MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA SELASA, 13 JUNI 2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 29/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 1 angka 6 huruf b, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 183, Pasal 190 huruf a, Pasal 191 ayat (3), Pasal 193 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, Pasal 197 ayat (1) huruf k, Pasal 238 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 242, Pasal 253 ayat (4) serta ayat (5) huruf a dan huruf b] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 29/PUU-XV/2017 1. Elisa Manurung 2. Paingot Sinambela PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017 1. Zain Amru Ritonga ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Selasa, 13 Juni 2017 Pukul 08.10 – 09.19 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Saldi Isra 2) Suhartoyo 3) Wahiduddin Adams Hani Adhani Ery Satria Pamungkas
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 29/PUU-XV/2017: 1. Elisa Manurung 2. Paingot Sinambela B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 30/PUU-XV/2017: 1. Bonget Jhon Sihombing 2. Emza Rahmadika 3. Kris Ardy Aritonang
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 08.10 WIB 1.
KETUA: SALDI ISRA Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang pendahuluan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 29/PUU-XV/2017 dan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30/PUU-XV/2017 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Ini sidang pendahuluan kita gabung dua perkara karena menyangkut hal yang relatif sama. Jadi ... apa namanya ... pertama dipersilakan kepada Pemohon Perkara Nomor 29 memperkenalkan diri.
2.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Baik, terima kasih, Majelis Mahkamah Konstitusi. Saya perkenalkan bahwa nama saya adalah Elisa Manurung selaku Pemohon I uji materi ini. Kemudian Pemohon II. PEMOHON PERKARA SINAMBELA
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
PAINGOT
Saya Paingot Sinambela, S.H., M.H., sebagai yang mendampingi untuk Pemohon II. Terima kasih. 3.
KETUA: SALDI ISRA Jadi ini permohonan 29, ya. Yang 30 sama? Silakan yang 30. KUASA HUKUM KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017: BONGET JHON SIHOMBING Yang kami muliakan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang kami hormati Para Hadirin persidangan sekalian. Sebelumnya kami perkanalkan yang hadir pada persidangan ini, saya Bonget Jhon Sihombing selaku Kuasa Hukum. Di sebalah kiri saya ada.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017: EMZA RAHMADIKA Saya Emza Rahmadika, Yang Mulia.
1
5.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017: BONGET JHON SIHOMBING Dan di sebelah kiri.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017: KRIS ARDY ARITONANG Saya Kris Ardy Aritonang, S.H.
7.
KETUA: SALDI ISRA Ya, terima kasih. Jadi ... apa namanya ... karena ini pendahuluan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di sini, kepada para pihak itu dipersilakan untuk menyampaikan pokok-pokok perkara. Dimulai dari Perkara Nomor 29. Nah, ini yang paling banyak ini, ya, ada 20 pasal yang diujikan. Silakan 29 menguraikan pokok-pokok perkaranya.
8.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Terima kasih, Pimpinan Majelis Mahkamah Konstitusi. Latar belakang kami menyampaikan ataupun mengajukan untuk menguji pasal-pasal yang kami mohonkan ini karena kami salah satu advokat yang mana kami berprinsip bahwa negara ini harus menegakkan hukum karena dasar adalah dasar hukum. Kami merasa dirugikan sering kali keputusan daripada majelis hakim itu menyimpang dari aturan-aturan di dalam hukum acara pidana. Oleh karena itu, kami ajukan pasal-pasal yang berkaitan dengan yang kami ujikan ini agar kiranya Mahkamah Konstitusi memutus sesuai dengan kewenangannya. Supaya ada kepastian hukum di Republik ini yang sering kali kami selaku advokat ini menjadi korban dari ketidakadilan, baik kami selaku penegak hukum dan mereka para pencari keadilan. Sebagaimana yang disampaikan oleh ... dalam permohonan kami bahwa selaku warga negara kami mempunyai hak konstitusi yang dilindungi. Oleh karena itu, kami mengajukan permohonan ini karena Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjamin dalam pasalnya Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian Pasal 1 ayat (3). Lalu kami juga selaku Para Pemohon yang berkaitan dengan pasal undang-undang … Kitab Undang-Undang Hukum Acara ada beberapa hal yang menjadi catatan buat kami khususnya Pasal 1 angka 6 huruf b yang berbunyi, “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
2
Kemudian dan selanjutnya kami juga menyampaikan seringkali dalam permohonan kami ini berupa hilangnya ... berkurangnya … terbatasnya hak atas negara hukum dan kepastian hukum yang adil sebagai akibat berlakunya pasal a quo yang kami ajukan untuk diuji dan diputuskan oleh Majelis Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kerugian Para Pemohon yang semakin berpotensi terjadi pasca salah satu putusan Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang kebetulan mengadili seorang yang bernama Ir. Basuki Tjahja Purnama, putusannya berdasar dakwaan dan tidak berdasar tuntutan. Sementara dalam putusannya mencampuradukkan antara putusan dan penetapan penahanan. Kemudian dalam pokok perkara yang kami ajukan bahwa isu utama dari Pemohon ini adalah kewenangan hakim dalam menegakkan sistem hukum pidana (criminal justice system) ada dua hal, yaitu kewenangan hakim untuk memerintahkan penahanan dan kewenangan hakim untuk menyatakan terdakwa berdasar ... bersalah berdasar dakwaan. Mengutip Montesquieu yang popular dengan trias politica kekuasaan negara terbagi dalam tiga cabang, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dan sebagaimana kita ketahui, ketiga cabang kekuasaan itu mempunyai batasan dan kewenangan sehingga semua dapat dilaksanakan dengan jalur dan kemampuannya. Tetapi kenyataannya, sering terjadi bahwa apa yang dilakukan kekuasaan kehakiman, mencederai rasa keadilan, khususnya kami sebagai advokat. Oleh karena itu, kami perlu memohon agar uji materi ini dapat diputuskan oleh Majelis, supaya rasa keadilan yang berkaitan dengan pasal-pasal yang kami ajukan itu mendapat kepastian hukum, bukan multitafsir ataupun logika hakim untuk memutuskan sesuai dengan kekuasaannya, padahal semua sudah diatur dan ada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, ada Undang-Undang Advokat, dan ada UndangUndang tentang Kejaksaan. Tetapi yang terjadi, rasa keadilan itu tidak ... tidak ... tidak terjadi karena sering kali majelis hakim memutus di luar kewenangan atau kekuasaannya, sehingga terjadilah abuse of power. Ini sangat berbahaya kalau terus berlangsung dan dialami oleh kami selaku pihak yang sering kali bersinggungan dengan persoalan-persoalan beracara di pengadilan. Oleh karena itu, kami mohon supaya Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutus permohonan kami dengan seadil-adilnya. Terima kasih. Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan. 9.
