II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Hasil Studi yang Relevan Ada beberapa lembaga dan peneliti yang telah melakukan penghitungan PDRB Semi Hijau dan PDRB hijau, diantaranya adalah: 1. Pada tahun anggaran 2002, Kementerian Lingkungan Hidup mencoba menyusun Buku Pedoman dan Penghitungan PDRB hijau Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam ujicoba tersebut metode yang digunakan hanya memasukkan nilai deplesi sektor hutan, sumber daya pertambangan batubara dan minyak bumi serta sumberdaya ikan ke dalam lingkungan PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 1999, 2000 dan 2001. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya penurunan Produk Domestik Regional Bruto Hijau secara drastis dari tahun 2000 hingga 2001 yaitu sebesar 283 persen dikarenakan terjadinya bencana alam kebakaran hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Departemen Kehutanan, 2007). 2. Pada tahun anggaran 2003, Kementerian Lingkungan Hidup membuat ujicoba untuk menyusun buku pedoman dan ujicoba penghitungan PDRB
Hijau
Kabupaten Karawang. Dalam ujicoba tersebut metode yang digunakan hanya memasukkan nilai deplesi sumberdaya alam pada sektor-sektor usaha yang dihitung dalam penghitungan PDRB. Setelah diketahui nilai sumberdaya alam yang dideplesi oleh masing-masing sektor perekonomian, maka nilai-nilai deplesi tersebut dimasukkan dalam tabel nilai sumbangan terhadap PDRB konvensional yang telah ada, kemudian nilai sumbangan masing-masing sub-sektor dan nilai sumbangan sektor yang bersangkutan pada PDRB dikurangi dengan nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
deplesi. Hasil pengurangan tersebut menghasilkan nilai PDRB hijauKabupaten Kerawang tahun 2001 yang nilainya terkoreksi 8,23 persen dari PDRB konvensional (Retnaningsih et al, 2006). 3. Made Suyana Utama melakukan penghitungan PDRB hijau pada Sektor Kehutanan di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali tahun 2000-2006. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 nilai kontribusi sektor Kehutanan terhadap PDRB konvensional Kabupaten Karangasem berturut-turut yaitu: Rp 94,35 juta, Rp 99,53 juta, dan Rp 110,22 juta. Sedangkan nilai kontribusi hijau Sektor Kehutanan terhadap PDRB berturut-turut dari Rp 54,83 juta, Rp 75,86 juta, dan negatif Rp 46,64 juta. Nilai negatif kontribusi hijau Sektor Kehutanan terhadap PDRB berarti nilai manfaat yang diciptakan oleh Sektor Kehutanan sebagaimana dilaporkan pada PDRB Konvensional Kabupaten Karangasem lebih kecil daripada modal alami yang dikorbankan karena terdeplesi dan terdegradasi (Utama, 2009). 4. Robert Repetto membuat studi di Indonesia, dengan memasukkan atau memperhitungkan pertumbuhan alami sumberdaya hutan dan penebangan serta kerusakannya, penemuan sumur minyak baru dan pengambilan (deplesi) sumberdaya minyak, hilangnya sumberdaya tanah karena erosi, disimpulkan bahwa nilai Produk Domestik Brutto hanya tambah 4 persen pertahun dan bukannya 7 persen pertahun antara tahun 1970-1984 (Suparmoko, 2008). 5. Lembaga penelitian ekonomi manjemen Universitas Indonesia bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional membuat kajian tentang PDB hijau Indonesia tahun 1998, dan menemukan bahwa deplesi sumberdaya alam dan
Universitas Sumatera Utara
degradasi lingkungan hanya memperkecil angka PDB sebesar 5 persen (Suparmoko, 2008). 6. Murjanamelakukan studi tentang ekonomi hijau, produksi bersih dan ekonomi kreatif di Provinsi Bali pada tahun 2010, menyimpulkan bahwa dalam penyelamatan lingkungan perlu disikapi khususnya terkait dengan persoalan eksternalitas, dan sifat kepemilikan barang. Menginternalkan biaya eksternalitas dapat menjadi solusi. Kinerja ekonomi hijau ini dapat diukur melalui pendekatan PDRB hijau. Konsekuensinya adalah dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan melambat, tetapi dalam jangka panjang akan sangat sejalan dengan kesadaran akan pentingnya peningkatan kualitas lingkungan, dan pertumbuhhan ekonomi akan meningkat (Murjana, 2010). 7. Suryanto melakukan studi tentang produk domestik bruto untuk pembangunan berkelanjutan, menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan produk domestik brutto hijau memiliki konsekuensi ekonomi yang rendah sejak dikoreksi oleh kendala lingkungan. Namun, kulitas lingkungan yang meningkat akan memberi harapan bagi manusia untuk hidup berkelanjutan. Biaya recovery yang dibutuhkan rendah dan bahkan pada tingkat 0 karena biaya recovery sudah diperhitungkan sebagai biaya pertahun dalam produk domestik bruto hijau (Suryanto, 2009).
2.2 PDRB Konvensional Produk Domestik Regional Bruto pada dasarnya adalah jumlah nilai tambah atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
Universitas Sumatera Utara
kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah/daerah pada periode tertentu.PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2010). PDRB disusun tiap tahun dan diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota.PDRB yang selama ini dihitung atau disebut sebagai PDRB konvensional (cokelat) karena hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut sebagai PDRB hijau karena PDRB hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis (Utama, 2009).
2.3 PDRB Hijau Secara sederhana, PDRB hijau diartikan sebagai PDRB yang dihitung dengan memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan atau nilai PDRB konvensional dikurangi dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan nilai degradasi
lingkungan.PDRB
hijau
dapat
dimanfaatkan
sebagai
perangkat
perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih lengkap (Departemen Kehutanan, 2007).Sehingga nilai-nilai yang ada di dalam PDRB hijau
Universitas Sumatera Utara
benar-benar akan mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah. Untuk lebih memahami perbedaan antara PDRB dengan PDRB hijau, berikut ini pengertian beberapa istilah yang sering digunakan. 1. Produk Domestik Bruto adalah jumlah seluruh barang dan jasa setelah dikurangi dengan input antara (bahan-bahan produksi) masing-masing; yang dihasilkan selama satu tahun dinilai menurut harga pasar untuk suatu negara. 2. Produk Domestik Regional Bruto adalah seluruh barang dan jasa setelah dikurangi dengan input antara (bahan-bahan produksi) masing-masing; yang dihasilkan selama satu tahun dinilai menurut harga pasar untuk seluruh regional (provinsi, kabupaten dan kota) atau nilai PDB untuk tingkat daerah provinsi, kabupaten atau kota. 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) cokelat atau PDRB konvensional adalah Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung secara konvensional belum memasukkan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. 4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hijau adalah Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan; atau nilai PDRB konvensional dikurangi dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan nilai degradasi lingkungan. 5. Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau adalah Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan mengurangi nilai PDRB konvensional dengan nilai deplesi sumberdaya alam saja.
Universitas Sumatera Utara
6. Deplesi adalah menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan, pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam. 7. Degradasi adalah kerusakan lingkungan yang merupakan penurunan kualitas lingkungan alami.
2.4 Biaya Eksternalitas Eksternalitas didefinisikan sebagai suatu kasus dimana perbuatan suatu agen ekonomi mempengaruhi utilitas atau kemungkinan produksi agen lainnya yang tidak direfleksikan dalam mekanisme pasar (Just et al. 1982).Eksternalitas merupakan fenomena yang signifikan dan mendalam dalam masyarakat modern. Eksternalitas hanya terjadi apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain (atau segolongan orang lain) tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi(Pogue and Sgontz, 1978). Fauzi (2004) mengartikan eksternalitas sebagai dampak kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak yang mempengaruhi utilitas pihak lain secara tidak diinginkan. Sedangkan Hidayat (2007) mengartikan eksternalitas sebagai dampak suatu kegiatan yang dirasakan baik oleh pihak penghasil dampak tersebut maupun pihak lain yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kegiatan yang menimbulkan dampak tersebut. Namun dampak tersebut tidak memiliki harga apabila penghasil maupun penerima dampak tidak merasa memilikinya Menurut Just et al. (1982), pengaruh eksternal sering dikelompokkan dalam pengaruh konsumen pada konsumen, produsen pada produsen, produsen pada konsumen atau konsumen pada produsen. Sedangkan dari sisi biaya, biaya
Universitas Sumatera Utara
eksternalitas dapat berbentuk polusi (air, udara, tanah dan suara) atau dalam bentuk ketidaksenangan lainnya. Bahkan sebuah studi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, biaya-biaya ketidaksenangan masyarakat kota dalam bentuk polusi, sampah atau kotoran, kemacetan, kegaduhan dan lainnya, diperkirakan sebesar 8% dari pendapatan wajar (disposible income) rata-rata suatu keluarga (Pogue and Sgontz, 1978). Menurut Mangkoesoebroto (2001), dalam perekonomian terdapat empat kemungkinan eksternalitas yaitu: 1.
Konsumen-konsumen, yaitu tindakan seorang konsumen yang menimbulkan eksternalitas bagi konsumen lain.
2.
Kosumen-produsen, yaitu tindakan seorang konsumen yang menimbulkan eksternalitas terhadap produsen.
3.
