JAK/2013/PI/H/28
Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi
PELECEHAN SEKSUAL
Pegangan Fasilitator untuk Populasi Remaja dengan Perilaku Risiko Tinggi
BUKU SUPLEMEN BIMBINGAN TEKNIS KESEHATAN REPRODUKSI: PELECEHAN SEKSUAL November 2012
Publikasi ini didukung oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) bekerjasama dengan UNESCO Jakarta sebagai sebuah bagian dari proses multi sektor menuju pengembangan buku Panduan Nasional untuk Pendidikan Seksualitas Komprehensif yang merujuk kepada buku ITGSE (International
Technical Guidance on Sexuality Education) yang diproduksi oleh UNESCO, UNICEF, UNFPA, WHO, dan UNAIDS pada tahun 2009. Alamat dan Kontak UNESCO Jakarta Kantor Perwakilan UNESCO, Jakarta Kantor Gabungan untuk Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Timur Leste Biro Sains Regional untuk Asia dan Pasifik Jl. Galuh (II), No. 5, Kebayoran Baru Jakarta 12110, Indonesia Tel.: +62 (21) 739 9818 Fax: +62 (21) 7279 6489 Email:
[email protected] www.unesco.org/jakarta Editor 1. Allan Taufiq Rivai, dr 2. Desi Lokitasari, dr 3. Tim Adaptasi Buku BKKBN 4. Nia Reviani, dr, MAPS 5. Fitri Adinda Novianti, dr 6. Allan Taufiq Rivai, dr 7. Desi Lokitasari, dr 8. Alifah Nuranti, S.Psi, MPH 9. Dwi Ariyanti, dr
PELECEHAN SEKSUAL
3
10. Azora Ferolita, dr, Akp 11. Popy Irawati, dr, MPH 12. Lhuri Dwianti Rahmartani, dr 13. Samuel Josafat Olam, dr Ilustrasi Priagi Pertama Constadi, ST Tim HIV UNESCO Mee Young Choi, Spesialis Program Pendidikan, Kantor UNESCO, Jakarta Ahmed Afzal, Koordinator HIV dan Kesehatan Sekolah, Kantor UNESCO, Jakarta Ucapan Terimakasih Publikasi dari buku ini dapat terlaksana atas kontribusi teknis dari BKKBN melalui pendanaan Unified Budget, Results and Accountability Framework (UBRAF) dari UNAIDS dan anggaran program rutin UNESCO. Hak Cipta © UNESCO 2012 Hak Cipta Dilindungi Konsep Sampul/Rancangan: © BKKBN Ilustrasi/Tata Letak Sampul: © BKKBN ISBN xxxxxxxxxxx (Versi Elektronik) Disclaimer Judul yang digunakan dan penyajian materi di dalam publikasi ini tidak diartikan sebagai pendapat pribadi dari pihak BKKBN ataupun UNESCO terkait dengan status hukum dari negara, wilayah, kota atau area mana pun, atau terkait penetapan batas-batasnya.
4
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
UCAPAN TERIMA KASIH
B
uku Panduan Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksualitas yang Komprehensif ini dikembangkan atas kerjasama BKKBN dan UNESCO. Panduan ini merupakan hasil adaptasi dari International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE). Dalam hal ini BKKBN dan UNESCO mengucapkan terima kasih kepada Panitia Pengarah dalam hal ini Subagyo, Sekretaris Utama BKKBN; Julianto Witjaksono AS, Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi ; Soedibyo Alimoeso, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga ; Wendy Hartanto, Deputi Bidang Pengendalian Penduduk ; Perwakilan UNESCO. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Tim Penyusun Panduan ini yaitu Nia Reviani, Fitri Adinda Novianti, Allan Taufiq Rivai, Desi Lokitasari, Alifah Nuranti, Popy Irawati, Azora Ferolita, Dwi Ariyanti, Samuel Josafat Olam, Lhuri Dwianti Rahmartani. Terimakasih sebesar – besarnya juga kami tujukan kepada Tim Penelaah yang terdiri dari berbagai unsur dan lembaga yang berkepentingan. Rudi Amin, PKBI ; Liris Kinasih, PKBI ; Bangkit Purwandari, Kementerian Kesehatan Sub direktorat AIDS ; Dhito Pemi Aprianto, Kementerian Kesehatan Sub Direktorat Bina Ketahanan Anak Usia Sekolah – Remaja ; Kurnia Wijiastuti, Aliansi Remaja Independen ; Rahardhika A.U, Aliansi Remaja Independen ; Siti Handayani, Aliansi Remaja Independen ; Ryan Fajar Febrianto, Aliansi Remaja Independen ; Lieska Prasetya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ; Ida. M. Kosasih, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ; Susy Farida, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ; Tini Setiawan, WHO ; Margaretha Sitanggang, UNFPA ; Anissa Elok Budiyani, UNICEF ; Andri Yoga Utama, Rutgers WPF ; Kheri Marifah, BKKBN ; Robertha, BKKBN ; Afif MM, BKKBN ; Nurlaila Susilowati, BKKBN ; Kartono, BKKBN ; Yuliana Slamet, BKKBN. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan UNESCO dalam hal ini kepada Hubert J. Gijzen, Mee Young Choi, Ahmed Afzal, Ade Sandra. Akhirnya, kami juga mengucapkan terimakasih kepada Saudara Priagi Pertama Constadi atas desain tampilan buku ini..