KETUA: SALDI ISRA Cukup, ya? Ya, harusnya apa namanya ... menyampaikan apa ini ... pokok-pokok permohonan ini secara sistematis. Misalnya, isu hukumnya apa, lalu legal standing Pemohon bagaimana, itu harus diuraikan pokok-pokoknya. Lalu kemudian, kira-kira apa namanya ... 3
setelah legal standing, batu uji apa yang digunakan, alasan-alasan konstitusional yang didalilkan dirugikan itu, kemudian apa yang diminta, begitu. Jadi, supaya kita mengikutinya juga lebih sistematis begitu, untuk ke depan. Silakan, Pemohon Nomor 30. 10.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017: BONGET JHON SIHOMBING Terima kasih, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, kami perken ... selanjutnya, kami bacakan pokok-pokok permohonan uji materiil terhadap Pasal 193 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang diajukan oleh Pemohon. Antara lain: Legal standing Pemohon dalam perkara ini, yakni Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, dimana dalam menjalankan profesinya antara lain melakukan pembelaan terhadap terdakwa dalam persidangan pidana. Apabila Pemohon menjalankan profesinya dan menghadapi persoalan yang sama, baik menangani perkara klien yang menjadi terdakwa maupun dirinya sendiri sebagaimana kasus faktual yang dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Perkara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN Jakarta Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, maka Pemohon berpotensi menghadapi ketidakpastian hukum dalam memberikan bantuan hukum terkait norma dalam Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP. Ketidakpastian ini berpotensi melanggar hak-hak Pemohon, khususnya hak jamin atas kepastian hukum yang adil. Di samping itu, Pemohon merasa wajib untuk mengkritisi pasal tersebut sebagaimana dalam aktivitas kesehariannya sebagai advokat sering bersinggungan dengan KUHAP Pasal 193 ayat (2) huruf a dalam rangka memperjuangkan hak-hak terdakwa di pengadilan. Yang menjadi batu uji dalam permohonan kami, yakni Pasal 193 ayat (2) huruf a dinilai telah bertentangan dengan pandangan atau aliran, pikiran, nilai, jiwa, dan semangat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Alasan-alasannya. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP, pengadilan negeri dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yang tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Dalam penjelasannya disebutkan perlu dilakukan penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan alat bukti, ataupun mengulangi tindak pidana.
4
Bahwa dengan keberadaan pasal a quo yang dijadikan pertimbangan hukum pada saat dijatuhkannya putusan pidana terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Nomor Perkara 1537/PidanaBiasa/2016/PN Jakarta Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang telah menimbulkan perbedaan penafsiran atau multitafsir dan perbedaan pendapat yang luas. Dengan adanya penjatuhan putusan agar terdakwa ditahan, padahal selama persidangan tidak ditahan. Maka banyak pihak yang beranggapan, terdakwa yang diputus berdasarkan Pasal 193 ayat (2) huruf a tersebut tidak boleh ditangguhkan penahanannya, walaupun masih ada proses banding. Namun, di sisi lain ada yang berpendapat masih bisa ditangguhkan penahanannya. Kalangan yang berpendapat tidak dapat ditangguhkan penahanannya beralasan putusan pemidanaan dan perintah penahanan harus diterima sebagai kenyataan hukum serta berkekuatan eksekutorial. Karena sudah menjadi suatu prinsip bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar sampai adanya putusan di atasnya yang berwenang membatalkan putusan tersebut. Bahwa selain multitafsir, yang pertama kami menilai bahwa Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP telah bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah. Bahwa dengan adanya penjelasan Pasal 193 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, mengesankan putusan hakim pengadilan negeri yang menjatuhkan amar supaya terdakwa ditahan bersifat imperatif atau wajib dilaksanakan terlebih dahulu walaupun masih ada proses banding dan kasasi. Perintah hakim pengadilan negeri yang secara serta-merta menahan dimaknai sebagai keharuman hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak boleh diabaikan. Secara eksplisit seakan-akan Pasal 193 ayat (2) KUHAP memiliki kesamaan konsep dengan putusan serta-merta pada pengadilan perdata yang bersifat harus dijalankan terlebih dahulu walaupun masih ada proses banding dari kasasi atau uitvoerbaar bij voorraad. Padahal konsep perdata tidak boleh disamakan dengan konsep pidana, dimana bentuk penjalanan atau pelaksanaan amar putusan dalam hukum pidana bersifat pengekangan atau pembatasan kebebasan bergerak terhadap hak asasi seseorang, sedangkan dalam hukum perdata lebih bersifat kebendaan dan privat. Seharusnya hakim pengadilan negeri sesaat telah menjatuhkan putusan perintah penahanan, putusan tersebut menjadi tidak dapat dijalankan atau dieksekusi ketika terdakwa saat itu juga menyatakan banding. Putusan tersebut haruslah dianggap belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Bilamana penahanan dirasakan perlu dilakukan maka yang paling berwenang pada saat telah dinyatakan banding kewenangannya terletak pada pengadilan tinggi. Jika memang demikian untuk apa diberikan kewenangan pada hakim pengadilan negeri menjatuhkan putusan sebagaimana Pasal 193 ayat (1) huruf a KUHAP? 5
Sedangkan dalam rangka eksekusi putusan pidana Pasal 270 KUHAP disebutkan, “Jaksa hanya berwenang menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Diperkuat dengan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Kejaksaan, yakni melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka seharusnya Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP tidak dapat dilaksanakan apabila terdakwa langsung mengajukan banding. Sehingga pasal ini dirasakan tidak perlu ada dan tidak bermanfaat dan apabila dijalankan justru menimbulkan kekacauan hukum serta bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah. Yang kedua, Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahwa Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum apakah majelis hakim pengadilan tinggi yang menerima berkas perkara banding terdakwa tersebut oleh mengabaikan? Tidak mengikuti dan tidak sependapat dengan putusan pengadilan negeri yang telah memerintahkan terdakwa harus ditahan? Dengan mengeluarkan penetapan penangguhan penahanan ataukah hakim pengadilan tinggi tidak berwenang menetapkan penangguhan penahanan terhadap terdakwa sampai adanya putusan yang membatalkan putusan sebelumnya? Bahwa jikapun hakim pengadilan tinggi berwenang untuk menyimpangi amar putusan hakim pengadilan negeri sebagaimana Pasal 193 ayat (2) KUHAP maka yang terjadi adalah ketidakefektifan hukum, dimana terdakwa hanya sebentar saja ditahan yakni semenjak dijatuhkannya putusan oleh majelis hakim pengadilan negeri hingga sampai ditangguhkan penahanannya oleh hakim pengadilan tinggi yang telah menerima berkas perkara terdakwa yang mengajukan banding. Selanjutnya untuk apa kegunaan adanya kewenangan hakim pengadilan negeri menahan terdakwa saat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yang tidak ditahan? Mengapa penahanan dengan alasan subjektif Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak dilakukan terhadap terdakwa pada proses persidangan dimana hakim pengadilan negeri berwenang untuk itu, yakni sejak menerima pelimpahan perkara dari jaksa atau proses penuntutan di pengadilan? Sehingga dapat dirasakan bahwa keberadaan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP a quo tidak memiliki daya manfaat keberlakuannya dan tidak selaras dengan tujuan hukum yang salah satunya adalah pemanfaatan. Justru pasal a quo hanya akan menimbulkan kekacauan hukum. Bahwa dengan adanya Pasal 193 ayat (2) KUHAP telah membuka peluang terciderainya hak asasi terdakwa yang seharusnya tidak perlu dilakukan penahanan terhadap dirinya pada saat penjatuhan putusan, oleh karena telah langsung beralih kewenangan pengadilan menjadi kewenangan pengadilan tinggi sejak saat terdakwa menyatakan banding pada saat itu juga putusan dibacakan.
