3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya (stok) udang dengan tingkat pemanfaatan pada tiap lokasi penangkapan udang adalah sangat penting untuk menjamin sistem usaha perikanan tangkap yang efisien secara berkelanjutan. Tingkat upaya penangkapan udang di Delta Mahakam dan sekitarnya, jika melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield), maka terjadi fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit effort), yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan. Sebaliknya jika upaya penangkapan udang dibawah potensi lestari (MSY) atau tingkat MEY (maximum economic yield), maka terjadi kondisi yang kurang optimal. Kondisi suboptimal dapat dikatakan mubazir, karena sumberdaya udang di laut pada waktunya jika tidak ditangkap akan mati secara alamiah (natural mortality) atau dicuri oleh nelayan asing. Untuk menjaga keseimbangan antara stok udang dan upaya penangkapan adalah kegiatan-kegiatan untuk mengendalikan intensitas dan teknik penangkapan ikan sesuai potensi lestari. Fenomena tangkap lebih (overfishing), disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya udang oleh nelayan, pengusaha perikanan dan pejabat pemerintah, yaitu beranggapan bahwa udang adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources), maka sumberdaya udang dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite) dan anggapan sumberdaya udang di laut sebagai sumberdaya milik umum (common property resources), sehingga berlaku rejim open acces dalam pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja, dapat mengeksploitasi sumberdaya udang sebanyak-banyaknya. Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka rejim (pola) pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim open acces menjadi rejim perikanan tangkap yang bertanggung jawab (responsible fisheries) seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code Conduct of Responsible Fisheries, FAO 1995b). Satu diantara unsur dari Kode Etik ini adalah praktek perikanan tangkap secara terkendali (Dahuri 2002).
18
3.2 Tingkat Eksploitasi Sumberdaya wilayah pesisir dan laut, merupakan sumberdaya yang bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang/stakeholder berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh economic rent. Pola pemanfaatan yang demikian cenderung mengarah kepada deplesi sumberdaya, sehingga jika tidak ada upaya untuk menjaga kelestariannya seperti konservasi dikhawatirkan terjadi
scarcity sumberdaya yang
mengarah kepada kepunahan. Selain itu dampak utama dari sifat yang “open access dan common property” terhadap pemanfaatan dan pengelolaannya adalah : 1
Kesulitan dalam
pengontrolan dan estimasi jumlah stok
dari ikan pada setiap
musim/periode karena dipengaruhi oleh faktor biologi dan ekologi dari sumberdaya perikanan sebagai faktor alami (makanan, mangsa dan habitatnya), serta berbagai upaya eksploitasi yang dilakukan manusia (bertujuan memaksimumkan resource rent untuk meningkatkan kesejahteraan) sebagai faktor non alami. 2
Usaha penangkapan ikan di wilayah perairan mengandung risiko dan ketidakpastian (uncertainty) yang relatif besar.
Dalam hal ini sumberdaya perikanan bersifat
mobile/fugitive, sehingga risikonya adalah kehilangan sejumlah penangkapan dan risiko-risiko penyerta lainnya. 3
Timbulnya pemanfaatan sumberdaya yang economic overfishing dan biology overfishing. Economic overfishing terjadi jika input (effort) yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan (fishing), melebihi kapasitas produksi, dengan kata lain untuk menangkap ikan dengan jumlah kecil dalam suatu usaha dibutuhkan input yang besar (effort). Implikasinya adalah hasil tangkapan (catch) yang diperoleh, dan dinilai dengan uang (total revenue) < biaya input yang dikeluarkan (TC). Sedangkan biology overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya, sehingga kemampuan ikan bertahan pada keseimbangan produksinya terancam, yang akan mengarah pada kelangkaan (scarcity) sumberdaya perikanan, serta kepunahan beberapa spesies tertentu. Usaha penangkapan oleh nelayan di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya,
merupakan usaha yang bersifat komersial (profit oriented) yang lebih menekankan pada besarnya benefit/keuntungan yang akan diperoleh dari operasionalisasi usaha tersebut. Telaah aspek finansial untuk melihat tingkat keuntungan sangat memegang peranan
19
penting, apakah usaha yang dijalankan nelayan dengan mengandalkan komoditas utama, yaitu udang dan berbagai jenis ikan lainnya layak diteruskan baik dimasa kini maupun mendatang. Menurut Dwiponggo (1982) dalam Parerung (1996), tingkat pemanfaatan atau pengusahaan sumberdaya perikanan dibagi menjadi empat macam, yaitu : 1
Pengusahaan yang rendah, dimana hasil tangkapan hanya merupakan sebagian kecil dari potensinya
2
Pengusahaan yang moderat (sedang), dimana hasil tangkapan merupakan sebagian yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya penangkapan masih memungkinkan
3
Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai sebesar potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil tangkapan
4
Pengusahaan yang berlebih (overfishing), dimana terjadi pengurangan dari stok udang/ikan, karena penangkapan yang tinggi, sehingga hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang. Ditegaskan pula oleh Purwanto (1986) dalam Parerung (1996), bahwa untuk
mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus-menerus secara maksimal, dalam waktu yang tak terbatas, maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan), perlu dibatasi sampai pada suatu tingkat tertentu. Induk-induk udang dalam jumlah tertentu harus disisakan dan diberi kesempatan untuk berkembang biak, sehingga mampu menghasilkan anakan dalam jumlah cukup untuk kelestarian. Tingkat eksploitasi atau pemanfaatan yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap, sebanding dengan tambahan jumlah/kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami. Dari uraian tersebut di atas dalam penelitian ini dilakukan analisa distribusi spasial temporal, luas sapuan trawl (swept area) dan hasil tangkapan per satuan luas (CPUA) yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan guna pengelolaan upaya penangkapan udang.