PELECEHAN SEKSUAL
5
PENGANTAR
J
umlah kasus HIV/AIDS di Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Kementerian Kesehatan RI melaporkan kasus HIV/AIDS sampai dengan 31 Desember 2011 sebanyak 106.758 kasus. Sejak permulaan epidemi HIV di Indonesia, laporan dari Kementerian Kesehatan RI secara konsisten menunjukkan hampir separuh kasus AIDS dialami oleh kelompok usia 20-29 tahun. Informasi ini menunjukkan bahwa populasi usia muda merupakan kelompok paling berisiko dalam kaitannya dengan infeksi HIV. Banyaknya kasus AIDS pada kelompok usia 20-29 tahun juga menyiratkan kelompok usia 15-24 tahun sebagai masa-masa rentan di mana awal infeksi HIV terjadi. Upaya untuk mengatasi merebaknya infeksi HIV dilakukan secara konkret salah satunya oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang sedang dalam proses penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan AIDS untuk orang muda berisiko usia 15-24 tahun. Langkah ini merupakan langkah yang signifikan dalam upaya mengidentifikasi kebutuhan populasi remaja dengan perilaku yang berisiko tinggi. BKKBN sebagai lembaga Pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi dalam Kesehatan Reproduksi juga turut berperan nyata dalam upaya peningkatan kesadaran dan kepedulian untuk mengendalikan infeksi HIV, salah satunya melalui pembuatan bukubuku dengan tema Kesehatan Reproduksi hasil kerjasama dengan UNESCO. Buku ini merupakan suplementasi dari buku “Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas yang Komprehensif” hasil kerjasama BKKBN dan UNESCO. Buku suplemen ini dikembangkan sebagai usaha untuk meningkatkan pengetahuan populasi dengan perilaku risiko tinggi dalam hal kesehatan reproduksi, sehingga diharapkan terjadi pengaruh positif dalam perilaku keseharian remaja tersebut. Buku suplemen ini juga menjadi suatu bentuk dukungan terhadap inisiatif RAN Penanggulangan AIDS yang dikembangkan KPAN. Buku suplemen ini terdiri dari 5 judul buku yakni: • Keterampilan Komunikasi dan Penolakan • Pelecehan Seksual • Pubertas • Dorongan Seksual • Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS. Buku suplemen ini merupakan pegangan untuk fasilitator dan pembimbing. Sasaran dari kandungan buku ini adalah populasi remaja berusia 15-24 dengan perilaku risiko tinggi, antara lain anak jalanan, remaja di lembaga pemasyarakatan, pengguna jarum suntik, pekerja seks, dan remaja pria homoseksual. Buku ini tidak ditujukan untuk pendidikan formal sehingga tidak untuk dipergunakan oleh siswa di sekolah.
6
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
PELECEHAN SEKSUAL
7
PELECEHAN SEKSUAL Apakah Pelecehan Seksual itu?