Produsen-konsumen yaitu tindakan produsen yang menimbulkan eksternalitas bagi konsumen.
4.
Produsen-produsen yaitu tindakan produsen yang menyebabkan eksternalitas terhadap produsen lain. Pihak yang melakukan Aktifitas
Pihak yang menerima Eksternalitas 1
Konsumen
Konsumen 3
2
Produsen
Produsen 4 Gambar2.1. Karakteristik eksternalitas
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar diatas ada dua syarat terjadinya eksternalitas yaitu: 1.
Adanya pengaruh dari suatu tindakan.
2.
Tidak adanya kompensasi yang dibayarkan atau diterima. Ditinjau dari dampaknya, ekternalitas dapat dibagi dua yaitu eksternalitas negatif dan
eksternalitas positif. Yang dimaksud dengan eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif apabila dampaknya bagi orang lain yang tidak menerima kompensasi sifatnya merugikan. Dalam hal adanya eksternalitas suatu aktifitas, maka akan timbul inefisiensi. Inefisiensi akan timbul apabila tindakan seseorang mempengaruhi orang lain dan tidak tercermin dalam sistem harga (Mangkoesoebroto, 2001)
Dari sejumlah definisi yang dikemukakan di atas, eksternalitas dapat dikelompokkan menjadi eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Dikatakan eksternalitas positif jika penerima menganggapnya sebagai sesuatu yang bermanfaat, dan negatif jika dianggap merugikan. 2.4.1 Eksternalitas Positif Dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan. Sebagai contoh adalah keberadaan kebun buah Mekar Sari di Kabupaten Bogor.Keberadaan kebun tersebut telah memberikan kesegaran udara bagi masyarakat disekitarnya, meskipun tidak membayar untuk pemeliharaan kebun buah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Eksternalitas Negatif Dampak yang merugikan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Sebagai contoh, misalkan seorang pengusaha (pemilik) pabrik membuang limbah ke sungai dan menyebabkan orang-orang yang menggunakan air sungai menjadi sakit. Dalam menentukan harga barang hasil produksinya, pengusaha tersebut tidak memasukkan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat pemakai air sungai untuk pengobatan, sehingga bagi seluruh masyarakat tidak tercapai suatu tingkat efisiensi yang optimum (Mangkoesoebroto, 1999). Suatu
ketidakkonsistenan
antara teori ekonomi dengan
penanganan
lingkungan adalah kondisi perekonomian yang disebut dengan kondisi eksternalitas. Dalam teori ekonomi pasar, produsen harus membayar semua biaya material dan jasa yang digunakan untuk memproduksi output termasuk pembuangan limbah. Secara sama konsumen yang membeli barang tersebut juga membayar semua biaya tersebut termasuk pembuangan limbah.Kondisi pelaku ekonomi yang tidak mau membayar biaya eksternalitas tersebut karena produsen dan konsumen dapat membuat keputusan tanpa harus membayarnya.Secara teknis, eksternalitas dapat diartikan sebagai efek dari pelaku ekonomi dan lainya yang tidak terkontrol oleh operasi pasar (Suparmoko dan Maria, 2000).Para ahli lingkungan memilih untuk tidak menjual “hak untuk membuat polusi” dan memilih untuk melarang penciptaan polusi.Produsen dan konsumenlah yang harus bertanggung jawab terhadap polusi, dan harus menanggung
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan biaya dari perbuatan mereka, dengan argumen bahwa hal tersebut dapat merusak ekonomi dan kenyamanan individu. Dalam ilmu ekonomi lingkungan, dampak lingkungan merupakan salah satu bentukdari eksternalitas yang merugikan. Secara umum eksternalitas merupakan suatu efek samping dari aktivitas pihak tertentu terhadap pihak lain yang dapat menguntungkan maupun merugikan. Dampak yang menguntungkan misalnya pembuatan lokasi wisata yang memberikan pemandangan yang indah bagi orang sekitarnya.Sedangkan
dampak
negatif
misalnya
polusi
udara,
air
dan
suara.Eksternalitas mengakibatkan alokasi sumber daya tidak efisien sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk mengambil kebijakan.Biaya eksternal pembangkit listrik menyatakan nilai moneter dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari pembangkit listrik.Biaya eksternal pembangkit listrik ini merupakan biaya yang ditanggung masyarakat dan lingkungan yang tidak masuk dalam perhitungan baik produsen maupun konsumen tenaga listrik.Kontribusi terbesar dari biaya eksternal pembangkit listrik adalah pada saat pembangkitan yang berupa dampak polusi udara terhadap kesehatan. Biaya eksternal pembangkit listrik Suralaya diprakirakan ratarata sebesar 0,65 cents$/kWh. Dengan adanya biaya eksternal maka biaya pembangkitan akan meningkat sekitar 15% (Sugiyono, 2005). Untuk meminimalisir dampak eksternalitas negatif, pemerintah membuat kebijakan CSR (corporate social responsibility) yang diatur dalam UU No. 40 tahun 2007 pasal 74.
Universitas Sumatera Utara
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah Selanjutnya untuk menentukan besarnya bagi hasil yang harus diberikan perusahaan untuk perbaikan lingkungan, diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.Dalam UU tersebut disebutkan bahwa jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina Lingkungan (CSR).
2.5 Pengertian Hotel Hotel berasal dari kata hostel, konon diambil dari bahasa Prancis kuno.Bangunan publik ini sudah disebut-sebut sejak akhir abad ke-17.Maknanya kira-kira, “tempat penampungan buat pendatang” atau bisa juga “bangunan penyedia pondokan dan makanan untuk umum”.Jadi, pada mulanya hotel memang diciptakan
Universitas Sumatera Utara
untuk melayani masyarakat. Di Indonesia, kata hotel selalu dikonotasikan sebagai bangunan penginapan yang cukup mahal. Umumnya di Indonesia dikenal hotel berbintang, hotel melati yang tarifnya cukup terjangkau namun hanya menyediakan tempat menginap dan sarapan pagi, serta guest house baik yang dikelola sebagai usaha swasta (seperti halnya hotel melati) ataupun mess yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan sebagai tempat menginap bagi para tamu yang ada kaitannya dengan
kegiatan
atau
urusan
perusahaan
(Sumber:
http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2009/07/pengantar-perhotelan-definisi-hotel.html). Selain kedua pengertian diatas, ada beberapa pengertian hotel yang didefinisikan oleh instansi pemerintah maupun perorangan, diantaranya adalah: 1. Menurut Dirjen Pariwisata Depparpostel: Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan, untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum, serta jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersial. 2. Menurut Surat Keputusan Menteri Perhubungan R.I No. PM 10/PW – 301/Phb. 77, tanggal 12 Desember 1977: Hotel adalah suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara komersial, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan penginapan, berikut makan dan minum. Menurut Webster, hotel adalah suatu bangunan atau suatu lembaga yang menyediakan kamar untuk menginap, makan dan minum serta pelayanan lainnya untuk umum. 3. Endar Sri mendefinisikan hotel senbagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Bangunan yang dikelola secara komersil dengan memberikan fasilitas penginapan untuk masyarakat umum dengan fasilitas sebagai berikut: a. Jasa penginapan b. Pelayanan makanan dan minuman c. Pelayanan barang bawaan d. Pencucian pakaian e. Penggunaan fasilitas perabot dan hiasan-hiasan yang ada di dalamnya 4. Menurut Lawson (1976) hotel adalah sarana tempat tinggal umum untuk wisatawan dengan memberikan pelayanan jasa kamar, penyedia makanan dan minuman serta akomodasi dengan syarat pembayaran. 2.5.1 Karakteristik Hotel Perbedaan antara hotel dengan industri lainnya adalah : 1. Industri hotel tergolong industri yang padat modal serta padat karya yang artinya dalam pengelolaannya memerlukan modal usaha yang besar dengan tenaga pekerja yang banyak pula. 2. Dipengaruhi oleh keadaan dan perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan dimana hotel tersebut berada. 3. Menghasilkan dan memasarkan produknya bersamaan dengan tempat dimana jasa pelayanannya dihasilkan. 4. Beroperasi selama 24 jam sehari, tanpa adanya hari libur dalam pelayanan jasa terhadap pelanggan hotel dan masyarakat pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
5. Memperlakukan pelanggan seperti raja selain juga memperlakukan pelanggan sebagai patner dalam usaha karena jasa pelayanan hotel sangat tergantung pada banyaknya pelanggan yang menggunakan fasilitas hotel tersebut. 2.5.2 Klasifikasi Hotel Penentuan jenis hotel tidak terlepas dari kebutuhan pelanggan dan ciri atau sifat khas yang dimiliki wisatawan (Tarmoezi, 2000). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat dari lokasi dimana hotel tersebut dibangun, sehingga dikelompokkan menjadi: 1. City Hotel Hotel yang berlokasi di perkotaan, biasanya diperuntukkan bagi masyarakat yang bermaksud untuk tinggal sementara (dalam jangka waktu pendek).City Hotel disebut juga sebagai transit hotel karena biasanya dihuni oleh para pelaku bisnis yang memanfaatkan fasilitas dan pelayanan bisnis yang disediakan oleh hotel tersebut.
