II.
TIINJAUAN N PUSTAK KA
2.1 BEKAT TUL Padaa proses penggiilingan padi (O Oryza sativa L)) akan diperoleeh hasil sampin ng berupa sekaam sebesar 15-20%, bekatuul 8-12%, dan menir sebesarr 5% (Widowaati, 2001). Bekkatul merupakkan hasil sam mping penggilinngan padi yanng terdiri atas lapisan dedakk sebelah luarr butir padi, dan d sebagian lembaga bijii (Houston, 11972). Sedanngkan menuruut Hargrove (1994), bekattul merupakaan lapisan terluuar berwarna kecoklatan k dari beras pecah kulit k yang dipissahkan pada saaat proses peenyosohan unttuk menghasillkan beras puutih. Bekatul terdiri atas perikarp, p lapissan aleuron, embrio, e dan seebagian endossperm serta mengandung sebbagian besar vitamin v dari biji b (Grist, 1965). Morfologgi bagian-bagiaan pada biji pad di dapat dilihatt pada Gambar 1.
G Gambar 1. Moorfologi biji paadi beserta baggian-bagiannya (Orthoefer, 20001)
Menuurut Houston (1972), bekattul merupakan n bahan pangaan yang memppunyai nilai gizi tinggi, mengandung m prrotein, karbohiidrat, lemak, mineral dan vvitamin. Bekkatul merupakkan sumber yang y baik untu uk protein (122-15%) dan leemak (15-20% %). Komposissi kimia bekattul bervariasii bergantung paada varietas paadi, lingkungann tanam padi, dderajat penggillingan gabah dan d kontaminaasi sekam padda proses pengggilingan (Ortthoefer dan Eastman, 2004;; Damayanthi et al.,2007). Komposisi kiimia bekatul diisajikan dalam Tabel 1. Karbbohidrat yang terdapat t pada bekatul teridenntifikasi sebaggai selulosa, heemiselulosa, dan d pati. Kanndungan pati yang terdapat pada bekatul dip peroleh dari baagian endosperrm yang terbaw wa pada proses penyosohaan (Hargrove, 1994). Dam mayanthi et aal. (2007) mennyatakan bahw wa kandungaan pati tersebuut akan meninggkat kadarnya dengan semaakin tinggi derrajat penyosohhan yang dilak kukan karena bagian b endospperm yang terbbawa bersama bekatul b semak kin banyak. Serrat makanan (dietary fiberr) yang terdirri atas struktu ur polisakaridda dari dindinng sel tanamaan, polisakariida lainnya dan n lignin juga baanyak terkandu ung dalam bekaatul. Proteein bekatul meemiliki nilai giizi yang lebih tinggi daripadda beras gilingg terutama dalaam hal kadar asam amino lisin. Lisin meerupakan asam m amino pembaatas pada berass. Fraksi proteein
utama dalam bekatul adalah albumin dan globulin dengan rasio antara albumin-globulinprolamin-glutelin adalah 37 : 36 : 5 : 33 (Champagne, 2008). Albumin mempunyai kadar lisin yang tinggi. Menurut Winarno (1997), lisin merupakan salah satu asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14% bb Komponen
Jumlah
Protein (%)
12,0-15,6
Lemak (%)
15,0-19,7
Serat kasar (%)
7,0-11,4
Karbohidrat (%)
34,1-52,3
Abu (%)
6,6-9,9
Kalsium (mg/g)
0,3-1,2
Magnesium (mg/g)
5,0-13,0
Fosfor (mg/g)
11,0-25,0
Silika (mg/g)
5,0-11,0
Seng (mg/g)
43,0-258,0
Tiamin (µg/g)
12,0-24,0
Riboflavin/B2(µg/g)
1,8-4,0
Tokoferol/E (µg/g)
149-154
(Luh et al., 1991)
