19
3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley. Tikus yang digunakan sebanyak 15 ekor betina bunting. Tikus tersebut dikandangkan secara individu dalam bak plastik berukuran 40x30x15 cm3 dengan menggunakan kawat untuk menutupi bagian atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukan ad libitum dan pemberian pakan sesuai perlakuan.
3.3. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan, cotton swab, kandang tikus, tempat pakan, tempat minum, gelas erlenmeyer, peralatan destilasi (mesin pencampur otomatis, kertas saring, kain flanel, rotary-evaporator), gelas separasi, spoit, gelas objek, mikroskop, pipet pengencer, kamar hitung burker (hemositometer), kertas saring, tabung kapiler, alat penyumbat tabung kapiler, alat sentrifuse kecepatan tinggi 10.000-20.000 rpm, alat pembaca mikrohematokrit (mikrohematokrit reader), hemoglobinometer Sahli (hemometer), pipet tetes (mohr), dan stopwatch. Bahan yang digunakan adalah daun katuk, pelarut etanol (EtOH), pelarut hexan, pelarut etil asetat (EtOAc), aquadest (H2O), tikus putih betina bunting, pakan tikus (terdiri atas tepung jagung, bungkil kedelai, garam, minyak kelapa, tepung ikan, premix dan CaCO3), NaCl fisiologis 0,9%, alkohol 70%, eter, antikoagulan EDTA, cairan pengencer (Hayem dan Turk), HCl 0,1 N, minyak emersi, dan larutan pewarnaan Giemsa.
20
3.4. Metode Penelitian Metode pembuatan ekstrak dan fraksi daun katuk dan formulasi pakan tikus pada penelitian ini sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan oleh Suprayogi et al. (2009), yaitu seperti diuraikan sebagai berikut:
3.4.1. Ekstraksi dan Fraksinasi Daun Katuk Daun katuk segar dicuci dengan air bersih, kemudian dijemur hingga layu. Pengeringan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan alat oven yang diatur suhunya sampai 600C selama 12 jam. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Simplisia daun katuk sebanyak 2 kg dilarutkan dengan pelarut etanol (EtOH) sebanyak 13 L. Campuran tersebut diaduk secara manual selama 30 menit dan kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah maserasi, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain flanel dan kertas saring. Filtrat dari penyaringan ini kemudian dievaporasikan dengan menggunakan rotaryevaporator pada temperatur 400C. Dari hasil ekstraksi ini diperoleh ekstrak etanol. Ekstraksi dilakukan kembali untuk memisahkan senyawa non-polar dengan menggunakan pelarut hexan. Ekstrak etanol sebanyak 20 g dilarutkan dalam 500 mL etanol yang kemudian dicampurkan dengan pelarut hexan sebanyak 500 mL pada gelas separasi. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan yaitu larutan hexan pada bagian atas dan larutan etanol pada bagian bawah. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan dengan pelarut hexan yang jernih. Kedua larutan tersebut kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Filtrat yang didapat merupakan larutan ekstrak hexan dan larutan etanol yang telah bebas senyawa non-polarnya. Kedua filtrat tersebut kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi hexan dan fraksi etanol dalam bentuk ekstrak kental. Fraksi etanol sebanyak 20 g dilarutkan dengan 500 mL air sedikit demi sedikit. Kemudian di dalam gelas separasi ditambahkan lagi dengan 500 mL pelarut etil asetat. Larutan tersebut kemudian dikocok hingga tercampur sempurna, kemudian didiamkan selama beberapa menit sampai terjadi pemisahan, yaitu larutan etil asetat pada bagian atas dan larutan air pada bagian bawah.
21
Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga didapat larutan dengan pelarut etil asetat yang jernih. Larutan kemudian dipisah dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Kedua filtrat kemudian dievaporasikan sehingga didapat fraksi etil asetat (F-EtOAc) dan fraksi air (F-H2O) dalam bentuk ekstrak kental. Pencampuran fraksi ekstrak daun katuk disajikan pada Gambar 4.
