan Pengaman (Safety Stock) Industri pangan menjadi bagian dari rantai pasok, dimana industri pangan akan menggunakan output dari agroindustri lainnya. Agroindustri tersebutjuga tergantung dari industri sebelumnya, yang juga tergantung dari kondisi alam.Dengan adanya kondisi tersebut, model pengendalian persediaan yang sesuai untuk industri pangan adalah menggunakan pendekatan continuous review system dengan kondisi supply dan demand yang tidak pasti.Berdasarkan
pendekatan
tersebut
diatas,
untuk
mengantisipasi
permintaan yang tidak pasti, ditambahkan suatu nilai persediaan pengaman (safety stock). Penentuan persediaan pengaman sesuai dengan pendekatan continuous review system yang selama ini banyak diaplikasikan, hanya mengantisipasi terjadinya ketidakpastian permintaan (demand) dengan memasukkan nilai service level dan standar deviasi permintaan selama lead time serta memasukkan pertimbangan ketidakpastian supply dengan menambahkan nilai permintaan selama lead time. Nilai persediaan pengaman (safety stock) dimasukkan dalam perhitungan Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku dalam angka persediaan pengaman bahan baku yang akan turut dipertimbangkan dalam penentuan rencana pemesanan bahan baku ke pemasok. Penentuan persediaan pengaman berdasarkan model tersebut hanya dilakukan untuk bahan baku saja dengan mengasumsikan bahwa persediaan pengaman bahan baku tersebut sudah mengantisipasi ketidakpastian permintaan (demand uncertainty) sekaligus ketidakpastian pasokan (supply uncertainty). Sesuai dengan bahasan sebelumnya mengenai identifikasi gangguan pada sistem produksi industri pangan, diketahui bahwa gangguan sistem
71
produksi selain mencakup gangguan pasokan (supply uncertainty) dan gangguan permintaan (demand uncertainty), juga mencakup gangguan internal sistem produksi.
Pada penelitian ini dilakukan pengembangan model
penentuan persediaan pengaman dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam penentuan nilai persediaan pengaman (safety stock) baik untuk bahan baku (raw material/RM) maupun untuk produk jadi (finished good/FG). Penentuan persediaan pengaman yang diusulkan bersifat lebih adaptif karena secara periode akan disesuaikan, mempertimbangkan gangguan-gangguan sistem produksi yang terjadi (gangguan pasokan, gangguan permintaan dan gangguan internal sistem produksi).Nilai persediaan pengaman yang adaptif tersebut akan menjadi nilai toleransi persediaan (% persediaan pengaman) yang juga akan mengadaptasi model PPIC. Istilah persediaan pengaman untuk pembahasan berikutnya akan dinamakan persediaan pengaman bahan baku dan persediaan pengaman produk jadi. Persediaan pengaman akan ditambahkan dikaitkan dengan ketidakpastian (yang dalam penelitian ini disebutkan sebagai gangguan) yang akan terus disesuaikan (di-update) secara periodik. Angka % persediaan pengaman akan di-update (diperbaharui ) dengan mempertimbangkan hal-hal berikut : a.
Gangguan operasional sistem produksi yang terjadi
b.
Penyimpangan (variansi) yang terjadi karena adanya gangguan sistem produksi terkait dengan rekomendasi sub model PPIC.
c.
Faktor-faktor lainnya yang juga mempengaruhi perubahan % Persediaan Pengaman Bahan Baku ataupun % Persediaan Pengaman Produk Jadi.
