2
melebihi kapasitas. Luapan air sungai ini akan segera menggenangi daerah-daerah rendah yang berada di sekitar sungai (floodplain). Selain curah hujan, keadaan fisiografis daerah tangkapan terutama ketinggian, kemiringan dan jenis tutupan vegetasi akan menentukan kerawanan wilayah tersebut untuk mengalami penggenangan (inundation) (Rodda J 1974). Daerah dengan nilai elevasi tinggi mempunyai kecenderungan yang kecil untuk mengalami banjir karena air akan segera mengalir ke daerah yang lebih rendah dibawahnya. Sedangkan kemiringan lahan berpengaruh ketika menangkap masukan air, air yang datang pada lahan dengan kemiringan curam hanya memiliki sedikit waktu untuk proses infiltrasi ke dalam tanah sehingga sebagian besar air akan lolos dalam bentuk limpasan dibanding permukaan lahan yang datar atau landai. Jenis penutupan lahan dengan vegetasi rapat memiliki kemampuan menahan air dengan menyerap air ke dalam tanah dan menghambat proses limpasan, sedangkan permukaan daerah urban kebal terhadap air dengan drainase yang jarang didesain untuk mampu menampung banjir. Selain itu permeabilitas tanah yang menunjukkan kemampuan tanah untuk melalukan air dalam bentuk infiltrasi juga memiliki pengaruh dimana tanah dengan kecepatan permeabilitas lambat akan mendukung terjadinya penggenangan. Salah satu tahapan dalam proses analisis kerawanan yaitu identifikasi wilayah yang rawan terhadap bencana dan populasi yang yang mungkin terkena dampak bencana (Pine 2009). Dengan mengetahui tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap banjir maka dapat dicegah dengan tidak menggunakan wilayah tersebut untuk kegiatan produksi agrikultur, pemukiman atau kegiatan manusia lainnya. Oleh karena itu informasi kerawanan banjir dapat sangat bermanfaat jika diterapkan dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan tata guna lahan. Jika wilayah tersebut tetap akan digunakan untuk kegiatan agrikultur, informasi ini dapat digunakan untuk kontrol dan manajemen banjir untuk mendukung kesiapan dalam antisipasi kejadian banjir seperti persiapan pengalihan banjir, atau penanaman varietas yang tahan terhadap rendaman.
2.2.
Topografi - DEM - SRTM Topografi adalah karakteristik suatu permukaan atau disebut relief. Untuk wilayah daratan yang dimaksud adalah bukit, lembah dan dataran yang menyusun daratan tersebut. Dengan demikian yang diperhitungkan adalah ketinggian dari masing-masing lokasi. Pengetahuan mengenai bentuk permukaan bumi diperlukan dalam berbagai aplikasi salah satunya yaitu dalam pemodelan hidrologi dan limpasan permukaan. Topografi memiliki peranan penting dalam distribusi dan fluks aliran air baik dalam sistem natural atau buatan manusia (Bedient dan Huber 2002). Topografi suatu permukaan daratan dalam SIG dapat disajikan dengan data elevasi digital. Terdapat dua parameter medan yang bisa dihasilkan dari data elevasi yaitu slope dan aspek. Slope didefinisikan sebagai laju perubahan ketinggian untuk setiap jarak horizontal, biasa diukur dalam persen atau derajat. Sementara aspek adalah arah sudut horizontal dan vertikal permukaan menghadap. Data elevasi digital adalah kumpulan hasil pengukuran elevasi untuk lokasi-lokasi yang terdistribusi pada permukaan daratan. Berbagai istilah digunakan dalam maksud yg sama seperti Digital Terrain Data (DTD), Digital Terrain Models (DTM), Digital Elevation Model (DEM) dan Digital Terrain Elevation Data (DTED). Beberapa