RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah I. PEMOHON 1. Drs. Bambang Sudibjo (Pemohon I); 2. Cholil (Pemohon II); 3. Drs. H. Suhardi (Pemohon III); 4. Hardimin (Pemohon IV); 5. Harijono (Pemohon V). Semuanya secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon. Kuasa Hukum Muhammad Sholeh, SH dkk, pada kantor advokat “SHOLEH & PARTNERS” berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 22 April 2015. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi
adalah
melakukan
pengujian
Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)”; 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 1
3. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”; 4. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960), oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian UndangUndang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”. 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
2
3. Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang tinggal di Surabaya dengan menyewa tanah yang diakui milik Pemerintah Kota Surabaya, yang mana Pemerintah Kota Surabaya selama ini tidak pernah menunjukkan alas hak kepemilikan tanah a quo seperti sertifikat hak milik, hak pakai, atau hak pengelolaan, padahal para Pemohon memiliki Ijin Pemakaian Tanah (IPT) tanah a quo yang diterbitkan oleh Walikota Surabaya dan para Pemohon selama ini setiap tahun membayar Pajak Bumi Bangunan atas nama para Pemohon. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 5/1960: 1. Pasal 7: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” 2. Pasal 9 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” 3. Pasal 17 ayat (1): “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
3
2. Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” 3. Pasal 28H ayat (4): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” 4. Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” 5. Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Adanya pelaksanaan landreform yang dikategorikan dalam objek landreform sebagai tanah kelebihan. Tanah kelebihan merupakan tanah kelebihan dari batas maksimum sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang dan tanah kelebihan tersebut diambil alih oleh pemerintah dengan diberikan ganti rugi. Bahwa, tanah-tanah yang merupakan Kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam Pasal 14 ayat (2) diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah. 2. Pada era 1970 -1980-an Pemerintah kota Surabaya mempunyai program pemutihan, dengan dikeluarkan surat Ijin Pemakaian Tanah (IPT) yang sampulnya berwarna hijau/ijo sebagai prasyarat untuk dijadikan Sertifikat Hak Milik, yang pada kemudian hari menjadi hak milik Pemkot Surabaya
4
sebagai Hak Pengelolaan, dan warga pemilik Surat Ijo tidak berhak meningkatkan status hak tanahnya. 3. Bahwa program pemutihan yang awalnya terlihat bagus pada hakekatnya justru terjadi pencaplokan tanah-tanah warga yang semula secara hukum adat sah sebagai kepemilikan, menjadi tanah aset Pemerintah Kota Surabaya karena dikeluarkan surat IPT atau yang biasa dikenal Surat Ijo. 4. Bahwa ternyata pada program “pemutihan” a quo warga menandatangani pernyataan yang menyatakan tanah tersebut adalah milik Pemerintah Kota Surabaya dan tidak akan keberatan apabila Pemerintah Kota Surabaya mengambil alih hak pengelelolaan atas tanah a quo, dan sejak saat itu terjadi klaim semua tanah-tanah a quo milik Pemerintah Kota Surabaya dan Pemohon diwajibkan membayar retribusi karena menempati tanah milik Pemerintah Kota Surabaya. 5. Bahwa
tanah-tanah
yang
ditempati
Pemohon
tidak
dapat
diajukan
pengingkatan hak karena Bdan Pertanahan Nasional Surabaya tidak mau memproses dengan alasan jika tanah-tanah yang ditempati oleh para Pemohon milik Pemerintah Kota Surabaya padahal faktanya tanah a quo adalah tanah negara. 6. Bahwa apabila alas haknya dari tanah a quo adalah hak pengelolaan, menurut ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, Pemerintah Kota Surabaya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pengelolaan terhadap tanah warga, sebab sejak lama tanah-tanah tersebut telah ditinggali para Pemohon maupun warga sebelum Pemerintah Kota Surabaya memiliki hak pengelolaan, serta Pemerintah Kota Surabaya tidak pernah sekalipun menguasai, mengelola, ataupun mempergunakan tanahtanah warga tersebut untuk keperluan instansinya. 7. Bahwa jika Pemerintah Kota Surabaya memiliki tanah surat ijo seluas 1,2 juta hektar dengan bukti kepemilikan hak pakai atau hak pengelolaan, maka hal itu bertentangan dengan Pasal 17 UU 5/1960. 8. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 7, Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 17 UU 5/1960 mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan, ketidakadilan, 5
dan ketidakpastian hukum, maka pasal-pasal a quo jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 9. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (1) UU 5/1960 harus dinyatakan konstitusional bersyarat yaitu “sepanjang harus dimaknai bahwa tanah yang dimiliki oleh badan hukum pemerintah daerah hanya meliputi tanah yang digunakan oleh instansi pemerintah daerah”.
VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 7, Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945; 3. Menyatakan Pasal 7, Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria harus dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang harus dimaknai “bahwa tanah yang dimiliki oleh badan hukum pemerintah daerah hanya meliputi tanah yang digunakan oleh instansi pemerintah daerah”; 4. Menyatakan Pasal 7, Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria harus dinyatakan konstitusional bersyarat yaitu “negara menjamin tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
6