Pengaruh Variansi dalam % Persediaan Pengaman Gangguan sistem produksi menyebabkan terjadinya penyimpangan antara rencana dengan aktual produksi. Penyimpangan yang terjadi karena adanya gangguan sistem produksi,dikelompokkan dalam tujuh tipe variansi, meliputi variansi-variansi sebagai berikut :
72
a. Variansi a adalah penyimpangan antara Purchase Order (PO) item produk hasil prakiraan permintaan dengan penjualan aktual. b. Variansi b adalah penyimpangan antara PO bahan baku ke supplier dengan penerimaan bahan baku dari supplier aktual. c. Variansi c adalah penyimpangan antara jumlah persediaan bahan baku hasil perhitungan MRP dengan Stock Opname bahan baku aktual. d. Variansi d adalah penyimpangan antara rencana produksi output Penjadwalan Induk Produksi dengan produksi aktual. e. Variansi e adalah penyimpangan antara waktu target penyelesaian produksi output Penentuan Urutan Job Flowshop Genetic Algorithm dengan makespan produksi aktual. f. Variansi f adalah penyimpangan antara rencana distribusi sesuai pesanan dengan penerimaaan distribusi aktual. g. Variansi g penyimpangan antara waktu tempuh jalur distribusi output Genetic Algorithm dengan waktu tempuh distribusi aktual. Variansi-variansi yang terjadi akibat gangguan sistem produksi tersebut di atas berpotensi menurunkan ataupun menaikkan nilai persediaan pengaman (safety stock). Variansi a, variansi d, variansi f dan variansi g akan menentukan nilai persediaan pengaman produk jadi (% Persediaan Pengaman Produk Jadi), sedangkan variansi b dan variansi c akan menentukan nilai persediaan pengaman bahan baku ( % Persediaan Pengaman Bahan Baku) sesuai dengan gambar berikut.
73
Variansi a = PO – Penjualan Aktual
Variansi d = Rencana Produksi – Produksi Aktual
Variansi e = Waktu Target – Makespan Aktual
Penentuan Pengaruh pada % Persediaan Pengaman Produk Jadi
% Persediaan Pengaman Produk Jadi
Penentuan Pengaruh pada % Persediaan Pengaman Bahan Baku
% Persediaan Pegnaman Bahan Baku
Variansi f = Rencana Distribusi – Distribusi Aktual
Variansi g = Waktu Pengiriman – Waktu Target
Variansi b = Pemesanan Bahan Baku ke Supplier – Penerimaan Bahan Baku Aktual
Variansi c = Persediaan Bahan Baku Hasil Perhitungan – Stock Opname Bahan Baku
Gambar 17 Keterkaitan antara variansi dengan % persediaan pengaman produk jadi dan % persediaan pengaman bahan baku. Faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi % persediaan pengaman. Berdasarkan hasil identifikasi juga diketahui bahwa perubahan kenaikan atau penurunan nilai % persediaan pengaman dapat disebabkan oleh hal-hal lainnya (termasuk variansi) sebagai berikut : a. Peningkatan % Persediaan Pengaman Produk Jadi, disebabkan karena: 1) Permintaan yang belum terpenuhi kebutuhannya pada periode sebelumnya.
74
2) Perubahan selera masyarakat yang memicu permintaan produk. 3) Rencana promosi pada periode berikutnya. 4) Rencana penetrasi pasar atau penambahan pasar baru. 5) Dugaan kecenderungan peningkatan permintaan item tertentu. 6) Informasi dari customer yang menyampaikan keluhan mengenai kesulitan memperoleh item produk tertentu (suara pelanggan). 7) Kondisi internal sistem produksi dimana terjadi kecenderungan peningkatan kejadian-kejadian gangguan yang bisa menurunkan jumlah produksi. 8) Kebutuhan produk jadi yang belum terpenuhi, yang ditandai dengan adanya peningkatan angka % variansi d (penyimpangan antara rencana produksi output MPS dengan aktual produksi). 9) Kebutuhan produk jadi yang belum terpenuhi, yang ditandai dengan adanya peningkatkan angka % variansi e (penyimpangan antara waktu target penyelesaian produksi output Penjadwalan Flowshop Genetic Algorithm dengan makespan produksi aktual). b. Penurunan % Persediaan Pengaman Produk Jadi disebabkan karena : 1) % produk yang tidak terjual sehingga menyebabkan retur. 2) Kondisi internal sistem produksi dimana terjadi kecenderungan penurunan kejadian-kejadian gangguan yang bisa menurunkan jumlah produksi. 3) Permintaan yang berlebih dikarenakan adanya : peningkatan angka %variansi a (penyimpangan antara Purchase Order (PO) item produk hasil prakiraan permintaan dengan Aktual Penjualan). 4) Permintaan yang berlebih dikarenakan adanya peningkatan % variansi f (penyimpangan antara rencana distribusi sesuai pesanan dengan penerimaaan aktual distribusi). 5) Permintaan yang berlebih dikarenakan adanya peningkatan % variansi g (penyimpangan antara waktu tempuh jalur distribusi output Genetic Algorithm dengan aktual waktu tempuh distribusi).