2. Residential Hotel Hotel yang berlokasi di daerah pinggiran kota besar yang jauh dari keramaian kota, tetapi mudah mencapai tempat-tempat kegiatan usaha. Hotel ini berlokasi di daerah- daerah tenang, terutama karena diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin tinggal dalam jangka waktu lama. Dengan sendirinya hotel ini diperlengkapi dengan fasilitas tempat tinggal yang lengkap untuk seluruh anggota keluarga. 3. Resort Hotel Hotel yang berlokasi di daerah pengunungan (mountain hotel) atau di tepi pantai (beach hotel), di tepi danau atau di tepi aliran sungai.Hotel seperti ini terutama
Universitas Sumatera Utara
diperuntukkan bagi keluarga yang ingin beristirahat pada hari-hari libur atau bagi mereka yang ingin berekreasi.
4. Motel (Motor Hotel) Hotel yang berlokasi di pinggiran atau di sepanjang jalan raya yang menghubungan satu kota dengan kota besar lainnya, atau di pinggiran jalan raya dekat dengan pintu gerbang atau batas kota besar. Hotel ini diperuntukkan sebagai tempat istirahat sementara bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum atau mobil sendiri.Oleh karena itu hotel ini menyediakan fasilitas garasi untuk mobil. Sedangkan apabila ditinjau dari segi jumlah kamar hotel maka hotel dapat dibedakan menjadi (Tarmoezi, 2000): 1. Small Hotel Jumlah kamar yang tersedia maksimal sebanyak 28 kamar. 2. Medium Hotel Jumlah kamar yang disediakan antara 28- 299 kamar.
3. Large Hotel Jumlah kamar yang disediakan sebanyak lebih dari 300 kamar. Klasifikasi hotel yang terakhir adalah klasifikasi hotel menurut keputusan Direktorat Jendral Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. 22/U/VI/1978 tanggal 12 Juni 1978 (Tarmoezi, 2000). Berdasarkan keputusan tersebut, klasifikasi hotel dibedakan dengan menggunakan simbol bintang antara 1-5.Semakin banyak bintang
Universitas Sumatera Utara
yang dimiliki suatu hotel, semakin berkualitas hotel tersebut. Penilaian dilakukan selama 3 tahun sekali dengan tatacara serta penetapannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Pariwisata 2.5.3 Konsep Green Hotel Green Hotel adalah sebuah konsep hotel yang berwawasan lingkungan dimana para manajer mempunyai keinginan yang kuat untuk menyusun programprogram yang akan menghemat air, energi dan mengurangi limbah dalam rangka melindungi satu-satunya bumi kita (Sumber:
[email protected]). Selain itu, ada tujuan yang lebih mulia yaitu menjaga agar bumi tetap seimbang, aman dan nyaman dihuni, hingga akhirnya efek global warming dapat diminimalisir. Penerapan konsep green hotel telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi pengeluaran hotel.Hotel Aston Braga Bandung misalnya, setelah menerapkan konsep green hotel, hotel ini mampu menghemat pengeluaran sebesar 20 persen dengan cara melakukan penghematan energi listrik dan penghematan air. Dalam 7 bulan pertama penerapan konsep tersebut, hotel Aston Braga Bandung telah mampu menghemat pengeluaran sekitar 14.500 US$ atau setara dengan 145 juta rupiah. Hal yang sama juga dialami oleh hotel Holiday Inn yang terletak di jalan Juanda Bandung. Setelah menerapakan konsep green hotel, hotel ini mampu menghemat pengeluaran sampai dengan 8 persen dari total pengeluaran sebelumnya. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan penghematan terhadap jumlah listrik , gas dan minyak yang digunakan hotel (Sumber:http://www.thejakartapost.com/news /2009/12/09/hotels-reap-%E2%80%98green-concept %E2% 80% 99-benefits.html).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Limbah Menurut Mahida (1993) limbah adalah buangan cair yang berasal dari suatu lingkungan masyarakat , baik domestik, perdagangan, maupun industri, dengan komponen utamanya adalah air yang telah digunakan. Tchobanoglous (1991), membagi limbah berdasarkan asalnya menjadi empat yaitu limbah rumah tangga (domestic waste), limbah industri (industrial waste), rembesan air tanah lewat saluran dan luapan air hujan. Limbah cair domestik adalah limbah yang mencakup keseluruhan buangan ke dalam saluran pembuangan yang berasal dari rumah tangga, termasuk didalamnya limbah industri kecil. Limbah rumah tangga dimaksudkan sebagai buangan yang berasal dari rumah tangga, kantor, hotel, restoran, pertokoan, tempat ibadah, pelabuhan dan rumah sakit serta tidak berasal dari industri (Hardjosoemantri, 1993). Oleh karena itu limbah hotel yang menjadi objek penelitian ini termasuk ke dalam katagori limbah domestik. Limbah mengandung benda-benda padat yang terdiri dari bahan organik dan anorganik.Bahan organik pada limbah umumnya terdiri dari senyawa-senyawa nitrogen, karbohidrat, lemak dan sabun (Mahida, 1993).Bahan-bahan pencemar yang terkandung didalam limbah, sangat tergantung dari karakteristik dan jenis sumber penghasil limbah tersebut.Secara umum karakteristik bahan pencemar dibedakan menjadi tiga, yaitu karakteristik fisik, kimia dan biologis.Bahan pencemar yang terdapat pada limbah dapat berupa bahan terapung, bahan padatan tersuspensi dan bahan padat terlarut.Selain itu limbah juga mungkin mengandung mikroorganisme,
Universitas Sumatera Utara
seperti bakteri, virus dan protozoa, sehingga menjadi media yang sangat baik untuk pembiakan jasad-jasad renik.
2.7 Limbah Hotel Volume limbah yang dihasilkan oleh suatu komunitas seperti hotel, biasanya dikaitkan dengan konsumsi air bersih dari komunitas tersebut. Air digunakan oleh hotel untuk berbagai keperluan, antara lain: (1)untuk minum dan berbagai kebutuhan untuk masakan, (2) mencuci, mandi dan binatu, (3) membersihkan jendela, tembok dan lantai, (4) pemanas dan AC, (5) menyiram rumput dan kebun, (6) mencuci kendaraan dan penyiraman jalan, (7) mengisi kolam renang, (8) membuat air mancur dan air terjun kecil, riam dan jeram, (9) memproduksi uap panas, (10) membantu sejumlah proses produksi, (11) menggelontorkan limbah hotel ke dalam saluran pembuangan limbah (Fair, J.C. et al. 1968). Volume limbah yang dihasilkan perkapita sangat bervariasi, tergantung dari sikap dan kebiasaan makan, minum, mencuci dan kebiasaan hidup lainnya.Pada umumnya semakin tinggi standar hidup masyarakat, semakin banyak limbah yang dihasilkan (Dajajadiningrat S. 1991).Air limbah yang berasal dari tamu hotel rata-rata 190 liter/tamu/hari dan dari para pekerja hotel rata-rata 40 liter/pekerja/hari (Metcalf and Eddy dalam Pandia S. A. Husin Z. Masyitah, 1995).Di Indonesia sekitar 40-80 % dari jumlah air yang dimanfaatkan akan kembali kelingkungan sebagai air buangan (Slamet, 1996). Pendapat lain menyebutkan bahwa limbah yang dihasilkan oleh suatu komunitas adalah 60 – 70 % dari total konsumsi air minum atau air bersih yang digunakan oleh komunitas tersebut (Fair, et al. 1968).
Universitas Sumatera Utara
Limbah yang dihasilkan dari berbagi kegiatan di hotel dapat mengandung bermacam-macam bahan pencemar seperti sabun dan deterjen, dan berbagai jenis mikroorganisme. Selain itu bahan buangan tersebut mengandung ekskreta, yakni tinja dan urine manusia.Bahan-bahan tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan karena banyak mengandung kuman pathogen (Slamet, 1996). Apabila limbah tesebut tidak ditangani dengan baik dan tepat akan dapat menimbulkan berbagai gangguan pada lingkungan maupun pada kehidupan yang ada. Gangguan tersebut diantaranya berupa: 1. Gangguan kesehatan Limbah dapat menjadi media yang sangat baik untuk menyebarkan berbagai jenis penyakit.Beberapa jenis penyakit menular yang disebarkan melalui limbah berasal dari jenis mikroba seperti virus, bakteri, protozoa dan metazoa.Penyakitpenyakit tersebut dapat menyebar apabila mikroba penyebabnya masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Slamet, 1996). 2. Gangguan terhadap kehidupan biotik Bahan organik yang terkandung pada limbah yang masuk ke dalam suatu badan perairan, perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena dapat mengancam kehidupan biologis pada badan air tersebut. Kandungan bahan organik yang tinggi memungkinkan terjadinya proses oksidasi oleh mikroorganisme yang ada di dalam badan air. Proses ini akan memanfaatkan oksigen terlarut dalam badan air, sehingga ketersediaanya berkurang. Hal ini dapat membawa bahaya kematian makhluk hidup
Universitas Sumatera Utara
di perairan tersebut.Kematian organisme di dalam air bisa juga disebabkan oleh naiknya suhu air tersebut karena pembuangan limbah panas. 3. Gangguan Estetika Pembusukan bahan organik yang ada dalam limbah menyebabkan warna limbah menjadi cokelat kehitam-hitaman dan menimbulkan bau tidak sedap.Hal tesebut disamping menimbulkan gangguan pernafasan juga sangat merusak pemandangan.