metode dapat digunakan untuk menghasilkan data DEM seperti yang dilakukan oleh USGS yaitu menggunakan metode fotogrametri stereomodel atau melalui citra penginderaan jauh satelit. Metode dalam mengambil dan menyimpan data elevasi digital dikategorikan menjadi empat : grid, kontur, profil dan TIN (Triangulated Irregular Network). Data DEM biasa disajikan dalam format grid dimana terdapat satu nilai elevasi untuk setiap wilayah berjarak sama atau disebut dengan grid cells (Aronoff 1989). SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) merupakan misi kerjasama NGA (National Geospatial-Intelligence Agency) dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration) dalam pemetaan tiga dimensi permukaan bumi dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh sensor aktif, yaitu menggunakan sistem radar interferometrik yang diterbangkan oleh Space Shuttle Endeavor (STS-99) pada Februari 2000 (Rodriguez et al 2005). Dua sistem radar interferometrik, yaitu X-band dan C-band mengorbit dan memetakan bumi
3
selama 11 hari dan merekam data yang kemudian diolah oleh JPL (Jet Propulsion Laboratory) untuk menghasilkan produk data topografi dengan cakupan wilayah diantara 60o lintang utara dan selatan atau sekitar 80% dari permukaan daratan bumi. Jenis data SRTM yaitu berupa grid, dan jenis grid yang digunakan yaitu ortogonal dimana ukuran sel grid tidak dinyatakan dalam satuan jarak sebenarnya (meter atau kaki) namun dalam “∆ lintang” dan “∆ bujur”, keduanya didefinisikan menggunakan istilah arc-seconds, arcminutes, dan lainnya. Ukuran satu arcsecond pada daerah ekuator memiliki jarak yang hampir sama, semakin menjauh dari ekuator ukuran satu arc-second longitude / bujur semakin menyempit. Pengaturan jarak sample pada set data SRTM utama yaitu 1 arc-second lintang dan bujur (sekitar 30m di ekuator). Dengan persetujuan NGA dan NASA produk ini didistribusikan dengan secara terbatas. Produk kedua dengan pengaturan jarak 3 arc-second dihasilkan dengan merata-ratakan data 1 arc-second dan tersedia untuk di download atau dipesan oleh publik (Becek 2008). Data DEM tersebut berupa data integer 16-bit signed dalam raster biner sederhana. Tidak terdapat header atau trailer yang tercantum dalam citra. 2.3.
Curah Hujan - TRMM Curah hujan sebagai salah satu bentuk presipitasi merupakan komponen utama iklim bumi. Terbentuknya presipitasi melalui kondensasi uap air akan melepaskan panas laten ke atmosfer yang akan menjadi penggerak sirkulasi armosfer bumi. Namun pengaruh curah hujan tidak terbatas hanya pada sistem iklim bumi tapi juga terhadap siklus air dan kehidupan manusia. Curah hujan dapat digunakan sebagai masukan dalam perhitungan menyangkut permasalahan di bidang hidrologi (Linsley et al 1980). Selain itu presipitasi adalah sumber air utama bagi hampir seluruh penduduk dunia, bahkan hanya sedikit perubahan dapat sangat berpengaruh pada kehidupan seharihari manusia. Meteorologi adalah dasar yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian hidrologi. Pengetahuan dasar mengenai meteorologi dan hidrologi memiliki cakupan penerapan yang luas seperti prediksi hujan dan banjir, kontrol sungai dan mengatasi masalah sumberdaya air. Indonesia memiliki iklim monsoon yaitu iklim dengan dua musim, musim
