Outlook Perekonomian 2006
4. Outlook Perekonomian 2006 Peluang perekonomian Indonesia untuk mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi pada tahun 2006 tetap terbuka, meskipun dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Pencapaian peluang ini sangat ditentukan oleh peran Pemerintah dalam memberikan stimulus fiskal, baik berupa pengeluaran konsumsi maupun investasi. Peran Pemerintah dalam menggerakkan perekonomian menjadi penting karena sektor swasta menghadapi tantangan berat. Tantangan terberat yang dihadapi pelaku ekonomi adalah melemahnya daya beli masyarakat pasca kenaikan harga BBM yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga semester I-2006. Selain itu, meningkatnya biaya kapital sebagai dampak dari kenaikan suku bunga BI Rate yang mulai tertransmisikan ke suku bunga kredit juga berpengaruh terhadap kinerja perekonomian. Kondisi ekspor juga belum menunjukkan kemajuan berarti karena kondisi permintaan dunia yang belum membaik dibandingkan tahun sebelumnya dan masalah rendahnya daya saing produk ekspor. Kendati demikian, memasuki semester II-2006 tekanan terhadap pertumbuhan diperkirakan mulai berkurang sejalan dengan mulai stabilnya gejolak harga, mulai efektifnya hasil dari serangkaian kebijakan sektor riil yang diupayakan pemerintah, dan membaiknya ekspektasi masyarakat. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2006 diperkirakan berada pada kisaran 5,0-5,7% (yoy). Ke depan, inflasi IHK diperkirakan masih tetap tinggi hingga akhir triwulan III-2006 dan selanjutnya cenderung menurun di penghujung tahun. Tekanan harga akibat kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 menyebabkan laju inflasi IHK bertahan pada level yang tinggi sampai dengan triwulan III-2006. Selanjutnya, di akhir tahun 2006 tekanan inflasi IHK diperkirakan akan mereda dan diperkirakan berada pada sekitar 8% (yoy) seiring dengan berkurangnya dampak kebijakan administered price, ekspansi ekonomi yang masih berada di bawah kapasitas potensialnya, dan berkurangnya tekanan dari sisi eksternal. Perkiraan inflasi ini juga telah mempertimbangkan kenaikan TDL dan kenaikan harga gabah masingmasing sebesar 30% serta produksi pangan yang tidak sebaik tahun sebelumnya. Namun demikian, risiko laju inflasi yang lebih tinggi tetap patut diwaspadai, terutama yang berasal dari kemungkinan penerapan kebijakan penyesuaian harga barang administered lainnya yang pada saat ini belum dapat diidentifikasi. Dengan mempertimbangkan risiko tersebut, laju inflasi IHK pada tahun 2006 diperkirakan berada pada kisaran 7-9% (yoy).
ASUMSI DAN SKENARIO Kondisi Perekonomian Internasional Perekonomian global pada tahun 2006 diperkirakan tumbuh stabil sebagaimana pertumbuhan yang dicapai pada tahun 2005, yaitu sekitar 4,3%1 . Pertumbuhan 1 World Economic Outlook √ IMF, September 2005.
23
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005
ekonomi dunia ke depan masih didukung oleh ekspansi ekonomi dari kelompok negara industri (AS dan Jepang) serta negara-negara kawasan Euro sejalan dengan masih cukup kuatnya permintaan domestik dan kegiatan investasi di negara-negara tersebut. Perekonomian AS dan Jepang diperkirakan tumbuh stabil di tengah masih berlangsungnya kebijakan moneter AS yang ketat dan tetap tingginya harga minyak dunia. Di lain pihak, perekonomian kawasan Euro yang sempat terpuruk di tahun 2005 diperkirakan akan membaik seiring dengan perbaikan permintaan domestik, termasuk peningkatan kegiatan investasi yang dipicu oleh cukup rendahnya tingkat suku bunga. Sementara itu, meski pertumbuhan ekonomi negara berkembang diperkirakan melambat, tetapi tetap tumbuh dalam level yang cukup tinggi. Di kawasan Asia, perekonomian Cina dan India, masih menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dikawasan ini. Sejalan dengan perekonomian dunia yang tumbuh relatif stabil, volume perdagangan dunia tahun 2006 diperkirakan juga tumbuh stabil pada sekitar 7,4%. Laju inflasi dunia pada tahun 2006 diperkirakan akan melambat. Berkurangnya tekanan inflasi sejalan dengan perkiraan masih berlangsungnya respon kebijakan moneter ketat oleh beberapa bank sentral hingga paro pertama Persen
% (y-o-y)
Tabel 4.1
kelompok negara maju dan negara berkembang, yaitu masing-
Indikator Ekonomi Utama Dunia Indikator Utama
Aktual 2003
Output Dunia Negara-negara industri maju Amerika Serikat Jepang Kawasan Euro Inggris Kanada Asia industri baru/Pasifik Australia Singapura Korea Hong Kong SAR Negara-negara Berkembang Asia ex, Japan China India Malaysia Thailand Laju Inflasi Global Negara Maju Negara Berkembang Volume Perdagangan Dunia Impor Negara Maju Negara Berkembang Ekspor Negara Maju Negara Berkembang Harga Komoditas Internasional ($) Harga minyak Harga komoditas primer nonminyak Negara-negara dalam transisi Suku Bunga LIBOR 6 bulan Dolar AS Euro
masing mencapai 2,0% dan 5,7%, dibandingkan 2,2% dan Proyeksi
2004
2005
2006
5,9% pada tahun lalu. Perkembangan harga komoditas diperkirakan akan bervariasi. Berdasarkan kelompoknya, harga
3,9 2,1 3,1 2,7 0,4 2,1 1,6 3,1 3,0 1,1 2,6 3,2 6,3 7,3 9,3 7,2 5,3 6,9
5,1 3,4 4,4 2,6 1,9 3,1 2,7 5,6 3,5 8,1 4,6 8,4 7,1 7,8 9,5 6,9 7,0 6,1
4,3 2,5 3,5 2,0 1,2 1,9 2,9 4,0 2,2 3,9 3,8 6,3 6,4 7,8 9,0 7,1 5,5 3,5
4,3 2,7 3,3 2,0 1,8 2,2 3,2 4,7 3,2 4,5 5,0 4,5 6,1 7,2 8,2 6,3 6,0 5,0
kelompok komoditi nonmigas cenderung menurun, sementara
1,8 6 4,8
2,0 5,8 9,8
2,2 5,9 7,0
2,0 5,7 7,4
tahun ini, terutama untuk komoditas produk pertanian, metal
3,5 9,0
8,5 14,9
5,4 13,5
5,8 11,9
2,6 10,8
8,1 13,5
5,0 10,4
6,3 10,3
15,8 6,9 11,1
30,7 18,5 11,1
43,6 8,6
13,9 -2,1
1,2 2,3
1,8 2,1
3,6 2,1
4,5 2,4
Sumber : *IMF, World Economic Outlook, Sept 2005