P
erempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kebutuhan seksual. Apabila pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan atau kesukarelaan antarakedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), maka tidak akan timbul permasalahan. Akan tetapi, apabila tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kebutuhan seksual tidak dilakukan atas dasar kesukarelaan (misalkan ada unsur pemaksaan atau kekerasan), maka akan menimbulkan permasalahan dan keresahan. Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, merendahkan martabat seseorang, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan mengancam keselamatan. Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi: main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga perkosaan. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Meskipun pada umumnya korban pelecehan seksual adalah kaum perempuan bukan berarti bahwa kaum pria kebal (tidak pernah mengalami) terhadap pelecehan seksual. Pengertian lain pelecehan seksual adalah tindakan yang mengganggu,menjengkelkan, dan tidak diharapkan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harkat diri orang yang diganggunya. Seorang manusia, siapapun atau dari kalangan apapun, sejak lahir telah memiliki hak yang melekat dalam dirinya yang harus dipenuhi dan dihormati oleh siapapun, yang disebut hak asasi manusia. Salah satu hak asasi adalah hak untuk bebas dari penyiksaan dan perilaku buruk. Pelecehan dan kekerasan seksual termasuk dalam penyiksaan dan perilaku buruk. Oleh karena itu, kepada siapapun pelecehan seksual dilakukan, hal itu selalu merupakan tindakan yang salah.
8
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
Kapan dan Di Mana Saja Pelecehan Seksual Dapat Terjadi? Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di bus, pabrik, supermarket, taman, trotoar, baik siang maupun malam. Pelecehan seksual di tempat kerja seringkali disertai dengan janji imbalan pekerjaan atau kenaikan jabatan. Bahkan bisa disertai ancaman, baik secara terang-terangan ataupun tidak. Kalau janji atau ajakan tidak diterima bisa kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, atau dipindahkan. Pelecehan seksual bisa juga terjadi tanpa ada janji atau ancaman, namun dapat membuat tempat kerja menjadi tidak tenang, ada permusuhan, dan penuh tekanan.
Apa Saja Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual? Bentuk-bentuk pelecehan seksual sangat beragam, dari yang ringan seperti lelucon seks hingga yang berat seperti pemerkosaan. Beberapa perilaku yang termasuk pelecehan seksual antara lain: •
Lelucon seks, menggoda secara terus menerus dengan kata-kata tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks
•
Memegang ataupun menyentuh anggota tubuh, terutama organ reproduksi orang lain dengan tujuan seksual.
•
Secara berulang berdiri dengan dekat sekali atau hingga bersentuhan badan dan badan antar orang.
•
Membuat atau mengirimkan gambargambar, kartun, atau hal lainnya yang terkait dengan seks.
•
Menunjukkan gerak-gerik tubuh, tatapan mata, atau ekspresi lain yang memiliki maksud atau tujuan seksual.
•
Melakukan tindakan yang mengarah ke perilaku seksual dengan unsur pemaksaan, misalkan mencium atau mengajak berhubungan seksual
•
Melakukan kekerasan, termasuk memukuli atau menendangi, untuk memaksa agar orang lain menuruti keinginan seksual sang pelaku kekerasan
•
Melakukan hubungan seksual dengan kekerasan (pemerkosaan)
Ada 3 golongan bentuk pelecehan seksual yaitu: a.
Bentuk Visual : tatapan yang penuh nafsu, tatapan yang mengancam, gerak-
PELECEHAN SEKSUAL
9
gerik yang bersifat seksual. b.
Bentuk Verbal: siulan, gosip, gurauan seks, pernyataan yang bersifat mengancam.
c.
Bentuk Fisik: sentuhan, mencubit, menepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, mendekatkan diri tanpa diinginkan.
Meski berbagai kalangan berbeda pendapat dan pandangan mengenai pelecehan seksual, namun secara umum kriteria pelecehan seksual yang dapat diterima akal sehat, antara lain memiliki 10 tipe-tipe pelecehan seksual seperti ini :
10
1.
Main mata atau pandangan yang menyapu tubuh, biasanya dari atas kebawah bak “mata keranjang” penuh nafsu.
2.
Siulan nakal dari orang yang dikenal atau tidak dikenal.
3.
Bahasa tubuh yang dirasakan melecehkan, merendahkan dan menghina.
4.
Komentar yang berkonotasi seks atau kata-kata yang melecehkan harga diri
5.
Mengungkapkan gurauan-gurauan bernada porno (humor porno) atau leluconlelucon cabul.
