Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 SANKSI HUKUM TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MENGHILANGKAN BARANG BUKTI PERSPEKTIF KODE ETIK KEPOLISIAN1 Oleh: Kristian Megahputra Warong2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana sanksi hukum terhadap anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti dan bagaimana Kode Etik Profesi Polri dalam melaksanakan tugas kepolisian terkait penyitaan dan penyimpanan barang bukti. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Dalam tataran normatif, sanksi bagi anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti dapat dijatuhi hukuman mulai dari hukuman ringan yaitu ; Tindakan Disiplin, Hukuman Disiplin, Hukuman Kode Etik Profesi Polri sampai pada hukuman berat yaitu, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota kepolisian negara Republik Indonesia. Meskipun anggota kepolisian telah dijatuhi/menjalani hukuman berat, hukuman tersebut tidak menghapus tuntutan dan/atau hukuman pidana. 2. Ternyata Kode Etik Profesi Polri sangat berperan dalam menuntun, membimbing, mengontrol prilaku anggota kepolisian melaksanakan tugasnya, terutama dalam melakukan Penyitaan dan Penyimpanan Barang Bukti. Kata kunci: Sanksi Hukum,Anggota Kepolisian Yang Menghilangkan Barang Bukti, Perspektif Kode Etik Kepolisian PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini maraknya kritikan terhadap realitas prilaku oknum kepolisian di Indonesia sudah semakin parah. Keprihatinan tersebut harus dilihat sebagai suatu keinginan dari semua pihak supaya terjadi perubahan kearah yang lebih baik di masa yang akan datang. Kenyataan menunjukkan bahwa ruwetnya pelaksanaan tugas kepolisian di Indonesia, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penangkapan,penyitaan barang bukti, penahahanan, sampai pada penyerahan berkas 1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Refly Singal SH, MH; Robert Warong, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 13071101491
perkara kepada penuntut umum, mengambarkan betapa dominannya peran anggota kepolisian dalam mengemban tugas melayani mesyarakat . Awal mula terjadinya kerumitan tersebut akibat peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang penyidikan yang tidak kondusif untuk terjadinya suatu keterpaduan dalam pelaksanaannya. Akhirnya yang terlihat adalah saling rebut perkara antara instansi yang merasa diberi wewenang oleh undang-undang sehingga masyarakat sering menjadi korban sebagai pencari keadilan akibat kesalahan penegakan hukum dan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga kepolisian. Realitas memperlihatkan banyaknnya kasus yang muncul kepermukaan, dimana barang bukti dalam proses penyidikan hilang atau “raib” terutama barang bukti dalam bentuk uang tunai maupun barang bergerak yang memiliki nilai besar yang mudah diperuangkan yang disita anggota kepolisian saat melakukan penangkapan tersangka. Tidak sedikit kasus yang dilaporkan masyarakat, hanya karena barang bukti yang disita pihak kepolisian nilai nominalnya berbeda antara yang disita dengan nominal yang tercantum dalam berita acara penyitaan. Selisih nominal uang sebagai barang bukti mulai dari ratusan ribu sampai pada myliaran rupiah. Ironisnya barang bukti yang seharusnya disimpan dan diamankan untuk memperjelas dan memudakan proses penyidikan dan penututan suatu perkara, justru dihilangkan oleh oknum kepolisian. Dalam melaksanakan tugas kepolisian, apabila kalangan aparat penegak hukum tidak mampu memperlihatkan kualitas dan profesionalismenya, maka masyarakat akan mencari jalan pintas dengan cara main hakim sendiri (eigenricting). Pandangan masyarakat yang radikal akan menghakimi masalah yang muncul sehingga akan terjadi suatu keadaan yang kacau (chaos) karena tidak melalui suatu jalur hukum yang sudah ada, hal ini terjadi karena mereka menganggap lembaga kepolisian sudah tidak dipercaya lagi. Kekecewaan masyarakat terhadap prilaku kepolisian akan menimbulkan kekuatiran dimana kepercayaan mayarakat terhadap tugas kepolisian akan hilang. Masyarakat tidak mau menyerahkan seorang yang telah melakukan
61