75
c. Peningkatan % Persediaan Pengaman Bahan Baku disebabkan karena : 1) Kebutuhan bahan baku yang supply-nya belum terpenuhi pada periode sebelumnya diperoleh dari analisis bagian purchasing dan gudang bahan baku dengan mempertimbangkan adanya :% variansi b (penyimpangan antara PO bahan baku ke pemasok dengan aktual penerimaan bahan baku dari pemasok). 2) Kondisi internal sistem produksi yang menyebabkan terjadinya peningkatan kejadian-kejadian gangguan yang bisa menurunkan ketersediaan jumlah bahan baku. 3) Penurunan ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak direncanakan yang ditandai dengan adanya kecenderungan peningkatan % variansi c (penyimpangan antara jumlah persediaan bahan baku hasil perhitungan MRP dengan aktual Stock Opname bahan baku). 4) Kecenderungan penurunan kualitas bahan baku terkait. 5) Kecenderungan peningkatan order mendadak atau sisipan. 6) Penurunan % service level rata-rata oleh pemasok bahan baku terkait. d. Penurunan % Persediaan Pengaman Bahan Baku disebabkan karena : 1) Kecenderungan penurunan order mendadak atau sisipan. 2) Peningkatan % service level rata-rata oleh pemasokbahan baku terkait. 3) Informasi mengenai berkurangnya keluhan adanya penurunan kualitas bahan baku terkait. 4) Kondisi internal sistem produksi yang menyebabkan terjadinya penurunan
kejadian-kejadian
gangguan
yang
bisa
menurunkan
ketersediaan jumlah bahan baku. 5) Peningkatan ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak sesuai dengan rencana yang ditandai dengan adanya kecenderungan penurunan % variansi c (penyimpangan antara jumlah persediaan bahan baku hasil perhitungan MRP dengan aktual Stock Opname bahan baku.) Berdasarkan poin-poin pertimbangan diatas, dalam pengembangan sub model 3 Model Pengendalian Gangguan, selain gangguan operasional yang secara aktual terjadi, juga akan dimasukkan % variansi a,b,c,d,e,f dan g juga beberapa
76
faktor-faktor lainnya yang sebenarnya mempengaruhi % persediaan pengaman namun cenderung tidak dianggap gangguan namun dapat menaikkan ataupun menurunkan nilai % persediaan pengaman. Tabel 5 Faktor Lain-lain yang mempengaruhi % persediaan pengaman. No. Faktor
Faktor yang mempengaruhi % persediaan pengaman
1
Permintaan pasar yang belum terpenuhi kebutuhannya pada periode sebelumnya
2
Perubahan selera masyarakat yang memicu permintaan produk
3
Rencana promosi pada periode berikutnya
4
Rencana penetrasi pasar atau pertambahan ceruk pasar yang baru
5
Kecenderungan peningkatan permintaan produk tertentu
6
Adanya informasi dari pelanggan yang menyatakan adanya kesulitan untuk memperoleh produk tertentu
7
Kebutuhan produk jadi yang belum terpenuhi, yang ditandai dengan adanya peningkatan nilai % Variansi d
8
Kebutuhan produk jadi yang belum terpenuhi, yang ditandai dengan adanya peningkatan nilai % Variansi e
9
Produk jadi yang belum terjual pada periode sebelumnya sehingga menyebabkan retur
10
Adanya kondisi internal sistem produksi dimana terjadi penurunan kejadian-kejadian gangguan yang bisa menurunukan jumlah produksi
11
Permintaan berlebih dikarenakan adanya peningkatan nilai % Variansi a
12
Permintaan berlebih dikarenakan adanya peningkatan nilai % Variansi f
13
Permintaan berlebih dikarenakan adanya peningkatan nilai % Variansi g
14
Kebutuhan bahan baku yang supply-nya belum terpenuhi pada periode sebelumnya, dengan mempertimbangkan peningkatan nilai % Variansi b
15
Adanya penurunan ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak direncanakan, yang ditandai dengan adanya peningkatan % Variansi c
16
Penurunan kualitas bahan baku