6
Dan selanjutnya Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap prinsip persamaan di muka umum atau di muka hukum. Bahwa dengan adanya Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap hak persamaan di muka hukum, dimana hakim pengadilan negeri secara subjektif dan dapat menahan terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan pada saat dijatuhkannya putusan. Faktanya terdapat pembedaan atau disparitas putusan, selama ini lebih banyak hakim pengadilan negeri tidak melakukan penjatuhan putusan penahanan terhadap terdakwa yang selama proses persidangan tidak ditahan. Namun dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terdakwa ditahan pada saat penjatuhan putusan dengan dasar pertimbangan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP. Berdasarkan uraian-uraian di atas Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasal 193 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut. 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian undang-undang Pemohon. 2. Menyatakan Pasal Pasal 193 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 3. Menyatakan Pasal Pasal 193 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Hormat kami, Kuasa Hukum Termohon. Terima kasih. 11.
KETUA: SALDI ISRA Terima kasih kedua Pemohon untuk Perkara Nomor 29 dan 30, sudah menyampaikan pokok-pokok perkara. Nah, sekarang sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Hakim akan memberikan nasihat atau saran-saran kepada Pemohon untuk dipertimbangkan. Nah, jadi ini pertimbangan. Kalau saran itu mau ditindaklanjuti, silakan. Tidak, juga tidak apa-apa. Nanti akan kami nilai berikutnya. Nah, ini karena gabungan dua perkara, maka nasihat-nasihat atau saran-saran Hakim juga sekaligus akan mengomentari dua perkara ini. Jadi, kalau nanti menyangkut 29, silakan yang 29 untuk mencatatnya. 7
Kalau Hakim menyebut 30, silakan Pemohon Perkara Nomor 30 yang mencatatnya. Jelas ya? Pertama, silakan, Yang Mulia Bapak Suhartoyo. 12.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO Ya, terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Pemohon Nomor 29 dulu, ya, Pak Elisa Manurung dan … duaduanya hadir ini? Kalau Anda advokat, mestinya pakai toga, ya! Meskipun Anda posisinya sebagai Prinsipal, ya. Jadi ke depan kalau masih ada kegiatan persidangan lagi, ini teman-teman yang 30 … yang tidak pakai toga apa? Oh, ya. Artinya sudah ada yang pakai toga, artinya sudah ada mengetahui tentang hal itu, kan? Enggak apa-apa, ini mengingatkan saja. Karena beracara di Mahkamah Konstitusi, kita sudah punya PMK khusus. Jangan disamakan di peradilan umum. Kalau di peradilan umum memang ketika advokat sekalipun kalau yang sedang diwakili atau sedang menempatkan diri sebagai … posisi sebagai advokat atau kuasa hukum dalam perkara-perkara perdata kan, tidak pakai toga kan? Hanya di perkara pidana, kan? Tapi kalau di sini, PMK kita mengatur bahwa sepanjang yang bersangkutan adalah advokat, persidangan yang bersangkutan harus menggunakan toga. Kemudian yang kedua, Nomor 29 ini sistematika menurut saya untuk Kewenangan Mahkamah, ini hanya … di Kewenangan Mahkamah hanya menyitir beberapa putusan. Tapi, tidak me-declare apakah kewenangan Mahkamah itu bisa muncul di situ. Mestinya seperti yang pas Nomor 30 bahwa oleh karena permohonan a quo adalah pengujian terhadap pasal … Bapak kan mintanya pasalnya banyak nih. Pasal 6, Pasal 183, Pasal 193 KUHAP, terhadap Undang-Undang Nomor 8 ... eh, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menyidangkan perkara ini. Ya, itu baru Kewenangan Mahkamah muncul di situ. Tapi Bapak kan, hanya beberapa putusan Bapak angkat. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka MK berwenang … enggak, enggak connecting di situ. Jadi, supaya diberi pengantar bahwa oleh karena yang Pemohon ajukan adalah pengujian pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka ... terhadap Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah berwenang menyidangkan perkara a quo. Itu catatan pertama untuk Kewenangan Mahkamah. Kemudian sistematika kedua kan, kedudukan hukum atau legal standing. Memang di Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya kan, kerugian konstitusional itu lebih kepada seseorang yang secara langsung mengalami kerugian konstitusionalitas atas berlakunya sebuah norma atau sebuah pasal dalam sebuah undang-undang. Tapi kalau Anda kemudian membawa atau menggeser, kemudian dihadapkan pada 8
persoalan potensi itu memang, potensi menjadi … menjadi agak confuse, ya. Jadi potensi seperti apa? Secara tegas, saya contohkan kalau memang Anda ini sebenarnya membawa kasusnya Pak Ahok ke sini, mestinya yang … yang memberi kuasa itu lebih tepat, lebih firm kalau sebenarnya Pak Ahok memberi kuasa kepada Anda. Atau Anda-Anda sendiri kebetulan di samping sebagai advokat, sedang atau pernah melakukan … eh, pernah terkena kasus-kasus seperti ... apa sedang dilakukan penyelidikan atau pemeriksaan oleh penyidik misalnya, kan. Nah, Anda ada potensi ke situ. Tapi kalau sekarang Anda masih fine-fine saja, ya, menurut saya potensi itu masih … masih belum nampak. Itu sebenarnya potensi yang dikehendaki oleh Mahkamah itu sebenarnya seperti itu. Tapi nanti mungkin bisa dijelaskan juga oleh Pak … Prof. Saldi itu masalah potensi itu karena kita juga, Para Hakim di MK juga, sampai sekarang memaknai potensi itu juga menjadi agak bias karena sampai titik di mana potensi itu? Kalau Bapak-Bapak ini mendapat kuasa dari Pak Ahok atau siapa pun yang sedang jadi terdakwa, nah, itu sangat kuat berpotensi, apalagi sedang disidangkan akan mendapat perlakuan yang sama seperti Pak Ahok misalnya. Apalagi Pak Ahok, meskipun Pak Ahok masanya sudah lewat. Itu soal kerugian konstitusional yang dikaitkan dengan legal standing. Jadi, nanti supaya Pemohon Nomor 29 ini diperkuat argumenargumen itu, diberi ... apa ... eksplor ke situ supaya kami bisa menemukan benang merah, di mana sih, kerugian yang Anda maksudkan? Apalagi Anda juga ... hanya mengatakan berpotensi. Kemudian yang ketiga, Pokok Perkara. Pokok Perkara ini memang ... ini gaya peradilan umum ini. Sebenarnya kalau di sini kan, alasanalasan permohonan, misalnya kan. Nah, ini ... ini biasanya ada perpaduan antara kerugian-kerugian yang dialami dengan kasus-kasus konkret yang di ... yang dialami itu dengan ... apa ... adanya norma itu. Artinya bahwa pintu masuknya sebenarnya di alasan-alasan itu. Itu lebih kepada menjadi ... kepada koridor yang bisa menemukan, oh ini karena ada kasus Anda seperti ini, makanya kerugian konstitusional yang Anda alami itu bisa ketemunya di alasan-alasan permohonan itu. Meskipun dalam banyak permohonan di Mahkamah Konstitusi, alasan-alasan permohonan itu banyak dikaitkan dengan kasus-kasus konkret yang dialami oleh Para Pemohon atau prinsipalnya. Nah kemudian, Nomor 29 juga mestinya harus diuraikan, seperti disampaikan Prof. Saldi tadi. Apa sih, persoalan-persoalan konstitusionalitas norma yang ada di pasal yang sedemikian banyak yang Bapak mohonkan itu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Mestinya Bapak hadapkan dengan pasal-pasal yang ada di Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu pasal berapa saja? Apakah Pasal 27 persamaan di depan hukum, kepastian hukum, atau pelanggaran hak 9