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 tindak pidana kepada polisi. Masyarakat menghakimi, memproses dan mengeksekusi sendiri orang yang tertangkap tangan. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat sudah terlalu banyak melihat bagaimana seorang yang melakukan suatu tindak pidana akhirnya dibebaskan kembali oleh polisi atau aparat penegak hukum lainnya dengan alasan yang diberitakan rata-rata kurang bukti, tidak ada alat bukti atau tidak memenuhi unsur delik sehingga menimbulkan kekecewaan dari masyarakat yang melaporkan perkaranya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sanksi hukum terhadap anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti ? 2. Bagaimana Kode Etik Profesi Polri dalam melaksanakan tugas kepolisian terkait penyitaan dan penyimpanan barang bukti ? C. Metode Penulisan Penulisan ini menggunakan metode yang termasuk jenis penelitian normatif, di mana di dalamnya penulis meneliti dan mempelajari norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ataupun norma yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap penyidik kepolisian. PEMBAHASAN A. Sanksi Hukum Bagi Anggota Kepolisian Yang Menghilangkan Barang Bukti Perbuatan maupun pengaturan sanksi bagi anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti, tidak diatur secara tegas maupun khusus dalam suatu peraturan, tetapi hal tersebut dapat kita temukan dalam berbagai peraturan, baik peraturan internal kepolisian, maupun dalam peraturan umum yakni KUHP. Peraturan internal kepolisian misalnya melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berikut ini akan dibahas berbagai jenis sanksi yang dijatuhkan kepada anggota
62
kepolisian yang menghilangkan barang bukti ataupun melakukan tindakan/perbuatan tercela, baik sanksi pelanggaran disiplin, sanksi pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian, Sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam KUHP. 1. Sanksi / Hukuman Disiplin Yang dimaksud dengan “hukuman disiplin” yaitu sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian sebagai berikut : “Hukuman Disiplin adalah Hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum kepada anggota kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Disiplin”3 Berdasarkan rumusan di atas, terdapat tiga unsur penting yang harus dipenuhi dalam hukuman disiplin ; a. Hukuman disiplin harus dijatuhkan oleh “atasan terhukum”. Yang dimaksud dengan “Atasan” yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 PP Nomor 2 Tahun 2003 sebagai berikut ; “Atasan adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi dari pada anggota kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain” Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan ; Atasan adalah anggota kepolisian yang memiliki pangkat dan/atau jabatan lebih tinggi dari terhukum. Dengan kata lain anggota kepolisian negara republik Indonesia yang pangkat dan/atau jabatannya lebih rendah dari terhukum tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman disiplin. b. Hukuman disiplin harus dijatuhkan oleh “yang berhak menghukum”. Meskipun sesama anggota kepolisian Negara Republik Inedonesia memiliki pangkat dan/atau jabatan lebih tinggi, namun tidak serta merta atasan tersebut memiliki kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin, hanya atasan yang 3
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 benar-benar memiliki hak dan kewenangan yang dapat menjatuhkan hukuman disiplin kepada terhukum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 butir 13 PP Nomor 2 Tahun 2003 yang berbunyi ; “ Atasan yang berhak menghukum, selajutnya disingkat Ankum, adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnnya”4 c. Hukuman disiplin hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses Sidang Disiplin. Yang dimaksud dengan Sidang Disiplin, sebagaimana pula telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka (8) berbunyi ; “ Sidang Disiplin adalah Sidang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran disiplin yang dilakukan anggota kepolisian Negara Republik Indonesia”5 2. Sanksi Pelanggaran Kode Etik Kode Etik Profesi Polri (KEPP) diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 1 angka 5 memberikan pengertian tentang Kode Etik Profesi Polri sebagai berikut “ Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan prilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan oleh anggota polri dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab jabatan”6 Dalam peraturan di atas, tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan pelanggaran kode etik profesi polri, namun dengan mengetahui dan memahami arti dari Kode Etik Profesi Polri (KEPP), maka setiap perbuatan atau tindakan anggota kepolisian yang tidak sesuai dengan isi atau maksud peraturan tersebut, dapat dikategorikan
4
