16
3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Memahami Api dan Kebakaran Jaber et al. (2001) menyatakan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan mencakup pembahasan terhadap empat komponen utama, yaitu : a. Deteksi dini kebakaran b. Penilaian resiko (berhubungan dengan kondisi cuaca) c. Penilaian terhadap luasan areal terbakar (kebakaran yang terjadi pada area yang tidak luas umunya tidak berbahaya) d. Simulasi terhadap perilaku penyebaran api Pengelolaan resiko kebakaran hutan dan lahan dimulai dari penilaian terhadap besar resiko yang disebabkan oleh kejadian kebakaran tersebut. Perilaku api terkadang tidak menentu sehingga sulit untuk dideteksi dan dilakukan pendekatan. Memprediksi kondisi aktual kebakaran dengan suatu permodelan tidak mudah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran, baik faktor ekologi maupun sosial ekonomi, tidak bisa dianalisis secara terpisah. Resiko kebakaran hutan dapat didekati dengan menjumlahkan skor pada faktor kemudahan menyala, topomorfologi, dan landuse (Guettouche et al. 2011). Braun et al. (2010) telah membuat pendekatan penilaian peluang terjadinya kebakaran dengan menggunakan data waktu kejadian kebakaran, lokasi penyalaan dan area terbakar. Batasan pengertian area terbakar mencakup area tempat kejadian penyalaan dan juga area penyebaran dari titik api tersebut. Untuk mengurangi terjadinya bias, maka dibuat buffer dengan radius 5 km di sekitar wilayah kajian. Hal ini didasarkan kemungkinan api merambat keluar dari wilayah studi. Pembakaran lahan telah menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Pembakaran lahan bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003). Kebakaran hutan juga memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah (Vafeidis et al. 2007).
3.1.1
Penggunaan Hotspot MODIS
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan produk dari Earth Observing Sistem (EOS) NASA yang memiliki 2 jenis satelit, yaitu Terra (EOS AM) and Aqua (EOS PM). Orbit satelit Terra dari utara ke arah equator pada pagi hari dan satelit Aqua dari selatan ke Equator pada siang hari yang menghasilkan liputan seluruh muka bumi dalam waktu 1-2 hari. Satelit EOS memiliki wilayah pergantian liputan ± 55 derajat, ketinggian orbit 705 km dan lebar 2330 km. Terra (EOS AM) diluncurkan 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM) pada tanggal 4 Mei 2002. Hasil observasi hotspot dengan kualitas tinggi baru tersedia pada satelit Terra mulai November 2000, sementara satelit Aqua mulai 4 Juli 2002 dan seterusnya (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).
17
Satelit Terra (EOS AM) melewati khatulistiwa sekitar pukul 10:30 pagi dan 10:30 malam setiap hari, Aqua (EOS PM) satelit melewati khatulistiwa sekitar pukul 1:30 pagi dan 1:30 siang. Adanya jalur orbit yang sama memungkinkan satelit untuk melewati daerah yang sama pada waktu yang sama dalam setiap periode 24 jam. Diperlukan waktu sekitar 2 - 4 jam setelah proses liputan satelit untuk pemrosesan data, dan pembaharuan data FIRMS pada situs web. Untuk sebagian besar ekuator Bumi, ada 4 liputan dalam jangka waktu 24 jam (2 untuk Aqua dan 2 untuk Terra). Sebagai orbit kedua satelit "tumpang tindih" di kutub, ada cakupan lebih per daerah mengingat lebih jauh ke utara atau selatan daerah dari khatulistiwa (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/). Satelit MODIS memiliki resolusi spasial (250 m) yang lebih tinggi dari pada AVHRR pada Band 1 (0.620–0.670 µm) dan Band 2 (0.841–0.876 µm) (Zhang et al. 2011). Salah satu kelebihan MODIS dibanding dengan satelit lainnya adalah dalam pembacaan algoritmanya tidak ada batas atas untuk api terbesar dan / atau terpanas yang dapat dideteksi dengan MODIS. Ini tidak dimiliki oleh beberapa satelit seperti AVHRR, VIRS, dan ATSR (Giglio 2010). Dalam kejadian kebakaran, besar minimum api terdeteksi oleh sensor dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti sudut scan, bioma, posisi matahari, suhu permukaan tanah, tutupan awan, jumlah asap dan arah angin, dll), sehingga nilai yang tepat sulit diketahui. Dari resolusinya MODIS mendeteksi kebakaran 1000 m², namun apabila pengamatan dilakukan dalam kondisi optimal (misalnya di dekat titik nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan tanah yang relatif homogen, dll), kebakaran dengan luas 100 m² dapat dideteksi, bahkan dalam kasus yang sangat jarang dapat mendeteksi kebakaran seluas 50 m² (Giglio 2010). Diantara kelebihan Satelit MODIS (resolusi 250 m) adalah produk yang tidak mahal, resolusi temporal yang tinggi, cakupan areal yang sangat luas dan memberikan informasi dalam rangka monitoring kondisi kesehatan ekosistem hutan. Penggunaan data MODIS dapat mengenali sebaran area terbakar sebagai bahan masukan bagi petugas pengendali kebakaran. Namun hasil identifikasi area terbakar tersebut umumnya memiliki luasan lebih rendah dibanding dengan pengukuran GPS (Quintano et al. 2011). Validasi hotspot Terra MODIS dan Aqua MODIS telah dilakukan dengan menggunakan pengamatan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dengan hasil yang baik (Klerk 2008 dan Hawbaker et al. 2008 dalam Giglio 2010). Citra Landsat 5 TM juga dapat digunakan sebagai data lapangan untuk validasi MODIS. Validasi terhadap MODIS dengan citra Landsat TM menunjukkan hasil yang akurat sebagai sumber informasi peta kebakaran (Shimabukuro et al. 2009). Demikian juga validasi dengan pengecekan lapangan, penggunaan data hotspot MODIS memiliki akurasi yang cukup tinggi (di atas 90 %) sehingga cukup layak digunakan sebagai data dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Thailand (Tanpipat et al. 2009). Setiap deteksi kebakaran hotspot merupakan pusat dari pixel dengan resolusi ± 1 km², dan dalam satu piksel tersebut terdapat satu atau lebih hotspot / kebakaran. Lokasi sebenarnya titik api tersebut di dalam 1 piksel itu tidak diketahui secara pasti. Seringkali hotspot/titik api yang terdeteksi memiliki luas kurang dari 1 km², sehingga secara pasti luas area terbakar tidak dapat diketahui. Hanya dapat disimpulkan bahwa dalam 1 piksel itu terdapat satu atau beberapa hotspot (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).
18
Hotspot diproses oleh MODIS Rapid Response Sistem menggunakan algoritma berstandar MODIS MOD14/MYD14 Fire dan produk Thermal Anomalies. Deteksi kebakaran dilakukan dengan memanfaatkan emisi yang kuat dari radiasi inframerah tengah yang dipantulkan/dipancarkan oleh kebakaran. Algoritma memeriksa setiap pixel dari petak MODIS, dan parameter data meliputi data yang hilang, awan, air, non-api, api, atau tidak diketahui (http:/firefly.geog.umd.edu/firms/).
