rtin
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 15/PUU-XV/2017
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA SELASA, 2 MEI 2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 15/PUU-XV/2017 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah [Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. PT Tunas Jaya Pratama 2. PT Mappasindo 3. PT Gunungbayan Pratamacoal ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Selasa, 2 Mei 2017, Pukul 13.56 – 14.35 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) I Dewa Gede Palguna 2) Maria Farida Indrati 3) Saldi Isra Achmad Edi Subiyanto
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Ali Nurdin 2. Indra Septiana 3. Arie Achmad 4. Budi Rahman 5. Bagas Irawan Putra 6. Viky Sabana 7. Romadhoni Feby Indriani
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.56 WIB 1.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Sidang untuk Perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 dalam rangka pemeriksaan panel untuk Pemeriksaan Pendahuluan, saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saudara Pemohon, silakan memperkenalkan diri terlebih dahulu walaupun kita sudah kenal, silakan.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Terima kasih banyak, Majelis Hakim Yang Mulia. Kami selaku Kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama Pemohon PT Tunas Jaya Pratama, PT Mappasindo, PT Gunungbayan Pratamacoal, diwakili oleh saya Ali Nurdin selaku kuasanya. Di sebelah kanan saya, Bapak Arie Achmad, S.H., Budi Rahman, S.H., kemudian ada Bagas, kemudian ada Indra Septiana, S.H., dan Viky Sabana, serta ada asisten Dhoni. Demikian, Majelis, terima kasih.
3.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, terima kasih. Ini belum semuanya advokat, ya?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Betul, Majelis. Yang advokat 4 orang, Majelis.
5.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, nanti kalau advokat, soalnya harus pakai toga.
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Betul.
7.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, kami sudah menerima permohonan ini dan sudah kami baca. Oleh karena itu, dalam rangka Pemeriksaan Pendahuluan ini, silakan Saudara Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan ini. Dan tentu saja alasan permohonan, dan kemudian hal-hal yang diminta 1 iii
untuk diputus sebagaimana layaknya dalam Pemeriksaan Pendahuluan. Saya kira, Kuasa Hukum untuk soal ini sudah paham betul. Silakan. 8.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Baik, terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Saya akan sampaikan secara lisan pokok-pokok permohonan. Pada intinya, Pemohon merasa berkeberatan, kerugian konstitusional terganggu atas adanya peraturan perundang-undangan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya terkait dengan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2). Dimana pada pokoknya, Pasal 1 angka 13 itu mengatur tentang pengertian kendaraan bermotor yang menempatkan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor. Akibatnya, maka dalam peraturan turunannya, dikenakan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor terhadap alat-alat berat. Padahal alat berat, menurut kami, bukan kendaraan bermotor. Kemudian bagian pertama. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili, memutus permohonan ini, kami anggap dibacakan, Majelis. Pada halaman 7, kami sampaikan keterkaitan dengan Perkara Nomor 3/PUU-XIII/2015. Bahwa fundamentum petendi dalam perkara ini, berkaitan secara prinsipal dengan Perkara Nomor 3 terdahulu, yaitu perkara terkait dengan pengujian dengan penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang pada pokoknya mengatur pengelompokan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor, sebagaimana dicantum dalam … tercantum pada Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan, kami anggap dibacakan. Kemudian, penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain kendaraan bermotor TNI, kendaraan bermotor kepolisian negara, alat berat antara lain buldozer, traktor, mesin gilas, forklift, ekskavator, crane, serta kendaraan khusus penyandang cacat. Terhadap pengujian penjelasan Pasal 47 ini, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusan pada tanggal 31 Maret dengan amar putusan pada pokoknya, kami anggap dibacakan. Dimana penjelasan Pasal 47 dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya menyatakan bahwa alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka telah terdapat norma hukum yang baru, yang mencabut norma hukum 2