Ibid, hal. 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian 6 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai pelanggaran kode etik, dan dapat dijatuhkan sanksi kode etik profesi polri. Meskipun pula dalam Peraturan Kapolri (Perkap) di atas tidak mecinci lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “menghilangkan barang bukti” namun terdapat perbuatan yang berkaitan dengan barang bukti yang dilarang . Pasal 14 huruf h berbunyi “ Setiap anggota polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu dan penyidik dilarang, merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan”. Dan Pasal 14 huruf i berbunyi “Penyidik dilarang menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya penyidikan tindak pidana”7 B. Kode Etik Profesi Polri Dalam Melaksanakan Tugas Kepolisian Terkait Penyitaan dan Penyimpanan Barang Bukti Pada dasarnya setiap anggota kepolisian yang melaksanakan tugas penyelidikan maupun penyidikan meliliki kewajiban untuk menggunakan perangkat hukum maupun kode etik profesi kepolisian sebagai acuan, terutama terkait dengan tugas penyitaan maupun penyimpanan barang bukti, namun dalam kenyataannya tidak sedikit anggota kepolisian menyalahgunakan kewenangannya disaat melakukan penyitaan dan penyimpanan barang bukti. Penyalahgunaan wewenang tersebut misalnya menggunakan barang bukti oleh orang yang tidak berhak maupun mengambil dan menghilangkan barang bukti hasil sitaan. Selain itu barang bukti juga dapat hilang disaat sebelum pembuatan berita acara penyitaan. Berbagai kewajiban Penyidik Polri dalam melaksanakan penyitaan dan peyimpanan barang bukti diatur dalam berbagai aturan baik dalam KUHAP maupun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kapolri. 1. Penyitaan Barang Bukti Pasal 1 angka 16 KUHAP menyatakan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda
5
7
Pasal 14 huruf h dan i Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
63
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”8 Dari uraian pasal di atas, dapat ditegaskan bahwa ; a. Penyitaan harus dilakukan oleh penyidik . b. Penyidik berhak mengambil alih penguasaan suatu barang yang disita c. Penyidik berkewajiban menyimpan barang yang disita d. Tujuan penyitaan hanya untuk kepentingan pembuktian, penuntutan dan peradilan. Melalui pasal di atas ternyata undangundang memberikan suatu kewenangan penuh kepada penyidik untuk mengambil alih penguasaan suatu barang, akan tetapi penguasaan tersebut harus diiikuti/dibarengi dengan adanya kewajiban bagi penyidik untuk “menyimpan” barang dimaksud. Maksud penguasaan maupun penyimpanan bukan untuk digunakan atau dimiliki, melainkan untuk kepentingan pembuktian, penuntutan dan peradilan. Jadi penyitaan barang hanya digunakan untuk kepentingan proses penyidikan, penuntutan dan peradilan, diluar maksud tersebut tidaklah dapat dibenarkan, apalagi menggunakan atau mengambil sebagian atau keseluruhan maupun menghilangkan barang sitaan tersebut baik untuk kepentingan penyidik maupun kepentingan orang lain yang tidak berhak. Meskipun KUHAP telah memberikan kewenangan penuh kepada penyidik melakukan penyitaan barang bukti, tetapi tidak serta merta penyidik bebas melakukan penyitaan. Semua tindakan penyidik harus sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan dimaksud. Barang bukti sitaan yang disita oleh aparat merupakan serangkaian tindakan untuk mendukung dan mempermudah jalannya proses pemeriksaan. Penyitaan tersebut dilakukan karena dianggap bahwa barang bukti tersebut dapat mempermudah proses pembuktian suatu tindak pidana. Pengertian penyitaan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu penyitaan yang dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak milik
seseorang untuk mendapatkan bukti dalam proses peradilan pidana. Menurut Darwin Prinst (2002:69) bahwa pengertian Penyitaan terhadap barang bukti sitaan yaitu ; “Suatu cara yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik tersangka/ terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian”. 9 Berdasarkan pengertian di atas, nampak bahwa penyitaan barang bukti sitaan dilakukan hanya dalam hal kepentingan pembuktian, penuntutan dan peradilan, sesuatu benda atau barang dapat disita dan dikuasai oleh orang lain atau pihak lain untuk sementara waktu. Jadi penyitaan (beslagneming) merupakan cara yang waktu dilakukan oleh pejabat berwenang untuk menguasai sementara barang-barang bukti sitaan baik itu barang milik tersangka/ terdakwa ataupun barang bukti sitaan hasil kejahatan. Selanjutnya harus dibedakan antara penyitaan terhadap barang bukti sitaan dan perampasan (verbeurdverklaring). Perampasan diartikan bahwa benda atau barang tersebut diambil alih dari pemiliknya dengan tujuan untuk mencabut status hak milik atas barang itu untuk kemudian digunakan bagi kepentingan negara, untuk dimusnahkan atau untuk di rusak hingga tidak dapat lagi dipergunakan.