24
tahun 2006. Laju inflasi yang lebih rendah terjadi pada
pada komoditas migas diperkirakan masih akan mengalami peningkatan. Masih tingginya permintaan dunia ditengah pasokan minyak dunia yang relatif terbatas menyebabkan terus bertahannya harga minyak dunia di level yang tinggi. Energy Information Administration (EIA) memperkirakan harga minyak dunia jenis WTI di tahun 2006 berkisar di level $55√$65 per barrel. Sementara itu, harga komoditas nonmigas diperkirakan mulai mengalami penurunan di tahun 2006. Meningkatnya pasokan komoditi nonmigas merupakan faktor pendorong menurunnya harga sebagian besar komoditas nonmigas di dan mineral. Kebijakan moneter ketat diperkirakan masih akan diadopsi oleh beberapa bank sentral hingga paruh pertama 2006. Fedres diperkirakan akan menaikkan suku bunga Fedfund hingga akhir semester I-2006 dan diikuti oleh beberapa bank sentral di kawasan Asia, seperti Thailand dan Malaysia. Namun demikian, seiring dengan mulai menurunnya tekanan inflasi dan sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, beberapa bank sentral diperkirakan menahan kenaikan tingkat suku bunga lebih
Outlook Perekonomian 2006
lanjut di semester II-2006. Sementara itu, untuk meningkatkan kinerja perekonomian, ECB dan RBA diperkirakan akan mempertahankan tingkat suku bunga kebijakannya, sementara BOE diprediksi akan menerapkan kebijakan moneter longgar.
Skenario Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal tahun 2006 berpotensi lebih ekspansif dibandingkan rencana semula. Defisit fiskal yang semula dianggarkan sebesar 0,7% dari PDB2 , dalam realisasinya diperkirakan akan melebihi jumlah tersebut karena akan adanya luncuran (carry over) beberapa belanja anggaran tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 99/PMK.06/2005 yang berlaku sejak 25 Oktober 2005 telah ditetapkan beberapa program/kegiatan yang dapat diluncurkan pelaksanaannya pada tahun 2006, yaitu: (i) program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, (ii) Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) dan (iii) kegiatan Kementrian Negara/Lembaga yang telah dikontrakkan selambat-lambatnya akhir November 2005 dan masa penyelesaian pekerjaan selambat-lambatnya akhir April 2006. Pendanaan untuk kegiatan-kegiatan tersebut bersumber dari luncuran hibah dan project loan 2005 serta Sisa Anggaran Lebih (SAL) tahun-tahun sebelumnya. Akhir April 2006 merupakan batas waktu pencairan dana untuk kegiatan (i) dan (ii), sedangkan batas waktu pencairan untuk kegiatan (iii) adalah 5 Mei 2006. Dengan demikian, fiscal impulse tahun 2006 diindikasikan ekspansif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan penggeraknya berupa konsumsi dan investasi pemerintah, sementara pembayaran transfer berkurang dengan turunnya anggaran untuk subsidi BBM. Walaupun lebih ekspansif dari rencana, kesinambungan fiskal diperkirakan tetap terjaga, seperti meningkatnya surplus keseimbangan primer dan menurunnya rasio utang Pemerintah (dari sekitar 50% terhadap PDB menjadi sekitar 46% terhadap PDB). Terjaganya kesinambungan ini diperkirakan akan mendorong membaiknya sentimen untuk tahun 2006 dan dapat menjadi salah satu faktor positif untuk menarik modal asing. Pemerintah merencanakan beberapa kebijakan fiskal tahun 2006 yang diharapkan kondusif bagi perekonomian. Kebijakan tersebut antara lain: melanjutkan proses penyusunan RUU Perpajakan; melanjutkan harmonisasi tarif bea masuk; revisi terhadap UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; penyusunan dan perumusan kebijakan pendapatan daerah dan harmonisasi Peraturan Daerah yang meliputi (a) perluasan dan peningkatan sumber penerimaan daerah, (b) penyusunan mekanisme pengawasan atas Perda pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum; mempertajam prioritas penyediaan subsidi agar lebih tepat sasaran dan menyediakan belanja bantuan sosial dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
2 UU No.13/2005 tanggal 18 November 2005 tentang APBN 2006
25
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005
Skenario Kebijakan Sektor Riil Penciptaan iklim investasi yang lebih kondusif dan peningkatan daya saing ekspor masih menjadi prioritas kebijakan sektor riil. Prioritas ini dibarengi pula dengan upaya Bank Indonesia untuk secara konsisten terus mengendalikan kestabilan makroekonomi. Pilihan ini utamanya ditujukan untuk memperbaiki persepsi investor asing akan prospek ekonomi Indonesia dan didorong tekad memperbaiki prestasi ekspor yang saat ini lebih didorong oleh faktor harga dan belum ditopang penuh oleh peningkatan kapasitas produksi. Pembenahan iklim investasi diantaranya dilakukan melalui penerbitan UU Penanaman Modal, serta evaluasi dan penghapusan Peraturan Daerah yang menimbulkan in-efisiensi perekonomian. Di samping itu, pelaksanaan Infrastruktur Summit II diharapkan akan meningkatkan kegiatan investasi sekaligus mempercepat penyediaan infrastruktur. Di bidang kegiatan perdagangan luar negeri, Pemerintah mengambil beberapa kebijakan untuk meningkatkan ekspor, seperti dibukanya kesempatan ekspor bagi produk rotan setengah jadi berbahan baku rotan hutan alam serta ekspor pupuk, yang diharapkan dapat mendukung perbaikan kinerja ekspor. Paket insentif 1 Oktober 2005 diperkirakan akan berjalan efektif di tahun 2006. Walaupun sejumlah kendala masih dihadapi dalam implementasi paket insentif tersebut, seperti hubungan pemerintah pusat dan daerah serta keterkaitan dari departemen-depertemen teknis, namun pelaksanaan paket insentif tersebut diyakini berpotensi untuk meningkatkan kinerja di sektor perdagangan dan perhubungan sebagai prasarana kegiatan ekonomi di sektor-sektor lain.