basah/hujan serta musim kering/kemarau yang saling bergilir sepanjang tahun. Posisi Indonesia terletak di daerah tropis yang merupakan tempat terjadinya konveksi secara besar-besaran. Tingginya kandungan uap air yang didukung dengan faktor-faktor lainnya menyebabkan tingginya rata-rata curah hujan di daerah Indonesia (Handoko 1995). Informasi intensitas dan durasi curah hujan diperlukan untuk menentukan respon dari daerah aliran sungai terhadap hujan. Secara umum pengukuran curah hujan dan intensitas curah hujan telah dilakukan menggunakan penakar hujan di permukaan. Namun dikarenakan berbagai permasalahan seperti biaya pendirian dan operasional yang tinggi, terbatasnya kemampuan pengamatan untuk daerah pegunungan, dan kemungkinan tidak tercatatnya data maka mulai dikembangkan metode baru pendugaan curah hujan memanfaatkan yang teknologi berbasis satelit / spaceborne (Sene 2010) Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) diluncurkan pada November 1997 untuk memenuhi kebutuhan akan data hujan global khususnya di daerah tropis. Dalam NASA (2011) disebutkan bahwa TRMM dibekali dengan sensor PR (Precipitation Radar) yang merupakan radar presipitasi antariksa yang pertama dibuat, sensor ini dapat memantau distribusi presipitasi secara tiga dimensi di atas daratan maupun lautan. Sensor yang kedua yaitu TMI (TRMM Microwave Imager) yang dapat menghasilkan data berupa integrated column precipitation content, air cair dalam awan (could liquid water), es dalam awan (cloud ice), intensitas hujan dan tipe hujan. Sensor VIRS (Visible and Infrared Scanner) memiliki fungsi untuk memantau liputan awan, jenis awan dan temperatur puncak awan. Sensor lainnya yaitu LIS (Lightning Imaging Sensor) dan CERES (Cloud and Earth’s Radiant Energy System). Data Hujan yang dihasilkan oleh TRMM memiliki tipe dan tingkatan yang beragam yang dimulai dari level 1 hingga level 3. Data level 1 merupakan data mentah (raw) yang telah dikalibrasi dan terkoreksi geometrik. Level 2 merupakan data yang telah berupa gambaran parameter geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan saat satelit melewati daerah yang direkam. Data level 3 sudah memiliki nilainilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari data
4
level 2. Untuk mendapatkan data hujan dalam bentuk milimeter (mm) sebaiknya menggunakan level 3 dengan resolusi spasial 0,25ox0,25o dan resolusi temporal 3 jam. Pada akhirnya data TRMM akan digabungkan dengan hasil pengukuran satelit-satelit lain untuk menghasilkan produk TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) yang memiliki tingkat keakurasian yang lebih baik (NASDA 2001). 2.4.
Tekstur Tanah Komposisi umum bahan penyusun tanah terdiri dari mineral, bahan organik, kelembaban tanah, dan udara. Terdapat tiga macam klasifikasi ukuran partikel tanah yaitu pasir (sand) > 0,05 mm, lempung (silt) 0,002 – 0,05 mm dan liat (clay) < 0,002 mm. Berbagai komposisi dari ketiga jenis partikel ini akan membentuk kelas tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan salah satu kondisi fisiografis yang mempengaruhi limpasan permukaan selain dari kelerengan dan ketinggian (Sharp & Sawden 1984). Tanah dengan kandungan liat tinggi disebut bertekstur halus, sebaliknya jika kandungan pasir tinggi maka disebut bertekstur kasar. Tekstur tanah akan berpengaruh pada porositas, struktur dan permeabilitas tanah. Semakin halus partikel tanah semakin banyak pori yang terbentuk menyebabkan tanah mudah menahan air / impermeabel, sedangkan semakin kasar tekstur tanah maka tanah akan mudah kehilangan air. Dalam