BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gaya Resolusi Konflik 2.1.1. Definisi Resolusi Konflik Resolusi konflik adalah sebuah proses dalam komunikasi interpersonal yang memungkinkan untuk digunakan dua pihak yang berkonflik untuk mencapai titik kesepakatan yang baik dan memuaskan (Omoluabi, 2001). Schenkel (2000) mengemukakan resolusi konflik merupakan proses yang memungkinkan seseorang untuk memecahkan konflik dalam sebuah cara, gaya, sikap yang baik dan konstruktif. Pendapat lainnya, resolusi konflik merujuk pada proses komunikasi antara dua pihak atau lebih yang memecahkan sebuah perselisihan melalui bantuan seorang mediator. Mediator akan melakukan pencarian untuk mengakhiri konflik dan memperbaiki hubungan sosial antara dua pihak (Vaught, 1997). Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas bahwa resolusi konflik merupakan proses komunikasi interpersonal antara dua pihak untuk memecahkan masalah atau konflik dengan cara, gaya, sikap yang baik dan konstruktif, untuk mencapai titik kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik.
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.2. Pendekatan Dalam Resolusi Konflik Dalam resolusi konfik, ada dua pendekatan yaitu konstruktif (constructive) dan destruktif (destructive). Pada pendekatan konstruktif, fokus pada yang terjadi saat ini dibandingkan dengan masalah yang lalu, membagi perasaan negatif dan positif, mengungkapkan informasi dengan terbuka, menerima kesalahan bersama dan mencari persamaan-persamaan. Konflik yang konstruktif cenderung untuk kooperatif, proporsional dan menjaga hubungan secara alami (Olson & DeFrain, 2006). Sedangkan pada pendekatan destruktif, fokus masalah adalah yang terjadi pada masa lalu, hanya mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, fokus pada individu bukan pada masalahnya, mengungkapkan selektif informasi dan menekankan pada perbedaan tujuan untuk perubahan yang minim. Konflik yang destruktif mengarah pada kompetitif, antisosial dan perusakan hubungan. Pendekatan konstruktif dan destruktif akan mengarahkan pada beberapa gaya dalam menyelesaikan konflik atau resolusi konflik.
2.1.3. Definisi Gaya Dalam Resolusi Konflik Tubbs dan Moss (2003) mengartikan gaya resolusi konflik diartikan sebagai “a preffered style for resolving conflict”, suatu gaya yang dipilih untuk menghadapi konflik. Sedangkan Wilmot & Hocker (2001) mengemukakan gaya resolusi konflik sebagai “patterned responses or cluster of behavior that people use in conflict”, respon berpola atau sekelompok perilaku yang digunakan seseorang dalam konflik.
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gaya dalam resolusi konflik mengacu pada pola respon terhadap konflik yang melibatkan pengulangan kegunaan dari taktik yang sama untuk memecahkan konflik atau perselisihan (Corcoran & Mallinckrodt, 2000). Menurut Wilmot & Hocker (2001) preferensi gaya resolusi konflik pada seseorang dapat berubah dan berkembang selama masa hidup seseorang berdasarkan campuran yang rumit dari genetik, pengalaman hidup, latar belakang keluarga dan filosofi pribadi. Pendekatan seseorang terhadap konflik bukanlah suatu respon yang dibawa sejak lahir melainkan suatu perkembangan keterampilan komunikasi yang dipelajari, diperbaiki dan dilatih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gaya resolusi konflik merupakan suatu gaya atau respon berpola yang dipilih dan dimiliki individu dalam menghadapi konflik.
2.1.4. Perkembangan Teori Gaya Resolusi Konflik Mary P. Follet (1940) menemukan tiga model atau gaya utama yang digunakan individu dalam menyeleesaikan konflik yaitu domination, compromise dan integration. Blake dan Mouton (1964) merupakan peneliti pertama yang mengembangkan klasifikasi model atau gaya dalam penanangan konflik pada individu dalam dunia organisasi dan manajemen. Lima gaya yang dikembangkan tersebut adalah forcing, withdrawing smoothing, compromising dan confrontation. Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada sikap para manajer atau atasan mengenai perhatiannya pada produksi atau pada individu yang terlibat dalam produksi.