PROSPEK PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 akan menghadapi tantangan berupa melemahnya daya beli masyarakat dan kenaikan suku bunga. Daya beli yang melemah akan berpengaruh terhadap melambatnya pertumbuhan konsumsi masyarakat. Kenaikan suku bunga dan prospek usaha yang tidak terlalu menggembirakan akan berdampak terhadap kinerja investasi. Dari sisi produksi, tekanan yang dihadapi sisi permintaan maupun kenaikan biaya produksi akan berdampak terhadap Sektor Industri Pengolahan yang diperkirakan akan tumbuh relatif stagnan dibandingkan tahun sebelumnya. Kinerja ini pada akhirnya diikuti oleh perlambatan pertumbuhan sektor utama lain seperti Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Bangunan dan Pengangkutan dan Komunikasi. Meskipun demikian, tekanan yang dihadapi sektor swasta diharapkan akan sedikit diimbangi oleh peningkatan kinerja pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk belanja konsumsi maupun investasi. Komitmen kuat pemerintah untuk meningkatkan realisasi pencairan anggaran pemerintah pada awal tahun 2006 diharapkan akan memberikan angin segar di tengah lesunya kinerja kegiatan investasi. Selain stimulus fiskal, berbagai kebijakan di sektor riil yang telah diluncurkan pemerintah diperkirakan akan mulai berdampak kepada perbaikan iklim usaha mulai semester II-2006. Langkah-langkah nyata pemerintah dalam perbaikan iklim investasi
26
Outlook Perekonomian 2006
berpotensi untuk memperbaiki persepsi pelaku bisnis terhadap prospek usaha ke depan, yang pada gilirannya akan memungkinkan nilai tukar bergerak ke arah yang lebih apresiatif. Apabila hal ini dapat terwujud, maka peluang perbaikan kinerja produksi, konsumsi, maupun investasi diyakini akan meningkat.
Permintaan Agregat Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi akan sangat ditentukan oleh kinerja konsumsi dan investasi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi masih bertumpu pada konsumsi, terutama yang bersumber dari meningkatnya pengeluaran pemerintah dan mulai pulihnya daya beli masyarakat sejalan dengan rencana kenaikan gaji dan upah minimum provinsi. Penurunan daya beli masyarakat diperkirakan menyebabkan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kisaran 3,0-4,0% (yoy) dibandingkan tahun lalu sekitar 3,4-3,9% (yoy). Namun, perlambatan pertumbuhan konsumsi secara total dapat dihindari karena adanya stimulus fiskal dari pemerintah yang mendorong pertumbuhan cukup tinggi pada konsumsi pemerintah, yaitu berkisar 13,0-14,0%. Peran investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih meningkat pada paro kedua tahun 2006. Hal ini dapat dicapai apabila asumsi investasi pemerintah di sektor infrastruktur dan migas mulai berjalan serta berbagai UU yang memberikan insentif pada dunia usaha, seperti UU Perpajakan, akan mulai efektif pada pertengahan tahun. Kegiatan investasi dalam tahun 2006 diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran 8,4%-9,4% (yoy), yang berarti menurun dibandingkan tahun lalu. Kegiatan investasi dalam tahun 2006 diperkirakan akan mengalami tantangan yang cukup berat. Penurunan kegiatan investasi ini terutama terkait dengan lesunya prospek usaha akibat melemahnya daya beli masyarakat. Disamping melemahnya permintaan, pengusaha juga mulai dihadapkan pada peningkatan cost of capital sebagai dampak dari kenaikan suku bunga BI Rate yang mulai tertransmisikan ke suku bunga kredit. Ketidakpastian dalam prospek usaha ini menyebabkan pengusaha lebih bersikap
wait and see. Perkiraan kinerja kegiatan investasi yang melambat ini sejalan dengan Leading Indikator Investasi yang mengindikasikan adanya perlambatan siklus pertumbuhan investasi sejak triwulan I-2005, dengan titik puncak pertumbuhan % (y-o-y)
Melemahnya kegiatan investasi
Tabel 4.2
swasta
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan Rincian
2004
I
II
Total Konsumsi 4,60 1,97 2,59 Rumah Tangga 4,94 3,22 3,59 Pemerintah 1,95 -8,63 -5,70 Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 15,71 13,68 14,54 Ekspor Barang dan Jasa 8,47 13,30 12,69 Impor Barang dan Jasa 24,95 15,58 17,86 PRODUK DOMESTIK BRUTO 5,13 6,12 5,84 Sumber : BPS (diolah) f : Forecast Bank Indonesia.
terjadi pada triwulan IV-2004.