3.1.2
Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008). Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Kebakaran yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan menjadi : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri 2007). Di Nevada, kebakaran yang disebabkan oleh alam sering terjadi pada daerah dengan kerapatan petir yang tinggi. Pengaruh faktor alam terlihat pada daerah-daerah yang sulit diakses oleh manusia yang dapat memicu terjadinya penyalaan api. Kebakaran secara alami ini terjadi ketika didukung oleh kesesuaian bahan bakar dan topografi (Dilts et al. 2009). Untuk Indonesia kebakaran disebabkan faktor alam ini jarang terjadi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup faktor sosial ekonomi (dalam segitiga api terkait sumber penyalaan) dan biofisik (terkait bahan bakar). 3.1.2.1 Faktor Sosial Ekonomi Pengolahan Lahan Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina 2008). Sebagian masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan. Pembakaran lahan dapat meningkatkan kesuburan tanah secara mudah dan murah, dimana masyarakat untuk mengolah lahannya tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli pupuk. Pembakaran lahan secara nyata telah menurunkan sifat biologi tanah seperti jumlah mikroorganisme yang hidup di tanah (Wasis 2003). Prasad et al. (2008) juga menemukan keterkaitan yang erat antara aktivitas masyarakat dengan kejadian kebakaran hutan di India. Permintaan terhadap kayu bakar di pedesaan terkait erat dengan pembersihan dan pembakaran lahan pertanian, dimana vegetasi (pohon) ditebang dan dibakar dengan tujuan membuka lahan. Ketergantungan masyarakat pada hutan sebagai penyedia kayu bakar dan sumber utama energi menyebabkan deforestasi yang serius di beberapa bagian hutan. Populasi yang terus meningkat menyebabkan konsumsi bahan bakar kayu meningkat dengan cepat. Hal ini seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan.
19
Demografi (Penduduk) Kepadatan penduduk pedesaan, angka buta huruf serta ketergantungan penduduk pedesaan pada sumber daya hutan merupakan faktor yang berpeluang menimbulkan kebakaran hutan (Prasad et al. 2008). Pengaruh tingkat kepadatan penduduk ini juga terlihat pada pola sebaran kebakaran yang frekuensinya semakin meningkat di daerah-daerah berpenduduk padat dan sedkit di daerahdaerah yang penduduknya jarang (Calcerrada et al. 2010). Di banyak daerah kebakaran dipengaruhi oleh jumlah penduduk dimana pada daerah-daerah yang penduduknya rendah ada kecenderungan jumlah kebakaran yang terjadi juga rendah. Ini terkait dengan faktor manusia sebagai penyebab terjadinya penyalaan api. Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, intensitas aktivitas manusia untuk mengakstraksi sumberdaya alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi juga meningkat meningkat (Zhai et al. 2003; Yamashita 2008; Syphard et al. 2009). Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masyarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar 2000) Samsuri (2008) mengidentifikasi ada empat faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km². Aksesibilitas Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik yang dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman 2010). Pengaruh faktor manusia ini juga terlihat dari pola sebaran titik api yang berkorelasi kuat dengan ketersediaan aksesibilitas di wilayah tersebut. Daerahdaerah yang berdekatan dengan jalan lebih rawan terjadi kebakaran daripada daerah yang jauh (Zhai et al. 2003; Calcerrada et al. 2010). Pemahaman Masyarakat Lee et al. (2009) mengatakan bahwa ada kaitan kuat antara tingkat pemahaman masyarakat sekitar dengan terjadinya gangguan di beberapa kawasan lindung Sulawesi. Beberapa variabel prediktor yang digunakan adalah informasi rumah tangga, pendapat terhadap kawasan lindung, pemahaman terhadap konservasi, interaksi dengan kawasan lindung dan variabel sosial demografi. Parameter-parameter yang diukur adalah tingkat dukungan terhadap pembangunan kawasan lindung, metoda pemanfaatan yang mendukung keberlanjutan sumber daya, partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan kawasan lindung, konflik dalam pemanfaatan ruang, jumlah penduduk, proporsi suku asli, jarak dari pemukiman, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jenis mata pencaharian penduduk.