17
Kecenderungan peningkatan pesanan mendadak atau sisipan
18
Penurunan % tingkat pelayanan rata-rata oleh pemasok
77
19
Kecenderungan penurunan pesanan mendadak atau sisipan
20
Peningkatan % tingkat pelayanan rata-rata oleh pemasok
21
Kondisi internal sistem produksi yang menyebabkan penurunan kejadian gangguan-gangguan yang bisa menurunkan persediaan bahan baku
Pada awal periode pemanfaatan sub model ini, akan ditentukan rata-rata % persediaan pengaman yang kemudian akan diperbaharui untuk periode berikutnya. Tiap perusahaan akan menentukan batas interval % persediaan pengaman yang sesuai dengan kondisi perusahaan masing-masing. Sebagai contoh, untuk PT NIC, Tbk batas interval % persediaan pengaman Bahan Baku adalah 2% - 6%. Sehingga apabila terjadi penurunan atau peningkatan nilai % persediaan pengaman tidak diperbolehkan melewati batas interval ini. Flowchart perhitungan nilai % persediaan pengaman berdasarkan hasil rekapitulasi gangguan pada akhir periode adalah sesuai dengan gambar berikut.
78
Input % Persediaan Pengaman Bahan Baku (= LBH t-1) dan % Persediaan Pengaman Produk Jadi (= LPJt-1) pada periode sebelumnya
Inventarisir Gangguan yang terjadi : - Gangguan operasional - Gangguan Variansi dan Lainnya - Jumlah total gangguan = n
Penentuan Nilai Pengaruh pada % Persediaan Pengaman Bahan Baku : Penurunan atau Peningkatan (Skala 1 – 3)
Penentuan Nilai Pengaruh pada % Persediaan Pengaman Produk Jadi : Penurunan atau Peningkatan (Skala 1 – 3)
Penentuan Bahan Baku terkait
Penentuan Produk Jadi terkait
- Penjumlahan nilai pengaruh Penurunan pada % Persediaan Pengaman Bahan Baku = LBH(-) - Penjumlahan nilai pengaruh Peningkatan pada % Persediaan Pengaman Bahan Baku = LBH(+) - Tentukan ∆ LBH = {LBH(+) + LBH(-)}/n - Tentukan % PersediaanPengaman Bahan Baku (LBHt) = LBHt-1 + ∆ LBH
- Penjumlahan nilai pengaruh Penurunan pada % Persediaan Pengaman Produk Jadi = LPJ(-) - Penjumlahan nilai pengaruh Peningkatan pada % Persediaan Pengaman Produk Jadi = LPJ(+) - Tentukan ∆ LPJ = {LPJ(+) + LPJ(-)}/n - Tentukan % Persediaan Pengman Produk Jadi (LPJt) = LPJt-1 + ∆ LPJ
% Persediaan Pengaman Bahan Baku
% Persediaan Pengaman Produk Jadi
Gambar 18 Flowchart perhitungan % persediaan pengaman bahan baku dan % persediaan pengaman produk jadi berdasarkan metode rata-rata gangguan. 4.5 Keterkaitan Model PPIC dan Model Pengendalian Gangguan Sub model Toleransi Persediaan ini akan terkait dengan pengembangan model PPIC yang diusulkan. Keterkaitan antara model PPIC dengan sub model ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemikiran mengenai pengaruh gangguan sistem produksi terhadap besarnya persediaan pengaman yang harus disesuaikan untuk periode perencanaan berikutnya dalam kegiatan PPIC sesuai dengan penjelasan berikut ini. Pada gambar 19 berikut dapat dilihat bahwa setelah dibuat PPIC dengan menggunakan model yang diusulkan, di akhir periode secara periodik dilakukan perhitungan nilai variansi (a,b,c,d,e,f,g) sekaligus perhitungan % persediaan
79
pengaman Produk Jadi dan % persediaan pengaman Bahan Baku berdasarkan data produksi. Nilai % variansi a,d,e, f dan variansi g terkait dengan % persediaan pengaman Produk Jadi, sedangkan nilai % variansi b dan c terkait dengan % persediaan pengaman Bahan Baku. Hasil perhitungan ini akan memperbaharui nilai % persediaan pengaman Bahan Baku yang akan menjadi input untuk model Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Bakudan juga akan mengupdate nilai % persediaan pengaman Produk Jadi yang akan menjadi input untuk model Penjadwalan Induk Produksi.