2005 III
IVf
5,66 4,43 16,15
3,5 - 4,0 2,8 - 3,3 8,1 - 8,6
3,3 - 3,8 3,4 - 3,9 2,6 - 3,1
4,0 - 5,0 3,0 - 4,0 13 - 14
9,18 3,39 9,29 5,34
3,2 - 3,7 3,1 - 3,6 1,5 - 2,0 4,0 - 4,5
9,6 - 10 7,6 - 8,1 11 - 11 5,3 - 5,6
8,4 - 9,4 7,4 - 8,4 9,1 - 10 5,0 - 5,7
2005f
2006f
diharapkan
dapat
diimbangi oleh kegiatan investasi pemerintah. Dorongan dari stimulus fiskal, yang diyakini memiliki efek pengganda yang cukup
besar
perekonomian
terhadap secara
keseluruhan, diharapkan akan menjadi tulang punggung
27
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005
kegiatan investasi di tahun 2006. Optimisme terhadap stimulus fiskal ini seiring dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan yang menetapkan beberapa program/kegiatan tahun 2005 yang dapat diluncurkan pelaksanaannya pada tahun 2006. Mengingat batas waktu pencairan dana untuk beberapa kegiatan/program yang dapat diluncurkan pelaksanaannya ke tahun 2006 adalah pada bulan AprilMei 2006, maka investasi pemerintah diperkirakan akan mengalami peningkatan yang cukup signikan, khususnya pada awal tahun 2006. Selain itu, masalah prosedur administratif yang sepanjang tahun 2005 menghambat pelaksanaan kegiatan investasi pemerintah diharapkan dapat teratasi pada tahun ini. Disamping stimulus fiskal, komitmen pemerintah untuk terus mengupayakan perbaikan iklim investasi merupakan faktor penting yang dapat menjaga kesinambungan kegiatan investasi. Paket deregulasi yang telah diluncurkan sebelumnya, seperti Paket 1 Oktober 2005, maupun sejumlah paket deregulasi lain yang siap diluncurkan, diharapkan akan mulai berdampak pada pertengahan tahun 2006. Dari sisi pembiayaan, tantangan bagi pembiayaan investasi dalam tahun 2006 diperkirakan cukup berat. Mulai tertransmisikannya kenaikan BI Rate ke suku bunga kredit akan mempengaruhi permintaan kredit. Kredit perbankan pada tahun 2006 diperkirakan tumbuh dalam kisaran 15-20%, setelah pada tahun 2005 mencapai 21% hingga Oktober. Alternatif pembiayaan dari non-perbankan diperkirakan juga menghadapi tantangan berat sejalan dengan memburuknya prospek usaha emiten dan naiknya suku bunga. Peningkatan suku bunga diperkirakan akan menyebabkan perusahaan menunda realisasi penerbitan obligasi sampai waktu yang dianggap lebih tepat. Meskipun demikian, pembiayaan ekonomi diperkirakan juga akan terbantu oleh mengalirnya pembiayaan dari luar negeri, terutama memasuki paro kedua tahun 2006. Hal ini sejalan dengan mulai membaiknya kondisi makroekonomi di semester II-2006 dan perkiraan mulai bergulirnya proyek-proyek hasil kerjasama maupun investasi bilateral dengan beberapa investor asing. Konsumsi swasta dalam tahun 2006 diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran 3,0 √ 4,0%, lebih rendah dibandingkan tahun 2005. Kinerja konsumsi swasta ini terutama terkait dengan melemahnya daya beli akibat melonjaknya laju inflasi pasca kenaikan harga BBM pada triwulan akhir 2005. Selain itu, kegiatan konsumsi swasta diperkirakan juga akan menghadapi kendala dari sisi pembiayaan akibat dari mulai tertransmisikannya kenaikan BI Rate ke sektor riil melalui kenaikan suku bunga kredit. Kinerja konsumsi swasta yang melemah ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia bulan Desember 2005 yang menunjukkan masih pesimisnya keyakinan konsumen terkait dengan kondisi ekonomi saat ini maupun ekspektasi konsumen dalam beberapa bulan ke depan. Meskipun demikian, memasuki semester II-2006 kinerja konsumsi swasta diperkirakan akan membaik sejalan dengan mulai meningkatnya kegiatan ekonomi dan mulai pulihnya daya beli masyarakat. Secara umum, kinerja konsumsi swasta diperkirakan juga akan terbantu oleh rencana kenaikan gaji PNS dan UMP, serta stimulus fiskal berupa
28
Outlook Perekonomian 2006
lanjutan program kompensasi penghematan subsidi BBM yang
Indeks 160
disalurkan baik secara tunai langsung maupun melalui sektor
Indeks Keyakinan Konsumen Kondisi Ekonomi Saat Ini
140
pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, peningkatan
Ekspektasi Konsumen optimis
120
penghasilan tidak kena pajak mulai 1 Januari 2006 berpotensi meningkatkan konsumsi swasta.
100
Konsumsi pemerintah diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran
80
pesimis 60
12,8%- 13,3% (yoy), meningkat cukup pesat dari tahun lalu. Pesatnya peningkatan kinerja konsumsi pemerintah ini terutama
40
1
2
3
4
5 6
7
8
9 10 11 12 1
2
3
2004
4
5 6
7
8
9 10 11 12
2005
karena meningkatnya anggaran belanja daerah, adanya rencana kenaikan gaji yang meliputi: kenaikan gaji pokok PNS rata-rata
Grafik 4.1 Indeks Keyakinan Konsumen
15%, kenaikan tunjangan fungsional untuk golongan I-IV yang tidak menjabat dapat mencapai 55% dan kenaikan tunjangan
fungsional lainnya sekitar 10%. Dengan perkembangan ini, pangsa konsumsi Pemerintah meningkat dari pangsa historisnya sekitar 8% dari PDB menjadi sekitar 10% dari PDB. Konsumsi Pemerintah dapat lebih tinggi apabila luncuran dana rehabilitasi Aceh dapat direalisasikan. Kegiatan ekspor barang dan jasa dalam tahun 2006 diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan tahun 2005. Kinerja ekspor yang belum menggembirakan ini terkait dengan kondisi permintaan dunia yang tumbuh relatif sama dengan tahun 2005 dan permasalahan daya saing yang rendah. Ditinjau dari sisi daya saing, apabila melihat perbandingan indeks Bilateral Real Exchange Rate di kawasan regional, Indonesia sesungguhnya masih memiliki peluang peningkatan ekspor. Namun dengan mempertimbangkan adanya berbagai kendala yang terkait dengan daya saing, maka dalam melakukan proyeksi, faktor ≈keunggulan∆ ini cenderung diperlakukan secara hati-hati. Salah satu komoditi andalan yang diperkirakan mengalami peningkatan adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), menyusul kesepakatan baru antara Cina dan AS yang berpeluang meningkatkan ekspor Indonesia, serta CPO. Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, ekspor barang dan jasa secara riil pada tahun 2006 diperkirakan tumbuh dalam kisaran 7,4 √ 8,4% (yoy). Sejalan dengan melambatnya kegiatan ekonomi domestik impor barang dan jasa diperkirakan juga akan mengalami perlambatan. Di samping karena melambatnya faktor permintaan, pootensi penurunan laju pertumbuhan impor dapat timbul apabila nilai tukar rupiah melemah. Untuk tahun 2006, kegiatan impor diperkirakan akan tumbuh dalam kisaran 9,1√10,1%, yang berarti melambat dibandingkan tahun 2005.