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Konsep Blake & Mouton (1964) tersebut ditafsirkan kembali dan disempurnakan oleh Thomas & Kilmann (1974). Menurut Thomas & Kilmann (1974) gaya resolusi konflik yang dimiliki individu melibatkan dua dimensi dasar, yang terdiri dari cooperativeness dan assertiveness. Dari dua dimensi tersebut dikembangkanlah lima model gaya resolusi konflik yang meliputi competing, collaborating, avoiding, accommodating, dan compromising. Menggunakan konsep yang hampir sama dengan Blake & Mouton (1964) serta Thomas & Kilmann (1974), Rahim (1995) juga mengembangkan lima gaya resolusi konflik yang terdiri dari dominating, avoiding, obliging, integrating dan compromising. Lima model tersebut didasarkan pada dua dimensi yang dikembangkannya yaitu perhatian pada diri sendiri dan perhatian pada orang lain. Dimensi pertama menjelaskan derajat (tinggi atau rendah) pada individu yang berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan untuk dirinya. Sedangkan dimensi kedua menjelaskan derajat (tinggi atau rendah) pada individu yang berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan pihak lain. Dua dimensi tersebut menggambarkan orientasi motivasi yang diberikan individu pada situasi konflik (Rubin & Brown, 1975). Beberapa peneliti mulai mengembangkan beberapa model atau gaya resolusi konflik lainnya seperti Putnam & Wilson (1982) dengan tiga gaya resolusi konflik, yaitu non-confrontative, result orientation, dan control (Putnam & Wilson, 1982). Model lainnya, empat gaya resolusi konflik dari Kurdek (1994) yaitu positive problem solving, conflict engagement, withdrawal dan compliance dan Pruiit (1983) yaitu succumb, problem solving, inaction dan challenge. Pada
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dunia psikologi sendiri, mulai pertama kali digunakan dan dikembangkan awal tahun 1970 dalam bidang psikologi sosial dan psikologi organisasi. Berikut ini merupakan kesimpulan taksonomi perkembangan gaya resolusi konflik yang diusulkan oleh para peneliti :
Gambar 2.1. Taksonomi Gaya Resolusi Konflik
Dua Gaya : Cooperation dan Competition (Deutsch, (De utsch, 1949, 1990; Tjosvold, 1990)
Tiga Gaya : Non-Confrontation, Solution-Orientation, dan Control Non-Confr (Putnam (Putna m & Wilson, 1982)
Empat Gaya : Yielding, Problem Solving, Inaction, dan Contending (Puitt, 1983)
Lima Gaya : Integrating, Obliging, Dominating, Avoiding, dan Compromising (Blake & Mouton, 1964; Follett, 1926/1940; Rahim & Bonoma, 1979, Thomas, 1976)
2.1.5. Gaya Resolusi Konflik Menurut Rahim (1995, 2001) 5 gaya resolusi konflik yang digambarkan oleh Rahim (1995, 2001) yaitu : 1) Dominating (DO) Melibatkan perhatian yang tinggi pada pemenuhan kebutuhan atau kepentingan diri sendiri dan perhatian yang rendah pada kebutuhan atau kepentingan orang lain. Gaya dapat diidentifikasi sebagai orientasi
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menang-kalah (win-lose) atau dengan memaksakan perilaku untuk memenangkan posisi seseorang. 2) Avoiding (AV) Melibatkan keengganan atau dengan kata lain rendah perhatian terhadap kebutuhan diri sendiri maupun kebutuhan orang lain untuk terlibat dalam diskusi mengenai konflik. Gaya ini diasosiasikan dengan penarikan diri, melewati atau menghindar dan seakan-akan tidak ingin melihat, mendengar dan membicarakan situasi konflik atau masalah. 3) Obliging (OB) Menekankan perhatian yang tinggi pada kebutuhan atau kepentingan orang lain dan perhatian yang rendah pada kebutuhan atau kepentingan diri sendiri dan cenderung mudah menyetujui tuntutan orang lain. Seseorang yang obliging (OB) berusaha untuk memperkecil perbedaan dan menekankan kesamaan untuk memuaskan kebutuhan orang lain. 4) Integrating (IN) Mencari pemecahan masalah secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan kedua belah pihak. Gaya ini mengutamakan kolaborasi dan kerjasama untuk mencapai solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Kolaborasi yang diperlukan seperti keterbukaan, pertukaran informasi yang diperlukan dan mendiskusikan perbedaan. 5) Compromising (CO) Dipetakan pada persimpangan dua dimensi antara perhatian pada diri sendiri dan perhatian terhadap orang lain. Gaya ini diasosiasikan dengan
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
saling berbagi informasi dimana kedua belah pihak saling memberikan kontribusi
untuk
menentukan
keputusan
yang
berkualitas
dan
menguntungkan kedua belah pihak. Secara luas tipologi dalam resolusi konflik digunakan sebagai identifikasi dan penyeimbang antara dua dimensi, yaitu perhatian pada diri sendiri dan perhatian pada orang lain (Rahim, 1995). Secara konsep, dua dimensi pengelolaan konflik tersebut memetakan pada dua dimensi kepribadian yang paling dekat dengan perilaku sosial : kontrol/dominasi/permusuhan vs patuh/afiliasi/keramahan (Fiske, Cuddy & Glick, 2007). Setiap individu mampu dalam menggunakan kelima model atau tipe penanganan konflik (conflict-handling). conflict-handling). Tidak ada dari setiap individu yang dapat conflict-handling dikategorikan dalam satu gaya resolusi konflik tertentu saja. Kebanyakan individu mengambil beberapa gaya dalam menyelesaikan konflik atau masalah (Blitman, 2002).