6.
Bisikan bernada seksual.
7.
Menggoda dengan ungkapan-ungkapan bernada penuh hasrat.
8.
Komentar/perlakuan negatif yang berdasar pada perbedaan jenis kelamin.
9.
Perilaku meraba-raba tubuh korban dengan tujuan seksual, seperti : a)
Cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu.
b)
Meraba tubuh atau bagian tubuh sensitif.
c)
Menyentuh tangan ke paha.
d)
Menyentuh tangan dengan nafsu seksual pada perempuan
e)
Memegang lutut tanpa alasan yang jelas
f)
Menyenderkan tubuh ke perempuan
g)
Memegang tubuh, atau bagian tubuh lain dan dirasakan sangat tidak
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
nyaman bagi korban. h)
Menepuk-nepuk bokong perempuan
i)
Berusaha mencium atau mengajak berhubungan seksual.
j)
Mencuri cium dan kabur
k)
Gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual
l)
Ajakan berkencan dengan iming-iming
m) Ajakan melakukan hubungan seksual
PELECEHAN SEKSUAL
11
10. Pemaksaan berhubungan seksual dengan iming-iming atau ancaman kekerasan atau ancaman lainnya agar korban bersedia melakukan hubungan seksual, dan sebagainya. Perkosaan adalah pelecehan paling ekstrem.
Apa Saja Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual? Faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual pada perempuan dapat dilihat dari sudut pandang pelaku, sudut pandang korban, dan lingkungan, yaitu: a.
Pelecehan seksual dilihat dari sudut pandang pelaku Pelecehan seksual dilihat dari sudut pandang pelaku terjadi karena selama ini di dalam situasi di lingkungan antara laki-laki dan perempuan, misalnya perempuan menempati posisi pekerjaan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Penyebab pelecehan seksual yang biasanya dilakukan oleh seseorang pelaku karena memiliki kekuasaan atau kekuatan terhadap korbannya, dengan disertai imingiming pekerjaan atau kenaikan penghasilan. Penyebab terjadinya pelecehan seksual yang lain karena adanya kekuasaan serta penempatan posisi laki-laki lebih sering memungkinkan untuk memperkerjakan perempuan, seperti: memecat, mengawasi dan mempromosikan perempuan.
b.
Pelecehan seksual dilihat dari sudut pandang yang menjadi korban Tindak pelecehan seksual pada perempuan dapat terjadi dimana-mana, dan selalu melibatkan interaksi lebih dari satu orang. Penyebab pelecehan seksual yang sering terjadi karena adanya daya tarik seksual atau rangsangan yang dialami dua jenis kelamin yang berbeda. Ditambah lagi perempuan yang menjadi korban tidak berani menolak perlakuan karena takut kehilangan pekerjaan. Bidang pekerjaan bagi perempuan umumnya terbatas, tidak seluas laki-laki. Karena keterbatasan itu perempuan menjadi susah untuk menghindari tindak pelecehan yang diterimanya.
c.
Faktor Lingkungan 1) Eksternal korban Fenomena yang ada pada perilaku pelecehan seksual tersebut disebabkan oleh banyak masalah pelecehan seksual yang di mengerti hanya sebagai masalah perorangan serta kurang informasi pada masyarakat tentang masalah pelecehan seksual. Kebanyakan masyarakat cenderung lebih menyalahkan kaum perempuan sebagai korban sekaligus pemicu sehingga terjadi pelecehan seksual terhadapnya. Penyebab terjadinya pelecehan seksual pada perempuan, dapat pula dikarenakan adanya struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan cara pandang laki-
12
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
laki, sekaligus adanya anggapan perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang bernilai dibandingkan lakilaki. 2) Ruangan Situasi ruangan juga menjadi faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual, jika terdapat ruangan agak tertutup mempermudah terjadinya tindak pelecehan seksual. 3) Interaksi Interaksi juga merupakan penyebab terjadinya pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan di lingkungannya, melalui tiga model teoritis, yaitu : a) Biological Model (model biologis), Pelecehan seksual terjadi karena adanya daya tarik seksual yang alamiah antara dua jenis kelamin yang berbeda. b) Organization Model (model organisasi), Pelecehan seksual terjadi karena adanya faktor kekuasaan atau hubungan atasan bawahan. c) The Sosial Culture Model (model sosial budaya), Pelecehan seksual terjadi karena perwujudan dari sistem patrialisme yang lebih luas dimana laki-laki dianggap berkuasa.