Penawaran Agregat Dari sisi penawaran, beberapa sektor ekonomi diperkirakan tumbuh melambat pada tahun 2006 sebagai dampak dari berbagai tantangan yang dihadapi perekonomian. Bagi produsen, masalah penurunan daya beli masyarakat, kenaikan biaya kapital, dan kenaikan biaya produksi akan sangat mempengaruhi tingkat produksinya. Oleh
29
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005 % (y-o-y)
karenanya, apabila peran pemerintah
Tabel 4.3
sebagai stimulan perekonomian dapat
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran
lebih dioptimalkan diharapkan dapat
Sektor Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Jasa-jasa PRODUK DOMESTIK BRUTO
2004 4,06 -4,61 6,19 5,91 8,17 5,80 12,70 7,72 4,91 5,13
f Angka proyeksi Bank Indonesia
I
II
2,46 1,07 0,70 -0,76 6,49 5,48 7,81 8,85 7,32 8,11 9,97 9,96 13,12 13,93 6,40 9,75 4,90 4,36 6,12 5,8
2005 III
IVf
1,64 -2,32 5,59 9,78 6,31 7,88 12,87 9,07 5,36 4,34
1,6 - 2,1 -1,4 - -0,9 4,4 - 4,9 8,3 - 8,8 4,6 - 5,1 5,3 - 5,8 9,7 - 10 7,2 - 7,7 2,4 - 2,9 4,0 - 4,5
2005f 1,5 - 2,0 -1,2 - -0,7 5,3 - 5,8 8,5 - 9,0 6,4 - 6,9 8 - 8,5 12,2 - 12,7 7,9 - 8,4 4,1 - 4,6 5,3 - 5,6
2006f 1,9 - 2,9 -1,9 - -0,9 5,1 - 6,1 8,3 - 9,3 5,4 - 6,4 7,6 - 8,6 10,5 - 11,5 7,0 - 8,0 4,2 - 5,2 5,0 - 5,7
mendorong meningkatnya permintaan domestik yang selanjutnya dapat diikuti oleh meningkatnya sisi produksi. Sektor Industri Pengolahan pada tahun 2006 diperkirakan mencatat laju pertumbuhan cenderung stagnan, yaitu pada kisaran 5,1-6,1% (yoy). Penurunan daya beli masyarakat, sebagaimana tercermin
pada
perlambatan
pertumbuhan konsumsi masyarakat, menyebabkan pertumbuhan sektor industri pengolahan tidak tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Adanya stimulus fiskal pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi, sedikit banyak diperkirakan dapat membantu sektor industri pengolahan dari perlambatan pertumbuhan. Perlambatan pertumbuhan diperkirakan terjadi pada triwulan I2006 dan berangsur mulai meningkat pada triwulan II-2006 sejalan dengan perbaikan daya beli masyarakat dan stimulus dari pemerintah. Ekspektasi akan kembali membaiknya perekonomian pada semester II diperkirakan akan mendorong industri untuk meningkatkan produksinya. Berdasarkan kelompoknya, pertumbuhan sektor ini diperkirakan berasal dari kelompok industri makanan dan minuman, industri kimia, serta industri logam dasar besi dan baja. Walaupun daya beli masyarakat cenderung melemah, kinerja di subsektor industri makanan dan minuman serta industri ikutannya, seperti industri kimia diperkirakan tidak menurun. Sementara, stimulus belanja modal pemerintah diperkirakan akan mendorong proyek-proyek infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang selanjutnya diperkirakan memperbaiki kinerja di subsektor industri terkait, seperti subsektor industri logam dan semen. Peluang kenaikan output diperkirakan terjadi pada kelompok industri logam dan tekstil. Dimenangkannya tender internasional proyek transmisi gas dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat (SSWJ) tahap II oleh konsorsium perusahaan pipa domestik diperkirakan mendorong pertumbuhan di kelompok industri logam. Subsektor Industri Tekstil juga berpeluang meningkat produksinya sebagai dampak dari kebijakan Uni Eropa dan Amerika Serikat yang membatasi ekspor TPT Cina. Kebijakan yang akan ditempuh oleh pasar utama tekstil dunia ini berpotensi mengembangkan ekspor ke negara tersebut. Sementara itu, penurunan daya beli masyarakat diperkirakan akan memukul kinerja subsektor Industri Alat Angkutan. GAIKINDO memperkirakan penjualan kendaraan bermotor di pasar domestik akan turun dari 530 ribu unit pada 2005 menjadi sekitar 450-500 ribu pada 2006. Pada kelompok sepeda motor, penjualan tahun depan diperkirakan hanya tumbuh 5-7%, turun cukup tajam dari sekitar 17% pada tahun ini.