Kandungan lemak pada bekatul relatif tinggi. Menurut Babcock (1987), bekatul banyak mengadung asam lemak tak jenuh (lebih dari 80%). Asam palmitat, oleat dan linoleat merupakan komponen asam lemak utama yang terdapat pada minyak bekatul (Godber dan Juliano, 2004). Komposisi asam lemak bekatul secara umum tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak bekatul Jenis asam lemak
%
Asam miristat (14:0)
0.2
Asam palmitat (16:0)
15.0
Asam stearat (18:0)
1.9
Asam oleat(18:1)
42.5
Asam linoleat (18:2)
39.1
Asam linolenat (18:3)
1.1
Asam arakhidat (20:0)
0.5
Asam behenat (22:0)
0.2
(McCaskill dan Zhang, 1999)
4
Sebagian besar vitamin terdapat pada bagian aleuron dan lembaga seperti halnya protein dan lemak. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Kelompok vitamin B dan vitamin E (tokoferol) banyak ditemukan di dalam bekatul, sedangkan vitamin A, C dan D hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber, 1980). Vitamin B yang terdapat dalam bekatul meliputi tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin (vitamin B3), asam pantotenat (vitamin B5) dan piridoksin (vitamin B6) (Champagne, 2008). Bekatul mengandung komponen bioaktif yakni zat yang di dalam tubuh bekerja diluar fungsi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, melainkan untuk kesehatan (Husien, 2009). Komponen bioaktif tersebut adalah tokoferol (vitamin E), tokotrienol, oryzanol dan asam ferulat. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah (Kahlon et al., 1994). Oryzanol merupakan fitosterol suatu ester senyawa asam ferulat yang dapat menurunkan serum kolesterol pada manusia (Lichtenstein et al, 1994), menurunkan penyerapan kolesterol (Rong et al.,1997), meningkatkan sekresi asam empedu dan mencegah agregasi pelet (Seetharamaiah dan Chandrasekhara, 1990). Tocotrienol berfungsi sebagai antioksidan, membantu mencegah kanker dan penyakit kardiovaskuler (Tomeo et al, 1995; Nesaretham et al, 1998). Bekatul mempunyai sifat fungsional sebagai penurun kolesterol (hipokolesterolemik). Mekanisme penurunan kolesterol didasari oleh kemampuan serat diet dari bekatul untuk menyerap lipid pada jalur gastrointestinal dan peningkatan sekresi asam empedu (Kahlon et al., 1994). Selain itu, bekatul juga mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim angiotensin i-converting enzyme (ACE), enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah, 2006). Disamping berbagai zat gizi, bekatul juga mengandung senyawa anti gizi yang dapat menghambat pertumbuhan. Senyawa anti gizi tersebut diantaranya asam fitat, anti tripsin, dan hemaglutinin (lectin) (Luh, 1991). Namun demikian, menurut Hargrove (1994), aktivitas senyawa anti gizi tersebut relatif rendah dan dapat diinaktivasi melalui proses pemanasan.
2.2 KERUSAKAN BEKATUL Faktor utama yang menjadi hambatan dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sifatnya yang mudah rusak. Kandungan lemak bekatul yang tinggi (15-20%) menyebabkan mudah terjadinya kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul sehingga bekatul berbau tengik (Damayanthi et al., 2007).