yang sudah ada sebelumnya, berdasarkan penjelasan Pasal 42 huruf e Undang-Undang LLAJ yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor, sehingga alat berat tidak lagi menjadi bagian dari kendaraan bermotor. Dengan adanya norma baru yang menegaskan bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor inilah yang menjadi dasar argumentasi permohonan ini, terkait dengan adanya penarikan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat. Karena alat berat bukan kendaraan bermotor. Kemudian yang kedua, keterkaitan dengan Perkara Nomor 1/PUUX/2012. Bahwa dalam Perkara Nomor 1/PUU-X/2012, pokok permohonan Pemohon hampir sama dengan pokok permohonan dalam perkara ini. Yaitu tuntutan pembatalan atas Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang PDRD, yang pada pokoknya mengatur penarikan pajak kendaraan bermotor dengan alasan bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 1, dengan alasan pada pokoknya, menyatakan alat berat adalah bagian dari kendaraan bermotor, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 42 huruf e bagian c Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kemudian 7. Permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 1 menggunakan batu uji berdasarkan ketentuan Pasal 22A, Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana termuat pada halaman 25 angka 52, kami anggap dibacakan. Dalam permohonan Pemohon sekarang ini, batu uji yang digunakan berbeda. Yaitu Pasal 1 angka 3 ayat (3), Pasal 20D ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sembilan. Selain itu, dasar argumentasi digunakan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya, Mahkamah telah menjatuhkan putusan bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor, dengan menyatakan bahwa penjelasan Pasal 42 huruf e bagian c Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Ayat (2), “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.” 3
Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara yang pada pokoknya menyatakan sama. Bahwa Mahkamah ... bahwa pengujian kembali dapat diajukan dengan syarat-syarat konstelasi yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Oleh karena itu, permohonan Pemohon dalam perkara ini memiliki dasar pengujian yang berbeda dengan Perkara Nomor 1 Tahun 2012. Karena syarat-syarat konstelasi permohonan Pemohon berbeda dengan pengujian sebelumnya. Dimana dalam Perkara Nomor 1 PUU Tahun 2012, batu uji yang digunakan adalah ketentuan Pasal 22A, Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sedangkan, permohonan ini menggunakan batu uji ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Begitu pula alasan permohonan Pemohon sekarang ini berbeda dengan alasan permohonan dalam Perkara Nomor 1/PUU/2012. Karena dalam perkara ini, Pemohon merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang membuat norma baru bahwa alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor. Sedangkan dalam Perkara Nomor 1, tidak menggunakan dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015. Mahkamah Konstitusi terbukti telah melakukan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lebih dari satu kali, di antaranya mengenai Undang-Undang Sumber Daya Air. Kemudian, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, Nomor 15, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Dengan demikian, permohonan ini dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini. Kemudian, tentang Kedudukan Para Pemohon (Legal Standing), halaman 14. Bahwa Pemohon menganggap memiliki Kedudukan Hukum sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang ini. Langsung kami masuk ke angka 23. Dengan menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan menjadi objek PKB dan BBNKB, beberapa daerah provinsi telah mengeluarkan peraturan daerah yang terkait dengan pengaturan kenaikan pajak kendaraan bermotor dan bea baik nama kendaraan bermotor, sebagaimana terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua, dan lain-lain. Dengan diberlakukannya beberapa peraturan daerah yang terkait dengan PKB dan BBNKB tersebut, beberapa pemerintah daerah provinsi telah melakukan penarikan PKB dan BBNKB terhadap alat berat, beberapa kendaraan lainnya tidak melakukan penarikan PKB dan BBNKB.