30
Outlook Perekonomian 2006
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran pada tahun 2006
18,0
diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan tahun 2005, yaitu Realisasi
Perkiraan
pada kisaran 7,6-8,6% (yoy). Penurunan daya beli masyarakat
12,0
diperkirakan akan menurunkan kegiatan di sektor ini sebagaimana diprediksikan oleh berbagai asosiasi yang terkait
6,0
dengan perdagangan eceran. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia memperkirakan volume penjualan diperkirakan tumbuh 10-15%
0,0
pada tahun 2006. Pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan -6,0 I
II
III
2000
IV
I
II
III
2001
IV
I
II
III
2002
IV
I
II
III
2003
IV
I
II
III
2004
IV
I
II
III
IV*
2005
Grafik 4.2 Perkembangan Kegiatan Sektor Industri - SKDU
dengan perkiraan penjualan tahun ini yang mencapai 20%. Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia juga memperkirakan bahwa pasokan barang kebutuhan sehari-hari ke pasar modern akan merosot hingga 20% pada 2006 akibat penurunan daya beli. Perlambatan ini sejalan dengan masih
pesimisnya konsumen pada Survei Konsumen November 2005. Selanjutnya, seiring dengan upaya yang ditempuh Bank Sentral dan Pemerintah untuk menekan laju inflasi dan perbaikan daya beli masyarakat, pertumbuhan sektor ini berangsurangsur membaik walaupun secara keseluruhan tahun 2006 pertumbuhannya masih lebih lambat dibandingkan tahun 2005. Produksi sektor Pertanian diperkirakan masih akan meningkat pada tahun 2006. Setelah mengalami berbagai hambatan pada tahun 2005 sektor pertanian diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 1,9-2,9% pada tahun 2006-2007. Upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan maupun kenaikan harga yang minimal untuk komoditas pupuk pada musim tanaman 2005/06 diharapkan akan mendukung keberhasilan panen tanaman padi. Akselerasi pertumbuhan sektor ini antara lain didukung pula oleh program pengembangan produksi padi oleh pemerintah dalam rangka swasembada beras berkelanjutan sd tahun 2010 melalui perluasan areal 0,37% per tahun dan peningkatan produktivitas sebesar 0,48% sejak tahun 2006. Paket insentif 1 Oktober 2005 yang akan mengubah status pajak produk primer, khususnya pertanian, dari PPN menjadi barang bukan kena pajak diharapkan dapat memberikan gairah untuk meningkatkan output sektor ini. Di subsektor perkebunan, program pemerintah untuk meningkatkan areal panen kelapa sawit dari 5 juta ha saat ini menjadi 8 juta ha dalam 3 tahun mendatang diharapkan akan mendorong peningkatan produksi komoditi tersebut. Namun demikian, apabila upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi padi tidak optimal, maka pertumbuhan di sektor ini pada tahun 2006 diperkirakan lebih lambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2005. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi diperkirakan mencatat pertumbuhan yang melambat dibandingkan tahun 2005 akibat meningkatnya ongkos transportasi dan melambatnya kegiatan ekonomi. Subsektor Pengangkutan diperkirakan akan terpengaruh oleh kedua faktor tersebut, sementara subsektor Komunikasi diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi. Gejala perlambatan di subsektor Pengangkutan terindikasi dari penurunan penumpang mudik lebaran tahun 2005 pasca kenaikan harga BBM yang turun 14,65% dibandingkan tahun lalu. Dalam
31
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005
tahun 2006, revisi Permenhub No.35/2005 yang membatasi usia pesawat yang akan didaftarkan dan dioperasikan oleh operator untuk transportasi penumpang hingga maksimal 20 tahun diperkirakan akan berpengaruh terhadap jumlah pesawat yang layak beroperasi. Selanjutnya, peningkatan pertumbuhan sektor pengangkutan diperkirakan akan terjadi pada triwulan II yang didorong oleh meningkatnya kembali kegiatan ekonomi. Aktivitas angkutan barang diperkirakan akan kembali marak seiring dengan reformasi yang dicanangkan pemerintah meliputi pengurangan jembatan timbang dari 127 buah menjadi 64 buah dan pembatalan 36 Perda sektor perhubungan mengenai kelebihan beban angkutan kendaraan di jembatan timbang. Sementara itu, subsektor Komunikasi diperkirakan masih memiliki kinerja yang cukup mengesankan sejalan dengan masih terbukanya peluang pasar di bidang telekomunikasi. Asosiasi Telepon Seluler Indonesia memperkirakan untuk tahun 2006 jumlah pelanggan selular diperkirakan mencapai 50,2 juta meningkat dari 40 juta pada tahun 2005. Peningkatan pelanggan masih dimungkinkan mengingat tingkat penetrasi selular masih rendah. Perkiraan ini juga diperkuat dengan adanya investasi yang cukup besar pada beberapa tahun terakhir untuk memperluas jaringan telepon, diantaranya adalah peluncuran satelit Telkom2 pada November 2005. Dengan perkembangan tersebut, sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan tumbuh pada kisaran 10,5-11,5% pada tahun 2006. Sektor Pertambangan dan Penggalian diperkirakan masih akan tumbuh negatif pada tahun 2006. Penurunan sektor ini disebabkan oleh produksi minyak mentah yang diperkirakan masih belum menggembirakan. Hal ini terindikasi dari penggunaan asumsi produksi minyak dalam RAPBN 2006 yang memperkirakan penurunan produksi dari 1,075 juta barel/hari pada tahun 2005 menjadi 1,050 juta barel/hari pada tahun 2006. Kondisi ini tidak terlepas dari kondisi sumur minyak yang sudah tua sementara eksplorasi sumur baru masih belum memberikan hasil yang signifikan. Sedangkan kinerja di sektor pertambangan nonmigas diperkirakan tetap stagnan akibat tidak adanya investor baru berskala besar yang masuk. Hal ini terjadi akibat belum adanya kepastian hukum terhadap industri pertambangan, termasuk belum selesainya RUU Mineral dan Batubara. Padahal, kenaikan permintaan, baik dunia maupun domestik akan komoditas tambang saat ini cukup besar. Dari sisi domestik, potensi permintaan batubara meningkat terkait dengan usaha kecil-menengah yang mulai mengkonversi bahan bakarnya dari BBM ke briket batu bara serta rencana PLN dan Kementrian Riset dan Teknologi untuk membangun PLTU berbahan baku batu bara di Tanjung Enim. Sektor Listrik, Gas & Air Bersih diperkirakan tumbuh stabil pada kisaran 8,3-9,3% (yoy). Pertumbuhan yang relatif stabil ini tidak terlepas dari pertumbuhan sektor industri yang juga stagnan. Dari sisi pasokan, sejumlah proyek infrastruktur di sektor ini yang telah dibangun dalam kurun waktu dua tahun terakhir diperkirakan akan menambah pasokan daya sekitar 2.650 MW. Tambahan pasokan tersebut diantaranya berasal dari PLTGU Sengkang, PLTU Cilegon, PLTU Cilacap, PLTU Tanjung Jati B, PLTA Bilibili, dan PLTP Darajat III. Penambahan pasokan ini merupakan upaya untuk mengatasi krisis listrik saat ini akibat kapasitas produksi yang ada tidak mampu