asasi? Di situ kan, ada pasal-pasal yang ada di Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kalau Anda cuma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tapi tidak menyebutkan pasal-pasal yang ada di Undang-Undang Dasar Tahun 1945-nya, kan ... Mahkamah kan juga tidak tahu. Itu mestinya harus dihadapkan dan satu per satu harus Anda petakan. Itu karena permohonan Anda kan, banyak sekali itu. Kemudian, Petitum juga ... Petitum Nomor 29 ini, menurut saya juga sangat gimana, ya ... kalau hanya minta misalnya menyatakan
Pasal 26 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai atas permintaan penuntut umum. Pasal 26 ayat (2) juga atas permintaan penuntut umum. Pasal 27 juga atas permintaan penuntut umum. Ini yang dimaksudkan seperti
apa? Apakah salah satu frasa saja yang ada di pasal itu? Ataukah semua norma yang ada di Pasal 26, Pasal 27, dan seterusnya ini kemudian hanya dimaknai atas permintaan penuntut umum saja? Kan jadi … jadi apa, ya … jadi menimbulkan ketidakpemaknaan yang lebih mengerucut. Soalnya kalau … kalau kita sekarang diskusi saja, Pak Pemohon Nomor 29 dulu. Kalau Bapak minta pasal … dari Pasal 6 dulu, ya, Pasal 6 yang ada di ketentuan umum. Pasal ayu … Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP ini tentang … kita diskusi dulu, kita … apa … penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Ini salah satu contoh satu … Pasal 1 angka 6 huruf b. Kalau pasal ini Bapak minta supaya dihilangkan, ya, kan? Kalau ini permintaan Bapak ini dihilangkan ini. Kalau yang lain, supaya dinyatakan tidak dimaknai atas permintaan penuntut umum, pemaknaan. Tapi kalau yang Pasal 1 angka 6, Bapak minta supaya ini dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kalau Pasal 1 angka 6 huruf b yang berbunyi, “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim,” dihilangkan dari KUHAP, Undang-Undang Nomor 8/1981, lah, nanti siapa yang melakukan penuntutan? Coba. Kalau tugas pokok, wewenang pokok, pewenang utama jaksa dihilangkan di situ. Kemudian, siapa juga yang melaksanakan putusan hakim? Coba, Bapak. Kalau yang lain supaya dimaknai begini, tapi kalau yang petitum Bapak Nomor 1, itu kan penuntut umum adalah jaksa, kemudian yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kalau ini dihilangkan, terus siapa yang melaksanakn penuntutan dalam KUHAP? Siapa kemudian yang melaksanakan ketetap … penetapan hakim? Enggak ada dong. Coba diberi pemaknaan kalau Bapak memang … nah ini juga alasan … alasanya sebenarnya apa? Kerugian konstitusionalitasnya apa adanya pasal ini? Karena selama ini, jaksa itu adalah yang melaksanakan 10
penetapan atau putusan hakim. Eksekutor daripada putusan hakim, itu adalah jaksa. Melaksanakan penetapan, itu misalnya penetapan penahanan, penetapan penangguhan penahanan, ya, kan? Penetapan pinjam pakai barang bukti, penetapan misalnya izin berobat, penetapan misalnya pembantaran, itu namanya jaksa menjalankan fungsi melaksanakan penetapan hakim. Kemudian ada jaksa juga melaksana … berfungsi melaksanakan putusan hakim, ketika melaksanakan putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, mengeksekusi ter … terpidana, mengembalikan barang bukti, itu jaksa selaku pelaksana putusan hakim. Kemudian sebagai penuntut, itu yang menghadirkan terdakwa dari proses pembacaan dakwaan, berkas perkara dilimpahkan sampai dengan hakim memutus itu adalah proses penun … penuntutan. Jangan salah, Pak, setiap sidang itu, itu tanggung jawab jaksa yang menghadirkan terdakwa itu, jangan salah. Meskipun di setiap pengadilan ada sel-sel tahanan, itu pengadilan hanya tanggung jawab masalah tempat, tapi teknis yudisialnya, kewenangan membawa tahanannya dari rumah tahanan negara ke sel tahanan, kemudian ke ruang sidang sampai yang mem … memborgol, kemudian melepas borgolnya ketika menghadap hakim, itu adalah tanggung jawabnya jaksa, bukan pengadilan. Jadi ket … makanya ketika ada tahanan lari segala macam, itu yang tanggung jawab bukan pengadilan karena pengadilan itu hanya menyiapkan tempat karena itu semacam bentuk koordinasi, bentuk kerjasama saja. Tapi, tanggung jawab yuridisnya adalah tetap pada penuntut umum. Jadi, proses dari a sampai z, itu adalah memang itu kewenangan dan kewajiban penuntut umum. Nah, kembali kepada persoalan nomor … Pasal 1 Angka 6 tadi, Pak, Pemohon Nomor 29. Coba direnungkan kembali, kalau ini nanti Bapak minta disikat supaya tidak ada dalam KUHAP, bagaimana pelaksanaan proses persidangan? Kemudian siapa yang melaksanakan penetapan? Siapa yang melaksanakan putusan hakim? Kalau dihilangkan dengan dari fungsi dasar yang ada di … ketentuan umum, ini kan ketentuan yang jadi acuan untuk pasal-pasal selanjutnya, nah itu untuk contoh Pasal 1, Angka 6. Nah, kemudian Pasal 26 misalnya kita contohkan lagi, Pak. Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari. Bapak minta di sini, dimaknai atas permintaan penuntut umum. Nah, ini … ini juga mesti harus Bapak renungkan kembali, apakah seorang hakim ketika mendapat pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum, mau menahan apa tidak, itu harus menunggu permintaan jaksa? Permintaan penuntut umum? Apa itu yang Bapak maksudkan? Sementara yang paling tahu
11