hubungannya dengan siklus hidrologi, yaitu ketika presipitasi jatuh pada permukaan tanah, air mungkin akan diserap ke dalam tanah atau akan mengalir sebagai limpasan di atas permukaan. Bagaimana respon air hujan ketika menyentuh permukaan tanah ditentukan oleh sifat horizon permukaan tanah itu sendiri. Laju infiltrasi tergantung pada sifat fisik tanah terutama permeabilitas. Permeabilitas tanah mengatur proses pembasahan tanah dan neraca air, termasuk limpasan permukaan. Semakin tinggi kandungan liat akan menyebabkan semakin rendahnya permeabilitas, sebaliknya semakin tinggi porositas akan meningkatkan permeabilitas. Faktor lainnya yaitu kandungan air tanah, tanah yang telah jenuh oleh air akan menghambat proses infiltrasi. Perbedaan sifat tanah pada setiap lapisannya berakibat pada berbedanya nilai permeabilitas pada setiap kedalaman (Pitty 1979). Komputasi limpasan langsung memerlukan nilai estimasi karakteristik
infiltrasi pada berbagai jenis tanah pada area drainase. Peta tanah yang menggambarkan sifat-sifat tanah merupakan sumber data utama bagi pendugaan infiltrasi. Satuan pemetaan tanah (soil-mapping unit) adalah satuan terkecil dalam peta tanah yang dapat diberikan informasi sifat-sifat tanah (Bedient & Huber 2002). Beberapa penyesuaian harus dilakukan jika mengestimasi infiltrasi berdasarkan database tanah yang digeneralisasi bagi pemodelan hidrologi. Untuk memperoleh parameter-parameter infiltrasi dari sifat tanah membutuhkan reklasifikasi dari soil mapping unit menjadi parameter yang berarti bagi model hidrologi. 2.5.
Tutupan lahan (land-cover) Menurut Ward dan Elliot (1985) pengaruh jenis penggunaan lahan dan tutupan vegetasi terhadap infiltrasi dikategorikan sebagai kondisi permukaan (soil-surface), berlainan halnya dengan kondisi tekstur tanah yang merupakan kondisi bawah permukaan (sub-surface). Jenis tutupan lahan akan mempengaruhi laju infiltrasi air hujan. Respon curah hujan yang jatuh di permukaan akan ditentukan pertama oleh jenis permukaan baru kemudian oleh kondisi fisik dari lapisan tanah. Limpasan permukaan merupakan fenomena yang terjadi ketika intensitas hujan melampaui kecepatan air untuk penetrasi ke dalam water table atau disebut dengan kapasitas infiltrasi. Faktor yang mempengaruhi limpasan terbagi dua yaitu klimatologis dan fisiografis (Sharp & Shawden 1984). Faktor klimatologis berupa masukan hujan, curah hujan yang tinggi dalam periode singkat akan menyebabkan segera terlampauinya kapasitas infistrasi sehingga air akan banyak melimpas menuju aliran sungai menyebabkan semakin tingginya debit yang berakibat pada banjir. Sementara faktor fisiografis meliputi jenis tanah dan kondisi permukaan DAS yang berpengaruh langsung pada kapasitas infiltrasi. Permukaan dengan tutupan vegetasi akan mempengaruhi transpirasi dan intersepsi, sehingga diketahui secara umum bahwa limpasan pada daerah hutan jauh lebih kecil dibanding daerah agrikultur atau terbangun. Dibandingkan dengan daerah lahan terbuka, daerah bervegetasi memiliki kemampuan untuk mengurangi limpasan permukaan. Vegetasi meningkatkan struktur tanah dan megurangi kandungan air tanah sehingga meningkatkan jumlah air yang dapat terinfiltrasi. Pepohonan dan tanaman
5
berakar dalam biasanya mengkonsumsi lebih banyak air tanah melalui evepotranspirasi dibanding tanaman berakar dangkal, demikian limpasan di daerah tersebut menjadi lebih sedikit (Ward & Elliot 1995). 2.6.
Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) dapat didefinisikan sebagai ilmu dan seni dalam mendapatkan informasi mengenai berbagai objek atau fenomena tanpa melakukan kontak fisik dengan objek atau fenomena tersebut (Aronoff 1989). Berbagai teknik yang digunakan dalam penginderaan jauh dapat dibagi berdasarkan tipe platform / wahana yang digunakan yaitu satelit, pesawat terbang, balon terbang, dan lainnya. Beberapa metode remote sensing yang biasa digunakan yaitu fotografi udara, pencitraan satelit, radar serta lidar. Metode-metode penginderaan jauh tersebut memanfaatkan sebagian dari spektrum elektromagnetik yang dipancarkan atau direfleksikan oleh sasaran yang berada di permukaan. Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan meliputi spektrum tampak, inframerah dekat, inframerah termal, gelombang mikro dan radio. Sensor pada berbagai wahana penginderaan jauh terdiri dari detektor berfungsi untuk merekam serta sensitif terhadap spektrum gelombang elektromagnetik tertentu. Terkait dengan sensornya, penginderaan jauh terbagi menjadi dua yaitu satelit aktif dan pasif. Sensor pasif yaitu sensor yang merekam pantulan atau radiasi yang bersumber dari matahari, sementara sensor aktif memiliki kemampuan memancarkan gelombang yang kemudian pantulannya akan direkam kembali oleh sensor. Berdasarkan domain spektrum elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan menjadi : visible dan reflektif, thermal infrared dan microwave (Prahasta 2008). Tipe pertama memanfaatkan pantulan radiasi matahari oleh objek di permukaan, tipe kedua menangkap radiasi yang dipancarkan sendiri oleh objek dengan suhu lebih besar dari 0 K, sementara tipe ketiga terbagi menjadi dua macam yaitu penginderaan jauh microwave aktif dan pasif. Sensor-sensor yang telah dikembangkan dalam penginderaan jauh memberikan berbagai jenis masukan data yang memungkinkan bagi integrasi dan perpaduan untuk pemanfaatan dalam
berbagai aplikasi seperti dalam manajemen bencana alam. Tahap-tahap dalam manajemen bencana tersebut terbagi menjadi : pendugaan kerawanan, peringatan dini, mitigasi bencana, respon, pendugaan kerugian serta pemulihan. Sinergi aplikasi antara sensor resolusi rendah dengan resolusi tinggi serta data real-time dengan data arsip memungkinkan kombinasi antar resolusi spasial, temporal dan radiometrik yang berbeda untuk menentukan nilai trend dan area-area yang rawan dan menduga nilai kerawanan dan skenario yang mungkin terjadi (Nayak & Zlatanova 2008). 2.7.
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi adalah serangkaian operasi berawal dari perencanaan pengambilan data, penyimpanan dan analisis data, hingga pembuatan keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh. Sedangkan geografi adalah bidang keilmuan yang mengkaji hubungan-hubungan spasial baik objek maupun fenomena. Berdasar konsep diatas Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem informasi yang didesain untuk bekerja dengan data yang memiliki referensi spasial atau koordinat geografis (Star & Estes 1990). Dalam konteks ini sebuah peta merupakan sejenis sistem informasi yang menyajikan gambaran hubungan-hubungan spasial dari data-data yang tersimpan didalamnya. Data yang dapat dimasukkan kedalam lingkup SIG terdiri dari dua macam yaitu data spasial dan data atribut (non-spasial). Data spasial menunjukkan lokasi geografis dari fitur-fitur (features), sedangkan atribut memberikan informasi mengenai fitur-fitur tersebut. Fitur adalah istilah yang mengacu pada informasi yang disematkan pada peta. Fitur dapat berupa titik (point), garis (line) atau area. Untuk mencocokkan posisi data spasial agar yang berada pada lokasi tertentu pada permukaan bumi diperlukan proses georeferensi. Serangkaian kemampuan SIG dalam menangani data yang telah memiliki georeferensi yaitu dalam input, manajemen data, analisis dan manipulasi, serta output (Aronoff 1989). SIG memungkinkan integrasi antar data yang diperoleh dari perpustakaan, laboratorium, dan studi lapang dengan data penginderaan jauh. Penginderaan jauh sendiri merupakan input yang penting bagi SIG karena dapat menyediakan berbagai jenis data masukan bagi SIG dengan resolusi
6
spasial dan temporal kian membaik, dengan demikian informasi yang dapat dihasilkan dan cakupan aplikasipun menjadi semakin beragam. Sebagai contoh dalam bidang hidrologi beberapa data yang biasa digunakan sebagai masukan bagi SIG yaitu topografi, tanah, penggunaan lahan, dan presipitasi dapat direpresentasikan secara dijital oleh SIG untuk keperluan aplikasi seperti untuk penentuan daerah aliran sungai, estimasi limpasan, pemodelan hidrolik, dan pemetaan dataran banjir (floodplain) (Bedient & Huber 2002).