2.2.1 Kerusakan Hidrolitik Kerusakan hidrolitik terjadi karena terjadinya kontak langsung antara lemak dan enzim lipase yang secara alami terdapat dalam bekatul. Di dalam biji padi yang utuh lipase bersifat dorman karena lipase dan minyak bekatul letaknya terpisah. Lipase terdapat di dalam lapisan testa atau lapisan selubung biji, sedangkan minyak terdapat di dalam aleuron dan lembaga (Champagne, 2008). Proses penggilingan akan menyebabkan kerusakan pada biji padi dan menyebabkan terjadi kontak langsung lipase dengan minyak. Pada saat itu, trigliserida akan terurai menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Proses ini selanjutnya disebut ketengikan hidrolitik atau kerusakan hidrolitik (Houston, 1972). Kerusakan hidrolitik minyak bekatul dapat dideteksi melalui peningkatan bilangan asam dan jumlah asam lemak bebas yang terbentuk pada bekatul. Enzim lipase baik yang berasal dari bekatul secara endogenus maupun mikroba,
5
mengawali kerusakan hidrolitik minyak bekatul. Keberadaan air dalam bahan turut membantu aktivasi lipase karena substrat tidak larut dalam air dan lipase aktif pada permukaan minyak-air (Laning, 1991). Menurut Fox (1991), laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu reaksi, kadar air, jenis substrat, konsentrasi substrat dan pH. Mekanisme hidrolisis lemak ditunjukkan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol (anonima, 2010)
2.2.2 Kerusakan Oksidatif Proses oksidasi dapat terjadi karena aktivitas enzimatik maupun non enzimatik. Oksidasi enzimatik terjadi akibat adanya enzim lipoksigenase, enzim yang ditemukan pada lembaga. Enzim lipoksigenase mengkatalis proses oksidasi asam lemak tak jenuh menjadi peroksida dengan bantuan radikal bebas dan oksigen. Peroksida merupakan senyawa yang labil dan akan terurai menjadi senyawa rantai karbon yang lebih pendek. Lipoksigenase mengkatalisis oksidasi pada poly unsaturated fatty acids (PUFA) yang mengandung 1,4-pentadiene, seperti asam linoleat, dan asam linolenat menjadi hidroperoksi asam lemak yang terkonjugasi, dan berubah menjadi berbagai macam komponen volatil seperti aldehid dan keton. Senyawa-senyawa tersebut bertanggung jawab dalam pembentukan off-flavor tengik minyak bekatul (Charley, 1982). Tingkat oksidasi minyak dalam bekatul akibat aktivitas lipoksigenase dikaitkan dengan asam lemak bebas yang terbentuk akibat aktivitas enzim lipase. Hal ini dikarenakan asam lemak tak jenuh berperan sebagai substrat yang bekerja pada kerusakan oksidasi enzimatis (Damayanthi et al., 2007). Proses oksidasi nonenzimatis dikatalisasi oleh adanya ion logam yang secara alami terdapat pada bekatul maupun akibat kontaminasi dari peralatan penggilingan. Cahaya, radiasi energi yang tinggi maupun panas juga berfungsi sebagai katalis. Oksidasi nonenzimatis dapat terjadi akibat adanya radikal bebas (autooksidasi) dan fotooksidasi. Tokoferol sebagai antioksidan alami pada bekatul dapat menghambat terjadinya proses oksidasi nonenzimatis yang berlangsung secara lambat pada biji padi (Champange, 1994). Autooksidasi asam lemak terjadi melalui tiga fase yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada fase inisiasi terbentuk radikal bebas. Pada fase propagasi radikal bebas bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksida yang memiliki kemampuan untuk menyerang asam lemak lainnya. Rantai reaksi tersebut berhenti pada fase terminasi dimana terbentuk produk hasil deteriorasi yang stabil. Sejalan dengan reaksi autooksidasi, palatabilitas minyak tersebut akan menurun dikarenakan off flavours tengik yang terbentuk (Gordon, 1990).