tentang perkara itu sendiri, apakah perlu terdakwa ini ditahan apa tidak, dalam konteks untuk jalannya pemeriksaan, kan hakimnya, satu. Kemudian, yang kedua. Berkas perkara ketika dari jaksa penuntut umum dilimpahkan ke hakim, ke pengadilan negeri, itu tanggung jawab yuridis sudah pindah ke pengadilan negeri. Mau ditahan oleh hakim atau tidak, itu adalah tanggung jawab sepenuhnya adalah tanggung jawab pengadilan, dalam hal ini hakim yang menyidangkan. Ketua pengadilan negeri saja enggak punya hak untuk menahan, kecuali nanti masa penahanan hakim habis, ketua pengadilan negeri karena jabatan, dia bisa memperpanjang. Tapi, yang utama adalah hakim dahulu yang punya kewenangan untuk menahan karena hakim yang paling tahu. Untuk kepentingan pemeriksaan, perlu tidak terdakwa ini ditahan? Kalau ini harus … atas permintaan penuntut umum, kewenangan sudah berpindah, Pak. Tanggung jawab yuridis sudah tidak ada hubungan lagi kalau tanggung jawab yuridis sudah ada pada … untuk tanggung jawab yuridis penahanan. Tapi, tanggung jawab yuridis membawa se … terdakwa ke persidangan, tetap jaksa. Itu, Pak, jadi imple … im … implikasinya sangat luas permohonan Bapak itu. Terus Pasal 26 ayat (2), 26 ayat (2) juga ini, jangka waktu sebagai ... tersebut pada ayat (1), “Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan,” ini seperti yang saya contohkan tadi. Kalau ini juga harus ada juga permintaan penuntut umum, itu juga menjadi tidak anu ... tidak ... apa ... tidak ... tidak lagi bahwa pengadilan itu punya independency kan, semua harus dikendalikan oleh jaksa ... ta mau ditahan atau tidak, lihat dulu permint ... ada permintaan jaksa apa tidak. Sedangkan esensi penahanan itu yang paling tahu adalah hakim yang memeriksa. Hakim di dalam meminta perpanjangan penahanan ke ketua pun, itu ada permohonannya, Pak. Hakim kan punya kewenangan untuk menahankan 30 hari pertama. Kalau belum cukup, perpanjang oleh hakimnya 30 hari lagi kan, itu 60 hari. Kalau 60 hari belum cukup juga, kemudian perkara itu memenuhi Pasal 29 KUHAP ... tahu, enggak Pasal 29 KUHAP? Ancaman pidana di atas 9 tahun, ya kan? Bisa dimintakan perpanjangan ke ketua pengadilan negeri, bahkan bisa ke pengadilan tinggi, itu yang paling tahu adalah hakimnya. Tapi, kalau ancaman pidana perkara itu tidak sampai 9 tahun, enggak bisa dimintakan perpanjangan ke pengadilan tinggi. Nah, ini kalau harus dikendalikan, harus ada permintaan jaksa, ini korelasinya di mana, Pak? Itu yang ini ... ini banyak, banyak pasal-pasal Bapak yang minta semua harus dikendalikan oleh jaksa. Ini nanti hakim seperti malah tidak punya kemandirian di situ, semua dan itu saya kira juga sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip ... apa ... due process of law. Karena malah nanti akan terjadi ... apa ... ketidak ... ketidakadilan. Karena begini, Pak. Bapak jangan melihat kasus Pak Ahok ini secara apa, ya, maaf, ya, secara emosional. Karena mungkin dari 12
perspektifnya terdakwa mungkin, ya, ini sepertinya kok kayak ada ... apa ... pemaksaan hakim ini menjatuhkan putusan dengan memerintahkan penahanan. Tapi dari perspektif korban, misalnya. Ya, kita memang agak subjektif kalau kemudian mencontohkan Pak Ahok, tapi perkara yang lain, Pak, kalau sedikit-sedikit, sedikit nanti harus ada persetujuan jaksa, permintaan jaksa, nanti perkara itu menjadi ... harus melihat juga sisi bagaimana posisi si korban. Nah, kemudian Pasal 183, Pak, saya lompat saja. Karena kalau satu per satu kita bahas, nanti waktunya enggak ... “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti, ia memperoleh keyakinan.” Tapi, Bapak minta harus seseoase ... harus sesuai dengan tuntutan kan, Pak, ya? Ya kan, di itu Bapak? Harus berdasarkan tuntutan, terus yang 193 berdasarkan yang didakwakan itu juga berdasarkan yang dituntut. Nah, ini juga harus dikembalikan kepada kewenangan masing-masing lembaga, apakah jaksa ketika melakukan penuntutan, kemudian harus hakim mengikuti. Apakah kemudian apa yang dituntut oleh jaksa, didakwa jaksa, kemudian hakim juga harus mengikuti. Demikian juga apa yang harus dituntut oleh jaksa, hakim juga harus mengikuti. Itu yang kemudian sangat bertentangan dengan ... apa ... doktrin-doktrin bahwa ada independency di badan peradilan di situ. Tidak, Pak, tidak pernah bahwa ... kalau selama ini dalam praktik bahwa ada hakim yang kebanyakan, ini kebanyakan, kebanyakan mengikuti tuntutan jaksa, itu barangkali memang, ya, menurut hakimnya memang ini tuntutannya sudah sesuai dengan apa yang menjadi penilaian hakim. Tapi, bukan berarti kemudian perkara yang dimintakan jaksa untuk dihukum berat, kemudian dibebaskan oleh hakim, tidak juga harus dihukum berat, kan? Suatu saat kan Bapak nanti jadi lawyer, jadi lawyer yang terdakwa harus Bapak bebaskan. Bagaimana suatu hari Bapak juga menemukan jaksa menuntut, menuntut terdakwa Bapak itu dengan tuntutan tinggi? Apa Bapak juga akan harus konsekuen, supaya minta hakim juga harus memutus berat? Bagaimana? Jangan hanya melihat kasusnya Pak Ahok! Bapak kan lawyer, advokat ini. Kapan saja, di mana saja, akan menemukan klien-klien yang mungkin dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Kalau begitu halnya kan, Bapak harus begitu. Ketika klien Bapak dituntut oleh jaksa dengan hukuman maksimal misalnya, hukuman mati misalnya, apakah Bapak juga harus minta hakim harus mengikuti tuntutan jaksa? Bukannya Bapak harus minta dibebaskan atau sejatinya dihukum ringan? Kan begitu, Pak. Ya kan, secara a contrario begitu, Pak, 29 coba renungkan! Jangan melihat secara perspektif, secara sederhana dari kasusnya Pak Ahok. Nah, nanti suatu saat lagi, Bapak akan mendapatkan klien yang posisinya sebagai korban. Bapak sebagai pelapor, kuasa, mendapat kuasa untuk melaporkan karena sebagai korban. Bukannya Bapak nanti 13
