RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017 “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi”
I. PEMOHON Muhammad Hafidz. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap UUD 1945; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 4. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), oleh 1
karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian UndangUndang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara.”; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang dilaksanakan lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif khususnya Mahkamah Agung. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian materiil UU MK yaitu: 1. Pasal 57 ayat (3): “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan.” 2
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
(UU
12/2011)
mengatur
tindak
lanjut
terhadap
Putusan
Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Presiden, untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum; 2. Bahwa menurut Pemohon, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat declaratoir oleh sebuh undang-undang, juga diisyaratkan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011, yang akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi dimuat dalam daftar kumulatif terbuka dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas),
guna
membuat
skala
prioritas
pembentukan
Rancangan Undang-Undang (RUU), ataupun mengajukan RUU diluar Prolegnas dengan syarat yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011; 3. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 1 angka 4 UU 12/2011 dimana ditentukan bahwa Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) apabila terjadi hal ikhwal kegentingan yang memaksa; 4. Bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VIII/2009 yang pada pokoknya memberikan parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi Presiden dalam menetapkan Perppu; 5. Bahwa apabila melihat parameter yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu yang dalam hal ini menyatakan muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, atau dinyatakan konstitusional bersyarat oleh Mahkamah konstitusi, tidak serta 3
merta menjadi peraturan hukum yang berlaku dan dapat diterapkan pada suatu kasus yang terjadi di dalam masyarakat (law in concreto); 6. Bahwa menurut Pemohon sepanjang muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang dinyatakan oleh putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat belum dinyatakan tidak berlaku, atau muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang dinyatakan konstitusional bersyarat belum diganti dengan ketentuan yang setara dengan undang-undang (corrective revision), maka menurut Pemohon, telah terdapat kekosongan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (2) UU 12/2011; 7. Bahwa kewajiban pemuatan putusan Mahkamah konstitusi dalam Berita Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (3) UU a quo, berakibat pada hilangnya jaminan dan timbulnya ketidakpastian hukum, sepanjang mengenai apakah Berita Negara dapat dijadikan dasar hukum bagi lembaga peradilan dalam memutus suatu perkara yang terjadi di masyarakat; 8. Bahwa Pemohon merasa khawatir dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan the guardian of constitution dengan sifat putusan final and binding
menjadi
tidak
implementatif
serta
dapat
menciderai
upaya
pemahkotaan rule of law; 9. Bahwa dalam Pasal 57 ayat (3) UU a quo mewajibkan pemuatan putusan Mahkamah konstitusi dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; 10. Bahwa menurut Pemohon apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon, ketentuan perundang-undangan yang setara dengan putusan Mahkamah Konstitusi selain undang-undang, dengan waktu perumusan yang tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, maka kemungkinannya hanya melalui penetapan Perppu; 11. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 57 ayat (3) undang-undang a quo belum dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi Pemohon, sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, apabila tidak dimaknai
4
pemuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Berita Negara Republik Indonesia wajib ditindaklanjuti oleh Presiden melalui Perppu. VII. PETITUM 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya; 2. Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, pemuatan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Berita Negara Republik Indonesia wajib ditindaklanjuti oleh Presiden melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan Permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, pemuatan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Berita Negara Republik Indonesia wajib ditindaklanjuti oleh Presiden melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
5
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono)
6