Sistem Informasi Geografis (SIG) atau analisa spasial merupakan suatu
pengelolaan basis data (data base)) spasial yang dikomputerisasi dan merupakan alat analisis sistem (Bartlett 1999 dalam Prihatini 2003). Suatu SIG dapat digunakan untuk menyimpan, mengorganisasikan, memanipulasi dan menganalisa data spasial serta segala atributnya dalam suatu sistem perangkat keras dan lunak komputer.
SIG dapat
mengakomodasi berbagai jenis format dan sistem data secara mudah untuk proses
20
pengambilan keputusan (Burrough 1986; Tomlinson 1987 dalam Prihatini 2003). Dengan demikian SIG dapat menjadi jawaban bagi penyediaan dukungan pengambilan keputusan. Dasar acuan lainnya yaitu luas sapuan dan hasil tangkapan per satuan luas (catch per unit area/CPUA), dimana rata-rata hasil tangkapan (dalam bobot atau jumlah) per satuan upaya atau luas adalah indeks kepadatan stok udang (yakni dianggap proporsional dengan kepadatan). Indeks ini dapat dikonversi ke dalam ukuran absolut biomassa dengan menggunakan metode swept area (luas sapuan).
Analisa CPUA berdasarkan strata
kedalaman dilakukan atas dasar distribusi kepadatan stok udang, sehingga dapat memisahkan perairan dengan kepadatan tinggi, sedang atau rendah. Informasi tentang kepadatan stok udang dari hasil dugaan dapat dijadikan dasar untuk penentuan tingkat eksploitasi dalam rangka pengelolaan upaya penangkapan udang yang optimum (Sparre & Venema 1999). 3.3 Optimasi Upaya Penangkapan Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (access profit) bagi usaha penangkapan ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besarbesaran, dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek
sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dam budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Menurut Monintja (2000) dalam Nurani (2002), kriteria yang digunakan untuk teknologi penangkapan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan adalah hemat biaya dan energi, meningkatkan produksi dan produktivitas, memperhatikan mutu produk, produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar, meningkatkan
21
wirausaha dan investor, meningkatkan devisa dan pengembangan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan nelayan. 3.4 Perikanan Yang Berkelanjutan (Sustainable Fisheries) Usaha perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) merupakan suatu proses perubahan, dimana eksploitasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Kantor MenKLH/Bapedal 1997 dalam Simbolon 2003). Konsep usaha perikanan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, pertama kali digunakan oleh Komisi Usaha perikanan dan Lingkungan Dunia (World Commission on Environment and Development) atau The Brundtland Commission pada tahun 1987. Palunsu dalam Hastuti (2001), mengemukakan bahwa usaha perikanan yang berkelanjutan mengandung tiga pengertian yaitu : 1
Memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang
2
Tidak melampaui daya dukung ekosistem
3
Mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan usaha perikanan dengan sumberdaya alam. Dari
aspek
ekonomi,
usaha
perikanan
berkelanjutan
bertujuan
untuk
memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya dan teknologi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya perencanaan usaha perikanan secara komprehensif dengan tetap berpijak pada tujuan-tujuan jangka panjang.
Selain itu perlu adanya
pengurangan eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin timbul dari eksploitasi sumberdaya dengan memberikan harga kepada sumberdaya (pricing) dan biaya tambahan (charge). Dengan demikian sasaran ekonomi dalam usaha perikanan berkelanjutan adalah peningkatan ketersediaan dan kecukupan kebutuhan ekonomi (growth), kelestarian aset dalam arti efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan, berkeadilan bagi masyarakat pada masa kini dan yang akan datang (Munasinghe, 1994).