8
9
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
64
2. Penyimpanan Barang Bukti Menurut Pasal 2 angka 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Barang Bukti di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia “Anggota Polri mempunyai tugas dan wewenang menerima, menyimpan, mengamankan, merawat, mengeluarkan dan memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti yaitu Pejabat Pengelola Barang Bukti (PPBB)”. PPBB mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut ; a) menerima penyerahan barang bukti yang telah disita oleh penyidik;
https://darwininitiativeuk.wordpress.com/ diakses pada tanggal 1 oktober 2016
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 b) mencatat ke dalam buku register daftar barang bukti c) menyimpan barang bukti berdasarkan sifat dan jenisnya; d) mengamankan barang bukti agar tetap terjamin kuantitas dan/atau kualitasnya; e) mengontrol barang bukti secara berkala/periodik dan dicatat ke dalam buku. kontrol barang bukti f) mengeluarkan barang bukti atas perintah atasan penyidik untuk dipinjam pakaikan kepada pemilik yang berhak; dan g) memusnahkan barang bukti Pada dasarnya, barang bukti dapat dikeluarkan untuk: a) keperluan penyidikan . b) dikembalikan kepada orang atau dari siapa benda itu disita atau kepada mereka yang berhak c) dikirimkan ke jaksa penuntut umum . d) dijual lelang, dalam hal barang bukti yang disita lekas rusak dan/atau biaya penyimpanan terlalu tinggi . e) dimusnahkan, dalam hal barang bukti narkotika, psikotropika, dan obatobatan terlarang. Selain itu dapat juga dilakukan pinjam pakai barang bukti. Akan tetapi, barang bukti hanya dapat dipinjampakaikan kepada pemilik atau pihak yang berhak. Pengaturan di atas pada dasarnya terangkum dalam Pasal 44 ayat (2) KUHAP bahwa penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut di larang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Jadi pada dasarnya, barang bukti dilarang untuk digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak. Selanjutnya perlu diketahui bahwa pada dasarnya atas kegiatan pengelolaan barang bukti ini dilakukan pengawasan baik secara umum maupun khusus. Pengawasan secara khusus dilakukan apabila terdapat kejadian yang bersifat khusus sehingga perlu dibentuk tim yang ditunjuk berdasarkan surat perintah. Kejadian yang bersifat khusus tersebut antara lain ;
a) adanya laporan atau ditemukannya penyimpangan; b) penyalahgunaan barang bukti; c) hilangnya barang bukti; dan d) adanya bencana yang bisa mengakibatkan barang bukti hilang atau rusak. Selain pengawasan terhadap pengelolaan barang bukti, dilakukan juga pengawasan terhadap petugas penyelidik dan penyidik, yang salah satunya pengawasan terhadap perlakuan dan pelayanan terhadap tersangka, saksi dan barang bukti. Metode pengawasan dan pengendalian kegiatan penyelidikan dan penyidikan salah satunya meliputi pengawasan melekat. Pengawasan melekat tersebut dilaksanakan oleh atasan penyidik dengan cara pengawasan dan pengendalian ; a) langsung pelaksanaan penyelidikan; b) administrasi penyidikan; c) pengolahan TKP; d) tindakan upaya paksa; e) pelaksanaan rekonstruksi atau reka ulang; f) penanganan tahanan dan barang bukti; dan g) tindakan lain yang ada kaitannya dengan penyelidikan dan penyidikan. Dalam hal hasil pengawasan ditemukan adanya dugaan pelanggaran disiplin atau kode etik profesi Polri yang dilakukan penyidik/penyidik pembantu, sebelum diproses melalui mekanisme acara hukuman disiplin, harus dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh atasan penyidik, pengawas penyidikan atau pejabat atasan pengawas penyidikan. Dalam hal hasil pemeriksaan pendahuluan telah menemukan petunjuk ; a) diduga telah terjadi pelanggaran disiplin atau pelanggaran kode etik profesi Polri, pemeriksaan selanjutnya diserahkan kepada fungsi Propam Polri paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan; dan b) diduga telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan penyidikan, proses penyidikannya diserahkan kepada fungsi Reskrim. Ini berarti polisi yang menggunakan barang bukti bukan untuk kepentingan sebagaimana
