RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 “Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945”
I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi masyarakat dengan Akta Pendirian Nomor 02 tanggal 6 Mei 2014, disahkan dengan SK Kemenkumham Nomor AHU-00282.60.10.2014 tanggal 2 Juli 2014, diwakili oleh Ir. H. Ismail Yusanto, MM sebagai Sekretaris Umum/ Juru Bicara Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia. Kuasa Hukum: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc., Zulkarnaen Yunus, SH., MH., dkk advokat dan konsultan hukum pada yang tergabung pada IHZA & IHZA Law Firm, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 18 Juli 2017. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, Pasal 82A ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selajutnya disebut Perppu 2/2017). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
1
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 3. Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” 4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi: “Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.” 5. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 menegaskan berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 6. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selajutnya disebut Perppu 2/2017), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara.”; 2
2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 3. Bahwa Pemohon adalah badan hukum organisasi masyarakat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, Pasal 82A ayat (1), (2), dan (3) Perppu 2/2017 yang mana ketentuan tersebut dapat kapan saja dan secara sepihak dialamatkan tuduhan tertentu dan dijatuhkan sanksi administratif dan diproses pidana tanpa kesempatan untuk membela diri secara cukup. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian materiil Perppu 2/2017 yaitu: 1. Pasal 59 ayat (4) huruf c: “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” 2. Pasal 61 ayat (3): “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa: a. Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau b. Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia”.
3
3. Pasal 62 ayat (1): “Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diberikan peringatan.” 4. Pasal 62 ayat (2): “Dalam hal ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.” 5. Pasal 62 ayat (3): “Dalam hal ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum”. 6. Pasal 80: “Pencabutan status badan hukum ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. 7. Pasal 82A ayat (1): “Setiap orang yang menjadi anggota dan/ atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.” 8. Pasal 82A ayat (2): “Setiap orang yang menjadi anggota dan/ atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
4
9. Pasal 82A ayat (3): “Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 22 ayat (1): “Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” 3. Pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” 4. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa menurut Pemohon, negara harus melindungi hak asasi manusia warga negaranya dengan konsekuensi aparatur negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang; 2. Bahwa kepastian hukum harus dijamin oleh Negara tanpa terkecuali kepada mereka yang berada di dalam organisasi masyarakat; 3. Bahwa pemberlakuan Pasal 59 ayat (4) huruf c sepanjang frasa “menganut”, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82A Perppu 2/2017 menurut Pemohon memungkinkan pemerintah untuk melakukan tindakan sepihak tanpa mempertimbangkan hak jawab dari ormas, akibatnya ketentuan ini dapat dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan pasal ini telah mengambil alih tugas hakim dalam mengadili perkara;
5
4. Bahwa Pemohon mempunyai hak asas praduga tak bersalah sehingga memiliki kesempatan untuk membela diri dan meminta bantuan advokat untuk dapat membuktikan sebaliknya.
VII. PETITUM 1. Menerima dan Mengabulkan Permohonan Pemohon Seluruhnya 2. Menyatakan pembentukan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang
pembentukan
Organisasi peraturan
Masyarakat
tidak
perundang-undangan
memenuhi
ketentuan
berdasarkan
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia karena bertentangan dengan Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945; 3. Menyatakan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruhnya; 4. Atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 59 ayat (4) huruf c sepanjang frasa kata “menganut”, Pasal 61 ayat (3), pasal 62, pasal 80, Pasal 82 A, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6084) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 59 ayat (4) huruf c sepanjang frasa kata “menganut”, Pasal 61 ayat (3), pasal 62, pasal 80, Pasal 82 A, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
17
Tahun
2013
tentang
Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
6
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6084) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 6. Menyatakan Memerintahkan Pemuatan putusan ini dalam berita negara dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono)
7