4. Kerusakan Benda Limbah dapat mempercepat proses terjadinya karat pada benda yang terbuat dari besi, sehingga menimbulkan kerusakan pada benda tersebut. Demikian juga limbah yang mengandung lemak akan menempel pada benda yang dilaluinya dan dapat menyumbat jalannya limbah tersebut menuju ke tempat pembuangan (Sugiharto, 1987).
2.8 Sumber Air Hotel Sumber air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari selama ini berasal dari air tanah, air permukaan (sungai, waduk, danau, dan sebagainya), air hujan, sebagian kecil dari air laut serta dari penyedia air bersih (PDAM, pengusaha air dan sebagainya). Akan tetapi dari semua sumber tersebut, pada kenyataannya pengambilan air lebih banyak berasal dari sumber air tanah.Sumber air tanah mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sumberdaya air lainnya, diantaranya air tanah yang didapat umumnya bersih, mudah didapat, pengambilan tidak memerlukan
Universitas Sumatera Utara
tempat yang luas, dan pembiayaan untuk mendapatkannya relatif lebih murah.Dari dasar itulah terlebih lagi kurangnya penyediaan air bersih oleh pihak penyedia, air tanah menjadi pilihan utama dalam penyediaan kebutuhan air sehari-hari. Data yang ada menunjukkan 80% kebutuhan air bersih masyarakat di Indonesia berasal dari air tanah,
terlebih
di
daerah
urban,
pusat
industri
dan
pemukiman
yang
perkembangannya cukup pesat, pemasok kebutuhan air bersih mencapai 90% berasal dari air tanah (Djaendi, 2003). Air adalah unsur kehidupan yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Air bawah tanah (ABT) merupakan sumber air tawar terbesar yang dieksploitasi manusia, sehingga untuk mencukupi kebutuhan akan air yang meningkat, manusia selalu mencari sumber-sumber ABT yang baru (Hendrayana dan Putra, 1998). Meningkatnya kebutuhan air bukan saja disebabkan oleh jumlah manusia yang semakin meningkat, akan tetapi juga disebabkan oleh peningkatan taraf hidup manusia yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, industri dan rekreasi disamping kebutuhan air untuk pertanian (Achmad, 2004). Perembesan air laut menjadi persoalan yang serius akibat penggunaan air bawah tanah di daerah pemukiman di kota-kota besar dekat pantai seperti Jakarta, Semarang dan Medan.Di Jakarta misalnya, persoalan ini terus berlangsung dan semakin menjadi berat sehingga harus segera dicarikan pemecahannya. Pengambilan air bawah tanah secara besar-besaran telah mengakibatkan intrusi air laut seperti yang terjadi di Medan, Jakarta, Cilegon, Pantai Utara Jawa Barat, Pantai Utara Jawa Tengah, Semarang dan Denpasar (Soekardi, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Persoalan intrusi air laut di Medan semakin diperparah oleh banyaknya pihak swasta yang menggunakan air bawah tanah tanpa memiliki izin.Maraknya pengguna air bawah tanah yang tidak memiliki izin tersebut disebabkan lemahnya pengawasan dari Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Kepala BPPT (Badan Pelayanan Perizinan Terpadu) Kota Medan Wiriya Al Rahman menyebutkan bahwa pihaknya sejak tahun 2010 - Maret 2011 hanya mengeluarkan izin penggunaan air bawah tanah sebanyak 47 perusahaan yakni izin pengeboran dan izin pemanfaatan. Jumlah ini sangat tidak masuk akal mengingat puluhan ribu pelaku usaha di Medan yang diprediksikan memanfaatkan air dari sumur bor.Selain merusak kualitas air tanah, maraknya pembuatan sumur bor dalam dapat merusak lingkungan, seperti menurunkan permukaan air tanah, menyebabkan tanah ambles, dan penyusupan (intrusi) air laut. Peristiwa amblesnya Jalan RE Martadinata di Ancol, Tanjung Priok, pada bulan September 2010, merupakan salah satu fenomena betapa dahsyatnya intrusi air laut (http://indonesiacompanynews .wordpress.com/2011 /01/page/21/). Bertolak dari hal-hal tersebut diatas, untuk mengatasi dan agar tidak terjadi lebih meluas lagi ke daerah lain, maka sangat diperlukan pengelolaan air tanah secara seksama dan pemanfaatan yang efisien dan efektif, dilandasi asas kemanfaatan, keseimbangan, dan kelestarian guna menjaga kesinambungan ketersediaannya dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
2.9 Pencemaran Air Hotel Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan normalnya.Jadi pencemaran air tanah adalah suatu keadaan air tersebut telah mengalami
Universitas Sumatera Utara
penyimpangan dari keadaan normalnya. Keadaan normal air masih tergantung pada faktor penentu, yaitu kegunaan air itu sendiri dan asal sumber air (Wardhana, 1995). Menurut Harmayani (2007) pencemar air dapat menentukan indikator yang terjadi pada air lingkungan. Pencemar air dikelompokkan sebagai berikut: 1. Bahan buangan organik Bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga hal ini dapat mengakibatkan semakin berkembangnya mikroorganisme dan mikroba patogen pun ikut juga berkembang biak di mana hal ini dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. 2. Bahan buangan anorganik Bahan buangan anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan anorganik ini masuk ke air lingkungan maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam di dalam air, sehingga hal ini dapat mengakibatkan air menjadi bersifat sadah karena mengandung ion kalsium (Ca) dan ion magnesium (Mg). Selain itu ion-ion tersebut dapat bersifat racun seperti timbal (Pb), arsen (As) dan air raksa (Hg) yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. 3. Bahan buangan zat kimia Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya seperti bahan pencemar air yang berupa sabun, bahan pemberantas hama, zat warna kimia, larutan penyamak kulit dan zat radioaktif. Zat kimia ini di air lingkungan merupakan racun yang mengganggu dan dapat mematikan hewan air, tanaman air dan mungkin juga manusia.
Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Sumber Limbah Cair Hotel Air limbah (wastewater) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga, dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan, serta buangan lainya. Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm atau miligram per liter ( mg/l ) yang diperlukan untuk mengurai benda organik oleh bakteri, sehingga limbah tersebut menjadi jernih kembali. Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm atau miligram per liter yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk mengurai benda oksigen secara kimiawi. Total Suspended Solid (TSS) merupakan jumlah berat dalam miligram per liter lumpur yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto,1987). Untuk
daerah
perumahan
yang
kecil
aliran
air
limbah,
biasanya
diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata per orang dalam membuang air limbah. Besarnya rata-rata air limbah yang berasal dari daerah hunian adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Rata-rata aliran air limbah dari daerah pemukiman Jumlah limbah per orang per hari(liter) Antara Rata – rata
No.
Sumber
Satuan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1. 2. 3.
Apartemen Hotel, penghuni tetap Tempat tinggal keluarga: Rumah pada umumnya Rumah yang lebih baik Rumah mewah Rumah agak modern Rumah pondok Rumah gandengan
orang orang
200 – 300 150 – 220
260 190
orang orang orang orang orang orang
190 – 350 250 – 400 300 – 550 100 – 250 100 – 240 120 - 200
280 310 380 200 190 150
4.
Sumber: Metcalf dan Eddy, 1999.
Limbah cair perhotelan adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Sumber limbah cair perhotelan tersebut antara lain: 1. Limbah dari kamar mandi dan toilet 2. Limbah dari kegiatan di dapur/restaurant 3. Limbah dari kegiatan pencucian/laundry 4. Limbah dari fasilitas kolam renang Jumlah limbah yang dihasilkan dari kegiatan perhotelan tergantung dari jumlah kamar yang ada dan tingkat huniannya.Disamping itu juga dipengaruhi oleh fasilitas tambahan yang ada di hotel tersebut (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004). Limbah perhotelan pada umumnya mempunyai sifat-sifat berikut: 1. Senyawa fisik; berwarna dan mengandung padatan
Universitas Sumatera Utara
2. Senyawa kimia organik; mengandung karbohidrat, minyak dan lemak, protein, serta mengandung unsur surfactant seperti detergen dan sabun. 3. Senyawa kimia organik; seperti Alkalinity, Khloride, Nitrogen, Phospor dan Sulfur. 4. Unsur Biologi; mengandung protista dan virus. Menurut Morimura dan Soufyan (2009), standar pemakaian air untuk hotel adalah 250-300 liter per tamu per hari, dan untuk karyawan adalah 120-150 liter per karyawan per hari.Biasanya karyawan yang masuk dibagi dalam 3 (tiga) shift kerja, sehingga misalkan jumlah seluruh karyawan 120 orang, maka rata-rata setiap shift adalah 40 orang.Dengan demikian jumlah pemakaian air untuk karyawan dihitung untuk 40 orang x jumlah pemakaian air setiap hari (120-150 liter/hari).
2.9.2 Baku Mutu Limbah Cair Perhotelan Untuk menentukan sistem pengolahan limbah diperlukan pemilihan teknologi yang tepat, agar biaya investasi IPAL murah. Disamping itu, biaya operasional IPAL nantinya juga harus murah, namun harus dapat memberikan hasil olahan yang memenuhi baku mutu limbah buangan sesuai dengan baku mutu limbah buangan yang berlaku. Baku mutu limbah cair hotel adalah batas maksimum limbah cair yang dibolehkan dibuang ke lingkungan.Baku mutu limbah cair perhotelan telah ditetapkan dengan Kep.Men. LH No.: KEP-52/MENLH/10/1995 tentang “Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel” tanggal 23 Oktober 1995.