2.2. Kematangan Emosional 2.2.1. Definisi Kematangan Emosional Walter D. dan Smitson W.S. (1974) menyatakan kematangan emosional sebagai “… a process in which the personality is continually striving for greater sense of emotional health, both intraphysically and interpersonally.”, proses dimana kepribadian secara berkelanjutan berusaha mencapai kesehatan emosional yang lebih baik, baik antara intra-psikis dan interpersonal. Mahmoudi (2012) menyatakan kematangan emotional merupakan impuls kontrol yang mengontrol
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
diri atau ego. Sementara Yusoff (2011) mendefinisikan kematangan emosional sebagai kemampuan untuk memfasilitasi dan mengarahkan kecenderungan emosional untuk mencapai dan meraih tujuan atau hasil yang dimaksudkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosional merupakan proses yang terjadi dalam diri individu dalam mengolah respon, mengontrol ego, mengarahkan dan memfasilitasi emosi dalam situasi konflik atau masalah sebagai usaha untuk mencapai kesehatan emosi yang lebih baik, dari sisi intra-psikis dan interpersonal dan mencapai tujuan atau hasil yand dimaksudkan.
2.2.2. Karakteristik Individu dengan Kematangan Emosional Kematangan emosional memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang dijadikan indikator dalam menentukan taraf kematangan emosi seseorang. Menurut Yusoff (2011) karakteristik-karakteristik tersebut diantaranya sebagai berikut : 1) Berorientasi pada pencapaian prestasi dan hasil Individu
yang
memiliki
orientasi
terhadap
prestasi
dan
hasil,
memfokuskan diri pada berbagai usaha yang bisa dilakukan, bekerja keras dan sungguh-sungguh terhadap apa yang dilakukan di masa sekarang untuk hasil di masa depan, memiliki perencanaan-perencanaan untuk mencapai hasil atau target, bertanggung jawab pada kemajuan dan perkembangan diri sendiri, mau mencari sumber-sumber dan informasiinformasi yang memberikan kemajuan baginya, memiliki determinasi diri,
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
motivasi, semangat yang tinggi, mampu menentukan prioritas dan mengambil tindakan untuk mewujudkan rencana dan tujuan. 2) Berorientasi pada harapan untuk sukses daripada ketakutan akan kegagalan Individu yang memiliki orientasi sukses memiliki tingkat percaya diri yang baik dan selalu yakin pada kemampuan dan potensi diri, risk taker yang baik, good decision maker, independen, selalu optimis menghadapi situasi konflik atau masalah, memiliki inisiatif dan dorongan yang kuat untuk mencoba hal baru dan mencoba kembali hal-hal yang gagal dijalani, menyukai tantangan, inovatif dan kreatif, fleksibel, berorientasi masa depan dan memiliki produktivitas dan komitmen yang tinggi terhadap tugas. 3) Kemunduran dipandang sebagai keadaan yang dapat dikendalikan daripada sebagai kekurangan diri Individu yang menghargai kegagalan dan mengendalikannya adalah individu yang menghargai pengalaman hidup sebagai bahan evaluasi bagi diri di masa depan baik kegagalan diri sendiri maupun yang dialami orang lain, mampu mengidentifikasi penyebab kegagalan, mengenali kelemahan dan kekuatan diri, memiliki dan selalu mengembangkan nilai-nilai diri yang positif, memiliki sikap mental positif, realistis terhadap keadaan dan memiliki kebiasan-kebiasan diri
yang
baik
sebagai bentuk
improvement untuk berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
self
2.2.3. Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Pembentukan
Kematangan
mempengaruhi
pembentukan
Emosional Beberapa
faktor-faktor
yang
akan