65
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 diatur dalam Perkapolri Nomor 10 Tahun 2010 dapat diajukan untuk dilakukan pemeriksaan untuk dilihat apakah terjadi pelanggaran disiplin atau melanggar kode etik etik profesi Polri. Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHAP dijelaskan bahwa “benda sitaan disimpan di dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), sementara pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat proses peradilan serta benda sitaan tersebut dilarang dipergunakan oleh siapapun juga”.10 Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan/barang bukti terdapat pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (penyidikan, penuntutan, dan pengadilan). Barang bukti yang tanggung jawab dan kewenangan yuridisnya berada pada penyidik maka barang bukti tersebut disebut barang bukti penyidikan, selama barang bukti berada dalam status penyidikan, penyidik berwenang dan bertanggung jawab melakukan tindakantindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP. Aparat penegak hukum berkewajiban untuk mengembalikan barang bukti sitaan yang dipakai sebagai barang bukti dalam pemeriksaan terutama jika barang bukti tersebut berasal dari saksi dan atau hak milik saksi yang telah menjadi korban dalam peristiwa pidana. Maka dari itu pada tingkat penyidikan, penuntutan, harus diusahakan menjaga, mengelola, dan mengembalikan kepada yang berhak jika benda tadi sebagai barang bukti tidak diperlukan lagi dan tidak ada hubungannya dengan kejahatan. Penyidik Kepolisian menempatkan benda sitaan/barang bukti di Satuan tahanan dan barang bukti (SAT TAHTI) sebagai bentuk kesatuan baru dari kepolisian, tugasnya yaitu menyelenggarakan perawatan tahanan meliputi pelayanan kesehatan tahanan,pembinaan tahanan serta menerima, menyimpan dan mengamankan barang bukti beserta administrasinya dilingkungan Polres, melaporkan jumlah dan kondisi tahanan sesuai dengan perundang-undangan. 10
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
66
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam tataran normatif, sanksi bagi anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti dapat dijatuhi hukuman mulai dari hukuman ringan yaitu ; Tindakan Disiplin, Hukuman Disiplin, Hukuman Kode Etik Profesi Polri sampai pada hukuman berat yaitu, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota kepolisian negara Republik Indonesia. Meskipun anggota kepolisian telah dijatuhi/menjalani hukuman berat, hukuman tersebut tidak menghapus tuntutan dan/atau hukuman pidana. 2. Tenyata Kode Etik Profesi Polri sangat berperan dalam menuntun, membimbing, mengontrol prilaku anggota kepolisian melaksanakan tugasnya, terutama dalam melakukan Penyitaan dan Penyimpanan Barang Bukti. B. Saran 1. Dalam tataran operasional (law enforcement) pelaksanaan Penjatuhan Sanksi bagi anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti melalui keputusan Sidang Disiplin maupun Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri, haruslah dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen. Demikian pula dalam pelanggaran disiplin maupun pelanggaran kode etik profesi polri, bilamana terdapat indikasi sebagai perbuatan “tindak pidana” maka penyelesaiain melalui proses penyidikan perkara biasa, harus dilakukan secara transparan dan professional, karena yang menjadi penyidik dalam perkara tersebut adalah sesama anggota kepolisian. 2. Pada saat melakukan Penyitaan barang bukti, dibutuhkan kehati-hatian dalam pembuatan berita acara penyitaan, agar kuantitas dan kualitas barang bukti yang disita sama dengan kuantitas dan kualitas barang bukti yang tercantum dalam Berita Acara Penyitaan. Demikian pula Penyimpanan barang bukti dalam bentuk uang tunai atau barang berharga lainnya