akan minta kepada jaksa supaya dituntut tinggi supaya efek jera? Kan enggak mungkin supaya terdakwa dihukum yang ringan karena Bapak korban. Kalau sudah dituntut jaksa tinggi, apakah juga harus Bapak minta ke hakim supaya dituntut … apa … harus mintanya tidak sesuai dengan tuntutan? Kan harus sesuai dengan tuntutan, kan? Jadi, tergantung perspektif mana dan kepentingan mana Bapak menempatkan ini. Kira-kira seperti itu. Jadi, saya tidak menghalangi permohonan Bapak ini, paling tidak coba direnungkan kembali. Memang secara singkat … ini untuk Nomor 30, apa yang saya sampaikan kalau ada serempetannya, ada irisannya, langsung tangkap juga, ya? Yang bapak alami ini sebenarnya, Pak, kebanyakan kasus memang jarang hakim yang menjatuhkan putusan, kemudian sekaligus memerintahkan terdakwa ditahan, satu. Tapi, kedua … tapi ada alasan yang kedua begini, coba Bapak … Pasal 197 Bapak buka. 197 KUHAP, putusan yang tidak memuat perintah penahanan, batal demi hukum apa tidak? 197 KUHAP. Batal demi hukum, Pak. Itu. Jadi, ketika hakim itu sebenarnya memasang … memerintahkan terdakwa untuk ditahan, itu juga pada akhirnya sebenarnya dikembalikan kepada eksekutornya. Siapa eksekutornya, Pak? Jaksa. Dalam banyak kasus, jaksa tidak selalu langsung mengeksekusi, apalagi perkara itu langsung banding seperti yang disampaikan Pemohon Nomor 30. Kalau perkara itu ada perintah penahanan, sedangkan terdakwa di luar, kemudian terdakwa langsung mengajukan … apa … banding, apakah perkara itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap? Belum, kan? Kalau putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, apakah sudah mempunyai kekuatan eksekutorial? Ha? Belum, kan? Nah, itu. Dengan cara yang sederhana yang saya contohkan misalnya, Bapak-Bapak sudah bisa menarik benang merahnya. Sebenarnya persoalan ini ada di mana? Apakah hakim yang salah memasang memerintahkan terdakwa ditahan dalam putusannya itu? Karena itu 197 mengharuskan. Tanpa itu batal demi hukum. Ataukah ada pada yang mengeksekusi putusan yang sebelumnya belum inkracht? Kalau tidak salah kan, perkara Pak Ahok itu langsung banding, kan? Kalau perkara langsung banding, apa putusannya sudah inkracht? Karena masih ada waktu sampai 7 hari untuk berpikir-pikir, terdakwa itu mau banding apa tidak? Sebelum 7 hari itu habis, perkara belum bisa diidentifikasi perkara itu inkracht apa belum karena masih masa pikirpikir. Hari ke-8 itu baru diketahui kalau terdakwanya banding, nah, perkara ini berarti belum inkracht. Tapi kalau hari ke-8 tidak ada tandatanda terdakwanya atau jaksanya banding, berarti perkara itu inkracht, langsung jadi terpidana, langsung bisa dieksekusi. Ini tidak … jangankan ini hari ke-7, sampai hari ke-8, kalau tidak salah seketika itu ada permintaan banding kan, dari lawyer-nya itu? Persoalannya kenapa kok, tetap dieksekusi untuk … nah, itu. Saya tidak dalam pretensi untuk … 14
apa … untuk menilai siapa yang benar atau siapa yang tidak tepat, tapi Anda-Anda sebagai pejuang keadilan yang sering mewakili klien kan, sudah bisa menarik benang merah itu. Nah, kemudian tepat tidak permohonan Anda-Anda ini kemudian Anda mempersoalkan pasal-pasal ini? Yang sebenarnya pasal ini … apa … ya, pasal ini pasal yang berdosa? Gitu, lho. Apa ya, pasal-pasal ini yang harus Anda-Anda perjuangkan ke sini untuk diuprek-uprek padahal ini belum tentu norma-norma yang ada di sini itu norma-norma yang “bersalah” tadi? Nah, itu untuk … anu … nanti supaya direnungkan 29 ini yang saya lebih stressing karena permohonannya banyak dan harus banyak perbaikan kalau nanti Anda masih firm mau mengajukan terus. Nah, Nomor 30 saya tambahkan sedikit saja karena permohonannya cuma satu. Nah, kalau Pasal 183 … 193, ya, yang Anda mintakan itu? Supaya itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dihilangkan dari KUHAP. Kita cermati, pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu. Penjelasanya, perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama, yang memberi putusan berpendapat, “Perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, ataupun mengulangi tindak pidana lagi.” Sederhana permohonan Anda itu. Tapi, coba cermati ya, kalau Pasal 193 ayat (2) ini Anda minta supaya dihilangkan dari ketentuan yang ada di KUHAP, ya. Coba perhatikan, apakah Anda yakin bahwa setiap terdakwa, itu mempunyai perilaku seperti Pak Ahok? Yakin, enggak? Bagaimana dengan terdakwa-terdakwa yang memang kelakuannya nakal? Seling ... eh, sidang sering enggak hadir, kadang hadir, kadang enggak, kadang hadir, kadang enggak, bolong-bolong misalnya kan. Kemudian, memang dari anu apa ... tindak pidananya, dia melakukan tindak pidana berat, narkoba dan lain sebagainya. Kemudian ... kemudian, potensi dia itu memang di luar bisa mengulangi perbuatan atau di luar bisa menghilangkan barang bukti misalnya, ketika hakim menjatuhkan putusan, ini hakim mau menjatuhkan putusan ini, putusannya cukup berat misalnya, tapi terdakwa ini dikhawatirkan nanti bakal lari. Terdakwa tidak seperti Pak Ahok ini. Apakah sambil menunggu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, kapan putusan mempunyai kekuatan hukum tetap? Itu kan sampai menunggu hari ke delapan, supaya terdakwanya tidak lari, bisa, enggak ini dijadikan instrumen Pasal 193 ayat (2) ini? Ayo? Anda suatu saat, sekali lagi, bisa menjadi lawyernya kuasa hukum korban, Anda rela? Anda yang dirugikan, terdakwanya nanti, “Kok hakim 15
tidak mau menahan?” Banyak pengacara-pengacara itu di luar, kalau hakim tidak menahan, sudah teriak-teriak itu. “Wah, ini pasti ada main ini karena hakim tidak menahan.” Ini begitu ditahan, sekarang ... makanya, ini kan instrumeninstrumen dihadapkan, diperlukan terhadap kasus-kasus tertentu yang memang ada korelasinya, tidak kemudian membabi buta. Nah, itulah diperlukan adalah kebijakan, kacamata keadilan, kacamata yang bijaksana dari penegak hukumnya, jaksa, hakim, penyidik, itu makanya ketika menahan, betul-betul harus korelasi penahanannya apa? Tapi terhadap pejabat yang kesehariannya adalah tidak mungkin melarikan diri, buktinya Pak Ahok kan juga enggak ditahan dari proses penyidikan sampai … ya, kan? Itu adalah karena ada kearifan dari penyidik yang membaca, jaksa yang membaca, hakim yang membaca bahwa Pak Ahok tidak mungkin akan melarikan diri. Nah, terkait dengan putusan tadi kan pasalnya itu tadi, kalau tidak mencantumkan perintah penahanan, Pasal 197 menunggu, batal demi hukum putusannya. Tapi, itulah yang kemudian dijadikan sarana oleh jaksa untuk langsung memasukkan kepada di lembaga pemasyarakatan, padahal terdakwanya adalah mengajukan banding, yang notabenenya putusannya kan belum inkracht. Secara substansial, itu yang saya sampaikan. Renungkan kembali apakah kemudian Anda minta amputasi ini Pasal 193 ayat (2) ini dihilangkan, bagaimana kasus-kasus lain yang terdakwanya tidak sebaik Pak Ahok? Anda posisinya sebagai korban misalnya. Keadilan kan tidak hanya untuk terdakwa, untuk korban kan juga perlu keadilan. Harus balancing, kan. Itu, Yang Mulia, sementara. Terima kasih. 13.