6
2.3 LIPASE PADA BEKATUL Enzim lipase merupakan protein yang memiliki aktivitas katalisis terhadap reaksi hidrolisis dan sintesis ikatan ester pada lemak dan turunannya. Menurut sistem International Union of Biochemistry (IUB), enzim lipase diklasifikasikan sebagai enzim hidrolase dengan nama sistematik gliserol ester hidrolase (EC 3.1.1.3) yang menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas, gliserida parsial (monogliserida atau digliserida) dan gliserol. Enzim lipase memiliki gugus polar dan non polar. Pada lingkungan aqueous gugus non polar (hidrofobik) berada di dalam struktur enzim dan gugus polar (hidrofilik) berada di luar, dan sebaliknya. Sisi aktif enzim lipase terdiri atas trio residu asam amino, yaitu serin, aspartat dan histidin. Dalam struktur enzim, sisi aktif enzim lipase tersembunyi dibalik suatu tutup, yaitu polipeptida yang sering disebut lid enzim. Secara fisiologi lid enzim berfungsi untuk mencegah kerusakan proteolitik asam amino yang terdapat pada sisi aktif enzim, yang akan mempengaruhi aktivitas enzim. Lid ini bersifat fleksibel dan pada waktu membuka menyebabkan substrat dapat mencapai sisi aktif enzim. Lid mengandung residu triptofan yang bersifat non polar. Pada saat inaktif, sisi aktif lipase masih dalam keadaan tertutup karena lid berinteraksi dengan residu hidrofobik disekitar inti katalitik. Keadaan lingkungan hidrofobik disekitar enzim akan memberikan kesempatan bagi lid untuk membuka, karena adanya interaksi antara area non polar pada lid dengan lingkungan hidrofobik. Perubahan srtuktur ini menyebabkan substrat mudah untuk berafinitas dengan sisi aktif lipase. Pada bekatul, lipase terletak pada lapisan testa dan sedikit pada lapisan perikarp (Sastry et al., 1977). Lipase yang terdapat pada bekatul telah diisolasi dan diteliti oleh Aizono et al. (1976). Lipase tersebut memiliki bobot molekul 40,000 dalton. Enzim dapat teraktivasi oleh konsentrasi rendah Ca2+ dan dihambat oleh adanya logam berat. Lipase bekatul optimum pada pH 7.5 - 8.0 sedangkan suhu optimumnya adalah 37°C dan aktivitas lipase tidak terjadi pada suhu penyimpanan beku (Luh et al., 1991). Aktivitas lipase sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban. Ketika bekatul disimpan pada suhu tinggi dan kondisi lembab, kandungan asam lemak bebas akan meningkat sebesar 5-10% per hari dan dapat mencapai 70% dalam sebulan (Orthoefer dan Eastman, 2004). Lipase pada bekatul mempunyai aktivitas hidrolisis dengan derajat keaktifan yang berbeda berdasarkan varietas padi (Tsuzuki et al., 1994). Reaksi yang dikatalisis lipase diperkirakan terjadi melalui pembentukan suatu senyawa intermedia asil-enzim. Jenis reaksi yang terjadi ditentukan oleh kondisi substrat terutama jumlah air yang terdapat pada campuran reaksi. Pada kondisi dengan jumlah air banyak (aqueous), reaksi diarahkan ke hidrolisis lemak atau minyak, sedangkan pada jumlah air yang terbatas yaitu kurang dari 1% (mikroaqueous) maka reaksi diarahkan ke reaksi pemindahan atau pertukaran asil (Iwai dan Tsujisaka, 1984). Inaktivasi enzim lipase dapat disebabkan oleh adanya panas tinggi, proteolisis, pH tidak optimal, oksidasi, denaturasi protein, hilangnya cofaktor dan coenzim. Namun inaktivasi paling signifikan adalah inaktivasi dengan perlakuan panas dan perubahan pH. Perlakuan panas pada protein akan meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak cepat sehingga mengganggu ikatan molekul tersebut dan protein terdenaturasi.