32
Outlook Perekonomian 2006
mengimbangi peningkatan permintaan rumah tangga dan kebutuhan sektor industri pengolahan. Sementara itu, pembangunan pembangkit listrik nonmigas lainnya, seperti PLTA Musi di Bengkulu, PLTU Tarahan di Lampung, PLTA Renun di Sumatera Utara, serta PLTP Lahendong di Sulawesi Utara, terus dipercepat, yang dapat menambah pasokan sebesar 3.222 MW. Sektor Bangunan diperkirakan mengalami perlambatan pertumbuhan pada tahun 2006 dibandingkan tahun lalu. Suku bunga kredit yang meningkat dan kenaikan harga jual rumah diperkirakan akan menyebabkan melambatnya pertumbuhan permintaan sektor properti. Menurut informasi dari Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI), kegiatan konstruksi tahun 2006 diperkirakan akan turun. Sementara itu, Perusahaan Real Estat Indonesia juga memperkirakan bahwa bisnis properti akan mengalami perlambatan pada 2006, terutama untuk sektor komersial. Pertumbuhan diperkirakan masih terjadi di sektor perumahan. Nilai tambah sektor ini diperkirakan berangsur-angsur membaik sejak triwulan III-2006. Kemungkinan menurunnya suku bunga seiring dengan berkurangnya tekanan terhadap inflasi dan perkiraan realisasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang dicanangkan Pemerintah pada semester II-2006 diharapkan dapat meningkatkan kinerja sektor ini pada paro kedua tahun 2006. Dengan perkembangan tersebut, sektor ini diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,4-6,4% (yoy) pada tahun 2006. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa diperkirakan akan mengalami pertumbuhan dengan laju yang melambat dibandingkan tahun 2005 pada kisaran 7,0-8,0% (yoy). Perlambatan laju pertumbuhan diperkirakan terjadi baik di subsektor bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Di subsektor bank, perlambatan pertumbuhan diperkirakan disebabkan oleh: (i) menipisnya net interest margin akibat kecenderungan suku bunga deposito yang meningkat lebih besar daripada suku bunga kredit; (ii) menurunnya permintaan kredit sejalan dengan melemahnya kegiatan ekonomi; (iii) lebih selektifnya perbankan dalam melakukan ekspansi usaha terkait dengan percepatan konsolidasi perbankan dan penerapan beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang terkait dengan kehati-hatian dan terkait dengan kecenderungan meningkatnya kredit bermasalah (NPL) pada tahun 2005. Kenaikan suku bunga diperkirakan juga akan berdampak terhadap nilai tambah lembaga keuangan bukan bank, utamanya perusahaan pembiayaan konsumen dan leasing.
PRAKIRAAN INFLASI Laju inflasi di akhir 2006 diperkirakan akan jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2005. Meredanya tekanan inflasi di akhir tahun tercermin dari Leading Indikator Inflasi (LII) yang telah menunjukkan titik puncak inflasi pada akhir tahun 2005. Secara statistik, inflasi IHK secara tahunan masih akan tinggi hingga mencapai dua digit sampai dengan triwulan III-2006. Namun, pada triwulan IV diperkirakan mulai menurun menjadi sekitar 8% pada akhir tahun 2006. Penurunan laju inflasi tersebut telah mempertimbangkan berbagai asumsi, meliputi kebijakan administered prices berupa kenaikan tarif dasar listrik (TDL), pola inflasi kelompok makanan yang masih
33
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005
belum membaik dibandingkan tahun lalu, dan kenaikan harga
Indeks 103
dasar gabah. Dari sisi kesenjangan output, ekspansi ekonomi
Inflasi Leading Indikator Inflasi
102
yang masih di bawah kapasitas potensialnya turut mendukung berkurangnya tekanan inflasi di akhir 2006. Kendati demikian,
101
perkiraan tersebut memiliki risiko menjadi lebih tinggi terkait
100
dengan kemungkinan penerapan kebijakan penyesuaian harga 99
administered tambahan yang pada saat ini belum dapat diidentifikasi. Dengan perkiraan tersebut, laju inflasi IHK pada
98
97 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
akhir tahun 2006 diperkirakan sekitar 7-9%.
Grafik 4.3
Tekanan inflasi dari kebijakan Pemerintah di bidang harga
Leading Indikator Inflasi
diperkirakan mereda pada 2006. Kemungkinan kebijakan harga Pemerintah yang pada saat ini dapat diidentifikasi adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 30% di awal tahun dan penerapan kenaikan harga dasar gabah sebesar 30% pada triwulan II-2006. Walaupun demikian, beberapa kebijakan administered yang apabila diterapkan pada tahun 2006 berpotensi untuk meningkatkan perkiraan inflasi IHK. Kebijakan tersebut diantaranya adalah kenaikan cukai rokok, elpiji, dan tarif telepon lokal. Ekspektasi inflasi masyarakat diperkirakan masih akan berada
Indeks
pada level yang cukup tinggi. Kondisi tersebut diindikasikan oleh
170 Ekspektasi 6 bulan yad Ekspektasi 3 bulan yad
160
Indeks Ekspektasi Harga hasil Survei Penjualan Eceran dan Survei
150
Konsumen. Kedua indeks tersebut menunjukkan masih tingginya
140
ekspektasi inflasi dalam enam bulan ke depan, walaupun dalam
130
hasil Survei bulan Oktober 2005 ekspektasi tersebut mulai turun.
120
Ekspektasi inflasi masyarakat yang tetap tinggi didorong oleh
110 100
perkiraan laju inflasi IHK tahunan yang diperkirakan tetap tinggi
Survei Penjualan Eceran, BI
hingga triwulan III-2006 dan adanya rencana pemerintah untuk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2002
2003
2004
2005
Grafik 4.4
menyesuaikan harga beberapa barang kelompok administered di tahun 2006.