20
Status Kawasan Status kawasan yang berbeda menunjukkan frekuensi kebakaran yang berbeda. Berdasarkan status kawasannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan alam dari pada di Hutan Tanaman Industri maupun Hutan Hak di luar keperluan industri. Hutan hak non industri lebih rendah kerawanannya daripada kedua status kawasan lainnya. Terkait jenis tanamannya, kebakaran lebih sering terjadi di hutan pinus dan campuran pinus-daun lebar daripada hutan daun lebar. Ini terkait dengan kemudahan terbakar pada media bahan bakar api (Zhai et al. 2003). Daerah Terbangun Tingkat perkembangan wilayah juga mempengaruhi frekuensi kebakaran. Kebakaran umumnya meningkat dengan makin dekatnya jarak terhadap pusatpusat pemukiman. Daerah yang lebih dekat lebih tinggi kepadatan hotspot-nya dibandingkan daerah yang jauh dan sulit diakses penduduk. Kepadatan hotspot ini menurun untuk daerah-daerah yang sangat dekat dengan pemukiman (Yamashita 2008). 3.1.2.2 Faktor Biofisik Faktor lingkungan biofisik, mencakup variabel-variabel lingkungan yang mempengaruhi kemudahan untuk terbakar dan kejadian kebakaran, meliputi : Topografi Salah satu unsur yang mempengaruhi perilaku api adalah Topografi. Faktor topografi terdiri atas data ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), aspect dan tingkat keterisolasian (Chuvieco et al. 1997). Slope mempengaruhi kecepatan penjalaran api dan aspek berhubungan dengat kondisi kelembaban udara. Variabel elevasi mempengaruhi tingkat kelembaban bahan bakar dan udara (Setiawan et al. 2004). Syaufina (2008) menyatakan bahwa semakin curam lereng maka akan semakin cepat api menjalar disebabkan nyala api lebih dekat dengan bahan bakar. Aliran angin biasanya menuju puncak. Udara yang terpanaskan akan menambah kecepatan angin dan menimbulkan lompatan bara api yang jatuh ke bawah dan menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin. Dalam penelitian yang dilakukan Dilts et al. (2009) mengenai pemodelan kebakaran untuk pemetaan kejadian kebakaran, terdapat hasil yang berbeda. Kerawanan kebakaran daerah bertopografi tinggi justru lebih rendah dibandingakan topografi rendah. Hal ini disebabkan sulitnya aksesibilitas manusia yang dapat menyebabkan kebakaran.
21
Miller dan Urban (1999); Platt et al. (2006) menjelaskan bahwa variabel ketinggian dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat suhu dan kelembaban udara yang berpengaruh terhadap tingkat kebasahan dari bahan bakar. Pada daerah-daerah yang tinggi, suhu udara lebih rendah dan kelembabannya lebih tinggi sehingga lebih sulit untuk terbakar. Demikian juga sebaliknya, pada daerahdaerah yang berada pada ketinggian yang rendah diukur dari permukaan laut maka kondisi suhunya akan lebih tinggi dan kelembabannya rendah. Kondisi tersebut dapat berdampak pada mudahnya bahan bakar yang ada di wilayah tersebut untuk terbakar. Setiawan et al. (2004) menyatakan bahwa lebih dari 90 % kebakaran terjadi pada elevasi 100 m dpl. Kerusakan yang terjadi akibat kebakaran pada area rendah lebih besar dibandingkan area yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh besarnya curah hujan pada daerah tinggi tersebut. Bahan Bakar Pemahaman terhadap karakteristik bahan bakar merupakan komponen sangat penting dalam management kebakaran hutan dan lahan. Data karakteristik bahan bakar dapat digunakan untuk menghitung bahaya, resiko, perilaku dan dampak dari kebakaran hutan dan lahan. Karakteristik bahan bakar tersebut cukup sulit dijelaskan karena sangat komplek dan bervariasi (Manzanera et al. 2008). Bahan bakar menentukan ketersediaan energi maksimum, susunannya menentukan aerasi dan penjalaran api, distribusi dan ukurannya mempengaruhi kemudahan menyala, serta ada tidaknya kandungan kimia mempengaruhi kecepatan nyala api (Syaufina 2008). Bahan bakar dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Semakin besar ukuran pohonpohonnya maka volume bahan bakar juga akan semakin besar. Volume bahan bakar dan kelembabannya secara bersama-sama mempengaruhi proses penyalaan api (Miller dan Urban 1999; Syaufina 2008). Prasad et al. (2008) mengidentifikasi variabel yang berpengaruh kuat pada kejadian kebakaran adalah luas kawasan berhutan, kepadatan biomassa, kepadatan penduduk pedesaan, curah hujan rata-rata kuartal terpanas, elevasi dan suhu tahunan rata-rata. Di antara variabel-variabel ini, kepadatan biomassa dan curah hujan rata-rata kuartal terpanas memiliki signifikansi tertinggi, diikuti oleh variabel lainnya. Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput, Alang- alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti 2006). Knapp (1996) dalam Dilts et al. (2009) menyatakan bahwa daerah-daerah yang ditumbuhi oleh rerumputan lebih rawan terhadap kebakaran. Daerah-daerah