Apa Saja Dampak dari Pelecehan Seksual? Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi dampak fisik, dampak psikologis, hingga dampak sosial. Dampak fisik yang biasa ditimbulkan akibat pelecehan seksual, antara lain adanya memar, luka, bahkan robek pada bagian-bagian tertentu. Pada perempuan, yang tentunya sangat berat adalah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak fisik lain adalah kemungkinan penularan penyakit berupa infeksi menular seksual. Dampak kejiwaan antara lain berupa kecurigaan dan ketakutan terhadap orang tertentu atau orang asing, serta ketakutan pada tempat atau suasana tertentu. Dampak sosial yang dialami korban, terutama akibat stigma atau diskriminasi dari orang lain mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan ini timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak untuk bergaul bersama teman-temannya. Beberapa studi juga menunjukkan dampak pelecehan seksual sebagai berikut: 1.
Dampak Psikologis Beberapa penelitian menemukan bahwa korban pelecehan seksual merasakan
PELECEHAN SEKSUAL
13
beberapa gejala yang sangat bervariasi, diantaranya merasa menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan serta meningkatnya ketakutan terhadap tindakan-tindakan kriminal lainnya. Adapun berdasarkan data pelecehan seksual dimana korbannya adalah pelajar, didapatkan ”Sindrom Pelecehan Seksual” yang berhubungan dengan gejala psikologi, mencakup depresi, rasa tidak berdaya, merasa terasing (isolasi), mudah marah, takut, kecemasan, dan penyalahgunaan zat adiktif. 2.
Dampak Fisik Dampak fisik berikut ini telah tercatat dalam literatur yang membahas tentang pelecehan seksual di antaranya yaitu sakit kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), rasa mual, serta menurun atau bertambahnya berat badan tanpa sebab yang jelas. Jika telah terjadi pelecehan seksual yang terbilang serius, selain mengalami sakit kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), dan naik turunnya berat badan, dapat pula timbul kecenderungan bunuh diri pada korban. Ini semua terjadi karena perbuatan tersebut menimbulkan rasa bersalah pada diri sendiri yang amat sangat.
3.
Dampak Sosial Dampak pelecehan seksual di tempat kerja adalah menurunnya kepuasaan kerja, mengganggu kinerja, mengurangi semangat bekerja, menurunnya produktivitas kerja, merusak hubungan antara teman/rekan kerja, menurunnya tingkat kepercayaan diri, dan menurunnya motivasi. Korban pelecehan seksual di tempat kerja juga dapat memiliki komitmen yang rendah terhadap tempat kerjanya, dan korban dengan tingkat frekuensi pelecehan yang tinggi lebih memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka.
Bagaimana Upaya-Upaya Mencegah Terjadinya Pelecehan Seksual? Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah pelecehan seksual. Hal paling mendasar adalah mengetahui bagian-bagian tubuh yang boleh disentuh oleh orang tua, saudara atau orang lain serta mana yang tidak boleh disentuh. Selanjutnya,
14
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
dalam keadaan tertentu diperlukan keberanian untuk berteriak atau meminta pertolongan ketika ada yang mengganggu atau menyentuh, agar tidak berlanjut menjadi pelecehan seksual yang lebih serius. Remaja yang lebih dewasa harus mampu bersikap asertif, berani menolak dan berbicara dengan tegas atau bahkan –bila perlu– melakukan pembelaan diri secara fisik. Kemudian bila memungkinkan, gunakan pakaian yang cukup tertutup terutama bila berada di tempat yang rawan kejahatan atau sepi. Bila tak dapat menghindari tempat yang rawan kejahatan, gelap dan sunyi, sedapat mungkin minta ditemani oleh rekan yang dapat dipercaya dan bisa memberi perlindungan saat berada di tempat-tempat tersebut. Hal lain yang penting untuk mencegah pelecehan seksual adalah mengenal hak pribadi dan hak orang lain serta memahami bahwa hak seseorang adalah hal yang harus dihormati, dihargai dan tidak boleh dirampas. Dengan pemahaman akan hak-hak pribadi dan orang lain, seseorang akan dapat menjaga dan menahan diri dari tindakan pelecehan seksual terhadap orang lain, sekaligus juga mengetahui bahwa dirinya berhak untuk bebas dari pelecehan seksual oleh orang lain. Untuk perusahaan yang mempekerjakan perempuan diharapkan dapat membuat peraturan khusus yang berkaitan dengan pelecehan seksual di tempat kerja, contohnya ruangan dibuat lebih terbuka atau sanksi berat terhadap pelaku bila terjadi pelecehan seksual di tempat tersebut. Bila memungkinkan, seseorang diharapkan dapat menghindari diri dari pola hubungan yang tidak setara di mana ada orang lain yang sangat berkuasa atas dirinya.