7
2.4 STABILISASI BEKATUL Masalah yang sering dihadapi dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sulitnya mendapatkan bekatul secara kontinu mengingat saat panen padi yang musiman. Teknik pengawetan yang tepat diperlukan agar bekatul dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami penurunan mutu berupa ketengikan yang signifikan dan diharapkan dapat mengatasi masalah kontinuitas penyediaan bekatul. Proses hidrolisis enzimatis berlangsung segera setelah proses penggilingan sehingga perlu segera dilakukan stabilisasi untuk mencegah hidrolisis lebih lanjut. Tujuan stabilisasi adalah membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim lipase yang terdapat pada bekatul untuk mencegah terurainya komponen minyak menjadi asam lemak bebas (Hargrove, 1994). Menurut Barber dan Barber (1980), untuk memproses bekatul menjadi produk yang bersifat food grade dengan mutu simpan yang baik dan memiliki nilai industri yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dihilangkan atau dihambat. Berkaitan dengan hal tersebut, inaktivasi enzim penyebab kerusakan haruslah lengkap dan tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, komponen-komponen berharga di dalam bekatul harus dipertahankan. Prinsip stabilisasi bekatul dilakukan dengan menginaktivasi lipase yang berperan dalam reaksi hidrolisis lemak. Menurut Orthoefer (2001), metode yang telah digunakan untuk stabilisasi bekatul diantaranya pemanasan basah atau kering untuk mendenaturasi enzim lipase, penyimpanan suhu rendah, modifikasi pH, dan penambahan bahan kimia tertentu. Stabilisasi bekatul dengan pemanasan kering pada suhu tinggi seperti penyangraian atau pengeringan dengan fluid bed dryer membutuhkan waktu lama sekitar 20-30 menit. Pemanasan yang lama dan tidak merata dapat menyebabkan tingginya paparan mikroba, bekatul dan minyak bekatul yang berwarna gelap serta lipase dimungkinkan kembali aktif. Pemanasan kering dengan mempertahankan kelembaban bahan memberikan hasil yang lebih baik daripada pemanasan kering pada suhu tinggi. Salah satu proses pengolahan yang mempergunakan panas adalah proses ekstrusi. Ekstrusi merupakan proses pengolahan yang mempergunakan suhu tinggi dan waktu yang singkat. Stabilisasi bekatul dengan metode ekstrusi telah dilakukan oleh Randall et al. (1985) dengan menggunakan ekstruder ulir ganda Brady pada suhu 130°C dan dipertahankan selama 3 menit pada suhu 97-99°C sebelum didinginkan. Bekatul yang dihasilkan tidak menunjukkan peningkatan signifikan pada nilai asam lemak bebas selama 30-60 hari. Stabilisasi bekatul dengan teknik ekstrusi dilaporkan membutuhkan biaya lebih murah, efektif, dan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Di Jepang, penelitian proses pengawetan bekatul dengan ekstruder berulir ganda (double screw extruder). Ekstrusi dilakukan dengan alat ekstruder (Clextral BC-45). Kadar air bekatul dinaikkan menjadi 16.6% dan suhu ekstrusi 150°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kestabilan bekatul selama penyimpan 24 hari tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan bekatul mentah. Kelemahan penggunaan panas pada proses stabilisasi bekatul, dapat mengakibatkan peningkatan reaksi oksidasi enzimatis. Penggunaan panas menyebabkan penyebaran minyak, penghancuran antioksidan alami di dalam bekatul, dan meningkatkan luas permukaan minyak yang kontak dengan oksigen (Champagne, 1994). Metode stabilisasi lainnya adalah penyimpanan pada suhu rendah. Suhu rendah dapat menurunkan kecepatan hidrolisis lemak oleh lipase, namun ketika terjadi peningkatan suhu maka aktivitas lipase akan kembali terjadi. Selain itu pendinginan membutuhkan biaya besar dan terbatas untuk aplikasi komersial (Orthoefer, 2001). Metode modifikasi pH hingga 4.0 dengan
8
menambaahkan asam hiddroklorat menuurunkan aktivittas lipase (Prabbhakar dan Veenkantesh, 19866). Modifikaasi pH ini tidakk dapat diaplikkasikan pada bekatul b yang aakan digunakaan sebagai bahhan pangan. Penambahan sodium metabbisulfite pada bekatul dapat menghambat aktivitas lipasse, metode in ni juga tidak diaplikasikan d pada industri. Metode M lain yaang juga telah dilakukan untuuk stabilisasi bekatul adalaah pemanasan dengan microowave 850 W sselama 3 meniit pada kadar air a 21% (Ram mezanzadeh ett al.,1999).