Daun Katuk Kering Giling - EtOH, 13 L - Evaporasi Ekstrak Etanol Daun Katuk
- Hexan, 500 mL
- EtOH,500 mL
- Evaporasi
- Evaporasi
Fraksi Hexan
Fraksi Etanol
- Etil asetat, 500 mL
- Aquadest, 500 mL
- Evaporasi
- Evaporasi Fraksi Etil asetat
Fraksi Air
Gambar 4 Prosedur fraksinasi ekstrak daun katuk.
3.4.2. Pembuatan Bubuk Ekstrak dan Fraksi Daun Katuk Ekstrak kental yang diperoleh dari ekstraksi dan fraksinasi dibuat menjadi bentuk bubuk menurut prosedur Suprayogi et al. (2009). Pembuatan bubuk ekstrak dan fraksi dilakukan dengan menambahkan tepung pada masing-masing ekstrak dan fraksi sehingga diperoleh persentase bahan bubuk E-Eto 25%, F-H 13%, F-H2O 25%, dan F-EtOAc 25%. Pembuatan bubuk ini diperlukan untuk mempermudah pembuatan pakan.
22
3.4.3. Pembuatan Pakan Pakan yang diberikan berbentuk pelet yang dibuat secara manual dengan bahan utama terdiri atas tepung jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, premiks, garam, CaCO3, minyak kelapa dan terigu. Hasil pencampuran bahan-bahan utama ini merupakan pakan kontrol. Untuk pakan perlakuan, bahan utama ini ditambahkan dengan bubuk ekstrak dan fraksi yang telah disiapkan sebelumnya yaitu fraksi hexan, air, etil asetat, dan ekstrak etanol. Penambahan dan pencampuran ekstrak dan fraksi pada daun katuk dilakukan untuk mendapatkan pakan yang mengandung E-Eto 4,53%, F-H 0,87%, F-H2O 3,22%, dan F-EtOAc 0,45%. Pembuatan prosedur baku ekstrak dan fraksi ini disesuaikan dengan proporsi fraksinasi dari fraksi-fraksi tersebut terhadap ekstrak kasarnya. Komposisi nutrisi pakan yang meliputi konsentrasi daun katuk, protein kasar, lemak kasar, dan energi yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi Nutrisi Pakan Kelompok
Konsentrasi Daun Katuk (%)
Kontrol 0 E-EtOH 4,53 F-H 0,87 F-H2O 3,22 F-EtOAc 0,45 Sumber: Suprayogi et al. 2009
Protein Kasar (%) 20,01 20,06 20,03 20,04 20,02
Lemak Kasar (%)
Energi (Kal/100 g)
6,55 6,54 6,55 6,54 6,55
3499 3497 3498 3498 3499
3.4.4. Pelaksanaan Penelitian Tikus yang digunakan sebanyak 15 ekor yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kelompok K, F-H, E-Eto, F-EtOAc, dan F-H2O. Tikus diberikan pakan perlakuan sejak kebuntingan hari pertama (tikus bunting selama ± 21 hari) hingga hari ke-10 laktasi. Berdasarkan penghitungan penelitian serupa yang dilakukan Suprayogi et al. (2009), diketahui rataan dosis ekstrak dan fraksi yang dikonsumsi oleh tikus pada setiap perlakuan adalah F-H sebanyak 57,5 mg/hari/ekor, E-Eto sebanyak 297,5 mg/hari/ekor, F-EtOAc sebanyak 40 mg/hari/ekor, dan F-H2O sebanyak 209 mg/hari/ekor. Pengamatan dilakukan
23
sampai hari ke-10 laktasi, mengingat peningkatan produksi air susu tikus mencapai puncak antara hari ke 7 sampai hari ke 14 (Knight & Peaker 1982).