Ekspektasi Inflasi SPE
Tekanan inflasi yang bersumber dari interaksi permintaan dan penawaran diperkirakan berada pada tingkat yang rendah. Penerapan kebijakan kenaikan harga BBM pada 2005 dan suku
Indeks 160
bunga diperkirakan akan mempengaruhi kondisi permintaan
150
masyarakat. Sampai dengan paro pertama 2006 permintaan
140
domestik diperkirakan akan menunjukkan perlambatan
130
pertumbuhan seiring dengan menurunnya daya beli serta
120
kegiatan investasi. Namun sejak semester II-2006 kondisi permintaan diperkirakan akan membaik yang antara lain
110 100 90
Ekspektasi harga 6 bl ke depan
Survei Konsumen - BI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2003
2004
2005
Grafik 4.4 Ekspektasi Inflasi Survei Konsumen
34
didukung oleh optimisme keberhasilan program pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi. Pada periode yang sama, kegiatan produksi barang diperkirakan dapat mengimbangi peningkatan permintaan. Sektor ekonomi penghasil barang dan jasa, seperti sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan
Outlook Perekonomian 2006
dan komunikasi, diperkirakan masih mencatat pertumbuhan.
YoY%
2,5
Selain itu kelangsungan pasokan barang juga didukung oleh maraknya kegiatan investasi sejak pertengahan 2006 yang
2,0
diperkirakan akan mendukung penambahan kapasitas produksi
1,5
perekonomian. Meskipun demikian, perlu dicermati adanya risiko gangguan pasokan khususnya untuk komoditi pangan sejalan
1,0
dengan perkiraan menurunnya produksi beras di 2006 serta
0,5
kemungkinan masih akan diterapkannya kebijakan pembatasan 0,0
I
II
III
2000
IV I
II
III
2001
IV I
II
III
IV I
2002
II
III
IV
I
2003
II
III
2004
IV I
II
III
2005
IV
I
II
III
IV
2006
impor beras oleh pemerintah.
Grafik 4.6
Tekanan sisi eksternal terhadap laju inflasi IHK diperkirakan akan
Inflasi Negara Mitra Dagang
berkurang. Dampak sisi eksternal terhadap inflasi timbul baik secara langsung melalui kenaikan harga barang konsumsi yang diimpor, maupun secara tidak langsung melalui kenaikan biaya produksi yang antara lain dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Kecenderungan penurunan laju inflasi di negara-negara mitra dagang dan kurs rupiah yang diperkirakan relatif stabil diharapkan mengurangi tekanan sektor eksternal terhadap inflasi. Dengan demikian, dampak pass-through nilai tukar rupiah terhadap inflasi diperkirakan tidak signifikan.
FAKTOR RISIKO Gambaran prospek ekonomi dan laju inflasi ke depan akan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Faktor-faktor tersebut secara umum berdampak kurang menguntungkan (downside risks) terhadap prospek perekonomian Indonesia.
Harga Minyak yang Tidak Stabil Meskipun diperkirakan akan bergerak turun, namun harga minyak pada tahun 2006 masih berpotensi untuk bergejolak. Melonjaknya kembali harga minyak internasional tersebut disebabkan oleh terbatasnya pasokan negara-negara penghasil minyak, sementara permintaan minyak dunia diperkirakan meningkat seiring dengan perkiraan meningkatnya volume perdagangan dunia. Meningkatnya harga minyak ini membawa dampak pada kenaikan harga berbagai komoditi internasional karena meningkatnya ongkos produksi dan transportasi. Akibatnya, kemampuan domestik untuk melakukan impor bahan baku dan barang modal diperkirakan akan menurun, sehingga akan mempengaruhi kegiatan investasi dan kinerja beberapa sektor. Dengan masih tingginya permintaan minyak domestik, meningkatnya harga minyak juga akan memberikan tekanan kepada kondisi neraca pembayaran, dan pada akhirnya ke nilai tukar rupiah. Di sisi lain, dengan kemampuan fiskal yang sangat terbatas, melonjaknya kembali harga minyak akan membuka kemungkinan naiknya kembali harga BBM dalam negeri. Apabila hal ini terjadi, maka akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan diperkirakan akan semakin melambat.
35
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan IV 2005
Kepastian pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang investasi dan ekspor Arah perkembangan ekonomi ke depan sangat dipengaruhi oleh kinerja investasi. Karenanya, komitmen pemerintah untuk terus mengupayakan perbaikan iklim investasi merupakan faktor penting bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan. Langkah-langkah konkrit untuk terus mendorong iklim investasi semakin diperlukan guna menjaga persepsi positif pelaku usaha. Keberhasilan dalam Infrastructure Summit 2006, misalnya, apabila dapat tercapai diperkirakan dapat memberikan sumbangan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, keberhasilan pemerintah mengimplementasikan Paket Insentif 1 Oktober 2005 akan sangat menentukan arah kegiatan investasi, karena dalam paket tersebut sektor-sektor pendukung kegiatan investasi seperti fiskal, perdagangan dan perhubungan mendapat prioritas. Sebaliknya, apabila langkah-langkah tersebut dan hambatan-hambatan yang muncul kurang tertangani secara serius, akan memberikan risiko ke bawah (downside riks) yang berakibat pada penurunan kinerja perekonomian secara keseluruhan.
Kembalinya Peningkatan Global Imbalance Isu global imbalances kembali muncul seiring dengan rencana bank sentral AS untuk mengakhiri siklus kebijakan moneternya di akhir semester I-2006. Kebijakan pengetatan moneter AS di tahun 2005 telah mendorong masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan AS dan membantu membiayai twin deficit AS. Berakhirnya kebijakan moneter ketat di AS dikhawatirkan akan mengurangi insentif bagi investor asing untuk menanamkan dananya di pasar keuangan AS dan mendorong global imbalances kembali meningkat. Penyesuaian terhadap global imbalances secara drastis dapat memicu pelemahan US dollar secara drastis dan berdampak terhadap pasar keuangan global. Sebagai mitra dagang perekonomian, pelemahan dollar AS diperkirakan akan meningkatkan volatilitas kurs di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia.
36