Universitas Sumatera Utara
Fair, Geyer dan Okun (1966) dalam Mardani (1989) menyatakan bahwa penelitian terhadap kualitas air, tidak semua parameter dari sifat-sifat air harus diteliti. Hal ini sangat tergantung dari tujuan penelitian tersebut.Selain itu juga ditekankan terhadap parameter yang berhubungan dengan keamanan, penerimaan dan fungsi perairan tersebut. Pada umumnya penelitian tentang kualitas air bersih maupun kualitas pengolahan air limbah selalu berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang: Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 52 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair dalam menentukan variabel-variabel yang akan dipilih. Sundra (2006) melakukan penelitian terhadap kualitas air bawah tanah di wilayah pesisir Kabupaten Badung pada bulan Pebruari dan Mei 2006. Lokasi yang diteliti berada pada 6 lokasi penelitian yaitu air tanah Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kuta, Legian, Canggu dan Peti Tenget, dengan metode purposive sampling. Variabel yang diteliti meliputi parameter fisika (suhu, keruhan), kimia (pH, DO, BOD, COD, dll) dan bakteriologi (Bakteri Coliform dan Bakteri Fecal Coli). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 20 parameter yang diteliti ternyata ada 6 parameter (TDS, nitrit, kesadahan, fosfat, BOD dan COD) telah melampaui bakumutu air kelas 1 sesuai Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001. Berdasarkan status mutu air dapat ditetapkan air tanah Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Legian termasuk tercemar berat, sedangkan air tanah Kuta, Canggu dan Peti Tenget termasuk tercemar sedang. Susilawati (2010) melakukan penelitian tentang pemurnian air dengan menggunakan Metode Elektrokoagulasi. Metode Elektrokoagulasi telah banyak digunakan untuk pengolahan/ pemurnian air (air limbah, air sungai maupun air
Universitas Sumatera Utara
gambut). Lokasi penelitian terletak di desa Hutabalang Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Hasil uji coba dengan menggunakan metode elektrokoagulasi model menunjukkan bahwa terdapat kenaikan pH yang mendekati netral dan penurunan warna, turbidity, COD, BOD, total organik dan kandungan logam Al, Fe, Mn, Zn, Cd dan Cu yang cukup signifikan. Penelitian tentang kulitas air juga dilakukan oleh Yani (2002) yang melakukan penelitian tentang hubungan kualitas air dengan kegiatan penduduk di Sungai Somber (Balikpapan). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kegiatan rumah tangga di sekitar Sungai Somber telah menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut (DO) saat surut Sungai Somber, kegiatan penduduk telah meningkatkan kandungan BOD (menurunkan kualitas air) dan saat air surut, pencemaran Sungai Somber ditandai oleh tingginya kandungan COD. Dalam menentukan jumlah limbah yang dihasilkan didasarkan dari pemakaian air yang berpotensi menjadi limbah. Untuk keperluan domestik, pada umumnya jumlah limbahnya sebesar 80-90% dari pemakaian air yang berpotensi menjadi limbah (Sutiyono, 2009). 2.9.3 Proses Pengolahan Limbah Cair Perhotelan Semua negara di dunia mengalami masalah limbah cair dan sampah, begitupula Negara maju seperti Jepang.Saat ini ada banyak sistem pengolahan limbah cair dan sampah yang berkembang di Jepang, diantaranya adalah sistem “Water Reuse System” untuk pengolahan limbah cair dan sistem “Fluidized Bed Carbonizer” untuk pengolahan sampah.Kedua sistem pengolahan limbah cair dan sampah ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan
teknologi
terbaru
(http://www.metawater.co.jp/eng/product/wastewater/filtration/ index.html). Keunggulan teknologi Water Reuse System terletak pada kemampuannya mengubah limbah cair menjadi air bersih yang siap untuk digunakan kembali.Selain bentuknya yang ramping yang dipadu dengan teknologi canggih membuatnya sangat tepat dipasang pada bangunan hotel maupun apartemen di daerah perkotaan.Berikut ini skema pengolahan air limbah dengan sistem Water Reuse System beserta skema pengolahan air limbah setelah pemasangan.
Gambar 2.2. Skema pengolahan air limbah (Sumber: http://www.metawater. co.jp/eng/product/wastewater/filtration/index.html)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Skema pengolahan air limbah Water Reuse System ( Sumber: http://www.metawater. co.jp/eng/product/wastewater/filtration/index.html)
Menurut Purwanto (1985), pengolahan adalah usaha-usaha teknis yang dilakukan untuk mengubah sifat-sifat suatu zat. Pengolahan lengkap atau Complete treatment process, yaitu air akan mengalami pengolahan lengkap, baik physics, kimiawi dan bakteriologik. Ada tiga tingkatan pengolahan yaitu: 1. Pengolahan physics Yaitu suatu tingkat pengolahan yang bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan kotoran-kotoran kasar, penyisihan lumpur dan pasir, serta mengurangi kadar zatzat organik yang ada dalam air yang akan diolah.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengolahan kimia Yaitu suatu tingkat pengolahan dengan menggunakan zat-zat kimia untuk membantu proses pengolahan selanjutnya. Misalnya: dengan pembubuhan kapur dalam proses pelunakan dan sebagainya. 3. Pengolahan bakteriologis Yaitu suatu tingkat pengolahan untuk membunuh/memusnahkan bakteri-bakteri yang terkandung dalam air minum yakni dengan cara/jalan membubuhkan kaporit (zat desinfektan). Untuk memilih teknologi pengolahan limbah yang tepat banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: 1. Laju aliran limbah 2. Kualitas air buangan dan sifatnya (karakteristik limbah) 3. Ketersedian lahan 4. Standar air olahan yang diinginkan 5. Kemampuan pembiayaan. Seluruh air limbah di alirkan masuk ke bak pengendapan awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran organik tersuspensi . Selain sebagai bak pengendap, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur . Air limpasan dari bak pengendapan awal selanjutnya dialirkan ke bak kontraktor anaerob dengan arah aliran dari bawah ke atas.Di dalam bak kontraktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bawah plastik tipe sarang tawon.Jumlah bak
Universitas Sumatera Utara
kontraktor anaerob terdiri dari tiga buah ruangan.Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobic atau fakultatif aerobik. Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikroorganisme. Mikro-organisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap secara anaerob atau tampa udara. Air limpasan dari bak kontraktor anaerob dialirkan ke bak kontraktor aerob. Bak kontraktor atau biofilter aerobdi dalam ruang biofilter aerob ini diisi dengan media dari bahan plastik tipe sarang tawon. Setelah air limbah diaerasi atau dihembus dengan udara, dialirkan ketangki atau bak biofilter aerob sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikroorganisme yang tersuspensi dalam air maupun menempel pada permukaan media.Hal ini dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efesiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Selanjutnya, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (oper flow) dialirkan ke bak khlorinasi.Di dalam bak kontraktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme pathogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang kesungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut, dapat menurunkan zat organik (BOD, COD), ammonia, deterjen, padatan
Universitas Sumatera Utara
tersuspensi (SS), phospat dan lainnya. Skema proses pengolahan air limbah perhotelan
dengan
system
biofilter
anaerob
–
aerob.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Diagram proses pengolahan air limbah perhotelan dengan proses biofilter anaerob-aerob Sumber: Wignjohusodo, 1996
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sugiharto (1987) secara garis besar kegiatan pengolahan air limbah dapat dikelompokkan menjadi 6 (enam) bagian : 1.
Pengolahan pendahuluan (pre treatment)
2.
Pengolahan pertama (primary treatment)
3.
Pengolahan kedua (secondary treatment)
4.
Pengolahan ketiga (tertiarly treatment)
5.
Pembunuhan kuman (desinfektion)
6.