22
Aspek ekologis didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi diwaktu yang akan datang dan dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Pandangan ekologis didasarkan pada 3 prinsip utama : 1
Aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia adalah tidak terbatas dan berhadapan dengan ekosistem
yang terbatas.
Kerusakan lingkungan dan polusi yang
ditimbulkannya akan mempengaruhi life support system. 2
Aktivitas ekonomi yang lebih maju seiring dengan pertumbuhan populasi akan meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya alam dan tingginya produksi limbah (waste) yang dapat merusak lingkungan karena melebihi daya dukung ekosistem.
3
Usaha perikanan yang dilaksanakan dalam jangka panjang akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang irreversible (Rees, 1994). Pengembangan
usaha
perikanan
bertujuan
untuk
mencapai
pertumbuhan
pendapatan perkapita yang cepat, penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, memperkecil disparitas kemakmuran antar daerah/regional, serta mendorong transformasi perekonomian yang seimbang, antara sektor perikanan dan industri melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya (sustainable) (Todaro, 2000). Namun hal yang terpenting, yang perlu mendapat perhatian bukan pada perbedaan interpretasi usaha perikanan yang berkelanjutan tersebut, namun lebih terfokus ke hal-hal yang merupakan implikasi dari pelaksanaan usaha perikanan.
Seragaldin (1994),
mengemukakan bahwa pelaksanaan usaha perikanan tidak akan membawa hasil, apabila dalam proses usaha perikanan tersebut tidak mengintegrasikan tiga poin utama, yaitu ekonomi, ekologi dan sosiologi. Karena tujuan pengembangan usaha perikanan berkelanjutan adalah memperbaiki kualitas hidup manusia atas berbagai aspek kehidupan. Dari aspek sosiologi, bahwa usaha perikanan berkelanjutan lebih ditekankan pada pemberdayaan organisasi sosial masyarakat, yang ditujukan untuk pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah kepada keberlanjutan. Pendekatan partisipatif masyarakat dalam usaha perikanan, dilakukan dengan menciptakan kesadaran masyarakat pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penghargaan terhadap bentuk kelembagaan, dan organisasi sosial masyarakat sebagai satu sistem kontrol, terhadap jalannya usaha perikanan, pengembangan nilai-nilai masyarakat tradisional, yang mengandung keutamaan dan kearifan, serta meningkatkan kemandirian masyarakat dalam berorganisasi (Seragaldin, 1994).
23
Kriteria yang dijadikan dalam kaitannya dengan keberlanjutan usaha perikanan menurut Monintja (2002) adalah : 1
Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan
2
Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB / Total Allowed Catch)
3
Kegiatan usaha menguntungkan
4
Investasi rendah
5
Penggunaan bahan bakar minyak rendah
6
Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kesteven (1973) dalam Simbolon (2003), pengembangan usaha perikanan
haruslah ditinjau secara bio-technico-socioeconomic approach.
Hal ini berarti
pengembangan suatu alat tangkap dalam usaha perikanan harus mempertimbangkan hal-hal berikut, yaitu : 1
Ditinjau dari aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya ikan/udang
2
Ditinjau dari aspek teknis, alat tangkap tersebut harus efektif untuk dioperasikan
3
Ditinjau dari aspek sosial, alat tangkap tersebut harus dapat diterima oleh seluruh masyarakat nelayan
4
Ditinjau dari aspek ekonomi, alat tangkap tersebut dalam usaha perikanan dinilai menguntungkan Pada usaha perikanan yang berkelanjutan, sumberdaya perikanan pada suatu
wilayah perairan pada periode waktu tertentu cenderung mengalami perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh faktor alami, juga oleh faktor non alami. Faktor alami meliputi perubahan fisik lingkungan suatu perairan, keterbatasan makanan dan sumber hara lainnya serta predator, sedangkan faktor non alami ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan yang tidak terkendali. Optimasi upaya penangkapan udang perlu dilakukan untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan. Pengendalian dan penetapan upaya penangkapan (fishing effort) yang optimum dan distribusi upaya, seyogianya berdasarkan pada tingkat pemanfaatan dan potensi lestari serta spesifikasi unit penangkapan ikan, untuk menentukan hal-hal tersebut distribusi spasial dan temporal dari upaya penangkapan, perlu diketahui juga tingkat eksploitasi dan potensi sumberdaya udang. Lebih jelasnya diterakan pada Gambar 2.
24
Sustainable Fisheries
Optimasi berdasarkan fishing effort
Distribusi Spasial & Temporal Fishing Effort
Fishing effort
Spesifikasi unit penangkapan
Potensi sumberdaya ikan
Tingkat eksploitasi
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan upaya penangkapan udang di Delta Mahakam dan sekitarnya