Apakah Terdapat Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelecehan Seksual? Pelecehan seksual merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara khusus, tindak pelecehan seksual merampas hak korban sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1). Karena seringkali lahir dari ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya pelecehan seksual
PELECEHAN SEKSUAL
15
terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari pelecehan seksual itu, korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan. Bahwa pelecehan seksual menyebabkan perampasan pada sejumlah hak warga negara menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganannya adalah amanat UndangUndang. Negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak konstitusional berdasarkan Undang-Undang itu. Mandat pemenuhan hak-hak tersebut juga telah ditegaskan dan diterjemahkan dalam berbagai landasan hukum, di antaranya: •
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
•
Undang-Undang No.5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
•
Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
•
Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294;
•
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum
Apa yang Harus Dilakukan Bila Pelecehan Seksual Sudah Terjadi? Seperti telah dijelaskan sebelumnya, rentang bentuk pelecehan seksual sangat luas, mulai dari bentuk visual, verbal, hingga fisik. Dilaporkan atau tidaknya pelecehan seksual yang lebih ringan (pelecehan seksual bentuk visual dan verbal serta beberapa bentuk fisik yang ringan misalnya sentuhan, menyenggol, mendekatkan tubuh) ke pihak yang berwajib sangat bergantung pada masing-masing individu dan hal ini sifatnya sangat beragam, yakni sejauh mana hal tersebut mengakibatkan rasa tidak nyaman atau merendahkan martabat korban. Bentuk-bentuk seperti ini pada tahap
16
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
awal dapat diadukan ke pihak yang dapat melindungi korban, misalkan guru, orang tua atau orang yang dipercaya oleh korban. Untuk pelecehan seksual bentuk fisik yang lebih berat, khususnya yang terdapat unsur pemaksaan dan kekerasan di dalamnya, hendaknya dilaporkan ke pihak yang berwajib. Jika mengalami kekerasan, korban hendaknya tidak melenyapkan, tidak membuang dan tidak menghilangkan bekas-bekas atau barang bukti kekerasan. Korban harus segera melaporkan diri ke polisi. Bila korban enggan melapor sendirian ke kantor polisi, korban harus segera mengadukan hal ini ke pihak yang dapat melindungi korban, misalkan guru, orang tua, orang lain yang dipercaya oleh korban ataupun rekan sebaya untuk selanjutnya bersama korban melapor ke kantor polisi terdekat. Polisi akan melakukan upaya penegakan hukum untuk kasus yang dialami korban, termasuk membuat surat permintaan visum agar korban dapat segera diperiksa oleh dokter di Rumah Sakit terdekat dan mendapatkan visum. Jika membutuhkan perlindungan ataupun pendampingan dalam proses pelaporan dan permintaan visum, korban juga dapat dipandu untuk menghubungi atau datang langsung ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Woman Crisis Center atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terdekat.
Apa Saja Faktor-Faktor yang Menjadi Hambatan Bagi Korban Pelecehan Seksual dalam Memperoleh Keadilan dan Pemulihan? Sungguh disayangkan, masih terdapat berbagai hambatan bagi korban pelecehan seksual dalam mengakses keadilan dan pemulihan. Faktorfaktor yang menyebabkan hal ini antara lain: •
Korban kekerasan bisa menderita trauma mendalam akibat pelecehan seksual yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.