KETUA: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia Pak Suhartoyo. Berikutnya, Yang Mulia Bapak Wahiduddin Adams.
14.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Baik, terima kasih, Yang Mulia Ketua Panel, Prof. Saldi. Saya ingin tambahkan saja ada hal-hal yang terkait untuk pengujian Perkara Nomor 29. Ya, pertama terkait dengan Pemohon pada halaman 2, itu menyebutkan beberapa putusan MK. Nah coba dijelaskan, kaitkan antara putusan yang dikutip tersebut dengan dalil kewenangan Mahkamah Konstitusi, untuk menguji pasal sesuai dengan permohonan? Nah, coba beberapa kutipan-kutipan putusan itu dimuat, tapi tidak dielaborasi, hanya dimuat begitu saja, gitu ya. Coba dielaborasi. Kemudian yang kedua, itu Pemohon terlalu mengutip hak atas negara hukum yang ditarik dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagai
16
dalil kerugian konstitusionalnya. Nah, ini hak atas negara hukum ini apa? Berapa kali disebutkan? Nah, kemudian, ya, tadi sudah disampaikan. Pasal 1 angka 4 ini, tadi sudah dijelaskan, tapi saya melihatnya dari sisi sidektura perundangundangan, ini berupa ketentuan umum algemene bepalingen-nya, yang berisi dalam teknik perundang-undangan, itu baik definisi maupun ketentuan-ketentuan yang bersifat umum. Ini induknya ini, sehingga disebutkan bahwa ketentuan umum tidak boleh ada penjelasan, dimaknai apalagi. Oleh sebab itu, perancang itu biasanya memuat ketentuan umum itu sangat hati-hati karena menyangkut definisi yang akan nanti berlaku pada pasal-pasalnya dan ini akan menjadi ... apa ... bias ketika Pemohon mengatakan dimaknai sesuai dengan ... apa ... penuntut umum. Nah, penuntut umumnya sudah hilang di Pasal 1 angka 6-nya. Jadi, penuntut umum yang dimaknai di belakang itu, di pasal-pasal itu, penuntut umum yang mana? Begitu. Wong, di ketentuan umumnya sudah dihilangkan. Ini dari segi teknik perundang-undangan boleh Saudara lihat pengujian di sini hampir tidak ada yang ... mohon maaf, dikatakan dikabulkan ketika menguji ketentuan umum. Karena itu akan berantakan semua, seluruh isi dari ... apa ... undang-undang itu. Apalagi di sini ketika dimaknai merujuk lagi pada penuntut umum. Nah, penuntut umum yang di ketentuan umumnya sudah dihilangkan, ya. Nah, coba hal-hal seperti itu banyak yang sudah diuji di sini menyangkut ketentuan umum itu, ya, coba Saudara lihat, adakah yang dikabulkan. Karena itu tadi konsekuensinya, ya. Sehingga di perundangundangan pun di sini sih dikatakan ketentuan umum tidak boleh ada penjelasan lagi, gitu kan. Ya, barang yang sudah ... apa ... permanen betul. Karena itu titik tolak, tolok ukur kendali dari bunyi pasal-pasal dan penerapan pasal-pasalnya. Itu saya kira untuk Kuasa Nomor 29. Nah, untuk yang ... ya, 30. Ini komposisinya ... apa ... formatnya, coba dicermati lagi untuk legal standing Pemohon itu belum begitu diuraikan, belum kelihatan legal standing-nya dari Pemohon. Kemudian bentuk kerugian apa. Bahkan menimbulkan pertanyaan, apakah Pemohon mendapat kuasa dari Pak Ahok, ya. Kalau demikian uraiannya, kan. Maksudnya ada ... apa ... kuasa. Kalau tidak, ya, tadi ini hanya pengujian dalam artian Saudara potensial akan mengalami kerugian seperti itu. Nah, kemudian di positanya juga, ya, menyebut-nyebut penjelasannya Pasal 193 ayat (2). Ya, tapi dalam petitum juga tidak, sehingga untuk apa disebut-sebut ada penjelasan terkait dengan di positanya, ya. Saya kira itu saja tambahan dari saya, Prof. Terima kasih.
17
15.