1 PRAKIRAAN PERMINTAAN : Artificial Neural Network
Jk Pendek
2 PENJADWALAN INDUK PRODUKSI : Fuzzy Multi Objective Linier Programming
% Persediaan Pengaman Produk Jadi
Jk Menengah
6 PENENTUAN URUTAN JOB PRODUKSI : Flow Shop Genetic Algorithm
3 PERENCANAAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU : Material Requirement Planning (MRP) - Lotting : EOQ dan perjanjian dgn supplier - Safety Stock : % Loss Bahan Baku
4 PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU :
% Persediaan Pengaman Bahan Baku
7 PENENTUAN RUTE PENGIRIMAN TSP – Genetic Algorithm
Continuous Review System Probabilistic : - EOQ - Reorder Point - Safety Stock
Gambar 19 Keterkaitan antara % persediaan pengaman produk jadi , % persediaan pengaman bahan baku dan model PPIC.
80
Tabel 5 menunjukkan keterkaitan antara model PPIC dan variansi pada model Pengendalian Gangguan. Variansi a terkait dengan model Prakiraan Permintaan. Prakiraan Permintaan menggunakan model yang cukup handal menghasilkan proyeksi permintaan yang cukup akurat dengan nilai MSE yang minimum. Hasil prakiraan permintaan yang digunakan sebagai dasar perencanaan produksi menentukan jumlah produksi yang dibuat. Pemanfaatan model Prakiraan Permintaan yang cukup akurat diharapkan dapat menghasilkan prakiraan permintaan yang tidak berbeda dengan penjualan produk jadi. Indikator keberhasilan model Prakiraan Permintaan adalah berkurangnya nilai % Variansi a karena makin akuratnya hasil prakiraan permintaan dibandingkan dengan aktual penjualan produk jadi. Besarnya nilai % Variansi a dipengaruhi oleh adanya gangguan demand. Jadi, walaupun sudah digunakan model Prakiraan Permintaan yang cukup handal, namun dengan adanya gangguan demand, % Variansi a akan terjadi. Secara periodik, nilai % Variansi a diharapkan dapat berkurang dengan pembaharuan nilai persediaan pengaman (% Persediaan Pengaman Produk Jadi) untuk periode perencanaan berikutnya. Variansi d terkait dengan model Penjadwalan Induk Produksi. Dengan menggunakan metode Fuzzy Multi Objective Linier Programming, diharapkan rencana induk produksi sudah sesuai dengan permintaan konsumen dengan mempertimbangkan keterbatasan kapasitas input produksi yang digunakan. Aktual jumlah produksi yang dihasilkan belum tentu sesuai dengan hasil rencana induk produksi disebabkan adanya gangguan internal sistem produksi yang terjadi. Rekomendasi Sub model 1 Pengendalian Gangguan -
Aksi Pengendalian
Gangguan Operasional diharapkan dapat mengurangi variansi d, terkait dengan tindakan
koreksi
yang
direkomendasikan.