4
Pemberlakukan norma penarikan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor terhadap alat-alat berat telah melanggar hak konstitusional Para Pemohon, yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak atas perlakuan yang tidak diskriminatif karena telah mempersamakan alat berat dengan kendaraan bermotor, sehingga terhadap alat berat dikenakan PKB dan BBNKB. Dengan adanya pengaturan PKB dan BBNKB terhadap alat berat, maka Para Pemohon yang memiliki dan/atau menguasai alat berat telah dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut, baik karena timbulnya ketidakpastian hukum, kerugian finansial, dan persoalan administrasi yang harus ditanggung oleh Para Pemohon, sehingga kerugian yang dialami Pemohon adalah kerugian yang spesifik, aktual, dan telah terjadi. Kerugian lainnya adalah adanya sanksi bagi Para Pemohon apabila tidak membayar PKB dan BBNKB terhadap alat berat, seperti sanksi administrasi berupa denda, sebagaimana diatur dalam Pasal 97 Undang-Undang PDRD maupun sanksi pidana berupa pidana kurungan ataupun pidana penjara, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 41A ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000. Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian yang dialami oleh Para Pemohon dengan berlakunya norma a quo. Oleh karena itu, apabila norma a quo dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku, maka kerugian yang diderita oleh Para Pemohon tidak lagi terjadi. Bagian 3, halaman 17. Pokok Permohonan. Ketentuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 … Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini didasarkan, pertama bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor. Rujukan kami, satu, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 bahwa alat berat telah ditetapkan bukan bagian dari kendaraan bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UndangUndang Lalu Lintas Angkutan Jalan, sehingga demi adanya kepastian hukum, keadilan, persamaan di muka hukum tanpa 5
ada diskriminasi, termasuk menghindari adanya dualisme hukum karena penafsiran yang berbeda, maka tidak boleh ada ketentuan lain yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Adanya ketentuan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena seakan-akan ada dua norma hukum yang saling bertolak belakang, yang berlaku terhadap alat berat, yaitu alat berat sebagai kendaraan bermotor dan alat berat bukan kendaraan bermotor. Padahal alat berat dimaksud meliputi jenis yang sama, misalnya ekskavator, buldozer, dan lain-lain. Bagaimana mungkin misalnya terhadap ekskavator atau buldozer sebagai alat berat yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bukan kendaraan bermotor berdasarkan Undang-Undang tentang Angkutan Jalan, akan tetapi pada bagian lain, berdasarkan UndangUndang PDRD masih menjadi bagian dari kendaraan bermotor. Adanya dualisme pengaturan terhadap alat berat tersebut, telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon dan pemilik alat berat lainnya karena dapat menimbulkan ketidakjelasan alat berat seperti apa yang termasuk kendaraan bermotor dan yang bukan kendaraan bermotor atau bisa juga terhadap alat berat yang sama bisa diperlakukan berbeda, dimana yang satu bisa diperlakukan sebagai bukan kendaraan bermotor dan yang satu lagi diperlakukan sebagai kendaraan bermotor. Begitu juga halnya bagi pemerintah, dimana bagi institusi seperti Departemen Perhubungan atau departemen teknis lainnya, dan juga institusi kepolisian yang terlibat sebagai pihak Termohon dalam Perkara Nomor 3/2015 telah menerima dan menempatkan alat berat sebagai bukan kendaraan bermotor. Akan tetapi, bagi instansi lainnya seperti depatemen … atau Departemen Dalam Negeri masih menempatkan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor. Kondisi ini telah menimbulkan keadaan di mana dalam suatu negara yang mennganut prinsip negara hukum, ternyata tidak memiliki suatu norma hukum yang sama, yang berlaku terhadap alat berat, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan perlakuan yang diskriminatif dan melanggar asas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berkaitan dengan pengelempokan alat berat sebagai kendaraan bermotor, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD, maka para Pemohon berkepentingan untuk menjelaskan dasardasar perbedaan alat berat dengan kendaraan bermotor, baik dilihat asal mula kehadirannya, pengertian jenis, dan fungsinya. Bagian A, Perngertian Alat Berat, kami anggap dibacakan. Bagian ini membahas tentang pengertian alat berat. Bagian B tentang Sejarah Alat Berat, ini juga kami anggap dibacakan.
6
9.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya.
10.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Bagian C tentang Klasifikasi Fungsi dan Jenis Alat Berat, ini juga kami anggap dibacakan. Kemudian bagian D, perbedaan alat berat dan kendaraan bermotor, ini juga kami anggap dibacakan.
11.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya.
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Kemudian pergerakan kendaraan bermotor berbeda dengan alat berat, kami anggap dibacakan.
13.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya.