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 (emas, berlian, kartu ATM, dsb) perlu dihindari penyimpanan di kantor atau di rumah penyidik. Sebaiknya setelah usai melakukan penyitaan barang bukti “langsung” diikuti dengan penyimpanan/penitipan barang bukti di salah satu Bank. KEPUSTAKAAN Alfitra. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia.2017 ACFE, International Fraud Examiners Manual, 2013 Anonim, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bhafana Publising, Cetakan Pertama, 2013 Anonim, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bhafana Publisisng, Cetakan Pertama, 2013 Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Permata Press, 2013 Anonim, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Permata Press, 2013 Anonim, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Anonim, Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Tehnis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian. Anonim, Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengeloalaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia Anonim, Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : Skep/213/VII/1985 Anonim, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Anonim, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Hariwijaya M, Filsafat Jawa Ajaran Luhur Warisan Leluhur,Gelombang Pasang, Yogyakarta 2004. Hamzah Andi, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,2008. Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua, Cetakan Keenam, Sinar Grafika Jakarta 2012 Koesparmono Irsan, Hukum Acara Pidana, 2017 Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim Penyusun Pusat Bahasa, 1997. Kansil C.S.T dan Christine, S.T. Kansil, Engeline R. Palandeng dan Godlieb N. Mamahit, Kamus Istilah Aneka Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Jala Permata Akasara, Jakarta, 2010. Karjadi M & R.Soesilo , HIR (Herzien Indonesisch Reglement) Staad Blaad 1941 Nomor 44 Masrani Yulies Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Marpaung Leden, Asas Toeri-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika. Cetakan Kedua, Jakarta. 2005. Oemar Seno Adji, 1991,Etika Profesi dalam Hukum, Profesi Advokad,Penerbit Erlangga,Jakarta. Sarjijono, Etika Profesi Hukum ,Laksbang Mediatama.2008. Sujatmiko Eko, Kamus IPS , Surakarta: Aksara Sinergi Media Cetakan I, 2014. Sudasono, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kelima,PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007. http://pojokhukum.blogspot.co.id/2007/08/pojokhukum-amiruddin-zakaria_16.html https://arisirawan.wordpress.com/2010/02/18/ peranan-barang-bukti-dalampembuktian-perkara-pidana-menurutpasal-183-k-u-h-a-p/ https://10menit.wordpress.com/tugaskuliah/pengertian-etika/.Diakses 28 desember http://telingasemut.blogspot.co.id/2016/03/pe ngertian-fungsi-barang-bukti-sitaan.html http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?m od=view&Barang%20Bukti&id=3750-artimaksud-definisi-pengertianBarang%20Bukti.html
67
Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017 https://satreskrimrestasmda.wordpress.com/2 012/11/11/bukti-barang-bukti-dan-alatbukti/ http://gurupintar.com/threads/jelaskanpengertian-kebebasan-yangbertanggung-jawab.392/ http://www.pengertianahli.com/2013/12/peng ertian-hukumansanksi.html http://telingasemut.blogspot.co.id/2016/03/pe ngertian-sanksi.html
68