KETUA: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams. Nah, ini catatan tambahan dari saya kepada Pemohon 29. Ini karena ada 20 item yang di ... apa ... yang diuji konstitusionalitasnya dan itu kan diuji kepada Pasal 1 ayat (3) soal negara hukum. Lalu kepada Pasal 28D ayat (1) soal ... apa namanya ... “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ini layaknya masingmasing pasal itu diuraikan bangunan argumentasinya, mengapa misalnya Pasal 1 angka 6 huruf b itu dikatakan ada problem konstitusional dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 soal negara hukum. Kan, harusnya tidak boleh umum saja disebut negara hukum, orang yang belajar negara hukum itu kan, jelas ada banyak elemen dari negara hukum dan itu harusnya disigi dengan jelas oleh para Pemohon, begitu. Nah, itu. Jadi memang ini agak-agak bekerja keras karena 20 item, mestinya ke-20-annya itu dibangunkan argumentasinya terhadap dua pasal di konstitusi itu. Jadi, kita Majelis nanti bisa melihat apakah ini memiliki dasar yang kuat untuk dikaitkan dengan batu uji yang ada di konstitusi. Nah, itu juga terhadap permohonan Nomor 30. Yang kedua, harus hati-hati juga, Pemohon, jangan mendalilkan kepastian hukum lalu menciptakan ketidakpastian hukum baru. Jadi kalau pada akhirnya dikabulkanlah, lalu menimbulkan kekosongan hukum, satu. Yang kedua seperti Yang Mulia … kata Pak Wahiduddin Adams tadi itu menghilangkan akar ketika merujuk dan merusak hukum acara pada umumnya itu juga diperhitungkan. Karena apa? Karena Majelis kan, tidak ingin mengabulkan kepastian Pemohon lalu menciptakan ketidakpastian baru. Nah, yang seperti itu harus dijelaskan oleh para Pemohon bahwa kalau ini dikabulkan tidak akan menimbulkan implikasi terutama soal kekosongan hukum atau ketidakpastian ... akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Nah, yang seperti-seperti itu harusnya dikemukakan juga. Yang ketiga, yang harus juga diperhatikan ini soal legal standing. Jadi, dua permohonan ini memperlukan penajaman legal standing. Mengapa ini perlu ditajamkan? Karena kami perlu memiliki dasar yang kuat apakah para Pemohon memiliki alas hukum yang cukup kuat untuk mengajukan permohonan ini. Potensi ... jadi kalau dilihat di ... apa itu .... di legal standing itu, potensi merugikan, tapi itu tidak berhenti di potensial merugikan, ada kalimat sambungnya yang dipastikan akan terjadi. Jadi, potential loss itu ada kalimat penyambungnya yang dapat dipastikan terjadi. Jadi, itu bukan dipenggal-penggal soal potensi kerugian itu. Nah, nanti bisa juga ditambahkan di legal standing itu kepastian mana yang ... apa ... potensi mana yang pasti terjadi itu bisa dielaborasi dalam merumuskan legal standing. 18
Yang terakhir di ... apa ... di petitum itu sekarang itu model yang baru di sini adalah menyatakan ... apa namanya ... tidak berlaku ... apa ... bertentangan dan tidak memiliki kekuatan mengikat itu disambung langsung, jadi menjadi satu ... apa ... satu item, tidak dipisah-pisah, itu disesuaikan saja. Nah, itu beberapa catatan perbaikan dari kami kepada kedua Pemohon, Pemohon Nomor 29 dan Pemohon Nomor 30. Ada catatan tambahan dari masing-masing Pemohon? 16.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Terima kasih, Majelis Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Kami dari Pemohon Nomor 29 ingin menambahkan begini, Majelis. Bahwa sesuai dengan kewenangan menanggapi apa yang tadi disampaikan oleh para Majelis Yang Mulia bahwa kami masih merasa di samping tadi ada saran-saran yang disampaikan, kami merasa bahwa ketidakadilan ini (...) 17.
KETUA: SALDI ISRA Yang ... yang ... soal argumentasi itu ditambahkan saja di perbaikan nanti. Jadi, tidak perlu pula kita perdebatkan, begitu. Jadi kan, tadi di awal sudah saya katakan ini saran-saran kami karena itu diperintahkan oleh undang-undang, Pemohon mau menerima saran atau tidak itu terserah, makanya nanti ada kesempatan untuk memperbaiki permohonan. Tidak diperbaiki pun sebetulnya tidak ada masalah, begitu perintah undang-undangnya begitu.
18.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Baik, yang mau saya sampaikan begini, Yang Mulia. 19.
KETUA: SALDI ISRA Ya, silakan.
20.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Saya tambahkan bahwa kewenangan yudikatif maupun eksekutif ini adalah imparsial, jadi artinya kewenangannya tidak dicampuradukkan. Oleh karena itu sebagaimana tadi yang disampaikan oleh Majelis Yang Mulia, tanpa mengurangi rasa hormat kami bahwa memang harus 19
jelas kedudukan ... sudah dijelaskan kedudukan para yudikatif dan eksekutif ini bahwa mereka memiliki dasar hukum bahwa masing-masing memiliki undang-undang, undang-undang kejaksaan dan undang-undang kekuasaan kehakiman, dan kami juga memiliki undang-undang advokat, itu dasarnya. Jadi supaya jangan imparsial, Majelis, ini antara kewenangan daripada jaksa penuntut umum ... supaya imparsial terpisah, jangan diaduk-aduk atau dicampurkan. Itu yang menjadi persoalan seperti yang kami alami ini. Jadi kepastian hukumnya juga enggak ada di situ dan kami enggak pernah menyampaikan tadi seperti yang disampaikan oleh Majelis Hakim, menghapus. Kami hanya meminta mengabul ... apa ... menyatakan Pasal 1 angka 6 huruf b, itu bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, bukan menghilangkan. Tidak ada kami minta menghilangkan. 21.
KETUA: SALDI ISRA Ya, tapi kalau dikabulkan, kan hilang dia. Enggak ada lagi dia dalam undang-undang.
22.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Artinya begini, Majelis, tidak mengikat sepanjang frasa tadi bahwa penuntut umum tidak (...) 23.
KETUA: SALDI ISRA Nah, yang kalau yang Pasal 1 angka 6-nya tidak begitu bunyinya. Nanti dilihat lagilah di permohonannya, ya. Tidak usah diperdebatkan.
24.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Baik. 25.
KETUA: SALDI ISRA Jadi, kalau mau tetap bertahan dengan seperti itu, juga ndak apaapa. Kami hanya menjalankan kewajiban memberi nasihat, kan sudah dikatakan tadi. Jadi (...)
20
26.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Baik, baik, Majelis. 27.
KETUA: SALDI ISRA Ndak usah diperdebatkan yang begitu.
28.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Baik, baik. 29.
KETUA: SALDI ISRA Kalau mau bertahan begitu. Ya, yang (...)
30.
PEMOHON PERKARA MANURUNG
NOMOR
29/PUU-XV/2017:
ELISA
Terima kasih. 31.
KETUA: SALDI ISRA Pemohon Nomor 30?
32.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 30/PUU-XV/2017: KRIS ARDY ARITONANG Terima kasih, Yang Mulia, atas kesempatannya. Sebetulnya kami di sini ingin lebih meminta penafsiran secara mendalam tentang Pasal 193 ayat (2) sebagaimana tadi kami telah mengungkapkan alasan-alasan kami yang banyak perdebatan dan bisa menimbulkan multitafsir, dan kami di sini minta penafsiran secara jelas. Terima kasih.
33.
KETUA: SALDI ISRA Ya, ya, tadi saran-saran kami dipertimbangkan saja. Kalau mau diteruskan, ditambahkan, tidak, karena pada akhirnya kan nanti kami akan menyampaikan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, apakah ini akan diteruskan atau tidak setelah perbaikan. Jadi, ya, apa ... diberitahukan kepada apa ... kepada kedua Pemohon bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, itu ada waktu perbaikan maksimal 14 hari dan kalau dihitung 21
dari tanggal sekarang, perbaikan paling lambat sudah dimasukkan tanggal 26 Juni 2017. Tapi karena 26 Juni itu adalah hari libur nasional, maka perbaikan disampaikan ke Kepaniteraan paling lambat, Senin, 3 Juli 2017, pukul 10.00 WIB, itu perbaikannya, dan sidang selanjutnya akan ditentukan kemudian. Demikian, Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 29 dan Perkara Nomor 30/PUU-XV/2017 selesai dan sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 09.19 WIB Jakarta, 13 Juni 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Yohana Citra Permatasari NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
22