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Ukuran kendaraan bermotor berbeda dengan ukuran alat berat, kami anggap dibacakan. Ruang kendali kendaraan bermotor berbeda dengan alat berat, jarak tempuh dengan waktu kerja, alat berat diangkut dengan kendaraan bermotor, persyaratan kendaraan bermotor tidak diperiksa seperti dengan alat berat, perlengkapan kendaraan bermotor tidak dapat dipenuhi alat berat, kode kendaraan bermotor berbeda dengan alat berat, pengujian kendaraan bermotor tidak dapat diterapkan untuk alat berat, surat izin mengemudi bagi pengemudi tidak dapat diberlakukan untuk mengoperasikan alat berat, modifikasi alat berat, dan alat berat bukan moda transportasi. Kesimpulan, alat berat bukan kendaraan bermotor. Maka dari itu, dengan memerhatikan perbedaan karakteristik pada pergerakan, ukuran, ruang kendali, alat pemantau transportasi di jalan raya, persyaratan dan perlengakapan pengendara, dan modifikasi antara alat berat dan kendaraan berat dapat disimpulkan bahwa alat berat dan kendaraan bermotor adalah berbeda dan tidak dapat dipersamakan.
7
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 3 kami anggap dibacakan. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2015 alat berat secara konstitusional adalah bagian dari kendaraan bermotor, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian C Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan, sehingga secara matematis dapat disimpulkan bahwa alat berat adalah himpunan bagian dari kendaran bermotor. Dengan adanya ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf e bagian c tersebut dimana letak himpunan bagi kendaraan bermotor, maka dapat dipahami dan dimengerti apabila Undang-Undang PDRD juga menempatkan alat berat, termasuk kendaraan bermotor. Sehingga, alat berat merupakan himpunan bagian dari kendaraan bermotor. Pasal 1 angka 7 dan seterusnya mengatur tentang pengertian kendaraan bermotor, begitu juga Nomor 64 kami anggap dibacakan. Nomor 65. Namun demikian, sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2015 pada tanggal 31 Maret 2016 yang menyatakan bahwa ketentuan penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki hukum … tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka alat berat bukan lagi termasuk bagian dari kendaraan bermotor. Sehingga, secara matematis dapat disimpulkan bahwa himpunan alat berat bukan bagian dari himpunan kendaraan bermotor. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/2015 dimaksud, maka telah terdapat norma baru yang menegaskan bahwa alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor. Sehingga, demi tercapainya kepastian hokum, maka ketentuan peraturan perundangundangan lainnya harus merujuk dan mengikuti norma baru sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor. Dengan demikian, ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih menempatkan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor, haruslah dinyatakan batal demi hukum atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, termasuk adanya ketentuan dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang PDRD yang menempatkan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor. Tidak ada satu pun alasan pembenar yang dapat memerhatikan, mempertahankan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD. Apabila muncul alasan yang menyatakan bahwa pengaturan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD yang mengatur alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor merupakan ketentuan yang bersifat khusus, sehingga berlaku asas lex specialis derogat generalis yang 8
seakan-akan dapat mengesampingkan Putusan Nomor 3/2015 adalah merupakan alasan yang tidak berdasar secara hukum karena perihal pengelompokan dan jenis kendaraan bermotor justru secara khusus diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sehingga dalam hal pengertian kendaraan bermotor, jenis-jenis kendaraan bermotor, maka Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan merupakan ketentuan yang bersifat khusus. Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan secara khusus mengatur perihal kendaraan bermotor, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 tentang Pengertian kendaraan Bermotor serta Bab 7 yang mengatur secara terperinci tentang kendaraan, baik dari aspek jenis, fungsi kendaraan bermotor, persyaratan teknis, dan laik jalan kendaraan bermotor, pengujian kendaraan bermotor, perlengkapan kendaraan bermotor, dan seterusnya. Dengan demikian, oleh Mahkamah ... karena Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf f bagian c sesuai dengan Putusan Nomor 3 sehingga alat berat bukan lagi menjadi bagian dari kendaraan bermotor, maka tidak boleh ada ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk dalam Undang-Undang PDRD yang masih menempatkan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor, sehingga seakan-akan ketentuan dalam Undang-Undang PDRD mengesampingkan ketentuan baru dalam Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan pascaputusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang bersifat final dan mengikat yang berlaku sejak dibacakan, sehingga ketentuan dalam peraturan perundang-undangan harus menyesuaikan atau sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Apabila ketentuan pengertian kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 masih berlaku, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan tersebut telah bertentangan dengan norma baru yang sudah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 3/PUU/2015 bahwa alat berat bukan lagi termasuk bagian dari kendaraan bermotor. Selain itu, apabila pengertian kendaraan bermotor masih meliputi alat berat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD, maka akan terdapat 2 norma dalam satu sistem hukum di Indonesia yang mengatur alat berat, dimana yang satu alat berat menjadi bagian kendaraan bermotor dan satunya lagi alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor, sehingga sudah dapat dipastikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan pelanggaran atas persamaan (suara tidak terdengar jelas) hukum, serta pengabaian terhadap supremasi hukum. Berdasarkan argumentasi hukum di atas, maka keberadaan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD telah bertentangan dengan putusan 9
Mahkamah Konstitusi Nomor 3 dan bertentangan dengan Pasal 1 angka … ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) 4 ... UndangUndang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut asas supremasi hokum, dimana pengaturan norma pada satu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal 5 huruf c dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas kejelasan rumusan dan asas kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan. Selanjutnya materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Pasal 6 Undang-Undang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Masih adanya ketentuan yang mengatur alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor seperti pada Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU/2015 telah melanggar asas kesesuaian antara jenis dan hierarki muatan, asas kejelasan rumusan karena telah menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaan yang saling bertolak belakang, termasuk juga melanggar asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum, dan asas ketertiban dan kepastian hukum. Masih adanya ketentuan yang menerapkan alat berat sebagai bagian dari kendaraan bermotor telah melanggar asas ketertiban dan kepastian hukum karena menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian hukum bagi para pemilik alat berat. Apakah alat berat bagian dari kendaraan bermotor, sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang PDRD atau alat berat bukan dari bagian dari kendaraan bermotor, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU/2015. Penarikan PKB dan BBNKB terhadap alat berat adalah inkonstitusional. Kami anggap dibacakan dan seterusnya. Kemudian, kesimpulan. Oleh karena ... halaman 42. Oleh karena itu, demi ketertiban umum yang merupakan sarana menjamin ketenteraman, peri kehidupan yang harmonis untuk mencapai tujuan bersama, perlu diterapkan perbedaan antara alat berat dan kendaraan bermotor dengan mencabut Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang PDRD ... Undang-Undang PDRD. Penutup. Bahwa para Pemohon merasa perlu untuk menyampaikan kepada Majelis Hakim Yang Mulia. Bahwa pengajuan permohonan uji materi Undang-Undang PDRD ini semata-mata ditujukan untuk tegaknya kepastian hukum dan keadilan dan adanya 10
jaminan perlindungan hokum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang selama ini dialami oleh para Pemohon yang bergerak dalam sektor swasta membantu pemerintah dan masyarakat untuk membangun infrastuktur daerah, menggerakkan kehidupan sektor ekonomi di masyarakat. Bahwa Pemohon tidak berkeberatan dengan adanya pungutan pajak terhadap alat berat selama norma dan aturannya jelas. Proses penyusunan regulasi alat berat melibatkan para stakeholder, khususnya para pemilik dan pengguna alat berat. Dalam permohonan ini, Pemohon mempersoalkan pengaturan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan terhadap alat berat dengan dasar pemikiran yang salah karena menempatkan alat berat bagian dari kendaraan bermotor. Padahal alat berat bukan kendaraan bermotor. Perlu tidaknya alat berat dikenakan pajak menurut hemat para Pemohon, sebaiknya dibicarakan secara khusus antara pemerintah dengan seluruh stakeholder para pemilik dan pengguna alat berat. Para Pemohon sepakat dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 3/PUU/2015 yang pada pokoknya memerintahkan agar terhadap alat berat diatur secara tersendiri untuk kepentingan tersebut. Perwakilan dari asosiasi, gabungan dari asosiasi para pemilik dan pengguna alat berat telah mengajukan permohonan kepada pemerintah agar terhadap alat berat dapat diatur secara tersendiri, termasuk mengatur ... mengenai