Pembuangan lanjutan (ultimate disposal) Dari setiap fase diatas terdapat beberapa jenis pengolahan yang dapat
diterapkan. Dari beberapa jenis itu maka akan dipilih salah satu yang diperkirakan memberikan manfaat yang terbaik. Selain itu, untuk mengolah air limbah tidaklah harus selalu mengikuti tahap-tahap yang ada di atas, akan tetapi perlu diadakan penyesuaian dengan kebutuhan yang ada. Dengan demikian setiap unit bangunan pengolahan air limbah akan berbeda-beda teknik yang dipergunakan dan tidak semua tahap perlu dilalui (Sundstrom, 2009) seperti yang ditunjukkan gambar 8. Pengolahan kedua umumnya mencakup proses biologis untuk mengurangi bahan-bahan organik melalui mikroorganisme yang ada di dalamnya. Pada proses ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jumlah air limbah, tingkat kekotoran, jenis kotoran yang ada dan sebagainya. Terdapat dua hal yang penting dalam proses biologis ini, yaitu ; (1) Proses penambahan oksigen; (2) Proses pertumbuhan bakteri (Sugiharto, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Pengolahan Pendahuluan
Pengolahan Pertama Kimia
Fisik
Pengolahan Kedua
Pengolahan Ketiga
Pembuangan Lanjuta
Pengolahan Klor
Air Buangan Air Penampung Pencacahan dan Penyaringan
Netralisasi
Pengendapan
Lumpur Aktif
Penyaringan dan Osmosis
Klorisasi
Pelunakan
Penggumpalan
Pengapungan
Bak Aerasi
Penyerapan Karbon
Ozonisasi
Saringan Pasir
Pertukaran Ion
Kolam an aerob
Saringan Pasir
Bak Stabilisasi
Denitrifikasi dan NH3 stripping
Pemisahan Minyak
Penggumpalan dan Pengendapan
Dibuang ditanah
Pengolahan Lumpur
Pembakaran
Lumpur Penutupan Tanah Ke Laut
Menstabilisasi Air Limbah
Mengatur PH, Menghilangkan nutrien dan benda organik
Menghilangkan benda tercampur
Menghilangkan benda organik terlarut yang terurai
Menghilangkan ion, benda tidak terurai, nutrien, warna dan bau
Pembunuh bakteri
Menghilangkan atau pengumpulan bendabenda
Gambar 2.5. Beberapa alternatif pilihan pengolahan air limbah untuk setiap fase pengolahan
Universitas Sumatera Utara
75
Menurut Sugiharto (1987) pengambilan zat pencemar yang terkandung dalam air limbah merupakan tujuan pengolahan air limbah. Penambahan oksigen adalah salah satu usaha dari pengambilan zat pencemaran tersebut, sehingga konsentrasi zat pencemar akan berkurang atau bahkan dapat dihilangkan sama sekali. Zat yang diambil dapat berupa gas, cairan, ion, koloid atau bahan tercampur. Pada prakteknya terdapat 2 (dua) cara untuk menambah oksigen kedalam air limbah yaitu ; (1) Memasukan udara kedalam air limbah ; (2) Memaksa air ke atas untuk berkontak dengan oksigen, dan prosesnya sebagai berikut:
Gelembung Udara
Tekanan Udara
Gambar 2.6.Aerasi dengan memasukan udara kedalam air limbah
Gambar 2.7. Aerasi dengan menggunakan baling-baling
Universitas Sumatera Utara
76
Sutiyono (2009) melakukan penelitian tentang pengolahan limbah Hotel Segara Village di Provinsi Bali untuk menentukan biaya pengolahan limbah dan penggunaan kembali air hasil pengolahan limbah. Dalam menentukan teknologi proses pengolahan air limbah Hotel Segara Village, didasarkan atas beberapa kriteria antara lain : 1.
Efisiensi pengolahan dapat mencapai standar baku mutu lingkungan
2.
Pengelolaanya harus mudah
3.
Lahan yang diperlukan tidak terlalu besar
4.
Konsumsi energi sedapat mungkin rendah
5.
Biaya operasinya rendah
6.
Lumpur yang dihasilkan sedapat mungkin kecil
7.
Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar
8.
Dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik
9.
Perawatanya mudah dan sederhana Berdasarkan kriteria tersebut diatas, untuk pengolahan air limbah Hotel
Segara Village yang tepat digunakan adalah kombinasi proses biofilter anaerobaerob. Hasil penelitianya menunjukan bahwa besarnya biaya operasional untuk pengolahan limbah setiap m3 sebesar Rp. 2.150,- (dua ribu seratus lima puluh). Efisiensi yang diperoleh dari sistim reuse ini diperoleh dari besarnya nilai rupiah dari jumlah air yang dapat dihemat karena digantikan oleh air olahan sebesar Rp. 385.872.120/tahun.
Universitas Sumatera Utara
77
2.10 Sampah Hotel Sebagai
negara
berkembang,
perhatian
Indonesia
terhadap
masalah
lingkungan pada dasarnya telah cukup baik. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai aturan serta lembaga yang kesemuanya bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan serta tercapainya pembangunan berkelanjutan. Bahkan prosedur kerja dalam menjaga keberlanjutan lingkungan ini dituangkan kedalam satu pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yakni pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup
yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Khusus untuk pengelolaan persampahan, pemerintah RI baru pada tahun 2008 menerbitkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Berdasarkan jenisnya, sampah dapat diklasifikasikan menjadi: a) Garbage yaitu sampah yang berasal dari pengolahan sisa pemasakan atau sisa makanan yang telah membusuk, tetapi masih dapat digunakan sebagai makanan organisme lainnya, seperti insekta, binatang pengerat, dan berbagai binatang pemakan bangkai ; b) Rubbish, yaitu sisa pengolahan yang tidak mudah membusuk tetapi mudah terbakar, seperti kayu, bahan plastik, kain serta sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti metal, kaca, keramik, dan tulang hewan ; c) Ashes dan cinder yaitu berbagai jenis abu dan arang yang berasal dari sisa pembakaran ; d) Dead
Universitas Sumatera Utara
78
animal, yaitu sampah yang berasal dari bangkai hewan, baik hewan peliharaan maupun hewan liar ; e) Street sweeping, yaitu sampah atau kotoran yang berserakan di sepanjang jalan, seperti pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun, kayu, dan lainnya ; f) Industrial waste, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini biasanya lebih homogen bila dibandingkan dengan sampah jenis lain (Bahar, 1986). Berdasarkan sumbernya, sampah dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) Sampah domestik adalah sampah yang sehari-harinya dihasilkan akibat kegiatan manusia secara langsung dan berasal dari permukiman, perdagangan, kantor pemerintahan dan swasta, dan lainnya ; 2) Sampah non domestik adalah yang sehariharinya dihasilkan oleh kegiatan manusia secara tidak langsung, seperti dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, transportasi, dan sebagainya (Prihandarini, 2004). Seluruh sampah yang diproduksi masyarakat Kota Medan, yang diangkut ke TPA merupakan sampah yang berasal dari rumah tangga, komplek perumahan, perguruan tinggi/ sekolah, perkantoran, plaza, hotel, rumah sakit, rumah makan/restoran, pabrik/industri (non B3), pasar, jalan umum, fasilitas umum, terminal, stasiun kereta api, taman hiburan, dll. Komposisi sampah tersebut terdiri dari sampah organik sebesar 48,2 persen, yang terdiri dari daun-daunan 32 persen dan makanan 16,2 persen; dan sampah anorganik sebesar 51,8 persen, terdiri dari kertas 17,5 persen; plastik 13,5 persen; kaca 2,3 persen; kayu 4,5 persen; dan bahan non organik lainnya 14,0 persen (Sinaga, 2008).
Universitas Sumatera Utara
79
Non Organik Lainnya 14% Plastik 14%
Dedaunan 32%
Kertas 18%
Kaca 2% Kayu 4%
Sisa makanan 16%
Gambar 2.8. Komposisi sampah diKota Medan
Komposisi sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Medan terdiri 68,8 persen sampah organik dan 31 persen sampah non organik (Zulfi, 2000). Komposisi sampah ini berubah menjadi 46,83 persen sampah organik dan 53,17 persen sampah non organik (BALITBANGSU, 2009 dan Sinaga, 2008). Dalam konteks pengelolaan sampah, tentu saja memerlukan pendekatan yang dapat membawa keuntungan bagi semua pihak.Oleh karena itu, beberapa asas dalam pengelolaan sampah sebaiknya diterapkan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Menurut JICA (2003) dalam Muttaqin (2006), beberapa asas berikut sangat ideal dalam model pengelolaan sampah: 1. Asas pengelolaan sampah mulai dari sumbernya, yaitu pengelolaan sampah yang tidak lagi berpikir untuk memusnahkan sampah yang dihasilkan, tetapi melakukan upaya-upaya pada saat sampah tersebut belum timbul dan atau belum dibuang ke TPA. Asas ini dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mulai dari menghindari timbulnya sampah, mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang sampah;
Universitas Sumatera Utara
80
2. Asas penghasil sampah membayar, yaitu bagi yang membuang sampah ke lingkungan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja harus membayar biaya dan atau bertanggung jawab atas pengelolaan sampah yang dibuangnya tersebut sebanding dengan jumlah barang yang dibuangnya. Asas ini diterapkan untuk mendorong masyarakat penghasil sampah mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari, agar supaya mereka tidak
harus
mengeluarkan biaya pengelolaan sampah yang lebih mahal; 3. Asas produk ramah lingkungan, yaitu produk yang dihasilkan oleh produsen beserta kemasannya kelak tidak menjadi beban timbulan sampah, maka produk dan kemasan tersebut harus bersifat ramah lingkungan. Asas produk ramah lingkungan ini adalah sebanyak mungkin mengurangi penggunaan bahan-bahan untuk kemasan yang pasti akan menjadi sampah; 4. Asas internalitas biaya pengelolaan sampah, yaitu biaya pengelolaan sampah tidak hanya yang dibayar oleh penghasil sampah melalui retribusi kebersihan, akan tetapi juga oleh para pelaku usaha yang turut menyumbang jumlah dan jenis sampah yang dihasilkan oleh konsumen. Biaya pengelolaan sampah tersebut langsung diperhitungkan dalam biaya produksi untuk menghasilkan barang. Semakin sulit suatu barang untuk diolah secara alami pada saat dibuang sebagai sampah, semakin tinggi pula biaya pengelolaan sampah yang harus dikenakan pada barang tersebut. Asas ini diharapkan dapat mendorong pelaku usaha untuk menghasilkan barang-barang yang ramah lingkungan; 5. Asas pembangunan berkelanjutan, yaitu upaya melaksanakan asas pengelolaan dari sumber, asas pencemar membayar, asas produk ramah lingkungan, dan asas
Universitas Sumatera Utara
81
internalitas biaya pengelolaan sampah, dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi produksi sampah, yang berarti juga terjadi kegiatan pengurangan bahan baku dalam proses pemanfaatan dan pembuatan produk. Secara tidak langsung, kegiatan pengurangan produksi sampah juga berakibat pada penghematan penggunaan sumberdaya alam. Asas ini dapat menjamin berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan; 6. Asas kehati-hatian awal, yaitu dalam pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) harus dilakukan secara hati-hati mengingat proses-proses alam merupakan hal yang tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu. Kehati-hatian ini dilakukan sebelum dampak negatif dari pengelolaan TPA timbul. Belum adanya laporan, data atau pembuktian ilmiah tentang dampak negatif dari pengelolaan TPA tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan upaya pencegahan dampak negatif dari pengelolaan TPA. Karena itu, maka pengelolaan sampah pada umumnya dan pengelolaan TPA pada khususnya dilakukan dengan mengambil risiko yang paling kecil; 7. Asas pendayagunaan dan pemanfaatan sampah, yaitu upaya untuk mengurangi beban TPA dan atau instansi pengelolaan sampah lainnya, melalui kegiatan mengurangi (reduce), memanfaatkan kembali (reuse), mendaur ulang (recycle), dan mengganti (replace) atau dikenal dengan istilah 4R; 8.