•
Konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep aib juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma. Korban dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan
PELECEHAN SEKSUAL
17
dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya, khususnya pada kasus pelecehan berat. Menceritakan tindak pelecehan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku pelecehan, misalnya dengan memaksakan korban menikahi pelakunya. •
Sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis pelecehan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, ataupun pengakuan pada tindak pelecehan tersebut masih belum utuh. Misalnya saja tentang perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki pengertian yang sempit atas tindak pelecehan seksual itu.
•
Lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya pelecehan seksual. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai.
•
Adanya penyelenggara hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan pelecehan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Persoalan lain adalah masalah ketersediaan perlindungan saksi dan korban yang memadai. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena khawatir balas dendam pelaku. Tindakan suap atau penyogokan dalam proses penegakan hukum juga dapat menjadi hambatan bagi korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.
Apa yang Dapat Dilakukan Masyarakat untuk Ikut Mencegah dan Menangani Pelecehan Seksual? Karena pelecehan seksual kerap direkatkan dengan persoalan moralitas, peran serta masyarakat dan rekan sebaya untuk membantu korban agar memperoleh keadilan dan pemulihan adalah krusial. Peran serta ini terutama penting untuk menguatkan korban agar tidak membungkam, namun tidak berarti memaksa korban untuk bicara di hadapan publik. Juga, untuk memastikan korban mendapat dukungan dalam proses pemulihannya yang sangat terkait dengan keyakinan bahwa ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib, terbebani oleh stigma sebagai “barang rusak” dan atau dikucilkan.
18
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
Penyikapan ini sungguh berarti bagi korban pelecehan seksual. Langkah awal untuk penyikapan ini tentunya dengan mengenali pelecehan seksual, akar masalah dan dampaknya. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat untuk ikut mencegah dan menangani pelecehan seksual antara lain : •
Bangun pemahaman tentang pelecehan seksual
•
Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya tindak pelecehan seksual. Segera laporkan pada pihak berwajib
•
Temani korban pelecehan seksual, bangun keyakinan korban untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri
•
Temani dan dukung korban bila ia hendak melapor. Bila korban enggan melapor, jangan dihakimi keputusannya itu.
•
Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembaga-lembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun masukan bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan
•
Berikan informasi tentang pelecehan seksual kepada anggota keluarga, teman,tetangga, teman sekerja atau lainnya
•
Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban
•
Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan korban pelecehan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum
•
Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi korban pelecehan dengan mengumpulkan informasi tentang pelecehan seksual yang terjadi disekelilingnya, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan dana bagi penanganan korban.
PELECEHAN SEKSUAL
19
Tindakan Apa yang Dapat Dilakukan untuk Menangani Korban Pelecehan Seksual? Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menangani dampak yang dialami korban pelecehan seksual. 1. 2. 3.
20
Perlindungan dan penanganan secara fisik (contohnya penyembuhan atau terapi oleh dokter). Perlindungan dan penanganan kejiwaan (bisa dengan konsultasi, terapi kejiwaan atau pendidikan mental spiritual). Secara sosial dengan memberi dukungan sosial dan emosional, menerima kehadirannya, membicarakan sesuatu yang sesuai dengan pemahamannya sehari-hari, serta memberikan kesempatan untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di lingkungannya.
Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Dan Seksualitas Yang Komprehensif
REFERENSI 1.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011.
2.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani. Diunduh dari: www.komnasperempuan.or.id (1 November 2012).
3.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Lindungi Diri dari Kekerasan. Diunduh dari: www.aidsindonesia.or.id (19 November 2012).
4.
Saniah LS. Menyingkap Pelecehan Seksual. Tabloid KONTRAS Nomor : 532 tahun XI 11-17 Maret 2010.
5.
Sri Endah Kinasih. Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan Seksual. Surabaya: Universitas Airlangga. 2007.
6.
UNESCO, UNAIDS, UNFPA, UNICEF, WHO. International Technical Guidance on Sexuality Education. Vol. II. Paris: UNESCO. 2009.
7.
Willieano Satya Dharma. Pelecehan Seksual Pada Wanita Di Tempat Kerja. Universitas Gunadarma. 2008.
PELECEHAN SEKSUAL
21
Catatan :
Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi kami di : Kantor UNESCO Jakarta Jl. Galuh II No. 5 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110, Indonesia Telepon: +62 21 739 9818; Fax: +62 21 7279 6489 Email:
[email protected] www.unesco.org / Jakarta