pengaturan apakah terhadap alat berat dapat diterapkan pajak atau retribusi. Berdasarkan seluruh argumentasi hukum tersebut di atas, Para Pemohon berkesimpulan bahwa Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) telah melanggar hak konstitusional yang dimiliki oleh Para Pemohon. Keberlakuan Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang PDRD bertentangan dengan prinsip negara hukum, bertentangan dengan asas kepastian hukum, keadilan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum karena telah diperlakukan secara diskriminatif yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Petitum. Berdasarkan fakta-fakta hukum seperti terurai di atas, Para Pemohon mohon dengan hormat kiranya Mahkamah Konstitusi berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut. 1. Menyatakan mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sepanjang kalimat, “Termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 11
3. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sepanjang kalimat, “Termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara (suara tidak terdengar jelas).” 4. Menyatakan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 5. Menyatakan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 6. Menyatakan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 7. Menyatakan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 8. Menyatakan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 9. Menyatakan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 10. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Hormat kami, Kuasa Para Pemohon, Ali Nurdin dan kawan-kawan. Demikian Majelis, terima kasih. 15.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, terima kasih. Ya, saya kira semuanya sudah klir apa yang di … Saudara Pemohon sampaikan. Tapi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 39 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kami wajib untuk memberikan nasihat. Walaupun secara ... apa namanya ... secara sistematis, Saudara sudah menguraikan mulai dari ... terutama soal kewenangan yang Saudara ulas dengan rinci. Karena ini sudah pernah juga diajukan sebelumnya, dan kami bisa memahami itu. Bukan berarti menyetujui, ya, tapi memahami logikanya maksudnya, itu saya kira sudah jelas. Ya, intinya kalau boleh dikatakan karena dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, alat berat sudah tidak dimasukkan kendaraan bermotor, maka dia tidak bisa lagi masuk kendaraan bermotor, dan oleh kerena itu, undang-undang yang (suara tidak terdengar jelas) dia 12
sebagai bagian dari hak yang bisa dikenakan pajak berdasarkan undangundang yang lain, maka itu menjadi tidak konstitusional, kira-kira begitu, ya? Logikanya adalah seperti itu kalau saya pahami. Saya sebelum nanti menyampaikan kepada Yang Mulia yang lain, mungkin hanya sedikit saja, barangkali hanya mengingatkan, saya kira Saudara Kuasa Hukum sudah tahu bahwa ... ya dalil tentang diskriminasi mungkin tidak terlalu pas di sini. Karena kita tahu diskriminasi mempunyai pengertian tersendiri yang di halaman 44 itu ya, khususnya Angka 88, “Membuat pengaturan yang berbeda, tidak serta-merta bahwa itu berarti diskriminatif,” begitu dasarnya. Saya kira, itu sudah Saudara tahu, mungkin itu saja yang perlu diperbaiki. Dan hal yang teknis, yang terakhir, yang menurut saya penting untuk diperhatikan, ini soal efisiensi saja. Di Petitum mengenai pernyataan tentang pertentang dengan Undang-Undang Dasar dan pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mungkin bisa disatukan saja, pasal sekian dari undang-undang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Petitum Permohonan menjadi lebih simpel. Mungkin tinggal menjadi enam barang kali, kalau saya hitung, ya dari 10 poin yang ada ini. Dari saya itu saja catatan yang bisa saya temukan. Karena saya sudah membaca dari awal, ya tidak terdapat hal-hal yang substantif mengenai hal ini. Cuma, walaupun ada pernyataan bahwa ya seperti misalnya halaman 35, umpamanya. Ya, mulai dari angka 66 itu, “Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan seterusnya, maka terdapat norma baru yang menegaskan bahwa alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor sehingga demi tercapainya kepastian hukum, maka ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya harus merujuk dan mengikuti norma baru sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa alat berat bukan bagian dari kendaraan bermotor.” Saya paham maksud permohonan ini bahwa ini tentu tidak termasuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tapi sepanjang menyangkut undang-undang, itulah saya kira yang menjadi maksud dari ... dari pernyataan ini. Benar begitu, ya? 16.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Betul, Majelis.
17.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, baik, terima kasih. Yang penting kalau maksudnya memang demikian, ya, tentu tidak ada masalah. Dari Yang Mulia Prof. Saldi ada tambahan? Silakan. 13
18.