Asas transportasi, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas, yaitu proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan sampah dilakukan secara terbuka dan melibatkan publik. Untuk menciptakan kebijakan pengelolaan sampah yang berorientasi pada kepentingan publik, maka partisipasi masyarakat dalam prosespembuatankebijakan
Universitas Sumatera Utara
82
perlu dijamin. Partisipasi terbuka pada seluruh proses pengelolaan mulai dari inventarisasi sampah, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan sampah. Dengan semangat perlindungan pada kepentingan publik, maka pelaksanaan pengelolaan sampah harus bertanggung jawab (accountability) kepada publik.
Model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urukan dan tumpukan. Pengelolaan sampah dengan cara urukan adalah sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Sedangkan cara yang kedua adalah tumpukan yaitu bila dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachat), dan pembakaran ekses gas metan (flare). Model yang lengkap ini telah memenuhi kesehatan lingkungan (Sudrajat, 2007). Penanganan sampah yang selama ini dilakukan belum sampai pada tahap memikirkan proses daur ulang atau menggunakan ulang sampah tersebut. Penanganan sampah yang selama ini dilakukan hanya mengangkutnya dari tempat sampah di permukiman kota dan membuangnya ketempat pembuangan sampah akhir atau membakarnya. Cara ini kurang bisa mengatasi masalah sampah karena masih dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Setiawan, 2006). Dalam pola pengelolaan sampah terpadu, ada lima tahap proses yang diterapkan. Pola ini mengupayakan agar sampah tidak sampai terbentuk dengan menerapkan upaya cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse). Jika terlanjur, hierarki pengelolaan daur ulang (recycle) menjadi solusi (Anonim, 2007).
Universitas Sumatera Utara
83
Salah satu alternatif pengelolaan sampah adalah memilih sampah organik dan memprosesnya menjadi kompos atau pupuk hijau. Namun yang menjadi masalah adalah masyarakat belum mengetahui proses pengomposan limbah organik secara sederhana dan cepat, kurang memahami nilai kompos dan kurang memahami dampak negatif pencemaran lingkungan. (Setiawan, 2006). Untuk setiap satu ton sampah yang terdapat di TPA rata-rata dapat menghasilkan 0,235 m3gas Metana (Henry, et all., 1996), sedangkan jika dikomposkan akan dapat mengasilkan 0,5 ton kompos. Dengan demikian, dengan menghasilkan 1 ton kompos rata-rata emisi gas rumah kaca sebesar 0,47 ton metana atau setara dengan 9,4 ton CO2 dapat dicegah (Suprihatin, 2003). USEPA juga merelease perhitungan dampak yang dihasilkan oleh emisi CH4 dari penanganan sampah tempat dari dua skenario yang berbeda. Apabila 100 ton sampah kertas per tahun dibiarkan saja terbuang di TPA, ternyata akan memberikan kotribusi terhadap gas rumah kaca (GRK) sebesar 62 metric ton Carbon Ekivalen (MTCE) dari seluruh rangkaian produksinya. Sedangkan apabila 50% dari sampah tersebut dapat di recycle maka akan mampu mereduksi GRK sebesar– 65 ton MTCE melalu rangkaian proses produksinya (USEPA,2002a;USEPA,2006).
2.11 Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Ruangterbuka hijau (RTH) menurutNurisjah (1997) adalah sebuah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersipat alami (rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah pemukiman). Ruang Terbuka Hijau menurut Wijayanti (2003) adalah suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh
Universitas Sumatera Utara
84
perpohonan dengan presentase ideal antara 20 sampai 30% dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya halaman rumah. Menurut Greydan Denneke (1986) serta Fahutan IPB (1987) berdasarkan kreteria sasaran, fungsi penting, jenis pegetasi, intensitas menejemen, status pemilik serta pengolahanya, komponen penyusun RTH dapat di kelompokan ke dalam empat bentuk yaitu hutan kota, taman kota, jalur hijau kota serta kebun dan pekarangan. Ruang terbuka hijau (RTH) selain meningkatkan kualitas lingkungan, juga dapat mengakomodasi berbagai fungsi lain seperti pendidikan dan kebanggaan kota. RTH juga mempunyai fungsi yang dijabarkan lebih lanjut dalam InmendagriNo. 14 tahun 1988 dan Dinas pertamanan DKI (1998), manfaat RTH tersebut antara lain: (1) sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan dan keserasian serta keindahan lingkungan, (2) sebagai pendidikan formal, (3) sebagai pengatur air,(4) sebagai sarana rekreasi, (5) sebagai sarana untuk perbaikan kualitas lingkungan, dan (6) sebagai pengaman lingkungan hidup terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Menurut Carpenter (1975), bahwa RTH berfungsi sebagai pelembut suasana keras dan struktur fisik, menolong manusia mengatasi tekanan-tekanan dari kebisingan, udara panas dan polusi disekitarnya serta sebagai pembentuk kesatuan ruang. Selain itu Carpenterjuga
menyatakanbahwa tanaman dapat mengurangi
kecepatan angin lebih kurang 25-75%.Pengendalian angin oleh tanaman terjadi melalui penghalangan, pengarahan, penyerapan dan pembiasaan. Sedangkan tingkat keefisienannya
didasarkan pada derajat keefektifan tanaman dan teknik
peletakannya.
Universitas Sumatera Utara
85
Ruang terbuka hijau juga berfungsi menciptakan kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari pancaran sinar matahari dan memantulkanya hingga dapat menurunkan suhu, mikroklimat (Capenter et al.1975). Menurut Inmendagri No. 14 tahun 1988, standar luasan RTH kota di Indonesia dihitung berdasarkan atas persentase luas wilayah kota yaitu 40% sampai 60% dari total wilayah yang bersangkutan harus dihijaukan. Berdasarkan Kepmen Pekerjaan Umum (PU) No. 378/Kpts/1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota yang mengatur standar perencanaan RTH di lingkungan permukaan kota menggariskan bahwa kebutuhan kota terhadap taman kota, hutan kota, jalur hijau, dan pemakaman dihitung berdasarkan kebutuhan masing-masing penduduk. Munculnya Reducing Emossion From Deforestation and Degredation (REDD) dalam hubungannya dengan pemanasan global, Indonesia dicatat sebagai negara nomor 3 yang melepas karbon (CO2) setelah Amerika Serikat dan China. Amerika melepas karbon ke atmosfir melalui kegiatan industri dan tranfortasi yang membakar minyak bumi, sedangkan Indonesia melepas karbon karena kebakaran hutan dan lahan gambut (Suparmoko, 2008). Kebutuhan oksigen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah oksigen yang digunakan oleh manusia, ternak dan kendaraan bermotor.Untuk mengetahui kebutuhan oksigen di suatu areal perkotaan maka perlu mengetahui jumlah penduduk yang ada. Kebutuhan oksigen untuk manusia dapat dihitung dengan asumsi bahwa manusia mengoksidasi 3000 kalori perhari dari makanan dan menggunakan sekitar 600 liter oksigen dan memproduksi sekitar 480 liter CO2 (Wisesa, 1988). Luasan
Universitas Sumatera Utara
86
kebutuhan hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen, dapat dihitung dengan metode Gerakis (1974), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988), dengan rumus:
Lt =
Pt + Kt + Tt m2 (54)(0.9375)(2)
…… (2.1)
Keterangan: Lt
=
Luas RTH kota pada tahun ke t (m2)
Pt
=
Jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke t
Kt
=
Jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke t
Tt
=
Jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke t
54
=
Tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m luas lahan menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari
0.9375
=
Tetapan yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0.9375 gram
2
=
Jumlah musim di Indonesia
2.12 Energi Hotel Menurut Purwadaminta, energi adalah tenaga atau gaya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian sehari-hari energi dapat didefenisikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan.Energi terdapat dalam berbagai bentuk, yang dapat dikategorikan dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) energi kinetik, (2) energi potensial, dan (3) energi massa. Konversi energi, baik buatan manusia maupun yang terjadi secara alamiah, dikuasai oleh hukum-hukum dasar fisika. Salah satu hukum dasar itu berupa : Hukum Pertama Termodinamika, yang mengatakan bahwa jumlah energi di alam semesta adalah konstan. Atau dengan perkataan lain, hukum itu mengatakan bahwa energi tidak dapat dijelmakan ataupun dihilangkan (Kadir, 2010).