22
tersebut terkadang dijumpai pada daerah bertopografi datar dan berbatu, sehingga rumput lebih mampu tumbuh dibandingkan jenis lainnya. Iklim Komponen iklim/cuaca yang berpengaruh terhadap kebakaran mencakup suhu, kelembaban, angin dan curah hujan (Chuvieco et al. 1997). Iklim/Cuaca menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kemarau mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina 2008). Ketersediaan air mempengaruhi kelembaban dan produktivitas bahan bakar. Simuasi model kebakaran permukaan, iklim dan hutan di California menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dengan ketinggian di atas 1 500 meter, ketersediaan bahan bakar yang diperlukan dalam proses penyalaan sangat sedikit. Faktor pembatas juga mencakup variabel kelembaban dimana pada ketinggian di atas 1 500 tersebut bahan bakar menjadi terlalu lembab untuk bisa terbakar. Sehingga daerah-daerah dengan ketinggian di atas 1 500 m tidak rawan terbakar (Miller dan Urban 1999). Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul 10.00 sampai 18.00, setelah jam 10.00 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan bakar menurun (Sumantri 2007).
3.2
Sistem Informasi Geografis (SIG) Kebakaran Hutan dan Lahan
Morisette et al. (2005) dalam Prasad et al. (2008) menyebutkan bahwa penginderaan jauh yang menggunakan multi waktu, multispektral, cakupan dan pola kejadian berulang dapat memberikan informasi tentang jumlah kebakaran, luas area dan jenis ekosistem yang terbakar.Untuk menghitung daerah yang terbakar dengan penginderaan jauh umumnya menggunakan 2 cara : a. Deteksi kebakaran aktif b. Deteksi pasca kebakaran GIS sangat bermanfaat dalam pengolahan data digital citra satelit untuk membuat peta sebaran bahan bakar, pemodelan spasial resiko kebakaran serta pemodelan spasial peluang kejadian kebakaran. Informasi yang dihasilkan dari GIS tersebut dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola kawasan untuk melakukan pencegahan, perencanaan dan penanganan kebakaran (Bonazountas et al. 2007). Pemakaian GIS dan regresi logistik multivariat memberikan hasil yang cukup baik untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor yang digunakan sebagai prediktor dalam proses tersebut mencakup demografi, sosial ekonomi, fisik, geografi dan bahan bakar kayu. GIS digunakan untuk mengkombinasikan data spasial hasil inventarisasi hutan dan data hasil sensus, serta bermanfaat untuk menghitung jarak setiap plot dalam kegiatan inventarisasi hutan terhadap lokasi aksesibilitas penduduk (Zhai et al. 2003).
23
Setiawan et al. (2004) juga menggunakan GIS berbasis grid dengan didukung Multi Criteria Analysis (MCA) untuk memetakan daerah-daerah yang bahaya/rawan kebakaran pada hutan rawa gambut. Variabel-variabel yang diuji meliputi landuse, jaringan jalan, slope, aspect, tanah, vegetasi dan ketinggian. Sebagai pembobot model digunakan skor dari proses Analitical Hierarcy Process (AHP). GIS juga dapat dimanfaatkan untuk menguji hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas tingkat kepadatan kejadian kebakaran melalui pemodelan spasial Regresi Linier Terboboti. Kepadatan hotspot dihitung dengan fungsi Kernel Density Estimate (KDE) dengan nilai bandwidth 2 640 feet. Bandwith yang optimal untuk fungsi kebakaran ini adalah 3 087 feet (Yamashita 2008). Geographical Information System (GIS) juga bermanfaat untuk memetakan daerah-daerah yang terkena dampak kebakaran serta membuat model zonasi bahaya kebakaran. Data multi waktu citra satelit dapat digunakan untuk memetakan area penyebaran api serta arahnya (Kunwar dan Kachhwaha 2003).