HAKIM ANGGOTA: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Saudara Kuasa Pemohon, saya hanya mau mengingatkan supaya lebih berhati-hati. Pertama, di permohonan yang lalu, masih … kan menggunakan Pasal 28D ayat (1), ya, sebagai batu uji. Nah, sekarang … di permohonan yang sekarang masih tetap menggunakan alasan konstitusional yang sama, menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1). Nah, perlu ada penjelasan, basis argumentasi yang menjelaskan. Dulu digunakan batu uji yang sama, sekarang digunakan batu uji yang sama, tentu harus dengan bangunan argumentasi yang berbeda, satu. Yang kedua, ada pengutipan-pengutipan pasal dalam konstitusi yang menurut saya keliru. Pasal 1 ayat (3) itu hanya sampai, “Indonesia adalah negara hukum.” Jadi tidak ada berasaskan supremasi hukum dengan keharusan adanya ketaatan terhadap norma-norma hukum. Tidak ada konstitusi bunyinya begitu, Pasal 1 ayat (3) itu. Dan itu berulang-ulang Pemohon ajukan … tuliskan atau nyatakan dalam permohonan ini. Jadi kalau mau mengelaborasi pasal itu, elaborasi secara terpisah, jangan seolah-olah itu menjadi norma baru di dalam konstitusi yang belum ada perubahan kelima sampai hari ini, itu. Jadi, itu bisa juga dilihat terjadi di … apa namanya … di pasalpasal konstitusi yang lain. Ada yang lengkap disebutkan, ada yang dipotong begitu saja. Di Pasal 27A dan 28I-nya. Coba dicek lagi! Kemudian, Pemohon sebaiknya memperbaiki juga. Sekarang dengan konstitusi baru, tidak ada lagi istilah departemen. Kita sudah menggunakan istilah kementerian negara. Nanti aneh juga … apa namanya … kalau lawyer-lawyer yang beracara di Mahkamah Konstitusi tidak bisa … apa namanya … mengikuti pergeseran terminologi di konstitusi kita. Jadi itu menurut saya mendasar … apanya … kesalahannya yang harus diperbaiki. Itu catatan-catatan teknis yang saya … yang kami harap bisa diperbaiki oleh Pemohon tentang permohonan ini. Nah, ini tadi kami diskusikan di belakang, ini jangan-jangan permohonan ini karena keberatan untuk pajaknya ini. Jadi berulangulang diajukan dan ternyata Pemohon sudah menyampaikan bahwa tidak keberatan dengan adanya pajak itu, tapi diminta diatur dengan cara yang berbeda. Begitu, ya? Itu. Jadi sudah disebutkan di sini di dalam permohonan ini. Hanya itu yang … yang apa … yang mendasar. Lalu, nanti pendalamannya, kalau ini diteruskan bisa kita telaah lebih jauh di ... apa … di dalam persidangan berikutnya. Terima kasih, Yang Mulia.
14
19.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia Prof. Saldi. Silakan, Yang Mulia Prof. Maria.
20.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Pak Ketua. Saya sedikit saja menambahkan. Ada halaman 6, ya. Itu Kewenangan Mahkamah Konstitusi itu di Pasal 24D atau C? Saya rasa 24D ayat (1) itu enggak ada itu, adanya … ya. Ya saya melihat di sini, kelihatannya permohonan ini dikarenakan adanya 2 tafsir undang-undang. Jadi, kan kalau 2 tafsir itu berarti kan implementasinya, ya. Jadi, ini yang saya masih melihat, dimana letaknya kalau itu ada 2 tafsir? Karena Mahkamah kan tidak boleh menguji 2 undang-undang, kecuali ada ketidakpastian hukum, gitu kan. Nah, dengan adanya … apa … permohonan yang lalu, putusan yang lalu, memang di sini dijelaskan bagaimana Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu kemudian diterapkan dengan adanya Undang-Undang tentang Pajak Daerah ini. Di sini mungkin yang dijelaskan … yang perlu dijelaskan adalah kalau putusan MK itu dulu sudah mengatakan alat-alat berat itu tidak termasuk dalam kendaraan bermotor, maka mestinya di undang-undang yang lainnya pun kan seperti itu. Nah, mestinya di sini dikaitkan dengan istilah erga omnes, itu sepanjang mana? Gitu. Jadi itu bisa menguatkan alasan ini. Kalau dulu seperti itu, Mahkamah mestinya semua undangundang harusnya seperti itu, gitu ya. Itu saja yang perlu ditambahkan itu saya rasa. Karena kemudian kalau tidak, kan ini hanya untuk Undang-Undang Pajak Daerah saja. Ya kan? Mungkin juga ada undang-undang yang lain, begitu kan? Jadi saya mohon untuk di … lebih dikaitkan dengan istilah itu. Saya rasa itu, Pak Ketua.