Universitas Sumatera Utara
87
Landasan pemikiran pada konversi energi merupakan pemanfaatan sumbersumberdaya energi dengan daya guna yang lebih tinggi dengan mempergunakan caracara yang mempunyai kelayakan teknis, dapat dibenarkan secara ekonomis, tidak mengganggu lingkungan, dan dapat diterima oleh masyarakat. Istilah konversi energi dalam kaitan itu merupakan semua langkah yang diambil kearah menurunkan berbagai kehilangan energi pada semua taraf pengelolaan, dari eksploitasi, pengangkutan, pemrosesan, sampai pemanfaatan. Hemat energi merupakan bagian dari konservasi (Kadir, 2010). Ada banyak hal yang terjadi di muka bumi, sehingga diperlukan semacam kompromi antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan tersedianya lingkungan hidup yang baik. Hal ini diperlihatkan oleh Gambar2.9yang menerangkan pengaruh pemenuhan kebutuhan energi dan lingkungan hidup terhadap mutu kehidupan.
Mutu Kehidupan
Energi
Lingkungan
Gambar 2.9: Pengaruh energi, lingkungan dan mutu kehidupan
Sedangkan apabila faktor biaya diperhitungkan dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan energi dan pengendalian pencemaran lingkungan sebagai akibat pemenuhan kebutuhan energi tersebut, maka dapat disusun sebuah grafik yang
Universitas Sumatera Utara
88
mempertentangkan biaya sebagai fungsi tingkat pemenuhan energi dan pengendalian pencemaran lingkungan seperti pada gambar 2.10 berikut ini.
C=A+B C = Biaya Total
Bi ay E a
A = Biaya Energi
B = Biaya KerusakanLingkungan D Tingkat Pengendalian Pencemaran Gambar 2.10: Biaya sebagai fungsi dari energi dan pengendalian pencemaran
Menurut Setyaningrum(2006), kebijakan energi harus mengacu pada action plan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.Kebijakan energi yang ada cukup mendukung untuk mendorong upaya penggunaan energi terbarukan. Secara keseluruhan kebijakan energi meliputi : 1.
Mengurangi subsidi energi secara bertahap.
Universitas Sumatera Utara
89
2.
Mempromosikan penggunaan energi terbarukan.
3.
Mendorong penerapan penggunaan energi secara efisien.
4.
Mendukung teknologi konsumsi bersih dan efisien di bidang industri dan perdagangan.
5.
Restrukturisasi harga untuk berbagai jenis energi.
Analisa energi hotel merupakan suatu metode untuk mengetahui kebutuhan energi pada suatu hotel yang mencakup sistem kelistrikan, air, dan bahan bakar. Menurut Shingming (2002), konsumsi energi untuk penerangan, sistem pengaturan suhu dan sistem pemanasan air umumnya mencapai 70% dari total penggunaan energi pada bangunan hotel. Dengan demikian konsumsi energi terbesar terletak pada sistem kelistrikan hotel. Sebagai contoh, adalah Surabaya Plaza Hotel. Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan pemakaian energi, maka persentase kebutuhan biaya paling besar adalah energi listrik sebesar 89,00%, bahan bakar gas sebesar 4,08% dan air sebesar 6,92% (Apriyanto, 2012). Salah satu cara yang saat ini dipakai untuk efisiensi pemakaian energi listrik adalah dengan memanfaatkan panas buang dari sistem pengkondisian udara pada Hotel Bali Hyatt di kawasan Sanur, dengan mengaplikasikan Heat Recovery System (HRS). Penghematan energi listrik yang diperoleh dari pemanfaatan panas terbuang menggunakan Heat Recovery System, dapat mengurangi biaya pemakaian energi listrik dari Rp. 2,335,849,432,- menjadi Rp. 1,938,281,676,- atau turun sebesar 20 (dua puluh) persen. Dengan mengaplikasikan HRS diperoleh penghematan total biaya energi listrik di Hotel Bali Hyatt per tahun sebesar Rp. 8,226,868,222,- atau USD 822,686.82,- (Ketut, 2011).
Universitas Sumatera Utara
90
Konservasi energi merupakan upaya mengefesienkan pemakaian energi dalam menghasilkan suatu produk barang maupun jasa tanpa mengurangi kualitas dari produk tersebut. Dalam industri perhotelan, efisiensi energi harus dilakukan tanpa mengurangi kenyamanan pelanggan dalam menggunakan fasilitas hotel. Fasilitas Air Conditioner (AC) merupakan fasilitas hotel dengan penggunaan energi listrik paling besar. Energi yang dibutuhkan untuk operasional AC seluruh fasilitas bangunan hotel dapat mencapai angka 60-70% dari kebutuhan energi listrik keseluruhan (Apriyanto, 2012). Menurut Apriyanto (2012) jenis konservasi energi yang optimal hendaknya disesuaikan dengan kondisi eksisting dari fasilitas bangunan hotel. Penghematan energi dapat dikelompokkan kedalam 4 jenis alternatif konservasi energi hotel, yaitu : 1.
Perubahan Standard Operating Procedures (SOP) Penggunaan Fasilitas Hotel a)
Pengaturan kembali waktu operasional kerja peralatan fasilitas sesuai kebutuhan.
b)
Mengoperasikan lift secara bergantian menurut zoning lantai hotel yang disesuaikan dengan tingkat hunian.
c)
Penyesuaian setting temperatur AC pada waktu-waktu tertentu.
d)
Menurunkan temperatur pengeringan mesin cuci pada saat proses laudry.
e)
Pengoptimalan penggunaan peralatan komputer.
f)
Mematikan peralatan-peralatan elektronik dalam kamar saat staf melakukan housekeeping.
g)
Penjadwalan ulang perawatan atau maintenance fasilitas sebagai upaya dari preventive maintenance.
Universitas Sumatera Utara
91
h)
Menaikkan setting temperatur ruangan hingga batas maksimum yang masih berada dalam zona nyaman.
2.
Renovasi/Penyesuaian desain bangunan hotel a)
Pemilihan warna cat interior ruangan.
b)
Mengurangi biaya penggunaan fasilitas AC dengan mengatur pertukaran panas pada bangunan.
c)
Mengurangi panas dari sinar matahari yang masuk dengan menggunakan kaca film atau shading curtain pada jendela ruangan.
3.
4.
d)
Menggunakan reflektor cahaya pada dinding horizontal diluar jendela.
e)
Isolasi sistem perpipaan air panas, sehingga tidak banyak heat loss ke lingkungan.
f)
Penggunaan konsep green roof pada atap bangunan hotel.
Penggunaan energi berbasis hemat energi a)
Penggunaan sensor waktu dan intensitas cahaya otomatis pada lampu.
b)
Pemakaian jenis lampu yang hemat energi.
c)
Pemakaian peralatan fasilitas dengan teknologi hemat energi.
d)
Sistem kontrol atau monitoring pemakaian listrik yang computerized.
e)
Menggunakan energi terbarukan sebagai sumber energi baru bagi operasional hotel.
Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia a)
Melakukan pelatihan secara berkala tentang manajemen energi di bidang perhotelan.
b)
Melakukan perhatian terkait hal teknis dari operasional fasilitas hotel.
c)
Melakukan pelatihan softskill yang terkait dengan peningkatan motivasi dan budaya kerja hemat energi kepada para karyawan hotel.
d)
Adanya komunikasi yang baik dan terintegrasi diantara seluruh karyawan terkait dengan pelaksanaan rencana penghematan energi.
Universitas Sumatera Utara
92
e)
Adanya sistem rewards dan punishment bagi karyawan dalam hal efesiensi penggunaan energi hotel.
f)
Adanya komitmen dalam melakukan upaya konservasi energi yang bersift dari level puncak organisasi hingga level dalam struktur organisasi.
g)
Adanya kepemilikan saham pada karyawan hotel untuk meningkatkan rasa memiliki dan peduli penghematan energi hotel yang dapat meningkatkan profitabilitas hotel.
h)
Membuat materi-materi seruan hemat energi kepada costumer berhubungan dengan penggunaan suatu fasilitas hotel.
Pada industri anodizing yang menerapkan manajemen biaya berorientasi lingkungan, rata-rata dapat menghemat energi listrik berkisar 20 – 50 persen. Demikian juga pada industri batik, penghematan rata-rata mencapai 10 persen dengan melakukan berbagai pembenahan hasil audit energi. Penghematan energi listrik pada industri dapat dilakukan melalui audit energi, pemasangan kapasitor, dan menata kembali jaringan penghantar listrik (Setyowati, 2008).
Universitas Sumatera Utara