RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 “Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali” I. PEMOHON Anna Boentaran, ………………………………….… selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Januari 2016.
II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materii Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut UU 8/1981. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:
kewenangan
1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”
1
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” 3. Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. 4. Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) (2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
2
VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa Suami Pemohon dituntut melakukan tindak pidana korupsi, dan hal ini telah sampai pada semua tahapan peradilan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000, suami Pemohon bebas dari tuntutan pidananya begitu juga pada tingkat kasasi; 2. Namun pada tahun 2009, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009, suami Pemohon dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara. 3. Bahwa Pemohon keberatan atas pengajuan peninjauan kembali tersebut karena yang mengajukan adalah jaksa penuntut umum dan hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 dimana hanya Terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali; 4. Oleh karena Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti bahwa Jaksa Penuntut Umum dilarang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali; 5. Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tidak memberikan kepastian hukum, bersifat multitafsir, dan tidak memuat pengaturan secara tegas tentang “konsekuensi yuridis” manakala Peninjauan Kembali dilaksanakan tidak sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam UU 8/1981; 6. Apabila rumusan Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 dibiarkan begitu saja tanpa penafsiran
konstitusional,
maka
hal
itu
berpotensi
menciptakan
penyalahgunaan kekuasaan karena tidak ada batasan dan konsekuensi bagi penegak
hukum
kewenangannya
manakala secara
para
berlebihan
penegak dan
hukum
menggunakan
mengakibatkan
terjadinya
pelanggaran hak asasi dalam penggunaan upaya hukum luar biasa;
3
VII. PETITUM 1.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menguji ketentuan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum;
3.
Menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali dari pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum;
4.
Atau jika Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon kiranya Majelis Hakim Konstitusi agar dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik 4
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) jika diartikan bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali dari pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”. 5.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
5