3.4.5. Pengamatan Pengaruh Ekstrak Dan Fraksi Daun Katuk Terhadap Gambaran Darah Tikus Parameter yang diukur adalah gambaran darah yang meliputi jumlah eritrosit, jumlah leukosit beserta diferensial leukosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit. Pengukuran parameter dilakukan pada hari ke 10 masa laktasi untuk masing-masing kelompok perlakuan. Pengulangan pengukuran dilakukan sampai 3 kali (N=3 ekor tikus) untuk setiap kelompok. Pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara menganestesi tikus terlebih dahulu menggunakan eter dan pengambilan darah dilakukan intrakardial. Sesudah dianestesi mula-mula tikus diletakkan pada punggungnya, dada didisinfeksi, lalu dengan jarum sepanjang 2,5 cm, ukuran 25 (25 gauge) dengan spoit 2 ml, jarum ditusukkan sedikit di belakang cartilago xyphoidea dan sedikit ke bawah dan ke depan sehingga jarum tersebut menusuk jantung. Darah yang telah diambil dengan spoit segera dimasukkan kedalam tabung yang sudah berisi antikoagulan EDTA (ethylendiamine tetraacetic acid). Kemudian dilakukan pemeriksaan aspek hematologis. Pemeriksaan hematologis yaitu jumlah eritrosit, leukosit beserta diferensial leukosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dilakukan
sesuai
dengan
metode
yang
disampaikan
oleh
Smith
dan
Mangkoewidjojo (1988) seperti diuraikan sebagai berikut:
3.4.5.1. Perhitungan Eritrosit Cara perhitungan eritrosit didasarkan atas pengenceran 1:200 darah yang sudah dicampur dengan antikoagulan. Larutan pengencer yang digunakan untuk perhitungan eritrosit adalah cairan pengencer Hayem. Pengenceran dilakukan dengan pipet eritrosit dan kemudian eritrosit dihitung dalam kamar hitung (hemositometer). Sesudah darah dihisap ke dalam pipet pengencer darah sampai garis batas tera 0,5, sisa dari pipet diisi dengan larutan pengencer dan cairan itu dihisap sampai batas tera 101, kemudian dikocok hingga tercampur sempurna. Kira-kira
24
sepertiga campuran dibuang, sesudah itu satu tetes campuran diteteskan pada tiap sisi hemositometer. Perlu menunggu kurang lebih 3 menit agar sel menetap dan mengendap sempurna sebelum hemositometer diletakkan di bawah mikroskop untuk perhitungan sel. Pada tiap sisi hemositometer terdapat kotak persegi besar. Kotak tersebut dibagi menjadi 25 kotak lebih kecil masing-masing dibagi lagi menjadi 16 kotak lebih kecil lagi. Kotak besar luasnya 1 mm2, sehingga kotak terkecil luasnya 1/400 mm2. Dalamnya kamar hitung antara gelas penutup dan gelas hemositometer adalah 0,1 mm. Sel-sel darah merah dihitung dalam lima kotak yaitu empat kotak pojok dan satu kotak tengah. Hasil perhitungan akhir yaitu jumlah seluruh sel darah merah dari lima kotak tersebut dikalikan dengan 10.000 per ml3.
3.4.5.2. Perhitungan Leukosit Prinsip perhitungan leukosit sama dengan perhitungan eritrosit, namun pipet yang digunakan adalah pipet pengencer leukosit. Larutan pengencer yang digunakan untuk perhitungan sel darah putih adalah larutan Turk. Pengenceran darah menjadi 1:20 diperoleh dengan cara menghisap darah ke dalam pipet leukosit sampai batas 0,5, lalu diisi dengan larutan pengencer sampai tanda 11. Pipet kemudian dikocok untuk mencampur darah dengan larutan pengencer. Kurang lebih sepertiga bagian campuran dibuang, lalu satu tetes diteteskan pada kamar hitung dan dibiarkan selama 3 menit. Sediaan kemudian siap diperiksa di bawah mikroskop. Dalam menghitung leukosit yang dihitung 8 kotak persegi. Seperti cara sebelumnya, hasil perhitungan akhir yaitu jumlah seluruh sel darah putih dari delapan kotak persegi tersebut dikalikan 50 per ml3.
