BAB 2
2.1
DASAR TEORI
Persamaan Gerak Roket dalam Ruang Tiga Dimensi Persamaan gerak roket di bidang ruang tiga dimensi pada Tata Acuan
Koordinat Benda diturunkan dari Persamaan Dinamik Roket [Ref. 2] sebagai berikut: Gerak Translasi
Sumbu XB
: M
du = M (vr − wq ) + FX + Mg X + AX dt
(2-1a)
Sumbu YB
: M
dv = M (wp − ur ) + FY + Mg Y + AY dt
(2-1b)
Sumbu ZB
: M
dw = M (uq − vp ) + FZ + Mg Z + AZ dt
(2-1c)
Gerak Rotasi
I XX
• dI dp = − p XX + rq(I YY − I ZZ ) + m xe ( y e q + z e r ) + L' dt dt
(2-2a)
I YY
• dI dq = − q YY + pr (I ZZ − I XX ) − m qxe2 − xe FZ + z e FX + M ' dt dt
(2-2b)
I ZZ
• dI dr = −r ZZ + pq(I XX − I YY ) − m rx e2 + xe FY − y e FX + N ' dt dt
(2-2c)
dengan: M _
: Massa roket _
V
: Vektor kecepatan roket, dengan V = [u v w]
u, v, w
: Komponen vektor kecepatan roket pada sumbu XB, YB dan ZB
_
_
F
: Vektor gaya dorong roket, dengan F = [FX
FX, FY, FZ
: Komponen vektor gaya dorong roket pada sumbu XB, YB dan
FY
FZ ]
ZB
p, q, r
: Kecepatan sudut roket pada sumbu XB, YB dan ZB 6
_
_
g
: Vektor percepatan gravitasi, dengan g = [g X
gx, gy, gz
: Komponen vektor percepatan gravitasi pada sumbu XB, YB
gY
gZ ]
dan ZB
L, D, Y
: Gaya angkat, gaya hambat dan gaya samping roket
Ax, Ay, Az
: Gaya aerodinamika roket pada sumbu XB, YB dan ZB _
A = [ AX
AY
AZ ] = f (L, D, Y )
L’, M’, N’
: Momen aerodinamika roket pada sumbu XB, YB dan ZB
Ixx, Iyy, Izz
: Inersia roket pada sumbu XB, YB dan ZB
xe, ye, ze
: Jarak pusat aliran massa pada sumbu XB, YB dan ZB
•
m
: Laju perubahan massa
Enam buah persamaan diferensial di atas hanya dapat dipecahkan secara numerik. Dalam prakteknya, gerak roket akan mendekati gerak pada bidang dua dimensi, sehingga persamaan gerak di atas menjadi dua gerak translasi (pada sumbu X dan Z) dan satu gerak rotasi (pada sumbu Y).
2.2
Persamaan Gerak Roket Dua Dimensi Untuk menyatakan posisi dan kecepatan roket setiap waktunya digunakan Tata
Acuan Koordinat Inersial, sehingga persamaan gerak (2-1) dan (2-2) harus ditransformasikan dari Tata Acuan Koordinat Benda ke Tata Acuan Koordinat Inersial.
7
Gambar 2-1. Tata Acuan Koordinat benda, horisontal lokal dan inersial untuk persamaan roket 2-D
Untuk memperoleh persamaan gerak dua dimensi, harga v, p dan r adalah 0 (nol). Bila harga tersebut dimasukkan ke dalam persamaan gerak (2-1) dan (2-2) akan diperoleh tiga buah persamaan gerak sebagai berikut: ⎞ ⎛ du M⎜ + wq ⎟ = FX + Mg X + AX ⎝ dt ⎠
(2-3a)
⎛ dw ⎞ − uq ⎟ = FZ + Mg Z + AZ M⎜ ⎝ dt ⎠
(2-3b)
I YY
• dI dq = −q YY − m qxe2 − xe FZ + z e FX + M ' dt dt
(2-3c)
Persamaan (2-3a) dan (2-3b) dapat dituliskan dalam bentuk vektor sebagai berikut: ⎛ _ ⎜ dV M⎜ ⎜ dt ⎝
⎞ ⎟ ⎟⎟ = F + Mg + A ⎠
(2-4)
dengan komponen-komponen sebagai berikut: F = FX e xb + FZ e zb
(2-5)
V = V xb e xb + V zb e zb
(2-6)
A = AX e xb + AZ e zb
(2-7)
g = g X e xb + g Z e zb
(2-8)
8
dengan Vxb dan Vzb adalah komponen vektor kecepatan roket pada Tata Acuan Koordinat Benda (sumbu X dan Z). Transformasi dari Tata Acuan Koordinat Benda ke Tata Acuan Koordinat Inersial dilakukan dengan persamaan transformasi sebagai berikut: 1b = C bI 1I
(2-9)
⎡e xb ⎤ 1b = ⎢⎢e yb ⎥⎥ ⎢⎣ e zb ⎥⎦
(2-10a)
⎡e xI ⎤ 1I = ⎢⎢e yI ⎥⎥ ⎢⎣ e zI ⎥⎦
(2-10b)
dengan:
⎡ cos θ C = ⎢⎢ 0 ⎢⎣− sin θ I b
0 sin θ ⎤ 1 0 ⎥⎥ 0 cos θ ⎥⎦
(2-10c)
sehingga ⎡e xb ⎤ ⎡ cos θ ⎢e ⎥ = ⎢ 0 ⎢ yb ⎥ ⎢ ⎢⎣ e zb ⎥⎦ ⎢⎣− sin θ
0 sin θ ⎤ ⎡e xI ⎤ 1 0 ⎥⎥ ⎢⎢e yI ⎥⎥ 0 cos θ ⎥⎦ ⎢⎣ e zI ⎥⎦
(2-11)
Persamaan (2-5) dan (2-7) ditransformasi dengan menggunakan persamaan (211), kemudian disubstitusikan ke persamaan (2-4), sehingga diperoleh dua buah persamaan gerak translasi pada Tata Acuan Koordinat Inersial.