Rekomendasi
Sub
model
2
Pengendalian Gangguan – Kebijakan Lanjutan Pengendalian Gangguan juga turut mendukung penurunan nilai variansi d, terkait dengan rekomendasi aksi lanjutan yang harus dilakukan mempertimbangkan nilai gangguan yang tinggi sesuai dengan hasil pengembangan aturan keputusan ( Tabel 3). Variansi b dan variansi c terkait dengan model Perencanaan Persediaan Bahan Baku dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku. Variansi b dan variansi c ini timbul disebabkan karena adanya gangguan supply ataupun karena gangguan
81
internal sistem produksi (misalnya kesalahan/kelalaian operator produksi). Adanya pemberian persediaan pengaman (% Persediaan Pengaman Bahan Baku), diharapkan
dapat
mengantisipasi
gangguan
yang
disebabkan
karena
ketidakpastian supply. Variansi e terkait dengan model Penentuan Urutan Job Produksi. Dengan menggunakan model penjadwalan Flowshop Genetic Algorithm dapat diperoleh urutan job produksi yang memiliki waktu penyelesaian produksi (makespan) minimum. Rencana pengurutan job produksi ini bisa saja menghasilkan waktu produksi yang berbeda dengan hasil perhitungan disebabkan terjadinya gangguan internal sistem produksi (misalnya kerusakan mesin dan kesalahan operator produksi). Dengan adanya rekomendasi Sub model 1 Pengendalian Gangguan Aksi Pengendalian Gangguan Operasional diharapkan dapat mengurangi variansi e, terkait dengan tindakan koreksi yang direkomendasikan. Rekomendasi Sub model 2 Pengendalian Gangguan – Kebijakan Lanjutan Pengendalian Gangguan juga turut mendukung penurunan nilai variansi e. Variansi f dan variansi g terkait dengan model Penentuan Rute Pengiriman : Travelling Salesman Problem berdasarkan algoritma genetika sehingga diperoleh urutan rute yang memberikan waktu pengiriman dan biaya pengiriman yang minimum. Variansi f dan variansi g terjadi karena adanya gangguan eksternal yang terjadi. Dengan adanya rekomendasi Sub model 1 Pengendalian Gangguan -
Aksi Pengendalian Gangguan Operasional diharapkan dapat
mengurangi variansi f dan variansi g, terkait dengan tindakan koreksi yang direkomendasikan. Rekomendasi Sub model 2 Pengendalian Gangguan – Kebijakan Lanjutan Pengendalian Gangguan juga turut mendukung penurunan nilai variansi f dan variansi g.
82
83
Pada gambar 17, gambar 18 dan tabel 5 yang tertera di atas, terdapat bagian gambar atau tabel yang diwarnai abu-abu. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dan variansi terkait pada gambar atau tabel tersebut tidak akan dibuat model operasionalnya dikarenakan keterbatasan penelitian. Walaupun tidak diikut sertakan model operasionalnya, hal tersebut tidak mengganggu keutuhan pengembangan model PPIC Adaptif. Apabila memungkinkan, SPK PPIC Adaptif dapat disempurnakan dengan melengkapi sistem tersebut dengan model operasional model Travelling Salesman Problem menggunakan metode Genetic Algorithm. Gangguan sistem produksi yang terjadi, setelah diberikan rekomendasi aksi
pengendalian
gangguan
ataupun
rekomendasi
kebijakan
lanjutan
pengendalian gangguan akan menjadi faktor-faktor penentu perubahan nilai % Persediaan Pengaman. 4.6 Performansi Model PPIC Adaptif Operasionalisasi model PPIC Adaptif pada industri pangan akan meningkatkan performansi sistem produksi pada industri pangan berdasarkan kriteria minimasi kesalahan prakiraan permintaan (MSE), minimasi biaya produksi, maksimasi utilisasi produksi, minimasi biaya persediaan, minimasi waktu penyelesaian produksi dan minimasi waktu dan biaya pengiriman. Integrasi model pengendalian gangguan pada model PPIC Adaptif
berpotensi untuk
mengurangi nilai variansi. Secara totalitas, peningkatan performansi sistem produksi tersebut merupakan bukti peningkatan fungsi PPIC (efektif) dan dalam jangka panjang akan berdampak pada efisiensi dan produktivitas perusahaan pangan dan keberlangsungan bisnis perusahaan pangan.