3.4.5.3. Perhitungan Diferensial Leukosit Perhitungan
diferensial leukosit menggunakan metode preparat ulas
darah dan diberi pewarnaan giemsa. Sel yang telah diwarnai diperiksa dengan mikroskop, banyaknya sel darah putih yang dihitung paling sedikit 100 butir.
25
Sediaan apus dapat dibuat dengan satu tetes darah tanpa antikoagulan diteteskan di satu ujung gelas objek bersih. Gelas objek bersih lain digunakan untuk menggeser darah. Gelas objek ini ditempatkan di muka tetes darah tersebut dengan sudut 45o, dan darah menyebar di sudut antara kedua gelas. Sebelum darah mencapai ujung gelas, gelas yang di atas didorong ke muka. Sebelum sediaan diwarnai, sediaan apus difiksasi dengan metil alkohol absolut selama 3 sampai 5 menit. Sediaan apus kemudian dicuci dan diwarnai dengan meletakkannya dalam larutan Giemsa selama 15 sampai 30 menit. Sediaan apus dicuci lagi dan dibiarkan kering di udara. Preparat diperiksa di bawah mikroskop dimulai dengan pembesaran rendah (objektif 10x) untuk mengorientasi dan memilih daerah ulasan yang baik untuk pengamatan.
Untuk
mengamati dan
mengidentifikasi sel-sel ini
dipergunakan pembesaran tinggi dengan bantuan minyak emersi.
3.4.5.4. Pengukuran Kadar Hemoglobin Pengukuran kadar hemoglobin dengan menggunakan hemoglobinometer Sahli (hemometer) yang terdiri dari sebuah pipet hemoglobin yang bertanda 20 mm3, tabung Sahli, dan warna standar sebagai pembanding. Tabung Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai garis terbawah (tanda 20 mm3). Darah dihisap dengan pipet hemoglobin sampai tanda 20 mm3 dan kemudian darah dimasukkan ke dalam
tabung
Sahli
dengan
meniup
secara
perlahan-lahan.
Untuk
menghomogenkan larutan, campurkan dengan cara menghisap dan meniupkan kembali secara perlahan-lahan. Terbentuknya asam hematin ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi coklat atau coklat hitam. Dengan menggunakan pipet penetes, aquades diteteskan sambil dikocok hati-hati. Penambahan aquades dilakukan sampai warnanya sama dengan warna pembanding. Kadar hemoglobin dibaca dengan melihat meniskus bawah cairan pada tabung Sahli. Satuan hemoglobin dinyatakan dengan gram%.
26
3.4.5.5. Pengukuran Nilai Hematokrit Pengukuran nilai hematokrit atau packed cell volume (PCV) yaitu dengan cara mikrohematokrit yang menggunakan tabung kapiler dan sentrifuge kecil khusus. Darah dihisap dengan tabung kapiler dengan cara menyentuhkan ujung tabung pada darah dan menggoyang-goyang atau mengetuk-ngetuk ujung lainnya dengan telunjuk. Posisi tabung hampir mendatar sedangkan ujung tabung dikosongkan kira-kira 1 cm. Setelah itu bagian ujung tabung disumbat dengan alat penyumbat khusus. Kemudian tabung kapiler yang sudah berisi darah diletakkan pada alat sentrifuse dengan bagian tak tersumbat mengarah ke pusat sentrifuse. Sentrifugasi selama 4 sampai dengan 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm atau selama 2 menit dengan kecepatan
16.000
rpm.
Pembacaan
hasil
dengan
menggunakan
alat
mikrohematokrit reader.
3.4.6. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam ANOVA untuk mengetahui interaksi antar kelompok perlakuan. Jika diantara perlakuan diperoleh hasil yang berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.