kematangan emosional pada individu diantaranya yaitu usia dan pengalaman (Service & Service, 2007), yang dijelaskan sebagai berikut : 1) Usia Seperti diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa usia yang bertambah belum tentu mempengaruhi peningkatan kematangan emosional pada seorang individu. Namun diharapkan individu yang bertambah usianya, akan menjadi individu yang lebih matang pula. Makin bertambah usia seseorang, makin baik kemampuannya dan makin luas perspektifnya dalam memandang suatu konflik atau masalah. Pertambahan usia juga menyebabkan emosi semakin terdiferensiasi dan ekspresi emosi semakin terkontrol (Brook, et. al, 1978). 2) Pengalaman Kematangan merupakan produk belajar yang hanya dapat dicapai melalui pelatihan dan pengalaman (Muss, 1968). Seseorang yang matang secara emosi, biasanya mengalami langsung beberapa peristiwa dalam proses kehidupannya untuk merangsang bangkitnya emosi (Brook, et al., 1978). Kematangan emosional juga secara otomatis dapat diperoleh dari interaksi dengan masyarakat (Muss, 1968). Pendapat ini didukung oleh pendapatpendapat lain yang menegaskan pentingnya pengaruh lingkungan fisik maupun sosial terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia secara
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
umum dan emosi secara khusus. Gubrium dan Buckholdt (1977) berpendapat bahwa pertumbuhan manusia dapat distimulasi ataupun dihambat oleh lingkungan fisik dan sosial. Sementara Havighurst dengan konsep teachable moment dan Hunt dengan konsep critical periods mengemukakan bahwa ada saat yang tepat untuk mengajarkan hal apapun, yang menekankan bahwa perkembangan manusia bukanlah suatu hamparan potensi biologis semata, tetapi juga merupakan suatu proses yang bergantung pada ketepatan paduan atau komposisi antara potensi manusia dan stimulus lingkungan (Gubrium dan Buckholdt, 1977).
2.3. Penyesuaian Sosial 2.3.1. Definisi Penyesuaian Sosial Menurut Gupta (2011) penyesuaian mempunyai dua arti. Pertama, penyesuaian diartikan sebagai proses berkelanjutan tentang bagaimana variasi perilaku individu untuk menghasilkan hubungan yang lebih harmonis antara dirinya, orang lain dan lingkungan. Kedua, penyesuaian merupakan kondisi harmonis yang diciptakan orang yang mampu beradaptasi dengan baik atau disebut dengan “well adjusted”. Menurut Sinha (2014) seseorang yang “well adjusted” adalah orang yang melibatkan diri pada tujuan yang diinginkan secara sosial dan menggunakan energi secara efektif terhadap mereka. Mahmoudi (2012) mendefinisikan penyesuaian sebagai proses yang harus melewati situasi, dimana seseorang tidak selalu mendapatkan apa yang menjadi usaha dan keinginannya. Sedangkan Weiten, Lloyd, Dunn & Hammer (2009)
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menyatakan “adjustment refers to the psychological processes through which people manage or cope with the demands and challenges of everyday live”, penyesuaian berkenaan dengan proses psikologis dimana individu mengatur dan mengatasi permintaan atau tuntutan dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan proses psikologis yang melibatkan kemampuan diri untuk mengelola dan mengatur permintaan, tuntutan atau tantangan dari dirinya dan lingkungan untuk menciptakan harmonisasi antara diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
2.3.2. Aspek-Aspek Dalam Penyesuaian Sosial Baker & Siryk (1999) menjelaskan lebih lanjut konsep penyesuaian Adjustment) sebagai “The assumption that the overall complex experience, (Adjustment) involving demands that vary in kind and degree, all of which require a variety of coping
strategies
(or
adjustments)”,
diasumsikan
sebagai
keseluruhan
pengalaman yang kompleks yang melibatkan tuntutan dengan berbagai bentuk dan tingkatan yang memerlukan berbagai bentuk penanganan (atau penyesuaian). Lingkup penyesuaian dalam lingkup sosial dihubungkan dengan berbagai aspek sosial pada lingkungan yang berkaitan dengan bagaimana menangani berbagai permintaan atau tuntuntan sosial. Baker & Siryk (1999) membagi penyesuaian sosial dalam beberapa dimensi yaitu sebagai berikut : 1) Penyesuaian secara umum (General Adjustment) Penyesuaian yang dikaitkan dengan berbagai aktivitas sosial yang dilakukan individu dalam berbagai peran sosial.