⎛ dV ⎞ M ⎜ X ⎟ = FX cos θ − FZ sin θ + AX cos θ − AZ sin θ ⎝ dt ⎠
(2-12a)
⎛ dV ⎞ M ⎜ Z ⎟ = FX sin θ − FZ cos θ + Mg O + AX sin θ + AZ cos θ ⎝ dt ⎠
(2-12b)
Dengan menggunakan persamaan integral, maka kecepatan dan posisi roket setiap waktunya dapat dituliskan sebagai berikut:
9
t
VX = VXO + ∫ 0
t
X = XO + ∫ 0
t
dV X dt dt
VZ = VZ O + ∫ 0
t
dX dt dt
Z = ZO + ∫ 0
dX = VX dt
dVZ dt dt
dZ dt dt
(2-13)
dZ = VZ dt
FX = F cos δ
(2-14a)
FZ = F sin δ
(2-14b)
AX = L sin α − D cos α
(2-14c)
AZ = L cos α + D sin α
(2-14d)
α =θ −γ
(2-14e)
tan γ =
VZ VX
(2-14f)
Persamaan gerak rotasi roket pada bidang dua dimensi diperoleh dengan memasukkan harga p = r = ze = 0 ke dalam persamaan (2-3c), maka
I YY
• dI dq = −q YY − m qxe2 − xe FT sin δ + M ' dt dt
(2-15)
dengan
q=− •
m=−
dθ dt
(2-16a)
dM dt
(2-16b)
M ' = − M aero
(2-16c)
Persamaan (2-12) dan (2-15) adalah persamaan lengkap untuk gerak dalam bidang dua dimensi pada Tata Acuan Koordinat Inersial.
2.3
Gaya dan Momen Aerodinamika Roket terbang menempuh medan atmosfer bumi sehingga efek aerodinamika
yang terjadi tidak dapat diabaikan. Parameter yang paling berpangaruh adalah kerapatan udara (ρ). Semakin tinggi terbang roket harga kerapatan udara akan
10
semakin berkurang, oleh karena itu efek aerodinamika yang terjadi juga akan berkurang. Gaya dan momen aerodinamika ini tidak dapat dihitung secara pasti tetapi hanya bisa diprediksi. Prediksi ini dapat membuat penyimpangan terhadap perhitungan gaya dan momen aerodinamika sehingga simulasi gerak roket dapat mengalami deviasi pada trajektorinya. Deviasi lintas terbang yang terjadi disebut dengan trajectory dispersion. Secara matematis, gaya dan momen aerodinamika dapat didefinisikan sebagai berikut:
•
Gaya hambat aerodinamika (drag),
D = qSC D
(2-20)
•
Gaya angkat aerodinamikan (lift),
L = qSCL
(2-21)
•
Momen aerodinamika,
Maero = qcSCM
(2-22)
•
Tekanan dinamik,
q=
1 ρ (h )V 2 2
(2-23)
Pengaruh gaya dan momen aerodinamika ini diasumsikan hanya berlaku pada ketinggian terbang kuran dari sama dengan 80000 m. Di atas ketinggian tersebut pengaruhnya karena harga massa jenis udara yang kecil sehingga dapat diabaikan.
2.4
Sistem Propulsi Roket Gaya dorong yang digunakan dalam persamaan gerak di atas merupakan gaya
dorong akibat sistem propulsi roket. Gaya dorong (FT) adalah jumlah gaya yang bekerja pada roket karena proses pengeluaran gas [space mission], sebagaimana didefinisikan sebagai berikut: •
FT = m Ve + Ae [Pe − P∞ ]
(2-24)
dengan,
FT •
= Gaya dorong total
m
= Laju massa propelan
Ve
= Kecepatan udara keluaran nosel
Ae
= Luas area nosel
Pe
= Tekanan udara keluaran nosel
P∞
= Tekanan atmosfer
11
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa pada ketinggian rendah gaya dorong roket akan semakin meningkat sebanding dengan meningkatnya ketinggian hingga roket keluar dari atmosfer.
Specific Impulse (Isp) adalah ukuran kandungan energi dari propelan, dan tingkat efisiensi propelan dikonversi menjadi gaya dorong. Isp didefinisikan sebagai: I sp = FT
(2-25)
•
m go
dengan, go = Percepatan gravitasi bumi pada permukaan laut
Hubungan antara propulsi roket dengan prestasi roket tergambar di dalam perubahan kecepatan roket (∆V), yang dinyatakan melalui persamaan berikut: ⎛M ΔV = g o I sp ln⎜ o ⎜M ⎝ f
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
(2-26)
dengan, ∆V
= Perubahan kecepatan roket
Mo
= Massa awal roket
Mf
= Massa akhir roket
Massa akhir roket diperoleh dari hubungan: •
M f = M o − mtB
(2-27)
dengan, tB B
= masa bakar propelan (burntime)
Sehingga dengan menggunakan persamaan (2-24) hingga (2-27) dapat diperoleh harga masa bakar propelan yang diperlukan untuk mendapatkan perubahan kecepatan (∆V) yang diinginkan. Spesific Impulse (Isp), masa bakar propelan dan gaya dorong adalah variabel yang terdapat pada spesifikasi mesin roket setiap tingkat. Pada bab selanjutnya diberikan data-data spesifikasi mesin roket Polyot pada tiap tingkat yang digunakan pada persamaan gerak roket untuk membuat simulasi gerak wahana peluncur Polyot.
12