2 EKSTR 2.5 RUDER Ekstrruder adalah alat a untuk mellakukan prosess ekstrusi. Ekkstruder dapat diklasifikasikkan berdasarkkan metode opperasi dan metode konstruksinya. Prinsip operasinya haampir sama paada semua tip pe bahan mentaah, yaitu mem masukkan bahan n ke dalam laraas ekstruder daan kemudian ulir u mendoronng bahan terseebut di sepanjang ekstruder hingga keluarr pada lubangg die. Ekstrudder mampu melakukan m pro oses pencampuuran dengan baaik yang bertujjuan agar bahaan homogen dan d terdisperssi dengan baik.. Berddasarkan metodde operasinya, ekstruder daapat dibagi meenjadi ekstrudder pemasak dan d ekstruderr non pemasak (cold extruderr). Pada ekstruuder pemasak, bahan pangan dipanaskan olleh uap panass atau pemanass elektrik yangg memanaskan laras secara laangsung. Selaiin itu, panas juuga dihasilkann oleh friksi yaang disebabkann oleh ulir. Ekkstruder pemassak adalah prooses dengan suhhu tinggi daan waktu yang g singkat (Higgh Temperaturre Short Timee) sehingga daapat menguranngi terjadinyaa kontaminasi mikroba m dan innaktivasi enzim m. Berddasarkan konstrruksi alatnya sseperti pada Gaambar 3, ekstrruder terdiri attas ekstruder uulir tunggal (SSingle Screw Extruder) E dan eekstruder ulir ganda g (Double Screw Extrudeer).
Gam mbar 3. Ilustrassi ekstruder ulirr ganda (atas) dan d ulir tunggaal (bawah) (Annonimb,2010)
9
Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi High Shear Extruder untuk sereal dan snack, Medium Shear Extruder untuk produk semi basah, dan Low Shear Extruder untuk pasta dan produk daging. Sedangkan ekstruder ulir ganda, terdiri atas dua ulir yang sama panjang dan terletak berdampingan dalam suatu laras. Tabel 3 menunjukkan perbedaan utama antara ekstruder ulir tunggal dan ulir ganda. Berdasarkan arah alirannya, ekstruder ulir ganda dapat dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan pada bentuk dan cara pemasangan ulir di dalam laras maka terdapat ekstruder ulir ganda intermeshing dan nonintermeshing (Harper, 1981). Ekstruder ulir ganda intermeshing dengan arah aliran counter rotating merupakan jenis ekstruder yang digunakan pada penelitian ini.
Tabel 3. Perbedaan antara ekstruder ulir tunggal dan ulir ganda (Van Zuilichem, et. al., 1982) Perbedaan
Ekstruder ulir tunggal
Mekanisme penggerakan Friksi antara logam dan bahan bahan Penyedia energi utama Kapasitas (kg/jam) Perkiraan energi per kg
makanan Panas gerakan ulir Tergantung pada kandungan air, lemak dan tekanan
Ekstruder ulir ganda Penggerakan bahan kea arah die Panas yang dipindahkan pada barrel Tidak tergantung apapun
900-1500 kJ/kg
400-600kJ/kg
Distribusi panas
Perbedaan temperatur besar
Perbedaan temperatur kecil
Biaya keseluruhan
Tinggi
Rendah
30%
95%
produk
Kandungan air maksimum
Pada sistem konfigurasi non-intermeshing, sumbu kedua ulir tersebut terletak cukup berjauhan sehingga putaran ulir yang satu tidak terlalu mempengaruhi putaran ulir yang lain. Dalam hal ini, konfigurasi non-intermeshing dapat dianggap sebagai dua ekstruder ulir tunggal dengan kapasitas yang lebih besar. Pada sistem intermeshing, kedua sumbu ulir tersebut cukup berdekatan sehingga flight dari ulir yang satu dapat masuk ke dalam ruang pada ulir yang lain, sedemikian rupa sehingga saling terkait. Sistem demikian memungkinkan self-cleaning dan selfwiping (flight dari satu ulir menyapu dan membersihkan bahan yang berada dalam ruang ulir yang lain). Dengan demikian, kapasitas transportasi (conveying capacity) ekstruder ulir ganda, khususnya dalam konfigurasi intermeshing akan meningkat. Kecepatan ulir ekstruder dapat meningkatkann spesific mechanical energy (SME). Hal ini disebabkan peningkatan dalam shear rate ketika peningkatan kecepatan ulir tercapai (Li et al., 2004). Menurut Waluyo et al. (2003), peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan suhu laras selama proses ekstrusi namun juga menurunkan resident time jika kecepatan umpan atau feedrate konstan.
10