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2) Penyesuaian terhadap orang lain (Adjustment to Other People) Penyesuaian yang dikaitkan ke arah bagaimana individu mengembangkan hubungan atau relasi dengan individu lainnya pada berbagai kondisi atau situasi. 3) Nostalgia Penyesuaian yang dikaitkan dengan seberapa baik penyesuaian individu ketika melakukan perencanaan atau penataan ulang secara sosial hal-hal yang ada disekeliling individu ketika individu berada jauh dari zona nyaman. 4) Penyesuaian lingkungan sosial (Social Envinronment Adjustment Adjustment) Penyesuaian yang dikaitkan dengan pemenuhan diri individu terhadap pengalaman-pengalaman
dalam
berbagai
lingkungan
sosial
yang
dihadapinya.
2.4. Dinamika Hubungan Antara Kematangan Emosional, Penyesuaian Sosial dan Gaya Resolusi Konflik Penting bagi setiap individu mengetahui gaya resolusi konfliknya masingmasing untuk menjadi bahan evaluasi bagi diri sendiri agar terus menjadi lebih baik (Keith & Arvind, 2004). Lewis seorang ahli teori kognisi sosial (dalam Durkin, 1995) juga mengemukakan bahwa memahami diri pribadi telah menjadi tugas bagi individu sebagai dasar untuk menjadi makhluk sosial. Pemahaman terhadap diri pribadi oleh diri sendiri (own-self) merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat memahami diri pribadi orang lain (other-self) (Durkin, 1995).
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Mengetahui dan belajar mengenai gaya resolusi konflik yang dimiliki orang lain akan membantu diri sendiri mengenali saat yang tepat untuk membahas permasalahan bersama dan pendekatan apa yang harus digunakan, sehingga tidak memunculkan konflik baru dalam penyelesaiannya, konflik yang terjadi juga tidak menjadi besar dan dapat segera terselesaikan dengan baik (Keith & Arvind, 2004). Dalam situasi konflik, individu akan berada dalam kondisi yang tidak nyaman dan biasanya mengalami berbagai perasaan dan emosi, sehingga pola pikir menjadi sempit dan sulit melihat dari sudut pandang orang lain. Terkadang individu memiliki kecenderungan untuk hanya memanfaatkan informasi yang dinilai mendukung argumen dan pendapat diri sendiri. Dalam kondisi ini, dibutuhkan kematangan emosional untuk meningkatkan kecenderungan alami yang baik dalam memanfaatkan informasi. Tanpa kematangan emosional, individu tidak akan mendapatkan pengalaman yang baik dalam menyelesaikan masalah (Richards, 2004). Proses resolusi konflik yang efektif, pada umumnya dihubungkan dengan proses penyesuaian diri yang lebih baik (Tucker. et al., 2003). Berhasil tidaknya individu dalam menyesuaikan diri tergantung pada bagaimana individu menangani dan menyelesaikan konflik tersebut. Penguasaan kehidupan terutama terhadap konflik yang melibatkan dorongan, kebutuhan dan tuntutan eksternal melibatkan (Lazarus, 1976). Cooper (1988) juga mengemukakan bahwa penyesuaian diasosiasikan dengan konteks sosial yang menawarkan kemungkinan pengembangan kemampuan resolusi konflik. Hal ini merupakan proses untuk
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
secara
berkelanjutan mengembangkan kesehatan mental intrapsikis dan
interpersonal. Individu dengan kematangan emosional yang baik, memiliki penyesuaian diri yang baik pula (Mahmoudi, 2012). Kematangan emosional yang baik dan penyesuaian diri yang baik tersebut merupakan bentuk kesehatan mental intrapsikis dan interpersonal bagi seorang individu yang mendukung penyelesaian konstruktif dalam sebuah konflik atau masalah.
2.5. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang diajukan dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut : Gambar. 2.2. Gambaran Hubungan Antar Variabel
X1 : Kematangan Emosional Y: Gaya Resolusi Konflik X2 : Penyesuaian Sosial
2.6. Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1) Ada hubungan positif antara kematangan emosional dengan penyesuaian sosial pada mahasiswa Fakultas Psikologi PKK Universitas Mercu Buana
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2) Ada hubungan positif antara kematangan emosional dengan gaya resolusi konflik pada mahasiswa Fakultas Psikologi PKK Universitas Mercu Buana 3) Ada hubungan positif antara penyesuaian sosial dengan gaya resolusi konflik pada mahasiswa Fakultas Psikologi PKK Universitas Mercu Buana 4) Ada hubungan positif antara kematangan emosional dan penyesuaian sosial dengan gaya resolusi konflik pada mahasiswa Fakultas Psikologi PKK Universitas Mercu Buana
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/