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor selama periode April hingga Desember 2011.
http://trmm.gsfc.nasa.gov/data_dir/data.h tml. Data yang dipakai yaitu data keluaran GES DISC DAAC (Goddard Earth Sciences Data and Information Services Centre - Distributed Active Archive System). Format data yang disediakan yaitu binary (.bin), Hierarchical Data Files (.hdf) dan netCDF. Citra tutupan lahan regional hasil klasifikasi oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menggunakan citra Landsat 7 (ETM+) kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Citra yang digunakan untuk proses klasifikasi adalah citra tahun 2003. Peta Satuan Lahan tahun 1990 dengan skala 1:250.000 yang dibuat oleh PUSLITANAK bersumber dari Skripsi oleh Wiujianna A (2005). Data kejadian bencana alam banjir dan longsor periode tahun 2007 yang diperoleh dari Departemen Pertanian.
3.2.
3.3.
III. METODOLOGI 3.1.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Excel 2010, ERMapper 7.1, ENVI 4.5, dan ArcGis 9.3 untuk pengolahan data-data serta Microsoft Word 2010 dalam penyusunan tulisan. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : Data elevasi digital Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) v4.1 yang dapat diperoleh melalui salah satu interface download resmi yaitu pada situs http://srtm.csi.cgiar.org. Data DEM SRTM tersebut tersedia untuk di download dalam grid 5o x 5o (seleksi meliputi Lintang 5oS - 10oS dan Bujur 105oE - 1100E) dengan resolusi 3 arc second (sekitar 90m) menggunakan sistem koordinat geografis dan datum WGS84. Data ini tersedia dalam format Arcinfo ASCII dan GeoTiff. Data Intensitas Hujan TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) Version 6 3B42 : three-hourly combined microwave-IR estimates. Dataset ini memuat parameter intensitas hujan (rain rate) dalam satuan mm/jam dengan resolusi temporal 3-jam dan resolusi spasial 0,25o atau sekitar 27 km. Periode data yang di download yaitu bulan Februari dan Desember 2007. Data dapat didownload melalui website resmi TRMM yaitu
Wilayah Kajian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107°52'-108°36' BT dan 6°15'-6°40' LS. Bentuk tofografinya sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0 - 2 %. Luas total Kabupaten Indramayu yang tercatat adalah seluas 204.011 ha. Menurut data SIG Bapeda Kabupaten Indramayu, pola penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Indramayu terdiri dari Sawah Irigasi 121.355 Ha (59,50%); Sawah tadah hujan 12.420 ha (06,09%); Perkebunan 42.130 ha (15,75%); Pemukiman 17.980 ha (08,81%); Empang 12.600 ha (06.18%); lainnya 7.526 ha (03,67%). Curah hujan rata-rata tahunan 1.587 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 91 hari. Kabupaten Indramayu merupakan daerah hilir dari aliran sungai yang sangat potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan petanian, industri maupun bahan baku air bersih. Disaat yang sama hal tersebut menyebabkan wilayah ini sering mengalami banjir. 3.4.
Metode Penelitian Metode penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahapan utama yaitu pembangunan basis data, analisis data dan perbandingan hasil akhir dengan data banjir aktual yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Penggunaan parameter banjir, pembagian kriteria, skoring, serta pembobotan