3.3
Pemodelan Spasial
Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : a. penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama b. pendefinisian masalah agar lebih jelas dan logis c. penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata d. simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Menurut Brimicombe (2010), model spasial yang memanfaatkan GIS biasanya terdiri atas tiga hal : a. garis regresi yang memprediksi nilai output berdasarkan variabel input b. sejumlah tabel yang menggambarkan hubungan dan proses yang komplek, merupakan hasil manipulasi dari beberapa layer peta c. Sejumlah formula matematika yang menggambarkan hubungan sebab akibat yang dikompilasi melalui program komputer. Dalam kaitannya dengan studi kebencanaan, dikenal tiga istilah yang menjadi obyek kajian model prediksi, yaitu tingkat bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan resiko (risk). Hazard diartikan sebagai potensi kerusakan yang mungkin terjadi pada waktu dan lokasi tertentu. Dari pengertian ini maka pemodelan hazard mencakup dua komponen utama yaitu pemodelan berdasarkan lokasi dan waktu kejadian. Sementara vulnerability diartikan sebagai tingkat kerentanan rusak atau tingkat kehilangan suatu obyek yang disebabkan oleh terjadinya hazard. Tingkat kerentanan berdasarkan kerusakan yang terjadi digambarkan pada skala 0 sampai dengan 1 (skala 0 berarti tidak rentan, skala 1 berarti sangat rentan). Resiko (risk) merupakan ukuran dampak yang
24
menggambarkan hasil akhir dari kombinasi peluang hazard dan vulnerability (Brimicombe 2010). Barnett (2005) menyebutkan bahwa kesesuaian model untuk menjelaskan perilaku api sangat dipengaruhi oleh tingkat variasi data pada unit-unit wilayah yang seragam. Adanya variasi yang tinggi pada perilaku api dapat menyebabkan model menjadi tidak akurat. Pemodelan spasial dapat membantu para petugas yang menangani kebakaran dengan cara membuat mereka lebih fokus pada faktorfaktor yang berpengaruh penting terhadap kejadian kebakaran di suatu wilayah.
3.4
Analisis SWOT dan QSPM
Penggunaan SWOT dalam perencanaan strategis saat ini telah banyak dilakukan oleh berbagai organisasi/lembaga. Rangkuti (1997) mendefinisikan analisis SWOT dengan suatu alat identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Dalam aplikasinya, analisis ini tidak hanya terbatas pada lingkungan bisnis untuk meningkatkan daya saing perusahaan, namun juga dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan. Analisis ini dapat digambarkan kedalam diagram dengan 4 kuadran sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Matrik analisis SWOT
Rangkuti (1997) mendeskripsikan keempat kuadran tersebut sebagai berikut : 1. Kuadran 1, merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. 2. Kuadran 2, merupakan situasi dimana perusahaan menghadapi berbagai ancaman namun masih memiliki kekuatan internal. Strategi yang harus
25
diterapkan pada kuadran ini adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi. 3. Kuadran 3, dimana organisasi memiliki peluang yang besar namun masih terkendala oleh kelemahan internal. Strategi yang tepat untuk kondisi ini adalah meminimalkan mkelemahan-kelemahan internal agar dapat merebut peluang yang lebih baik. 4. Kuadran 4, dimana pada kuadran ini organisasi dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan. Organisasi dihadapkan pada berbagai ancaman dan kelemahan internal. Upaya yang cocok pada kuadran ini adalah mendukung strategi defensif. Hasil analisis SWOT dapat menjadi input dalam analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM merupakan alat untuk mengevaluasi alternatif strategi berdasarkan hasil penilaian terhadap faktor internal dan eksternal sebagai elemen kunci dalam pencapaian tujuan. Alat ini memerlukan pengetahuan yang baik tentang pemasalahan yang ada karena melibatkan intuisi dari para pengambil keputusan (David 2003).