21.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Saya kira … itu sudah catatan penting, ya. Karena begini, memang akan menjadi berbeda konstruksi pemahamannya apabila ini bukan menyangkut rumusan normanya, tetapi menyangkut penafsiran dalam penerapannya. Itu dua … dua hal yang berbeda. Yang kalau di negara lain, yang satu bisa masuk wilayah konstitusional komplain, yang satu ini memang pengujian undang-undang. Mungkin bagian itu yang tadi yang disampaikan oleh Yang Mulia Prof. Maria yang mesti dijelaskan bahwa ini bukan soal implementasi misalnya karena Saudara mengajukan permohonan. Tapi ini adalah memang soal ada pertentangan dengan konstitusi, gitu. Itu penajaman, saya kira penting 15
tadi digarisbawahi. Dan itu tadi juga sudah ditekankan prinsip erga omnes itu misalnya. Nah, misalnya apabila Saudara mempunyai pemikiran misalnya, apakah prinsip dengan … prinsip erga omnes itu misalnya cukup satu kali saja Mahkamah Konstitusi membuat putusan? Sehingga yang lain harus mengikuti, Anda bisa juga sampaikan dalam permohonan. Ataukah apakah itu menjadi sekadar menjadi alasan untuk menunjukkan adanya argumentasi inkonstitusionalitas baru dalam permohonan ini, ya. Itu kan, itu bisa dibangun argumentasi dari situ ya, demi kelengkapan dari permohonan ini. Saya kira itu ... itu penting ya dua hal yang digarisbawahi dan juga tadi yang disampaikan oleh Yang Mulia Prof. Saldi kalau pengutipan norma itu memang tentu harus jelas sampai di mana batasnya. Tidak dilarang tentu saja untuk melakukan parafrase, tetapi yang dilarang adalah kalau kemudian pe ... melakukan parafrase itu kemudian menimbulkan kesesatan penalaran, kan itu yang jadi soal. Ya, walaupun kita tahu tidak ... tidak seperti itu, maksudnya. Tetapi ya, mungkin yang dicemaskan karena ini sidang terbuka untuk umum, nanti pemahaman publik bisa jadi berbeda dengan ketidaklengkapan itu tadi. Saya kira itu yang ... yang sudah yang bisa kami sampaikan, apakah ada hal lain yang perlu dijelaskan? 22.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Sebelumnya kami sampaikan terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia, atas koreksi-koreksinya tadi dan juga masukannya, kami akan tindak lanjuti dan segera ini kami akan lakukan perbaikan. Demikian, Majelis.
23.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Ada lagi? Baik, kalau tidak ada lagi, saya kira untuk sidang Pemeriksaan Pendahuluan ini cukup. Dan sebagaimana ketentuan undang-undang, Saudara Pemohon diberikan waktu untuk melakukan perbaikan dengan tambahan tadi, dan batasnya adalah hari Senin perbaikan sudah harus kami terima hari Senin, 15 Mei 2017, pukul 14.00 WIB. Artinya kalau sampai pada hari dan pukul tersebut tidak ada perbaikan, maka permohonan ini yang kami laporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim. Saya kira itu, ya.
24.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Majelis, kalau boleh, kami ada beberapa data tambahan terkait bukti, bisa kami masukkan sekalian dalam perbaikan?
16
25.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Oh, ya, bisa, bisa sekalian. Kan ini sidangnya masih untuk dalam rangka untuk perbaikan, nanti di waktu perbaikan itu disampaikan, apa saja perbaikannya, termasuk tambahan-tambahan buktinya, kalau memang masih ada, silakan.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON: ALI NURDIN Baik, terima kasih, Majelis.
27.
KETUA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, dengan demikian, maka sidang untuk Perkara Nomor 15/PUU-XV/2017, untuk sidang Pemeriksaan Pendahuluan, saya nyatakan selesai dan sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.35 WIB Jakarta, 2 Mei 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Yohana Citra Permatasari NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
17